Status Fisiologis Dan Performa Pedet Peranakan Friesian Holstein Prasapih Yang Diinokulasi Bakteri Pencerna Serat Dengan Pakan Bersuplemen Kobalt

(1)

STATUS FISIOLOGIS DAN PERFORMA PEDET PERANAKAN

FRIESIAN HOLSTEIN PRASAPIH YANG DIINOKULASI

BAKTERI PENCERNA SERAT DENGAN PAKAN

BERSUPLEMEN KOBALT

SKRIPSI

AHMAD HADZIQ

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(2)

RINGKASAN

AHMAD HADZIQ. D24062504. 2011. Status Fisiologis dan Performa Pedet Peranakan Friesian Holstein Prasapih yang Diinokulasi Bakteri Pencerna Serat dengan Pakan Bersuplemen Kobalt. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, MAgrSc.

Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Dwierra Evvyernie Amirroenas, MS., MSc.

Masa prasapih pada pedet merupakan periode kritis dan sangat rentan terhadap perubahan pakan maupun kondisi lingkungan. Beberapa hari setelah lahir, pedet sangat tergantung pada nutrien asal susu karena mikroba di dalam rumen belum berkembang dengan baik sehingga belum mampu mencerna komponen pakan padat. Upaya percepatan peningkatan konsumsi pakan padat dan penyapihan perlu dilakukan untuk mengurangi biaya penyapihan pedet.

Perkembangan mikroba dan saluran pencernaan pedet diharapkan dapat dipercepat dengan cara inokulasi bakteri pencerna serat asal rumen kerbau. Perkembangan mikroba rumen yang lebih cepat, memungkinkan mikroba rumen menghasilkan vitamin B kompleks termasuk vitamin B12. Inokulasi bakteri pencerna

serat dan suplementasi kobalt (Co) dapat membantu sintesis vitamin B12 oleh

mikroba dalam rumen pedet. Vitamin B12 hasil sintesis mikroba dapat diserap tubuh

dan meningkatkan sintesis butir darah merah (BDM) sehingga dapat memperbaiki status fisiologis dan nafsu makan pedet. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh inokulasi bakteri pencerna serat terhadap konsumsi nutrien, profil darah, status fisiologis, pertambahan bobot badan (PBB), dan ukuran tubuh pada pedet yang mendapat ransum bersuplemen kobalt.

Penelitian ini dilaksanakan bulan November 2009 sampai dengan Maret 2010 di kandang sapi perah Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Hewan percobaan yang digunakan terdiri atas 9 ekor pedet peranakan Friesian Holstein

(PFH) periode prasapih dengan rataan bobot badan 37,33 ± 5,34 kg. Sebanyak 5 pedet mendapatkan perlakuan kontrol dan 4 pedet mendapat perlakuan inokulasi. Kedua perlakuan dialokasikan dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Pedet dalam perlakuan inokulasi, diinokulasi dengan isolat bakteri pencerna serat sebanyak 20 ml/hari. Peubah yang diamati adalah konsumsi susu dan calf starter, konsumsi Co, kandungan Co darah, butir darah merah (BDM), hemoglobin (Hb), hematokrit (packed cell volume/PCV), denyut jantung, laju respirasi, suhu rektal, pertambahan bobot badan (PBB), dan ukuran tubuh. Data yang diperoleh dianalisis dengan Uji-t.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi segar, konsumsi BK, nilai rataan profil darah dan pertambahan bobot badan pada pedet perlakuan inokulasi lebih tinggi daripada pedet kontrol. Konsumsi BK mempengaruhi konsumsi kobalt. Bobot badan akhir dan ukuran tubuh pedet perlakuan inokulasi lebih besar (P<0,05) dibandingkan pedet kontrol. Nilai rataan denyut jantung, laju respirasi, dan suhu rektal pada pedet perlakuan inokulasi lebih rendah (P<0,05) daripada pedet kontrol. Hal ini mengindikasikan bahwa inokulasi bakteri pencerna serat berpotensi mempengaruhi kemampuan termoregulasi pedet dalam beradaptasi dengan lingkungan.


(3)

ABSTRACT

Physiologal Status and Performance of Friesian Holstein Grade Pre-Weaning Calves Inoculated with Fiber Degrading Bacteria and Offered Diet

Supplemented with Cobalt

A. Hadziq, T. Toharmat, D. E. Amirroenas

Calves are very suceptible to feed and environmental condition. Blood circulation including red blood cell has important roles in adaptation process and thermoregulation in calves. Red blood synthesis is affected by availability of cobalamin. Sinthesis and availability of cobalamin depends upon the ruminal microbes activitis. The present experiment was designed to evaluate the influence of inoculation of fiber degrading bacteria. Nine new born Friesian Holstein grade calves were used in the experiment. Four calves were inoculated with fiber degrading bacteria and other 5 calves were control. Calves were offered milk and calf starter supplemented with cobalt (Co) for four weeks. Dry matter and Co intake, body weight, rectal temperature, heart beat, respiration rate and body size were determined weekly, whereas blood components and Co content were determined at the end of the experimental period. Data were analysed statistically using t-Test. Dry matter intake, weight gain, red blood cell, hematocrite and hemoglobine of calves in control group were lower than that of calves inoculated by fiber degrading bacteria. However, heart beat, respiration rate and rectal temperature of the calves in the control group were higher than that of calves inoculated fiber degrading bacteria. It was concluded that inoculation of fiber degrading bacteria into the rumen of pre weaning calves increased dry matter intake, weight gain and improve the adaptation capability of calves to environmental condition.


(4)

STATUS FISIOLOGIS DAN PERFORMA PEDET PERANAKAN

FRIESIAN HOLSTEIN PRASAPIH YANG DIINOKULASI

BAKTERI PENCERNA SERAT DENGAN PAKAN

BERSUPLEMEN KOBALT

AHMAD HADZIQ D24062504

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(5)

Judul : Status Fisiologis dan Performa Pedet Peranakan Friesian Holstein Prasapih yang Diinokulasi Bakteri Pencerna Serat dengan Pakan Bersuplement Kobalt

Nama : Ahmad Hadziq NIM : D24062504

Menyetujui,

Pembimbing Utama,

(Prof.Dr.Ir. Toto Toharmat, MAgrSc.) NIP. 19590902 198303 1 003

Pembimbing Anggota,

(Dr.Ir. Dwierra Evvyernie A., MS.,MSc.) NIP. 19610602 198603 2 001

Mengetahui: Ketua Departemen

Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

(Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr.) NIP: 19670506 199103 1 001


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cirebon, Jawa Barat, pada tanggal 02 September 1988. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara, terlahir dari pasangan Bapak A. H. Hidayat dan Ibu Sri Hayati.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar hingga sekolah menengah atas di Cirebon. Penulis memulai pendidikan di bangku taman kanak-kanak pada tahun 1992 di TK Sabilul Khairat Cirebon. Setelah penulis menyelesaikan pendidikan di bangku TK, penulis melanjutkan sekolah di SDI Al Azhar Cirebon dan penulis berhasil menyelesaikannya pada tahun 2000. Kemudian penulis menyelesaikan sekolah menengah pertama di SLTPN 4 Cirebon pada tahun 2003 dan menyelesaikan sekolah menengah atas di SMA Muhammadiyah 1 Cirebon pada tahun 2006. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui program USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan diterima di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan pada tahun 2007.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam IKC IPB sebagai kadiv kerohanian periode 2007-2008, anggota IKC IPB tahun 2006-sekarang, dan HIMASITER (Himpunan Mahasiswa Nutrisi Ternak) periode 2008-2009 sebagai anggota Biro Khusus Kewirausahaan (BKK). Penulis pernah mengikuti program


(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’aalamin.

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala nikmat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Skripsi berjudul “Status Fisiologis dan Performa Pedet Peranakan Friesian Holstein Prasapih yang Diinokulasi Bakteri Pencerna Serat dengan Pakan Bersuplemen Kobalt” ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis mulai bulan November 2009 sampai Maret 2010 di kandang sapi perah dan Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (IPB).

Penyusunan skripsi ini merupakan wujud peran aktif dan kontribusi dalam industri dan dunia peternakan. Semoga skripsi ini bermanfaat dalam dunia pendidikan dan peternakan serta menjadi catatan amal shaleh. Amiin.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang membantu penyusunan skripsi ini, hanya Allah Yang Maha Pemurah dan Penyayang yang akan membalasnya.

Bogor, Januari 2011


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... i

ABSTRACT ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

RIWAYAT HIDUP ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 1

TINJAUAN PUSTAKA ... 2

Pedet Sapi Friesian Holstein ... 2

Perkembangan Saluran Pencernaan dan Penyapihan Pedet ... 2

Kondisi Fisiologis Pedet dan Lingkungan ... 3

Pertumbuhan dan Ukuran Tubuh Ternak ... 4

Darah dan Komponennya ... 4

Probiotik dan Fungsinya ... 5

Pakan dan Kebutuhan Nutrien ... 6

Faktor Lingkungan dan Konsumsi Pakan ... 7

Suplementasi Mineral ... 8

Mineral Kobalt (Co) ... 8

Cobalamin (B12) ... 9

MATERI DAN METODE ... 10

Lokasi dan Waktu ... 10

Materi ... 10

Alat ... 10

Bahan ... 10

Ternak Percobaan ... 11

Metode ... 11

Perlakuan ... 11

Pembuatan Ransum dan Pemeliharaan Ternak ... 11

Penyiapan Probiotik ... 12

Pengukuran Suhu dan Kelembaban Lingkungan ... 13


(9)

Peubah yang Diamati ... 13

Konsumsi Calf Starter ... 14

Analisa Kandungan Kobalt dalam Pakan dan Darah ... 14

a. Pengabuan Basah (Wet Ashing) ... 14

b. Pengukuran Mineral ... 14

Profil Darah ... 15

Denyut Jantung, Laju Respirasi, dan Suhu Rektal ... 15

Pertambahan Bobot Badan ... 15

Suhu dan Kelembaban Lingkungan ... 15

Ukuran Tubuh ... 16

Analisis Data ... 16

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17

Konsumsi Susudan Calf Starter ... 17

Konsumsi Co Pakan dan Kandungan Co Darah ... 18

Profil Darah Pedet Percobaan ... 19

Denyut Jantung, Respirasi, dan Suhu Rektal ... 20

Pertambahan Bobot Badan (PBB) Pedet ... 24

Ukuran Tubuh Pedet ... 25

KESIMPULAN DAN SARAN ... 28

Kesimpulan ... 28

Saran ... 28

UCAPAN TERIMAKASIH ... 29

DAFTAR PUSTAKA ... 31


(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Kandungan Nutrien Calf Starter (% BK) yang Digunakan dalam Penelitian ... 10 2. Rataan Konsumsi Susu dan Calf Starter pada Pedet Prasapih tanpa

atau dengan Inokulasi Bakteri Pencerna Serat ... 17 3. Konsumsi Co Pakan dan Kandungan Co Darah Pedet Prasapih tanpa

atau dengan Inokulasi Isolat Bakteri Pencerna Serat ... 19 4. Nilai Rataan Profil Darah Pedet Prasapih tanpa atau dengan

