Pola asuh makan, Perkembangan Bahasa dan Kognitif pada Anak Balita Stunted dan Normal di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu tujuan nasional bangsa Indonesia seperti tercantum dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu memajukan kesejahteraan
umum. Pewujudan tujuan nasional tersebut diselenggarakan pembangunan
nasional

secara

berencana,

menyeluruh,

terpadu,

terarah

dan


berkesinambungan. Agar tercapainya tujuan pembangunan nasional tersebut
dibutuhkan antara lain tersedianya sumber daya manusia yang tangguh, mandiri
serta berkualitas.
Pembangunan

suatu

bangsa

bertujuan

untuk

meningkatkan

kesejahteraan setiap warga. Peningkatan kemajuan dan kesejahteraan bangsa
sangat tergantung pada kemampuan dan kualitas sumber daya manusianya.
Ukuran kualitas sumber daya manusia dapat dilihat pada indeks pembangunan
Manusia (IPM), sedangkan ukuran kesejahteraan masyarakat antara lain dapat
dilihat pada tingkat kemiskinan dan status gizi masyarakat (BPPN 2007).

Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh
ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang
memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat dan kesehatan yang prima di
samping penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Kekurangan gizi
dapat merusak kualitas SDM (Amarita & Tatang 2004).
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 menunjukkan
prevalensi nasional balita pendek (stunted) dan balita sangat pendek (severe
stunted) berdasarkan indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) adalah 35.6%
(terdiri dari 18.5% sangat pendek dan 17.1% pendek) atau lebih dari sepertiga
balita di Indonesia. Berdasarkan prevalensi tersebut, kejadian stunted termasuk
masalah karena prevalensi nasional masih diatas toleransi yang ditetapkan
Badan Kesehatan Dunia (WHO 2009) yang hanya 20%.
Permasalahan pokok yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah
tingginya masalah gizi kurang yang berdampak terhadap rendahnya kualitas
sumberdaya manusia (SDM). Hasil penelitian Husaini et al. (2003), menyatakan
bahwa masalah kurang energi protein (KEP) sebagai salah satu masalah gizi
utama yang terjadi pada balita sangat berpengaruh pada proses tumbuh
kembang anak. Kurang gizi erat hubungan dengan kemunduran kecerdasan
anak dan menyebabkan rendahnya perkembangan kognitif. Manifestasi KEP


2

tersebut jika tidak diperbaiki sebelum usia 3 tahun (batita), maka dikemudian hari
akan terjadi penurunan kualitas fisik dan mental yang akan menghambat prestasi
belajar dan produktivitas kerja.
Seperti di negara-negara berkembang lain, pendek atau stunting adalah
retardasi pertumbuhan linier dengan defisit dalam panjang atau tinggi badan
sebesar kurang dari -2 SD Z–Score, menurut baku rujukan pertumbuhan World
Health Organization/National Center for Health Statistics (WHO) di Indonesia
permasalahan stunted merupakan hal yang umum terjadi. Prevalensi stunting
pada bayi dan anak-anak masih cukup tinggi sebagai akibat asupan gizi yang
tidak adekuat (ACC/SCN 2000).
Stunting

disebabkan oleh

kumulasi

episode


stress

yang

sudah

berlangsung lama misalnya infeksi dan asupan makanan yang buruk, yang
kemudian tidak terimbangi oleh

catch up growth (kejar tumbuh) Hal ini

mengakibatkan menurunnya pertumbuhan apabila dibandingkan dengan anakanak yang tumbuh dalam lingkungan yang mendukung (Waterlow & Schurch
1994).
Pada periode hidup manusia, masa anak-anak merupakan periode paling
kritis saat usia anak-anak sampai usia lima tahun merupakan suatu masa atau
tahapan umur yang menentukan kualitas manusia pada usia selanjutnya.
Periode kritis anak sampai usia dua tahun pertama merupakan periode window
of opportunity yang membutuhkan dukungan gizi, stimulus khusus dan intervensi
selama pengalaman-pengalaman atau stimulus khusus yang diperlukan untuk
mendukung perkembangan otak anak dalam mencapai potensi yang optimal.

Dampak kekurangan gizi pada anak menyebabkan menurunnya perkembangan
otak yang juga dapat berdampak pada rendahnya kecerdasan, kemampuan
belajar, kreativitas, dan produktivitas anak (Syarief et al. 2006). Gagal tumbuh
yang terjadi akibat kurang gizi pada masa-masa emas ini akan berakibat buruk
pada kehidupan berikutnya yang sulit diperbaiki. Anak yang menderita kurang
gizi (stunted) berat mempunyai rata-rata IQ 11 point lebih rendah dibandingkan
rata-rata anak-anak yang tidak stunted (UNICEF 2001).
Beberapa penelitian membuktikan adanya hubungan yang kuat antara
gizi buruk pada usia kanak-kanak dini dengan berkurangnya tingkat kecerdasan
anak di kemudian hari. Watanabe et al. (2005) menemukan pengaruh

