Hubungan Pain Self Efficacy dengan Perilaku Nyeri pada Pasien Kanker Serviks di RSUP H. Adam Malik Medan

BAB 1
PENDAHULUAN
1.

Latar Belakang
Kanker serviks atau karsinoma serviks uteri merupakan salah satu
penyebab utama kematian wanita yang berhubungan dengan kanker. Menurut
data Organisasi kesehatan Dunia (WHO), setiap 2 menit ada satu penduduk
dunia meninggal karena kanker serviks di Negara berkembang (Nurwijaya,
2010). Menurut data riset Kementrian Kesehatan RI, penyakit kanker serviks
dan payudara merupakan prevalensi tertinggi di Indonesia pada tahun 2013,
yaitu kanker serviks sebesar 0.8% dan kanker payudara sebesar 0.5%.
Provinsi

Kepulauan

Riau,

Provinsi

Maluku


Utara,

dan

Provinsi

D.I.Yogyakarta memiliki pravelansi kanker tertinggi yaitu sebesar 1.5%,
sedangkan di Sumatera Utara 0.7%.
WHO dan komunitas nyeri internasional sudah mengidentifikasi nyeri
pada kanker sebagai masalah kesehatan global. Prevalensi nyeri yang tinggi
pada negara berkembang diakibatkan karena keterlambatan diagnosis dan
terhalangnya akses ke penggunaan opioid. Tanda dini kanker serviks tidak
spesifik seperti adanya secret vagina yang agak banyak kadang-kadang
dengan bercak perdarahan setelah bersetubuh. Pada kondisi kanker serviks
lanjut akan terjadi perdarah yang semakin banyak dan berlangsung lebih
lama. Pada stadium lanjut ketika tumor menyebar dari serviks dan melibatkan
jaringan di rongga pelviks dapat dijumpai tanda lain seperti nyeri yang
menjalar ke pinggul atau kaki.


1
Universitas Sumatera Utara

2

Walaupun kanker memiliki gejala gangguan fisik yang beranekaragam,
keluhan nyeri pada kanker sering dianggap yang paling penting. Nyeri yang
tidak teratasi akan mempengaruhi kualitas hidup dan menurunkan
kemampuan dalam menjalani terapi untuk kembali sehat ataupun untuk
mendapatkan proses kematian yang tenang.
Prevalensi nyeri pada kanker diperkirakan sebesar 25% pada pasien yang
baru didiagnosis, 33% pada pasien yang sedang menjalani terapi dan 75%
pada stadium akhir. Nyeri kronik pada pasien kanker yang sudah menjalani
terapi diperkirakan sekitar 33%. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya
nyeri kronik pada pasien kanker adalah kemoterapi, radioterapi dan
pembedahan (Maria, 2012).
Reaksi manusia terhadap nyeri khususnya nyeri kronis berbeda-beda
(Turk, 1990 dalam harahap 2006). Banyak faktor-faktor seperti pengalaman
masa lalu dengan rasa sakit, tehnik koping motivasi untuk melawan rasa sakit
dan subjektivitas dalam pengalaman nyeri (McCaffery & Pasero, 1999 dalam

Harahap, 2006). Ketika pasien berada dalam beberapa tigkat rasa sakit,
perilaku tertentu yang terkait dengan nyeri akan terjadi (Fordyce, 1976 dalam
Harahap, 2006). Fordyce, Fowler dan Lehmann dan kolega (1973)
menyatakan bahwa pasien yang mengalami nyeri pasti akan memperlihatkan
beberapa perilaku yang dapat di observasi. Perilaku ini adalah cara pasien
berkomunikasi dengan lingkungan bahwa mereka sedang mengalami nyeri
(Fordyce, 1976 dalam Harahap 2007).

Universitas Sumatera Utara

3

Perilaku nyeri merupakan suatu aspek yang menyangkut tentang
pengalaman nyeri. Ini adalah keadaan yang tampak jelas kelihatan seperti
gerakan anggota badan atau ekspresi wajah (Fordyce, 1976 dalam Harahap,
2007).
Menurut Harahap (2007) pada prakteknya, perilaku nyeri tidak umum
digunakan dalam mengkaji nyeri pasien. Akan tetapi bagi pasien yang tidak
dapat melaporkan atau mengeluhkan nyerinya dengan mengobservasi
perilaku yang diperlihatkan oleh pasien pada saat pasien mengalami nyeri