Inokulasi Isolat Bakteri Pencerna Serat ... 19 5. Rataan Denyut Jantung, Respirasi, dan Suhu Rektal Pedet tanpa atau

dengan Inokulasi Isolat Bakteri Pencerna Serat ... 21 6. Rataan Bobot Badan (BB) dan Pertambahan Bobot Badan (PBB) ... 25 7. Rataan Ukuran Tubuh Pedet tanpa atau dengan Inokulasi Isolat


(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Kandang Penelitian ... 10 2. Pedet yang Digunakan dalam Penelitian ... 11 3. Pemberian Isolasi Bakteri Pencerna Serat pada Pedet dengan Cara

Dicekok ... 11 4. Pembuatan Calf Starter ... 12 5. Isolat Bakteri yang Sudah Ditumbuhkan pada Susu Segar Steril …... 13 6. Suhu dan Kelembaban Lingkungan dalam Kandang Pedet Selama

Penelitian ... 23 7. Korelasi Suhu Rektal dan Suhu Lingkungan pada Pagi Hari ………. 24 8. Korelasi Suhu Rektal dan Suhu Lingkungan pada Sore Hari ………. 24 9. Perkembangan Bobot Badan Pedet tanpa atau dengan Inokulasi


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Uji-t Konsumsi Susu dan Calf Starter ... 34

2. Uji-t Konsumsi Co Pakan dan Kandungan Co Darah ... 34

3. Uji-t Nilai Profil Darah Pedet ... 34

4. Uji-t Denyut Jantung, Respirasi, dan Suhu Rektal Pedet ... 34

5. Uji-t Bobot Badan (BB) dan Pertambahan Bobot Badan (PBB) ... 35


(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masa prasapih pada pedet merupakan periode kritis dan sangat rentan terhadap perubahan pakan maupun kondisi lingkungan. Beberapa hari setelah lahir, pedet sangat tergantung pada nutrien susu karena mikroba di dalam rumen belum berkembang dengan baik sehingga belum mampu mencerna komponen pakan padat. Konsumsi susu yang tinggi pada pedet, menyebabkan biaya pakan dan biaya pembesaran pedet yang tinggi. Upaya percepatan peningkatan konsumsi pakan padat dan penyapihan perlu dilakukan untuk mengurangi biaya pembesaran pedet.

Konsumsi dan pencernaan pakan padat dapat merangsang perkembangan mikroba dan saluran pencernaan pedet. Perkembangan mikroba dan saluran pencernaan diharapkan dapat dipercepat dengan cara inokulasi bakteri. Inokulasi bakteri pencerna serat (probiotik) asal rumen kerbau diharapkan dapat mempercepat kemampuan pedet dalam mencerna pakan padat khususnya komponen serat. Pencernaan serat meningkatkan produksi volatile fatty acids (VFA) dalam rumen. Produk fermentasi tersebut mampu merangsang pertumbuhan papil rumen. Konsumsi ransum yang telah mencapai jumlah 500-700 g/hari (Jones & Heinrichs, 2007), mengindikasikan bahwa rumen pedet telah berkembang dengan baik.

Inokulasi bakteri pencerna serat (probiotik) dan suplementasi kobalt (Co) dapat membantu proses sintesis vitamin B12 oleh mikroba dalam saluran pencernaan.

Perkembangan mikroba rumen yang lebih cepat, memungkinkan mikroba rumen menghasilkan vitamin B kompleks termasuk vitamin B12. Vitamin B12 hasil sintesis

mikroba dapat diserap darah dan mempengaruhi sintesis butir darah merah (proses pematangan sel-sel darah merah) sehingga dapat memperbaiki status fisiologis dan nafsu makan pedet. Vitamin B12 juga diperlukan untuk metabolisme sel terutama

dalam saluran pencernaan, sumsum tulang, jaringan syaraf, dan sel-sel pertumbuhan, serta untuk mempercepat pertumbuhan.

Tujuan

Mengetahui pengaruh inokulasi bakteri pencerna serat terhadap konsumsi nutrien, profil darah, status fisiologis, dan pertambahan bobot badan pada pedet peranakan Friesian Holstein prasapih yang mendapat ransum bersuplemen kobalt.


(14)

TINJAUAN PUSTAKA

Pedet Sapi Friesian Holstein

Sapi Fries Hollands (FH) berasal dari propinsi Belanda Utara dan propinsi Friesland Barat. Sapi FH di Amerika Serikat disebut Holstein Friesian atau Holstein dan di Eropa disebut Friesian. Sapi FH adalah sapi perah yang mempunyai produksi susu tertinggi dibandingkan sapi perah lainnya, tetapi kadar lemak susu sapi FH rendah. Rata-rata produksi susu sapi FH di Amerika Serikat adalah 7.245 kg/laktasi dengan kadar lemak 3,65%, sedangkan rata-rata produksi susu di Indonesia adalah 10 liter/ekor/hari atau kurang lebih 3.050 kg/laktasi.

Sapi FH termasuk bangsa sapi yang mempunyai daya tahan terhadap panas paling rendah, sehingga iklim di daerah pemeliharaan perlu dipertimbangkan. Cekaman panas dapat mempengaruhi suhu tubuh dan metabolisme, sehingga dapat menimbulkan terjadinya penimbunan panas dalam tubuh ternak. Penimbunan panas yang berlangsung terus-menerus akan membuat proses pernapasan tinggi sehingga kebutuhan oksigen untuk metabolisme juga tinggi. Pakan yang cukup diperlukan agar dapat mempertahankan pertumbuhan dan produksinya (Ungerer, 1985).

Bobot lahir pedet sapi FH berkisar 30-50 kg (Smith & Mangkoewidjojo, 1988). Menurut Parakkasi (1999), bobot lahir dipengaruhi oleh jenis kelamin, bangsa, bobot induk, umur induk, dan lama kebuntingan. Anak sapi yang baru lahir memiliki empat bagian perut, tetapi hanya abomasum yang dapat berfungsi (Roy, 1980).

Perkembangan Saluran Pencernaan dan Penyapihan Pedet

Saluran pencernaan pedet saat lahir belum berkembang dan berfungsi dengan baik, sehingga belum mampu untuk mencerna pakan padat, rumput, atau sumber serat lainnya. Oleh karena itu, pemberian pakan padat dan hijauan (pakan sumber serat) pada pedet dilakukan secara bertahap. Saat pedet baru dilahirkan, pakan pertama yang harus diberikan adalah kolostrum karena pedet hanya mampu memanfaatkan nutrien susu, kemudian meningkat dengan pemberian susu induk atau susu pengganti, pakan padat, dan rumput.

Perkembangan dan pertumbuhan pedet setelah lahir sangat bergantung pada jumlah dan kualitas pakan yang diberikan (Salisbury & Van Demark, 1985). Pada saat lahir, perut depan pedet belum berkembang seperti pada ruminan dewasa. Bobot


(15)

abomasum pedet sekitar setengah berat perut total. Setelah lahir, rumen, retikulum, dan omasum akan terus berkembang hingga berfungsi baik. Pedet memulai tahap transisi pada umur 5 minggu dan berakhir umur 12 minggu. Pada tahap ini, pola metabolisme karbohidrat berubah. Penggunaan glukosa secara langsung yang diserap dari usus halus sebagai hasil hidrolisis laktosa mulai hilang dan proses glukoneogenesis asal propionat mulai muncul (Arora, 1989).

Menurut Williamson & Payne (1993), rumen berfungsi dengan baik setelah anak sapi berumur dua bulan atau jika anak sapi telah mengkonsumsi pakan padat (rumput atau kosentrat). Menurut Arora (1989), perkembangan rumen dipengaruhi oleh: (1) pakan kasar yang merupakan stimulus fisik bagi perkembangan kapasitas rumen, (2) produk fermentasi yang merupakan stimulus kimia bagi perkembangan papil-papil rumen. Setelah ternak mengkonsumsi pakan berserat tinggi, maka bobot rumen menjadi lebih berat daripada ternak yang tidak mengkonsumsi hijauan.

Menurut Roy (1980), air susu maupun pakan cair dapat langsung masuk ke dalam abomasum anak sapi melalui saluran khusus yang disebut oesophageal groove. Saluran ini terbentuk secara refleks saat protein susu terlarut diberikan. Sebelum anak sapi berumur 8 minggu, refleks pembentukan oesophageal groove

dapat dirangsang menggunakan air. Tetapi setelah anak sapi berumur lebih dari 8 minggu, maka refleksnya akan berkurang.

Penyapihan dini pada pedet dapat dilakukan pada umur 3-4 bulan (Parakkasi, 1999). Perpanjangan umur sapih dapat menurunkan keuntungan ekonomis, meningkatkan biaya pakan, dan menghambat perkembangan rumen.

Kondisi Fisiologis Pedet dan Lingkungan

Menurut Smith & Mangkoewidjojo (1988), sapi dewasa mempunyai denyut jantung 40-58 kali/menit, respirasi 27-40 kali/menit, dan suhu rektal 38-39 °C dengan rataan 38,6 °C. Semakin muda umur ternak, frekuensi denyut nadi akan semakin meningkat. Hal ini berarti bahwa indikator fisiologis seperti frekuensi denyut nadi, frekuensi respirasi, dan suhu rektal pada ternak muda lebih tinggi dibandingkan dengan ternak yang lebih tua.

Salah satu upaya tubuh ternak untuk mempertahankan keseimbangan panas tubuh saat suhu udara dalam kandang meningkat adalah dengan cara meningkatkan frekuensi respirasi. Respirasi dapat dipengaruhi oleh sikap badan, kerja fisik, dan


(16)

metabolisme. Meningkatnya suhu lingkungan dapat menyebabkan berbagai macam perubahan reaksi fisiologis hewan yaitu meningkatnya suhu rektal, bertambahnya frekuensi pernafasan serta denyut nadi semakin cepat.

Pertumbuhan dan Ukuran Tubuh Ternak

Pertumbuhan adalah pertambahan bobot badan atau ukuran-ukuran tubuh sesuai dengan umur (Rakhmanto, 2009). Perkembangan adalah perubahan ukuran dan fungsi dari berbagai bagian tubuh, mulai embrio sampai dewasa. Pertambahan bobot badan pada hewan muda merupakan bagian dari pertumbuhan urat daging, tulang, dan organ-organ vital. Pertambahan bobot badan pada hewan tua berupa penimbunan lemak. Pertumbuhan dipengaruhi oleh pakan, bobot lahir, kondisi lingkungan, dan penyakit (Roy, 1980). Potensi pertumbuhan seekor ternak sangat dipengaruhi oleh faktor bangsa, jenis kelamin, pakan, lingkungan, dan manajemen pemeliharaan.

Umumnya, pertumbuhan secara keseluruhan diukur dengan bertambahnya bobot badan. Besarnya badan dapat diukur dengan ukuran-ukuran tubuh. Kombinasi berat dan besarnya badan dapat dipakai sebagai ukuran pertumbuhan. Bobot badan adalah ukuran dari pertumbuhan secara keseluruhan. Penimbangan dilakukan sebelum pemberian pakan dan minum. Pengetahuan mengenai catatan bobot badan seekor sapi dapat membantu program pemberian pakan dan pemberian obat-obatan sesuai dosis, dapat mengetahui laju pertumbuhan sapi dan dapat dengan mudah menentukan harga jual sapi. Bobot badan juga dapat digunakan untuk menentukan laju pertambahan bobot badan dan tata laksana pemeliharaan.