yang

signifikan dari intervensi gizi dan stimulasi pada peningkatan skor tes kognitif
anak pendek (stuntedi). Freeman et al. (1980) menyatakan

malnutrisi pada

3


masa bayi dan anak-anak akan berpengaruh pada aspek perkembangan kognitif
anak. Mendez & Adair (1999) yang melakukan penelitian di Filipina menemukan
bahwa anak yang pendek sejak lahir sampai usia 2 tahun memiliki skor kognitif
yang rendah dibandingkan dengan anak yang normal pada usia 8 dan 11 tahun,
juga memiliki skor yang rendah di nilai matematika dan bahasa. Penelitian oleh
Hizni et al. (2009) menyatakan bahwa status gizi stunted pada anak balita lima
tahun memiliki risiko keterlambatan perkembangan bahasa lebih tinggi
dibandingkan anak normal, aspek perkembangan bahasa merupakan salah satu
indikator dari perkembangan anak.
Kejadian stunting menjadi masalah kesehatan masyarakat karena
berhubungan dengan meningkatnya risiko terjadinya kesakitan dan kematian,
perkembangan motorik terlambat, dan terhambatnya pertumbuhan mental.
Stunting merupakan indikator sensitif untuk sosioekonomi yang buruk dan
prediktor untuk morbiditas serta mortalitas jangka panjang (Waterlow & Schurch
1994 dalam ACC/SCN 2000). Perkembangan anak berusia dibawah lima tahun
yang tidak optimal berdampak pada menurunnya kualitas sumberdaya manusia
Mc Gregor et al. (2007).
Menurut Rivera et al. (1999) anak stunted banyak ditemukan diwilayah
dengan tingkat sosioekonomi yang buruk, pendapatan orang tua dan tingkat
pendidikan yang rendah serta kebersihan rumah yang buruk. Kelurahan Sumur

Batu, Bantar Gebang merupakan salah satu Tempat Pembuangan Sampah Akhir
(TPA) terbesar di kota Bekasi dan Jakarta yang memiliki kondisi sanitasi
lingkungan, keadaan sosial ekonomi serta tingkat pendidikan warga yang
rendah. Keadaaan tersebut berpotensi menimbulkan masalah gizi yaitu stunting,
hal ini berdampak pada perkembangan anak khususnya pada bahasa dan
kognitif. Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk mengetahui perbedaan
perkembangan anak balita stunted dan balita normal dilihat dari aspek
perkembangan bahasa dan kognitif.

4

Tujuan
Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui perbedaan
karakteristik pada anak balita stunted dan normal terhadap perkembangan
kognitif dan bahasanya.
Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi karakteristik keluarga dan karakteristik anak balita
pendek (stunted) dan balita normal (non stunted).


2. Mengidentifikasi pola asuh makan dan frekuensi konsumsi pangan pada
anak balita pendek (stunted) dan normal (nonstunted).

3. Mengidentifikasi perbedaan perkembangan bahasa dan kognitif pada
anak balita pendek (stunted) dan normal (nonstunted).

4. Menganalisis perbedaan perkembangan bahasa dan kognitif berdasarkan
karakteristik anak dan keluarga.

5. Menganalisis hubungan status gizi indeks (TB/U) dengan perkembangan
bahasa dan kognitif anak balita.
Hipotesis
Terdapat perbedaan perkembangan bahasa dan kognitif di Kelurahan
Bantar gebang Bekasi. Terdapat hubungan status gizi (TB/U) dengan
perkembangan kognitif dan bahasa pada anak balita.
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan informasi
bahwa masalah stunting pada balita sebaiknya menjadi perhatian baik
dikalangan Pemerintah sebagai pembuat kebijakan maupun pihak swasta dan

masyarakat terutama orang tua. Gambaran dari penelitian ini menunjukkan
bahwa pentingnya pemberian stimulus yang tepat untuk perkembangan anak
balita, baik pada perkembangan bahasa dan kognitifnya selain itu itu dukungan
gizi serta pola asuh makan yang tepat sangat dibutuhkan anak guna
menciptakan

pertumbuhan

dan

perkembangan

yang

optimal

sehingga

terwujudnya sumber daya manusia yang berkualitas dimasa mendatang.


