Hubungan Pain Self Efficacy dengan Perilaku Nyeri pada Pasien Kanker Serviks di RSUP H. Adam Malik Medan

BAB 2
TIJAUAN TEORI
1. Kanker Serviks
1.1 Pengertian Kanker serviks
Kanker serviks adalah karsinoma pada leher rahim dan menempati
urutan pertama di dunia (Sjamjuhidayat, 2005). Karsinoma insitu pada
serviks adalah kelainan dimana sel-sel neoplastik terdapat pada seluruh
lapisan epitel (Price, 1995). Kanker serviks berkembang secara bertahap,
tetapi progresif. Proses terjadinya kanker ini dimulai dengan sel yang
mengalami mutasi lalu berkembang menjadi sel displastik sehingga terjadi
kelainan epitel yang disebut displasia. Dimulai dari displasia ringan,
displasia sedang, displasia berat, dan akhirnya menjadi karsinoma insitu,
kemudian berkembang lagi menjadi karsinoma invasif. Tingkat displasia
dan karsinoma in situ dikenal sebagai tingkat lesi prakanker serviks.
Kondisi prakanker sampai karsinoma in situ sering tidak menunjukkan
gejala karena proses penyakitnya berada di dalam lapisan epitel dan belum
menimbulkan perubahan yang nyata dari mulut rahim. Pada akhirnya
gejala yang ditimbulkan adalah keputihan, perdarahan paska senggama
dan pengeluaran cairan encer dari vagina (Dianda, 2008).
Kanker leher rahim biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun.
Sebanyak 90% dari skuamosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya

berasal dari sel kelenjar penghasil lendir pada servikal yang menuju
rahim.

7
Universitas Sumatera Utara

8

Sumber: Diolah berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar 2013, Badan Litbangkes Kementerian
Kesehatan RI dan Data Penduduk Sasaran, Pusdatin Kementerian Kesehatan RI

1.2 Patofisiologi Kanker Serviks
Kanker serviks mulai timbul di batas antara sel yang melapisi
ektoserviks

dan

endoserviks,

kanalis


serviks

yang

disebut

squamocolumnar junction (Sukardja, 2000). Pertumbuhan kanker

serviks diawali dengan sel yang mengalami mutasi kemudian
berkembang menjadi sel displastik yang

disebut displasia,

yaitu

pertumbuhan sel abnormal yang mencakup berbagai lesi epitel yang

Universitas Sumatera Utara


9

secara sitologi atau morfologi berbeda dibandingkan dengan sel epitel
normal. Pada kondisi displasia belum mengenai sel epitel basalis dan
belum menunjukkan karakteristik keganasan. Displasia dimulai dari
displasia ringan, sedang, sampai berat. Perkembangan selanjutnya
adalah menjadi kanker insitu (KIS) dan akhirnya menjadi kanker invasif
(Suwiyoga, 2006).

1.3 Faktor Resiko
Kanker serviks merupakan kondisi yang jarang terjadi disbanding
sebelumnya akibat deteksi dini dengan pap smear. Selama 40 tahun
terakhir, kanker servical invasif telah menurun dari 45 kasus per 100.000
hingga 15 kasus per 100.000 wanita. Kondisi ini terjadi paling sering
pada usia 30-45 tahun, tetapi dapat terjadi pada usia dini yaitu 18 tahun.
Aktivitas seksual berhubungan dengan angka kejadian kanker serviks
pada wanita di bawah usia 25 tahun, dengan riwayat pasangan seksual
lebih dari satu orang dan beberapa kehamilan dini, angka kejadian ini
lebih prevalen.
Faktor resiko, selain usia dini saat melakukan hubungan seksual,

melahirkan pada usia sangat muda, dan memiliki banyak pasangan
seksual, termasuk pemajanan terhadap human papilovirus (HPV),
infeksi HIV, merokok dan pemajanan terhadap dietilstilbesterol (DES)
in utero (Smeltzer & Bare, 2001).

Universitas Sumatera Utara

10

2. Konsep Nyeri
2.1 Pengertian Nyeri
Menurut The International Association for the Study of Pain (1979,
dalam Potter & Perry 2005), nyeri didefenisikan sebagai perasaan sensori
dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan
kerusakan jaringan atau potensial yang menyebabkan kerusakan jaringan.
Sementara itu defenisi keperawatan tentang nyeri adalah apapun yang
menyakitkan tubuh yang dikatakan individu yang mengalaminya yang
ada kapanpun individu mengatakannya (Smeltzer & Bare, 2001).
Nyeri terjadi bersamaan dengan terjadinya proses penyakit atau
bersamaan dengan beberapa pemeriksaan diagnostik atau pengobatannya.

Nyeri sangat mengganggu dan menyulitkan lebih banyak orang dari pada
penyakit apapun (Smeltzer & Bare, 2001).

