Performa Reproduksi Induk dan Benih Hibrida Ikan Lele Afrika Strain Sangkuriang dan Mesir pada Fase Pendederan

PERFORMA REPRODUKSI INDUK DAN BENIH HIBRIDA
IKAN LELE AFRIKA STRAIN SANGKURIANG DAN MESIR
PADA FASE PENDEDERAN

PUTRI ZULFANIA

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Performa Reproduksi
Induk dan Benih Hibrida Ikan Lele Afrika Strain Sangkuriang dan Mesir pada
Fase Pendederan” adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Putri Zulfania
NIM C14090041

ABSTRAK
PUTRI ZULFANIA. Performa Reproduksi Induk dan Benih Hibrida Ikan Lele
Strain Sangkuriang dan Mesir pada Fase Pendederan. Dibimbing oleh
MUHAMMAD ZAIRIN JUNIOR dan ALIMUDDIN.
Penelitian ini dilakukan untuk menguji performa reproduksi induk dan benih
hasil hibridisasi intraspesifik ikan lele Afrika strain Sangkuring (S) dan Mesir (M)
pada fase pendederan. Hibridisasi intraspesifik ikan lele Afrika Clarias gariepinus
telah dilakukan secara resiprokal (SM dan MS) dan galur murni (SS dan MM)
masing-masing dengan 3 ulangan. Pemijahan dilakukan secara buatan dan larva
yang dihasilkan dipelihara pada pendederan 1, 2, dan 3. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa performa induk pada kedua strain tidak berbeda nyata
(P>0,05) pada seluruh parameter kecuali parameter indeks gonado-somatik (GSI)
betina. Derajat pembuahan dan penetasan telur pada seluruh persilangan tidak
berbeda nyata (P>0,05). Pertumbuhan benih pada persilangan MM lebih tinggi

dibandingkan persilangan lain, tetapi dengan tingkat kelangsungan hidupnya lebih
rendah dibandingkan benih persilangan lain. Nilai heterosis panjang total, panjang
standar, dan bobot tubuh yang dihasilkan pada setiap stadia pendederan bervariasi,
sedangkan nilai heterosis kelangsungan hidup menunjukkan nilai seluruhnya
positif dibandingkan rataan galur murni. Heterosis pertumbuhan benih persilangan
SM pada pendederan 3 selalu menunjukkan hasil yang positif (2,61% untuk
panjang total, 2,16 % untuk panjang standar, dan 4,79% untuk bobot tubuh). Nilai
heterosis kelangsungan hidup pada persilangan MS (24,20; 103,13 dan 11,62%)
lebih tinggi dibandingkan persilangan SM (6,86; 48,57 dan 3,09%) pada setiap
stadia pendederan.
Kata kunci: hibridisasi intraspesifik, ikan lele Afrika, pertumbuhan, kelangsungan
hidup, heterosis

ABSTRACT
PUTRI ZULFANIA. Performance of Broodstock and Hybrid Juvenile of Egyptian
and Sangkuriang African Catfish Strains at Nursery Phase. Supervised by
MUHAMMAD ZAIRIN JUNIOR dan ALIMUDDIN.
This study was performed to evaluate reproduction of broodstock and
intraspecific hybrid juvenile performance of Egyptian African (M) and
Sangkuriang catfish strains at nursery phase. Intraspecific hybridization of African

catfish Clarias gariepinus was performed reciprocally (SM and MS) and
purebreed (SS and MM), each was 3 replicates. Fish spawning was conducted by
artificial fertilization, and larvae were reared at 1st, 2nd and 3rd nursery phases,
subsequently. The results showed that broodstock performance of both strains
were not significantly different (P>0.05) on all traits, except female’s
gonadosomatic index. Fertilization and hatching rates of all hybrids were not
significantly different (P>0.05). MM juvenile had higher growth performances
but lower survival than other hybrids. Heterosis of total length, standard length,
and body weight were varied, whereas the survival showed positive heterosis. SM
juvenile showed positive growth heterosis in 3rd nursery phase (total length,
standard length and body weight were 2.61; 2.16 and 4.79%, respectively).
Survival heterosis of MS juvenile (24.20; 103.13 and 11.62%) was higher than
SM juvenile (6.86; 48.57 and 3.09%) on all nursery phases.
Keywords: intraspecific hybridization, African catfish, growth, suvival, heterosis