5

TINJAUAN PUSTAKA
Balita
Usia balita lebih dikenal sebagai the golden age karena masa ini sangat
menentukan pertumbuhan dan perkembangan anak selanjutnya. Anak balita
adalah bayi sampai anak berusia lima tahun atau biasa disebut anak bawah lima
tahun (Soekirman 2000). Pada usia balita merupakan periode kritis dalam
kehidupan manusia, karena secara fisik terjadi perkembangan tubuh dan
ketrampilan motorik yang sangat nyata. Menurut Hidayat (2004), peristiwa yang
dialami dalam pertumbuhan dan perkembangan anak adalah percepatan dan
perlambatan. Peristiwa pertumbuhan pada anak dapat terjadi perubahan tentang
besarnya, jumlah, ukuran di dalam tingkat sel, organ maupun individu,
sedangkan peristiwa perkembangan pada anak dapat terjadi pada perubahan
bentuk dan fungsi pematangan organ mulai dari aspek sosial, emosional dan
intelektual.
Menurut BKKBN

(1995) menyatakan bahwa pada masa balita hampir


seluruh waktu anak berada di tangan orang tua dan sangat tergantung padanya.
Orang tua selain berperan penting dalam mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan anak karena orangtualah yang paling mengetahui secara
seksama perubahan yang terjadi pada anaknya. Balita merupakan golongan
rawan terkena masalah gizi. Makanan bergizi sangat penting diberikan pada bayi
sejak masih dalam kandungan. Masa balita merupakan momentum paling
penting dalam melahirkan generasi pintar dan sehat. Jika usia ini tidak dikelola
dengan baik, apalagi kondisi gizinya buruk kemudian hari akan sulit terjadi
perbaikan kualitas bangsa.
Awal masa kanak-kanak adalah periode pertumbuhan yang paling banyak
dan paling cepat selama kehidupan manusia. Usia anak dari masa konsepsi
sampai usia delapan tahun merupakan usia yang sangat kritis untuk melengkapi
pertumbuhan

kognitif,

emosional

dan

pertumbuhan

fisik

pada

anak.

Perkembangan otak pada anak sangat cepat pada tahap prenatal dan berlanjut
setelah lahir. Meskipun formasi sel sudah terpenuhi sebelum lahir, kematangan
sel dan hubungan jaringan saraf yang penting secara cepat berkembang setelah
kelahiran atau pada awal masa kanak-kanak. Pada masa anak-anak lingkungan
juga memiliki pengaruh yang penting dalam perkembangan dan pertumbuhan
sistem saraf pusat. Kekurangan gizi pada masa kanak-kanak berdampak serius

6

pada perkembangan otak terutama pada jaringan saraf dan penyimpangan
perilaku seperti kesulitan belajar dan retardasi mental (Unicef 2001).
Pada umur satu tahun, tinggi badan akan 1.5 kali tinggi badan waktu lahir,
pada umur 4 tahun tinggi badan akan 2 kali tinggi badan waktu lahir. Sedangkan
pada usia 6 tahun tinggi badan akan 2.5 kali tinggi badan waktu lahir, dan pada
usia 13 tahun tinggi badan akan 3 kali tinggi badan waktu lahir, serta pada usia
dewasa, tinggi badan akan 3.5 kali tinggi badan waktu lahir (Abunain 1990).
Status Gizi
Status gizi merupakan suatu ekspresi dan keseimbangan zat gizi dalam
bentuk variabel tertentu, atau perwujudan nutriture dalam bentuk variabel
tertentu meliputi berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, dan lain-lain.
Status gizi adalah keadaan keseimbangan antara asupan (intake) zat gizi dan
jumlah yang dibutuhkan (requirement) oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis
(pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas, pemeliharaan kesehatan dan lainlain) (Jahari 2002). Menurut Suharjo (2003), status gizi adalah suatu keadaan
tubuh yang disebabkan oleh konsumsi penyerapan dan penggunaan makanan
oleh jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi.
Status gizi seringkali digunakan untuk mengetahui gambaran tingkat
kecukupan konsumsi makan individu pada suatu saat. Dari gambaran status gizi
balita dapat diprediksikan apakah balita tersebut telah mengkonsumsi makanan
yang telah cukup untuk memenuhi kebutuhannya agar dapat memelihara proses
dan fungsi tubuh termasuk diantaranya untuk pertumbuhan dan aktivitas fisik
(Soekirman 2000).
Terdapat beberapa penilaian status gizi, yaitu yaitu dengan pengukuran
antropometri, klinis dan biofisik, yang disebut dengan penilaian status gizi secara
langsung. Pengukuran antropometri adalah jenis pengukuran yang paling
sederhana dan praktis, karena mudah dilakukan dan dapat dilakukan dalam
jumlah sampel yang besar. Pengukuran antropometri adalah pengukuran yang
dilakukan terhadap berat badan (BB), tinggi badan (TB) dan lingkaran bagianbagian tubuh serta tebal lemak bawah kulit (Supriasa et al. 2001).
Antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran
dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.
Pada pemakaian untuk menilai status gizi, antropometri disajikan dalam bentuk

