Elis Rosdiawati, 2016 PENGELOLAAN
TEACHER CAPACITY
BUILD ING TCB
UNTUK MENINGKATKAN
PROFESIONALITAS GURU D I TINGKAT SEKOLAH Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
| perpustakaan.upi.edu
1
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Pendidikan adalah sebuah
business
yang didalamnya melibatkan suatu proses produksi yang mengolah input yang ada untuk menghasilkan
output
dan
outcome
yang diharapkan. Telepas dari beragamnya
resources
yang menjadi input
penyelenggaraan pendidikan,
human resources
adalah input yang memegang peranan yang sangat penting karena tanpa
human capital
yang diberdayakan dengan baik, maka
resources
yang lain hanya akan menjadi resources yang ‘merana’ dan tidak dapat memberikan kontribusi maksimal dalam
pencapaian tujuan lembaga. Dengan demikian, pemberdayaan
human resources
merupakan
key words
bagi sebuah penyelenggaraan pendidikan yang produktif. Berbagai hal dapat dilakukan untuk meningkatkan, mempertahankan dan
mengembangkan kompetensi
human resources
. Salah satu diantaranya adalah dengan cara mengembangkan lembaga menjadi sebuah
learning organization
yang dapat memfasilitasi seluruh
human resources
nya untuk tetap berada pada kerangka profesionalitas. Kontribusi yang diberikan oleh seorang anggota
organisasi sangat tergantung pada tugas pokok dan fungsinya dalam organisasi tersebut. Meskipun demikian, secara umum dapat disebutkan bahwa kontribusi
yang diberikan dapat dilihat dalam bentuk kinerja
performance
yang pada hakekatnya merupakan refleksi dari hasil yang dicapai oleh seseorang atau
sekelompok orang. Kinerja seseorang mengandung substansi pencapaian hasil kerja seseorang.
Pada semua bidang, kinerja seseorang individu yang menjadi salah satu elemen organisasi merupakan satu faktor penentu kinerja organisasi karena
terdapat hubungan yang sangat erat antara Kinerja perorangan
individual performance
dengan kinerja lembaga
institutional performance
atau kinerja perusahaan
corporate performance
. Dengan kata lain bisa disebutkan bahwa
bila kinerja karyawan
individual performance
baik maka kemungkinan besar kinerja perusahaan
corporate performance
juga baik. Dalam konteks pendidikan di sekolah, kualitas kinerja sekolah sangat
tergantung pada kualitas kinerja yang ditunjukkan oleh individu guru. Tenaga pendidik berkualitas atau profesional menjadi ‘jaminan kualitas’
quality assurance
tidak saja bagi meningkatnya luaran peserta didik sekaligus memastikan tenaga pendidik tetap melakukan pengembangan profesi Danielson
McGreal 2000: 8 karena kemampuan, komitmen dan kesadaran guru terhadap profesinya
sebagai tenaga
pendidikan menentukan kualitas pada proses
pembelajaran Nicoll 2013. Meskipun demikian, kinerja individual tidak muncul dengan sendirinya.
Kinerja individu muncul dan terbentuk sebagai jawaban dari sebuah upaya keras dan terencana yang disebut managent kinerja
performance managent.
Pentingnya pengelolaan kinerja individu dalam bentuk
performance managent
yang pada gilirannya memberikan sumbangan yang besar terhadap peningkatan kualitas kinerja organisasi memang sudah tidak terbantahkan lagi. Pengelolaan
kinerja yang baik dapat menghasilkan 4 hal yaitu stabilitas organisasi, stabilitas finansial, kualitas program, produk dan layanan dan pertumbuhan organisasi
Blumenthal 2003. Meningkatnya kualitas guru tidak terlepas dari dukungan tujuh unsur lain
karena sekolah merupakan kumpulan dari berbagai unsur penting yang saling mendukung satu dengan yang lain untuk mewujudkan tujuan penyelenggaraan
pendidikan pada satuan pendidikan tsb. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no 13 tahun 2015 yang merupakan perubahan kedua atas Peraturan
Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 yang ditentang Standar Nasional Pendidikan SNP salah satu standar yang mendapat perhatian lebih adalah standar pendidik
dan tenaga kependidikan. Hal ini dapat dimungkinkan karena sumber daya manusia memiliki daya penggerak
power
untuk menggerakkan sumber daya lain dalam sebuah organisasi.