PERFORMA REPRODUKSI INDUK DAN BENIH HIBRIDA
IKAN LELE AFRIKA STRAIN SANGKURIANG DAN MESIR
PADA FASE PENDEDERAN

PUTRI ZULFANIA


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan
pada
Departemen Budidaya Perairan

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

: Performa Reproduksi Induk dan Benih Hibrida Ikan Lele Afrika
Strain Sangkuriang dan Mesir pada Fase Pendederan
: Putri Zulfania .
Nama
: C14090041
NIM
Progra!11 Studi : Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya

Judul Skripsi

Disetujui oleh

cセ@
Prof Dr Ir Muhammad Zairin Junior, MSc
Pembimbing I

Tanggal Lulus:

? セ@ JUL 1013

10% per generasi dan umumnya diperlukan lebih dari 3
generasi sebelum ikan dapat disebar ke pembudidaya (Gjedrem 2012). Induk dari
berbeda famili atau berbeda populasi dapat disilangkan (hibridisasi) untuk
menghasilkan benih hibrida. Hibridisasi menghasilkan benih sebar yang dapat
langsung dibesarkan oleh pembudidaya dan kualitas benihnya memiliki efek
heterosis sekitar >10% lebih tinggi daripada kedua induknya (Guy et al. 2009).
Aplikasi rekayasa gen dapat meningkatkan kualitas genetik jauh lebih tinggi
daripada capaian seleksi dan hibridisasi, tetapi hingga saat ini ikan transgenik

belum ada yang diajukan untuk evaluasi keamanan hayati sebelum disebar ke
pembudidaya.
Menurut Goyard et al. (2008), hibridisasi menjadi salah satu cara efektif
untuk meningkatkan mutu genetik karena tekniknya sederhana dan tidak
memerlukan biaya tinggi serta dapat dilakukan dengan fasilitas dan kemampuan
sumber daya manusia yang terbatas. Hibridisasi biasanya dilakukan dengan tujuan
untuk meningkatkan laju pertumbuhan, transfer karakter yang diharapkan,
menggabungkan karakter yang diharapkan dari dua spesies/grup ke dalam

2
spesies/grup tunggal, mengurangi reproduksi yang tidak diinginkan melalui
produksi ikan steril (keturunan yang monoseks), serta meningkatkan toleransi
lingkungan (Bartley et al. 2001).
Beberapa contoh hibridisasi yang telah dilakukan adalah hibridisasi black
bream (Acanthopagrus butcheri Munro) (Doupé et al. 2003), hibridisasi chinook
salmon (Oncorhynchus tshawytscha) (Bryden et al. 2004), hibridisasi udang biru
Pasifik (Penaeus styrotris) (Goyard et al. 2008), hibridisasi ikan lele Afrika
(Clarias gariepinus) di Thailand (Wachirachaikarn et al. 2009), dan persilangan
dialel silver perch (Bidyanus bidyanus) di Australia (Guy et al. 2009). Hasil
hibridisasi ini diharapkan dapat menunjukkan karakteristik yang lebih baik dari