7

indeks yang dikaitkan dengan variabel lain yaitu variabel umur, berat badan
(BB/U) dan tinggi badan (TB/U) ( Depkes 2008).
Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan
pertumbuhan skeletal. Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersamaan
dengan pertambahan umur. Indeks tinggi/panjang badan menurut umur (TB/U)
menggambarkan status gizi masa lalu, selain itu juga erat kaitannya dengan
masalah sosial ekonomi masyarakat (Jahari 2002). Keadaan indeks ini pada
umumnya memberikan gambaran keadaan lingkungan yang tidak baik,
kemiskinan dan akibat tidak sehat yang menahun (Depkes RI 2005). Penilaian
status gizi dengan indikator TB/U dilakukan berdasarkan standar WHO-NCHS
2005 untuk menyatakan apakah anak termasuk kedalam kategori status normal,
pendek atau sangat pendek disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 kategori status gizi berdasarkan baku WHO-NCHS 2005
Indikator
Tinggi badan menurut
umur (TB/U)

Kategori status gizi
Sangat pendek (severe stunted)
Pendek (stunted)
Normal
Tinggi

Keterangan
z-score +2 SD

Kurang gizi menurut Suharjo (2003) disebabkan oleh masukan (intake)
energi dan protein yang sangat kurang dalam waktu yang cukup lama. Keadaan
ini lebih cepat terjadi bila anak mengalami diare atau infeksi penyakit lainnya.
Keadaan kehidupan yang miskin mempunyai hubungan sangat erat dengan
timbulnya kondisi kurang energi protein. Lebih lanjut menurut Gibson (1990),
status gizi adalah tanda-tanda atau penampilan fisiologis yang diakibatkan oleh
keseimbangan intake gizi dan penggunaanya oleh organisme.
Penelitian Husaini et al. (2003) pada anak-anak yang berumur 12 tahun) (Papalia et al. 2008). Perkembangan
kognitif menurut Piaget dapat dilihat pada tabel 2 dibawah.
Tabel 2 Tahap perkembangan kognitif Piaget
Tahap

Umur

Sensorimotorik

0-2 tahun

preoperational

2-7 tahun

concret operational 7-12 tahun

formal operational

(>12 tahun)

Perkembangan kognitif yang nyata
Perkembangan yang berlahan pada ketrampilan
sensori,
motorik
anak.
Kurang
dapat
membedakan konsep diri dan lingkungan, namun
interaksi yang berarti dan pencapaian konsep
objek yang permanen
Pengembangan kemapuan bahasa dan konsep
diri. Anak cenderung egosentris. Mulai muncul
kemampuan untuk mencapai imajinasi pikiran
pada akhir metode ini. Kemampuan persepsi
meningkat, namun masih ditentukan oleh
penampilan fisik yang terlihat. Belum mampu
untuk mengerti konsep konservasi, pola pikir
masih bersifat intuitif dan impulsif.
Mulai memahami hukum konservasi dan operasi
yang
bersifat
kebalikan.
Mulai
dapat
mengelompokkan, menyusun menurut ukuran dan
bentuk, serta mengenal konsep hubungan.
Mulai dapat berpikir abstrak dan menjelaskan
konsep. Masalah diselesaikan dengan penjelasan
dan logika, serta mampu membuat hipotesa.

Sumber : Santrock 2007
Pada tahap sensorimotor (usia 0-2 tahun) bayi membentuk pemahaman
tentang dunia dengan mengkoordinasikan pengalaman-pengalaman sensorik
misalnya melihat dan mendengar dengan tindakan fisik dan motorik, oleh karena
itu disebut dengan “sensorimotorik” . Akhir tahap ini saat anak berusia dua tahun
mampu

menghasilkan

pola-pola

sensorimotorik

yang

kompleks

dan

menggunakan simbol-simbol yang primitif (Santrock 2007).
Tahap

selanjutnya

yaitu

tahap

praoperasional

(usia

2-7

tahun)

pemahaman anak tentang benda-benda disekitarnya tidak hanya dilakukan
melalui kegiatan sensorimotor akan tetapi juga melalui kegiatan yang bersifat
simbolik. Kegiatan simbolik dapat berupa percakapan melalui telepon mainan
atau berpura-pura menjadi bapak atau ibu dan kegiatan simbolik lainnya. Tahap
ini memberikan andil besar bagi perkembangan kognitif anak. Pada tahap
praoperasional anak tidak berpikir secara rasional yaitu suatu proses berpikir