Penyelenggaraan pembelajaran
bermutu
quality learning
yang merupakan
core business
dari ketiga stuktur di atas tidak bisa lepas dari
tersedianya Sumber Daya Manusia SDM yang profesional. Dalam konteks persekolahan guru merupakan ujung tombak keberhasilan pendidikan karena di
pundak guru terletak tanggung jawab terhadap seluruh
stakeholder
pendidikan terkait tinggi rendahnya kualitas pelayanan pendidikan. Kualitas tenaga pendidik
menjadi variabel atau elemen kunci bagi peningkatan hasil belajar siswa Schacter, 2000.
Terlepas dari demikian pentingnya peran seorang guru di sekolah, kenyataan menunjukkan bahwa penguasaan kompetensi minimal yang dimiliki
guru di Indonesia masih sangat rendah. Rendahnya kualitas guru di Indonesia paling tidak dapat dilihat dari dua dimensi yaitu dimensi guru dalam hal ini
penguasaan kompetensi minimal guru dan dimensi siswa dalam hal ini prestasi siswa sebagai output dari proses produksi yang terjadi di sekolah.
Data yang dikeluarkan oleh Pusbangprodik menunjukkan bahwa rata-rata nilai kompetensi pedagokik dari hasil UKG yang diselenggarakan pada tahun
2013 adalah 45, 06, sedangkan kompetensi profesional rata-ratanya adalah 49, 05 sehingga rata-rata nilai UKG tahun 2013 adalah 47,84 distribusi peserta dan nilai
rerata per jenjang untuk setiap provinsi UKG untuk kompetensi pedagogi dan professional yang dilakukan pada tahun 2013, secara rinci dapat dilihat pada
lampiran disertasi ini. Masih rendahnya SDM guru di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan
rendahnya prestasi siswa. Hasil perolehan prestasi siswa kita menurut
Trends in Mathematic and Science Study
TIMSS tahun 2004 menunjukkan bahwa siswa Indonesia Pada tahun 1999 siswa kelas VIII Indonesia dalam prestasi sains berada
di peringkat ke 32 dari 48 Negara. Pada tahun 2003 berada di peringkat ke 37 dari 46 negara, dan pada tahun 2007 berada di peringkat ke 35 dari 49 negara.
Litbang, Kemdikbud, 2012. Untuk
dapat mempersembahkan
kinerja terbaik
sehingga dapat
menghasilkan pencapaian siswa seperti yang diamanatkan oleh undang-undang, selain dituntut untuk mampu melaksanakan tugas utama yakni memberikan
pembelajaran yang bermutu, seorang guru profesional juga dituntut untuk melakukan peningkatan keprofesian berkelanjutan
Continous Professional
Development atau CPD
.
Teacher Capacity Building
TCB merupakan salah satu bentuk CPD guru yang implementasinya dapat berbentuk kegiatan diskusi
dan refleksi
serta kegiatan
penelitian sebagai
guru professional
untuk memperbaiki praktek-praktek pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya.
Sebagai seorang professional, guru memiliki lokus utama untuk meningkatkan kualitas pada proses pembelajaran, pengembangan diri guru, serta peningkatan
mutu sekolah secara keseluruhan. Upaya untuk meningkatkan TCB tidak dapat terlaksana hanya dengan
mengandalkan komitmen dan motivasi yang dimiliki oleh guru secara individu. Pembentukan TCB memerlukan dukungan kebijakan sistemik yang tepat dan
efektif. Proses pengembangkan TCB seyogyanya lebih terintegrasi dengan kebijakan, pengorganisasian, implementasi dan pengawasan yang tepat. Hal ini
sejalan dengan yang disampaikan UNESCO 2006 yang menyatakan bahwa kapasitas individu terkait dengan pemahaman, pengetahuan dan akses informasi
dimana seseorang dapat menunjukan performancenya secara efektif. Kapasitas guru gabungan antara keahlian, motivasi, dan kesempatan yang
diberikan kepada guru tersebut
capacity = expertise + motivation + opportunities.
Pembelajaran bermutu akan terwujud bila guru memiliki keahlian dalam kaitannya dengan proses pembelajaran, memiliki motivasi yang
tinggi untuk dapat memberikan layanan bermutu kepada siswa dan seluruh
stake holder
sekolah, serta memiliki kesempatan untuk menampilkan kompetensi yang dimiliki sehingga dapat memberikan kontribusi optimal terhadap peningkatan
mutu pendidikan di sekolah Murray et al 2009, hlm 456. Keahlian dan motivasi guru meningkat seiring dengan adanya refleksi
terhadap setiap fungsi dan perannya dalam setiap proses pembelajaran. Guru belajar untuk kapasitas diri guna mewujudkan proses pembelajaran dan
berkesempatan menampilkan kemampuan terbaik. Guru yang memiliki kapasitas adalah guru yang dapat menyelenggarakan proses pembelajaran yang bermutu.
