Estimasi Emisi Gas Metan yang Dihasilkan dari Fermentasi Hijauan Tropis dalam Rumen In Vitro Melalui Komposisi Asam Lemak Terbang

RINGKASAN
IKHSAN. D24080129. 2012. Estimasi Emisi Gas Metan yang Dihasilkan dari
Fermentasi Hijauan Tropis dalam Rumen In Vitro Melalui Komposisi Asam
Lemak Terbang. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr. Anuraga Jayanegara, S.Pt, M.Sc.
Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc.
Gas metan (CH4) yang dihasilkan oleh kelompok mikroba metanogen di
dalam rumen ternak ruminansia berkontribusi secara signifikan terhadap akumulasi
gas metan di atmosfer yang berdampak pada efek pemanasan global. Proses
pembentukan gas metan melibatkan gas hidrogen (H2) yang juga terkait dengan
produksi dan komposisi asam lemak terbang (VFA; volatile fatty acids) dari
fermentasi nutrien. Dengan adanya keterkaitan tersebut, produksi gas metan secara
stoikiometri dapat diestimasi dari komposisi VFA rumen. Oleh karena itu, penelitian
ini bertujuan untuk menguji tingkat akurasi nilai gas metan melalui pendekatan
stoikiometri dibandingkan dengan nilai gas metan yang didapatkan melalui
pengukuran.
Penelitian dilaksanakan di Fakultas Peternakan IPB, Bogor, Jawa Barat
dengan menggunakan komputer dan data publikasi beserta data mentahnya. Data
dianalisis dengan menggunakan software SPSS 16.0 dan diuji lanjut dengan
menggunakan uji Duncan. Penaksiran kesalahan estimasi dilakukan dengan

perhitungan mean square prediction error (MSPE) dan root mean square prediction
error (RMSPE).
Hasil menunjukkan bahwa persamaan garis linear pada model estimasi
stoikiometri Moss et al. (2000) terhadap CH4 observasi sebelum penyesuaian adalah
y = 0,4231x – 3,1762 dengan R2 = 0,4645 dan persamaan garis linear pada model
estimasi stoikiometri Hegarty dan Nolan (2007) terhadap CH4 observasi sebelum
penyesuaian adalah y = 0,3735x – 3,2963 dengan R2 = 0,4778. Sedangkan,
persamaan garis linear pada model estimasi stoikiometri Moss et al. (2000) terhadap
CH4 observasi setelah penyesuaian adalah y = 0,8446x – 4,6719 dengan R2 = 0,6619
dan persamaan garis linear pada model estimasi stoikiometri Hegarty dan Nolan
(2007) terhadap CH4 observasi setelah penyesuaian adalah y = 0,7405x – 4,8011
dengan R2 = 0,6714. Hasil validasi model menunjukkan bahwa model estimasi Moss
et al. (2000) memiliki nilai RMSPE yang lebih kecil yaitu sebesar 8,01% daripada
model estimasi Hegarty dan Nolan (2007) yaitu sebesar 10,73%.
Berdasarkan hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tinggi
rendahnya emisi CH4 dapat diestimasi secara cukup akurat melalui komposisi VFA.
Namun, terdapat bias antara CH4 estimasi dan CH4 observasi. Penyesuaian dengan
mempertimbangkan H2 recovery dapat mengurangi bias secara signifikan. Estimasi
model stoikiometri Moss et al. (2000) lebih mendekati nilai CH4 observasi dari pada
estimasi model stoikiometri Hegarty dan Nolan (2007).

Kata-kata kunci: asam lemak terbang, metan, estimasi

ABSTRACT
Estimation of Methane Emission Generated from Tropical Plants Fermentation
in Rumen Environment In Vitro Using Volatile Fatty Acids Compotition
Ikhsan, A. Jayanegara and T. Toharmat
Rumen is the home to billions of microbes, including bacteria, methanogens,
protozoa and fungi. These microbes breakdown feed to produce volatile fatty acids
(VFA), carbon dioxide, ammonia and methane (CH4). Metabolic hydrogen in the
form of reduced protons (H) is used during CH4 formation as well as during VFA
synthesis. Therefore, VFA molar proportion in the rumen is stoichiometrically
related to CH4 emission. The aim of this study was to evaluate methane emission
between experimental and model estimates. The data sets were obtained from a
published literature. Samples used were leaves from 27 tropical plant species. Model
comparison was based on Duncan’s test. Prediction error was conducted by
computing mean square prediction error (MSPE) and root mean square prediction
error (RMSPE). Results showed that linear equation of Moss model to CH4 observed
before adjustment was y = 0.4231x – 3.1762 with R2 = 0.4645, whereas Hegarty
model to CH4 observed before adjusment was y = 0.3735x – 3.2963 with R2 =
0.4778. Further, linear equation of Moss model to CH4 observed after adjusment was

y = 0.8446x – 4.6719 with R2 = 0.6619, while Hegarty model to CH4 observed after
adjustment was y = 0.7405x – 4.8011 with R2 = 0.6714. Validation assessment
showed that estimation model of Moss et al. (2000) had lower RMSPE value, i.e.
8.01%, than that of Hegarty and Nolan (2007) model, i.e. 10.73%. This study
demonstrated that the low or high methane emission can be estimated by VFA
composition with a sufficient accuracy. Adjusment by considering H2 recovery
lowered the bias significantly. Comparison of predicted versus observed CH4
production showed that Moss model had closer to the ideal line (where predicted
values are the same with the observed values) than Hegarty model.
Keywords : VFA, methane, estimation