15

yang

dilakukan

memungkinkan

dengan
anak

jalan

menginternalisasi

mengkaitkannya

dengan

suatu

kegiatan

aktivitas
yang

yang

dilakukan

sebelumnya. Tahap ini merupakan masa permulaan anak untuk membangun
pemikirannya. Oleh sebab itu cara berpikir anak pada tahap ini belum stabil dan
tidak terorganisir dengan baik. Tahap praoperasional dibagi dalam dua sub tahap
yakni subtahap fungsi simbolik dan sub tahap berpikir secara intuitif. Pada
subtahap simbolik terjadi saat anak berusia 2-4 tahun. Pada masa ini anak
memiliki kemampuan untuk dapat menggambarkan objek secara fisik misalnya
menyusun puzzel atau menyusun balok menjadi bangunan tertentu. Pada tahap
ini juga dikenal dengan sub tahap berpikir egosentris, yakni ketidakmampuan
anak anak untuk memahami perspektif atau cara berpikir orang lain. Sedangkan
sub tahap berpikir intuitif terjadi pada usia 4-7 tahun. Masa ini disebut tahap
berpikir secara intuisi karena saat ini anak kelihatannya mengerti sesuatu
padahal ia tidak mengetahui alasan-alasan yang menyebabkan balok itu dapat
disusun menjadi rumah. Dengan kata lain anak belum memiliki kemampuan kritis
tentang apa yang ada dibalik suatu kejadian (Santrock 2007). Menurut Papalia
(1979) pada periode preoperasional anak-anak cenderung mendemonstrasikan
persepsi mereka dengan beberapa karakteristik warna, bentuk, dan ukuran.
Mereka juga sudah mengkategorikan konsep.
Tahap

operasional

kongkrit

(7-12

tahun)

adalah

tahap

dimana

kemampuan anak untuk berpikir logis sudah berkembang, dengan syarat objek
yang menjadi sumber berpikir logis tersebut hadir secara kongkrit. Kemampuan
berpikir logis terwujud dalam kemampuan mengklasifikasikan objek sesuai
dengan klasifikasinya, mengurutkan benda sesuai dengan tata urutnya,
kemampuan berpikir secara deduktif (Santrock 2007).
Menurut Santrock (2007) tahap operasional formal (12 tahun sampai
dewasa) ditandai oleh perpindahan dari cara berpikir kongkrit ke cara berpikir
abstrak,

yang

dapat

dilihat

dari

kemampuan

mengemukakan

ide-ide,

memprediksi kejadian yang terjadi dan melakukan proses berpikir ilmiah, yakni
mengemukakan hipotesis dan menentukan cara untuk membuktikan kebenaran
hipotesis tersebut.

16

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Balita
Proses perkembangan merupakan interaksi dari berbagai faktor yang
dimulai

dari

rahim

dan

diteruskan

ketika

anak

berinteraksi

bersama

lingkungannya. Terdapat pondasi genetik dalam memahami proses sosial yang
akan membentuk perbedaan individual bagaimana anak menginterpretasikan
dan merespon lingkungannya.Karakteristik genetik akan berkombinasi dengan
lingkungan pada periode spesifik dari perkembangan otaknya. Hal ini akan
menentukan perkembangan anak pada periode berikutnya (Maggi et al. 2005).
Menurut Soetjiningsih (2002), setiap individu berbeda dalam proses
pertumbuhan dan perkembangan, karena pertumbuhan dan perkembangan anak
dipengaruhi oleh beberapa faktor

antara lain faktor

herediter/genetika,

lingkungan dan internal.
Faktor genetik
Faktor genetik merupakan modal dasar untuk dalam mencapai hasil akhir
proses tumbuh kembang anak. Potensi genetik yang bermutu hendaknya dapat
berinteraksi dengan lingkungan secara positif sehingga diperoleh hasil akhir yang
optimal. Potensi genetik diantaranya adalah faktor bawaan normal dan patologis,
jenis kelamin, ras dan suku bangsa, keluarga dan umur (Soetjiningsih 2002).
Faktor genetik mempengaruhi perkembangan intelektual dan faktor
lingkungan hanya sedikit mempengaruhinya (Jensen 1969 dalam Santrock
2007), namun saat ini sebagian besar peneliti setuju bahwa faktor keturunan
tidak menentukan perkembangan intelektual anak. Meskipun dukungan genetik
mungkin mempengaruhi kemampuan intelektual seseorang, pengaruh-pengaruh
lingkungan dan dukungan keluarga juga akan mempengaruhi perkembangan
pada anak (Campbell et al. 2001 dalam Santrock 2007)
Faktor lingkungan
Lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan tercapai atau
tidaknya potensi bawaan. Lingkungan yang cukup baik akan memungkinkan
tercapainya

potensi

bawaan,

sedangkan

yang

kurang

baik

akan

menghambatnya. Faktor lingkungan yang mempengaruhi tumbuh kembang
secara umum dapat digolongkan menjadi : 1). Lingkungan biologis, antara lain
ras atau suku bangsa, jenis kelamin, umur, gizi, perawatan kesehatan, kepekaan
terhadap penyakit, penyakit kronis, fungsi metabolisme, hormon. 2). Faktor fisik,