2.2 Klasikasi Nyeri
Klasifikasi nyeri secara umum dibagi menjadi dua, yakni nyeri akut
dan nyeri kronis (Long, 1989 dalam pasaribu 2011).
Nyeri Akut, nyeri akut merupakan nyeri yang timbul secara
mendadak dan cepat menghilang, yang tidak melebihi 6 bulan dan
ditandai adanya peningkatan tegangan otot (Long, 1989). Nyeri akut
merupakan mekanisme pertahanan yang berlangsung kurang dari enam
bulan, secara fisiologis terjadi perubahan denyut jantung, frekuensi
napas, tekanan darah, aliran darah perifer, tegangan otot, keringat pada

Universitas Sumatera Utara

11

telapak tangan. Pasien dengan nyeri akut sering mengalami kecemasan
(Berger, 1992).
Nyeri akut biasanya berlangsung secara singkat misalnya nyeri pada

patah tulang atau pembedahan abdomen, pasien yang mengalami nyeri
akut

biasanya

menunjukan

gelala-gejala

antara

lain:

respirasi

meningkat, percepatan jantung dan tekanan darah meningkat (Priharjo,
1996).
Nyeri akut biasanya awitannya tiba-tiba dan umumnya berkaitan
dengan cidera spesifik. Nyeri akut mengidentifikasikan bahwa
kerusakan atau cidera telah tarjadi. Hal ini menarik perhatian pada

kenyataannya bahwa nyeri ini benar terjadi dan mengajarkan kepada
kita

untuk

menghindari

situasi

serupa

yang

secara

potensial

menimbulkan nyeri. Jika kerusakan tidak lama terjadi dan tidak ada
penyakit sistemik, nyeri akut biasanya menurun sejalan dengan
terjadinya penyembuhan, nyeri ini pada umumnya terjadi kurang dari

enam bulan dan biasanya kurang dari satu bulan. Nyeri akut dapat
dijelaskan sebagai nyeri yang berlangsung dari beberapa detik hingga
enam bulan. Cidera atau penyakit yang menyebabkan nyeri akut dapat
sembuh secara spontan atau dapat memerlukan pengobatan (Smeltzer &
Bare, 2001). Fungsi nyeri akut ialah memberi peringatan akan cedera
atau penyakit yang akan datang. Nyeri akut akhirnya menghilang
dengan atau tanpa pengobatan setelah keadaan pulih pada area yang
rusak (Potter & Perry, 2005).

Universitas Sumatera Utara

12

Nyeri Kronis, nyeri kronis merupakan nyeri yang timbul secara
perlahan- lahan, biasanya berlangsung dalam waktu cukup lama, yaitu
lebih dari enam bulan. Yang termasuk dalam kategori nyeri kronis
adalah nyeri terminal, sindrom nyeri kronis, dan nyeri psikosomatis
(Long, 1989 dalam Pasaribu, 2011). Nyeri kronis dibedakan dalam dua
kelompok besar yaitu nyeri kronik maligna dan nyeri kronik
nonmaligna. Karakteristik nyeri kronis adalah penyembuhannya tidak

dapat diprediksi meskipun penyebabnya mudah ditentukan, nyeri kronis
dapat menyebabkan klien merasa putus asa dan frustasi. Klien yang
mengalami nyeri kronis mungkin menarik diri dan mengisolasi diri.
Nyeri ini menimbulkan kelelahan mental dan fisik (Tamsuri, 2006)
Nyeri kronis sering didefenisikan sebagai nyeri yang berlangsung
selama enam bulan atau lebih nyeri kronis tidak mempinyai tujuan yang
berguna dan jika hal ini menetap, ini menjadi gangguan utama
(Smeltzer & Bare, 2001). Nyeri kronis adalah nyeri konstan atau
intermiten yang menetap sepanjang suatu periode waktu, nyeri kronis
dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dengan tepat dan sering
sulit untuk di obati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon
terhadap pengobatan yang di arahkan pada penyebabnya.
Menurut Lewis (1983), kebanyakan penderita nyeri kanker tidak
berasal dari pengalaman nyeri. Dan beberapa mengalami nyeri
psikologi yang berasal dari proses keganasan. Bagaimanapun juga,
banyak pengalaman nyeri pada stadium akhir dari penyakitnya, dan

Universitas Sumatera Utara

13


umumnya berhubungan dengan metastasis. Sekitar 60 sampai 80%
pasien kanker yang dirawat di rumah sakit menderita nyeri yang sangat
hebat.

2.3 Penganganan Nyeri
Penanganan nyeri merupakan masalah yang kompleks. Sebelum
dilakukan penanganan terhadap nyeri terlebih dahulu mengkaji sumber,
letak, faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri seperti kegelisahan dan
keletihan (Smeltzer & Bare, 2001). Penanganan nyeri dapat dilakukan
dengan cara:
1. Farmakologis
Menangani nyeri yang dialami pasien melalui intervensi farmakologis
dilakukan dalam kolaborasi dokter dan pasien (Smeltzer & Bare, 2001).
Analgesik merupakan obat yang paling umum untuk menghilangkan
nyeri (Brannon & Jeist, 2007). Secara umum obat analgesik
digolongkan menjadi dua yaitu narkotika dan non narkotika (Julien,
1985 dalam Branner & Feist, 2007). Analgesik ini biasanya diberikan
terutama pada nyeri akut (Branner & Feist, 2007). Pada nyeri kronis,
klien cenderung mengalami depresi sehingga diberikan antidepresan.