Menurut Lawrence & Fowler (2002), pengukuran ukuran tubuh yang menunjukkan korelasi tertinggi dengan bobot badan adalah lingkar dada. Menurut Diwyanto (1982), komponen tubuh yang berhubungan erat dengan bobot badan adalah lingkar dada dan panjang badan. Menurut Williamson & Payne (1993), mengemukakan bahwa pemakaian ukuran lingkar dada, panjang badan, dan tinggi pundak dapat memberikan petunjuk bobot badan seekor hewan dengan tepat.

Darah dan Komponennya

Darah adalah cairan dalam pembuluh darah yang beredar ke seluruh tubuh mulai dari jantung dan segera kembali ke jantung. Darah tersusun atas cairan plasma dan sel darah (eritrosit, leukosit, dan trombosit), yang masing-masing memiliki


(17)

fungsi yang berbeda (Isnaeni, 2006). Darah memiliki peranan dalam tubuh ternak, antara lain: membawa nutrien, mengangkut oksigen, dan karbon dioksida, serta berperan dalam pengaturan suhu tubuh (Frandson, 1992). Menurut Smith & Mangkoewidjojo (1988), sapi mempunyai sel darah merah (BDM) 5,8-10,4 juta/mm3, PCV 33-47 %, dan Hb 8,6-14,4 g/100 ml. Namun, menurut Frandson (1992), sapi mempunyai sel darah merah (BDM) 7 juta/mm3, PCV 40 %, dan Hb 12 g/100 ml.

Darah sebagai media pengangkut, dapat digunakan untuk melihat status nutrisi ternak. Beberapa komponen darah dapat digunakan sebagai indikator yang baik untuk status kecukupan nutrien. Hallberg (1988) menyatakan bahwa Fe berperan untuk pembentukan Hb di sumsum tulang. Kadar Hb di bawah normal menunjukkan ternak mengalami anemia karena kekurangan Fe. Menurut Underwood & Suttle (1999), Co dan Fe bersifat kompetitif (antagonisme) dalam tingkat absorpsi di usus halus. Anemia tersebut mungkin timbul karena turunnya konsumsi Fe akibat sangat tingginya konsumsi Co.

Probiotik dan Fungsinya

Amin (1997) menyatakan bahwa probiotik merupakan makanan tambahan dalam bentuk mikroba hidup yang berpengaruh positif bagi hewan inang dengan meningkatkan keseimbangan mikroba dalam saluran pencernaan. Penggunaan probiotik bertujuan untuk memanipulasi ekosistem rumen sehingga dapat meningkatkan efisiensi fermentasi rumen dengan cara memaksimalkan degradasi serat kasar, sintesis protein mikrobial, serta meminimalkan produksi metan, degradasi protein, dan fermentasi pati di dalam rumen (Amin, 1997). Probiotik tidak hanya menjaga ekosistem, tetapi menyediakan enzim yang bisa mencerna serat kasar, protein, lemak, detoksifikasi zat beracun, dan metabolitnya (Sakinah, 2005).

Keuntungan penggunaan probiotik, antara lain: (1) meningkatkan utilisasi pakan, menurunkan jumlah mikroba patogen, dan meningkatkan sistem kekebalan tubuh, (2) meningkatkan pertumbuhan (Amin, 1997), (3) menstimulasi konsumsi bahan kering, (4) merangsang pertumbuhan mikroba rumen seperti protozoa, bakteri amilolitik, selulolitik, maupun total bakteri (Siti, 1996; Amin, 1997), (5) sebagai pengganti antibiotika. Keuntungan utama probiotik adalah tidak menimbulkan residu yang dapat membahayakan konsumen (Sakinah, 2005).


(18)

Bakteri pada rumen kerbau memiliki kemampuan lebih baik dibandingkan bakteri pada rumen sapi karena produktivitas kerbau sudah cukup optimal walaupun tanpa konsentrat, sedangkan sapi diberikan pakan berupa hijauan dan konsentrat. Karakteristik bakteri pencerna serat asal rumen kerbau, antara lain: (1) mempunyai kemampuan mencerna serat kasar secara efisien, (2) laju aktivitas selolulitik lebih tinggi, (3) daya cerna pakan lebih baik, (4) memproduksi VFA lebih cepat, dan (5) mempunyai kemampuan tumbuh dan berkembang pada substrat berserat tinggi, seperti: jerami padi, serat sawit, dan alang-alang (Astuti, 2010).

Probiotik dapat diberikan melalui pakan, air minum, dan kapsul. Pemberian melalui pakan merupakan cara terbaik untuk memperoleh jumlah dan proporsi yang tepat. Kunci utama untuk mempertahankan jumlah populasi probiotik yang tinggi secara permanen di dalam usus ialah pemberian yang berkesinambungan. Pemberian probiotik secara kontinyu bertujuan untuk menjaga keseimbangan mikroflora usus (Amin, 1997).

Pakan dan Kebutuhan Nutrien

Kebutuhan nutrien dari anak sapi sangat beragam, dari kebutuhan untuk hidup pokok hingga untuk memperoleh pertambahan bobot maksimal yang berasal dari deposit protein dan mineral. Kebutuhan nutrien pada anak sapi antara lain bergantung kepada umur, bobot badan dan pertambahan bobot badan (Rakhmanto, 2009). Tingkat pertambahan bobot badan maksimum, ditentukan oleh tingkat konsumsi energi untuk produksi ternak (Roy, 1980). Menurut Cullison et al. (2003), fungsi pakan bagi ternak adalah menyediakan energi untuk produksi panas dan deposit lemak, memelihara sel-sel tubuh, mengatur berbagai fungsi, proses dan aktivitas dalam tubuh.

Bertambahnya konsumsi pakan padat seperti ransum pemula (calf starter) dan rumput, maka papila rumen akan berkembang yang diikuti dengan pertumbuhan mikroorganisme rumen (Rakhmanto, 2009). Menurut Swenson & Reece (1993), mikroorganisme rumen dapat mensintesis asam amino dalam tubuhnya. Jumlah mikroorganisme rumen akan stabil jika pH rumen mendekati netral yang dicapai pada umur sekitar 8 minggu (Roy, 1980). Jumlah bahan kering pakan yang dapat dikonsumsi dalam bentuk cair lebih banyak dibandingkan dengan pakan dalam bentuk padat, hingga pedet mempunyai bobot hidup 70 kg. Karena energi dari pakan


(19)

cair yang berupa susu dapat lebih efisien tercerna oleh pencernaan monogastrik dibanding dengan pencernaan ruminansia pada pakan padat (Roy, 1980).

Faktor Lingkungan dan Konsumsi Pakan

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi pakan yaitu faktor hewan, faktor pakan, dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan dapat mempengaruhi tingkat konsumsi pedet secara langsung maupun tidak langsung. Faktor lingkungan yang mempengaruhi secara langsung adalah temperatur, kelembaban, dan sinar matahari (Parakkasi, 1999). Faktor lingkungan yang mempengaruhi secara tidak langsung adalah cuaca terhadap kualitas bahan makan dan nutrien yang dikandungnya.

Menurut Parakkasi (1999), temperatur tinggi akan menurunkan tingkat konsumsi semua breed, tetapi Bos taurus lebih peka terhadap temperatur dibanding

Bos indicus atau bangsa tropis lainnya. Sapi bangsa Frisian Holstein baik induk maupun dara, menunjukkan penurunan konsumsinya, jika temperatur mencapai 21,1 C. Temperatur lingkungan juga dapat mempengaruhi efisiensi penggunaan pakan. Pada temperatur di bawah optimum, efisiensi menurun karena pakan lebih banyak digunakan untuk mempertahankan temperatur tubuh. Sebaliknya, pada temperatur diatas optimum, ternak akan menurunkan tingkat konsumsi untuk mengurangi temperatur tubuh. Konsumsi air akan meningkat cepat setelah temperatur meningkat hingga 34 C.

Suhu dan kelembaban udara di dalam kandang dapat mempengaruhi tingkat konsumsi pakan dan air. Kelembaban dapat pula mempengaruhi mekanisme pengaturan temperatur tubuh misalnya pengeluaran panas melalui keringat ataupun melalui respirasi akan lebih cepat. Pengaruh kelembaban ini penting diperhatikan khususnya di daerah tropis basah (Parakkasi, 1999).

Ternak dapat memperoleh panas dari dalam tubuh ataupun secara langsung dari sinar matahari. Tingkat penyerapan panas tergantung tipe kulit ternak. Warna kulit tidak gelap ataupun licin mengkilap akan memantulkan cahaya lebih banyak dibandingkan dengan kulit kasar dan gelap. Bulu yang terdapat pada kulit berfungsi sebagai insulator panas. Pergerakan udara dapat mengubah pengaruh tipe kulit dan peran insulasi bulu dalam pelepasan udara dari tubuh ternak (Parakkasi, 1999).


(20)

Suplementasi Mineral

Bagi ternak ruminansia, mineral digunakan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, mendukung, dan menyediakan kebutuhan mikroba rumen. Apabila terjadi defisiensi salah satu mineral, maka aktivitas fermentasi mikroba rumen tidak berlangsung optimum, sehingga akan berdampak pada penurunan produktivitas ternak. Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya ketersediaan mineral, diantaranya adalah akibat antagonistik dari mineral anorganik, seperti Zn antagonis dengan Cu (Rakhmanto, 2009).

Secara umum, mineral mempunyai fungsi sebagai bahan pembentuk tulang dan gigi yang menyebabkan adanya jaringan yang keras dan kuat; mengatur keseimbangan ion-ion dalam darah; aktivator sistem enzim; sebagai komponen dari suatu sistem enzim, sebagai komponen darah, air susu; dan mempunyai sifat yang khas terhadap kepekaan otak dan syaraf melalui pengaturan keseimbangan antara Ca, Na dan K dalam cairan di sekitar otot jantung agar jantung dapat berkontraksi dan berelaksasi. Mineral juga merupakan komponen dalam produksi air susu dan untuk memelihara keseimbangan asam basa dalam tubuh (Parakkasi, 1999).

Mineral Kobalt (Co)

Kobalt (Co) paling banyak terdapat dalam ginjal, kelenjar adrenal, limpa, dan pankreas. Kobalt terdapat pula dalam jumlah cukup banyak dalam limfoglandula, sumsum tulang, dan empedu. Konsentrasi normal kobalt dalam hati ruminansia yaitu sekitar 0,15 ppm. Hanya sedikit Co yang dapat ditemukan dalam darah dan air susu. Secara normal dalam isi rumen, Co berjumlah sekitar 0,4-0,7 mcg/100g (Parakkasi, 1999). Mikroba rumen menggunakan Co untuk pembentukan molekul sianokobalamin atau vitamin B12 (Piliang & Djojosoebagio, 2006). Pemberian Co

dapat meningkatkan penampilan karena adanya proses recycle ke dalam rumen melalui saliva ataupun dinding rumen (Parakkasi, 1999).