Pengetahuan tentang
capacity building
dalam kedudukan ilmu administrasi pendidikan dapat memberikan sumbangsih berarti bagi penelitian-penelitian sosial
yang dianggap masih kurang termasuk dalam bidang administrasi pendidikan.
Persoalan dalam
capacity building
dan kualitas pembelajaran merupakan persoalan yang perlu diselesaikan melalui perbaikan pada kapasitas guru.
Pada kenyataannya,
kebijakan dalam
membangun TCB
untuk meningkatkan profesionalitas guru sesuai dengan fungsinya masih jauh dari
harapan. Hanya beberapa sekolah yang memiliki sumber daya dan sistem yang efektif mampu menyelenggarakan TCB. Hal ini menyebabkan masalah mutu
sekolah tetap menjadi masalah yang sulit diselesaikan oleh sekolah terutama yang memiliki keterbatasan sumber daya.
Upaya peningkatan profesionalitas guru masih lebih banyak dilakukan oleh pemerintah pusat melalui berbagai kebijakan pendidikan yang diluncurkan.
Padahal apabila
dicermati lebih dalam, pemerintah daerah justru lebih
berkepentingan dengan hasil dari kegiatan pembinaan dan pengembangan profesi guru dibandingkan dengan pemerintah pusat. Dengan kata lain, pengembangan
profesionalitas guru masih memerlukan sentuhan yang lebih besar dari pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah kabupatenkota.
Di pihak lain, TCB yang dikembangkan di sekolah masih bersifat
plagiarism dalam arti sekolah hanya melaksanakan kebijakan didesiminasikan oleh Kementrian Pendidikan dan kebudayaan. Sekolah sudah merasa cukup puas
apabila mereka sudah berusaha melaksanakan kebijakan pembanguanan kapasitas guru yang digulirkan pemerintah pusat. Dalam banyak kasus, pelaksanaan
kebijakan pusat inipun hanya diakukan di sekolah untuk kepentingan memenuhi persyaratan administratif semata. Dengan demikian, sangat mudah difahami
apabila peningkatan profesionalitas guru yang menjadi tujuan pengembangan TCB masih jauh dari harapan untuk tercapai.
Satu contoh kongkrit dari kebijakan TCB dari kasus di atas adalah pelaksanaan system Penilaian Kinerja guru PK guru dan Pengembangan
Keprofesian Berkelanjutan PKB yang merupakan amanat dari Permenneg PAN dan RB tahun 2016. Dengan penilaian kinerja guru, pemerintah mengharapkan
bahwa guru yang belum memenuhi standar mau meningkatkan diri menjadi guru yang profesional, sedangkan guru yang menurut hasil PK gurunya sudah
memenuhi standar diharapkan mau berbagi dengan guru lain baik melalui cara
receptive
membacamendengarkan maupun cara
productive
berbicaramenulis. Pada kenyataannya, banyak kepala sekolah mengakui bahwa pelaksanaan
PK guru yang sudah dirancang sedemikian idean dengan ketentuan: 1 dilakukan oleh guru senior yang sudah dilatih, 2 menggunakan instrumen Pk guru yang
sudah ditemtukan, dan 3 menggunakan mekanisme penilaian kinerja yang sudah ditetapkan dalam Permendiknas No 35 tahun 2010 sebagai petunjuk teknis
pelaksanaan PK guru, ternyata dilakukan semata- mata hanya untuk keperluan pelaporan ke dinas Pendidikan dan keperluan
upload
data ke data pokok pendidikan dapodik bahwa sekolah sudah melaksanakan PK guru.
Laporan hasil penilaian kinerja guru yang dilakukan pada tahun 2014 berdasarkan data yang diambil dari Daftar Usulan Penetapan Angka Kredit
DUPAK guru yang diajukan kepada tim penilai angka kredit kota Bandung menunjukkan bahwa hampir 100 hasil PK guru pengusul mencantumkan angka
56 yang berarti semua guru mencapai standar yang diinginkan dan tidak ada satu kompetensipun yang berada pada tingkat dibawahnya. Hal ini dirasakan sangat
tidak rasional karena apabila dibandingkan dengan kriteria kinerja, seorang guru
yang mendapat nilai 56 dengan sebutan amat baik adalah mereka yang berkinerja
baik melebihi
persyaratan, mempersiapkan materi tambahan bagi siswa, memberikan umpan balik yang cepat dan penuh, membuat peluang untuk dapat
bekerja dengan rekan-rekan, rutin memberitahukan kemajuan peserta didik kepada orang tuanya. Dilihat dari segi peserta didik, guru dengan sebutan amat baik
adalah mereka yang peserta didiknya menikmati proses belajarnya, menggunakan sebagian besar waktunya dengan bekerjasama, mengumpulkan semua tugas
dengan tepat waktu dan memperoleh hasil yang bagus dalam setiap tes ataupun ujian.