Selain efektif untuk mengatasi depresi, antidepresan juga mengandung
efek analgesik (Shatri & Setyohadi, 2001).

Universitas Sumatera Utara

14

2. Nonfarmakologis
Intervensi nyeri dengan cara non farmakologis memiliki resiko yang
sangat rendah. Pada nyeri yang sangat hebat, mengkombinasikan tehnik
nonfarmakologis dengan obat-obatan mungkin cara yang efektif untuk
menghilangkan nyeri (Brunner & Suddarth, 2001).
a. Distraksi. Distraksi adalah tehnik mengalihkan perhatian klien ke hal
lain terutama hal yang menyenangkan dengan tujuan untuk
menurunkan kewaspadaan terhadap nyeri bahkan meningkatkan
toleransi terhadap nyeri. Salah satu tehnik distraksi adalah dengan
mendengarkan musik (Potter & Perry,2005).
b. Stimulasi Kutaneus. Stimulasi kutaneus adalah stimulasi kulit yang
dilakukan untuk menghilangkan nyeri. Beberapa strategi stimulasi
kutaneus adalah dengan masase dan kompres panas dan dingin.
Masase sering dipusatkan pada punggung dan bahu, membuat pasien
lebih nyaman karena merelaksasi otot (Brunner & Suddarth, 2001).
Pilihan terapi kompres panas dan dingin bervariasi menurut kondisi
klien. Misalnya, panas lembab menghilangkan kekakuan pada pagi
hari akibat arthritis, tetapi kompres dingin mengurangi nyeri akut
dan sendi yang mengalami peradangan akibat penyakit yang diderita
(Ceccio,1990 dalam Potter & Perry, 2005).
c. Relaksasi. Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat menurunkan nyeri
dengan merilekskan ketegangan otot yang menunjang nyeri. Tehnik
relaksasi yang sederhana terdiri atas napas abdomen dengan

Universitas Sumatera Utara

15

frekuensi lambat dan berirama. Pasien dapat memejamkan matanya
dan

bernafas

konstan dapat

dengan

perlahan dan nyaman.

Irama

yang

dipertahankan dengan menghitung dalam hati dan

lambat bersama setiap inhalasi dan ekhalasi (Smeltzer & Bare,
2001). Tehnik relaksasi ini sangat efektif terutama pada pasien
nyeri kronis (Somantri, 2007).
d. Terapi Kognitif. Apa yang dipikirkan seseorang tentang nyeri yang
dialami memberikan pengaruh terhadap kehidupannya dan terhadap
seberapa besar nyeri yang dia rasakan. Pikiran yang negatif tentang
nyeri akan memfokuskan perhatian seseorang terhadap aspek yang
tidak menyenangkan dan membuat nyeri yang dirasakan bertambah
buruk (Turk dkk, 1983; Turk & Rudy, 1986 dalam DiMetteo,
1991). Pemberian intervensi terapi kognitif ini adalah meningkatkan
cara berfikir klien dengan mengarahkan klien untuk memahami
masalah yang dihadapinya. Klien diyakinkan bahwa ia memiliki
kemampuan untuk berperilaku normal (Tailor, 1995). Tehnik
kognitif ini salah satunya dengan meningkatkan self efficacy
(Brannon & Jeist, 2007).

3. Perilaku Nyeri
3.1 Pengertian Perilaku Nyeri
Respon terhadap adanya stimulasi kerusakan dibagi menjadi dua
bagian yaitu pengalaman nyeri yang bersifat subjektif dan perilaku

Universitas Sumatera Utara

16

yang

dapat diobservasi. Kata nyeri digunakan untuk menyatakan

pengalaman

yang

tidak

menyenangkan

yang

bersifat

subjektif.

Sementara perilaku yang dapat diobservasi disebut dengan perilaku nyeri
(Fields, 1987 dalam Harahap 2007).
Perilaku nyeri adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh seseorang
dan setiap perubahan kebiasaan ketika ia mengalami nyeri yang dapat
diobservasi (Wall, 1991) dalam Pasaribu (2011). Menurut Fordyce (1976)
dalam Harahap 2007, pembelajaran memainkan peranan yang penting
dalam mengembangkan perilaku nyeri yang membantu perawatan nyeri
kronis. Menurut Fordyce (1976), perilaku nyeri dapat berupa:
1. Respon

verbal,

meliputi

mengeluh,

mendesah,

merintih

dan

mengadukan nyeri yang dialami.
2. Respon non verbal, meliputi wajah tegang, keresahan, sudut mulut
dilengkungkan ke bawah, terlihat sedih, terlihat ketakutan, bibir
berkerut, dan dagu bergetar.
3. Sikap badan dan isyarat meliputi menggosok-gosok bagian tubuh yang
nyeri, immobilisasi dan menyeringai.
4. Perilaku yang berbeda dengan keadaan normal meliputi beristirahat
dan berbaring secara berlebihan.
3.2 Jenis Perilaku Nyeri
Perilaku nyeri kronik secara khusus adalah dasar bahwa sedikitnya ada
2 jenis dari perilaku nyeri yaitu respondent behavior dan operant
behavior.