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Komposisi kimiawi di atmosfer terus mengalami perubahan sejalan dengan
penambahan gas rumah kaca terutama karbon dioksida (CO2) dan metan (CH4).
Cahaya panas matahari memacu cuaca dan iklim bumi serta memanasi permukaan
bumi, sebaliknya bumi mengembalikan panas tersebut ke angkasa. Gas rumah kaca
pada atmosfer menyaring sejumlah cahaya panas yang dipancarkan, menahan panas
seperti rumah kaca. Tanpa adanya efek rumah kaca alami ini maka suhu yang ada
pada saat ini akan lebih rendah dan kehidupan mahluk hidup di bumi niscaya tidak

mungkin ada. Akan tetapi permasalahan yang kini muncul adalah ketika konsentrasi
gas rumah kaca pada atmosfer berlebih.
Pemanasan global telah menjadi salah satu masalah lingkungan yang paling sering
dibicarakan baik oleh peneliti, pemerintah, badan organisasi di tingkat nasional maupun
internasional karena dampak negatif yang ditimbulkan dapat mengancam kelangsungan
mahluk hidup di bumi. Pemanasan global mempengaruhi perubahan iklim sehingga menjadi
sumber bencana lingkungan seperti badai, iklim yang tidak stabil, peningkatan suhu,
kenaikan permukaan air laut, mencairnya es di kutub, banjir dan bencana lingkungan lainnya.
Pemanasan global diakibatkan oleh gas rumah kaca berbentuk gas-gas di atmosfer yang
memiliki kemampuan menghambat radiasi sinar matahari yang dipantulkan oleh bumi ke
atmosfer, sehingga menyebabkan suhu di permukaan bumi menjadi hangat. Meningkatnya
jumlah gas rumah kaca di atmosfer yang dapat meningkatkan pemanasan bumi, diantaranya
disebabkan oleh aktivitas manusia di berbagai sektor seperti sampah, energi, kehutanan,
pertanian dan peternakan (Sudarman, 2010).
Beberapa kalangan menyebutkan bahwa peternakan merupakan salah satu
penyumbang gas metan terbesar dimana gas metan merupakan salah satu komponen
penyebab efek rumah kaca yang mengakibatkan terjadinya pemanasan global. Gas metan
dihasilkan oleh kelompok mikroba metanogen di dalam saluran pencernaan ternak
ruminansia yang secara signifikan berkontribusi terhadap akumulasi gas metan di atmosfer
sehingga panas matahari yang hendak dipantulkan kembali ke luar angkasa akan terhambat

dan berdampak pada terjadinya pemanasan global.
Pengurangan dari dampak emisi gas metan terhadap pemanasan global dapat
dilakukan salah satunya melalui peningkatan efisiensi pakan. Hal ini berdasarkan pernyataan
Van Nevel dan Demeyer (1996) bahwa pada produksi gas metan merepresentasikan

1

kehilangan gross energy pada pakan sebanyak 2% hingga 15%. Sehingga, dengan kualitas
nutrisi pakan yang baik maka energi tidak banyak digunakan untuk proses produksi gas
metan melainkan untuk proses produksi dan reproduksi ternak.
Hidrogen metabolik dalam bentuk proton tereduksi (H) dapat digunakan selama
sintesis VFA atau tergabung ke dalam bahan organik mikroba. Kelebihan hidrogen yang
dihasilkan selama konversi heksosa menjadi asetat atau butirat akan digunakan dalam jalur
propionat, tetapi sebagian besar dikonversi menjadi CH4 (Moss et al., 2000). Karena itu,
proporsi asetat, butirat dan propionat menentukan jumlah H2 yang tersedia di dalam rumen
untuk digunakan oleh metanogen. Dari hubungan tersebut maka secara stoikiometri dapat
digunakan untuk mengestimasi emisi CH4 di dalam rumen.
Secara umum pengukuran emisi gas metan dapat dilakukan baik secara in vivo
melalui metode open-circuit respiratory chambers maupun in vitro melalui metode gas
chromatography dan infrared methane analyzer. Akan tetapi, untuk mengukur emisi gas

metan dengan semua metode tersebut dibutuhkan alat dan biaya yang tidak murah terlebih
bagi negara berkembang seperti Indonesia. Sehingga diharapkan estimasi emisi gas metan
secara stoikiometri melalui komposisi asam lemak terbang (VFA) dapat menjawab masalah
tersebut.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat akurasi estimasi emisi gas
metan secara stoikiometri melalui komposisi volatile fatty acids (VFA) terhadap
pengukuran emisi gas metan dengan teknik in vitro.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Pemanasan Global
Iklim adalah keadaan cuaca rata-rata dalam waktu satu tahun yang penyelidikannya
dilakukan dalam waktu yang lama (minimal 30 tahun) dan meliputi wilayah yang luas,
sedangkan cuaca yaitu keadaan udara pada saat tertentu di wilayah tertentu yang relatif
sempit dalam jangka waktu yang singkat. Misalnya pagi, siang maupun sore keadaannya
berbeda (cerah, mendung ataupun hujan) di setiap tempat. Pemanasan global pada dasarnya
merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya

efek rumah kaca yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas karbondioksida (CO2),
metan (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehinga energi matahari terperangkap dalam
atmosfer bumi (Latief, 2010).
Dampak gas-gas rumah kaca terhadap pemanasan global sangat bervariasi; untuk
jumlah konsentrasi yang sama tiap-tiap gas rumah kaca memberikan dampak pemansan
global yang berbeda. Untuk memudahkan dalam membandingkan dampak yang berlainan ini
maka dipakailah Indeks Potensi Pemanasan Global (Global Warming Potential = GWP).
Indeks GWP ditentukan dengan menggunakan CO2 sebagai acuan yaitu dengan
membandingkan satu satuan berat gas rumah kaca tertentu dengan jumlah CO2 yang
memberikan dampak pemanasan global yang sama. Misalnya 1 ton gas metan (CH4) akan
memberikan dampak yang sama dengan 21 ton gas CO2 (Sudarman, 2010).
Gas Metan dan Kontribusinya Terhadap Pemanasan Global
Gas karbon dioksida (CO2) menjadi faktor penyebab pemanasan global yang paling
banyak mendapatkan perhatian. Di sisi lain ada gas-gas lain yang perlu dipertimbangkan
akan dampaknya terhadap pemanasan global, yaitu gas metan (CH4), nitrooksida (N2O), dan
klorofluorokarbon (CFC). Adanya gas metan di atmosfer telah diketahui sejak tahun 1940-an
ketika Migeotte mengamati daerah penyerapan berkas-berkas sinar yang kuat di wilayah
infra-merah spektrum matahari yang menandakan keberadaan gas metan di atmosfer.
Peningkatan konsentrasi gas metan berkorelasi dengan peningkatan jumlah penduduk dan
saat ini sekitar 70% peningkatan produksi gas metan berasal dari sumber-sumber

antropogenik hasil aktifitas manusia dan sisanya berasal dari sumber-sumber alamiah.
Perkembangan biologis dalam lingkungan anaerob merupakan sumber terbesar emisi gas
metan (Moss et al., 2000). Metan merupakan gas rumah kaca terpenting kedua setelah
karbon dioksida (Suprihatin et al., 2008).

3

Peningkatan emisi gas metan saat ini berada pada kisaran 30 hingga 40 Tg (10 12 g)
per tahun. Agar konsentrasi emisi gas metan global pada level tersebut stabil, diperlukan
pengurangan emisi gas metan atau peningkatan penyerapan gas metan kira-kira pada jumlah
yang sama dengan emisi gas metan yang dikeluarkan. Pengurangan emisi gas metan ini
merepresentasikan sekitar 10% dari sumber antropogenik yang ada sekarang (di mana ternak
ruminansia berkontribusi sekitar 30%). Jumlah tersebut lebih sedikit daripada persentase
pengurangan yang diperlukan untuk menstabilkan gas rumah kaca yang lainnya. Kemudian,
karena gas metan memiliki masa tinggal di atmosfer yang lebih pendek dan penyerapan
secara radiasi yang lebih besar dari pada gas karbondioksida, maka strategi pengurangan
emisi gas metan dapat memperlambat pemanasan global dalam waktu dekat ini (Moss et al.,
2000).
Permasalahan muncul ketika terjadi konsentrasi gas rumah kaca pada atmosfer
bertambah, sejak awal revolusi industri mendekati 30%, konsentrasi metan lebih dari dua

kali, konsentrasi asam nitrat bertambah 15%. Pembakaran bahan bakar fosil dan kegiatan
manusia (antropogenik) merupakan penyebab utama dari bertambahnya konsentrasi karbon
dioksida dan gas rumah kaca. Pembusukan pakan ternak, kotoran hewan, sampah organik,
tanah yang tergenang air seperti rawa-rawa dan persawahan akan melepaskan gas metan
(CH4), ikut meningkatkan gas rumah kaca. Dampak yang luas dan serius dari gas rumah kaca
bagi lingkungan geofisik (seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan
gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna
tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dsb). Sedangkan dampak bagi aktivitas sosialekonomi masyarakat meliputi: (1) gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai,
(2) gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan
bandara, (3) gangguan terhadap pemukiman penduduk, (4) pengurangan produktivitas lahan
pertanian, (5) peningkatan resiko kanker dan wabah penyakit (Latief, 2010)
Gas metan diproduksi bersamaan dengan didegradasinya komponen karbon (C)
selama proses pencernaan zat makanan (Monteny et al., 2006). Gas metan dibentuk di dalam
rumen sebagai sebuah mekanisme untuk melepaskan H2 yang diproduksi selama proses
fermentasi. Pembentukan metan di dalam rumen dapat diturunkan dengan menggeser
hidrogen ke berbagai akseptor elektron alternatif seperti asam propionat. Mengalirkan
hidrogen ke akseptor elektron alternatif secara energi kurang menguntungkan daripada
melalui reduksi CO2 menjadi CH4. Sehingga, proses fermentasi di rumen kembali
memproduksi metan bahkan setelah ditekan dengan penghambat alami metanogen dan
melalui defaunasi protozoa. Oleh karena itu, pendekatan multi-faktorial untuk mitigasi metan