kedua sifat induknya (heterosis atau hybrid vigor) yang baik (Goyard et al. 2008;
Fjalestad 2005; Bartley et al. 2001). Berdasarkan data empiris dari udang biru
Pasifik, Goyard et al. (2008) menyebutkan bahwa persilangan yang dilakukan
antara populasi yang diintroduksi dengan jarak genetik yang berbeda dan
kemudian diisolasi, sehingga tanpa pengaruh dari inbreeding, akan menunjukkan
peningkatan performa dari efek heterosis yang dihasilkan. Wachirachaikarn et al.
(2009) juga merekomendasikan untuk memastikan adanya perbaikan dari
pergeseran genetik (genetic drift) dan inbreeding, perlu dilakukan introduksi stok
baru ikan lele Afrika (C. gariepinus) untuk dilakukan persilangan dengan stok
lokal yang telah diadaptasi sebelumnya. Hal ini juga telah dibuktikan oleh
Shikano dan Taniguchi (2002), yang menunjukkan hasil bahwa persilangan ikan
gapi (Poecilia reticulata) dari strain yang berbeda secara genetik (memiliki jarak
genetik yang jauh antar strain yang diukur menggunakan marka molekular)
memiliki heterosis dari karakter terkait yang signifikan.
Pemuliaan genetik ikan lele di Indonesia telah dilakukan oleh Sunarma et
al. (2005) dengan teknik silang-balik ikan lele Afrika yang telah diintroduksi di
Indonesia sejak 1985 dan menghasilkan ikan lele Sangkuriang. Ikan lele
Sangkuriang tersebut memiliki fekunditas dan pertumbuhan yang lebih tinggi
serta konversi pakan yang lebih rendah dibandingkan ikan lele dumbo yang saat
itu beredar di masyarakat. Pemuliaan ini dilatarbelakangi oleh adanya perkawinan

induk yang tidak terkontrol dengan baik oleh pembenih, maka indikasi penurunan
kualitas genetik benih ikan lele telah banyak dilaporkan oleh pembudidaya.
Strain ikan lele Afrika (C. gariepinus) yang terdapat di Indonesia
diantaranya adalah ikan lele Sangkuriang yang telah mengalami perbaikan genetik
sebelumnya (Sunarma et al. 2005) dan ikan lele Afrika yang diintroduksi dari
Mesir pada tahun 2007 oleh pemerintah daerah Provinsi Jawa Barat. Ikan lele
Afrika yang diintroduksi dari Mesir tersebut belum beredar di masyarakat,
sehingga dapat diduga belum terjadinya pergeseran genetik (genetic drift) dan
inbreeding seperti yang direkomendasikan sebelumnya oleh Wachirachaikarn et
al. (2009) sebelumnya. Upaya yang perlu dilakukan untuk menyelesaikan
permasalahan ini dengan adanya beberapa strain ikan lele Afrika yang
diintroduksi ke Indonesia adalah dengan teknik hibridisasi intraspesifik yang
merupakan persilangan antar individu sejenis yang berasal dari lokasi/populasi
berbeda (Bakos dan Gorda 1995; Hulata 2001). Hibridisasi intraspesifik antara
ikan lele strain Sangkuriang F3 dengan strain Mesir F1 secara resiprokal ini
diharapkan dapat memperbaiki mutu genetik benih ikan lele dalam arti perbaikan
pertumbuhan dan kelangsungan hidup yang baik berdasarkan nilai heterosis yang
positif.

3

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi performa reproduksi dan benih
hibrida ikan lele Afrika strain Sangkuriang dan Mesir pada fase pendederan.

METODE
Rancangan Penelitian
Persilangan ikan lele Afrika strain Sangkuriang (S) dan Mesir (M)
dilakukan secara resiprokal termasuk persilangan galur murni. Setiap strain dibuat
3 persilangan sebagai ulangan (Tabel 1).
Tabel 1 Perlakuan persilangan antara ikan lele Afrika strain Sangkuriang (S) dan
Mesir (M)


S1
S2
S3
M1
M2
M3


S1

S2

S3

M1

M2

M3

S1S1
S1M1
-

S2S2
S2M2
-


S3S3
S3M3

M1S1
M1M1
-

M2S2
M2M2
-

M3S3
M3M3

Keterangan:
♀: betina, ♂: jantan

Prosedur Penelitian
Materi uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah 2 strain/populasi ikan
lele Afrika introduksi, yaitu strain Sangkuriang dan Mesir yang dimiliki oleh
BBPBAT Sukabumi. Induk dari masing-masing strain tersebut berjumlah 3 jantan
dan 3 betina yang digunakan untuk membuat 12 persilangan.
Pemilihan induk matang gonad
Induk matang gonad yang dipilih adalah masing-masing 3 ekor betina dan
jantan ikan lele Sangkuriang, dan 3 ekor ikan lele betina dan jantan Mesir. Induk
betina yang dipilih memiliki ciri-ciri alat kelamin membulat, perut membesar dan
agak lembek. Kematangan gonad betina dipastikan dengan melakukan
pengambilan sampel telur secara intra ovarian biopsy menggunakan selang
kateter. Induk jantan yang dipilih memiliki ciri-ciri papilla memanjang yang telah
melewati pangkal sirip ekor dengan ujungnya kemerahan dan tubuhnya ramping.
Induk matang gonad yang telah dipilih selanjutnya ditimbang bobot tubuhnya.
Induk terpilih dimasukkan ke bak fiber dengan diameter 1,5 meter sebagai wadah
penampungan.