Ternak muda membutuhkan lebih banyak Co dibanding ternak dewasa. Kebutuhan sapi lebih tinggi dibanding kebutuhan domba. Secara menyeluruh untuk ruminansia di pastura kebutuhannya adalah 0,1 ppm. Kebutuhan ruminansia relatif lebih tinggi dibanding monogastrik karena ketidakefisienan penggunaan Co dalam pembentukan vitamin B12 dan penyerapan vitamin tersebut kurang efisien. Menurut


(21)

Gejala yang terlihat bila ternak kekurangan Co adalah nafsu makan menurun, pertumbuhan terganggu, nafsu makan berkurang, cepat kurus, adanya lakrimasi, anemia parah (sekunder) dan kemudian hewan dapat mati. Penurunan nafsu makan yang dimulai dari yang sederhana sampai yang lebih parah dengan segala akibatnya terhadap penampilan erat hubungannya dengan perubahan populasi mikroba rumen terutama yang membentuk vitamin B12 dari Co.

Cobalamin (B12)

Menurut Piliang & Djojosoebagio (2006), cobalamin merupakan nama vitamin B12 karena mengandung mineral kobalt. Vitamin B12 secara perlahan dapat

rusak oleh larutan asam, alkali, sinar, dan zat-zat pengoksidasi atau pereduksi. Vitamin B12 larut dalam air dan membentuk kristal-kristal berwarna merah yang

disebabkan oleh adanya mineral kobalt dalam molekul.

Cobalamin diperlukan untuk metabolisme sel terutama dalam saluran pencernaan, sumsum tulang, jaringan syaraf, dan sel-sel pertumbuhan serta untuk mempercepat pertumbuhan dan proses pematangan sel-sel darah merah. Cobalamin

juga berperan pada metabolisme lemak, protein, dan karbohidrat serta pada absorpsi dan metabolisme asam folat (Piliang & Djojosoebagio, 2006).

Ruminansia (pedet maupun sapi dewasa) membutuhkan vitamin B12, untuk

mikroba rumen dan jaringan tubuh dalam bentuk koenzim untuk mengkonversi propionat menjadi metal malonil Co-A sebagai prekursor utama glukosa bagi ruminansia (Parakkasi,1999). Kebutuhan vitamin B12 ruminansia dewasa cukup

disuplai melalui penyediaan mineral Co yang cukup dalam ransum. Kebutuhan vitamin B12 untuk anak sapi misalnya dalam produksi veal diperkirakan sebanyak

0,54 mg/kg BB. Sehubungan dengan salah satu bahan pembentuk vitamin B12 adalah

Co, maka suplai Co pada sapi yang rumennya telah berfungsi perlu disediakan dalam pakan. Walaupun pengaruh pakan terhadap kadar vitamin B12 dalam rumen

bervariasi, namun aktivitas vitamin B12 paling banyak terdapat pada sapi yang diberi

silase, kemudian disusul dengan pemberian hay tercacah (chopped hay) atau bentuk pellet dan biji-bijian.


(22)

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan selama 5 bulan yaitu pada bulan November 2009 sampai dengan Maret 2010, bertempat di kandang A, kandang sapi perah Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (IPB).

Materi Alat

Kandang penelitian berupa kandang individu yang berukuran 2 x 1,5 m2. Setiap kandang individu dilengkapi dengan tempat pakan dan tempat minum. Peralatan yang digunakan adalah timbangan, termometer dan higrometer digital,

stopwatch, sekop, kantong plastik, oven, dan pita ukur.

Gambar 1. Kandang Penelitian Bahan

Pakan yang diberikan terdiri dari susu segar, calf starter, dan isolat bakteri pencerna serat (probiotik) asal rumen kerbau. Bahan pakan penyusun ransum penelitiaan adalah jagung giling (45 %), bungkil kedelai (30 %), pollard (15 %), molases (10 %) dan CoCl2.6.H2O yang menyumbangkan Co (0,20 ppm). Ransum

disusun dan dihitung berdasarkan kadar nutrien menurut hasil analisa di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Air minum yang diberikan berasal dari air kran yang ada di kandang. Kandungan nutrien calf starter dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Nutrien Calf Starter (% BK) yang Digunakan dalam Penelitian Bahan BK (%) Abu (%) PK (%) LK (%) SK (%) Beta-N (%)

Calf starter 84,03 10,31 23,93 3,84 5,81 56,11


(23)

Ternak Percobaan

Ternak percobaan yang digunakan terdiri atas 9 ekor pedet peranakan

Friesian Holstein (PFH) periode prasapih berumur 2 minggu dengan bobot badan 37,33 ± 5,34 kg. Empat pedet diberi inokulasi bakteri pencerna serat dan 5 pedet tanpa inokulasi (kontrol).

Gambar 2. Pedet yang Digunakan dalam Penelitian Metode

Perlakuan

Perlakuan yang diberikan pada penelitian ini adalah P1: kontrol (pedet tanpa inokulasi bakteri pencerna serat) dan P2: inokulasi.

Semua pedet mengkonsumsi susu dan di tempat pakan disediakan calf starter. Pedet yang mendapat perlakuan, diinokulasi dengan isolat bakteri pencerna serat yang sebelumnya ditumbuhkan dalam susu steril. Jumlah inokulan yang diberikan sebanyak 20 ml/hari per pedet dengan konsentrasi bakteri 4,56 x 109 CFU/ml.

Gambar 3. Pemberian Isolasi Bakteri Pencerna Serat pada Pedet dengan Cara Dicekok

Pembuatan Ransum dan Pemeliharaan Ternak

Calf starter dibuat dengan mencampurkan bahan ransum secara manual di atas lantai beralaskan terpal. Pencampuran masing-masing bahan pakan dilakukan


(24)

secara bertahap yaitu dengan cara mencampurkan satu persatu bahan pakan mulai dari bobot atau porsi yang terkecil hingga bobot yang terbesar.

Gambar 4. Pembuatan Calf Starter

Ternak dipelihara dalam kandang individu. Calf starter dan air minum disediakan ad libitum pada pukul 07.00–08.00 WIB dan pada pukul 15.00–16.00 WIB. Susu diberikan sesuai dengan bobot badan pedet. Isolat bakteri pencerna serat diberikan sekali sehari pada pagi hari segera setelah pemberian susu.

Jumlah pakan yang diberikan disesuaikan dengan kemampuan pedet mengkonsumsi pakan tersebut. Jumlah pakan yang diberikan pada pedet ditingkatkan sedikit demi sedikit setiap harinya. Jumlah pakan yang dikonsumsi dihitung dengan cara menghitung selisih pemberian dan sisa pakan yang tertinggal pada pagi hari. Sisa pakan setiap pedet ditimbang lalu dikumpulkan dan disimpan di dalam kantong plastik secara terpisah.

Penyiapan Probiotik

Tujuh macam isolat bakteri pencerna serat yang berasal dari rumen kerbau ditumbuhkan ke dalam susu segar selama 3 hari. Setelah itu tujuh macam isolat tersebut dipanen dan dicampur menjadi satu wadah. Isolat yang digunakan adalah hasil isolasi mikroba rumen pencerna serat (Gayatri, 2010; Astuti, 2010) dan merupakan koleksi Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah. Isolat telah mengalami pengujian produksi bahan kering (BK) sel isolat bakteri dan nilai CMC-ase. Isolat bakteri tersebut terbukti mempunyai aktifitas selulolitik.


(25)

Gambar 5. Isolat Bakteri yang Sudah Ditumbuhkan pada Susu Segar Steril Pengukuran Suhu dan Kelembaban Lingkungan

Pengukuran suhu dan kelembaban lingkungan kandang dilakukan dua kali pada saat bersamaan dengan pemberian pakan dan minum yaitu pada pukul 07.00– 08.00 WIB dan pada pukul 15.00–16.00 WIB. Pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan menggunakan termometer dan higrometer digital.

Pengambilan Sampel Darah

Sampel darah dari masing-masing pedet diambil sebanyak 20 ml dalam 4 tabung vacutainer yang terdiri dari 3 tabung darah berheparin dan 1 tabung darah non-heparin. Tabung darah yang berheparin dimasukkan ke dalam termos yang berisi es, sedangkan tabung darah non-heparin tidak dimasukkan ke dalam termos tanpa es dan semua diletakkan dengan posisi miring.

Darah yang berheparin masing-masing digunakan untuk analisis komponen darah lengkap dan analisis mineral dalam darah, serta untuk pengambilan plasma darah. Sedangkan darah yang tidak berheparin digunakan untuk pengambilan serum darah.

Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah: (1) konsumsi susu dan calf starter, (2) konsumsi Co, (3) kandungan Co darah, (4) profil darah: butir darah merah (BDM), hemoglobin (Hb), hematokrit (packed cell volume/PCV), (5) denyut jantung, (6) laju respirasi, (7) suhu rektal, (8) pertambahan bobot badan (PBB), (9) ukuran tubuh: lingkar dada, lingkar perut, panjang badan, tinggi pundak, dalam dada, dan lebar dada.


(26)

Konsumsi Calf Starter

Konsumsi harian calf starter dihitung dari selisih jumlah calf starter yang diberikan dengan sisa calf starter yang tidak dikonsumsi dalam 24 jam.

Konsumsi calfstarter (g) = pemberian (g) – sisa (g) Analisa Kandungan Kobalt dalam Pakan dan Darah

Proses analisa kandungan Co dalam pakan dan darah dilakukan dalam dua tahap yaitu pengabuan basah (wet ashing) dan pembacaan kadar mineral. Pengabuan basah sampel pakan dan darah dilakukan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah, Fakultas Peternakan IPB. Pembacaan kadar Co dalam sampel yang telah dipreparasi, dilakukan di Pusat Penelitian Tanah (Puslitan), menggunakan Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) Hitachi Z5000.

a. Pengabuan Basah (Wet Ashing)

Pengukuran kadar mineral dilakukan setelah sampel dipreparasi dengan metode pengabuan basah atau wet ashing (Restz et al. 1960). Sampel ditimbang dan dimasukkan dalam erlenmeyer 100 ml. Ditambahkan HNO3 pekat 5 ml dan dibiarkan

selama 1 jam hingga sampel berwarna kekuningan. Berikutnya dipanaskan di atas

hot plate selama 4 jam, lalu didinginkan. Larutan yang telah dingin ditambahkan 0.4 ml H2SO4 pekat dan dipanaskan kembali. Saat terjadi perubahan warna,

diteteskan larutan campuran HClO4 + HNO3 (2:1). Perubahan warna coklat menjadi

kuning lalu bening. Dipanaskan kembali selama 15 menit. Sampel ditambahkan 2 ml aquadest dan 0.6 ml HCl pekat secara bersamaan. Panaskan kembali hingga larut dan didinginkan. Lalu sampel dilarutkan dengan aquadest menjadi 100 ml dalam labu takar dan disiapkan untuk dianalisis dengan Atomic Absorbtion Spectrophotometer

(AAS).

b. Pengukuran Mineral

Sampel hasil wet ashing dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 2 ml dengan menggunakan pipet dan ditambahkan 0.05 ml larutan lantan klorida (LaCl3.7H2O). Lalu disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit.

Setelah itu, larutan standar Co dibuat dengan kadar 0; 0,5; 1, 2, 3, 4, dan 5 ppm di dalam tabung reaksi yang lain. Masing-masing larutan standar, dimasukkan ke dalam tabung reaksi dengan menggunakan pipet sebanyak 2 ml. Lalu standar dan sampel


(27)

diinjeksikan ke dalam AAS (Atomic Absorption Spectrophotometer). Kemudian absorbansinya diukur dengan AAS pada panjang gelombang 240,7 nm sesuai dengan jenis mineral yang dibaca yaitu Co.