4

dilakukan dengan penghambatan metanogen, persediaan akseptor elektron alternatif dan
pengembangan pemberian pakan rendah emisi metan disyaratkan untuk menghasilkan
reduksi emisi metan yang berarti pada ternak ruminansia (McAllister dan Newbold, 2008).
Kontribusi Ternak Ruminansia Terhadap Produksi Gas Metan
Pertanian secara umum dan khususnya produksi peternakan, berkontribusi pada
pemanasan global melalui emisi gas rumah kaca non-CO2 yaitu CH4 dan N2O. CH4 paling
banyak diemisikan dari ternak ruminansia, sementara, N2O utamanya diemisikan dari lahan
yang diberi pupuk (Monteny et al., 2006).
Gas metan pada ternak ruminansia berasal dari dua sumber yaitu berasal dari hasil
dari fermentasi saluran pencernaan (enteric fermentation) dan kotoran (manure). Fermentasi
dari saluran pencernaan ternak (enteric fermentation) menyumbang sebagian besar emisi gas
metan yang dihasilkan oleh sektor peternakan. Pembentukan gas metan di dalam rumen
merupakan hasil akhir dari fermentasi pakan. Metan yang diproduksi di saluran pencernaan
ternak sebesar 80 - 95% diproduksi di dalam rumen dan 5 - 20% di dalam usus besar. Metan
yang dihasilkan dalam rumen dikeluarkan melalui eruktasi ke atmosfir (Martin et al., 2008)
Gas metan (CH4) merupakan gas rumah kaca kedua paling banyak diemisikan dari
ternak dan merupakan sumber utama emisi terbesar di Jepang (Shibata dan Terada, 2010).

Produksi gas metan dari ternak ruminansia lebih banyak dihasilkan dari pakan berupa
rumput daripada leguminosa. Penggunaan rumput hay yang tinggi dapat menyebabkan
kehilangan energi sebanyak emisi metan ke lingkungan sebagai gas rumah kaca yang
berkontribusi terhadap pemanasan global (Mirzaei et al., 2008).
Gas metan dihasilkan dari fermentasi anaerob karbohidrat struktural maupun
nonstruktural oleh metanogen di dalam rumen ternak ruminansia yang dikeluarkan melalui
eruktasi. Rata-rata 6% dari energi yang dikonsumsi ternak ruminansia hilang dalam bentuk
gas (CH4), sehingga berpengaruh terhadap retensi energi (Johnson dan Johnson, 1995). Di
daerah tropis, kandungan dari dinding sel, serat deterjen asam dan lignin cenderung
meningkat, yang menyebabkan kecernaan pakan lebih rendah dan kehilangan energi lebih
tinggi, serta menyebabkan peningkatan produksi CH4 per unit produk melalui penurunan
efisiensi produksi ternak. Fenomena tersebut terjadi di daerah tropis tetapi dapat juga terjadi
di daerah beriklim sedang sebagai dampak dari perkembangan pemanasan global (Shibata
dan Terada, 2010).

5

Produksi metan dari ternak ruminansia telah banyak dikaji karena hubungan ternak
ruminansia sebagai produsen dari gas metan. Proses metanogenesis terbentuk oleh archaea
metanogen, sekelompok mikroorganisme yang hidup dan berkembang dalam kondisi
anaerob termasuk di dalam rumen. Di dalam rumen, mikroba metanogen memanfaatkan H2
dan CO2 sebagai substrat untuk memproduksi metan. Mikroba lainnya juga dapat
mempengaruhi produksi metan baik itu dikarenakan keterkaitannya dengan metabolisme
hidrogen (H2) atau dikarenakan pengaruhnya terhadap jumlah mikroba metanogen atau
anggota mikroba lainnya. Hidrogen (H2) merupakan elemen kunci untuk produksi metan di
dalam rumen. Diantara produsen H2, protozoa memiliki posisi yang menonjol terhadap
mikroba metanogen yang menyokong transfer H2 antar spesies. Korelasi positif yang kuat
dapat dilihat antara jumlah protozoa dengan emisi gas metan, dan dikarenakan kelompok ini
tidak esensial untuk fungsi rumen, protozoa dapat menjadi sebuah target untuk mitigasi
metan. Sebuah faktor penting yang berhubungan dengan tingginya produksi H2 adalah
degradasi bahan makanan tanaman berserat (Morgavi et al., 2010).
Sektor peternakan secara kolektif sebanding dengan ~25% emisi metan ke atmosfer
dari aktifitas manusia, sehingga dapat dikatakan bahwa sektor peternakan merupakan
penyumbang emisi metan terbesar. Penelitian skala kecil dengan menggunakan teknik yang
mirip seperti kandang tertutup atau tiruan rumen dapat menentukan emisi per ekor ternak
yang dapat menggambarkan emisi skala nasional dan global berdasarkan pendekatan
proporsi konstan konsumsi energi yang dikeluarkan sebagai metan (Lassey, 2008).
Strategi Menurunkan Emisi Gas Metan
Selama beberapa dekade terakhir, hasil penelitian mengenai produksi gas metan di
dalam rumen beserta pencegahannya telah banyak diangkat. Pada awalnya, produksi gas
metan merepresentasikan kehilangan gross energy pada pakan (2-15%), sehingga tujuan
akhir yang harus dilakukan adalah peningkatan efisiensi pakan. Alasan kedua dilakukannya
penelitian tersebut dikarenakan peran gas metan terhadap fenomena pemanasan global dan
rusaknya lapisan ozon (Van Nevel et al., 1996).
Penelitian mengenai metanogenesis selama tiga dekade terakhir dengan jelas
mengungkapkan bahwa produksi metan di dalam rumen merupakan suatu proses yang cukup
sensitif sehingga dapat dimitigasi melalui penggunaan beberapa zat aditif. Dengan ilmu
pengetahuan dan hasil-hasil penelitian yang ada sekarang dapat diketahui bahwa tidak ada
zat aditif atau bahan campuran lainnya yang benar-benar efektif (Van Nevel et al., 1996).
Sangat beralasan untuk berpikir bahwa reduksi dalam emisi metan tanpa perubahan