4
Pemijahan induk
Induk ikan lele Afrika dipijahkan secara buatan. Induk ikan lele betina
diberi rangsangan hormonal dengan penyuntikan ovaprim dengan dosis 0,2 mL/kg
induk secara intramuskular. Setelah 12 jam penyuntikan, induk dicek kembali
untuk mengetahui kesiapan ovulasi. Setiap induk jantan dibedah untuk diambil
kantung spermanya. Kantung sperma tersebut dibuka dan sperma ditampung
dalam wadah yang telah diisi larutan fisiologis NaCl 0,9% sebagai media
pengencer dengan rasio pengenceran 1 : 100 (sperma : larutan fisiologis). Setelah
induk betina dipastikan telah mengalami ovulasi, induk betina kemudian
distripping untuk mengeluarkan telurnya. Telur yang berasal dari 1 betina tersebut
dibagi dalam 2 wadah dan kemudian ditambahkan cairan sperma sesuai perlakuan
(Tabel 1). Telur yang telah ditambahkan cairan sperma tersebut kemudian diaduk
menggunakan bulu unggas hingga rata.
Penebaran dan penetasan telur
Telur yang telah diaduk secara rata kemudian ditambahkan sedikit air.
Telur tersebut kemudian ditebar secara merata pada hapa halus berukuran 2 m x 1
m di bak fiber 4 m x 2 m x 0,5 m yang sebelumnya telah disiapkan. Saringan juga
disiapkan sebagai wadah sampel penghitungan telur untuk menghitung derajat
penetasannya. Penetasan telur juga dilakukan pada wadah hapa tersebut.
Pendederan
Larva berumur 4 hari dipanen dan dihitung sebanyak 1500 ekor untuk
setiap perlakuan kemudian dipindahkan ke dalam akuarium dengan dimensi 80
cm x 60 cm x 40 cm (volume air 100 L) dengan kepadatan 15 ekor/liter. Pakan
berupa cacing sutera yang dicacah diberikan selama 7-10 hari secara ad libitum
dan dilakukan overlapping dengan pakan tepung buatan kadar protein 40% pada
hari ke-8 hingga hari ke-15. Pemberian pakan buatan dilakukan secara at satiation
(sekenyangnya) dengan frekuensi 3 kali sehari saat dilakukan pergantian air dan 4
kali sehari pada kondisi normal. Kegiatan sortasi dilakukan pada akhir kegiatan
pendederan 1 dengan memilih benih dengan ukuran rataan untuk dipelihara lebih
lanjut pada pendederan 2. Pergantian air sebanyak 30-50% dilakukan setiap 7 hari
sekali. Pendederan 1 dilakukan selama 3 minggu.
Benih dengan ukuran sekitar rerata populasi dari setiap perlakuan disortasi
dan selanjutnya dipelihara kembali pada pendederan 3 dengan kepadatan 5
ekor/liter. Pendederan ketiga dilakukan dalam wadah akuarium dengan dimensi
80 cm x 60 cm x 40 cm (volume air 100 L). Pakan yang diberikan adalah pakan
buatan berbentuk tepung kadar protein 40% pada minggu pertama dan dilakukan
overlapping dengan pakan crumble (butiran halus) kadar protein 39-41% pada
akhir minggu pertama dan dilanjutkan dengan pakan yang sama hingga minggu
ketiga. Pemberian pakan dilakukan secara at satiation (sekenyangnya) dengan
frekuensi 3 kali sehari saat dilakukan pergantian air dan 4 kali sehari pada kondisi
normal. Kegiatan sortasi dilakukan pada akhir kegiatan pendederan 2 juga
dilakukan dengan memilih benih dengan ukuran rataan untuk dipelihara lebih
lanjut pada pendederan 3. Pergantian air sebanyak 50-70% dilakukan setiap 5 hari
sekali. Pendederan 2 dilakukan selama 4 minggu.
Benih yang telah disortasi dan dihitung dipelihara kembali untuk
dilanjutkan ke stadia pendederan 3 pada setiap perlakuan dengan kepadatan 5