Universitas Sumatera Utara

17

3.2.1 Respondent Behavior
Respondent behavior adalah respon yang timbul akibat adanya

stimulus yang spesifik. Pada perilaku ini terlihat jelas hubungan
antara stimulus dan respon. Respon reflektif merupakan respon yang
secara otomatis dapat terjadi walaupun diinginkan atau tidak. Respon ini
dikontrol oleh stimulus nociceptif yang spesifik, contoh perilaku nyeri
reflektif ini adalah sensasi terbakar yang berhubungan dengan injuri pada
kulit ataupun pada otot (Kast, 1998 dalam Harahap, 2007).

3.2.2 Operant Behavior
Operant behavior adalah respon yang timbul dan berkembang

kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Penghargaan dan
hukuman merupakan kunci dari pendekatan operant dan perilaku sering
dihubungkan dengan tidak adanya reaksi terhadap nyeri dan lebih sering
dihubungkan dengan faktor afektif atau lingkungan (Niven, 1994).
Perilaku nyeri sering dihubungkan dengan beberapa bentuk
penghargaan (sesuatu yang diinginkan terjadi jika pasien menunjukkan
perilaku nyeri, seperti pasangan hidup atau kompensasi finansial) (Niven,
1994).
Kadang- kadang

perilaku

nyeri

melibatkan penghindaran dari

sesuatu yang tidak diinginkan (keluar dari pekerjaan yang menimbulkan
stress atau menghindari kontak dengan individu yang mengancam) (Niven,
1994). Tampaknya sebuah respon yang sesuai untuk seseorang dalam

Universitas Sumatera Utara

18

keadaan nyeri adalah dengan menunjukkan dukungan atau perhatian dan
bersikap menenangkan. Menurut pendekatan operant hal ini akan menjadi
penghargaan karena tindakan tersebut memberikan penghargaan bagi
pasien, dengan memberinya perhatian setiap saat ia mengeluh adanya nyeri
(Niven, 1994).

3.3 Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Nyeri
3.3.1 Jenis kelamin
Pada umumnya wanita menunjukkan ekspresi emosional yang lebih
kuat pada saat mengalami nyeri. Menangis misalnya, adalah hal
atau perilaku yang sudah dapat diterima pada wanita sementara
pada laki-laki hal ini dianggap hal yang memalukan (Lewis, 1983
dalam Aritonang, 2010).
3.3.2 Usia
Usia merupakan variabel yang penting dalam merespon nyeri. Cara
lansia merespon nyeri dapat berbeda dengan orang yang berusia
lebih muda. Lansia cenderung mengabaikan nyeri dan menahan
nyeri yang berat dalam waktu yang lama sebelum melaporkannya
atau mencari perawatan kesehatan (Smeltzer & Bare, 2001).
3.3.3 Budaya
Budaya mempunyai pengaruh bagaimana

seseorang

berespon

terhadap nyeri (Smeltzer & Bare, 2001). Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Zborowski (1969, dalam Niven 1994), ekspresi

Universitas Sumatera Utara

19

perilaku berbeda
yang

lain

antara

satu

kelompok

dengan kelompok

di satu lingkungan rumah sakit. Perbedaan tersebut

dianggap terjadi akibat sikap dan nilai yang dianut oleh kelompok
etnik tersebut.
3.3.4 Ansietas
Menurut Racham dan Philips (1975, dalam Niven 1994), ansietas
mempunyai

efek yang besar terhadap kualitas maupun terhadap

intensitas pengalaman nyeri.

Ambang

batas

nyeri

berkurang

karena adanya peningkatan rasa cemas dan ansietas menyebabkan
terjadinya lingkaran yang terus
ansietas

akan

berputar, karena

peningkatan

mengakibatkan peningkatan sensivitas nyeri

(Melzack, 1973 dalam Aritonang, 2010).
3.3.5 Pengalaman Masa Lalu
Cara seseorang berespon terhadap nyeri adalah akibat dari banyak
kejadian nyeri selama rentang kehidupannya. Individu yang
mengalami nyeri

selama

berbulan-bulan

atau

bertahun-tahun

dapat menjadi mudah marah, menarik diri, dan depresi (Smeltzer &
Bare, 2001).
3.3.6 Pola Koping
Individu yang memiliki lokus kendali internal mempersepsikan diri
mereka sebagai individu yang dapat mengendalikan lingkungan
mereka dan hasil akhir suatu peristiwa, seperti nyeri (Gill, 1990
dalam Potter & Perry, 2005). Sebaliknya, individu yang memiliki