17

antara lain : cuaca, musim, kedaan geografis suatu daerah, sanitasi, keadaan
rumah, radiasi. 3). Faktor psikososial, antara lain : stimulasi, motivasi belajar,
ganjaran, hukuman yang wajar, kelompok sebaya, kualitas interaksi orang tua
terhadap anak. 4) faktor keluarga dan adat istiadat, antara lain : pekerjaan atau
pendapatan keluarga, pendidikan ayah dan ibu, besar keluarga (Soetjiningsih
2002).
Aspek-aspek lingkungan seperti sosioekonomi yakni bagaimana orang
tua berkomunikasi dengan anak, dukungan yang diberikan orang tua, lingkungan
dimana keluarga tinggal mempengaruhi perkembangan bahasa anak. Anak
dengan orang tua yang mempunyai status ekonomi menengah keatas atau kaya
berbicara lebih sedikit kepada anak-anaknya, jarang membicarakan peristiwa
masa lalu dan menyediakan sedikit waktu untuk bercakap dengan anak-anak
mereka dibandingkan orang tua yang berstatus ekonomi menengah (Betty Hart &
Todd Risley 1995 dalam Santrock 2007). Orang tua yang memperhatikan apa
yang dikatakan anaknya, memperluas kosakata mereka, membacakan buku
cerita bagi anak-anaknya dan mamberikan objek-objek dalam lingkungan, akan
memberikan manfaat-manfaat yang berharga bagi perkembangan bahasa anak
(Gleason 2004 dalam Santrock 2007)
Stimulasi
Perkembangan psikis seseorang tidak saja ditentukan oleh faktor-faktor
dari dalam dirinya, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar diri
anak

tersebut.

perkembangan

Oleh
anak

karena
melalui

itu

lingkungan

pemberian

sosial

berbagai

harus

stimulasi.

mendukung
Bila

anak

mendapatkan stimulasi maka ia akan mengembangkan kemampuannya dalam
batas-batas yang diberikan oleh keluarga atau lingkungannya. Hal ini akan
sangat berpengaruh bagi perkembangan yang sehat (Monks et al. 2004).
Stimulasi memegang peranan sangat penting dalam memaksimalkan
kecerdasan anak. Stimulasi diperlukan agar hubungan antarsel syaraf otak
(sinaps) dapat berkembang. Sinaps akan menghilang secara spontan bila tidak
digunakan (Monks et al. 2004).
Interaksi yang harmonis antara anak dengan anggota keluarga akan
menimbulkan keakraban dalam keluarga. Anak akan terbuka pada orang tuanya
sehingga setiap permasalahan dapat dipecahkan bersama karena adanya
kedekatan dan kepercayaan antara orang tua dan anak. Kualitas interaksi yang

18

baik akan menimbulkan pemahaman terhadap kebutuhan masing-masing dan
upaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut yang dilandasi rasa saling
menyayangi (Soetjiningsih 1995).
Anak mempunyai kebutuhan untuk belajar. Berbagai stimulasi melalui
pancainderanya seperti mendengar, melihat, merasa, mencium dan meraba,
yang diberikan selama awal kehidupan mempunyai pengaruh yang besar pada
pertumbuhan dan maturasi otak.
Hal ini ditunjukkan oleh program stimulasi yang dapat mendorong
percepatan pertumbuhan, memperbaiki koordinasi gerakan otot, meningkatkan
lama konsentrasi dan meningkatkan Intelligence Quotion (IQ) bayi sebanyak 15
poin. Terdapat bukti eksperimental yang menyatakan bahwa tikus yang
dibesarkan dalam lingkungan stimulasi dengan penuh kegembiraan dan
permainan mempunyai sel otak ekstra 50.000 pada setiap sudut hipokampusnya
dibandingkan dengan tikus yang dibesarkan dalam kandang biasa. Ketika tikus
ditempatkan di treadmill, menyebabkan sel otak mereka memproduksi faktor
pertumbuhan yang menstimulasi pertumbuhan dendrit dan perluasan jaringan
saraf. Pertumbuhan neuron tidak hanya terjadi pada bagian otak yang
mengontrol fungsi motorik tapi juga pada bagian yang mengontrol kognitif (Singh
2003).
Status Gizi
Untuk mencapai tumbuh kembang yang baik maka diperlukan zat
makanan yang adekuat. Makanan yang kurang baik secara kualitas maupun
kuantitas akan menyebabkan gizi kurang. Keadaan gizi kurang dapat
mengakibatkan perubahan struktural dan fungsional pada otak.
Menurut Georgieff (2007), otak manusia mengalami perubahan struktural
dan fungsional yang luar biasa antara minggu ke 24 dan minggu 42 setelah
konsepsi. Sel-sel otak mulai terbentuk pada trimester pertama kehamilan,dan
berkembang pesat sejak dalam rahim. Perkembangan ini berlanjut saat setelah
lahir hingga usia 2 atau 3 tahun, periode tercepat usia 6 bulan pertama. Setelah
usia tersebut praktis tidak ada pertumbuhan lagi, kecuali pembentukan sel
neuron baru untuk mengganti sel otak yang rusak. Dengan demikian diferensiasi
dan pertumbuhan otak berlangsung hanya sampai usia 3 tahun.
Kekurangan gizi pada masa kehamilan akan menghambat multiplikasi sel
janin, sehingga jumlah sel neuron di otak dapat berkurang secara permanen.

