Prediksi Emisi Gas Metana pada Ransum yang Mengandung Tanin dalam Sistem RUSITEC Melalui Komposisi Asam Lemak Terbang

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Beberapa tahun terakhir ini para ahli banyak membicarakan tentang
perubahan lingkungan terutama pemanasan global yang menyebabkan ketidakseimbangan iklim dan berbagai fenomena alam yang mengganggu kelangsungan
hidup di bumi. Pemanasan global ini disebabkan oleh meningkatnya gas rumah kaca
(GRK) seperti karbon dioksida (CO2), metan (CH4), N2O, dan chlorofluorocarbon
(CFC). Gas-gas ini mampu menyerap radiasi matahari yang dipantulkan oleh bumi
sehingga suhu di permukaan bumi menjadi meningkat. Pemanasan global
mempengaruhi perubahan iklim sehingga menjadi sumber bencana di bumi seperti
semakin menipisnya lapisan ozon, suhu permukaan bumi meningkat, permukaan laut
meningkat akibat mencairnya es di kutub, banjir, badai, dan berbagai fenomena alam
lainnya.
Pertanian menyumbang 25,5% GRK dari total emisi antropogenik dunia.
Emisi antropogenik adalah emisi yang dihasilkan oleh aktivitas manusia seperti
pertambangan, industri, transportasi, dan pertanian secara umum. CO2 menerima
perhatian lebih karena dianggap sebagai faktor relatif terhadap pemanasan global, di
samping CH4, N2O, dan CFC juga menyebabkan radiasi yang signifikan (Sejian et
al., 2011). Ada beberapa anggapan bahwa ternak ruminansia merupakan salah satu
penyumbang terbesar dari GRK. Selain menghasilkan feses dan urin, ternak
ruminansia juga menghasilkan CH4 yang cukup tinggi dari proses pencernaan
anaerobik di dalam rumen yang sebagian besar dikeluarkan melalui proses eruktasi.

Emisi CH4 per unit pakan atau laju konversi CH4 di Indonesia lebih besar
karena kualitas hijauan pakan yang diberikan rendah. Berbagai cara telah dicoba
untuk mengurangi produksi gas metana pada ternak ruminansia yaitu dengan
penghambatan secara langsung proses metanogenesis menggunakan halogen,
pemberian antibiotik ionophores, penambahan prekursor dari propionat, stimulasi
asetogen, oksidasi metana, defaunasi, probiotik, dan imunisasi (Moss et al., 2000).
Upaya penurunan produksi gas metana pada ternak bisa juga dengan meningkatkan
produktivitas ternak, salah satunya dengan pemberian pakan yang berkualitas tinggi.
Strategi pemberian pakan yang dilakukan salah satunya adalah pemberian pakan

1

yang mengandung tanin pada ternak ruminansia karena tanin dapat menurunkan
produksi gas metana (Jayanegara et al., 2011).
Gas metana dapat diketahui melalui percobaan yang menggunakan sistem in
vivo dengan metode open circuit respiratory chambers dan in vitro dengan metode
gas chromatography dan infrared methane analyzer. Selain itu ada juga percobaan
yang menggunakan sistem RUSITEC (rumen simulation technique) yang merupakan
sistem in vitro rumen semi continuous. Percobaan yang menggunakan sistem
RUSITEC lebih mampu mendekati kondisi sesungguhnya dibandingkan dengan

sistem in vitro batch. Pengukuran emisi gas metana dengan metode diatas
membutuhkan alat dan biaya yang mahal sehingga prediksi CH4 melalui komposisi
asam lemak terbang (VFA) diharapkan dapat menjadi salah satu solusi dari
permasalahan tersebut.
Kandungan emisi CH4 dapat diprediksi menggunakan faktor-faktor terkait
yaitu faktor yang terlibat dalam pembentukan gas metana seperti gas hidrogen (H2)
dan juga terkait dengan komposisi VFA. Oleh karena itu diharapkan produksi gas
metana dapat diprediksi melalui pendekatan stoikiometri komposisi VFA di dalam
rumen.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan prediksi emisi gas metana pada
ransum yang mengandung tanin dalam sistem RUSITEC (rumen simulation
technique) melalui komposisi asam lemak terbang.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Pemanasan Global
Pemanasan global merupakan gejala alam yang mulai secara intensif diteliti
sejak tahun 1980-an. Pemanasan global ini disebabkan oleh meningkatnya gas rumah

kaca (GRK) seperti karbon dioksida (CO2) dan beberapa jenis gas lainnya (CH4,
N2O, CFC) akibat aktivitas industri dan sisa pembakaran bahan bakar minyak bumi.
Efek rumah kaca disebabkan naiknya konsentrasi gas-gas rumah kaca. Gas rumah
kaca adalah gas-gas di atmosfer yang memiliki kemampuan untuk dapat menyerap
radiasi matahari yang dipantulkan oleh bumi, sehingga menyebabkan suhu
dipermukaan bumi menjadi meningkat. Pertanian menyumbang 25,5% GRK dari
total emisi antropogenik dunia. CO2 mendapatkan perhatian lebih karena dianggap
sebagai faktor relatif terhadap pemanasan global, di samping CH4, N2O, dan
chlorofluorocarbon (CFC) juga menyebabkan radiasi yang signifikan (Sejian et al.,
2011). Dampak dari gas rumah kaca berbeda dengan polutan. Polutan secara
langsung berdampak pada makhluk hidup, sedangkan gas rumah kaca berdampak
tidak langsung. Melalui perantara proses di dalam lingkungan biogeokimia gas-gas
rumah kaca baru berdampak pada makhluk hidup dan memiliki life time yang relatif
lama.
Akumulasi GRK terutama karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan
nitrrogen oksida (N2O) di atmosfer memberi kontribusi pada peningkatan suhu
permukaan bumi (Moss et al., 2000). Akumulasi gas-gas ini diketahui meningkat
0,3%-0,9% per tahun, terutama karena efek antropogenik pada siklus karbon dan
nitrogen (Janzen et al., 1999). Potensi pemanasan global (Global warming Potential
= GWP) digunakan untuk membandingkan satu satuan berat gas rumah kaca tertentu

dengan jumlah gas CO2 yang digunakan sebagai acuan. GWP dari CH4 adalah 21
kali lipat lebih besar dari CO2 dan GWP dari N2O adalah 310 kali lebih besar
daripada CO2 (Janzen et al., 1999).
Gas Metana
Gas metana merupakan hasil dari fermentasi mikroba saluran pencernaan
pada ternak ruminansia terhadap komponen pakan. Metana adalah gas yang tidak
berwarna dan tidak berbau, 87% diproduksi di rumen dan 13% di usus besar (Murray

3

et al., 1976). CH4 dan N2O berasal dari siklus yang berbeda. CH4 ini biasanya
dihasilkan setelah degradasi komponen karbon (C) selama proses pencernaan pakan
dan pupuk kandang, sedangkan N2O berkaitan dengan siklus nitrogen (N) dengan
pupuk kimia dan pupuk kandang sebagai sumber utamanya (Monteny et al., 2006).
Gas metana berasal dari berbagai sumber baik antropogenik maupun alami
(Rotz et al., 2010). Lebih dari 70% emisi gas metana berasal dari kegiatan
antropogenik (IPCC, 2007). Sisanya berasal dari sumber alam termasuk lahan basah,
gas hidrat, lapisan es, rayap, laut, tanah non-lahan basah, gunung berapi dan
kebakaran hutan (Breas et al., 2001). Berikut adalah sumber utama dan penyerapan
gas metana menurut Moss et al. (2000):