Fenomena prosentasi jumlah guru dengan hasil PK guru amat baik ini sangat bertentangan dengan asas proporsi yang menyatakan bahwa kemungkinan
guru yang dapat mencapai angka ini hanyalah 10 -20 dari seluruh komunitas guru yang ada. Hasil wawancara semiformal dengan beberapa kepala SMP
Negeri di kota Bandung menambah jelas data yang diuraikan di atas. Berbagai
alasan digunakan oleh sekolah-sekolah, tetapi semuanya berujung pada satu kesimpulan akhir yaitu kebijakan PK guru baru dilakukan untuk pemenuhan
administrasi semata karena kalau tidak dilakukan, maka guru akan mengalami kendala dalam pencairan tunjangan profesi.
Masalah lain yang terkait dengan pembangunan TCB di sekolah adalah kurangnya inovasi yang dilakukan di sekolah dalam menciptakan kegiatan-
kegiatan pembangunan kapasitas guru. Hal ini sangat kental terjadi di sekolah- sekolah negeri. Berbeda dengan sekolah swasta, sekolah negeri harus mengikuti
pakem-pakem khusus yang harus diikuti dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan. Kondisi ini diperburuk dengan
adanya ketentuan-ketentuan pengeloaan keuangan yang mengamanatkan sekolah untuk tidak mengeluarkan
dana Bantuan Operasional Sekolah BOS selain untuk tiga belas aspek yang dicantumkan dalam aturan pengeluaran dana BOS. Jumlah nominal dana BOS
yang memang hanya ditujukan untuk membiayai kegiatan minimal di sekolah ditambah dengan sering melesetnya waktu pencairan membuat para kepala
sekolah sering mengalami kesulitan untuk melakukan inovasi di sekolah, tidak terkecuali inovasi untuk pembangunan kapasitas guru.
Dari segi guru, pembangunan TCB terhambat karena guru masih belum menganggap bahwa peningkatan kualitas diri adalah sebuah kebutuhan. Data
yang diambil dari usulan kenaikan pangkat guru yag diperiksa oleh tim penilai angka kredit dari Biro Kepegawaian Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
republik Indonesia tahun 2014 menunjukkan tidak kurang dari 30 dokumen publikasi ilmiah dan karya inovatif yang diajukan terpaksa ditolak dengan alasan
tidak asli. Kondisi ini sangat memprihatinkan sekaligus menyadarkan banyak fihak
pada kenyataan bahwa guru masih belum menganggap bahwa peningkatan profesionalitas melalui mekanisme pengembangan keprofesian berkelanjutan ini
sebagai kebutuhan diri guru yang harus dipenuhi agar guru dapat melaksanakan tugasnya sebagai pengajar, pelatih, dan pendidik dengan baik. Dalam hal ini
pemahaman guru tentang hakikat dari kegiatan pengembangan keprofesian sebagai usaha yang dilakukan untuk meningkatkan profesionalitasnya sebagai
guru masih sangat rendah. Para guru masih lebih tertarik dengan angka kredit yang ditawarkan sebagau
reward
dari Kegiatan PKB yang dilakukan dibanding dengan hadiah sejati yang ditawarkan
PKB yakni peningkatan kualitas diri. Patut disyukuri, ternyata tidak semua guru di Republik Indonesia ini
beranggapan sebagaimana dipaparkan di atas. Kegiatan pengembangan diri yang diselenggarakan oleh Musyawarah Guru Mata Pelajaran MGMP, Musyawarah
Kerja Kepala Seolah MKKS, atau Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah MKPS terlihat masih cukup ramai dihadiri oleh guru-guru yang memiliki
semangat untuk meningkatkan diri. Hal yang masih harus mendapat perhatian adalah
kenyataan bahwa kegiatan peningkatan profesionalitas guru yang diselenggarakan di komunitas tersebut masih bersifat parsial dan belum
terintegrasi dengan kebutuhan para guru. Kegiatan yang ditawarkan dalam komunitas ini sering merupakan kegiatan berbasis proyek yang konten utamanya
belum dikaitkan dengan tujuan peningkatan kompetensi yang masih harus ditingkatkan oleh guru. Seringkali terlihat kegiatan ini hanya diikuti oleh guru
yang sama. Seringkali pula terjadi o
verlapping
konten sehingga kegiatan dilakukan secara berulang-ulang di komunitas yang sama.
