Respon penambahan di-metionin pada ransum mengandung aflatoksin terhadap performa ayam broiler

(1)

RESPON PENAMBAHAN DL-METIONIN PADA RANSUM

MENGANDUNG AFLATOKSIN TERHADAP

PERFORMA AYAM BROILER

SKRIPSI

AMERLINDA LOTONG

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(2)

RINGKASAN

Amerlinda Lotong. D24060180. 2010. Respon Penambahan DL-Metionin pada Ransum yang Mengandung Aflatoksin terhadap Performa Ayam Broiler. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc. Agr. Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc.

Kualitas jagung untuk pakan ternak juga ditentukan oleh ada tidaknya cemaran aflatoksin pada jagung tersebut. Aflatoksin tidak dapat dihilangkan dari pakan unggas tetapi keracunan dari aflatoksin dapat ditekan sekecil mungkin dengan meningkatkan kadar protein dalam ransum unggas. Pada masa pertumbuhan ayam membutuhkan asupan protein khususnya asam amino metionin yang dapat berfungsi untuk pertumbuhan dan perbaikan jaringan tubuh serta meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit dan racun pada level tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian DL-metionin pada pakan mengandung aflatoksin terhadap performa ayam broiler, serta mengetahui level optimal pemberian DL-metionin pada pakan mengandung aflatoksin.

Penelitian ini menggunakan 480 ekor ayam broiler strain Ross yang dibagi menjadi 24 kelompok dan diberikan pakan mengandung aflatoksin dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial, dimana DL-metionin (0%, 0,25% dan 0,35% untuk ransum ayam broiler periode starter, 0%, 0,20% dan 0,30% untuk ransum periode finisher) sebagai faktor A dan aflatoksin (0 ppb dan 150 ppb) sebagai faktor B. Ransum dan air minum diberikan ad libitum. Peubah yang diamati adalah konsumsi air minum, konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, konversi ransum, dan mortalitas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan DL-metionin dalam ransum dapat mempengaruhi konsumsi air minum, konsumsi ransum dan pertambahan bobot badan ayam broiler. Penambahan DL-metionin 0,20% dan 0,30% pada ransum yang mengandung aflatoksin dapat meningkatkan konsumsi air minum ayam periode finisher dan kumulatif. Penambahan 0,20% DL-metionin dalam ransum mengandung aflatoksin juga dapat meningkatkan konsumsi ransum ayam periode finisher dan pertambahan bobot badan ayam secara kumulatif. Tidak ada interaksi antara penambahan aflatoksin dan DL-metionin terhadap peubah yang diukur. Disimpulkan bahwa penambahan DL-metionin 0,20% pada ransum mengandung aflatoksin mampu meningkatkan konsumsi air minum, konsumsi ransum, dan pertambahan bobot badan, meskipun tidak memperbaiki nilai konversi ransumnya.


(3)

ABSTRACT

Performance of Broiler Fed Diet Containing Aflatoxin and Supplement with DL-Methionine

A. Lotong, I. G. Permana and Nahrowi

Aflatoxin is a secondary metabolite from Aspergillus flavus and A. parasiticus that grow on different types of feedstuffs, especially in corn. The addition of methionine in the diet increased the growth, repaired body tissue and increased body resistance against disease and toxic from aflatoxin at a certain level. The experiment was arranged with factorial completely randomized design with four replications, factor A was the level of DL-methionine (0%, 0.25% and 0.35% for starter; 0%, 0.20% and 0.30% for finisher) and factor B was the level of aflatoksin (0 ppb and 150 ppb). Variables measured were water and feed intake, body weight gain, feed conversion, and mortality. The results showed that water and feed intake, and body weight gain increased for finisher broiler fed diet added with DL-methionine. Addition of 0.20% and 0.30% DL-methionine in the diet containing 150 ppb aflatoxin increased water intake. Feed intake and weight gain were also higher for broiler fed diets added with 0.20% DL-methionine. There were no interaction between aflatoxin and addition of methionine on the measured variables. It is concluded that addition of DL-methionine in rations containing aflatoxin affected performance of broiler in finisher period.


(4)

RESPON PENAMBAHAN DL-METIONIN PADA RANSUM

MENGANDUNG AFLATOKSIN TERHADAP

PERFORMA AYAM BROILER

AMERLINDA LOTONG D24060180

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NITRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(5)

Judul : Respon Penambahan DL-Metionin pada Ransum Mengandung Aflatoksin terhadap Performa Ayam Broiler

Nama : Amerlinda Lotong NRP : D24060180

Menyetujui,

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

(Dr. Ir. Idat G. Permana, MSc. Agr ) (Prof. Dr. Ir. Nahrowi, MSc.) NIP. 19670506 199103 1 001 NIP. 19620425 198603 1 002

Mengetahui, Ketua Departemen

Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

(Dr. Ir. Idat G. Permana, MSc. Agr) NIP. 19670506 199103 1 001


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Rantepao, Sulawesi Selatan pada tanggal 07 Agustus 1988 sebagai anak ketiga dari tujuh bersaudara dari pasangan Bapak Lukas Lotong dan Ibu Kristina Embatau.

Pada tahun 1994, penulis masuk Taman Kanak-kanak (TK) Kristen Rantepao. Penulis melanjutkan sekolah dasar di SD 5 Kristen Rantepao pada tahun 1995 dan lulus pada tahun 2000. Pendidikan lanjutan pertama dimulai penulis pada tahun 2000 di SMP Negeri 1 Rantepao, lulus pada tahun 2003, kemudian melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 1 Rantepao dan lulus pada tahun 2006. Penulis diterima pada tahun 2006 sebagai mahasiswi Tingkat Persiapan Bersama di Institut Pertanian Bogor melalui jalur BUD (Beasiswa Utusan Daerah) dan pada tahun kedua terdaftar sebagai salah satu mahasiswi mayor Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan (INTP), Fakultas Peternakan.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Nutrisi dan Makanan Ternak (HIMASITER) periode 2007-2008 dan periode 2008-2009 sebagai anggota NUTRISARI, aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) dalam Komisi Kesenian sebagai Koordinator Pemerhati periode 2008-2009, Tim Asistensi IPB (asisten perkuliahan agama Kristen IPB) periode 2009-2010, dan aktif dalam organisasi Youth of Nations Ministry (YONM) sebagai Koordinator Tim Kreatif Ministry periode 2009-2010. Penulis juga aktif berpartisipasi dalam berbagai kegiatan kepanitiaan seperti Pelatihan Pembuatan UMB (2008), Masa Pengenalan Fakultas Peternakan Angkatan 45 (2008), Natal CIVA (2008), Leadership Camp (2008 & 2009), Natal POPK Fapet IPB (2009), Pelatihan Pembuatan Pakan Ternak (2009), Reat-Ret Angkatan PMK IPB (2009/2010), Unlocking Potential Collage Conference (2010). Penulis pernah mengikuti beberapa seminar dan pelatihan seperti Seminar Pakan Nasional (2007), Festival Seni PMK IPB (2007), Leadership Camp (2007), Fapet Goes to PIMNAS XXII (2008), dan Seminar Feed Quality Control (2009).


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala kasih setia, inspirasi serta penyertaan-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Respon Penambahan Dl-Metionin pada Ransum Mengandung Aflatoksin terhadap Performa Ayam Broiler” yang ditulis berdasarkan hasil penelitian pada bulan Juli 2010 di Laboratorium Lapang Nutrisi Unggas, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi ini memuat informasi mengenai penambahan DL-metionin dalam ransum yang mengandung aflatoksin terhadap performa ayam broiler. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian DL-metionin pada pakan mengandung aflatoksin terhadap performa ayam broiler, serta mengetahui level optimal pemberian DL-metionin pada pakan mengandung aflatoksin.

Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan informasi yang baru dalam dunia peternakan dan dapat bermanfaat bagi setiap pihak yang membutuhkan.

Bogor, Januari 2011


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... i

ABSTRACT... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

RIWAYAT HIDUP ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Ayam Broiler ... 3

Jagung (Zea mays L.) ... 4

Aflatoksin... 5

Pengaruh Aflatoksin pada Ternak Unggas ... 7

Asam Amino Metionin ... 9

DL-Metionin ... 10

Performa ... 11

Konsumsi Air Minum ... 11

Konsumsi Ransum ... 12

Pertambahan Bobot Badan ... 13

Konversi Ransum ... 14

Mortalitas ... 15

MATERI DAN METODE ... 17

Waktu dan Tempat Penelitian ... 17

Materi Penelitian ... 17

Alat dan Bahan ... 17

Metode Penelitian ... 18

Pembiakan Jamur Aspergillus flavus ... 18

Transfer Kapang Aspergillus flavus ke Jagung ... 19

Pembuatan ransum ... 20

Alur Pembuatan Pakan ... 25

Pemeliharaan ... 26

Rancangan Percobaan ... 26


(9)

Perlakuan ... 27

Peubah yang diamati ... 27

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

Ransum Penelitian ... 29

Pengaruh Perlakuan terhadap Performa Ayam Broiler ... 31

Konsumsi Air Minum ... 31

Konsumsi Ransum ... 33

Pertambahan Bobot Badan... 36

Konversi Ransum ... 39

Mortalitas ... 41

KESIMPULAN DAN SARAN ... 42

Kesimpulan ... 42

Saran ... 42

UCAPAN TERIMAKASIH ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... 44


(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Konsumsi, Bobot Badan, Pertambahan Bobot badan, dan Konversi Ransum yang Direkomendasikan ... 11 2. Rata-rata Suhu Lingkungan yang Direkomendasikan ... 14 3. Hubungan Kebutuhan Energi, Protein dan Konversi Ransum ... 15 4. Formula dan Komposisi Nutrien Ransum Ayam Broiler Periode

Starter (0-3 minggu) ... 21

5. Kandungan Asam Amino Ransum Penelitian Periode Starter

(0-3 minggu) ... 22 6. Formula dan Komposisi Nutrien Ransum Ayam Broiler Periode

Finisher (3-6minggu) ... 23

7. Kandungan Asam Amino Ransum Penelitian Periode Finisher (3-6 minggu) ... 24

8. Kandungan Aflatoksin dalam Ransum Perlakuan Periode Starter dan Finisher ... 30

9. Konsumsi Air Minum (ml/ekor) Ayam Broiler Periode Starter dan

Finisher yang Mendapat Ransum Mengandung Aflatoksin dengan Penambahan DL-Metionin ... 33

10. Konsumsi Ransum (gr/ekor) Ayam Broiler Periode Starter dan

Finisher yang Mendapat Ransum Mengandung Aflatoksin dengan Penambahan DL-Metionin ... 35 11. Pertambahan Bobot Badan (gr/ekor) Ayam Broiler Periode Starter

dan Finisher yang Mendapat Ransum Mengandung Aflatoksin dengan Penambahan DL-Metionin ... 38

12. Konversi Ransum Ayam Broiler umur 0–6 minggu yang Mendapat Ransum Mengandung Aflatoksin dan Penambahan DL-Metionin ... 41


(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Jagung Aflatoksin ... 4

2. Jamur Aspergillus flavus ... 6

3. Struktur Aflatoksin ... 7

4. Struktur Metionin ... 9

5. Pembiakan Jamur Aspergillus flavus ... 18

6. Transfer Kapang Aspergillus flavus ke Jagung ... 19

7. Alur Pembuatan Pakan ... 25

8. Konsumsi Air Minum Ayam Broiler Umur 0 – 6 Minggu, (a) level aflatoksin 0 ppb;(b) level aflatoksin 150 ppb ... 32

9. Konsumsi Ransum Ayam Broiler Umur 0 – 6 Minggu, (a) level aflatoksin 0 ppb;(b) level aflatoksin 150 ppb ... 34

10. Pertambahan Bobot Badan Ayam Broiler Umur 0 – 6 Minggu, (a) level aflatoksin 0 ppb; (b) level aflatoksin 150 ppb ... 37

11. Konversi Ransum Ayam Broiler Umur 0 – 6 Minggu, (a) level aflatoksin 0 ppb;(b) level aflatoksin 150 ppb ... 40


(12)

xi DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Rataan Konsumsi Air Minum Ayam Broiler Selama Enam Minggu ... 49