6

sekumpulan mikroba metanogen harus dihubungkan dengan perubahan mikrobiota rumen
dan ketersediaan H2. Jumlah protozoa dan produksi metan berkorelasi secara langsung.
Beberapa strategi yang paling berhasil untuk mereduksi emisi metan memiliki
kecenderungan efek negatif pada protozoa. Keseimbangan antara penghasil H2 dan penghasil
selain H2 di dalam komunitas fibrolitik dapat digeser untuk mengurangi metanogenesis tanpa
merubah kemampuan mendegradasi seratnya. Menurunkan proses metanogenesis rumen
merupakan suatu hal yang mungkin, dengan beberapa strategi yang sudah ada dan strategi
lainnya yang belum diuji. Suatu hal yang mungkin untuk memodifikasi ekosistem mikroba
untuk menurunkan produksi metan, tetapi manipulasi komponen mikroba dari sistem
tersebut harus terintegrasi (Morgavi et al., 2010).
Pengurangan emisi gas metan secara efektif dapat dicapai dengan beberapa strategi
diantaranya dengan memperbaiki efisiensi produksi ternak, mengurangi fermentasi pakan per
unit produk, atau merubah susunan pola proses fermentasi di dalam rumen. Banyak strategi
yang mutakhir dan berpotensi telah dievaluasi, tetapi tidak semua dapat diaplikasikan pada
level peternakan, dan dalam banyak kasus potensi efek negatif dan biaya tidak secara penuh
diteliti. Strategi yang efektif, meningkatkan produktivitas, dan tidak berpotensi negatif pada
produksi ternak adalah suatu tantangan yang lebih besar yang dapat dijawab oleh produsen
(Boadi et al., 2004). Pengembangan strategi pemberian pakan yang dapat mereduksi emisi
metan ternak ruminansia akan bermanfaat baik jangka panjang dalam mengurangi laju
akumulasi gas rumah kaca, maupun jangka pendek dalam mengurangi kehilangan energi
pada ternak (Jayanegara et al., 2009a).
Fraksi senyawa polifenol yang secara nyata menurunkan produksi gas metan adalah
total fenol (yang terdiri atas senyawa fenol tanin dan senyawa fenol bukan tanin) dan total
tanin, sedangkan tanin terkondensasi tidak terbukti menurunkan gas metan melalui koefisien
korelasi. Namun, beberapa hasil penelitian lain menyatakan bahwa tanin terkondensasi
secara signifikan dapat menurunkan emisi metan. Berdasarkan hal tersebut, efek tanin
terkondensasi terhadap produksi metan masih belum konsisten, apakah dapat menurunkan
emisi metan atau tidak. Hal ini sangat bergantung pada tanaman sumber tanin terkondensasi
tersebut, karena struktur senyawa tanin terkondensasi sangat bervariasi antara satu tanaman
dengan tanaman lainnya (Jayanegara et al., 2009a).
Estimasi Produksi Gas Metan
Emisi CH4 secara umum dapat diprediksi berdasarkan persamaan yang melibatkan
konsumsi bahan kering, konsumsi karbohidrat, kecernaan dan konsumsi energi, ukuran

7

ternak, komponen penyusun susu dan komponen kecernaan pakan. Model yang
dikembangkan untuk memprediksi emisi CH4 dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok
utama: (1) model empirik (statistik) yang berhubungan dengan konsumsi nutrien untuk
menghasilkan CH4 secara langsung, dan (2) model mekanistik dinamik yang menguji untuk
mensimulasikan emisi CH4 berdasarkan deskripsi matematika dari biokimia fermentasi
rumen (Kebreab et al., 2006). Kedua model tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan
masing-masing seperti yang terlihat pada Tabel 1.
Salah satu model mekanistik statis untuk mengestimasi emisi gas metan adalah
melalui model stoikiometri berdasarkan Hegarty dan Nolan (2007) dan Moss et al. (2000).
Menurut Hegarty dan Nolan (2007) komposisi VFA dapat digunakan untuk memprediksi
produksi metan melalui persamaan stoikiometri berikut:

CH4 = 0,5 C2 + 0,5 C4 – 0,25 C3 – 0,25 C5
Prediksi produksi metan dari persamaan di atas didasarkan atas beberapa asumsi berikut:



VFA hanya merupakan produk akhir fermentasi (tidak ada hidrogen yang
digunakan dalam produksi polimer sel)



Tidak ada H2 bebas yang keluar dari rumen



Proses pencernaan mikroba terjadi secara anaerob (tidak ada H2 yang
digunakan untuk mereduksi O2 menjadi H2O)



H2 tidak digunakan di dalam reaksi lain, misalnya, reaksi reduksi sulfat
menjadi sulfida atau reaksi dari ikatan rangkap di dalam asam lemak.