Sumber

Disimpan

Bereaksi dengan OH
di atmosfir dan
Troposfer (530 Tg)
Stratosfer (40 Tg)

Lahan Basah (265 Tg)
Tanaman Padi (110 Tg)
Minyak dan Gas bumi (95 Tg)
Di dalam pencernaan Ternak (75 Tg)

Gas Metana
(689 Tg)

Pembakaran Biomasa (40 Tg)
Tempat Pembuangan Sampah (40 Tg)


Dimanfaatkan
oleh mikroba
di dalam Tanah
(30 Tg)

Pertambangan Batubara (35 Tg)
Kotoran Hewan (25 Tg)
Laut dan Danau (5 Tg)

84 Tg bebas
Gambar 1. Sumber Utama dan Penyerapan Gas Metana di Atmosfer
Sumber: Moss et al, (2000)

4

Gas metana tidak hanya diproduksi oleh sektor peternakan, berbagai sektor
berpotensi dalam menyumbang gas metana yang semakin berlimpah di atmosfer.
Anggapan bahwa sektor peternakan menjadi produsen gas metana terbesar
merupakan anggapan yang tidak benar. Melimpahnya gas metana dia atmosfer bukan

hanya tanggungjawab dari salah satu sektor saja tetapi menjadi tanggung jawab
bersama. Produksi gas metana dari berbagai sektor dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Produksi Gas Metana dari Berbagai Sektor
Sektor Produksi Gas Metana

Produksi Gas Metana
Tg
Gram

Lahan Basah

265

268180

Tanaman Padi

110

111320


Minyak dan Gas Bumi

95

96140

Eruktasi Ternak

75

75900

Pembakaran Biomasa

40

40480

Tempat Pembuangan sampah


40

40480

Pertambangan Batu Bara

35

35420

Kotoran Hewan

25

25300

Laut dan Danau

5


5060

Sumber: Moss et al, (2000)

Kontribusi Ternak Ruminansia Terhadap Produksi Gas Metana
Secara umum ternak ruminansia bertanggung jawab terhadap 85 Tg (1 Tg =
1012 g = 1 juta metrik ton) dari 550 Tg gas metana yang dibebaskan ke alam setiap
tahunnya (Sejian et al., 2011). Produksi gas metana dari ternak ruminansia telah
banyak dikaji karena sebagian anggapan bahwa ternak ruminansia merupakan
produsen dari gas metana. Menurut Arora (1989) produksi gas CO2 di dalam rumen
adalah 50%-70% dan sisanya adalah gas CH4. Ternak ruminansia, khususnya sapi
(Bos taurus), kerbau (Bubalus bubalis), domba (Ovis aris), kambing (Capra hircus)
dan unta (Camalus camalis) menghasilkan sejumlah besar gas metana melalui
pencernaan anaerobik. Proses fermentasi mikroba disebut sebagai fermentasi enterik
(Lassey, 2007). Emisi gas metana yang berasal dari ternak ruminansia di negara maju
akan berbeda dengan emisi gas metana di negara berkembang, tergantung pada

5


faktor-faktor seperti spesies hewan, reproduksi, pH cairan rumen, rasio
asetat:propionat, populasi metanogen, komposisi pakan dan jumlah konsentrasi
pakan. Sapi merupakan salah satu ternak ruminansia yang paling berkontribusi
terhadap efek rumah kaca melalui emisi gas metana diikuti oleh domba, kambing dan
kerbau. Perkiraan emisi metana pada sapi; kerbau; domba dan kambing di negara
maju adalah 150,7; 137; 21,9 dan 13,7 (g/hewan/hari) (Sejian et al., 2011). Proses
pembentukan gas metana di dalam rumen ternak ruminansia disebut metanogenesis.
Metanogenesis

terbentuk

oleh

metanogen,

Archaea

sekelompok

mikroorganisme yang berada dalam kondisi anaerob termasuk di dalam rumen. Di
dalam rumen, mikroba metanogen memanfaatkan H2 dan CO2 sebagai substrat untuk
memproduksi gas metana. Lebih dari 60 spesies metanogen yang diisolasi dari
berbagai habibat yang berbada namun hanya lima jenis metanogen dilaporkan telah
diisolasi dalam rumen yaitu Methanobrevibacter ruminantium, Methanosarcina
barkeri,

Methanosarcina

Methanomicrobium

mobile.

mazei,
Diantara

Methanobacterium
kelima

spesies

formicicum
tersebut,

dan
hanya

Methanobrevibacter ruminantium dan Methanosarcina barkeri yang telah ditemukan
dalam rumen pada populasi >106 koloni/ml yang diasumsikan berperan penting pada
proses metanogenesis di dalam rumen (Moss et al., 2000).
Meskipun H2 adalah salah satu produk akhir dari fermentasi yang dilakukan
oleh protozoa, jamur, dan bakteri namun H2 digunakan oleh bakteri lain, terutama
metanogen yang ada di dalam campuran ekosistem mikroba (Boadi et al., 2004) agar
tidak terjadi akumulasi H2 di dalam rumen (Hegarty dan Nolan, 2007). Akan tetapi
dengan adanya pembentukan gas metana maka proses fermentasi glukosa yang
menghasilkan propionat akan menurun karena H2 yang dibutuhkan untuk
pembentukan propionat digunakan untuk produksi gas metana oleh Archaea
metanogen dengan CO2 sebagai akseptor yang kemudian dibebaskan bersama gas
buangan lainnya oleh rumen melalui pernapasan (Hegarty dan Nolan, 2007).
Strategi Menurunkan Gas Metan
Penelitian mengenai produksi gas metana pada beberapa dekade terakhir ini
banyak diangkat oleh para ahli karena gas metana merupakan salah satu gas rumah
kaca yang menyebabkan pemanasan global. Dari hasil penelitian 10 tahun terakhir
diperoleh informasi bahwa ruminansia memproduksi 80 juta ton gas metana/tahun
6

yaitu 28% dari emisi antropogenik (Beauchemin et al., 2008). Berbagai cara telah
dilakukan untuk menurunkan produksi gas metana. Ternak ruminansia khususnya
sapi perah telah diteliti dan diterapkan beberapa strategi penurunan gas metana yaitu
dilakukan penambahan ionofor, lemak, penggunaan hijauan berkualitas tinggi, dan
meningkatkan penggunaan biji-bijian (konsentrat). Pengurangan emisi gas metana
dapat dilakukan dengan memanipulasi proses fermentasi di dalam rumen baik itu
dengan langsung menghambat methanogen dan protozoa, atau dengan mengalihkan
molekul hidrogen dari methanogen. Beberapa sumber mengidentifikasi cara baru
untuk mengurangi emisi gas metana yaitu dengan penambahan probiotik, acetogens,
bakteriosin, virus archaea, asam organik, ekstrak tumbuh-tumbuhan (misalnya,
minyak esensial) untuk pakan, serta imunisasi, dan seleksi genetik sapi (Boadi et al.,
2004).
Gas metana merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat dalam rumen.
Meningkatkan produktivitas ternak tampaknya menjadi cara yang paling efektif
untuk mengurangi pelepasan gas metana dalam jangka pendek. Perlu diingat bahwa
metode ini hanya berhasil jika produksi secara keseluruhan tetap konstan. Sarana
untuk mencapai kenaikan produktivitas ini telah dibahas, tapi hampir semua
melibatkan peningkatan penggunaan pakan yang mengandung kualitas lebih
tinggi/rendah kandungan seratnya (Moss et al., 2000). Strategi pemberian pakan
yang dilakukan salah satunya adalah pemberian pakan yang mengandung tanin pada
ternak ruminansia karena tanin dapat menurunkan produksi gas metana (Jayanegara
et al., 2011).
Tanin
Tanin adalah senyawa polifenolik larut dalam air yang merupakan anti nutrisi
bagi ruminansia dengan membentuk kompleks dengan protein (Goel et al., 2005).
Menurut Patra (2010) tanin memiliki berat molekul relatif yang tinggi dan mampu
membentuk kompleks dengan protein karena adanya sejumlah gugus hidroksil
fenolik. Tanin terdapat pada buah-buahan, legume dan semak, serealia dan bijibijian. Tanin mempunyai berat molekul minimum 500 dan bersifat larut air,
mempunyai kemampuan untuk mengikat protein dan juga menimbulkan astringent
sensation yang disebabkan adanya ikatan kompleks antara mukoprotein dengan tanin
(Farida et al., 2000).
7