Profil Darah

Komponen darah yang dianalisis meliputi butir darah merah (BDM), hemoglobin (Hb), dan hematokrit (packed cell volume/PCV). Analisis dilakukan di Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Denyut Jantung, Laju Respirasi, dan Suhu Rektal

Denyut jantung, laju respirasi, dan suhu rektal diukur setiap minggu. Pengukuran denyut jantung dilakukan selama satu menit pada pagi dan sore hari dengan cara meletakkan tangan pada bagian dada sebelah kiri dekat jantung. Pengukuran laju respirasi dilakukan selama satu menit pada pagi dan sore hari dengan cara melihat bagian paru-paru atau melihat pergerakan kembang kempis perut pedet. Suhu rektal diukur pada pagi dan sore hari dengan cara memasukkan termometer rektal digital pada anus pedet.

Pertambahan Bobot Badan

Penimbangan pedet dilakukan setiap minggu. Pengukuran pertambahan bobot badan (PBB) dilakukan dengan penimbangan pedet pada awal dan akhir pemeliharaan. Penimbangan dilakukan pada pagi hari sebelum ternak diberi pakan. Pertambahan bobot badan selama penelitian dihitung berdasarkan bobot akhir pemeliharaan dikurangi dengan bobot awal, sedangkan pertambahan bobot badan harian (g/ekor/hari) diperoleh dari pertambahan bobot badan selama penelitian dibagi dengan lamanya pemeliharaan.

PBB (g/ekor/hari) =

Bobot sapih – bobot awal perlakuan (g/ekor) Lama Pemeliharaan (hari)

Suhu dan Kelembaban Lingkungan

Pengukuran suhu dan kelembaban lingkungan dilakukan dengan menggantungkan termometer dan higrometer digital di dalam kandang selama penelitian. Pembacaan suhu dan kelembaban dilakukan setiap pagi dan sore hari.


(28)

Ukuran Tubuh

Ukuran tubuh yang diamati meliputi: lingkar dada, lingkar perut, panjang badan, tinggi pundak, dalam dada, dan lebar dada. Pengukuran dilakukan setiap minggu. Lingkar dada diukur dengan cara melingkaran pita ukur (cm) di sekeliling rongga dada, di belakang sendi bahu (os scapula). Lingkar perut diukur dengan cara melingkarkan pita ukur di bagian perut. Panjang badan diukur dengan cara mengukur jarak dari tepi tulang humerus sampai tulang duduk (tuber ischii). Tinggi pundak diukur dengan cara mengukur jarak dari titik tertinggi pundak (Os vertebra thoracalis) secara tegak hingga ujung telapak kaki atau permukaan tanah. Dalam dada diukur dengan cara mengukur jarak dari titik tertinggi pundak (Os vertebra thoracalis) secara tegak hingga dada bagian dalam. Lebar dada diukur dengan cara mengukur jarak dari titik ujung dada sebelah kiri hingga titik ujung dada sebelah kanan.

Analisis Data

Perlakuan inokulasi dan kontrol dialokasikan pada pedet secara acak dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL). Pedet yang mendapatkan perlakuan kontrol berjumlah 5 ekor dan pedet dengan perlakuan inokulasi berjumlah 4 ekor. Setiap pedet merupakan ulangan dalam setiap perlakuan.

Nilai rataan konsumsi nutrien, konsumsi Co, kandungan Co darah, profil darah: butir darah merah (BDM), hemoglobin (Hb), hematokrit (packed cell volume/PCV), denyut jantung, laju respirasi, suhu rektal, pertambahan bobot badan (PBB), ukuran tubuh: lingkar dada, lingkar perut, panjang badan, tinggi pundak, dalam dada, dan lebar dada dari pedet perlakuan inokulasi dibandingkan dengan nilai rataan dari pedet perlakuan kontrol menggunakan Uji-t pada α=0,05 (Steel & Torrie, 1991). Hipotesis penelitian ini yaitu:

H0 : Kontrol = Inokulasi; tidak ada perbedaan pengaruh inokulasi


(29)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsumsi Susudan Calf Starter

Ransum adalah total bahan pakan yang diberikan pada ternak selama 24 jam, sedangkan calf starter adalah pakan yang diberikan pada pedet selama periode awal atau menyusu. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa konsumsi merupakan faktor esensial untuk menunjang kebutuhan dasar hidup atau hidup pokok dan menentukan produksi. Secara umum, konsumsi dapat meningkat dengan semakin meningkatnya bobot badan (Amin, 1997), karena kapasitas saluran pencernaan meningkat dengan semakin meningkatnya bobot badan, sehingga mampu mengkonsumsi pakan dalam jumlah yang lebih banyak.

Tabel 2. Rataan Konsumsi Susu dan Calf Starter pada Pedet Prasapih tanpa atau dengan Inokulasi Bakteri Pencerna Serat

Konsumsi

Perlakuan

Kontrol (P1) Inokulasi (P2)

Starter Susu Total Starter Susu Total

--- (g/ekor/hari) --- Segar 152 ± 140 3194 3346 ± 140 324 ± 98 3194 3518 ± 98 BK 126 ± 116 354 480 ± 116 272 ± 82 354 626 ± 82

% BB 1,29 1,42

Pemberian inokulasi bakteri pencerna serat tidak menyebabkan perbedaan konsumsi harian calf starter dan pakan total. Rataan konsumsi calf stater dan susu dapat dilihat pada Tabel 2. Semua pedet pada penelitian ini mengkonsumsi susu segar dalam jumlah yang sama, yaitu sebanyak 3194 g/ekor/hari. Susu yang digunakan mengandung BK 11,08 %. Konsumsi bahan kering (BK) total pada pedet perlakuan kontrol (480 g/ekor/hari) lebih rendah daripada pedet perlakuan inokulasi (626 g/ekor/hari). Konsumsi BK total pada pedet perlakuan kontrol sebesar 1,29 % bobot badan (BB) dan pedet perlakuan inokulasi sebesar 1,42 % BB. Hal ini menunjukkan bahwa pedet yang diinokulasi bakteri pencerna serat dapat mencapai konsumsi maksimum seperti dilaporkan NRC (2001) yang menyatakan bahwa kebutuhan BK pedet dengan BB 355 kg dan pertambahan bobot badan (PBB) 0-400 g adalah 320-800 g (1,07-1,46 % BB).


(30)

Inokulasi bakteri pencerna serat diperkirakan dapat memperkecil partikel pakan lebih cepat jika dibandingkan dengan pedet tanpa inokulasi. Percepatan pengecilan ukuran partikel pakan, dapat meningkatkan laju partikel pakan dalam saluran pencernaan. Semakin voluminous suatu bahan pakan semakin cepat hewan merasa kenyang karena lambung sudah terisi (Parakkasi, 1999). Laju penghancuran partikel pakan menjadi partikel yang lebih kecil dapat meningkatkan konsumsi.

Pemberian probiotik nampaknya dapat meningkatkan selera makan pedet. Namun peningkatan selera makan tidak menyebabkan perbedaan konsumsi bahan kering. Menurut Parakkasi (1999), tingkat konsumsi sukarela (voluntary feed intake) adalah jumlah pakan yang dikonsumsi oleh hewan bila pakan tersebut diberikan ad libitum. Faktor-faktor yang menentukan tingkat konsumsi adalah faktor hewan, pakan dan lingkungan. Faktor hewan dipengaruhi oleh bobot badan, umur dan genetik. Chemostatic dan thermostatic, atau status fisiologi hewan sebagai respon terhadap kondisi lingkungan, dapat mempengaruhi tingkat konsumsi. Hewan selalu berusaha menyeimbangkan energi yang masuk dan energi yang keluar. Hewan dengan kemampuan termoregulasi yang lebih rendah diperkirakan akan mengkonsumsi pakan lebih rendah.

Konsumsi Co Pakan dan Kandungan Co Darah

Inokulasi bakteri pencerna serat tidak menyebabkan perbedaan konsumsi Co pakan dan kandungan Co darah (Tabel 3). NRC (2001) menyatakan bahwa kebutuhan Co pedet terpenuhi jika ransum mengandung 0,1-10 ppm. Berdasarkan konsumsi bahan kering, Co yang dikonsumsi telah memenuhi kebutuhan pedet. Inokulasi bakteri pencerna serat menyebabkan perbedaan konsumsi BK sehingga terjadi perbedaan konsumsi Co. Pedet perlakuan inokulasi cenderung mengkonsumsi Co lebih banyak dibandingkan pedet kontrol.

Menurut Piliang & Djojosoebagio (2006), Co pada ternak sapi dapat dimanfaatkan dan disintesis menjadi vitamin B12 dalam saluran pencernaan

khususnya rumen dan kolon. Vitamin B12 berfungsi dalam proses pematangan sel-sel

darah merah dan untuk mendukung berlangsungnya fungsi normal semua sel-sel tubuh. Konsumsi Co pedet perlakuan inokulasi lebih banyak dibandingkan pedet kontrol, namun kadar Co darah sama antar perlakuan. Hal ini dapat disebabkan oleh inokulasi bakteri pencerna serat lebih banyak mensintesis Co menjadi vitamin B12.


(31)

Tabel 3. Konsumsi Co Pakan dan Kandungan Co Darah Pedet Prasapih tanpa atau dengan Inokulasi Isolat Bakteri Pencerna Serat

Pengukuran Kontrol (P1) Inokulasi (P2)

Konsumsi Co (mg/ekor/hari) 1,03 ± 0,95 2,22 ± 0,67 Kandungan Co Darah (ppm) 0.1487 ± 0,0078 0,1452 ± 0,0421

Profil Darah Pedet Percobaan

Darah adalah cairan dalam pembuluh darah yang beredar ke seluruh tubuh mulai dari jantung dan segera kembali ke jantung. Darah tersusun atas cairan plasma dan sel darah (eritrosit, leukosit, dan trombosit), yang masing-masing memiliki fungsi yang berbeda (Isnaeni, 2006). Darah memiliki peranan dalam tubuh ternak, antara lain membawa nutrien, mengangkut oksigen, dan karbon dioksida, serta berperan dalam pengaturan suhu tubuh (Frandson, 1992).

Nilai profil darah pedet percobaan tanpa atau dengan inokulasi isolat bakteri tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel 4). Butir darah merah (BDM), hematokrit (PCV), dan hemoglobin (Hb) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar perlakuan. Namun jumlah BDM (15%), PCV (28%) dan Hb (23%) pada pedet perlakuan inokulasi lebih tinggi daripada pedet kontrol. Hal ini menunjukan bahwa inokulasi bakteri pencerna serat pada pedet dapat merangsang pembentukan BDM, PCV, dan hemoglobin walaupun peningkatan tersebut tidak menyebabkan perbedaan nyata antar perlakuan.

Tabel 4. Nilai Rataan Profil Darah Pedet Prasapih tanpa atau dengan Inokulasi Isolat Bakteri Pencerna Serat

Peubah

Perlakuan

Choliq (1992) Kontrol (P1) Inokulasi (P2)

BDM (juta/mm3) 6,47 ± 1,54 7,46 ± 1,62 5,85-7,00 PCV (%) 22,00 ± 7,18 28,19 ± 5,81 26,79-27,30 Hb (g/100ml) 7,18 ± 2,19 8,85 ± 1,57 7,10-8,24

Pedet pada penelitian ini memiliki eritrosit atau butir darah merah (BDM) yang normal, karena pedet yang berumur 0-8 minggu memiliki sel darah merah 5,85-7,00 juta/ml (Choliq, 1992). Jumlah eritrosit pada pedet percobaan sangat bervariasi. Hal ini dapat dipengaruhi umur, status gizi, jenis kelamin, dan faktor-faktor iklim.