Hal ini mungkin menjadi asumsi yang kurang tepat karena prediksi berdasarkan produksi
VFA yang secara teori akan menghasilkan estimasi pengukuran yang berlebih dari produksi
metan yang sebenarnya dikarenakan terjadinya asimilasi hidrogen selama sintesis polimerpolimer mikroba dan reaksi lainnya yang tidak diikutsertakan. Hal penting yang harus
diketahui dari reaksi yang tidak spesifik ini adalah sulit untuk mengukur dan mungkin
bergantung pada bercampurnya spesies bakteri dan mikroba lain yang ada. Pengaruhnya
dapat lebih besar ketika faktor penghambat produksi metan ada di dalam pakan ternak
(Hegarty dan Nolan, 2007). Sedangkan, menurut Moss et al. (2000) yang juga digunakan
oleh Montoya et al. (2011) produksi metan dapat dihitung melalui persamaan:
CH4 = 0,45 C2 – 0,275 C3 + 0,40 C4
dimana persamaan tersebut mempertimbangkan perolehan kembali rata-rata hidrogen
sebesar 90%. Dengan jelas persamaan tersebut mengindikasikan bahwa persentase molar

8

dari VFA mempengaruhi produksi metan di dalam rumen. Asam asetat dan butirat
mendorong produksi metan sementara hidrogen digunakan untuk pembentukan propionat di
dalam rumen. Teori perhitungan tersebut telah memperkuat estimasi produksi metan secara
in vitro dimana pada hasil akhir dapat dihitung.

9

Tabel 1. Keunggulan dan Kelemahan Prediksi Emisi Metan Melalui Model Empirik dan
Mekanistika.
Tipe Model
Prediksi
Deskripsi

Keunggulan

Kelemahan

Model Empirik

Model Mekanistik

Merupakan model statis yang
menghubungkan konsumsi
nutrisi dengan CH4

Merupakan model dinamis yang
menguji untuk mensimulasikan emisi
CH4 berdasarkan deskripsi matematis
biokimia fermentasi rumen

Persamaan regresi yang
sederhana berdasarkan
karakteristik pakan

1. Tanpa memerlukan percobaan
yang mahal dan tempat yang luas

1. Membutuhkan lahan yang
luas dan percobaan yang
mahal

2. Tidak memperhitungkan
pengaruh lingkungan dan
populasi mikroba rumen
3. Prediksi metan tidak akurat
ketika ada gangguan
karena hanya berdasarkan
karakteristik pakan dan
tidak memperhitungkan
faktor lain
4. Kurang berbasis kebutuhan
biologis untuk
mengevaluasi strategi
mitigasi dan tidak dapat
digunakan untuk
memprediksi perubahan di
dalam emisi metan di luar
area yang berkembang

2. Opsi mitigasi diimplementasikan
pada level peternakan atau
nasional yang dapat dinilai
efektivitasnya
3. Informasi iklim dan manajemen
terhitung di dalam model
4. Menghitung populasi metanogen
dan efisiensinya dalam laju
produksi
1. Agar model cukup akurat maka
dibutuhkan input parameter
seperti konsumsi, laju degradasi
komponen nutrien, dan laju aliran
pakan
2. Data kurang detail dan akurat dan
lagi faktor pembatas utama
adalah kompleksnya system
3. Perubahan dinamis yang cepat
dalam aliran metabolis selama
laktasi, khususnya ternak yang
akhir kebuntingan dan awal
laktasi

Keterangan: aSeijian et al.(2011)

10

MATERI METODE

Lokasi dan Waktu
Lokasi penelitian bertempat di Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
dan berlangsung dari bulan Februari sampai April 2012.
Materi
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah laptop, software Microsoft
excel 2010, dan software SPSS 16.0.
Bahan yang digunakan adalah data publikasi berikut data mentahnya yang diperoleh
dari hasil penelitian Jayanegara et al. (2011) terhadap 27 jenis spesies hijauan makanan
ternak ruminansia yang diinkubasi dengan menggunakan Hohenheim Gas Test (HGT). Pada
penelitian tersebut data emisi gas metan dianalisis dengan menggunakan gas kromatografi.
Data pertama (Tabel 2) berisi komposisi kimia berikut kandungan total tanin pada setiap
spesies hijauan yang diujikan (dalam g/kg bahan kering) dengan 2 kali ulangan dan data
kedua (Tabel 3) berisi total gas (ml), produksi CH4 (ml), total VFA (mmol/l) dan proporsi
VFA individual (% total VFA) setelah diinkubasi pada setiap jenis hijauan masing-masing
dengan 8 kali ulangan. Data dari penelitian tersebut belum dilakukan estimasi emisi gas
metan melalui komposisi asam lemak terbang (VFA).