5
ekor/liter dalam wadah akuarium dengan dimensi 80 cm x 60 cm x 40 cm (volume
air 100 L). Pakan yang diberikan adalah pakan buatan dengan kadar protein 3941% berdiameter 0,4-0,5 mm pada minggu pertama hingga pertengahan minggu
kedua dan dilakukan overlapping dengan pakan buatan kadar protein 39-41%
berdiameter 0,7 – 0,8 mm pada minggu kedua dan dilanjutkan dengan pakan
yang sama hingga minggu ketiga. Pemberian pakan dilakukan secara at satiation
(sekenyangnya) dengan frekuensi 3 kali sehari saat dilakukan pergantian air dan 4
kali sehari pada kondisi normal. Kemudian benih dipanen dan dihitung jumlah
akhirnya. Pergantian air sebanyak 80-100% dilakukan setiap 3 hari sekali.
Pendederan 3 dilakukan selama 4 minggu.
Pengukuran kualitas air
Pengukuran kualitas air dilakukan selama pemeliharaan larva dan benih.
Parameter harian yang diukur adalah suhu, pH, dan DO, sedangkan parameter
mingguan yang diukur adalah amoniak. Seluruh parameter tersebut diukur
menggunakan multi-checker (Horiba model-W23XD).

Parameter Uji
Parameter yang diamati dalam penelitian ini meliputi performa reproduksi
induk, derajat pembuahan (fertilization rate, FR) dan derajat penetasan (hatching
rate, HR), serta performa benih berupa pertumbuhan panjang dan bobot, tingkat
kelangsungan hidup (KH), laju pertumbuhan spesifik panjang dan bobot,
biomassa panen, distribusi ukuran, nilai heterosis, dan rasio proporsi tubuh.
Performa reproduksi induk
Performa reproduksi induk yang diamati meliputi indeks gonado-somatik
(GSI), diameter dan fekunditas telur betina, serta motilitas dan kepadatan
spermatozoa. Indeks gonado-somatik (GSI) merupakan persentase bobot gonad
jantan atau betina terhadap bobot tubuh.
Diameter telur diukur pada saat pemilihan induk. Sampel telur yang diambil
dengan cara intra ovarian biopsy diukur menggunakan mikroskop dilengkapi
dengan mikrometer pada perbesaran 40 kali. Fekunditas merupakan jumlah telur
per kilogram induk betina. Sampel telur ditimbang untuk mengetahui bobotnya
dan dihitung jumlahnya kemudian digunakan untuk menghitung fekunditas.
Motilitas dan kepadatan spermatozoa dihitung dari sampel sperma yang
diambil. Motilitas (%) dan kepadatan spermatozoa (sel spermatozoa mL-1)
dihitung dari sampel sperma yang diencerkan 1000 kali menggunakan larutan
fisiologis. Motilitas spermatozoa diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran
100 kali segera setelah aktivasi sel spermatozoa. Aktivasi dilakukan dengan
penambahan air (8 μL) terhadap cairan sperma (2 μL). Motilitas sperma diamati
dengan menghitung persentase sel spermatozoa yang bergerak aktif. Penghitungan
kepadatan spermatozoa dilakukan menggunakan haemocytometer dangan
pengambilan 5 bidang pandang. Kepadatan sel spermatozoa
dihitung
menggunakan rumus sebagai berikut.