2. Analisis Ragam Konsumsi Air Minum Ayam Broiler Selama Enam Minggu ... 49

3. Uji Kontras Ortogonal Konsumsi Air Minum Ayam Broiler Selama Enam Minggu ... 49

4. Rataan Konsumsi Air Minum Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) ... 50

5. Analisis Ragam Konsumsi Air Minum Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) ... 50

6. Rataan Konsumsi Air Minum Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) ... 50

7. Analisis Ragam Konsumsi Air Minum Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) ... 50

8. Uji Kontras Ortogonal Konsumsi Air Minum Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) ... 51

9. Rataan Konsumsi Ransum Ayam Broiler Enam Minggu Pemeliharaan ... 51

10. Analisis Ragam Konsumsi Ransum Ayam Broiler Selama Enam Minggu ... 51

11. Rataan Konsumsi Ransum Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) ... 52

12. Analisis Ragam Konsumsi Ransum Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) ... 52

13. Rataan Konsumsi Ransum Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) .. 52

14. Analisis Ragam Konsumsi Ransum Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) ... 52

15. Uji Kontras Ortogonal Konsumsi Ransum Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) ... 53

16. Rataan Pertambahan Bobot Badan Ayam Broiler 0-1 Minggu ... 53

17. Analisis Ragam Pertambahan Bobot Badan Ayam Broiler 0-1 Minggu ... 53

18. Rataan Pertambahan Bobot Badan Ayam Broiler 1-2 Minggu ... 53

19. Analisis Ragam Pertambahan Bobot Badan Ayam Broiler 1-2 Minggu ... 54

20. Rataan Pertambahan Bobot Badan Ayam Broiler 2-3 Minggu ... 54


(13)

22. Rataan Pertambahan Bobot Badan Ayam Broiler 3-4 Minggu ... 54

23. Analisis Ragam Pertambahan Bobot Badan Ayam Broiler 3-4 Minggu ... 55

24. Rataan Pertambahan Bobot Badan Ayam Broiler 4-5 Minggu ... 55

25. Analisis Ragam Pertambahan Bobot Badan Ayam Broiler 4-5 Minggu ... 56

26. Rataan Pertambahan Bobot Badan Ayam Broiler 5-6 Minggu ... 55

27. Analisis Ragam Pertambahan Bobot Badan Ayam Broiler 5-6 Minggu ... 56

28. Rataan Pertambahan Bobot Badan Ayam Broiler Selama Enam Minggu ... 56

29. Analisis Ragam Pertambahan Bobot Badan Ayam Broiler Selama Enam Minggu ... 56

30. Uji Kontras Ortogonal Pertambahan Bobot Badan Ayam Broiler Selama Enam Minggu ... 56

31. Rataan Konversi Ransum Ayam Broiler Selama Enam Minggu ... 57


(14)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Ayam broiler merupakan ternak yang penting dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat. Dalam mengembangkan usaha ternak ayam pedaging, pada umumnya peternak memberikan ransum yang sesuai dengan kebutuhan untuk pertumbuhan dan produksi, khususnya untuk produksi daging dari ayam broiler.

Sumber energi utama dalam ransum ayam pedaging yang sering digunakan adalah jagung. Kualitas jagung untuk pakan ternak selain ditentukan oleh kandungan nutriennya, juga ditentukan oleh ada tidaknya cemaran aflatoksin pada jagung tersebut. Kandungan aflatoksin yang tinggi pada jagung akan berkontribusi besar pada kandungan aflatoksin ransum, karena sekitar 50% bahan dasar pakan unggas berasal dari jagung. Jika pakan yang tercemar aflatoksin diberikan pada ternak unggas, maka proses pertumbuhan akan terhambat dan produk ternak juga akan terkontaminasi dari toksik tersebut sehingga dapat membahayakan konsumen dan dapat merugikan secara ekonomi (Budiarso, 1995; Salay et al., 2002).

Aflatoksin merupakan metabolit sekunder dari jamur Aspergillus flavus dan

A. parasiticus yang tumbuh pada berbagai jenis bahan pakan, dimana jagung merupakan bahan pakan yang seringkali mengandung aflatoksin yang tinggi. Aflatoksin dapat mengakibatkan kegagalan vaksinasi, hewan lebih peka terhadap penyakit menular, daya tahan terhadap cekaman (stress) menurun dan pigmen pada karkas juga berkurang, pertumbuhan terganggu dan kelainan berupa pendarahan dan memar (Ahmad, 2009; Pasha et al., 2007). Aflatoksin tidak dapat dihilangkan dari pakan unggas tetapi keracunan dapat ditekan sekecil mungkin dengan meningkatkan kadar protein dalam ransum (Ginting, 1983).

DL-metionin merupakan salah satu asam amino essensial yang harus ditambahkan dalam pakan yang diberikan pada ayam, selama pakan utama ayam dari butiran dan biji-bijian. DL-metionin memiliki kelebihan yaitu dapat memperkuat kondisi tubuh, mampu memperbaiki pertumbuhan dan meningkatkan bobot badan. Pemberian DL-metionin sesuai kebutuhan dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit dan racun pada level tertentu (Poultry Indonesia, 2010). Oleh karena itu perlu adanya penambahan asam amino DL-metionin dalam ransum


(15)

karena dapat mempengaruhi pertumbuhan, produksi dan dapat menanggulangi racun pada bahan pakan yang diserap oleh tubuh.

Perlakuan penambahan DL-metionin dalam ransum mengandung aflatoksin, diharapkan dapat memperbaiki performa ayam broiler.

Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui pengaruh pemberian ransum mengandung aflatoksin terhadap konsumsi, pertambahan bobot badan, konversi ransum, dan mortalitas.

2. Mengetahui pengaruh pemberian DL-Metionin pada ransum mengandung aflatoksin terhadap konsumsi, pertambahan bobot badan, konversi ransum, dan mortalitas.

3. Mengetahui level optimal pemberian DL-Metionin pada ransum mengandung aflatoksin.


(16)

TINJAUAN PUSTAKA Ayam Broiler

Ayam broiler termasuk ke dalam ordo Galliformes, famili Phasianidae, genus

Gallis, dan spesies Gallus domesticus. Strain Ross merupakan bibit ayam broiler yang dirancang untuk memuaskan konsumen yang menginginkan performa yang konsisten dan produk daging yang beraneka ragam. Keunggulan yang dimiliki oleh

strain Ross adalah sehat dan kuat, tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi, kualitas daging yang baik, efisiensi pakan yang tinggi, dan dapat meminimalkan biaya produksi (Aviagen, 2007).

Amrullah (2004) menyatakan bahwa pertumbuhan yang cepat dari ayam harus diimbangi dengan ketersediaan nutrisi dalam pakan yang cukup dan keadaan lingkungan yang meliputi temperatur lingkungan dan pemeliharaan. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan (1997) menyebutkan persyaratan mutu ayam umur satu hari (DOC) adalah berat minimal 37 gram, kondisi fisik sehat, kaki normal, dapat berdiri tegak, tampak segar, aktif, tidak dehidrasi, tidak ada kelainan bentuk, tidak cacat fisik, sekitar pusar dan dubur kering serta pusar tertutup, warna bulu seragam sesuai dengan strain dan kondisi bulu kering. Menurut Siregar et al.

(1982), ayam broiler mampu mencapai bobot hidup 1,5–2 kg/ekor dalam kurun waktu 5–6 minggu. Menurut Wahju (2004) dalam ransum ayam broiler harus mengandung energi yang cukup untuk membantu reaksi-reaksi metabolik, menyokong pertumbuhan, dan mempertahankan suhu tubuh. Selain itu, ayam juga membutuhkan keseimbangan protein, fosfor, kalsium, dan mineral serta vitamin (Tobing, 2002). Zat-zat tersebut sangat berperan penting selama masa pertumbuhan ayam broiler. Untuk mendapatkan bobot badan yang sesuai dengan yang dikehendaki pada waktu yang tepat maka perlu diperhatikan ransum yang tepat, dimana kandungan energi ransum yang tepat dengan kebutuhan ayam dapat mempengaruhi konsumsi pakannya (Zaman et al., 2008). Pemberian ransum bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan, pemeliharaan panas tubuh serta berfungsi untuk membentuk sel-sel dan jaringan tubuh, mengganti sel-sel yang rusak dan selanjutnya untuk keperluan produksi (Tobing, 2002).

Periode pertumbuhan ayam broiler dibagi menjadi dua yaitu: periode starter


(17)

pertumbuhan yang berlangsung cepat dan kemudian pertumbuhan akan berlangsung lambat karena terjadi penimbunan lemak tubuh pada periode finisher umur 21 hari sampai panen. Ransum ayam broiler juga terbagi dua yaitu ransum untuk periode

starter dan ransum untuk periode finisher dengan kebutuhan protein serta energi berturut-turut sebesar 21-24%, 2800-3300 kkal dan 18-21%, 2900-3200 kkal (Wahju, 2004). Kebutuhan ransum ayam broiler tergantung pada strain, aktivitas, umur, nutrisi ransum, kesehatan, bobot badan, suhu dan kelembaban, serta kecepatan pertumbuhan.

Jagung (Zea mays L.)

Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan dunia yang penting sebagai makanan alternatif selain gandum dan padi. Jagung sebagai sumber karbohidrat/pati dan merupakan sumber energi yang tidak hanya sebagai tanaman pangan tetapi dapat juga sebagai pakan ternak yang baik (hijauan maupun tongkolnya). Meskipun jagung merupakan sumber energi tercerna tetapi jagung rendah protein. Klasifikasi ilmiah jagung yaitu jagung termasuk kerajaan: Plantae, ordo: Poales, family: Poaceae, genus: Zea, spesies: Z. mays, nama binomial: Zea mays L. Jagung mempunyai kandungan energi yang cukup tinggi yaitu 3350 kkal/kg. Jagung tidak mempunyai anti nutrisi dan sifat pencahar, serta jagung juga merupakan butiran yang mempunyai Total Nutrien Tercerna (TDN) dan Net Energi (NE) yang tinggi. Kandungan TDN jagung cukup tinggi yaitu 81,9%, hal ini karena: (1) jagung kaya akan bahan ekstrak tanpa nitrogen (Beta-N) yang hampir semuanya adalah pati; (2) jagung mengandung lemak yang tinggi dibandingkan semua butiran; (3) jagung mengandung serat kasar yang rendah sehingga mudah dicerna khususnya untuk ternak unggas (Sukria dan Rantan, 2009).

Gambar 1. Jagung Aflatoksin Sumber: Robertson, 2005


(18)

Jagung sebagai bahan pangan dan bahan pakan, mengandung substrat yang penting bagi kehidupan. Karena dalam jagung terkandung karbohidrat, lemak, protein nabati dan lain-lain. Karbohidrat sebagai substrat yang penting bagi kehidupan ternyata juga dibutuhkan oleh cendawan untuk kelangsungan hidupnya karena salah satu faktor yang mendukung pertumbuhan cendawan adalah kandungan nutrien dari jagung (Abbas et al., 2006). Kandungan karbohidrat jagung dapat mencapai 80% dari seluruh bahan kering biji jagung. Karbohidrat dalam bentuk pati umumnya berupa campuran amilosa dan amilopektin. Faktor-faktor yang menyebabkan kontaminasi pada jagung (Gambar 1) oleh cendawan antara lain kerusakan pada waktu panen, serangga, atau proses pengeringan yang kurang baik. Selain itu, cara penyimpanan di tempat terbuka penuh debu dapat menyebabkan kontaminasi jagung oleh cendawan (Abbas et al., 2006). Kandungan aflatoksin yang tinggi pada jagung akan berkontribusi besar pada kandungan aflatoksin ransum, karena sekitar 50% bahan dasar pakan unggas berasal dari jagung (Salay et al.,

2002).

Aflatoksin

Kualitas jagung untuk pakan ternak antara lain ditentukan oleh ada atau tidaknya kandungan aflatoksin dalam jagung tersebut selain kandungan nutriennya (Ginting, 1983). Jagung yang terkelupas kulitnya akan memudahkan jamur tumbuh secara cepat terutama dari jenis Aspergillus flavus.

Aspergillus flavus merupakan kapang saprofit yang menghasilkan spora berwarna cokelat kehijauan hingga kehitaman (Gambar 2). Bila Aspergillus flavus

telah memproduksi aflatoksin maka biji akan terasa pahit bila dimakan. Infeksi jamur

Aspergillus flavus terjadi pada biji dari tanaman yang mengalami cekaman kekeringan pada fase generatif, terutama pada 3-6 minggu menjelang panen. Temperatur yang diperlukan untuk pertumbuhan Aspergillus flavus yaitu minimum 6-80C, optimum 36-380C dan maksimum 44-460C (Payne, 1992; Abbas et al., 2006).