Prosedur
Perhitungan Nilai CH4
Satuan ml yang diperoleh dari data hasil pengukuran in vitro CH4 Jayanegara et al.
(2011) diubah menjadi satuan mmol/l dengan menggunakan persamaan gas ideal berikut:
PV = nRT
Keterangan:
P

= tekanan gas (atm)

V = volume gas (L)
n

= jumlah mol (mmol)

R = tetapan gas = 0,08206 L atm/mol K

11

T

= suhu mutlak gas (K = 273 + suhu celcius)
Metode estimasi dilakukan melalui pendekatan stoikiometri VFA terhadap gas

metan dengan dua model, yaitu:

1. Berdasarkan Hegarty dan Nolan (2007) dengan asumsi H2 recovery 100%,
CH4 = 0,5 C2 + 0,5 C4 – 0,25 C3 – 0,25 C5
2. Berdasarkan Moss et al. (2000) yang juga digunakan oleh Montoya et al. (2011)
dengan asumsi H2 recovery 90%,
CH4 = 0,45 C2 – 0,275 C3 + 0,40 C4
Keterangan:
C2 = asetat
C3 = propionat
C4 = butirat
C5 = valerat
Pada software microsoft excel, data C2, C3, C4, dan C5 yang diperoleh dari Jayanegara et al.
(2011) setelah diubah menjadi satuan mmol/l kemudian dihitung dengan masing-masing
persamaan di atas.
H2 recovery dihitung berdasarkan persamaan Demeyer dan Van Nevel (1979) yaitu
2Hu/2Hp x 100, dimana Hu merupakan hydrogen utilized dan Hp merupakan hydrogen
produced, dengan 2Hu = 2 Propionat + 2 Butirat + 4 Metan + Valerat dan 2Hp = 2 Asetat +
Propionat + 4 Butirat + 2 iso-Valerat + 2 Valerat. Kemudian CH4 observasi setelah
mengalami penyesuaian dihitung melalui persamaan berikut:
CH4 setelah penyesuaian = CH4 sebelum penyesuaian x 100/H2 recovery.
Analisis Data
Data dianalisis dengan menggunakan software SPSS 16.0, kemudian diuji lanjut
menggunakan uji Duncan dan dianalisis dengan uji-t. Penaksiran kesalahan dari estimasi
dilakukan dengan perhitungan mean square prediction error (MSPE):



12

Keterangan: n = banyaknya pengamatan
Oi = CH4 observasi
Pi = CH4 prediksi
Akar kuadrat dari MSPE digunakan untuk menguji tingkat ketepatan model estimasi dan
menggambarkan keadaan yang sebenarnya. RMSPE adalah rata-rata akar kuadrat dari
perbedaan nilai estimasi dengan nilai observasi suatu variabel. Jika nilai RMSPE semakin
kecil maka model estimasi tersebut semakin akurat.

13

Tabel 2. Komposisi Kimia Spesies Hijauan yang Diuji (g/kg bahan kering)a

436

349

Lignin
(sa)
198

27

246

148

80

129

223

39

310

223

111

241

142

27

339

275

64

253

924

286

34

326

184

69

151

Herba

857

158

13

581

375

106

91

Caricaceae

Daun pohon

905

386

47

115

135

46

292

Melastomataceae

Daun perdu

927

129

22

232

181

69

328

Cyacas rumphii

Cycadeceae

Daun pohon

886

209

13

509

386

131

129

10

Erythrina orientalis

Fabaceae

Daun pohon

913

343

15

447

272

100

88

11

Eugenia aquea

Myrtaceae

Daun pohon

941

100

35

479

382

181

158

12

Hibiscus tiliaceus

Malvaceae

Daun perdu

934

168

16

541

438

156

154

13

Ipomoea batatas

Convolvulaceae

Herba

904

236

22

334

273

85

283

14

Lantana camara

Verbenaceae

Herba

916

186

28

382

296

130

273

15

Leucaena diversifolia

Fabaceae

Daun perdu

930

336

33

249

147

90

198

16

Leucaena leucocephala

Fabaceae

Daun perdu

904

306

41

263

185

94

198

17

Manihot esculenta

Euphorbiaceae

Daun perdu

915

377

65

211

186

96

230

18

Melia azedarach

Meliaceae

Daun pohon

895

253

19

253

223

105

340

19

Mimosa invisa

Fabaceae

Herba

918

152

11

555

476

198

155

20

Morinda citrifolia

Rubiaceae

Daun pohon

880

228

56

223

219

86

348

21

Myiristica fragrans

Myristicaceae

Daun pohon

950

101

20

380

361

196

268

22

Paspalum dilatatum

Poaceae

Rumput

925

79

13

710

424

52

98

23

Persea americana

Lauraceae

Daun pohon

940

149

38

480

355

188

24

Pithecellobium jiringa

Fabaceae

Daun pohon

963

215

37

472

389

207

200
46

No.