19

Sedangkan kekurang gizi pada usia anak sejak lahir hingga 3 tahun akan sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan sel glia dan proses
mielinisasi otak. Sehingga kekurangan gizi saat usia kehamilan dan usia anak
sangat berpengaruh terhadap kualitas otaknya. Gizi kurang pada usia di bawah 2
tahun akan menyebabkan sel otak berkurang 15-20%, sehingga anak yang
demikian kelak kemudian hari akan menjadi manusia dengan kualitas otak
sekitar 80-85%.
Pertumbuhan susunan syaraf ini dapat dikatakan berlangsung dengan
cepat sekali selama dalam kandungan dan 3 sampai 4 tahun setelah dilahirkan.
Selama dalam kandungan susunan syaraf yang terutama tumbuh cepat adalah
jumlah dan ukuran sel syaraf. Setelah bayi lahir maka pertumbuhan susunan
syaraf lebih terarah pada perkembangan sel syaraf yang belum berkembang.
Setelah anak berusia lebih dari 4 tahun, pertumbuhan susunan syaraf
berlangsung lebih lambat (Yuliana 2004).
Karakteristik anak
Usia
Usia menentukan perkembangan bahasa anak. Sebagaimana aspek
perkembangan lainnya, perkembangan bahasa juga melalui berbagai tahapantahapan. Perkembangan pada periode sebelumnya akan berpengaruh pada
perkembangan

pada

periode

selanjutnya

(Santrock

2007).

Semakin

bertambahnya usia anak, kemampuan berbahasa anakpun akan semakin
bertambah (Turner & Helms 1990).
Penambahan umur ini terkait dengan jumlah kosakata yang dikuasai,
tingkat kekomplekan kalimat yang dapat dirangkai dan pemahaman pada isi
pembicara orang lain maupun perintah yang ditunjukkan kepada anak. Cara
berpikir anak juga berkembang setiap tahap umur, pada perkembangan kognitif
anak semakin dewasa usia anak semakin kompleks dalam berpikir melalui tahaptahap sesuai tingkatan umur mereka (Santrock 2007).
Jenis kelamin
Jenis

kelamin

menentukan

perkembangan

bahasa

pada

anak

(Soetjiningsih 1995). Perkembangan bahasa melibatkan maturasi dari fungsi
hemisfer kiri otak besar manusia yang merupakan pusat berbicara dan
berbahasa (Turner & Helms 1990). Lebih lanjut Soetjiningsih (1995) pada anak

20

perempuan proses maturasi fungsi verbal hemisfer kiri lebih cepat dibandingkan
pada anak laki-laki. Menurut Hurlock (1980) selain faktor yang alami (nurture),
lingkungan pengasuhan juga menyebabkan perbedaan kemampuan berbahasa
pada anak laki-laki dan permpuan, masyarakat cenderung menghendaki anak
laki-laki lebih sedikit berbicara dibandingkan anak perempuan.
Studi mengenai perbedaan jenis kelamin pada kemampuan intelektual
yaitu laki-laki memiliki skor yang lebih baik daripada wanita dalam beberapa area
non-verbal, seperti berpikir spasial. Sedangkan perempuan memiliki skor lebih
baik daripada pria dalam beberapa area verbal, seperti kemampuan menemukan
sinonim kata-kata dan memori verbal (Santrock 2007)
Karakteristik keluarga
Pendidikan Orang Tua
Pendidikan orang tua, terutama ibu merupakan salah satu faktor penting
dalam tumbuh kembang anak. Ibu yang berpendidikan tinggi lebih terbuka
menerima informasi dari luar tentang cara pengasuhan anak yang baik, menjaga
kesehatan anaknya, pendidikannya dan sebagainya (Soetjiningsih 1995).
Penelitian lain menemukan hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan
ibu dengan perkembangan anak. Penelitian Muljati et al. (2002) juga menemukan
hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan ibu dengan perkembangan
mental anak batita gizi kurang.
Pendidikan ibu akan mempengaruhi perkembangan jika ibu memiliki
pengetahuan yang baik tentang pengasuhan anaknya serta adanya interaksi
yang harmonis antara ibu dan anak. Tanpa kedua hal tersebut pendidikan ibu
yang tinggi tidak serta merta dapat mempengaruhi perkembangan terlebih
kepedulian ibu terhadap tumbuh kembang anak minim. Studi yang dilakukan di
Brazil menunjukkan bahwa pendidikan ibu berpengaruh pada kemampuan ibu
dalam memproses informasi (Thomas et al. 1991). Kemudian Behrman dan
Hoddinot (2005) juga menyatakan bahwa ibu yang memiliki pendidikan tinggi
lebih baik dalam menerima informasi dan berpengaruh pada kesehatan anaknya.
Studi yang dilakukan di Jawa Tengah oleh Webb dan Block (2004) mengenai
pengaruh pendidikan formal ibu terhadap status gizi pada anak, menyatakan
bahwa pendidikan formal ibu memiliki pengaruh terhadap jangka panjang status
gizi anak melalui informasi nutrisi.