Aflatoksin merupakan segolongan senyawa toksik (mikotoksin; toksin yang berasal dari fungi) yang dapat mematikan dan karsinogenik bagi manusia dan hewan. Faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi aflatoksin oleh A. flavus adalah konsentrasi oksigen, kadar air substrat, kelembaban udara disekitar substrat, dan kandungan nutrient substrat. Pertumbuhan akan terhambat pada kondisi udara 1% O2 : 19% N2 : 80% CO2. Pengurangan kadar oksigen akan menurunkan


(19)

kandungan aflatoksin, bahkan produksi aflatoksin tidak akan terjadi pada kondisi udara 100% CO2 karena A. flavus sebagai kapang penghasil aflatoksin bersifat aerobik obligat tetapi rendahnya oksigen tidak menyebabkan kematian pada miselia dan spora (Setiyadi, 1992). Menurut Reddy dan Waliyar (2000), aflatoksin dapat tumbuh pada suhu yang sesuai dengan pertumbuhan kapang yaitu berkisar antara 4-40oC (optimal 25-32oC) dengan kadar air bahan lebih dari 18% serta kelembaban optimal di atas 85%. Selain itu, komponen bahan pakan yang terkandung di dalamnya juga dapat mempengaruhi tingginya cemaran kapang seperti kadar air, karbohidrat, lemak, mineral dan vitamin yang dibutuhkan kapang untuk kelangsungan hidupnya (Dharmaputra, 2004).

Jenis aflatoksin terdiri dari aflatoksin B1, B2, G1 dan G2. Struktur kimia aflatoksin dapat dilihat pada Gambar 3. Pemberian nama aflatoksin berdasarkan pada warna yang dihasilkan pada lempeng kromatografi lapisan tipis dengan silika gel yang disinari oleh ultraviolet. Bila berwarna biru diberi nama B (blue) sedangkan hijau diberi nama G (green). Aflatoksin B1 adalah yang paling berbahaya dibandingkan dengan yang lainnya, karena aflatoksin ini dapat menyebabkan kelainan pada hati seperti degenerasi lemak, nekrosis dan pendarahan (Ginting, 1983).

Gambar 2. Jamur A. flavus


(20)

(a). Struktur 3D Aflatoksin B1

(b) Struktur Kimia

Gambar 3. Struktur Aflatoksin

Sumber : Reddy dan Waliyar (2000)

Pengaruh Aflatoksin pada Ternak Unggas

Menurut Quist et al. (2000) dan Pasha et al. (2007), pengaruh aflatoksin terhadap performa ayam broiler antara lain dapat menurunkan konsumsi ransum, penurunan laju pertumbuhan, menekan fungsi imun karena kegagalan vaksinasi, penurunan respon antibodi terhadap vaksin, ternak lebih peka terhadap penyakit menular, daya tahan terhadap cekaman (stress) menurun, pigmen pada karkas juga berkurang, abnormal pada ternak, dan kematian. Mikotoksikosis adalah kejadian keracunan karena mengkonsumsi pakan atau makanan yang mengandung toksin yang dihasilkan berbagai jenis kapang (Ahmad, 2009). Aflatoksin dalam ransum unggas berdampak negatif untuk pertumbuhan ternak. Efek aflatoksin dalam ransum dapat ditekan sekecil mungkin dengan penambahan adsorbent (silikat), secara kimiawi (ammonia, sodium bisulfit) atau secara biologi (Saccharomyces cerevisiae) dan


(21)

dengan peningkatan kadar protein dalam ransum (Wahhab et al., 2002). Suplementasi dengan antioksidan, lemak, vitamin, selenium, asam amino bersulfur, tripeptid glutation, enzim, anti biotik serta meningkatkan protein pakan dapat menetralkan efek aflatoksin yang merugikan ternak (Leeson dan Summers, 1995).

Tempat metabolisme utama aflatoksin adalah organ hati, namun ada juga yang dimetabolisme di dalam darah dan organ lain. Efek aflatoksin yang dihasilkan akan dikurangi oleh tubuh melalui pengeluaran cairan empedu, susu, telur dan urin (Ahmad, 2009). Pada hewan, aflatoksin menyebabkan bobot organ dalam bervariasi (pembesaran hati, limpa, ginjal, fatty liver syndrome), bursa fabrisius dan timus, perubahan tekstur dan warna organ (hati, tenggorokan), anemia, hemoragi, imunosupresi, nefrosis, kerusakan kulit dan penurunan efisiensi breeding (Ahmad, 2009). Aflatoksin menyebabkan kerusakan hati, memblokir saluran pipa empedu dan penurunan kadar empedu di saluran usus lebih rendah, akibatnya penyerapan lemak menjadi sangat kurang. Aflatoksin menyebabkan iritasi di dalam rongga mulut, proventikulus, gizzard dan usus.

Menurut Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan (1997) batas maksimum kandungan aflatoksin dalam ransum untuk ayam broiler ditetapkan sebesar 50 ppb. Pada ternak unggas, dosis aflatoksin 1-4 ppm (part per million) pada ransum dapat menyebabkan kematian. Faktor lain yang mengakibatkan biji menjadi rusak adalah serangga karena spora kapang sebagian beterbangan di udara yang secara langsung atau tidak langsung terbawa oleh serangga sehingga dapat menginfeksi bahan pangan atau pakan tersebut.

Asam Amino Metionin

Metionin merupakan asam amino yang mengandung sulfur dan essensial bagi manusia dan ternak monogastrik sehingga metionin harus tersedia dalam ransum ternak. Menurut Cheeke (2005), asam amino dapat dibedakan menjadi 2 yaitu asam amino essensial dan asam amino non-essensial. Asam amino essensial yaitu asam amino yang harus tersedia cukup di dalam bahan pakan karena tidak dapat disintesis di dalam tubuh ternak, sedangkan asam amino non-essensial yaitu asam amino yang dapat disintesis oleh tubuh ternak guna mencukupi pertumbuhan normal. Pesti et al.


(22)

diperlukan oleh tubuh. Asam amino dibutuhkan untuk pertumbuhan otot dan pemeliharaan. Struktur metionin dapat dilihat pada Gambar 4.

a. Struktur 3D b. Struktur kimia Gambar 4. Struktur Asam Amino Metionin

Sumber: Harrison, 1996

Metionin mempunyai beberapa peranan yang sangat penting bagi ayam antara lain: (1) sebagai donor gugus metil dalam pembentukan kholin; (2) sebagai bahan pembentuk bulu; (3) sebagai penetral racun tubuh; (4) sebagai pembentuk taurin yang diperlukan untuk menyusun garam empedu (Anggorodi, 1995). Penambahan asam amino yang mengandung sulfur dalam ransum ayam broiler dapat diharapkan sebagai imbangan pertumbuhan yang lebih baik. Sulfur merupakan komponen asam amino sistein dan metionin, koenzim KoASH, dan vitamin-vitamin tiamin dan biotin. Sulfur terdapat sebagai ester sulfat organik dalam beberapa komponen biopolymer jaringan pengikat, dalam lipid kompleks yang disebut sulfatid glikopolid, dan dalam asam empedu terkonjugasi yang dulu dikenal sebagai agen pengemulsi untuk lemak diet dalam usus (Wirahadikusumah, 2008).

Defisiensi protein atau beberapa asam amino yang hebat menyebabkan berhentinya pertumbuhan tubuh. Menurut Jacob et al. (1996) bila suatu ransum kekurangan protein, khususnya kekurangan asam amino metionin akan berakibat pertumbuhan terhambat, penurunan berat badan ayam, mengurangi efisiensi penggunaan pakan, mengurangi sintesis enzim dan hormon, menurunkan retensi nitrogen dan meningkatkan ekskresi asam urat, bulu yang tumbuh sedikit dan besarnya proporsi lemak karkas (Ukachukwu et al., 2007). Penyusun struktur sel-sel, antibodi, hormon, dan enzim-enzim adalah protein.


(23)

DL-Metionin

DL-metionin (Dekstro-Levo methionine) sebagai komponen alam terdapat dalam konfigurasi L-metionin. Di dalam alat pencernaan asam amino-L (L-AA) mengalami deaminasi (pelepasan gugus amino) oleh mikroba menjadi asam amino

α. Asam amino α juga dideaminasikan menjadi asam amino dalam bentuk L-AA atau D-AA. Metionin dapat dibuat sintesisnya dalam bentuk DL-metionin. Ada 2 jenis asam amino sintesis yang biasa ditambahkan, pertama dalam bentuk powder metionin yaitu DL-metionin dan kedua dalam bentuk liquid metionin (Vazquez-Anion et al., 2006)

Pemberian DL-metionin perlu memperhatikan tingkat protein, bentuk fisik, dan palatabilitas bahan pakan. Pada masa pertumbuhan ayam membutuhkan asupan protein yang tinggi untuk pembangunan sel-sel baru. Sel-sel ini dibentuk dari protein dan asam amino yang stabil untuk laju pertumbuhan (Kidd et al., 2002).

Ayam yang menerima ransum yang kekurangan DL-metionin akan membutuhkan ransum lebih banyak dibandingkan ayam yang menerima ransum yang cukup mengandung DL-metionin. Dimana ternak berusaha mengkonsumsi kekurangan asam amino dengan meningkatkan konsumsi ransum sesuai dengan tingkat kekurangan asam amino dalam ransum (Lipstein et al., 1975).

Menurut Lesson dan Summers (2005), asam amino DL-metionin akan bersifat racun apabila diberikan dua kali lebih banyak dari kebutuhan karena disebabkan oleh ketidakseimbangan asam amino yang masuk kedalam tubuh. Ketidakseimbangan pola konsentrasi asam amino akan berpengaruh negatif terhadap pertambahan bobot badan, komposisi karkas, efisiensi ransum, serta pemanfaatan protein dan energi (Cheng et al., 1997; Pesti et al.,2005). Menurut fungsinya sebagai penetral racun tubuh, asam amino dapat digunakan untuk meminimalisir efek negatif aflatoksin (Leeson dan Summers, 1995). Aflatoksin yang mempunyai ikatan double bone (mempunyai ikatan rangkap) dan memiliki ikatan yang tidak seimbang sehingga dapat mengikat senyawa lain (Reddy dan Waliyar, 2000). Metionin sebagai aflatoksin binder yang mampu mengikat aflatoksin sehingga pada saat berada didalam saluran pencernaan aflatoksin tidak terserap dan dibuang melalui feses (Kinh dan Van, 2010).

DL-metionin dapat mengalami kerusakan karena beberapa faktor yang mempengaruhi seperti dari cara pengolahan secara fisik, kimia dan biologis. Secara


(24)

fisik dilakukan dengan pemanasan dan penambahan pH ekstrim; secara kimia dengan adanya penambahan pelarut organik, pengoksidasi, alkali, asam atau belerang dioksida; dan secara biologis dengan perlakuan hidrolisa enzimatis atau fermentasi. Penyebab utama terjadi kerusakan pada asam amino metionin adalah pengolahan melalui pemanasan dan kondisi saat penyimpanan (Thenawijaya, 2004).

Performa

Performa ayam broiler akan berbeda menurut tempat pemeliharaan ayam broiler tersebut. Perbedaan ini muncul karena perbedaan ketinggian atau suhu lingkungan sekitar kandang. Di daerah dataran tinggi suhu lingkungan lebih rendah dibandingkan dengan dataran rendah. Selain itu, status penyakit suatu wilayah akan mempengaruhi performa terutama angka mortalitas. Data pendukung ini berguna untuk penyesuaian terhadap spesifikasi ransum, seperti pada daerah yang suhunya tinggi lebih cocok jika menggunakan ransum dengan kandungan energi yang lebih rendah (Zaman et al., 2008). Sedangkan untuk wilayah yang endemik dengan penyakit tertentu akan mendapat perhatian dalam program vaksinasi, jenis vaksin dan obat yang digunakan (Amrullah, 2004).