Universitas Sumatera Utara

20

lokus kendali eksternal, mempersepsikan faktor-faktor lain di dalam
lingkungan mereka, seperti perawat, sebagai individu yang
bertanggungjawab terhadap hasil akhir peristiwa. Individu yang
memiliki lokus kendali internal melaporkan mengalami nyeri yang
tidak terlalu berat daripada individu yang memiliki lokus kendali
eksternal (Schulteis, 1987 dalam Potter & Perry, 2005).
3.3.7 Dukungan Sosial dan Keluarga
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada
anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan,
bantuan, dan perlindungan. Walaupun klien tetap merasakan nyeri,
tetapi akan menurangi rasa kesepian dan ketakutan ( Potter & Perry,
2005).

3.4 Pengukuran Perilaku Nyeri
Perilaku nyeri dapat diobservasi dan dapat diukur. Perilaku yang timbul
sebagai manifestasi dari nyeri seperti perubahan postur, ekspresi wajah
dan penurunan aktivitas (Turk dkk, 1985 dalam Taylor, 1995).
Observasi perilaku nyeri dapat dikembangkan menjadi strategi
pengkajian yang standar (Keefe & Smith, 2002 dalam Branner & Feist,
2007).
Fordyce mengembangkan self observations untuk mengukur perilaku
nyeri selama pengalaman nyeri. Pada pengalaman nyeri ini, pasien diminta
untuk mengidentifikasi seberapa banyak waktu yang dibutuhkan untuk

Universitas Sumatera Utara

21

meningkatkan tiga kategori perilaku, yaitu: duduk, berdiri atau berjalan,
dan berbaring. Pasien setiap saat juga diminta untuk mendokumentasikan
pengobatan nyeri yang mereka dapatkan dan jumlah dosisnya. Metode
self observation ini mudah dan murah, selain itu, dapat meningkatkan

pemahaman pasien terhadap nyeri mereka sendiri (Keefe, 2002 dalam
Harahap

2007).

Bagaimanapun

juga validasi dari self observation

perilaku nyeri ini dapat bersifat bias atau tidak akurat (Turk & Flor, 1987
dalam

Harahap

2007)

karena

kebanyakan

pasien

tidak

selalu

mendokumentasikan perilaku mereka secara akurat. Metode yang lain
untuk mengukur perilaku nyeri ini adalah dengan mengandalkan
wawancara

dan

kuesioner. Pasien diminta untuk menjawab beberapa

pertanyaaan yang berhubungan dengan perilaku nyeri. Metode ini juga
dikritik karena pasien cenderung memilih jawaban yang terbaik (Harahap,
2007).
Metode untuk pengukuran perilaku nyeri ada yang langsung dan yang
tidak langsung. Metode ini dikembangkan berdasarkan pemikiran bahwa
perilaku nyeri nyata dan dapat diobservasi. Pada pengukuran secara
langsung,

perilaku

nyeri

dinilai

berdasarkan

pertimbangan

dan

keterampilan pengobservasi.
Instrumen yang digunakan peneliti dalam mengobservasi perilaku nyeri
adalah Pain Behavior Observation Protocol (PBOP) yang didesain oleh
Keefe dan Block pada tahun 1982 (Harahap, 2007). PBOP ini terdiri
dari lima perilaku nyeri

dengan menggunakan skala likert yang diberi

Universitas Sumatera Utara

22

tiga nilai yaitu 0= tidak ada, 1= kadang-kadang, dan 2= selalu. Protokol
Keefe dan Block merupakan serangkaian aktivitas selama 10 menit yang
kemudian disesuaikan. Perilaku nyeri tersebut

adalah : (1) Terjaga,

mengacu pada kekakuan yang abnormal, merasa terganggu atau
pergerakan yang kaku, (2) Menahan nyeri, mengacu pada pergerakan yang
statis pada dukungan terhadap anggota tubuh semakin meluas dan
distribusi berat yang tidak normal, (3) Menggosok bagian yang nyeri,
mengacu

pada

menyentuh

atau

memegang

bagian

tubuh

yang

terpengaruh nyeri, (4) Meringis, mengacu pada ekspresi wajah yang
dapat dilihat yang meliputi mengerutkan kening, mata menyempit,
merapatkan bibir, sudut mulut tertarik ke belakang, dan (5) Mendesah,
mengacu pada ekhalasi yang berlebihan (Keefe & Block, 2002 dalam
Harahap, 2007).