dapat memberikan pemahaman tentang nyeri yang dialaminya.
Perilaku nyeri ini meliputi berbagai perilaku yang dapat diobservasi ketika
seseorang mengalami nyeri. Perilaku nyeri yang dapat dinilai ketika
seseorang mengalami nyeri meliputi 5 parameter, (1) guarding yaitu menjaga
area yang sakit, (2) braching yaitu pergerakan anggota tubuh yang kaku, (3)
Rubbing yaitu meraba atau menyentuh area tubuh yang sakit, (4) grimacing

yaitu berkaitan dengan ekspresi wajah, (5) sighing yaitu menghela napas
(Harahap, 2007).
Seseorang yang mengalami nyeri kronis harus memiliki mental dan
emosional yang kuat untuk menjalani hidup dengan nyeri yang menetap. Oleh
karena itu diperlukan penguatan faktor psikologis dengan cara meningkatkan
kemampuan kognitif (Chong, 1999 dalam Aritonang, 2010). Kognitif ini
dimaksudkan untuk membantu klien mengenali respon emosional terhadap
nyeri yang dipengaruhi oleh pikiran dan melatih mereka mengendalikan

Universitas Sumatera Utara

4


gangguan yang berasal dari nyeri kronis yang mereka alami (Gallagher, 2005
dalam Aritonang, 2010).
Salah satu kemampuan kognitif adalah self efficacy. Self efficacy adalah
rasa kepercayaan seseorang bahwa dia dapat menunjukkan perilaku yang
dituntut dalam situasi yang spesifik. Self efficacy lebih mengarahkan pada
penilaian individu akan kemampuannya dalam hal ini untuk mengontrol
perilaku nyeri yang dialaminya (Bandura, 1994).
Ekspektasi self efficacy sangat penting karena klien seharusnya percaya
bahwa mereka memiliki kemampuan untuk melakukan respon yang
diharapkan

agar dapat membawa perubahan. Klien yang memiliki self

efficacy yang tinggi dapat menurunkan
efficacy yang rendah

perilaku

nyeri


sebaliknya

self

dapat menyebabkan depresi pada penderita nyeri

kronik (Tailor, 1995).
Efikasi adalah penilaian diri, apakah dapat melakukan tindakan yang baik
atau buruk, tepat atau salah, bisa atau tidak mengerjakan sesuatu dengan yang
dipersyaratkan. Efikasi ini berbeda dengan aspirasi (cita-cita), karena cita-cita
menggambarkan sesuatu yang ideal yang seharusnya (dapat dicapai),
sedangkan efikasi menggambarkan penilaian kemampuan diri dalam
melakukan tindakan yang diharapkan (Alwisol, 2009).
Self efficacy merupakan faktor kognitif bagaimana orang bertingkahlaku

dalam situasi tertentu seperti nyeri tergantung kepada resiprokal antara
lingkungan dengan kondisi kognitif, khususnya faktor kognitif yang
berhubungan dengan keyakinan dia mampu melakukan sesuatu yang

Universitas Sumatera Utara


5

memuaskan atau tidak. Sehingga peneliti merasa tertarik untuk meneliti
bagaimana hubungan antara perilaku nyeri dengan self efficacy. Secara
khusus peneliti ingin meneliti hubungan perilaku nyeri dengan self efficacy
pada pasien kanker serviks di RSUP H. Adam Malik Medan.

2.

Tujuan
2.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah teridentifikasinya hubungan antara
pain self efficacy dengan perilaku nyeri pada pasien kanker di RSUP

H. Adam Malik.
2.2 Tujuan Khusus
a. Teridentifikasinya pain self efficacy pada pasien kanker serviks di
RSUP H. Adam Malik Medan.
b. Teridentifikasinya perilaku nyeri pada pasien kanker serviks di

RSUP H. Adam Malik Medan
c. Teridentifikasinya hubungan pain self efficacy dengan perilaku nyeri
pada pasien kanker serviks di RSUP H. Adam Malik Medan.

3.

Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan yang harus dijawab dalam penelitian ini adalah:
a. Bagaimana perilaku nyeri pada pasien kanker serviks?
b. Bagaimana pain self efficacy pada penderita kanker serviks?

Universitas Sumatera Utara

6

c. Apakah ada hubungan antara pain self efficacy dengan perilaku nyeri
pada pasien kanker serviks?

4.


Manfaat Penelitian
a. Bagi praktek keperawatan
Hasil penelitian ini akan memberikan informasi tentang pentingnya
pain self efficacy dalam mengontrol perilaku nyeri pada pasien kanker

serviks.
b. Bagi penelitian keperawatan
Dalam bidang penelitian, hasil penelitian ini diharapkan dapat
digunakan sebagai bahan masukan untuk penelitian selanjutnya, untuk
meneliti hubungan pain self efficacy dengan perilaku nyeri pada jumlah
sampel yang banyak.

Universitas Sumatera Utara