Tabel 1. Konsumsi, Bobot Badan, Pertambahan Bobot badan, dan Konversi Ransum yang Direkomendasikan pada Berbagai Umur Ayam Broiler Strain Ross

Umur (minggu) Konsumsi Air Minum (ml) Konsumsi Ransum (gr) Bobot Badan (gr) Pertambahan Bobot Badan (gr) Konversi Ransum

1 225 161 182 140 0,9

2 1080 523 455 413 1,1

3 1425 1.149 874 832 1,3

4 3842 2.065 1.412 1.370 1,4

5 7035 3.248 2.021 1.939 1,6

6 10510 4.622 2633 2.470 1,7

Sumber : Aviagen (2007)

Konsumsi Air Minum

Air sangat berperan dalam tubuh terutama berperan penting dalam reaksi-reaksi biologis dan dalam mengatur temperatur tubuh (Sutardi, 1980). Dua per tiga bagian dari tubuh hewan adalah air dengan berbagai peranan untuk kehidupan (Parakkasi,1999). Pada ayam broiler konsumsi air minum erat hubungannya dengan bobot badan dan konsumsi ransum. Semakin besar bobot badan atau umur ternak


(25)

maka semakin tinggi panas yang dihasilkan sehingga konsumsi air yang digunakan untuk menyerap panas semakin tinggi (Wahju, 2004). Menurut Ensminger et al. (1992), pada umumnya ayam mengkonsumsi air minum dua kali dari bobot pakan yang dikonsumsi. Adanya racun yang masuk ke dalam tubuh sebagian dapat di ekskresikan melalui pengeluaran urin dan feses (Ahmad, 2009) sehingga dengan meningkatkan konsumsi air minum dapat berfungsi mengurangi racun yang masuk ke dalam tubuh yang dikonsumsi melalui ransum. Menurut Yasin (1992), fungsi air minum yang masuk ke dalam tubuh antara lain: (1) sebagai alat pengangkut zat-zat makanan (proses metabolisme); (2) komponen darah dan cairan lymphe; (3) pengatur stabilitas suhu tubuh; (4) pelembut makanan; (5) sebagai alat pengangkut zat racun yang terbawa dengan makanan yang dikonsumsi. Kandungan air dalam tubuh anak ayam yang berumur satu minggu adalah 85% sedangkan kandungan air dalam tubuh ayam dewasa sebesar 55% pada umur 42 hari. Kehilangan air tubuh 10% dapat menyebabkan kerusakan organ dan kehilangan air tubuh 20% akan menyebabkan kematian (Wahju, 2004). Faktor yang mempengaruhi konsumsi air minum pada ternak antara lain: temperatur air, penyakit, jenis bahan makanan, bau ransum, kelembaban, angin, komposisi pakan, bentuk pakan, umur, jenis kelamin, dan jenis tempat air minum.

Konsumsi Ransum

Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dimakan oleh ternak dalam jangka waktu tertentu dan ransum yang dikonsumsi oleh ternak akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat nutrisi yang lain. Tingkat energi menentukan jumlah ransum yang dikonsumsi, ayam cenderung meningkatkan konsumsinya jika kandungan energi ransum rendah dan sebaliknya konsumsi akan menurun jika kandungan energi ransum meningkat (Zaman et al., 2008). Ransum yang tinggi kandungan energinya harus diimbangi dengan protein, vitamin dan mineral (Wahju, 2004). Menurut NRC (1994), kebutuhan energi metabolis ayam broiler umur 1-3 minggu sebesar 3200 kkal/kg dan kebutuhan protein kasar 23%, sedangkan energi metabolis untuk ayam umur 3-6 minggu sebesar 3200 kkal/kg dengan kandungan protein kasar sebesar 20%.

Menurut Scott et al. (1982) konsumsi ransum dipengaruhi oleh kandungan energi ransum, bentuk ransum, kesehatan lingkungan, zat-zat makanan, kecepatan


(26)

pertumbuhan atau produksi telur dan stress. Selain itu Wahju (2004) menambahkan bahwa faktor genetik juga sangat berpengaruh terhadap konsumsi ransum dan juga dipengaruhi oleh besar tubuh ayam, aktivitas, lingkungan, kualitas dan kuantitas ransum. Secara umum konsumsi meningkat dengan peningkatan bobot badan ayam karena ayam yang berbobot badan besar mempunyai kemampuan menampung makanan lebih banyak. Pada Tabel 1 dapat dilihat konsumsi ransum pada ayam broiler menurut Aviagen (2007).

Menurut Sutardi (1980) serta Lesson dan Summers (2005), jika pola konsentrasi asam amino yang menyimpang dari pola yang dibutuhkan tubuh, selera makan akan menurun. Sumber penyimpangan tersebut adalah defisiensi asam amino, ketidakseimbangan asam amino, keracunan asam amino dan antagonisme asam amino (Cheng et al., 1997). Bagian otak yang ikut serta dalam pengaturan selera makan akibat kurang baiknya ketersediaan asam amino adalah lobus pyriform dan

amygdaloid. Lobus pyriform mampu menurunkan selera makan bila ternak diberikan makanan yang defisiensi asam amino essensial, sedangkan amygdaloid mampu menurunkan konsumsi bila diberikan makanan yang pola konsentrasi asam aminonya tidak seimbang.

Pertambahan Bobot Badan

Pertumbuhan merupakan suatu proses peningkatan ukuran tulang, otot, organ dalam dan jaringan bagian tubuh lainnya yang terjadi sebelum lahir (prenatal) dan sesudah lahir (posnatal) sampai mencapai dewasa tubuh. Kecepatan pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh mutu makanan, suhu lingkungan, sistem perkandangan, dan pengendalian penyakit. Kecepatan pertumbuhan dinyatakan dengan melakukan penimbangan berulang dalam waktu tertentu misalnya setiap hari, minggu atau bulan (Tillman et al., 1998).

Pertambahan bobot badan merupakan salah satu peubah yang digunakan untuk mengukur laju pertumbuhan. Pertambahan bobot badan juga diartikan sebagai kemampuan untuk mengubah zat-zat nutrisi yang terdapat dalam pakan menjadi daging. Pada Tabel 1 dapat dilihat pertambahan bobot badan ayam broiler tiap minggunya dan bobot badan yang dapat dicapai pada tiap umur (minggu) ayam broiler strain Ross menurut Aviagen (2007). Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan menurut Zaman et al. (2008), yaitu tipe ayam, jenis kelamin,


(27)

kandungan energi metabolis, kandungan protein dan suhu lingkungan. Keseimbangan zat-zat nutrisi terutama imbangan protein dan energi serta kondisi temperatur tinggi dan temperatur rendah tingkat energi ransum sangat penting karena nyata mempengaruhi kecepatan pertumbuhan (Zaman et al., 2008).

Panting merupakan salah satu respon ayam broiler yang nyata akibat stress panas dan merupakan mekanisme evaporasi saluran pernafasan. North dan Bell (1990) melaporkan bahwa ayam broiler akan mulai panting pada kondisi lingkungan 29 0C atau ketika suhu tubuh ayam mencapai 42 0C. Suhu lingkungan yang nyaman sesuai kebutuhan ternak untuk menghasilkan produksi optimum sesuai umur ayam broiler disajikan pada Tabel 2.

Menurut Wilson dan Payne (1994), ayam-ayam yang dipelihara pada temperatur lingkungan dibawah 18,3 0C memiliki bobot badan yang lebih berat dari pada ayam yang sama dipelihara pada temperatur lingkungan berkisar dari 18,3 sampai 35 0C. Menurut Wilson dan Payne (1994), bahwa pada temperatur berkisar -5 sampai 30 0C ada suatu perubahan jumlah makanan yang dikonsumsi yaitu pengurangan kira-kira 1,6% dalam jumlah makanan yang dikonsumsi untuk setiap kenaikan temperatur 10 0C, sehingga mempengaruhi penampilan ayam tersebut.

Menurut North dan Bell (1990) peningkatan bobot badan setiap minggunya tidak terjadi secara seragam. Setiap minggu pertumbuhan ayam akan mengalami peningkatan hingga pertumbuhan maksimal, setelah itu mengalami penurunan. Rasyaf (1999) mengatakan bahwa faktor pendukung pertumbuhan ayam adalah kualitas dan kuantitas ransum, suhu serta manajemen pemeliharaannya.

Tabel 2. Rata-rata Suhu Lingkungan yang Direkomendasikan untuk Pertumbuhan Optimum pada Berbagai Umur Ayam Broiler

Umur (Minggu) Suhu Rekomendasi (0C)

1 30 2 30 3 27,2

≥ 4 23,9

Sumber : North dan Bell (1990)

Konversi Ransum

Konversi ransum didefinisikan sebagai rasio antara konsumsi ransum dengan pertambahan bobot badan yang diperoleh selama waktu tertentu. Konversi ransum


(28)

merupakan suatu ukuran yang dapat digunakan untuk menilai efisiensi penggunaan ransum serta kualitas ransum. Semakin tinggi konversi ransum semakin banyak ransum yang dibutuhkan untuk meningkatkan bobot badan persatuan berat. Semakin rendah angka konversi ransum berarti kualitas ransum semakin baik (Lacy dan Vest, 2000). Konversi ransum merupakan suatu ukuran yang dapat digunakan untuk menilai efisiensi penggunaan ransum serta kualitas ransum (Amrullah, 2004).

Faktor utama yang mempengaruhi konversi ransum adalah genetik, temperatur, ventilasi, sanitasi, kualitas pakan, jenis ransum, penggunaan zat aditif, kualitas air, pengafkiran, penyakit dan pengobatannya, manajemen pemeliharaan, selain itu faktor pemberian pakan dan penerangan. Nilai konversi ransum juga berhubungan dengan biaya ransum, semakin tinggi angka konversi maka biaya ransum akan meningkat, karena jumlah ransum yang dibutuhkan untuk menghasilkan pertambahan bobot badan dalam jangka waktu tertentu semakin tinggi. Menurut Aviagen (2007), nilai konversi ransum pada ayam broiler disajikan pada Tabel 1. Menurut Scott et al. (1982) bahwa semakin tinggi tingkat energi dan protein dalam ransum, konversi ransum semakin baik. Pada Tabel 3 terlihat hubungan antara tingkat kebutuhan energi dan protein terhadap konversi ransum, angka konversi ransum semakin menurun dengan peningkatan kandungan energi metabolis ransum. Tabel 3. Hubungan Kebutuhan Energi, Protein dan Konversi Ransum

Energi metabolis dalam ransum

(kkal/kg)

Protein (%) Konversi ransum 0-2 minggu 2-6 minggu 0-2 minggu 2-6 minggu 2800 2900 3000 3100 3200 23,2 24 24,8 25,7 26,5 19,5 20 20,6 21,3 22 1,12 1,16 1,12 1,08 1,05 2,00 1,93 1,87 1,75 1,70

Sumber: Scott et al. (1982)

Mortalitas

Mortalitas atau angka kematian merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pencapaian prestasi performa ayam broiler dalam suatu usaha ternak (Tobing, 2002).

Menurut North (1990) mortalitas dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya bobot badan, bangsa, tipe ayam, iklim, kebersihan lingkungan, sanitasi peralatan, kandang dan penyakit, serta suhu lingkungan. Pemeliharaan ayam broiler


(29)

diketahui berhasil jika angka kematian keseluruhan kurang dari 5%. Kematian biasanya terjadi pada awal (starter), sedangkan pada periode finisher jarang terjadi kecuali akibat serangan penyakit pernafasan.


(30)

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Juli 2010, bertempat di Laboratorium Teknologi Pengolahan Pakan, Laboratorium Terpadu dan pemeliharaan ayam di Laboratorium Lapang Nutrisi Unggas, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, IPB, Bogor.

Materi Penelitian Ternak

Ternak yang digunakan adalah DOC strain Ross Jumbo 747 sebanyak 480 ekor dengan bobot awal rata-rata sekitar 40 gram. DOC dibagi secara acak ke dalam 24 kandang dan tiap kandang berisi 20 ekor dengan ukuran kandang 2,5 x 1,0 meter. Peralatan

Peralatan yang digunakan yaitu autoclave, freezer, terpal, plastik, sarung tangan, masker, peralatan pembersih kandang, tempat pakan dan air minum, sekat pembatas, pemanas, lampu, sekam, timbangan, kertas koran dan hygrometer.

Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain yaitu kultur

Aspergillus flavus, PDA (Potato Dextrose Agar), aquades, alkohol, kapur, ransum dengan level metionin dan aflatoksin yang berbeda, vaksin ND dan vaksin Gumboro. Vaksinasi

Pencegahan terhadap penyakit dilakukan dengan vaksinasi yaitu vaksinasi ND (Newcastle diseases) dan gumboro. Vaksinasi dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu vaksinasi ND1 pada ayam berumur 3 hari yang dilakukan melalui tetes mata dan ND2 pada umur 21 hari melalui oral (air minum). Vaksinasi Gumboro dilakukan pada umur 10 hari melalui oral (air minum).


(31)

Metode Penelitian Pembiakan Jamur Aspergillus flavus

Gambar 5. Tahapan Pembiakan Jamur Aspergillus flavus

Pembiakan jamur Aspergillus flavus menggunakan PDA (Potato Dextrose Agar) yang ditumbuhkan dengan media agar miring sebanyak 5 tabung dan diinkubator selama tujuh hari. Tahapan pembiakan jamur Aspergillus flavus dapat dilihat pada Gambar 5.

Potato Dextrose Agar (PDA) ditimbang sebanyak 0,925 g untuk 5 tabung

Erlenmeyer

Ditambahkan aquades yang telah diautoclave (1 liter aquades untuk 39 gram PDA)

Dipanaskan dan diaduk agar homogen (10 menit)

Diambil 5 ml agar-agar untuk setiap tabung

Autoclave (1210C, 45 menit)

Media agar miring

Kultur Aspergillus flavus sebanyak 5 tabung

Ditutup kapas dan parafilm


(32)

Transfer Kapang Aspergillus flavus ke Jagung

Gambar 6. Tahapan Transfer Kapang Aspergillus flavus ke Jagung

Transfer kultur Aspergillus flavus ke jagung melalui dua tahap yaitu kultur

Aspergillus flavus dari 5 tabung ditransfer ke jagung sebanyak 10 kg dan diinkubasi selama 1 minggu kemudian jagung tersebut ditransfer lagi ke 500 kg jagung dan diinkubasi selama 4 minggu. Tahapan transfer Aspergillus flavus ditunjukkan pada Gambar 6.

Kultur Aspergillus flavus ditambahkan aquades @ tabung

sebanyak 5 ml yang sudah diautoclave

Campur ke 10 kg jagung

Inkubasi (1 minggu)

Jagung terkontaminasi

Aspergillus flavus

500 kg jagung di autoclave (1210C,

45 menit)

Air diautoclave sebanyak 335 L (1210C, 60 menit)

Dicampur hingga homogen

Jagung yang sudah

terkontaminasi jamur Aspergillus flavus diambil sebanyak 20 g untuk 10 kg jagung kuning yang

akan ditransfer kapang

Aspergillus flavus yang sebelumnya telah dicampur

dengan air

Inkubasi (4 minggu) dan ditutup dengan plastik


(33)

Pembuatan Ransum

Ransum yang digunakan pada penelitian ini adalah ransum ayam broiler periode starter dan finisher. Aflatoksin yang digunakan dalam penelitian ini bukan dalam bentuk isolasi murni, melainkan kultur Aspergillus flavus yang sengaja dicampur di dalam jagung. Formula dan komposisi bahan pakan ransum periode

starter (0-3 minggu) dan ransum periode finisher (3-6 minggu) diperlihatkan pada Tabel 4 dan Tabel 6. Level DL-metionin yang digunakan untuk starter adalah 0%, 0,25%, dan 0,35% dan untuk finisher adalah 0%, 0,20% dan 0,30%. Penentuan level DL-metionin pada penelitian ini merujuk pada penelitian sebelumnya, yaitu penambahan DL-metionin pada pakan terhadap performa ayam broiler periode

starter dan finisher (Jachja et al., 2007).

Metode yang digunakan untuk menganalisis aflatoksin yang terdapat dalam ransum adalah metode TLC (Thin Liqiud Chromatography), sedangkan metode yang digunakan untuk menganalisis asam amino terutama kandungan metionin dalam ransum adalah metode HPLC (High Performance Liquid Chromatography).

Level aflatoksin yang digunakan dalam ransum adalah 0 ppb dan 150 ppb. Taraf aflatoksin 150 ppb ditentukan berdasarkan tiga kali lipat batas maksimum kandungan aflatoksin dalam ransum untuk ayam broiler yang ditetapkan sebesar 50 ppb menurut SNI (2006) dan diduga sudah mengganggu pertumbuhan ternak. Ransum disusun dari campuran bahan pakan yang terdiri dari jagung giling, bungkil kedelai, dedak padi, CGM (Corn Gluten Meal), MBM (Meat Bone Meal), CPO (Crude Palm Oil), DCP (Dicalcium Phosphate), garam, premix, limestone, DL-metionin (Produksi Sumitomo Chemical Co., Ltd). Pakan dibuat dalam bentuk


(34)

Tabel 4. Formula dan Kandungan Nutrien Ransum Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu)

Bahan Pakan Ransum Perlakuan

R1 R2 R3 R4 R5 R6 --- (%) ---

Jagung 48 48 48 48 48 48

Bungkil Kedele 25 25 25 25 25 25

Dedak 12 12 12 12 12 12

CGM 6,71 6,71 6,71 6,71 6,71 6,71 MBM 5,01 5,01 5,01 5,01 5,01 5,01 CPO 1,59 1,59 1,59 1,59 1,59 1,59 DCP 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 Garam 0,27 0,27 0,27 0,27 0,27 0,27 Premix 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 Limestone 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 Total 100 100 100 100 100 100

DL-Metionin 0,00 0,25 0,35 0,00 0,25 0,35

Aflatoksin (ppb) 0 150 0 150 0 150

Kandungan Nutrien :

Bahan Kering 85,25 85,55 86,14 85,47 86,10 86,16 Abu 6,77 6,42 6,42 6,51 6,23 6,52 Protein Kasar 23,37 23,80 23,74 23,90 25,53 24,60 Serat Kasar 4,52 4,11 3,48 4,37 3,44 3,65 Lemak Kasar 3,82 4,18 3,42 3,74 3,55 3,83 Beta-N 46,75 47,04 47,71 46,95 47,35 47,56 Ca 1,17 1,30 1,18 1,49 1,54 1,60 P 1,00 1,06 1,00 0,97 1,01 1,01 NaCl 0,07 0,19 0,21 0,05 0,21 0,28 GE (kkal/kg) 3824 3811 3825 3813 3863 3920 Keterangan: Hasil Analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB (2010); R1:

Ransum basal (RB) + 0 % DL-metionin+ 0 ppb aflatoksin; R2: RB + 0 % DL-metionin+ 150 ppb aflatoksin; R3: RB + 0,25% DL-metionin + 0 ppb aflatoksin; R4: RB + 0,25% DL-metionin+ 150 ppb aflatoksin; R5: RB + 0,35% DL-metionin+0 ppb aflatoksin; R6: RB + 0,35% DL-metionin+ 150 ppb aflatoksin.


(35)

Kandungan asam amino ransum penelitian periode starter (0-3 minggu) dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Kandungan Asam Amino Ransum Penelitian Periode Starter (0-3 minggu) Asam amino Jenis ransum

R1 R2 R3 R4 R5 R6 --- (%) ---

Metionin 0,42 0,50 0,52 0,59 0,55 0,46

Histidin 0,21 0,30 0.30 0,27 0,30 0,20 Isoleusin 0,28 0,22 0,48 0,22 0,45 0,26 Lysin 0,95 0,90 1,10 1,03 1,03 0,97 Leusin 1,13 1,18 1,48 1,13 1,54 1,20 Arginin 0,28 0,23 0,38 0,29 0,36 0,32 Phenilalanin 0,27 0,23 0,40 0,21 0,38 0,27 Threonin 0,32 0,34 0,51 0,43 0,41 0,34 Valin 0,64 0,54 0,80 0,65 0,76 0,63 Alanin 0,21 0,22 0,24 0,22 0,26 0,23 Asam Aspartat 0,82 0,62 0,88 0,79 0,84 0,82 Sistin 0,21 0,20 0,20 0,22 0,20 0,22 Asam Glutamat 1,22 1,05 2,10 1,18 2,33 1,47 Glysin 0,20 0,16 0,23 0,21 0,22 0,21 Prolin 1,02 1,00 1,24 1,18 1,33 1,10 Serin 0,45 0,35 0,50 0,53 0,50 0,45 Tyrosin 0,31 0,30 0,36 0,30 0,39 0,51 Keterangan : Hasil analisis Laboratorium Ilmu dan teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB (2010); R1:

Ransum basal (RB) + 0 % DL-metionin+ 0 ppb aflatoksin; R2: RB + 0 % DL-metionin+ 150 ppb aflatoksin; R3: RB + 0,25% DL-metionin + 0 ppb aflatoksin; R4: RB + 0,25% DL-metionin+ 150 ppb aflatoksin; R5: RB + 0,35% DL-metionin+0 ppb aflatoksin; R6: RB + 0,35% DL-metionin+ 150 ppb aflatoksin.


(36)

Tabel 6. Formula dan Kandungan Nutrien Ransum Ayam Broiler Periode Finisher

(3-6 minggu)

Bahan Pakan Ransum Perlakuan

R1 R2 R3 R4 R5 R6 - (%) ---Jagung 51,64 51,64 51,64 51,64 51,64 51,64 Bungkil Kedelai 19,26 19,26 19,26 19,26 19,26 19,26 Dedak 12,48 12,48 12,48 12,48 12,48 12,48 CGM 3,06 3,06 3,06 3,06 3,06 3,06 MBM 8,09 8,09 8,09 8,09 8,09 8,09

CPO 5 5 5 5 5 5

DCP - - - -

Garam 0,22 0,22 0,22 0,22 0,22 0,22 Premix 0,25 0,25 0,25 0,25 0,25 0,25

Limestone - - - -

Total 100 100 100 100 100 100

DL-Metionin 0,00 0,20 0,30 0,00 0,20 0,30

Aflatoksin (ppb) 0 150 0 150 0 150

Kandungan Nutrien :

Bahan Kering 88,21 87,91 88,20 88,42 87,92 88,00 Abu 5,80 5,73 5,56 5,91 5,25 5,45 Protein Kasar 20,24 20,39 20,89 20,84 20,90 20,25 Serat Kasar 4,13 4,54 5,99 5,34 3,97 3,92 Lemak Kasar 5,99 4,57 3,79 5,02 7,71 6,22 Beta-N 52,05 52,68 52,06 51,31 50,09 52,16 Ca 1,21 1,22 1,21 1,16 1,09 1,07 P 0,86 0,85 0,84 0,87 0,79 0,85 NaCl 0,05 0,21 0,10 0,20 0,18 0,17 GE (kkal/kg) 3893 3895 3921 3843 3890 3839 Keterangan: Hasil Analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB (2010); R1:

Ransum basal (RB) + 0 % DL-metionin+ 0 ppb aflatoksin; R2: RB + 0 % DL-metionin+ 150 ppb aflatoksin; R3: RB + 0,20% DL-metionin + 0 ppb aflatoksin; R4: RB + 0,20% DL-metionin+ 150 ppb aflatoksin; R5: RB + 0,30% DL-metionin+0 ppb aflatoksin; R6: RB + 0,30% DL-metionin+ 150 ppb aflatoksin.


(37)

Kandungan asam amino ransum penelitian periode finisher (3-6 minggu) dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Kandungan Asam Amino Ransum Penelitian Periode Finisher (3-6 minggu) Asam amino Jenis ransum

R1 R2 R3 R4 R5 R6 --- (%) ---

Metionin 0,51 0,48 0,48 0,48 0,52 0,50

Histidin 0,25 0,21 0,29 0,31 0,30 0,30 Iso-leusin 0,50 0,53 0,59 0,34 0,45 0,45 Lysin 1,27 0,98 1,16 0,94 1,01 0,99 Leusin 1,23 1,17 1,18 1,13 1,15 1,18 Arginin 0,27 0,35 0,38 0,34 0,31 0,24 Phenilalanin 0,30 0,31 0,29 0,23 0,24 0,25 Threonin 0,31 0,34 0,43 0,36 0,33 0,36 Valin 0,41 0,68 0,67 0,46 0,65 0,69 Alanin 0,21 0,30 0,31 0,23 0,33 0,30 Asam Aspartat 0,74 0,72 0,75 0,65 0,80 0,76 Sistin 0,20 0,22 0,23 0,21 0,21 0,19 Asam Glutamat 2,06 1,76 1,82 1,92 1,81 2,07 Glysin 0,19 0,18 0,18 0,16 0,21 0,19 Prolin 1,12 1,02 1,00 1,04 1,05 1,11 Serin 0,59 0,50 0,46 0,37 0,45 0,42 Tyrosin 0,31 0,38 0,41 0,31 0,39 0,29 Keterangan: Hasil Analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB (2010); R1:

Ransum basal (RB) + 0 % DL-metionin+ 0 ppb aflatoksin; R2: RB + 0 % DL-metionin+ 150 ppb aflatoksin; R3: RB + 0,20% DL-metionin + 0 ppb aflatoksin; R4: RB + 0,20% DL-metionin+ 150 ppb aflatoksin; R5: RB + 0,30% DL-metionin+0 ppb aflatoksin; R6: RB + 0,30% DL-metionin+ 150 ppb aflatoksin.