4. Self Efficacy
4.1 Pengertian Efikasi Diri (Self Efficacy)
Peterson (2004) tentang teori sosial kognitif menjelaskan bahwa efikasi
diri adalah keyakinan seseorang terhadap kemampuannya dalam mengatur
dan melaksanakan suatu tindakan yang ingin dicapai. Keyakinan tentang
efikasi diri akan memberikan motivasi, kesejahteraaan dan prestasi
seseorang.
Menurut Bandura (1994), self efficacy adalah rasa kepercayaan
seseorang bahwa ia dapat menunjukkan perilaku yang dituntut dalam suatu

Universitas Sumatera Utara

23

situasi yang spesifik. Self efficacy merupakan suatu bentuk kepercayaan
yang dimiliki seseorang terhadap kapabilitas masing-masing untuk
meningkatkan

prestasi

kehidupannya.

Self

efficacy

dapat

berupa

bagaimana perasaan seseorang, cara berfikir, motivasi diri, dan keinginan
memiliki sesuatu.
Individu dengan self efficacy tinggi akan berusaha lebih keras dan
mempunyai daya yang kuat dalam mengerjakan sesuatu dibandingkan
dengan individu

yang

memiliki

self

efficacy

yang

rendah.

Self

efficacy lebih mengarahkan pada penilaian individu akan kemampuannya.

Pentingnya self efficacy akan berpengaruh pada usaha yang diperlukan
dan akhirnya terlihat dari outcome kerja. Individu dengan self efficacy
yang tinggi akan lebih ulet dan tahan menghadapi situasi sekitarnya
(Brannon & Jeist, 2007).
Menurut Bandura, individu dengan self efficacy yang tinggi cenderung
tidak memiliki rasa cemas dalam mengerjakan tugas. Hal ini disebabkan
karena mereka mempunyai kontrol yang baik terhadap segala sesuatu
yang ada disekitarnya. Adanya kontrol yang baik dalam diri mereka
menyebabkan mereka jarang membuat kesalahan dalam mengerjakan
sesuatu (Brannon & Jeist, 2007).
Menurut Bandura (1994), keberadaan self efficacy pada diri seseorang
akan berdampak pada empat proses, yaitu:

Universitas Sumatera Utara

24

4.1.1 Proses Kognitif
Pengaruh self efficacy pada proses kognitif dapat timbul dalam
berbagai format. Banyak perilaku manusia yang diatur dalam
pemikiran sebelumnya dalam mewujudkan tujuan. Pengaturan tujuan
individu dipengaruhi oleh penaksiran individu terhadap kapabilitas
yang dimilikinya.
4.1.2 Proses Motivasi
Kepercayaan diri terhadap self efficacy memainkan peranan dalam
pengaturan diri terhadap motivasi. Seseorang memotivasi dirinya
sendiri dan mengarahkan tindakannya melalui berbagai latihan.
Mereka percaya terhadap apa yang mereka lakukan dan selalu
mengantisipasi adanya hasil tindakan prospektif.
4.1.3 Proses Afektif
Seseorang

percaya

terhadap

pengaruh

kapabilitasnya

dalam

mengatasi stress dan depresi dalam menghadapi ancaman atau situasi
yang sulit. Dengan adanya self efficacy, seseorang akan lebih mampu
mengatasi segala persoalan yang mengancam keberadaannya.
4.1.4 Proses Selektif
Melalui kepercayaan diri terhadap kapabilitas yang dimilikinya,
maka seseorang cenderung bertindak selektif atau melakukan
pemilihan terhadap pancapaian tujuan hidupnya. Manusia akan
memilih pemecahan masalah dan pencapaian tujuan yang sesuai
dengan kemampuan yang dimilikinya.

Universitas Sumatera Utara

25

4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self Efficacy
Menurut Steers dan Porter (1992), keyakinan seseorang dapat
dipengaruhi oleh beberapa hal:
4.2.1 Mastery Experience (Pengalaman Keberhasilan)
Keberhasilan

seseorang

menguatkan

keyakinan

akan

kemampuannya. Sedangkan kegagalan menyebabkan seseorang
cenderung untuk lebih berhati-hati. Bagaimanapun jika pengalaman
seseorang merupakan keberhasilan yang dicapai dengan mudah,
maka mereka cenderung mengharapkan hasil dengan cepat dan lebih
mudah putus asa bila menemui kegagalan. Untuk mendapatkan self
efficacy, seseorang harus mempunyai pengalaman mengatasi

hambatan dengan usaha yang tekun. Beberapa pengalaman dan
hambatan

yang

dialami

seseorang bermanfaat

mengajarkan

bahwa kadang kesuksesan itu diikuti dengan adanya keinginan
untuk berusaha. Setelah seseorang memiliki keyakinan akan
kemampuannya yang diikuti dengan pengulangan kesuksesannya,
maka ia dapat mengatur kembali strategi dan kegagalan masa
lalu sehingga tidak mengalami kegagalan lagi.
4.2.2 Modeling (Meniru)
Sosok model yang ideal dapat membangun keyakinan diri akan
kemampuan dengan meyakini pengamatan strategi yang efektif
untuk mengatur situasi yang berbeda. Modeling juga menyebabkan
kepercayaan akan self efficacy yang diikuti dengan proses

Universitas Sumatera Utara

26

pembandingan sosial. Sebagian orang menilai kemampuan mereka
dengan cara membandingkan dengan orang lain.
4.2.3 Social Persuasions
Social Persuasions berhubungan dengan dorongan. Informasi

tentang kemampuan
seseorang

yang

yang

disampaikan

berpengaruh

biasanya

secara

verbal

digunakan

oleh
untuk

meyakinkan seseorang bahwa ia cukup mampu melakukan suatu
tugas.