Masalah TCB lain yang perlu mendapat perhatian adalah kenyataan bahwa TCB yang dilakukan belum direncanakan dengan baik. Diakui bahwa ada
beberapa sekolah yang memiliki semangat lebih dalam pembangunan kapasitas guru. Dengan berbagai upaya mereka berusaha mengakali keterbatasan yang ada
sehingga TCB di sekolah dapat dibangun. Beberapa sekolah swasta di Kota Bandung sudah mencoba membuat kebijakan sekolah
school Policy
mandiri dalam kerangka pembangunan kapasitas gruru. Beberapa kegiatan TCB yang
teridentifikasi selama masa
preliminary study
adalah kegiatan
teacher of the year
SMP Darul Hikam Bandung, induksi bagi guru pemula serta beasiswsa untuk guru berprestasi yang diselenggarakan oleh SMP Taruna Bakti, dan masih banyak
kegiatan pembanguanan kapasitas guru lain selain kegiatan yang sudah menjadi tradsi seperti rapat dinas pembinaan personal.
Permasalahannya adalah kegiatan tadi masih belum dikelola dengan efektif sehingga hasil yang diharapkan masih belum bisa dicapai secara optimal.
Disamping itu belum adanya kontrol penjaminan mutu yang diberlakukan membuat kegiatan TCB menjadi hal yang belum bisa diukur efektifitas dan
sustainabilitasnya. Hal terakhir yang menjadi permasalahan pembangunan TCB di tingkat
sekolah adalah masalah keberlanjutan
sustainability
dari program TCB yang dikembangkan. Sebagaimana dipaparkan di atas, masih sangat jarang sekolah
yang melakukan kegiatan-kegiatan penjaminan mutu TCB. Masih sangat jarang ditemukan sekolah sudah mendokumentasikan kegiatan TCB, menggunakan
instrument penjaminan mutu TCB atau bahkan bekerja sama dengan pihak tertentu yang berkompeten dalam hal penjaminan mutu. Kebanyakan sekolah
yang melaksanakan pembangunan TCB belum memiliki
Standar Operational Procedure
SOP yang tetap untuk kegiatan yang dilakukan. Sekolah-sekolah ini juga belum memiliki manual-manual yang dikembangkan untuk memonitor dan
mengevaluasi kegiatan
sehingga mereka
kehilangan kesempatan
untuk mendapatkan
feedback
yang sangat berharga untuk meningkatan kualitas kegiatan TCB selanjutnya. Kondisi seperti ini membuat dampak dari kegiatan TCB tidak
terukur ketercapaiannya. Dan yang lebih menyedihkan adalah tidak adanya pola yang bisa diapatasi oleh sekolah lain yang memilki perhatian untuk meningkatkan
kapasitas guru. Identifikasi
permasalahan sebagaimana
dipaparkan di
atas dapat
divisualisasikan dalam tabel berikut:
Tabel 1.1 Identifikasi Masalah
No Permasalahan TCB
Dampak Implikasi
1 TCB
masih bersifat
plagiaris Rendahnya
kinerja guru Rendahnya
prestasi siswa Diperlukan
adanya model
pengelolaan TCB
implementatif yang bisa diadaptasi
2 TCB
dilakukan hanya
untuk memenuhi
Keenam permasalahan yang dikemukakan di atas memberikan peluang kepada peneliti untuk mengkaji lebih jauh tentang bagaimana pengelolaan
Teacher Capacity Building TCB
untuk meningkatkan profesionalitas guru di sekolah. Dalam penelitian ini, penulis memilih dua sekolah di kota Bandung yang
dinilai dapat mewakili sekolah-sekolah lain yang telah mampu mengembangkan TCB secara mandiri sehingga dapat memberikan layanan mutu pendidikan yang
betkualitas. Kedua sekolah dimaksud adalah SMP Negeri 2 dan SMP Darul Hikam yang keduanya berada di lingkungan Dinas Pendidikan Kota Bandung.
Berdasarkan latar belakang penelitian serta kedudukan permasalahan dalam ruang lingkup ilmu administrasi pendidikan maka peneliti mengambil judul
penelitian “Pengelolaan
Teacher Capacity Building TCB
untuk Meningkatkan Profesionalitas Guru di Tingkat Sekolah. Studi Kasus pada Guru SMPN 2 dan
SMP Darul Hikam Kota Bandung.
B. Fokus Penelitian