(32)

Nilai eritrosit dibawah normal mengindikasikan adanya anemia pada ternak (Hallberg, 1988). Kondisi pedet percobaan tanpa maupun dengan inokulasi tidak mengalami anemia. Hal ini berarti bahwa konsumsi nutrien telah memenuhi kebutuhan khususnya protein dan unsur Fe serta vitamin B12 telah terpenuhi,

demikian juga sintesis darah merah berjalan dengan normal.

Menurut Piliang & Djojosoebagio (2006), pembentukan eritrosit memerlukan nutrien yang essensial antara lain vitamin B12 (cyanokobalamin) yang molekulnya

mengandung atom kobalt. Vitamin B12 (cyanokobalamin) berfungsi dalam proses

pendewasaan eritrosit. Apabila vitamin tersebut defisien, maka dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan eritrosit.

Pedet pada penelitian ini memiliki hemoglobin (Hb) yang normal, karena anak sapi berumur 0-8 minggu memiliki hemoglobin 7,10-8,24 g/100ml (Choliq, 1992). Hemoglobin sangat bermanfaat dalam mengikat oksigen dalam darah. Peningkatan kadar hemoglobin pada tubuh ternak dapat menyebabkan peningkatan efisiensi pertukaran oksigen dan karbon dioksida, sedangkan jika terjadi penurunan kadar hemoglobin dapat menghambat metabolisme.

Nilai hematokrit merupakan persentase dari darah, yang terdiri dari sel-sel darah merah. Pedet perlakuan inokulasi memiliki hematokrit yang normal, sedangkan pedet kontrol memiliki nilai hematokrit dibawah normal. Menurut Choliq (1992), anak sapi berumur 0-8 minggu memiliki hematokrit 26,79-27,30 %. Peningkatan nilai hematokrit mengindikasikan dehidrasi pada pedet, sedangkan nilai hematokrit yang rendah dapat menggambarkan status nutrisi yang kurang memadai. Hal ini berarti bahwa pedet kelompok kontrol kurang mendapatkan nutrien yang optimum. Performa produksi kelompok pedet tersebut masih dapat ditingkatkan. Inokulasi bakteri pencerna serat dapat memperbaiki status nutrisi dengan meningkatkan selera makan pedet.

Denyut Jantung, Respirasi, dan Suhu Rektal

Menurut Isnaeni (2006), perubahan kondisi tubuh dapat dipengaruhi oleh dua hal, yaitu adanya perubahan aktivitas sel tubuh dan perubahan lingkungan eksternal yang berlangsung terus-menerus. Aktivitas sel dalam tubuh ternak selalu memerlukan pasokan berbagai bahan dari lingkungan luar secara konstan, misalnya


(33)

oksigen dan nutrien. Apabila aktivitas sel berubah, pengambilan nutrien dan oksigen dari lingkungan eksternal juga berubah.

Menurut Parakkasi (1999), temperatur lingkungan mempengaruhi efisiensi penggunaan pakan. Pada temperatur lingkungan dibawah suhu kritis batas bawah, efisiensi pemanfaatan nutrien menurun karena nutrien digunakan untuk mempertahankan temperatur tubuh yang normal. Pada temperatur lingkungan diatas suhu kritis batas atas, hewan akan menurunkan tingkat konsumsi untuk mengurangi temperatur tubuh.

Tabel 5. Rataan Denyut Jantung, Respirasi, dan Suhu Rektal Pedet tanpa atau dengan Inokulasi Isolat Bakteri Pencerna Serat

Peubah Waktu Perlakuan Choliq (1992) Kontrol (P1) Inokulasi (P2)

Denyut Jantung (kali/menit) Pagi 75,68 ± 3,45 73,85 ± 3,77 85-112 Sore 82,48 ± 1,69 79,80 ± 1,90

Respirasi (kali/menit) Pagi 50,60 ± 6,72

a

41,70 ± 1,89b

48-64 Sore 58,88 ± 5,43a 48,05 ± 3,59b

Suhu Rektal (°C)

Pagi 39,40 ± 0,23a 39,02 ± 0,21b

38,9-39,6 Sore 39,71 ± 0,31 39,46 ± 0,25

Keterangan: Superskrip pada baris yang sama, menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

Rataan denyut jantung, laju respirasi, dan suhu rektal dapat dilihat pada Tabel 5. Jantung dan pembuluh darah merupakan organ penting untuk mengalirkan darah ke berbagai jaringan. Jantung berfungsi sebagai pompa penggerak cairan bersirkulasi, sedangkan pembuluh darah berfungsi sebagai jalan aliran darah (Isnaeni, 2006).

Hasil penelitian Choliq (1992) menunjukan bahwa pedet yang berumur 0-8 minggu mempunyai frekuensi denyut jantung 85-112 kali/menit. Nilai denyut jantung tidak berbeda nyata antar perlakuan dan berada sedikit di bawah normal. Hal ini menunjukkan bahwa pedet berada dalam kondisi lingkungan normal dan didukung oleh kondisi fisiologis yang normal. Kadar BDM dan hemoglobin dalam kondisi normal (Tabel 4), sehingga sirkulasi darah dan pertukaran oksigen dengan karbon dioksida berada dalam kondisi normal.

Sistem respirasi berfungsi untuk menyediakan oksigen (O2) untuk darah dan


(34)

meningkat, kebutuhan oksigen dan pembentukan karbondioksida juga meningkat (Isnaeni, 2006). Fungsi sistem respirasi lainnya adalah membantu dalam pengendalian suhu (Frandson, 1992).

Ternak dapat mengurangi panas dalam tubuh akibat pengaruh dari lingkungan dengan cara melakukan evaporasi. Evaporasi dapat terjadi pada ternak dengan peningkatan laju respirasi. Apabila suhu lingkungan meningkat, maka hewan harus mengeluarkan panas dalam tubuh dengan cara evaporasi yang dilakukan dengan meningkatkan laju respirasi. Menurut Parakkasi (1999), pada daerah yang kering dengan kelembaban rendah, respirasi ternak terjadi lebih cepat.

Laju respirasi pada pedet berbeda (P<0,05) antar perlakuan. Laju respirasi pada pedet perlakuan inokulasi lebih rendah dibandingkan pedet kontrol. Hal ini dapat disebabkan oleh pengaruh inokulasi bakteri pencerna serat yang memungkinkan darah pedet tersebut mempunyai kadar BDM dan hemoglobin yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan kontrol, sehingga respirasi diperkirakan lebih efisien. Menurut Choliq (1992), anak sapi berumur 0-8 minggu mempunyai frekuensi nafas 48-64 kali/menit dan suhu rektal 38,9-39,6 0C.

Suhu dan kelembaban lingkungan dalam kandang pedet selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 6. Rataan suhu di dalam kandang pada pagi hari sebesar 25,22±1,00 °C dan sore hari sebesar 28,75±2,18 °C. Kelembaban di dalam kandang pada pagi hari sebesar 94,18±3,96 % dan sore hari sebesar 74,55±10,69 %.

Suhu rektal dapat dijadikan indikator panas tubuh dan juga merupakan indikator kondisi fisiologis tubuh dan respon ternak terhadap suhu lingkungan. Suhu tubuh ternak dapat dipengaruhi oleh suhu lingkungannya. Apabila suhu tubuh terlalu tinggi, ternak akan melepaskan kelebihan panas tubuh, sedangkan apabila suhu tubuh terlalu rendah, ternak akan meningkatkannya (Isnaeni, 2006). Meningkatnya suhu lingkungan akan meningkatkan suhu rektal (Tabel 5), yang menunjukkan bahwa suhu rektal pada sore hari (39,46-39,71 °C) lebih tinggi dibandingkan suhu rektal pada pagi hari (39,02-39,40 °C).


(35)

20 22 24 26 28 30 32 34

1 6 11 16 21 26 31

Hari Pemeliharaan

ke-S uh u Li ng k un ga n ( 0C) Pagi hari Sore hari 20 30 40 50 60 70 80 90 100

1 6 11 16 21 26 31

Hari Pemeliharaan

ke-K e le m ba ba n (% ) Pagi hari Sore hari

(a) (b)

Gambar 6. Suhu dan Kelembaban Lingkungan dalam Kandang Pedet Selama Penelitian

Perubahan suhu rektal menggambarkan termoregulasi tubuh ternak dalam mengatur pelepasan energi berlebih. Termoregulasi adalah proses yang terjadi pada ternak untuk mengatur suhu tubuh supaya tetap konstan atau berada dalam kisaran yang memungkinkan metabolisme optimum. Mekanisme termoregulasi yang dilakukan ternak adalah mengatur keseimbangan antara perolehan dan kehilangan atau pelepasan panas.

Suhu rektal pada pedet perlakuan inokulasi lebih rendah dibandingkan pedet perlakuan kontrol. Suhu rektal pada pagi hari berbeda nyata (P<0,05), sedangkan suhu rektal pada sore hari tidak berbeda nyata antar perlakuan. Hal tersebut menunjukkan bahwa inokulasi bakteri pencerna serat berpotensi membantu pedet dalam termoregulasi sehingga dapat meningkatkan kemampuannya beradaptasi terhadap lingkungan dengan baik.

Suhu rektal pedet kontrol dan inokulasi bakteri pencerna serat pada pagi hari berbanding lurus dengan suhu lingkungan pada pagi hari. Suhu rektal pedet dan suhu lingkungan pada pagi hari mempunyai hubungan yang erat. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 7. Suhu rektal pedet perlakuan kontrol pada sore hari berbanding terbalik dengan suhu lingkungan pada sore hari, namun suhu rektal pedet perlakuan inokulasi pada sore hari berbanding lurus dengan suhu lingkungan pada sore hari. Suhu rektal pedet dan suhu lingkungan pada sore hari mempunyai hubungan yang lebih rendah seperti dapat dilihat pada Gambar 8. Perbedaan tersebut menggambarkan bahwa pada sore hari pedet cenderung mempertahankan suhu tubuhnya dibandingkan dengan suhu rektal pagi hari.


(36)

Gambar 7. Korelasi Suhu Rektal dan Suhu Lingkungan pada Pagi Hari

Gambar 8. Korelasi Suhu Rektal dan Suhu Lingkungan pada Sore Hari Pertambahan Bobot Badan (PBB) Pedet

Menurut Parakkasi (1999), ukuran tubuh atau bobot badan ternak dapat dipengaruhi oleh penggunaan nutrien atau konsumsi ransum. Rataan bobot badan (BB) dan pertambahan bobot badan (PBB) pedet dapat dilihat pada Tabel 6. Rataan bobot badan awaldan PBB antar perlakuan tidak berbeda nyata, namun bobot badan akhir nyata (P<0,05) lebih besar pada pedet yang mendapat inokulasi bakteri pencerna serat. Bobot badan awal pedet perlakuan kontrol sebesar 35,20 kg dan perlakuan inokulasi sebesar 40,00 kg. Bobot badan akhir pedet perlakuan kontrol sebesar 39,00 kg dan perlakuan inokulasi sebesar 48,25 kg.