Menurut

Patra

dan

Saxena

(2010)

berdasarkan

strukturnya

tanin

diklasifikasikan menjadi dua grup yaitu tanin terhidrolisis (HT: asam galik dan
ellagik) dan tanin terkondensasi (CT: katecin dan gallokatecin). Berikut adalah
stuktur tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi menurut Patra dan Saxena (2010)
dapat dijelaskan pada Gambar 2.

Catechin

Asam Gallic

Gallocatecin

Asam Ellagic

Gambar 2. Unit Monomer Tanin Terkondensasi (Catechin dan Gallocatechin) dan
Monomer Tanin Terhidolisis (Asam Gallic dan Ellegic)
Sumber: Patra dan Saxena (2010)

Kedua jenis tanin tersebut terdapat pada tanaman yang berbeda dan
pengaruhnya terhadap ternak juga berbeda sehingga perlu dilakukan analisis yang
tepat untuk mengukur masing-masing jenis tanin tersebut dan dapat diperkirakan
secara tepat pengaruhnya terhadap ternak. Tanin terkondensasi memiliki berat
molekul 17.000-28.000, membentuk komples stabil dengan protein, tidak memiliki
inti karbohidrat dan merupakan oligomer dan polimer dari unit flavonoid dan tahan
terhadap hidrolisis serta tidak larut pada pH 3,5-7. Ikatan tanin terkondensasi dengan
protein tidak stabil dan ikatan tersebut lepas pada pH5 (Farida et al., 2000).
Dilihat dari segi kebutuhan nutrisi pada pakan ternak tanin memiliki dampak
yang menguntungkan dan merugikan, tergantung pada hijauan pakan ternak itu
sendiri dan konsentrasinya di dalam pakan yang dikonsumsi oleh ternak. Dampak
yang menguntungkan dari tanin adalah mampu mempercepat peningkatan bobot
badan, meningkatkan produksi susu, meningkatkan fertilitas, meningkatkan
kesejahteraan hewan dan kesehatan dengan mencegah bloat dan mengurangi resiko
cacingan (Mueller-Harvey, 2006). Dampak yang merugikan dari tanin adalah tanin
menjadi toksik bagi beberapa mikroba di dalam rumen (Goel et al., 2005) dan
berpengaruh terhadap konsumsi, kecernaan, dan performa (Reed, 1995).
Tanin memiliki kemampuan sebagai agen anti metanogen di dalam rumen.
Aktivitas antimetanogen oleh tanin tergantung pada jenis dan dosis tanin yang
digunakan. Tanin dengan berat molekul yang rendah lebih efektif dalam
menghambat bakteri metanogen daripada tanin dengan berat molekul yang tinggi
karena tanin dengan berat molekul yang rendah mampu membentuk ikatan yang kuat
dengan enzim mikroba. Tanin dengan bobot molekul yang tinggi tidak mampu
menembus protein mikroba sehingga tingkat toksisitasnya rendah terhadap bakteri
metanogen (Patra dan Saxena, 2010)
RUSITEC (rumen simulation technique)
RUSITEC atau rumen simulation technique adalah alat yang dibuat
menyerupai rumen dengan sistem semi kontinu, di mana terdapat asupan pakan ke
dalam sistem dan outflow yang mensimulasikan proses penyerapan dan aliran pakan
menuju organ pencernaan berikutnya (Czerkawski et al., 1977). Alat ini dirancang
khusus untuk proses jangka pendek yaitu 6-8 jam inkubasi yang memungkinkan
untuk mengukur pertukaran gas. Alat ini banyak digunakan untuk studi tentang
mekanisme produksi dan inhibitor metana dan telah digunakan secara luas dalam
studi mekanisme produksi metana dan penghambatannya. Hal itu untuk menelusuri
beberapa jalur biokimia dan untuk mengembangkan inhibitor baru bagi produksi
metana. Beberapa percobaan in vivo (Czerkawski et al., 1977) menunjukkan bahwa
penghambatan produksi metana menimbulkan perubahan dalam metabolisme rumen.
Beberapa perubahan ini terjadi secara bertahap dalam periode minggu bukan hari
9

atau jam dan sulit untuk melakukan kontrol yang cukup atau untuk menafsirkan hasil
percobaan pada ternak secara langsung. Oleh karena itu alat ini tepat digunakan
untuk mensimulasikan kondisi di dalam rumen karena prosedurnya sederhana dengan
semi kontinu.
Estimasi Produksi Gas Metan
Moss et al. (2000) menyatakan bahwa produksi CH4 dapat diestimasi dari
stoikiometri dari VFA yang terbentuk selama fermentasi, yaitu asetat (C2), propionat
(C3) dan butirat (C4) melalui persamaan stoikiometri berikut:
CH4 = 0,45 C2 - 0,275 C3 + 0,40 C4
Dengan demikian, persentase molar VFA berpengaruh terhadap produksi CH4.
Asam asetat dan butirat mendorong produksi CH4, sementara pembentukan propionat
berfungsi sebagai jalur kompetitif untuk penggunaan H2 dalam rumen.
Menurut Hegarty dan Nolan (2007) komposisi VFA dapat digunakan untuk
memprediksi produksi metan melalui persamaan stoikiometri berikut:
CH4 = 0,5 C2 + 0,5 C4 – 0,25 C3 – 0,25 C5
Persamaan tersebut dapat digunakan dengan beberapa asumsi berikut:


VFA merupakan produk akhir fermentasi (tidak ada hidrogen yang digunakan
dalam produksi polimer sel)



Tidak ada H2 bebas yang keluar dari rumen



Proses pencernaan mikroba terjadi secara anaerob (H2 tidak digunakan untuk
mereduksi O2 menjadi H2O)



H2 tidak digunakan pada reaksi lain, seperti reduksi sulfat menjadi sulfide
atau ikatan rangkap dalam asam lemak.

Asumsi di atas bisa jadi kurang tepat karena estimasi berdasarkan produksi VFA
akan menghasilkan estimasi pengukuran gas metana yang lebih tinggi dari hasil
observasi. Hal ini disebabkan dalam asumsi di atas ada beberapa reaksi yang
menggunakan hidrogen yang tidak diikutsertakan seperti asimilasi hidrogen selama
sintesis polimer-polimer mikroba dan reaksi redoks lainnya (Hegarty dan Nolan,
2007).