(38)

Alur Pembuatan Pakan

Gambar 7. Tahapan Alur Pembuatan Pakan Bahan baku

Ditimbang

Mixer

Bin mengatur cepat lambatnya bahan yang akan masuk ke dalam kondisioner

Kondisioner (suhu 80-900C), ditambahkan air sebanyak 0,5-1% untuk

proses steam

Lubang dye Ekspander ( suhu

1050C)

Conditioning 

Cooler (didinginkan hingga suhu 280C)


(39)

Pemeliharaan

Pemeliharaan ayam broiler menggunakan kandang litter dengan penghangat kandang menggunakan brooder. DOC yang baru datang ditimbang dan diberi air gula sebagai sumber energi untuk memulihkan kondisi DOC akibat stress transportasi. Sebanyak 480 ekor DOC dibagi secara acak kedalam 24 kelompok, masing-masing berisi 20 ekor DOC/kandang. Pakan dan air minum diberikan ad libitum. Pada umur 1 – 21 hari diberikan ransum starter dan pada umur 22 – 42 hari diberikan ransum finisher. Sisa ransum dan sisa air minum kemudian ditimbang dan dicatat. Pengukuran pertambahan bobot badan dilakukan setiap minggu dan vaksinasi.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial 3 × 2 yang terdiri dari faktor A adalah taraf DL-metionin dan faktor B adalah taraf aflatoksin dengan empat ulangan.

Model matematik yang digunakan sebagai berikut : Yijk = µ + αi + βj +(αβ) ij + εijk Keterangan :

Yijk = Nilai pengamatan perlakuan ke-i, perlakuan ke-j, dan ulangan ke-k µ = Rataan umum

αi = Pengaruh level metionin ke-i

βj = Pengaruh level aflatoksin ke-j

(αβ) ij = Pengaruh interaksi perlakuan level metionin ke-i dan perlakuan level aflatoksin ke-j

εij = Error perlakuan ke-i, perlakuan ke-j, dan ulangan ke-k Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis menggunakan sidik ragam (Analysis of Variance/ ANOVA), jika berbeda nyata (P<0,05) diuji Kontras Ortogonal (Steel dan Torrie, 1993).


(40)

Air Minum yang diberikan – Sisa air minum Jumlah ayam hidup

Perlakuan

Perlakuan ransum starter (0-3 minggu) yang diberikan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

R1=Ransum basal mengandung aflatoksin 0 ppb + 0% DL-metionin R2=Ransum basal mengandung aflatoksin 150 ppb + 0% DL-metionin R3=Ransum basal mengandung aflatoksin 0 ppb + 0,25% DL-metionin R4=Ransum basal mengandung aflatoksin 150 ppb + 0,25% DL-metionin R5=Ransum basal mengandung aflatoksin 0 ppb + 0,35% DL-metionin R6=Ransum basal mengandung aflatoksin 150 ppb + 0,35% DL-metionin

Perlakuan ransum finisher (3-6 minggu) yang diberikan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

R1=Ransum basal mengandung aflatoksin 0 ppb + 0% DL-metionin R2=Ransum basal mengandung aflatoksin 150 ppb + 0% DL-metionin R3=Ransum basal mengandung aflatoksin 0 ppb + 0,20% DL-metionin R4=Ransum basal mengandung aflatoksin 150 ppb + 0,20% DL-metionin R5=Ransum basal mengandung aflatoksin 0 ppb + 0,30% DL-metionin R6=Ransum basal mengandung aflatoksin 150 ppb + 0,30% DL-metionin Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah konsumsi air minum, konsumsi ransum, pertambahan bobot badan (PBB), konversi ransum, dan mortalitas. Konsumsi Air Minum

Air minum diberikan setiap pagi. Pengukuran dilakukan setiap pagi yaitu pengukuran pemberian air minum dan pengukuran sisa air minum. Rataan konsumsi air minum dihitung dari selisih antara air minum yang diberikan dengan sisa air minum dibagi dengan jumlah ayam yang ada dalam satu kandang.

Rataan konsumsi air minum : =

Konsumsi ransum

Ransum diberikan ad libitum setiap pagi dan sore. Rataan konsumsi ransum dihitung dari selisih antara ransum yang diberikan dengan yang sisa dibagi dengan


(41)

Ransum yang diberikan – Ransum sisa Jumlah ayam hidup

Bobot badan akhir – Bobot badan awal Jumlah ayam hidup

Rataan konsumsi ransum Rataan Pertambahan bobot badan

Jumlah ayam yang mati Jumlah ayam pemeliharaan

jumlah ayam yang ada dalam satu kandang. Pengukuran sisi dilakukan seminggu sekali pada pagi hari.

Rataan Konsumsi Ransum : =

Pertambahan Bobot Badan

Pertambahan Bobot Badan diperoleh dari hasil perhitungan antara bobot badan akhir dikurangi bobot badan awal. Bobot badan diukur seminggu sekali dan ayam tidak dipuasakan sebelum penimbangan ransum

Pertambahan Bobot Badan : =

Konversi Ransum

Konversi Ransum dihitung dari perbandingan antara rataan konsumsi ransum dengan rataan pertambahan bobot badan.

Konversi Ransum : =

Mortalitas

Perbandingan antara jumlah ayam yang mati dengan jumlah ayam awal pemeliharaan dikalikan seratus persen.


(42)

HASIL DAN PEMBAHASAN Ransum Penelitian

Jagung yang akan ditanamkan isolat Aspergillus flavus diautoclave terlebih dahulu untuk mensterilkan jagung tersebut. Jagung diinkubasi selama 4 minggu dan dianalisis kandungan aflatoksinnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa kandungan aflatoksin jagung sebesar 369 ppb. Masing-masing ransum dicampur dengan jagung tersebut agar didapatkan kadar aflatoksin yang diinginkan dengan cara mensubtitusi jagung ditanamkan aflatoksin dengan jagung yang tidak ditanamkan aflatoksin. R1: Ransum basal menggunakan jagung aflatoksin 0% dari total jagung + DL-metionin 0% (untuk ransum starter dan finisher); R2: menggunakan 50% jagung aflatoksin dari total jagung + DL-metionin 0% (untuk ransum starter dan finisher); R3: menggunakan 0% jagung aflatoksin dari total jagung + DL-metionin 0,25% (untuk ransum starter) dan 0,20% (untuk ransum finisher); R4: menggunakan 50% jagung aflatoksin dari total jagung + DL-metionin 0,25% (untuk ransum starter) dan 0,20% (untuk ransum finisher); R5: menggunakan 0% jagung aflatoksin dari total jagung + DL-metionin 0,35% (untuk ransum starter) dan 0,30% (untuk ransum finisher); R6: menggunakan 50% jagung aflatoksin dari total jagung + DL-metionin 0,35% (untuk ransum starter) dan 0,30% (untuk ransum finisher).

Kandungan aflatoksin dalam ransum tersebut diasumsikan sebagai berikut; R1, R3 dan R5 mengandung aflatoksin sebesar 0 ppb, sedangkan R2, R4 dan R6 mengandung aflatoksin sebesar 150 ppb. Hasil analisis kandungan aflatoksin pada masing-masing ransum perlakuan disajikan pada Tabel 8. Hasil analisis ransum menunjukkan bahwa kandungan aflatoksin pada masing-masing ransum perlakuan tidak sesuai asumsi sebelumnya. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor yang bisa mempengaruhi jumlah kandungan aflatoksin dalam ransum perlakuan.

Pemanasan saat pembuatan pakan menyebabkan aflatoksin berkurang. Jagung dan bahan baku lainnya mengalami pemanasan di dalam mesin pellet dan dalam kondisioner, dimana suhu kondisioner berkisar antara 80-900C serta mengalmi penambahan air sebesar 0,5-1% untuk proses steam. Setelah diproses dalam kondisioner bahan baku masuk ke dalam ekspander dengan suhu mesin 1050C dengan tekanan 20-25 bar, terjadi gelatinasi, membunuh kuman, bakteri, jamur, dll. Adanya pemanasan saat pembuatan pakan diduga dapat menurunkan kadar aflatoksin


(43)

dalam pakan. Laju perusakan aflatoksin dengan cara pemanasan dapat dipercepat dengan menaikkan kadar air bahan, waktu dan suhu pemanasan (Syarief et al.,

2003). Adanya kandungan aflatoksin pada ransum perlakuan R1, R3 dan R5 disebabkan karena pada proses pencampuran ransum dalam mesin mixer, dimana urutan dalam pencampuran tiap perlakuan ke dalam mesin yang tidak berurutan. Dimana sebelumnya mesin mixer dilakukan pencampuran ransum yang menggunakan jagung beraflatoksin kemudian melakukan pencampuran pada ransum perlakuan tanpa mengandung aflatoksin sehingga sisa-sisa bahan tersebut menempel pada mesin dan akan tercampur pada bahan yang akan dicampur selanjutnya.

Tabel 8. Kandungan Aflatoksin Dalam Ransum Perlakuan Periode Starter (0-3 minggu) dan Finisher (3-6 minggu)

Ransum Aflatoksin (ppb)

Starter (0-3 minggu) Finisher (3-6 minggu)

R1 25,65 69,57

R2 19,24 72,64

R3 24,02 78,50

R4 26,15 74,33

R5 29,11 68,33

R6 34,50 66,67

Keterangan: Hasil analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (2010). R1: Ransum basal (RB) + 0 ppb aflatoksin + 0 % DL-metionin; R2: RB + 150 ppb aflatoksin + 0 % DL-metionin; R3: RB + 0 ppb aflatoksin + 0,25% DL-metionin untuk starter dan 0,20% DL-metionin untuk finisher; R4: RB + 150 ppb aflatoksin + 0,25% DL-metionin untuk starter dan 0,20% DL-metionin untuk finisher; R5: RB + 0 ppb aflatoksin + 0,35% DL-metionin untuk starter dan 0,30% DL-metionin untuk finisher; R6: RB + 150 ppb aflatoksin + 0,35% DL-metionin untuk starter

dan 0,30% DL-metionin untuk finisher.

Kemampuan kapang untuk membentuk aflatoksin tergantung beberapa faktor antara lain potensial genetik kapang, lingkungan (substrat, kelembaban, suhu, pH) dan lamanya kontak antara kapang dengan substrat. Adanya perbedaan jagung yang digunakan dalam membuat jagung yang terkontaminasi aflatoksin dan jagung penyusun ransum dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kapang memiliki pertumbuhan yang berbeda-beda pula. Meskipun kadar air sudah cukup untuk mengoptimalkan tumbuhnya kapang Aspergillus flavus yang menghasilkan aflatoksin sebagai metabolit sekunder, tetapi tidak menunjukkan hasil yang baik. Hal ini disebabkan karena selain kadar air yang lebih dari 18%, suhu, pH, substrat dan kelembaban juga dapat mempengaruhi pertumbuhan kapang tersebut. Pada saat menumbuhkan kapang tersebut tidak memperhatikan dan tidak melakukan


(44)

pengukuran terhadap suhu, kelembaban, substrat dan pH pada jagung. Selain itu hal yang paling mendasarkan pada saat menganalisis kandungan aflatoksin pada jagung dan ransum adalah cara pengambilan sampel untuk dianalisis, dimana saat pengambilan sampel yang tidak merata dan cara pengambilan sampel yang salah, sehingga aflatoksin yang dihasilkan tidak sesuai seperti yang diharapkan.