(37)

Tabel 6. Rataan Bobot Badan (BB) dan Pertambahan Bobot Badan (PBB)

Peubah Perlakuan

Kontrol (P1) Inokulasi (P2)

BB Awal (kg) 35,20±5,07 40,00±4,97

BB Akhir (kg) 39,00±5,15a 48,25±6,08b

PBB (g/ekor/hari) 108,57±107,67 235,71±58,90

Keterangan: Superskrip pada baris yang sama, menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

Pertambahan bobot badan pedet perlakuan kontrol dan perlakuan inokulasi adalah 109 dan 236 (g/hari). Tidak terdapat perbedaan pertambahan bobot badan yang nyata antara pedet yang diinokulasi dengan pedet kontrol. Variasi pertumbuhan pedet kontrol sangat tinggi dan variasi pertambahan bobot badan menurun pada kelompok pedet dengan inokulasi bakteri pencerna serat. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa inokulasi bakteri pencerna serat berpotensi meningkatkan dan menyeragamkan pertambahan bobot badan pedet. Perkembangan bobot badan pedet selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Perkembangan Bobot Badan Pedet tanpa atau dengan Inokulasi Isolat Bakteri Pencerna Serat Selama Penelitian

Ukuran Tubuh Pedet

Pertumbuhan adalah pertambahan bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh sesuai dengan bertambahnya umur (Rakhmanto, 2009). Pada minggu pertama setelah kelahiran, pedet memerlukan penyesuaian diri dalam fungsi faali, sehingga perlu perhatian peternak supaya dapat hidup dan tumbuh sempurna. Ukuran tubuh merupakan indikator pertumbuhan dan dapat dijadikan kriteria dalam pemilihan


(38)

pedet calon induk. Jika pedet tersebut mempunyai performa pertumbuhan yang baik, maka dapat dijadikan bibit pengganti induk (replacement stock).

Lingkar dada merupakan ukuran tubuh yang sering digunakan untuk menduga bobot badan ternak (Diwyanto, 1982). Lingkar perut merupakan salah satu komponen ukuran tubuh yang dapat digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ternak. Pengukuran lingkar perut dilakukan sebelum pemberian pakan atau minum, sehingga perut pedet berada pada kondisi sebenarnya.

Tabel 7. Rataan Ukuran Tubuh Pedet tanpa atau dengan Inokulasi Isolat Bakteri Pencerna Serat

Peubah Perlakuan

Kontrol (P1) Inokulasi (P2)

Lingkar Dada (cm) 82,60 ± 4,20 85,50 ± 3,39

Pertambahan (cm/minggu) 0,70 ± 1,36 1,50 ± 0,61 Lingkar Perut (cm) 85,80 ± 3,55a 92,19 ± 3,68b Pertambahan (cm/minggu) 0,90 ± 1,35a 3,16 ± 0,76b

Panjang Badan (cm) 58,70 ± 3,71 60,50 ± 2,48

Pertambahan (cm/minggu) 1,55 ± 0,50 1,50 ±0,20

Tinggi Badan (cm) 75,65 ± 3,27 78,38 ± 1,84

Pertambahan (cm/minggu) 1,43 ± 0,23 1,06 ± 0,63

Dalam Dada (cm) 31,90 ± 3,15 33,50 ± 1,68

Pertambahan (cm/minggu) 1,05 ± 0,82 1,25 ± 0,61

Lebar Dada (cm) 18,90 ± 1,39 19,25 ± 1,26

Pertambahan (cm/minggu) -0,05 ± 0,21 0,00 ± 0,00

Keterangan: Superskrip pada baris yang sama, menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

Rataan ukuran tubuh pedet dapat dilihat pada Tabel 7. Ukuran tubuh antar perlakuan tidak menunjukan perbedaan yang nyata, namun pada lingkar perut pedet yang mendapat inokulasi bakteri pencerna serat lebih besar dibandingkan kelompok pedet kontrol. Hal tersebut diduga terkait dengan konsumsi bahan kering yang cenderung lebih tinggi pada pedet yang mendapat inokulasi bakteri pencerna serat. Ukuran tubuh pedet yang meliputi lingkar dada, lingkar perut, panjang badan, tinggi badan, dalam dada, dan lebar dada pada pedet perlakuan inokulasi secara umum cenderung lebih tinggi dibandingkan pedet kontrol. Hal ini terkait dengan


(39)

pertambahan bobot badan yang cenderung lebih besar pada kelompok pedet yang mendapat inokulasi bakteri pencerna serat dibandingkan dengan kelompok pedet kontrol. Hal tersebut juga mengindikasikan bahwa inokulasi bakteri pencerna serat dapat meningkatkan ukuran tubuh pedet.


(40)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Inokulasi bakteri pencerna serat yang berasal dari rumen kerbau berpotensi memperbaiki kondisi fisiologis dan mendorong peningkatan konsumsi nutrien, pertambahan bobot badan, ukuran tubuh, dan peningkatan kemampuan pedet beradaptasi dengan lingkungan.

Saran

Inokulasi isolat bakteri pencerna serat pada dosis yang lebih tinggi diperkirakan dapat memperbaiki status fisiologis pedet periode prasapih.


(41)

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillahirabbil’aalamiin.

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala nikmat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, MAgrSc. sebagai pembimbing utama dan pembimbing akademik serta Dr. Ir. Dwierra Evvyernie Amirroenas, MS., MSc. sebagai pembimbing anggota yang telah meluangkan banyak waktu untuk memberikan masukan, pengarahan, bimbingan, saran, nasihat dan semangat selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Peternakan IPB.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada kedua orang tua tercinta yaitu Ayahanda A. H. Hidayat (alm.) dan Ibunda Sri Hayati atas perhatian, kasih sayang, doa, dan dukungan, baik secara spiritual maupun material yang telah diberikan kepada penulis selama ini. Semoga penulis dapat memenuhi harapan, bisa dibanggakan, memberikan yang terbaik, dan selalu berbakti kepada kedua orang tua.

Serta kakak ku Hayatun, Aryanto, dan Yusron Ni’am atas segala bentuk dukungan dan kasih sayang yang telah diberikan.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Iwan Prihantoro, S.Pt, M.Si. dan Ibu Dian Anggraeni yang telah banyak membantu dalam proses penelitian, memberikan pengetahuan selama penulis melakukan penelitian, membantu penulis dalam melakukan analisis di laboratorium dan penyelesaian tugas akhir ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kak Ristia, Kak Arif, dan Kak Fahmul yang telah membantu dalam penelitian.

Terima kasih kepada TEMPE (Team Pedet), yaitu: Desra Chairunisa Sihombing, Ayu Puspitasari, Nurlita Rahayu, dan Ninuk Sri Yunitasari atas bantuan kerjasama, pengertian, dan telah bersedia melakukan penelitian bersama di kandang sebagai satu tim yang solid, serta telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.


(42)

Terima kasih kepada Rizkinia Gunarsih dan Ina Winaningsih yang telah membantu penelitian dalam menumbuhkan bakteri untuk pembuatan probiotik. Terima kasih kepada Rolis Perdhanayuda dan Muhamad Lukmannulhakim yang telah membantu, memberikan saran-saran, senasib sepenanggungan dalam suka duka, dan membangkitkan motivasi. Terima kasih kepada Ari Sukma Kinanti yang telah mengajarkan keceriaan, kesabaran, dan sifat tulus ikhlas, jasa kalian sangat berarti.

Terima kasih kepada pemilik dan pengelola kosan yang telah mengajarkan

keluar dari “zona nyaman”, kesabaran, keikhlasan, dan telah mengizinkan untuk

menetap di kosan tersebut. Semoga diberikan hidayah dan amal kebaikan beliau mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Amiin.

Terima kasih kepada seluruh keluarga IKC IPB, personil INTP 43, teman kosan Al Izzah B, dan dosen serta civitas akademika Fapet IPB yang tidak dapat disebutkan satu persatu karena kebersamaannya, persaudaraan, bimbingan, nasihat, dan ilmu yang diberikan. Semoga sukses bahagia dunia akhirat. Amiin.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya.

Bogor, Januari 2011


(43)

DAFTAR PUSTAKA

Amin, M. 1997. Pengaruh penggunaan probiotik Saccharomyces cerevisiae dan

Aspergillus oryzae dalam ransum pada populasi mikroba, aktivitas fermentasi rumen, kecernaan, dan pertumbuhan sapi perah dara. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Arora, S. P. 1989. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Terjemahan : Retno Muwarni. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta.

Astuti, R. 2010. Isolasi dan seleksi bakteri pencerna serat asal rumen kerbau berdasarkan pertumbuhannya pada berbagai pakan sumber serat. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Choliq, C. 1992. Studi gambaran kimia darah dan hemogram sederhana dari anak sapi penderita diare. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Cullison, A. E., R. S. Lowrey, & T. W. Perry. 2003. Feeds and Feeding. 6th ed. Pearson Education, Inc. Upper Saddle River, New York.

Diwyanto, K. 1982. Pengamatan fenotip domba priangan serta hubungan antara beberapa ukuran tubuh dengan bobot badan. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Frandson, R. D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Terjemahan: B. Srigandono & K. Praseno. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta.

Gayatri, I. 2010. Kemampuan isolat bakteri asal rumen kerbau dalam mencerna komponen serat. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Hallberg, L. 1988. Besi. Dalam: R. E. Olson (Editor). Pengetahuan Gizi Mutakhir Mineral. Terjemahan: Present knowledge in Nutrition. Gramedia, Jakarta. Isnaeni, W. 2006. Fisiologi Hewan. Kanisius, Yogyakarta.

Jones, C. M. & A. J. Heinrichs. 2007. Early Weaning Strategies. The Pennsylvania State University, Pennsylvania. http://www.das.psu.edu/research-extension/dairy/nutrition/pdf/earlywean07117.pdf/?searchterm=early%20wea ning%20strategies. [8 Oktober 2010].

Lawrence, T. L. J. & V. R. Fowler. 2002. Growth of Farm Animals. 2nd ed. CABI Publishing. CABI International, Wallingford, Oxon Ox 10 8de, UK.

National Research Council. 2001. Nutrient Requirements of Dairy Cattle: 7th Revised Edition National Academy Press, Washington.

Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Universitas Indonesia Press, Jakarta.


(44)

Piliang, W. G. & S. Djojosoebagio. 2006. Fisiologi Nutrisi, Volume II. Institut Pertanian Bogor Press, Bogor.

Rakhmanto, F. 2009. Pertambahan ukuran tubuh dan bobot badan pedet sapi FH jantan lepas sapih yang diberi ransum bersuplemen biomineral cairan rumen. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Restz, L. L., Smith W. H., & Plumlee M. P. 1960. A simple wet oxidation procedure for biological material. Animal Science Departement, Purdue University, West La Fayeetee. Animal Chemistry Vol 32:1728.

Roy, J. H. B. 1980. The Calf, Studies in Agriculture and Food Science. 4th ed. Butterworths, London.

Sakinah, D. 2005. Kajian suplementasi probiotik bermineral terhadap produksi VFA, NH3 dan kecernaan zat makanan pada domba. Skripsi. Fakultas Peternakan,

Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Salisbury, G. W. & N. L. Van Demark. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Terjemahan: R. Djanuar. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta.