10

Review: Efek dari Ekstrak Tanaman yang Kaya Akan Senyawa Metabolit
Sekunder untuk Memodifikasi Fermentasi Rumen (Sliwinski et al., 2002)
Ekstrak dari tiga jenis tanaman mengandung senyawa sekunder yang berbeda
dianalisis pada delapan tabung fermentor dalam sistem RUSITEC untuk mengetahui
efeknya terhadap fermentasi rumen. Ekstrak tanaman Yucca schidigera yang
mengandung saponin berupa sarsaponin dengan konsentrasi (1,20 dan 100 mg
sarsaponin/ Kg DM) dibandingkan dengan Ekstrak tanaman Castanea sativa yang
mengandung tanin terhidrolisis dengan konsentrasi (0,5 dan 2,5 g tanin/Kg) dan
sulfonat murni bebas lignin (2,5 g/Kg). Suplementasi tersebut diberikan pada pakan
basal (silase rumput, barley gandum, dan jerami rumput) dengan konsentrasi Protein
Kasar (PK) yang rendah. Pakan dengan suplementasi tersebut dibandingkan dengan
pakan basal tanpa suplementasi (kontrol) dan pakan dengan penambahan bungkil
kedelai yang kandungan PK sesuai dengan kebutuhan sapi perah. Pakan kontrol dan
pakan dengan penambahan bungkil kedelai memiliki kandungan amonia yang
berbeda (13,6 mmol/l dan 16,0 mmol/l) dalam 15% cairan rumen. Pemberian pakan
kontrol dalam dosis yang tinggi relatif memiliki kandungan saponin dan tanin yang
tinggi sehingga mampu menurunkan konsentrasi amonia dalam cairan rumen hingga
21%. Hasil dari penelitian ini terlihat bahwa adanya peningkatan degradasi protein
pada fermentasi 48 jam, hal ini menunjukkan bahwa efek ekstrak tanaman pada
amonia mungkin tidak disebabkan oleh penekanan degradasi protein mikroba.
Pemberian ekstrak tanaman juga tidak berpengaruh terhadap jumlah bakteri,
protozoa dan jumlah VFA yang di produksi. Volume gas dalam fermentasi tidak
dipengarui oleh perlakuan pakan dan tidak ada perbedaan produksi CH4 dan H2 atau
keseimbangan H2 pada masing-masing perlakuan. Perlakuan pada penelitian ini
menunjukan bahwa produksi metana yang relatif menurun seiring dengan
peningkatan level tani yang digunakan tetapi hal ini tidak berkaitan dengan degradasi
serat. Ekstrak tumbuhan alami yang kaya akan senyawa sekunder menghasilkan
perubahan pada fermentasi rumen bila diberikan pada dosis yang lebih tinggi dari
ketentuan. Efektivitas ekstrak dalam jangka panjang pada fermentasi di dalam rumen
perlu di kaji lebih mendalam secara in vivo.

11

Review: Efek dari Lokasi Budidaya pada Kualitas Hijauan Pakan Ternak dari
Calliandra calothyrsus Var. Patulul (Hess et al., 2006)
Percobaan in vitro dilakukan untuk membandingkan kualitas hijauan pakan
ternak. Calliandra calothyrsus var. Patulul yang dibudidayakan di dua tempat yang
berbeda yaitu di tempat yang memiliki kualitas kesuburan tanahnya yang rendah dan
menengah di Kenya dan Kolombia masing-masing. Perlakuan pada penelitian ini
adalah Brachiaria humidicola, Brachiaria humidicola dengan suplementasi urea,
Brachiaria dengan penambahan Calliandra calothyrsus dan Cratylia argentea di
Kenya, Brachiaria dengan penambahan Calliandra calothyrsus dan Cratylia
argentea di Kolombia, Brachiaria humidicola dengan penambahan Calliandra
calothyrsus di Kenya, dan Brachiaria humidicola dengan penambahan Calliandra
calothyrsus di Kolombia. Perlakuan tersebut di uji dengan RUSITEC (n=4), rasio
perbandingan antara Calliandra calothyrsus dengan Cratylia argentea adalah 1:1.
Suplementasi urea atau Cratylia argentea meningklatkan senyawa N di dalam
rumen. Peningkatan tersebut tidak berpengaruh terhadap jumlah mikroba di dalam
rumen namun meningkatkan aktivitas mikroba dalam mendegradasi bahan organik
dan serat sehingga konsentrasi VFA meningkat. Suplementasi urea dan legum yang
tidak mengandung tanin seperti Cratylia argentea mempu meningkatkan produksi
emisi gas metana. Semua perlakuan yang mengandung suplementasi Calliandra
calothyrsus kurang efektif dalam memodifikasi fermentasi rumen. Hal tersebut
karena adanya tanin dalam konsentrasi tinggi menekan degradasi protein.
Suplementasi dengan legum yang mengandung konsentrasi tanin yang tinggi mampu
menurunkan produksi emisi gas metana. Penurunan produksi gas metana pada
suplmentasi Calliandra calothyrsus Kolombia lebih terlihat nyata dari pada pada
suplementasi Calliandra calothyrsus Kenya. Komposisi gizi dari Calliandra
calothyrsus Kolombia dan Kenya relatif sama, namun kandungan tanin Calliandra
calothyrsus Kolombia dua kali lebih tinggi dari pada Calliandra calothyrsus Kenya.
Perbedaan itu yang menjadi faktor utama penyeban variasi dalam parameter
fermentasi yang diamati antara Calliandra calothyrsus Kolombia dan Kenya.

12

Review: Kajian In Vitro Kelayakan Penggantian Leguminosa rendah tanin
Vigna unguiculata dengan Legum Mengandung Tanin Leucaena leucocephala,
Flemingia macrophylla atau Calliandra calothyrsus dalam Ransum Rumput
Tropis (Hess et al., 2008)
Kajian in vitro ini dilakukan untuk mengetahui efek dari penggantian
sebagian Vigna unguiculata dengan tanaman tanniferous terhadap fermentasi rumen
dan degradasi protein kasar yang dikombinasikan dengan rumput tropis seperti
Brachiaria humidicola. Campuran legung terdiri dari Vigna unguiculata saja dan
Vigna unguiculata dengan Leucaena leucocephala, Flemingia macrophylla atau
Calliandra calothyrsus dengan rasio (3:2). Total kandungan tanin terkondensasi dari
Leucaena leucocephala, Flemingia macrophylla atau Calliandra calothyrsus
masing-masing adalah 51, 124, dan 311 (g/Kg DM). Penelitian ini menggunakan
RUSITEC (Rumen Simulatoin Technique) (n=8). Penggantian sebagian Vigna
unguiculata dengan beberapa tanaman taniniferous semak berpengaruh nyata
(P0,05) terhadap konsentrasi VFA total, namun terjadi
penurunan konsentrasi pada penambahan Calliandra calothyrsus (P0,05).
Review: Kecernaan Serat pada Ruminan Menjelaskan Nilai Gizi yang Rendah
dan Mengurangi Proses Metanogenesis dalam Legum Tropis yang Tinggi
Kandungan Tanin-nya (Tiemann et al., 2008)
Kualitas hijauan yang sangat terbatas, dan metanogenesis yang rendah dari
fermentasi legum semak tropis sering dikaitkan dengan tingginya kandungan tanin
terkondensasi (CTs), tetapi karakteristik serat juga memungkinkan menjadi salah
satu faktor penghambat. RUSITEC digunakan untuk memisahkan pengaruh tanin dan

13

serat pada pencernaan rumen dan pembentukan gas metan. Legum yang mengandung
CTs (Calliandra calothyrsus, Flemingia macrophylla) dan tanaman yang bebas dari
CTs (Vigna unguiculata, Brachiaria humidicola) digunakan dalam penelitian ini.
Perlakuan yang terpisah untuk CTs yang tidak aktif menggunakan polietilen glikol
atau pemurnian serat bebas dari CTs yang diperoleh. Pada percobaan 1, sepertiga
dari rumput dalam ransum digantikan oleh legum dan telah dilengkapi dengan urea.
Pada percobaan 2, serat hanya dimurnikan dan kasein diinkubasi.
Pemurnian serat pada legum yang rendah akan CTs memiliki penguraian
yang berbeda dalam mencegah degradasi lignin terutama hemiselulosa. Tingkat
degradasi

hemiselulosa

diperkirakan

mempengaruhi

metanogenesis.