Pengaruh Perlakuan terhadap Performa Ayam Broiler Konsumsi Air Minum

Air sangat berperan dalam tubuh terutama berperan penting dalam reaksi-reaksi biologis dan dalam mengatur temperatur tubuh (Sutardi, 1980). Pada ayam broiler konsumsi air minum erat hubungannya dengan bobot badan dan konsumsi ransum (Yasin, 1992). Hal ini dapat ditunjukkan selama umur 0–6 minggu konsumsi air minum pada Gambar 8 terus meningkat seiring dengan bertambahnya umur ayam. Semakin besar bobot badan atau umur ternak maka semakin tinggi panas yang dihasilkan sehingga konsumsi air yang digunakan untuk menyerap panas semakin tinggi (Wahju, 2004; Yasin, 1992).

Penambahan DL-metionin dalam ransum mengandung aflatoksin pada periode starter, tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi air minum, namun pada periode finisher dan kumulatif (0-6 minggu), perlakuan sangat nyata (P<0,01) mempengaruhi konsumsi air minum. Tidak ada pengaruh interaksi antara faktor penambahan DL-metionin dengan faktor aflatoksin dalam pakan terhadap konsumsi air minum baik pada periode starter, periode finisher maupun secara kumulatif.

Kandungan aflatoksin hingga 150 ppb dalam ransum pada periode finisher

meningkatkan konsumsi air minum. Makin tinggi aflatoksin dalam ransum makin tinggi konsumsi air minum (Tabel 9). Hal ini disebabkan kandungan aflatoksin dalam ransum merupakan racun yang masuk ke dalam tubuh ternak sehingga membutuhkan air yang lebih banyak untuk mengalirkan racun keluar dari tubuh. Dimana sesuai dengan fungsi air yang masuk ke dalam tubuh sebagai alat pengangkut zat-zat makanan (proses metabolisme), komponen darah dan cairan lymphe, pengatur stabilitas suhu tubuh, pelembut makanan serta sebagai alat pengangkut zat racun yang terbawa dengan makanan yang dikonsumsi (Yasin, 1992).


(45)

Gambar 8. Rataan Konsumsi Air Minum Ayam Broiler Umur 0 – 6 Minggu, (a) Level Aflatoksin 0 ppb; (b) Level Aflatoksin 150 ppb

Sedangkan penambahan DL-metionin 0,20% dan 0,30% dapat meningkatkan konsumsi air minum lebih tinggi bila dibandingkan dengan penambahan DL-metionin 0% pada periode finisher dan kumulatif. Hal ini terkait dengan penambahan DL-metionin yang berlebih, sebagian dapat di ekskresikan melalui pengeluaran urin dan feses (Ahmad, 2009 & Wahju, 2004).

Rataan kumulatif konsumsi air minum ayam broiler selama pemeliharaan (0-6 minggu) berkisar antara 9(0-644,59 – 11104,33 ml/ekor lebih tinggi jika dibandingkan dengan konsumsi air minum menurut Aviagen (2007) yaitu sekitar 10510 ml/ekor. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh adanya kandungan aflatoksin dalam ransum yang diberikan. Dimana ayam akan lebih meningkatkan konsumsi air minum saat mengkonsumsi ransum yang mengandung racun dibandingkan ayam yang mengkonsumsi ransum yang tidak mengandung racun.


(46)

Tabel 9. Konsumsi Air Minum (ml/ekor) Ayam Broiler Periode Starter dan Finisher

yang Mendapat Ransum Mengandung Aflatoksin dengan Penambahan DL- Metionin Umur (minggu) Faktor A (Dl-metionin) %

Faktor B (aflatoksin)

ppb Rataan

0 150

0 - 3

Starter

0 2133.93±64.58 2236.24±35.69 2185.09±50.20 0,25 2322.48±31.60 2484.79±63.64 2403.64±51.33 0,35 2263.27±72.63 2361.77±47.29 2312.52±58.24 Rataan 2239.89±57.19 2360.93±52.57

4 - 6

Finisher

0 7510.66±76.45 7994.10±98.08 7752.38b±103.93 0,20 8293.31±88.73 8550.16±99.22 8421.74a±93.65 0,30 8082.05±85.39 8742.56±101.94 8412.31a±123.97 Rataan 7962.01b±114.81 8428.94a±122.51

0 – 6 Kumulatif

0 9644.59±48.08 10230.34±44.39 9937.47b±58.02 0,20 10615.79±47.74 11034.95±74.38 10825.37a±64.28 0,30 10345.32±74.22 11104.33±43.96 10724.83a±82.34 Rataan 10201.90b±74.90 10789.87a±76.29

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom atau baris yang sama menunjukkan adanya pengaruh perlakuan (P<0,01).

Konsumsi Ransum

Penambahan DL-metionin dalam ransum ternak cukup penting bagi keseimbangan asam amino untuk mencapai pertumbuhan dan produksi yang baik. Konsumsi ransum ayam broiler setiap minggu akan bertambah sesuai dengan pertambahan bobot badan ayam broiler (Amrullah, 2004).

Perlakuan tidak nyata (P>0,05) mempengaruhi konsumsi ransum selama periode starter dan kumulatif. Sedangkan perlakuan pada ransum periode finisher

dengan penambahan 0,20% DL-metionin berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap konsumsi ransum. Penambahan DL-metionin 0,20% dapat meningkatkan konsumsi ransum tetapi berbeda bila dibandingkan dengan penambahan DL-metionin 0% dan 0,30%. Hal ini terkait dengan penambahan DL-metionin yang cukup untuk kebutuhan sehingga dapat mengefisienkan kegunaannya dalam tubuh sesuai fungsi metionin yang dapat meningkatkan pertumbuhan, produksi dan penanganan terhadap racun pada level tertentu yang diserap oleh tubuh (Lesson dan Summers, 2005). Penambahan DL-metionin yang melebihi level optimum akan menurunkan konsumsi ransum. Hal ini diakibatkan karena adanya antagonisme asam amino sehingga terjadi penurunan selera makan dan bersifat racun bila pemberian berlebih (Cheng et al.,


(47)

1997; Lesson dan Summers, 2005). Tidak ada pengaruh interaksi antara faktor penambahan DL-metionin dengan faktor aflatoksin dalam pakan terhadap konsumsi ransum baik pada periode starter, periode finisher maupun secara kumulatif.

Grafik peningkatan konsumsi ransum ayam broiler setiap minggu selama pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Rataan Konsumsi Ransum Ayam Broiler Umur 0 – 6 Minggu (a) Level Aflatoksin 0 ppb; (b) Level Aflatoksin 150 ppb

Gambar 9 menunjukkan adanya konsumsi ransum yang meningkat seiring dengan meningkatnya umur ayam broiler. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum konsumsi ransum meningkat dengan peningkatan bobot badan ayam karena ayam yang berbobot badan besar mempunyai kemampuan menampung makanan lebih banyak (Yasin, 1992). Kedua gambar menunjukkan bahwa pada minggu ke-2 sampai minggu ke-5 terlihat adanya konsumsi ransum yang bervariasi. Terlihat bahwa dengan penambahan DL-metionin 0,25 % dan 0,20% konsumsi ransum lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan DL-metionin 0%; 0,35% dan 0,30%. Hal ini


(48)

sesuai dengan penelitian Wafa (2008) menunjukkan bahwa dengan penambahan DL-metionin 0,25 % dan 0,20% dapat meningkatkan konsumsi ransum karena adanya komposisi zat makanan yang seimbang serta mampu menetralisir racun (aflatoksin) dalam ransum yang diberikan.

Tabel 10. Konsumsi Ransum (gr/ekor) Ayam Broiler Periode Starter dan Finisher

yang Mendapat Ransum Mengandung Aflatoksin dan Penambahan DL- Metionin Umur (minggu) Faktor A (Dl-metionin) %

Faktor B (aflatoksin)

ppb Rataan

0 150 0 - 3

(Starter)

0 953.95±7.88 1192.95±22.81 1073.45±35.63 0,25 1206.78±17.24 1145.96±63.42 1176.37±43.78 0,35 974.18±70.38 1206.10±28.65 1090.14±58.61 Rataan 1044.97±48.44 1181.67±38.83

4 - 6

(Finisher)

0 2593.93±67.20 2562.24±53.84 2578.09b±56.53 0,20 2788.42±10.15 2704.19±10.00 2746.31a±14.62 0,30 2613.39±31.32 2598.39±5.48 2605.89b±20.91 Rataan 2665.25±45.26 2621.61±32.76

0 – 6 (Kumulatif)

0 3547.88±32.04 3755.19±35.58 3651.54±34.28 0,20 3995.20±13.39 3850.15±35.82 3922.68±26.85 0,30 3587.57±23.28 3804.49±15.52 3696.03±23.36 Rataan 3710.22±34.26 3803.28±28.05

Keterangan : Superskrip huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0,05)

Konsumsi ransum dari rataan kumulatif berkisar antara 3547,88– 3995,20 gr/ekor. Hal ini menunjukkan hasil konsumsi ransum dari penelitian lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai rekomendasi dari Cibadak Indah Sari Farm (2005) bahwa konsumsi ransum ayam broiler umur 0-6 minggu sekitar 4075 gram/ekor. Konsumsi ransum dipengaruhi beberapa faktor penting antara lain suhu lingkungan, tingkat palatabilitas atau kualitas ransum, kuantitas ransum dan faktor genetik dari ayam broiler (Scott et al., 1982).

Pertambahan Bobot Badan

Pertumbuhan dan perkembangan dapat diukur dari bobot bagian-bagian tubuh, jaringan dan organ (McDonald et al., 2002). Pertumbuhan ditandai dengan adanya pertambahan bobot badan (PBB). Perlakuan penambahan DL-metionin dalam ransum mengandung aflatoksin berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap PBB kumulatif (0-6 minggu). Penambahan DL-metionin 0,20% terlihat bahwa PBB yang meningkat


(49)

disebabkan konsumsi ransum yang ikut meningkat tetapi berbeda dengan penambahan DL-metionin 0% dan 0,30%. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Hani’ah (2008), bahwa level optimum DL-metionin 0,20% dapat menghasilkan PBB yang maksimum pada periode finisher. Tidak ada pengaruh interaksi antara faktor penambahan DL-metionin dengan faktor aflatoksin dalam pakan terhadap PBB ayam broiler.

Salah satu akibat jika terjadi kekurangan asam amino metionin dalam ransum yang diberikan adalah lambatnya laju pertumbuhan (Lesson dan Summers, 2005). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 11 dimana perlakuan DL-metionin 0% menghasilkan PBB yang rendah. Menurut Elvia (2002), dengan penambahan DL-metionin yang berlebih pada pakan yang mengandung mikotoksin bertujuan untuk meningkatkan kerja glutation untuk mendetoksikasi aflatoksin dalam proses metabolisme sehingga kebutuhan metionin untuk pembentukan jaringan tubuh masih dapat terpenuhi. Hal ini dapat dilihat dari PBB dengan penambahan DL-metionin 0,30% dapat menghasilkan PBB walaupun kenaikan bobot badannya kecil. Bersifat racun jika diberikan dua kali lebih banyak dari kebutuhan pada ransum normal (Lesson dan Summers, 2005).

Gambar 10 menunjukkan PBB ayam broiler sangat bervariasi tiap minggu dan meningkat seiring dengan bertambahnya umur ayam broiler. PBB ayam dari umur 1-3 minggu (periode starter) dengan penambahan DL-metionin 0%, 0,25% dan 0,35% dalam ransum mengandung aflatoksin 0 ppb dan 150 ppb terlihat lebih seragam jika dibandingkan dengan PBB ayam umur 3-6 minggu (periode finisher). Hal ini dapat diakibatkan karena adanya pengaruh dari perlakuan yang diberikan yaitu dengan penambahan DL-metionin yang kurang dan berlebih untuk kebutuhan sehingga berdampak pada pertambahan bobot badan yang tidak seragam (Jacob et al., 1996). Grafik PBB ayam broiler setiap minggu selama pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 10.