Siti, N. W. 1996. Pengaruh ragi tape sebagai sumber probiotik pada kecernaan ransum, aktivitas fermentasi dan populasi mikroba rumen kerbau. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Smith, J. B. & S. Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Steel, R. G. D. & J. H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan: B. Sumantri. Gramedia, Jakarta.

Swenson, M. J. & W. O. Reece. 1993. Dukes’ Physiology of Domestic Animals, 11th

ed. Comstock Publishing Associates a Division of Cornell University Press, Ithaca and London.

Underwood, E. J. & N. F. Suttle. 1999. The Mineral Nutrition of Livestock 3rd ed. CABI Publishing, New York.

Ungerer, T. 1985. Study faal tentang produktivitas sapi perah dalam kondisi lingkungan panas. Laporan Penelitian. Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat. Dirjen Pendidikan Tinggi, Jakarta.

Williamson, F. G. & W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Terjemahan: S. D. Darmadja. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta.


(45)

LAMPIRAN


(46)

Lampiran 1. Hasil Uji-t Konsumsi Susu dan Calf Starter

Peubah thitung t0,05 t0,01 Kesimpulan

Konsumsi Starter (BS) 2,07 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata Konsumsi Susu (BS) 0 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata Konsumsi Total (BS) 2,11 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata Konsumsi Starter (BK) 2,11 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata Konsumsi Susu (BK) 0 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata Konsumsi Total (BK) 2,11 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Lampiran 2. Hasil Uji-t Konsumsi Co Pakan dan Kandungan Co Darah Peubah thitung t0,05 t0,01 Kesimpulan

Konsumsi Co Pakan 2,11 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata Kandungan Co Darah 0,19 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Lampiran 3. Hasil Uji-t Nilai Profil Darah Pedet

Peubah thitung t0,05 t0,01 Kesimpulan

BDM 0,93 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata Hematokrit 1,39 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata Hemoglobin 1,28 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Lampiran 4. Hasil Uji-t Denyut Jantung, Respirasi, dan Suhu Rektal Pedet Peubah thitung t0,05 t0,01 Kesimpulan

Denyut Jantung Pagi 0,76 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata Denyut Jantung Sore 2,24 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata Respirasi Pagi 2,54 2,36 3,50 Beda Nyata Respirasi Sore 3,41 2,36 3,50 Beda Nyata Suhu Rektal Pagi 2,52 2,36 3,50 Beda Nyata Suhu Rektal Sore 1,32 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata


(47)

Lampiran 5. Hasil Uji-t Bobot Badan (BB) dan Pertambahan Bobot Badan (PBB) Peubah thitung t0,05 t0,01 Kesimpulan

BB Awal 1,42 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata BB Akhir 2,48 2,36 3,50 Beda Nyata PBB 2,10 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata Lampiran 6. Hasil Uji-t Ukuran Tubuh Pedet

Peubah thitung t0,05 t0,01 Kesimpulan

Lingkar Dada 1,12 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata Pertambahan 1,08 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata Lingkar Perut 2,64 2,36 3,50 Beda Nyata Pertambahan 2,96 2,36 3,50 Beda Nyata Panjang Badan 0,83 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata Pertambahan 0,18 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata Tinggi Badan 1,48 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata Pertambahan 1,22 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata Dalam Dada 0,91 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata Pertambahan 0,40 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata Lebar Dada 0,39 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata Pertambahan 0,47 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Keterangan: thitung = nilai t yang diperoleh dari hasil pengolahan data

t0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar

5%(α=0,05)

t0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar

1%(α=0,01)

t hitung > t tabel baik pada taraf nyata 5% maupun 1%, sehingga terdapat perbedaaan yang nyata antara pedet yang diberi inokulasi dengan kontrol


(48)

STATUS FISIOLOGIS DAN PERFORMA PEDET PERANAKAN

FRIESIAN HOLSTEIN PRASAPIH YANG DIINOKULASI

BAKTERI PENCERNA SERAT DENGAN PAKAN

BERSUPLEMEN KOBALT

SKRIPSI

AHMAD HADZIQ

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(1)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Inokulasi bakteri pencerna serat yang berasal dari rumen kerbau berpotensi memperbaiki kondisi fisiologis dan mendorong peningkatan konsumsi nutrien, pertambahan bobot badan, ukuran tubuh, dan peningkatan kemampuan pedet beradaptasi dengan lingkungan.

Saran

Inokulasi isolat bakteri pencerna serat pada dosis yang lebih tinggi diperkirakan dapat memperbaiki status fisiologis pedet periode prasapih.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Amin, M. 1997. Pengaruh penggunaan probiotik Saccharomyces cerevisiae dan

Aspergillus oryzae dalam ransum pada populasi mikroba, aktivitas fermentasi rumen, kecernaan, dan pertumbuhan sapi perah dara. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Arora, S. P. 1989. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Terjemahan : Retno Muwarni. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta.

Astuti, R. 2010. Isolasi dan seleksi bakteri pencerna serat asal rumen kerbau berdasarkan pertumbuhannya pada berbagai pakan sumber serat. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Choliq, C. 1992. Studi gambaran kimia darah dan hemogram sederhana dari anak sapi penderita diare. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Cullison, A. E., R. S. Lowrey, & T. W. Perry. 2003. Feeds and Feeding. 6th ed. Pearson Education, Inc. Upper Saddle River, New York.

Diwyanto, K. 1982. Pengamatan fenotip domba priangan serta hubungan antara beberapa ukuran tubuh dengan bobot badan. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Frandson, R. D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Terjemahan: B. Srigandono & K. Praseno. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta.

Gayatri, I. 2010. Kemampuan isolat bakteri asal rumen kerbau dalam mencerna komponen serat. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Hallberg, L. 1988. Besi. Dalam: R. E. Olson (Editor). Pengetahuan Gizi Mutakhir Mineral. Terjemahan: Present knowledge in Nutrition. Gramedia, Jakarta. Isnaeni, W. 2006. Fisiologi Hewan. Kanisius, Yogyakarta.

Jones, C. M. & A. J. Heinrichs. 2007. Early Weaning Strategies. The Pennsylvania

State University, Pennsylvania.

http://www.das.psu.edu/research-extension/dairy/nutrition/pdf/earlywean07117.pdf/?searchterm=early%20wea ning%20strategies. [8 Oktober 2010].

Lawrence, T. L. J. & V. R. Fowler. 2002. Growth of Farm Animals. 2nd ed. CABI Publishing. CABI International, Wallingford, Oxon Ox 10 8de, UK.

National Research Council. 2001. Nutrient Requirements of Dairy Cattle: 7th Revised Edition National Academy Press, Washington.

Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Universitas Indonesia Press, Jakarta.


(3)

Piliang, W. G. & S. Djojosoebagio. 2006. Fisiologi Nutrisi, Volume II. Institut Pertanian Bogor Press, Bogor.

Rakhmanto, F. 2009. Pertambahan ukuran tubuh dan bobot badan pedet sapi FH jantan lepas sapih yang diberi ransum bersuplemen biomineral cairan rumen. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Restz, L. L., Smith W. H., & Plumlee M. P. 1960. A simple wet oxidation procedure for biological material. Animal Science Departement, Purdue University, West La Fayeetee. Animal Chemistry Vol 32:1728.

Roy, J. H. B. 1980. The Calf, Studies in Agriculture and Food Science. 4th ed. Butterworths, London.

Sakinah, D. 2005. Kajian suplementasi probiotik bermineral terhadap produksi VFA, NH3 dan kecernaan zat makanan pada domba. Skripsi. Fakultas Peternakan,

Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Salisbury, G. W. & N. L. Van Demark. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Terjemahan: R. Djanuar. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta.

Siti, N. W. 1996. Pengaruh ragi tape sebagai sumber probiotik pada kecernaan ransum, aktivitas fermentasi dan populasi mikroba rumen kerbau. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Smith, J. B. & S. Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Steel, R. G. D. & J. H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan: B. Sumantri. Gramedia, Jakarta.

Swenson, M. J. & W. O. Reece. 1993. Dukes’ Physiology of Domestic Animals, 11th

ed. Comstock Publishing Associates a Division of Cornell University Press, Ithaca and London.

Underwood, E. J. & N. F. Suttle. 1999. The Mineral Nutrition of Livestock 3rd ed. CABI Publishing, New York.

Ungerer, T. 1985. Study faal tentang produktivitas sapi perah dalam kondisi lingkungan panas. Laporan Penelitian. Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat. Dirjen Pendidikan Tinggi, Jakarta.

Williamson, F. G. & W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Terjemahan: S. D. Darmadja. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta.


(4)

LAMPIRAN


(5)

Lampiran 1. Hasil Uji-t Konsumsi Susu dan Calf Starter

Peubah thitung t0,05 t0,01 Kesimpulan

Konsumsi Starter (BS) 2,07 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Konsumsi Susu (BS) 0 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Konsumsi Total (BS) 2,11 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Konsumsi Starter (BK) 2,11 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Konsumsi Susu (BK) 0 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Konsumsi Total (BK) 2,11 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Lampiran 2. Hasil Uji-t Konsumsi Co Pakan dan Kandungan Co Darah

Peubah thitung t0,05 t0,01 Kesimpulan

Konsumsi Co Pakan 2,11 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Kandungan Co Darah 0,19 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Lampiran 3. Hasil Uji-t Nilai Profil Darah Pedet

Peubah thitung t0,05 t0,01 Kesimpulan

BDM 0,93 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Hematokrit 1,39 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Hemoglobin 1,28 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Lampiran 4. Hasil Uji-t Denyut Jantung, Respirasi, dan Suhu Rektal Pedet

Peubah thitung t0,05 t0,01 Kesimpulan

Denyut Jantung Pagi 0,76 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Denyut Jantung Sore 2,24 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Respirasi Pagi 2,54 2,36 3,50 Beda Nyata

Respirasi Sore 3,41 2,36 3,50 Beda Nyata

Suhu Rektal Pagi 2,52 2,36 3,50 Beda Nyata


(6)

Lampiran 5. Hasil Uji-t Bobot Badan (BB) dan Pertambahan Bobot Badan (PBB)

Peubah thitung t0,05 t0,01 Kesimpulan

BB Awal 1,42 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

BB Akhir 2,48 2,36 3,50 Beda Nyata

PBB 2,10 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Lampiran 6. Hasil Uji-t Ukuran Tubuh Pedet

Peubah thitung t0,05 t0,01 Kesimpulan

Lingkar Dada 1,12 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Pertambahan 1,08 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Lingkar Perut 2,64 2,36 3,50 Beda Nyata

Pertambahan 2,96 2,36 3,50 Beda Nyata

Panjang Badan 0,83 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Pertambahan 0,18 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Tinggi Badan 1,48 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Pertambahan 1,22 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Dalam Dada 0,91 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Pertambahan 0,40 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Lebar Dada 0,39 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Pertambahan 0,47 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Keterangan: thitung = nilai t yang diperoleh dari hasil pengolahan data

t0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar

5%(α=0,05)

t0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar

1%(α=0,01)

t hitung > t tabel baik pada taraf nyata 5% maupun 1%, sehingga terdapat perbedaaan yang nyata antara pedet yang diberi inokulasi dengan kontrol