Sedikit

pengaruh yang dihasilkan dari perlakuan pada Ransum yang kebutuhan N sudah
tercukupi. degradasi serat pada CTs yang tidak aktif, masih lebih rendah pada
penggunaan Calliandra calothyrsus dibandingkan dengan Vigna unguiculata.
Review: Efisiensi Sesbania sesban dan Acacia angustissima dalam mengurangi
metanogenesis dan meningkatkan ketersediaan nitrogen dalam rumen pada
pakan yang berbasis rumput tropis tergantung pada aksesi (Bekele et al., 2009)
Strategi baru untuk meningkatkan gizi yang sangat rendah pada pakan tropis
untuk ternak ruminansia harus bertujuan untuk meningkatkan nilai pakan dan secara
bersamaan mengurangi emisi gas metana. Kedua tujuan itu ditunjukanan pada saat
ini secara in vitro. percobaan dengan melengkapi kualitas rumput tropis yang rendah
seperti Brachiaria humidicola dengan dedaunan dari berbagai legum semak,
semuanya mengandung senyawa metabolit sekunder dalam konsentrasi yang
berbeda. Dedaunan Acacia angustissima, Sesbania sesban, Samanea saman, dan
Cajanus cajan. Selain itu, kombinasi Cajanus cajan dan Sesbania sesban diuji
pengaruhnya terhadap metanogenesis, kelebihan nitrogen di dalam rumen dan sifatsifat fermentasi lainnya menggunakan Rusitec. Semua suplemen meningkatkan
kebutuhan

nutrisi yang akan difermentasi, yaitu degradasri protein kasar pada

rumen, dan meningkatkan jumlah mikroba yang efisiensi dalam pemanfaatan
nitrogen. Metanogenesis dibatasi oleh satu aksesi Sesbania sesban dan kurang jelas
terlihat pengaruhnya oleh aksesi Acacia angustissima, sedangkan suplemen lain tetap
tidak efektif. Setelah diverifikasi secara in vivo, strategi pemberian pakan dengan

14

kombinasi sebagai salah satu alternatif untuk meningkatkan kualitas nutrisi yang
rendah pada pakan tropis.
Review: Bukti Penghambatan Biohidrogenasi asam α-Linolenat pada Tahap
Akhir oleh Tanin Terkondensasi (Khiaosa-Ard et al., 2009)
Pengaruh tanin terkondensasi (CT) baik dalam bentuk ekstrak maupun terikan
pada tanaman, dan ekstrak saponin pada biohidrogenasi rumen dari asam α-Linolenat
(ALA) dianalisis secara in vitro. Rumput-rumput semanggi berfungsi sebagai pakan
basal (kontrol). Jerami kontrol yang dilengkapi dengan ekstrak CT dari Acacia
mearensii (7,9% dari bahan kering pakan DM) atau dengan ekstrak saponin dari
Yucca schidigera (1,1% DM). Keempat perlakuan terdiri dari sainfoin kering
(Onobrychis viciifolin), legum yang mengandung CT 7,9% DM. Semua perlakuan
dilengkapi dengan minyak biji rami 60% dari total ALA pakan. Pakan diinkubasi
selama 10 hari dalam RUSITEC dan lima hari terahir digunakan untuk analisis
statistik. Asam lemak dianalisis dari pakan, residu pakan, cairan inkubasi dan
effluent (limbah). Kedua perlakuan yang mengandung CT menurunkan degradasi
serat dan protein kasar di dalam rumen serta menurunkan konsentrasi amonia dalam
cairan inkubasi. Hanya ekstrak CT yang mampu menekan produksi gas metana.

15

MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2012 sampai Mei 2012
bertempat di Fakultas Peternakan Kampus IPB Dramaga.
Materi
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah laptop dan software microsoft
excel 2010. Bahan yang digunakan adalah data publikasi dari 6 penelitian dan 43
perlakuan yang diperoleh dari hasil penelitian Khiaosa-Ard et al. (2009), Hess et al.
(2008), Tiemann et al. (2008), Hess et al. (2006), Bekele et al. (2009), dan Sliwinski
et al. (2002) terhadap ransum yang mengandung tanin yang diinkubasi menggunakan
sistem RUSITEC.
Prosedur
Pembuatan Database
Data publikasi dari 6 penelitian dengan 43 perlakuan ditabulasi dengan
berdasarkan kriteria penelitian yang menggunakan ransum mengandung tanin,
menggunakan sistem Rusitec, dan menggunakan ternak ruminan terutama sapi. Data
yang diperoleh diklasifikasikan menjadi dua yaitu perlakuan pada ransum yang
mengandung

tanin

dan

ransum

yang

tidak

mengandung

tanin.

Setelah

diklasifikasikan, data yang digunakan sebagai database adalah data ransum
mengandung tanin, sehingga total data yang digunakan berasal dari 6 penelitian
dengan 25 perlakuan. Parameter yang dimasukkan ke dalam database yaitu peneliti,
tahun penelitian, sumber tanin, level tanin yang digunakan, jumlah substrat,
kecernaan, produksi CH4 (dalam mmol/day), dan komponen VFA.
Perhitungan nilai CH4
Satuan mmol/day yang diperoleh dari sumber data hasil pengukuran Rusitec
CH4 dikonversi menjadi satuan mmol/l. Metode estimasi dilakukan melalui
pendekatan stoikiometri VFA terhadap gas metana dengan dua model, yaitu:
1. Berdasarkan Hegarty dan Nolan (2007):
CH4 = 0,5 C2 + 0,5 C4 – 0,25 C3 – 0,25 C5
16

2. Berdasarkan Moss et al. (2000) yang juga digunakan oleh (Montoya et al., 2011):
CH4 = 0,45 C2 – 0,275 C3 + 0,40 C4
Keterangan:
C2 = asetat
C3 = propionat
C4 = butirat
C5 = valerat
Pada software microsoft excel, data C1, C2, C3, C4, dan C5 dikonversi
menjadi satuan mmol/l kemudian dihitung dengan masing-masing persamaan di atas.
H2 recovery dihitung berdasarkan persamaan Demeyer (1979) dilihat dari komponen
VFA yaitu:
H2 recovery =

2Hu (hydrogen utilized) X 100
2Hp (hydrogen produced)

Hu = C3 + C4 + 2C1 + 0,5 C5
Hp = C2 + 0,5C3 + 2C4 + isoC5 + C5
Kemudian CH4 pengukuran setelah mengalami penyesuaian dihitung melalui
persamaan:
CH4 setelah penyesuaian = CH4 sebelum penyesuaian x 100
H2 recovery
Perhitungan Kesalahan Prediksi
Berdasarkan Alemu et al. (2011), penilaian kesalahan dalam prediksi dihitung
dengan Mean Square Prediction Error (MSPE)

sedangkan akar dari penilaian kesalahan dalam prediksi dihitung dengan Root Mean
Square Prediction Error (RMSPE)
RMSPE =



17

Keterangan:
Oi = data hasil observasi
Pi = data hasil prediksi
n = total data yang di gunakan
Analisis Data
Data estimasi gas metana dianalisis menggunakan model persamaan Hegarty
dan Nolan (2007), Moss et al. (2000), dan dilakukan Regresi berganda menggunakan
software statistik SPSS versi 16 tanpa menggunakan konstanta intersep dalam
analisis.