6

Derajat pembuahan (FR)
Derajat pembuahan telur (FR) merupakan persentase jumlah telur lele
yang terbuahi dengan jumlah telur hasil pemijahan yang dihitung pada saringan
sebagai wadah sampel perlakuan. Telur ikan lele yang dibuahi memiliki ciri-ciri
berwarna hijau, sedangkan telur yang tidak terbuahi berwarna putih susu. Telur
ikan lele yang dibuahi dihitung 10-12 jam setelah proses pembuahan.
Derajat penetasan (HR)
Derajat penetasan telur (HR) merupakan persentase jumlah larva yang
menetas dengan jumlah telur yang dibuahi yang dihitung pada saringan sebagai
wadah sampel perlakuan. Larva hasil penetasan dihitung 36-40 jam setelah proses
pembuahan.
Tingkat kelangsungan hidup
Tingkat kelangsungan hidup (KH) merupakan persentase ikan lele yang
hidup pada setiap akhir stadia pendederan. Penghitungan tingkat kelangsungan
hidup ikan lele berdasarkan rumus Effendie (1997).
Laju pertumbuhan spesifik
Laju pertumbuhan spesifik atau persentase pertambahan bobot atau
panjang setiap hari dikenal dengan istilah spesific growth rate (SGR). Nilai SGR
dihitung berdasarkan rumus Huissman (1987).
Distribusi ukuran benih
Distribusi ukuran benih merupakan persentase ukuran benih yang terdapat
pada setiap perlakuan. Persentase dihitung berdasarkan ukuran benih pada setiap
akhir stadia pendederan.
Nilai heterosis
Heterosis merupakan perbandingan rataan hibrida (hybrid) dengan rataan
galur murni (purebreed). Tujuan dilakukan penghitungan heterosis ini untuk
menentukan persilangan yang memiliki kualitas genetik lebih dari tetuanya (Tave
1986; Goyard et al. 2008). Heterosis dapat dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut.

(Goyard et al. 2008)

Rasio proporsi tubuh
Pengukuran panjang standar tubuh (PS) dan panjang kepala (PK)
berdasarkan Gambar 1 terhadap 30 sampel dari masing-masing perlakuan
dilakukan untuk mengetahui rasio antar hibrida yang dilakukan pada akhir
penelitian. Rasio tersebut dapat dihitung menggunakan rumus di bawah ini.

7

Sumber : SNI (01-6484-3-2000)

Gambar 1 Pengukuran panjang standar (1) dan panjang kepala (2) pada ikan lele
berdasarkan SNI (2000)
Analisis data
Data performa reproduksi dan benih dianalisis statistik menggunakan
program Microsoft Excel 2010 dan Minitab16.0. Fenotipe kuantitatif dari
performa reproduksi yang meliputi performa induk, derajat pembuahan, derajat
penetasan, kelangsungan hidup, laju pertumbuhan spesifik, dan biomassa panen
dianalisis menggunakan pengujian one-way ANOVA dan uji lanjut Tukey’s. Data
distribusi ukuran, nilai heterosis, performa fenotipe hibrida, dan data kualitas air
dianalis secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Performa induk
Performa induk betina ikan lele strain Sangkuriang dan Mesir (Tabel 2)
adalah tidak berbeda nyata (P>0,05) pada parameter bobot tubuh, fekunditas telur,
dan diameter telur. Nilai GSI induk betina pada ikan lele Sangkuriang lebih tinggi
(P0,05) antar kedua strain pada
performa induk jantan (Tabel 3). Hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05) juga
terdapat pada parameter derajat pembuahan (FR) dan derajat penetasan (HR) pada
semua persilangan (Tabel 4).
Tabel 2 Performa induk betina ikan lele Afrika strain Sangkuriang dan Mesir
Parameter
Ikan lele strain Sangkuriang
Ikan lele strain Mesir
a
Bobot Tubuh (kg)
5,41±1,13
3,10±0,39a
Fekunditas (telur/kg
78.594,00±7.050,45a
63.862,79±5.637,75a
induk)
GSI (%)
14,94±0,44a
11,27±1,21b
Diameter Telur (mm)
1,61±0,05a
1,54±0,05a
Data menunjukkan rataan ± SE; GSI: indeks gonado-somatik; huruf berbeda pada setiap parameter
menunjukkan perbedaan yang nyata (P0,05) dengan benih SM dan MS. Pada stadia pendederan 3,
pertumbuhan panjang total, panjang standar dan bobot tubuh menunjukkan benih
MM (10,74±0,09 cm untuk panjang total, 9,36±0,09 cm untuk panjang standar,
dan 9,44±0,76 g untuk bobot tubuh) lebih tinggi dibandingkan persilangan SS dan
MS, tetapi tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan benih SM.