(50)

Gambar 10. Pertambahan Bobot Badan Ayam Broiler Umur 0 – 6 Minggu (a) Level Aflatoksin 0 ppb ; (b) Level Aflatoksin 150 ppb

Pada minggu ke-3 sampai minggu ke-6, penambahan DL-metionin 0,25% dan 0,20% pada ransum yang mengandung aflatoksin 0 ppb dan 150 ppb mampu menghasilkan bobot badan yang baik seiring dengan konsumsi ransum yang meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan DL-metionin tersebut masih dapat mencukupi kebutuhan pertumbuhan dan untuk menetralisir racun (aflatoksin) yang masuk ke dalam tubuh (Leeson dan Summers, 1995).

Kisaran pertambahan bobot badan secara kumulatif (0-6 minggu) berkisar antara 1472,82–1725,90 gr/ekor. Kisaran ini lebih rendah dari nilai rekomendasi Cibadak Indah Sari Farm (2005) sekitar 2432 gr/ekor. Keadaan ini mungkin diakibatkan oleh adanya kandungan aflatoksin dalam ransum sehingga dapat mempengaruhi konsumsi ransum dan berdampak pada pertambahan bobot badan.


(51)

Dimana nilai konsumsi ransum yang rendah juga akan menghasilkan pertambahan bobot badan yang rendah karena pakan yang diserap oleh tubuh sangat kurang untuk dimetabolisme dengan tujuan pertumbuhan dan pembentukan daging pada ayam broiler sehingga menunjukkan pertambahan bobot badan yang rendah.

Tabel 11. Pertambahan Bobot Badan Ayam Broiler yang Mendapat Ransum Mengandung Aflatoksin dan Penambahan DL-Metionin

Minggu ke-

Faktor A (Dl-metionin)

%

Faktor B (aflatoksin)

ppb Rataan

0 ppb 150 ppb I

0 78.14±17.82 75.08±4.18 76.61±2.17 0,25 68.70±3.51 76.11±9.14 72.41±5.24 0,35 73.09±12.13 67.78±5.80 70.44±3.76 Rataan 73.31±4.72 72.99±4.54

II

0 130.64±18.38 138.19±10.22 134.42±5.34 0,25 143.90±12.55 144.53±15.68 144.22±5.14 0,35 139.83±26.57 148.89±11.07 144.36±3.52 Rataan 138.12±6.79 143.87±5.38

III

0 264.78±47.57 303.51±7.30 284.25±27.39 0,25 299.91±25.08 321.98±15.72 310.95±15.60 0,35 313.32±31.51 318.47±32.11 315.90±3.64 Rataan 292.67±25.07 314.65±9.81

IV

0 244.47±92.57 281.67±75.57 263.07±80.72 0,20 411.93±25.30 369.67±31.34 390.80±34.72 0,30 344.55±82.05 364.35±91.80 354.45±81.30 Rataan 333.65±97.53 338.56±76.78

V

0 341.15±59.14 349.48±95.37 345.32±5.89 0,20 396.32±83.95 403.19±45.78 399.76±4.86 0,30 344.15±68.38 324.20±31.13 334.18±14.11 Rataan 360.54±31.03 358.96±40.34

VI

0 413.66±78.97 375.43±16.98 394.55±56.69 0,20 404.61±97.78 410.43±49.78 407.52±71.90 0,30 427.12±18.56 382.68±93.88 404.90±67.00 Rataan 415.13±67.05 389.51±58.36

I – VI

0 1472.82±190.86 1523.35±125.95 1498.09b±152.11 0,20 1725.38±99.64 1725.90±42.25 1725.64a±70.85 0,30 1642.06±133.64 1606.35±179.95 1624.21a±147.97 Rataan 1613.42±171.92 1618.53±145.55

Keterangan : Superskrip huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0,05)


(52)

Konversi Ransum

Penambahan DL-metionin dalam ransum ayam broiler menghasilkan perbaikan dalam pertumbuhan, produksi, dan terutama efisiensi penggunaan pakan (Wahju, 2004).

Perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap konversi ransum ayam broiler secara kumulatif (0-6 minggu) dan tidak ada pengaruh interaksi antara faktor penambahan DL-metionin dengan faktor aflatoksin dalam pakan terhadap konversi ransum. Sarwono (2008) menyatakan konversi pakan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu baik tidaknya mutu ransum dan tata cara pemberian pakan. Konversi ransum yang tinggi menunjukkan bahwa semakin banyak ransum yang dibutuhkan untuk meningkatkan bobot badan persatuan berat, sedangkan konversi ransum yang semakin rendah berarti kualitas ransum semakin baik (Lacy dan Vest, 2000). Adanya mikotoksin yang diberikan dapat mempengaruhi konsumsi ransum yaitu menurunkan nilai nutrien ransum akibat aktivitas kapang (Ahmad, 2009 dan Syarief et al., 2003) sehingga ransum kekurangan zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh dan akan mengakibatkan ayam mengkonsumsi ransum semakin banyak untuk mencukupi kebutuhan nutrien dalam tubuh yang kurang (Lipstein et al., 1975).

Gambar 11 menunjukkan adanya variasi dari konversi ransum setiap perlakuan tiap minggu selama pemeliharaan, dimana pada gambar (a) dengan kandungan level aflatoksin 0 ppb menunjukkan angka konversi ransum yang lebih seragam dibandingkan grafik (b) dengan kandungan level aflatoksin 150 ppb yang menunjukkan angka konversi yang sangat bervariasi. Grafik konversi ransum selama pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 11.


(1)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Inokulasi bakteri pencerna serat yang berasal dari rumen kerbau berpotensi memperbaiki kondisi fisiologis dan mendorong peningkatan konsumsi nutrien, pertambahan bobot badan, ukuran tubuh, dan peningkatan kemampuan pedet beradaptasi dengan lingkungan.

Saran

Inokulasi isolat bakteri pencerna serat pada dosis yang lebih tinggi diperkirakan dapat memperbaiki status fisiologis pedet periode prasapih.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Amin, M. 1997. Pengaruh penggunaan probiotik Saccharomyces cerevisiae dan

Aspergillus oryzae dalam ransum pada populasi mikroba, aktivitas fermentasi rumen, kecernaan, dan pertumbuhan sapi perah dara. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Arora, S. P. 1989. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Terjemahan : Retno Muwarni. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta.

Astuti, R. 2010. Isolasi dan seleksi bakteri pencerna serat asal rumen kerbau berdasarkan pertumbuhannya pada berbagai pakan sumber serat. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Choliq, C. 1992. Studi gambaran kimia darah dan hemogram sederhana dari anak sapi penderita diare. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Cullison, A. E., R. S. Lowrey, & T. W. Perry. 2003. Feeds and Feeding. 6th ed. Pearson Education, Inc. Upper Saddle River, New York.

Diwyanto, K. 1982. Pengamatan fenotip domba priangan serta hubungan antara beberapa ukuran tubuh dengan bobot badan. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Frandson, R. D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Terjemahan: B. Srigandono & K. Praseno. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta.

Gayatri, I. 2010. Kemampuan isolat bakteri asal rumen kerbau dalam mencerna komponen serat. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Hallberg, L. 1988. Besi. Dalam: R. E. Olson (Editor). Pengetahuan Gizi Mutakhir Mineral. Terjemahan: Present knowledge in Nutrition. Gramedia, Jakarta. Isnaeni, W. 2006. Fisiologi Hewan. Kanisius, Yogyakarta.

Jones, C. M. & A. J. Heinrichs. 2007. Early Weaning Strategies. The Pennsylvania

State University, Pennsylvania.

http://www.das.psu.edu/research-extension/dairy/nutrition/pdf/earlywean07117.pdf/?searchterm=early%20wea ning%20strategies. [8 Oktober 2010].

Lawrence, T. L. J. & V. R. Fowler. 2002. Growth of Farm Animals. 2nd ed. CABI Publishing. CABI International, Wallingford, Oxon Ox 10 8de, UK.

National Research Council. 2001. Nutrient Requirements of Dairy Cattle: 7th Revised Edition National Academy Press, Washington.

Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Universitas Indonesia Press, Jakarta.


(3)

Piliang, W. G. & S. Djojosoebagio. 2006. Fisiologi Nutrisi, Volume II. Institut Pertanian Bogor Press, Bogor.

Rakhmanto, F. 2009. Pertambahan ukuran tubuh dan bobot badan pedet sapi FH jantan lepas sapih yang diberi ransum bersuplemen biomineral cairan rumen. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Restz, L. L., Smith W. H., & Plumlee M. P. 1960. A simple wet oxidation procedure for biological material. Animal Science Departement, Purdue University, West La Fayeetee. Animal Chemistry Vol 32:1728.

Roy, J. H. B. 1980. The Calf, Studies in Agriculture and Food Science. 4th ed. Butterworths, London.

Sakinah, D. 2005. Kajian suplementasi probiotik bermineral terhadap produksi VFA, NH3 dan kecernaan zat makanan pada domba. Skripsi. Fakultas Peternakan,

Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Salisbury, G. W. & N. L. Van Demark. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Terjemahan: R. Djanuar. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta.

Siti, N. W. 1996. Pengaruh ragi tape sebagai sumber probiotik pada kecernaan ransum, aktivitas fermentasi dan populasi mikroba rumen kerbau. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Smith, J. B. & S. Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Steel, R. G. D. & J. H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan: B. Sumantri. Gramedia, Jakarta.

Swenson, M. J. & W. O. Reece. 1993. Dukes’ Physiology of Domestic Animals, 11th

ed. Comstock Publishing Associates a Division of Cornell University Press, Ithaca and London.

Underwood, E. J. & N. F. Suttle. 1999. The Mineral Nutrition of Livestock 3rd ed. CABI Publishing, New York.

Ungerer, T. 1985. Study faal tentang produktivitas sapi perah dalam kondisi lingkungan panas. Laporan Penelitian. Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat. Dirjen Pendidikan Tinggi, Jakarta.

Williamson, F. G. & W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Terjemahan: S. D. Darmadja. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta.


(4)

LAMPIRAN


(5)

Lampiran 1. Hasil Uji-t Konsumsi Susu dan Calf Starter

Peubah thitung t0,05 t0,01 Kesimpulan

Konsumsi Starter (BS) 2,07 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Konsumsi Susu (BS) 0 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Konsumsi Total (BS) 2,11 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Konsumsi Starter (BK) 2,11 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Konsumsi Susu (BK) 0 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Konsumsi Total (BK) 2,11 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Lampiran 2. Hasil Uji-t Konsumsi Co Pakan dan Kandungan Co Darah

Peubah thitung t0,05 t0,01 Kesimpulan

Konsumsi Co Pakan 2,11 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Kandungan Co Darah 0,19 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Lampiran 3. Hasil Uji-t Nilai Profil Darah Pedet

Peubah thitung t0,05 t0,01 Kesimpulan

BDM 0,93 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Hematokrit 1,39 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Hemoglobin 1,28 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Lampiran 4. Hasil Uji-t Denyut Jantung, Respirasi, dan Suhu Rektal Pedet

Peubah thitung t0,05 t0,01 Kesimpulan

Denyut Jantung Pagi 0,76 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Denyut Jantung Sore 2,24 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Respirasi Pagi 2,54 2,36 3,50 Beda Nyata

Respirasi Sore 3,41 2,36 3,50 Beda Nyata

Suhu Rektal Pagi 2,52 2,36 3,50 Beda Nyata


(6)

Lampiran 5. Hasil Uji-t Bobot Badan (BB) dan Pertambahan Bobot Badan (PBB)

Peubah thitung t0,05 t0,01 Kesimpulan

BB Awal 1,42 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

BB Akhir 2,48 2,36 3,50 Beda Nyata

PBB 2,10 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Lampiran 6. Hasil Uji-t Ukuran Tubuh Pedet

Peubah thitung t0,05 t0,01 Kesimpulan

Lingkar Dada 1,12 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Pertambahan 1,08 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Lingkar Perut 2,64 2,36 3,50 Beda Nyata

Pertambahan 2,96 2,36 3,50 Beda Nyata

Panjang Badan 0,83 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Pertambahan 0,18 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Tinggi Badan 1,48 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Pertambahan 1,22 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Dalam Dada 0,91 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Pertambahan 0,40 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Lebar Dada 0,39 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Pertambahan 0,47 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Keterangan: thitung = nilai t yang diperoleh dari hasil pengolahan data

t0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar

5%(α=0,05)

t0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar

1%(α=0,01)

t hitung > t tabel baik pada taraf nyata 5% maupun 1%, sehingga terdapat perbedaaan yang nyata antara pedet yang diberi inokulasi dengan kontrol