18

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil kompilasi data yang telah dibuat dalam bentuk database dapat dilihat
pada Tabel 2 dan Tabel 3. Tidak semua data digunakan dalam pembuatan database
karena data yang digunakan hanya data yang terkait dengan topik penelitian.
Berdasarkan Tabel 2 dan Tabel 3 ada beberapa data yang diberi tanda strip (-) karena
sumber yang digunakan tidak melakukan pengukuran terhadap parameter tersebut.
Hubungan Antara Tanin dengan Kecernaan
Tanin adalah senyawa polifenolik larut dalam air yang merupakan anti nutrisi
bagi ruminansia dengan membentuk kompleks dengan protein (Goel et al., 2005).
Tanin memiliki efek positif dan negatif bagi ruminansia. Berdasarkan Tabel 1 terlihat
bahwa tanin bepengaruh terhadap penurunan kecernaan Bahan Organik (BO).
Kecernaan BO pada masing-masing perlakuan 5%. Menurut Sutardi (1980) nilai kecernaan yang tinggi apabila >60%.
Berdasarkan epidemilogi tanin dalam jumlah moderat 2%- 4% di dalam pakan dapat
mencegah bloat pada ruminansia, namun tanin dalam jumlah yang tinggi (>5%)
dapat menghambat pencernaan bakteri dan menurunkan kinerja ruminansia terutama
penurunan konsumsi dan rendahnya kecernaan nutrisi (Smith et al., 2005). Selain
mencegah bloat pengaruh positif tanin dalam pakan adalah sebagai penyedia protein
by pass bagi organ pasca rumen. Hal tersebut karena ikatan kompleks antara tanin
dengan protein menyebabkan protein sulit didegradasi di dalam rumen (Makkar et
al., 2007). Kecernaan PK pada Tabel 2 cukup bervariasi, sehingga terlihat bahwa
level tanin dan jenis tanin kurang berpengaruh terhadap kecernaan protein. Hal
tersebut bisa saja terjadi karena selain level tanin, jenis dan strukturnya juga sangat
berpengaruh. Tanin memiliki tingkat reaktivitas yang berbeda-beda. Reaktivitas tanin
dipengaruhi oleh perbedaan struktur kimia tanin dan bobot molekul rata-rata (Min et
al., 2003), bobot molekul yang tinggi pada tanin menyebabkan protein sulit
didegradasi (Min et al., 2003).
Hubungan Antara Tanin dengan Produksi Gas Metana
Menurut Arora (1989) produksi gas CO2 di dalam rumen adalah 50%-70%
dan sisanya adalah gas CH4. Sedangkan menurut Philipson (1970) dalam Arora
(1989) produksi gas di dalam rumen yaitu 32% CH4, 56% CO2, 8,5% N2, dan 3,5%

19

O2. Produksi CH4 pada masing-masing perlakuan cukup bervariasi dari 1,55 – 10,94
mmol/hari (Tabel 2). Semakin tinggi level tanin pada masing-masing penelitian
berpengaruh positif terhadap penurunan CH4. Hal tersebut karena tanin memiliki
kemampuan sebagai agen anti metanogen di dalam rumen (Patra dan Saxena, 2010)
sehingga dapat menurunkan produksi gas metana (Jayanegara et al., 2011) dan
penurunan ekskresi nitrogen (Makkar et al., 2007). Penelitian dengan ransum yang
mengandung Sainfoin (Onobrychis viciifolia), dan CT (Tanin extract), kedua sumber
tanin ini memiliki jenis dan level tanin yang sama namun produksi CH4 yang berbeda
yaitu 6,18 mmol/hari dan 3,44 mmol/hari. Hal ini bisa terjadi karena masing-masing
sumber tanin memiliki tingkat rektivitas yang berbeda-beda, dipengaruhi oleh
struktur kimia tanin dan bobot molekul rata-rata (Min et al., 2003) sehingga
berpengaruh terhadap produksi CH4.
Hubungan Antara Tanin dengan Produksi VFA
Degradasi karbohidrat di dalam rumen dilakukan dengan dua tahap yaitu
fermentasi karbohidrat kompleks menjadi gula sederhana oleh enzim-enzim mikroba
dan degradasi monosakarida menjadi piruvat yang kemudian produk ahir berupa
VFA (McDonald et al,. 2002). Tabel 3 menunjukkan produksi VFA dari masingmasing perlakuan, terlihat bahwa semakin tinggi level tanin maka semakin rendah
produksi VFA total, begitupun sebaliknya. Ikatan komplek antara tanin dengan
protein menyebabkan protein sulit didegradasi di dalam rumen. Sulitnya degradasi
protein menyebabkab konsentrasi amonia tidak mencukupi untuk sintesis protein
mikroba. Menurut McDonald et al. (2002), kekurangan amonia akan menyebabkan
pertumbuhan bakteri yang lambat sehingga degradasi karbohidrat melambat.
Lambatnya degradasi karbohidrat berpengaruh positif terhadap penurunan produksi
VFA di dalam rumen. Tanin juga merupakan senyawa polifenol yang mampu
bereaksi dengan dinding sel bakteri sehingga enzim ekstra seluler disekresikan.
Reaksi tersebut dapat menghambat transport nutrien ke sel dan menghambat
pertumbuhan mikroba (McSweeney et al., 2001) termasuk mikroba pendegradasi
karbohidrat.

20

Tabel 2. Database Penelitian Menggunakan Ransum yang Mengandung Tanin Menggunakan Sistem RUSITEC.
No.

Sumber Tanin

Level Tanin
(g/kg DM)
TT
CT
HT

Jumlah Substrat
(g/day)
BK
BO

BO

Kecernaan
(%)
PK
NDF

ADF

CH4 (mmol/day)

Peneliti

Tahun

1

Sliwinski et al

2002

Castanea sativa

0,0

-

0,0

13,8

-

55,7

69,4

33,9

27,4

10,94

2

Sliwinski et al

2002

Castanea sativa

0,5

-

0,5

13,8

-

58,7

72,0

38,1

31,8

10,66

3

Sliwinski et al

2002

Castanea sativa

2,5

-

2,5

13,9

-

57,3

71,8

36,1

29,3

9,49

4

Tiemann et al

2008

Vigna unguiculata

0,0

0,0

-

15,0

13,5

41,5

-

37,5

36,6

6,43

5

Tiemann et al

2008

Calliandra calothyrsus

71,0

71,0

-

15,0

14,2

25,6

-

15,0

3,1

2,77

6

Hess et al

2008

Vigna unguiculata

0,0

0,0

-

15,0

13,4

44,1

-

37,3

32,2

6,12

7

Hess et al

2008

Leucaena leucocephala

10,2

10,2

-

15,0

13,4

41,6

-

32,0

23,3

5,57

8

Hess et al

2008

Flemingia microphylla

24,8

24,8

-

15,0

13,5

39,1

-

27,9

23,0

5,29

9

Hess et al

2008

Calliandra var patulul

62,2

62,2

-

15,0

13,6

37,5

-

26,9

18,6

5,12

10

Bekele et al

2009

Brachiaria humidicola

0,0

0,0

0,0

14,0

12,6

27,1

45,7

16,0

-

2,33

11

Bekele et al

2009

Samanea saman

21,0

6,0

15,0

14,0

12,7

42,3

72,3

25,9

-

3,61

12

Bekele et al

2009

Acacia angustissima (1)