Spesies

Famili

Tipe Sampel

Bahan
Organik
939

Protein
Kasar
162

1

Acacia mangium

Fabaceae

Daun perdu

2

Acacia villosa

Fabaceae

Daun perdu

949

311

3

Albizia falcataria

Fabaceae

Daun pohon

926

4

Artocarpus heterophyllus

Moraceae

Daun pohon

857

5

Calliandra calothyrsus

Fabaceae

Daun perdu

6

Canna indica

Cannaceae

7

Carica papaya

8

Clidemia hirta

9

Ekstrak
Eter
33

aNDFormb

ADFormc

Non-fiber
CHd
203

14

14

25

Psidium guajava

Myrtaceae

Daun pohon

921

146

35

385

294

120

223

26

Sesbania grandiflora

Fabaceae

Daun perdu

895

312

28

251

200

70

285

281

222

78

254

27 Swietenia mahagoni
Meliaceae
Daun pohon
899
112
45
Keterangan: aJayanegara et al. (2011)
b
Neutral detergent fiber
c
Acid detergent fiber
d
Non-fiber carbohydrates = (bahan organik - protein kasar - ekstrak eter - aNDForm - total phenol)

Tabel 3. Rataan Total Gas, CH4, CH4/Total Gas dan Profile Asam Lemak Rantai Pendek Ketika Inkubasi Pada Hijauan yang Diujia
Total gas
(ml)

CH4
(ml)

CH4/total gas
(ml/l)

14,3

2,63

No.

Spesies

1

Acacia mangium

2

Acacia vilosa

5,3

3

Albizia falcataria

16,8

4

Artocarpus heterophyllus

5

Asam lemak rantai pendek (proporsi molar)b

15

Total
(mmol/l)

C2

C3

C4

iso C4

C5

iso C5

C2/C3

134

45,2

74,2

17,3

7,0

0,61

0,39

0,46

4,29

0,84

76

42,4

71,3

18,8

7,8

0,96

0,69

0,54

3,83

2,39

106

58,4

76,7

15,4

6,4

0,70

0,38

0,44

5,03

29,7

3,70

113

61,3

74,9

16,9

6,4

0,77

0,39

0,60

4,47

Calliandra calothyrsus

19,1

2,34

112

54,0

76,4

15,8

6,0

0,76

0,45

0,60

4,95

6

Canna indica

10,9

2,70

171

56,9

73,5

16,5

8,1

0,94

0,44

0,58

4,49

7

Carica papaya

42,8

7,36

159

79,2

69,1

19,3

7,4

1,67

0,81

1,72

3,62

8

Clidemia hirta

20,4

2,68

105

53,0

75,3

15,5

7,5

0,79

0,42

0,54

4,93

9

Cyacas rumphii

17,3

3,03

139

53,6

74,4

15,7

7,9

0,73

0,47

0,82

4,77

10

Erythrina orientalis

24,9

4,53

152

60,2

71,9

17,6

7,2

1,59

0,57

1,13

4,10

11
12

Eugenia aquea

8,1

1,03

93

42,9

76,1

14,5

8,0

0,61

0,40

0,39

5,31

Hibiscus tiliaceus

13,4

2,79

185

50,6

74,7

15,4

7,9

1,06

0,41

0,52

4,87

13

Ipomoea batatas

36,8

5,54

140

71,7

74,3

16,5

7,3

0,92

0,40

0,57

4,52

14

Lantana camara

32,2

4,90

132

63,6

73,8

17,3

7,2

0,74

0,50

0,59

4,37

15

15

Leucaena diversifolia

26,8

3,71

115

60,8

74,5

17,9

5,6

0,85

0,40

0,72

4,21

16

Leucaena leucocephala

28,4

4,15

124

63,6

74,0

18,5

6,1

0,63

0,46

0,40

4,01

17

Manihot esculenta

35,1

6,22

155

75,9

71,9

17,4

7,3

1,40

0,75

1,30

4,17

18

Melia azedarach

39,0

5,86

141

72,5

71,7

19,5

6,7

0,85

0,53

0,74

3,79

19

Mimosa invisa

15,4

2,40

129

55,7

73,2

18,2

6,5

1,05

0,61

0,53

4,08

20

Morinda citrifolia

40,1

7,21

161

75,2

69,9

21,2

6,5

1,30

0,44

0,65

3,36

21

Myiristica fragrans

18,5

1,99

94

53,6

76,3

14,5

7,2

0,77

0,44

0,79

5,34

22

Paspalum dilatatum

35,9

5,03

128

62,2

73,1

16,8

7,7

1,36

0,51

0,58

4,38

23

Persea americana

16,3

3,18

150

56,6

75,9

14,8

7,8

0,75

0,36

0,44

5,15

24

Pithecellobium jiringa

15,6

2,05

96

56,6

75,5

15,6

7,0

0,68

0,62

0,58

5,00

25

Psidium guajava

13,3

2,11

115

49,6

74,1

16,3

8,0

0,78

0,36

0,44

4,65

26

Sesbania grandiflora

35,3

5,97

148

74,6

72,7

18,7

6,0

1,43

0,54

0,67

3,92

27

Swietenia mahagoni

20,1

1,59

68

50,8

75,8

16,7

5,4

0,81

0,48

0,75

4,55

SEM
P

0,74

0,136

2,2

0,95

0,18

0,16

0,08

0,037

0,013

0,026

0,050