9

Panjang Total (cm)

12

SS

10

SM

8

MS

a

ab

b

b

MM

6

a

4
a

a

2

a

a

a

a

a

0
P1

P2
Stadia Pemeliharaan

P3

Gambar 2 Pertumbuhan panjang total (rataan ± SE) benih hasil hibridisasi
intraspesifik ikan lele Afrika secara resiprokal. S: strain Sangkuriang,
M: strain Mesir, P1: stadia pendederan 1, P2: stadia pendederan 2, P3:
stadia pendederan 3, persilangan yang digunakan betina (♀) dan jantan
(♂), huruf berbeda pada setiap stadia pemeliharaan menunjukkan
perbedaan yang nyata (P0,05). Kelangsungan hidup benih MS lebih tinggi secara
nyata menunjukkan benih MS lebih tahan terhadap proses penanganan pada stadia
pendederan 2 dibandingkan ketiga persilangan lainnya. Hal ini menunjukkan
bahwa proses penanganan benih lele sangat rentan dilakukan pada stadia
pendederan 2. Tingkat kelangsungan hidup ikan lele dipelihara di kolam dari
benih ukuran 2-3 gram hingga 16-20 gram (setara dengan stadia pendederan 3)
dapat mencapai sekitar 80% (Yong-Sulem et al. 2006).
Rendahnya tingkat kelangsungan hidup pada benih persilangan MM dapat
disebabkan oleh tingginya persentase benih jumper pada persilangan ini
dibandingkan persilangan lainnya. Tingginya persentase jumper tersebut
mengakibatkan kanibalisme dalam populasi ini cukup tinggi, sehingga berdampak
pada tingkat kelangsungan hidup yang rendah. Adanya benih berukuran jumper
yang menunjukkan tingginya variasi ukuran juga terjadi pada penelitian Rezk
(2008). Terjadinya kanibalisme disebabkan oleh agresivitas benih ikan lele yang
cukup tinggi, hal ini sama seperti yang dikemukakan oleh Mukai et al. (2013)
yang mengatakan bahwa faktor kanibalisme disebabkan oleh perilaku agresif dan
gigi tajam yang dimiliki benih ikan lele yang dapat melukai individu lainnya.
Selain performa benih yang diamati secara langsung, heterosis (hybrid
vigour) juga diamati karena merupakan komponen penting dalam kegiatan
hibridisasi. Nilai heterosis tersebut dihasilkan dengan membandingkan hibrida
terhadap rataan tetuanya pada persilangan galur murni dengan spesies atau strain

16
yang berbeda sehingga dapat diketahui kelemahan dan kelebihan hasil persilangan
pada berbagai parameter (Tave 1986; Fjalestad 2005). Nilai heterosis yang
didapatkan pada penelitian ini menunjukkan hasil yang bervariasi. Berdasarkan
hasil yang diperoleh, nilai heterosis kelangsungan hidup dari persilangan SM pada
pendederan 1, 2 dan 3 (6,86; 48,57 dan 3,09%) dan MS (24,20; 103,13 dan
11,62%) menunjukkan nilai yang positif dibandingkan dengan rataan galur
murninya pada setiap stadia pendederan. Hasil ini lebih baik dibandingkan dengan
nilai heterosis kelangsungan hidup yang didapatkan pada hibridisasi ikan lele
Afrika (-7,2 dan 5,67%) di Thailand (Wachirachaikarn et al. 2009) dan
persilangan dialel silver perch (-0,058 dan -0,024%) di Australia (Guy et al.
2009).
Secara umum, nilai heterosis yang ditunjukkan oleh benih persilangan SM
dan MS pada penelitian ini bernilai positif, meskipun ada beberapa nilai heterosis
yang menunjukkan hasil negatif. Nilai heterosis yang rendah (