4.3 Sumber Self Efficacy
Bandura (1994) meyebutkan 3 sumber self efficacy, yaitu:
4.3.1 Pencapaian prestasi
Menurut Bandura (1994), sumber yang paling penting dan efektif
dari self efficacy adalah perjalanan keberhasilan dan kegagalan di
masa lalu dalam mencapai hasil yang diinginkan. Bila seseorang
dapat menguasai pengalaman-pengalaman pribadinya maka

ia

cenderung menciptakan penghargaan yang tinggi. Sebaliknya
kegagalan dalam menguasa pengalaman-pengalaman sebelumnya
cenderung menghasilkan harapan-harapan yang rendah.
4.3.2 Pengalaman yang dialami orang lain
Pengalaman yamg dialami orang lain dapat menjadi sumber
harapan self

efficacy yaitu dengan melihat orang lain sukses

Universitas Sumatera Utara

27

mencapai suatu prestasi dapat membangkitkan persepsi yang kuat
akan self efficacy dalam diri orang tersebut.
4.3.3 Kebangkitan Emosi
Metode yang mengurangi timbulnya emosi akan meningkatkan
harapan-harapan self efficacy. Seseorang yang merasakan adanya
emosi yang timbul dalam menghadapi situasi-situasi yang penuh
dengan stress dan ancaman, akan jauh lebih memiliki harapan bila
mereka tidak tegang dan tidak timbul emosi.

4.5 Dimensi dan Aspek Self Efficacy
Dimensi Self Efficacy menurut Bandura (1994), yaitu:
4.5.1 Magnitude menunjuk pada tingkat kesulitan tugas yang diyakini oleh
individu terhadap tingkat kesulitan tugas yang bisa dikerjakan.
4.5.2 Strengh menunjuk pada kuat atau lemahnya keyakinan individu
terhadap tingkat kesulitan tugas yang bisa dikerjakan. Self efficacy
yang rendah mudah ditiadakan oleh pengalaman yang sulit,
sedangkan orang yang mempunyai keyakinan yang kuat akan
mempertahankan usahanya walaupun mengalami kesulitan.
4.5.3 Generality menunjuk apakah keyakinan self efficacy hanya
berlangsung dalam domain tertentu atau berlaku dalam berbagai
macam aktivitas dan perilaku.

Universitas Sumatera Utara

28

4.5.4 Outcome expectacy adalah harapan terhadap kemungkinan hasil dari
perilaku dimana jika individu menunjukkan perilaku tersebut, maka
mengandung harapan akan memperoleh hasil dari perilakunya.
4.5.4 Expectation efficacy adalah keyakinan seseorang bahwa dirinya
dapat menghasilkan perilaku yang dibutuhkan untuk mencapai hasil.
Hal ini berarti bahwa seseorang dapat saja percaya bahwa suatu
tindakan dapat menghasilkan kinerja namun merasa dirinya mampu
melakukan tindakan tersebut. Seseorang yang percaya bahwa dirinya
mampu melakukan tindakan mencapai prestasi tersebut akan lebih
bekerja keras dan tekun dalam melaksanakan tugasnya.

4.6 Pain Self Efficacy
Self efficacy menurut bandura didefenisikan sebagai penilaian orang

tentang kemampuan mereka untuk mengatur dan melaksanakan tindakan
yang diperlukan untuk mencapai suatu tindakan yang ingin dicapai.
Bandura berpendapat bahwa self efficacy merupakan dasar dalam motivasi
manusia, kesejahteraan dan prestasi individu, terutama karena tingkat
motivasi pada manusia dan tindakan yang lebih didasarkan pada apa yang
mereka percaya daripada hal yang benar secara objektif (Sinfia et al.,
2009).
Beberapa tahun terakhir hubungan antara pain self efficacy dan
pemulihan nyeri penderita sakit kronis telah menarik perhatian dalam
literature tentang pemulihan nyeri. Penelitian telah menunjukkan bahwa