18,0

8,0

10,0

14,0

12,6

38,2

62,7

25,5

-

2,72

13

Bekele et al

2009

Acacia angustissima (2)

37,0

3,0

34,0

14,0

12,6

33,0

53,0

16,7

-

2,02

14

Bekele et al

2009

Sesbania sesban (3)

10,0

0,0

10,0

14,0

12,6

44,1

71,8

27,8

-

3,90

15

Bekele et al

2009

Sesbania sesban (4)

42,0

4,0

38,0

14,0

12,6

32,0

51,5

19,9

-

1,55

16

Bekele et al

2009

Cajanus cajan

9,0

0,0

9,0

14,0

12,5

45,1

81,5

29,4

-

3,66
2,29

17

Bekele et al

2009

C. cajan + S. Sesban

45,0

4,0

41,0

14,0

12,6

46,5

71,8

24,5

-

18

Khiaosa-Ard et al

2009

Grassclover hay

0,0

0,0

-

13,1

10,7

55,9

49,9

47,8

-

6,21

19

Khiaosa-Ard et al

2009

Sainfoin (Onobrychis viciifolia)

78,9

78,9

-

14,2

12,1

43,6

24,8

21,2

-

6,18

20

Khiaosa-Ard et al

2009

CT (Tanin extract)

78,9

78,9

-

14,2

11,9

47,0

30,1

34,2

-

3,44

21

Hess et al

2006

Brachiaria humidicola

0,0

-

-

15,0

13,3

25,4

-

15,3

14,0

3,76

22

Hess et al

2006

C. argentea +C.calothyrsus (5)

67,5

67,5

-

15,0

13,5

38,2

-

25,5

22,2

6,67

23

Hess et al

2006

C. argentea +C.calothyrsus (6)

39,0

39,0

-

15,0

13,5

38,9

-

25,9

22,8

7,25

24

Hess et al

2006

C.calothyrsus (5)

135

135

-

15,0

13,5

28,7

-

13,5

9,7

4,69

2006

(6)

78,0

78,0

-

15,0

13,6

33,6

-

20,4

15,4

5,81

25

Hess et al

Keterangan:

21

(1) Accession number: 15132
(2) Accession number: 459
(3) Accession number: 15019

C.calothyrsus

(4) Accession number: 10865
(5) Kolombia
(6) Kenya

(TT) Total Tanin
(CT) Tanin Terkondensasi
(HT) Tanin Terhidrolisis

(BK) Bahan Kering
(BO) Bahan Organik
(PK) Protein Kasar

(NDF) Neutral Detergent Fiber
(ADF) Acid Detergent Fiber

Tabel 3. Komposisi VFA dari Database Penelitian
VFA (mmol/l)
No

Sumber Tanin

1

Castanea sativa

112,00

65,18

18,70

20,16

0,87

5,35

1,81

Iso
VFA
2,69

2

Castanea sativa

111,00

62,05

18,20

22,53

0,79

5,67

1,82

2,61

3

Castanea sativa

104,00

60,94

17,26

17,99

0,67

5,41

1,85

2,52

4

Vigna unguiculata

-

-

-

-

-

-

-

-

5

Calliandra calothyrsus

-

-

-

-

-

-

-

-

6

Vigna unguiculata

59,90

38,28

15,81

5,81

-

-

-

-

7

Leucaena leucocephala

60,00

38,64

15,72

5,58

-

-

-

-

8

Flemingia microphylla

56,40

36,49

14,78

5,13

-

-

-

-

9

Calliandra var patulul

54,90

35,69

14,38

4,83

-

-

-

-

10

Brachiaria humidicola

52,50

35,07

11,39

4,11

0,68

0,79

0,45

1,13

11

Samanea saman

73,50

46,45

19,77

5,21

0,89

0,86

0,29

1,18

12

Acacia angustissima (1)

56,10

36,86

13,52

3,96

0,75

0,67

0,38

1,13

13

Acacia angustissima (2)

55,20

35,22

14,57

3,67

0,80

0,58

0,31

1,12

14

Sesbania sesban (3)

64,50

41,41

16,71

4,59

0,70

0,74

0,34

1,04

15

Sesbania sesban (4)

57,40

35,88

15,79

3,90

0,88

0,60

0,36

1,25

16

Cajanus cajan

78,50

50,16

20,72

5,72

0,90

0,70

0,27

1,18

17

C. cajan + S. sesban

67,00

41,88

19,16

3,94

1,12

0,59

0,31

1,43

18

Grassclover hay

110,00

70,07

23,21

12,43

0,74

3,49

0,19

0,92

19

Sainfoin (Onobrychis viciifolia)

107,00

66,88

25,89

10,38

0,48

3,19

0,20

0,68

20

CT (Tanin extract)

106,00

64,02

28,30

8,90

0,64

3,86

0,29

0,92

21

Brachiaria humidicola

69,60

47,47

14,41

5,57

0,26

1,11

0,75

1,01

22

C. argentea +C.calothyrsus (5)

85,50

58,14

18,13

6,75

0,22

1,37

0,87

1,09

23

C. argentea +C.calothyrsus (6)

85,30

58,35

18,00

6,65

0,26

1,19

0,82

1,08

24

C.calothyrsus (5)

81,20

57,00

15,75

6,09

0,32

1,22

0,70

1,02

25

C.calothyrsus (6)

83,10

57,67

17,12

6,07

0,26

1,25

0,71

0,96

Keterangan:

(1) Accession number: 15132
(2) Accession number: 459
(3) Accession number: 15019

Total

C2

C3

C4

isoC4

C5

isoC5

(4) Accession number: 10865
(5) Kolombia
(6) Kenya

(C2) Asetat
(C3) Propionat
(C4) Butirat

(C5) Valerat

22

Tabel 4. Kondisi di Dalam Rumen dari Database Penelitian
Kondisi Rumen
Perhitungan Mikroba
No.
Sumber Tanin
NH3
log
log
pH
(mmol/l) Bacteria/ml Protozoa/ml
1
6,80
13,60
9,581
4,044
Castanea sativa
6,88
11,30
9,567
4,050
2
Castanea sativa
6,89
10,70
9,528
3,942
3
Castanea sativa
4
7,03
2,47
Vigna unguiculata
7,13
0,67
5
Calliandra calothyrsus
6,92
4,40
9,384
3,583
6
Vigna unguiculata
7
6,93
3,49
9,286
3,619
Leucaena leucocephala
6,94
3,25
9,340
3,607
8
Flemingia microphylla
6,94
2,94
9,334
3,621
9
Calliandra var patulul
10 Brachiaria humidicola
6,98
0,17
7,836
3,258
6,84
2,74
7,956
3,258
11 Samanea saman
6,93
1,65
7,907
2,982
12 Acacia angustissima (1)
13 Acacia angustissima (2)
6,93
0,96
7,875
3,471
6,86
3,11
7,811
3,537
14 Sesbania sesban (3)
15 Sesbania sesban (4)
6,96
2,12
7,937
3,498
6,85
7,51
7,893
3,342
16 Cajanus cajan
17 C. cajan + S. sesban
6,92
8,68
7,950
3,688
18 Grassclover hay
7,06
17,20
9,410
3,861
10,00
9,394
3,812
19 Sainfoin (Onobrychis viciifolia) 7,04
7,09
5,10
9,825
3,281
20 CT (Tanin extract)
21 Brachiaria humidicola
7,29
0,64
9,352
3,170
7,13
2,78
9,307
3,423
22 C. argentea +C.calothyrsus (5)
7,11
3,82
9,316
3,378
23 C. argentea +C.calothyrsus (6)
24 C.calothyrsus (5)
7,19
0,87
9,382
3,462
7,14
1,84
9,328
3,286
25 C.calothyrsus (6)
Keterangan:

(1) Accession number: 15132
(2) Accession number: 459
(3) Accession number: 15019

(4) Accession number: 10865
(5) Kolombia
(6) Kenya

Prediksi Emisi Gas Metana
Nilai dari masing-masing pengukuran berturut-turut berdasarkan model
stoikiometri Hegarty, model stoikiometri Moss, pengukuran CH4 RUSITEC sebelum
penyesuaian dan pengukuran CH4 RUSITEC setelah penyesuaian dapat dilihat pada
Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5, diperoleh hasil bahwa nilai estimasi CH4 oleh model
23

Hegarty dan model Moss mengalami prediksi berlebih dari CH4 sebelum
penyesuaian (observasi). Nilai estimasi Hegarty lebih tinggi dari pada pengukuran
CH4 sebelum penyesuaian, hal ini karena Hegarty mengasumsikan bahwa H2 yang di
produksi di dalam rumen (H2 recovery) 100% digunakan untuk memproduksi CH4
melalui reaksi kimia sebagai berikut: CO2 + 4H2 → CH4 + 2H2O. Estimasi
berdasarkan produksi VFA akan menghasilkan estimasi pengukuran gas metana yang
lebih tinggi dari hasil observasi karena asimilasi hidrogen selama sintesis polimerpolimer mikroba dan reaksi redoks lainnya

tidak diperhitungkan (Hegarty dan

Nolan, 2007).
Nilai estimasi Moss lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai estimasi
Hegarty namun lebih mendekati pengukuran CH4 observasi. Hal ini dikarenakan
pada

persamaan

Moss,

H2 recovery

diasumsikan

sebesar

90%

dengan

mempertimbangkan adanya reaksi lain yang menggunakan H2 yang diproduksi di
dalam rumen seperti penggunaan H2 pada pembentukan propionat dan butirat seperti
yang terlihat pada reaksi berikut:
CH3COCO2H + 4H → C2H5COOH+ H2O
2CH3COOH + 4H→ C3H7COOH + 2H2O
serta reaksi-reaksi redoks lainnya (Hegarty dan Nolan, 2007).
Nilai prediksi CH4 oleh model stoikiometri Hegarty dan Moss setelah
penyesuaian (Gambar 2) jika dibandingkan

dengan pengukuran CH4 sebelum

penyesuaian (Gambar 1) lebih mendekati garis ideal, karena pada pengukuran CH4
setelah penyesuaian mempertimbangkan adanya H2 recovery. Garis ideal adalah
garis dimana nilai dari CH4 melalui estimasi sama dengan CH4 melalui pengukuran
(observasi). Sehingga dalam prediksi CH4, apabila garis persamaan mendekati garis
ideal maka prediksi CH4 semakin akurat.
Pengukuran H2 recovery pada pengukuran CH4 RUSITEC menggunakan
persamaan 2Hu/2Hp x 100 (Demeyer, 1979). Hasil perhitungan diperoleh H2
recovery yang cukup beragam yaitu antara 30,38% - 42,64%. Hasil prediksi CH4
melalui stoikiometri VFA oleh Hegarty dan Moss mengalami prediksi yang berlebih
dari pengukuran CH4 setelah penyesuaian. Namun demikian nilai CH4 setelah
penyesuaian lebih mendekati hasil estimasi jika dibandingkan dengan CH4 sebelum
penyesuaian.

24

Tabel 5. Komparasi Hasil Pengukuran Gas Metan
No.

Sumber Tanin

CH4 Estimasi
(mmol/l)
Hegarty

Moss

H2
Recovery
(%)

CH4
Sebelum
Penyesuaian
(mmol/l)

CH4
Setelah
Penyesuaian
(mmol/l)

1

Castanea sativa

36,66

32,25

37,56

10,94

29,13

2

Castanea sativa

36,32

31,93

37,58

10,66

28,36

3

Castanea sativa

33,80

29,87

36,53

9,49

25,98

4

Vigna unguiculata

-

-

-

6,43

-

5

Calliandra calothyrsus

-

-

-

2,77

-

6

Vigna unguiculata

18,09

15,20

42,64

6,12

14,35

7

Leucaena leucocephala

18,18

15,30

41,05

5,57

13,57

8

Flemingia microphylla

17,12

14,41

41,17

5,29

12,85

9

Calliandra var patulul

16,66

14,04

41,05

5,12

12,47

10

Brachiaria humidicola

16,54

14,29

30,38

2,33

7,67

11

Samanea saman

20,67

17,55

34,37

3,61

10,50

12

Acacia angustissima (1)

16,86

14,45

32,38

2,72

8,40

13

Acacia angustissima (2)

15,66

13,31

31,92

2,02

6,33

14

Sesbania sesban (3)

18,64

15,87

35,45

3,90

11,00

15

Sesbania sesban (4)

15,79

13,36

31,17

1,55

4,97

16

Cajanus cajan

22,59

19,16

33,69

3,66

10,87

17

C. cajan + S. sesban

17,97

15,15

32,77

2,29

6,99

18

Grassclover hay

34,58

30,12

33,17

6,21

18,72

19

Sainfoin (Onobrychis viciifolia)

31,36

27,13

34,86

6,18

17,73

20

CT (Tanin extract)

28,42

24,59

32,38

3,44

10,62

21

Brachiaria humidicola

22,64

19,63

31,24

3,76

12,04

22

C. argentea +C.calothyrsus (5)

27,57

23,88

35,27

6,67

18,91

23

C. argentea +C.calothyrsus (6)

27,70

23,97

36,26

7,25

19,99

24

C.calothyrsus (5)

27,30

23,76

30,85

4,69

15,20

25

C.calothyrsus (6)

27,28

23,67

33,50

5,81

17,34

Keterangan:

(1) Accession number: 15132
(2) Accession number: 459
(3) Accession number: 15019

(4) Accession number: 10865
(5) Kolumbia
(6) Kenya

Berdasarkan Gambar 3 dan Gambar 4, garis persamaan Moss lebih mendekati
garis ideal daripada garis persamaan Hegarty. Hal ini menunjukkan bahwa model
stoikiometri Moss lebih akurat dalam memprediksi emisi gas metana daripada model
stoikiometri Hegarty. Nilai R2 dari model stoikiometri Hegarty dan Moss berturutturut pada pengukuran CH4 setelah penyesuaian (0,763 dan 0,766) lebih besar
daripada pengukuran CH4 sebelum penyesuaian (0,632 dan 0,633).

25

Gambar 3. Grafik Hubungan Antara CH4 Observasi Sebelum Penyesuaian dan CH4
Estimasi

Gambar 4. Grafik Hubungan Antara CH4 Observasi Setelah Penyesuaian dan CH4
Estimasi

26

Gambar 5. Grafik Perbandingan Antara Rumus Estimasi dengan Multiple Regresi
Berdasarkan hasil analisis multipel regresi diperoleh persamaan baru untuk
prediksi emisi gas metana yaitu CH4 = 0,395C2 – 0,616C3 + 0,678C4 dengan
(P