Universitas Sumatera Utara

29

pain self efficacy terkait dengan intensitas nyeri, toleransi pada nyeri,

fungsi fisik, dan penggunaan analgetik. Kepercayaan pada kemampuan
seseorang untuk melakukan kegiatan sehari-hari dikaitkan dengan kinerja
dalam melakukan kegiatan tersebut. Self efficacy berkontribusi pada
motivasi pasien dalam strategi mengatasi nyeri secara positif seperti
penguatan otot, relaksasi dan melangkah (Sinfia et al., 2009).
Pain self efficacy merupakan faktor penentu psikososial yang penting

dari perilaku nyeri individu dan hasil pengobatan, hal itu harus
dipertimbangkan dalam perencanaan perawatan pemulihan nyeri. Studi
tentang nyeri, self efficacy pada orang dengan nyeri kronis telah dinilai
baik dengan mengacu pada kepercayaan diri mereka dalam tindakan secara
umum dalam mengatasi nyeri atau rasa percaya diri mereka dalam
melakukan kegiatan atau tindakan tertentu. Sebagian besar pengukuran
self efficacy pada pasien dengan nyeri kronis tidak jelas meminta pasien

untuk

menunjukkan

nyeri

yang

mereka

alami

ketika

mereka

menggambarkan kepercayaan diri dalam melakukan suatu kegiatan (Sinfia
et al., 2009).
Self efficacy mempunyai banyak instrument dalam menilai kegiatan

tertentu yang mungkin tidak relevan untuk semua individu atau kelompok
orang dengan nyeri kronis, untuk mengatasi kekurangan instrument ini
Nicholas mengembangkan pain self efficacy questionnaire yang meminta
responden menunjukkan nyeri yang mereka alami ketika menilai self
efficacy responden. Kegiatan mengacu kepada pain self efficacy

Universitas Sumatera Utara

30

questionnaire dan bersifat umum (misalnya perkerjaan digaji atau tidak,

dan kegiatan sosial) juga menemukan instrument lain, untuk membuat alat
ukur dapat digunakan responden secara luas. Nicholas menunjukkan
bahwa pain self efficacy questionnaire adalah skala unidimensional dan
menggunakan analisis faktor exploratory serta reliabilitas untuk skala yang
tinggi (Sinfia et al., 2009).
Korelasi negatif telah ditemukan antara jumlah

pain self efficacy

questionnaire dan pengaruh yang kuat pada nyeri dalam kehidupan sehari-

hari. Pain self efficacy questionnaire telah divalidasi dan digunakan pada
pasien dengan nyeri kronis dalam pengaturan klinis dan beberapa Negara
dengan hasil yang memuaskan (Sinfia et al., 2009)

4.7 Pengukuran Pain Self Efficacy
Self efficacy dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan Pain Self
Efficacy Questionnaire (PSEQ). Kuesioner ini menggunakan skala

differensial semantik dengan skor antara 0 sampai dengan 6. Pasien
diminta untuk menunjukkan pada skala seberapa yakin pasien mampu
melakukan hal yang disebutkan dalam setiap pernyataan pada kuesioner.
Kuesioner ini tidak melihat apakah pasien dapat melakukan hal-hal
tersebut tetapi melihat seberapa yakin mereka dapat melakukannya
walaupun ia mengalami nyeri.

Universitas Sumatera Utara

31

5. Hubungan Pain Self efficacy dengan Perilaku Nyeri
Nyeri

kronis

merupakan

nyeri

yang

menetap,

sehingga

sangat

mempengaruhi emosional klien dan cara berfikir klien. Seringkali klien
memikirkan

nyeri

yang

dialami

secara

berlebihan,

sehingga

dapat

memperburuk perasaan subjektif terhadap nyeri (Brannon & Feist, 1992).
Self efficacy merupakan salah satu kemampuan kognitif. Menurut Bandura

(1994), self efficacy adalah rasa kepercayaan seseorang bahwa ia dapat
menunjukkan perilaku yang dituntut dalam suatu situasi yang spesifik.
Penelitian tentang nyeri kronik self efficacy mengindikasikan hubungan
yang berbanding terbalik antara peningkatan self efficacy dengan nyeri pada
berbagai jenis kelompok klinis (Turk, Meichenbaum & Genest, 1983;
Lawson Reesor, Keefe, & Turner, 1990 dalam Chong, 1999). Brown dan
Nicassio (1987, dalam Chong, 1999) mengatakan bahwa pasien yang
menggunakan koping perilaku yang aktif (misalnya, melakukan aktivitas yang
menyenangkan) akan meningkatkan self efficacy dan menurunkan tingkat
nyeri, depresi, dan kerusakan fungsi tubuh dibandingkan dengan koping yang
pasif atau negatif.
Self efficacy yang tinggi biasanya ditandai oleh rendahnya tingkat stress

dan kecemasan terhadap nyeri yang dialami yang dapat menurunkan perilaku
nyeri. Sebaliknya self efficacy yang rendah ditandai oleh tingkat stress dan
kecemasan yang tinggi pula sehingga perilaku nyerinya meningkat (Brannon &
Feist, 1992). Korelasi negatif telah ditemukan antara jumlah pain self efficacy
questionnaire dan pengaruh yang kuat pada nyeri dalam kehidupan sehari-hari.

Universitas Sumatera Utara

32

Pain self efficacy questionnaire telah divalidasi dan digunakan pada pasien

dengan nyeri kronis dalam pengaturan klinis dan beberapa Negara dengan hasil
yang memuaskan (Sinfia et al., 2009)

Universitas Sumatera Utara