21

Menurut Hidayat (2004), pendidikan merupakan panutan manusia untuk
berbuat

dan

mengisi

kehidupannya

serta

sarana

untuk

memperoleh

pengetahuan sehingga mampu meningkatkan kualitas hidupnya. Semakin tinggi
tingkat pendidikan tingkat pendidikan ibu maka semakin baik pengetahuan yang
dimilikinya sehingga komunikasi yang dilakukan pada anak semakin efektif.
Pendapatan keluarga
Faktor pendapatan memiliki peranan besar dalam persoalan gizi dan
kebiasaan makan keluarga terutama tergantung kemampuan keluarga untuk
membeli pangan yang dibutuhkan keluarga tersebut (Azwar 2000). Pendapatan
keluarga mengggambarkan tingkat sosial ekonomi. Kemiskinan merupakan salah
satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kecerdasan anak. Kemiskinan
berkaitan dengan kekurangan makanan, kesehatan lingkungan yang jelek dan
ketidaktahuan. Kemiskinan akan menyebabkan keterbatasan keluarga dalam
menyediakan berbagai fasilitas bermain menyebabkan otak anak kurang
mendapatkan stimulasi. Hal ini dapat menghambat perkembangannya (Depkes
2008).
Menurut Davidof (1991), efek kemiskinan terhadap inteligensi antara lain :
kemiskinan sering dihubungkan dengan kepadatan, kebisingin, ketegangan dan
kondisi hidup yang berubah. Dengan kondisi seperti ini anak-anak kurang
memperoleh informasi baru yang teratur untuk belajar. Kegiatan-kegiatan
tersebut sangat penting untuk perkembangan intelligensi anak.
Efek yang kedua adalah anak yang berasal dari keluarga yang tidak
mampu sedikit sekali memperoleh tambahan kata-kata yang dipergunakan untuk
mengekspresikan diri dan pengalamannya. Keterbatasan perbendaharaan katakata akan mempersempit pemikirannya dan dapat mengakibatkan intelligensi
menurun.
Selanjutnya adalah anak yang berasal dari orang tua miskin, kecil
kemungkinannya untuk dapat meluangkan waktu untuk memberikan pendidikan
pengembangan kemampuan anak, dan sering mereka tidak mengetahui caranya,
karena keterbatasan pendidikannya.
Pendapatan perkapita yang menggambarkan sosioekonomi merupakan
salah satu dasar masalah (basic causes) yang mempengaruhi tumbuh kembang
anak. Hasil studi yang dilakukan oleh Mendez dan adair (1999) menunjukkan
bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga yang miskin bersinergi dengan

22

kekurangan gizi yaitu stunted dengan pencapaian perkembangan kognitif yang
cenderung rendah daripada anak yang berasal dari keluarga sejahtera dan kaya.
Menurut Papalia (1979) anak yang berasal dari keluarga dengan tingkat
sosio-ekonomi yang rendah berkaitan dengan lambatnya perkembangan bahasa
pada anak, ditandai dengan ketidakmatangan pembendaharaan kalimat,
rendahnya pengetahuan kata, berbicara lebih sedikit dibandingkan dengan anak
dari kelas menengah atau kaya. Melalui sosiolinguistik, studi mengenai interaksi
bahasa dengan kelas sosial diketahui bahwa anak yang berasal dari kelas sosial
menengah kebawah mempunyai kematangan berbahasa yang rendah serta
kata-kata yang digunakan tidak kompleks dan lebih singkat serta kurangnya
pengetahuan tentang kata dan kalimat.

Menurut Yusuf (2005) beberapa studi

menjelaskan hubungan antara perkembangan bahasa dengan status ekonomi
keluarga menunjukkan bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga yang miskin
mengalami keterlambatan dalam perkembangan bahasanya dibandingkan anak
berasal dari anak dari keluarga dengan tingkat sosioekonomi yang baik. Kondisi
ini mungkin disebabkan oleh perbedaan kecerdasan atau kesempatan belajar.
Besar keluarga
Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari
ayah, ibu dan anak. Salah satu faktor yang mempengaruhi kecukupan konsumsi
pangan pada suatu rumah tangga adalah jumlah anggota rumah tangga. Bagi
rumah tangga dengan anggota rumah tangga yang banyak, jumlah anggota
rumah tangga biasanya adalah faktor penentu dalam memilih jenis bahan
makanan dan distribusi pangan antar anggota rumah tangga. Biasanya pada
kondisi tersebut, faktor kuantitas lebih diutamakan daripada faktor kualitas
sehingga diharapkan seluruh anggota keluarga dapat tebagi secara merata
(Dariyo 2007).
Besar keluarga mempengaruhi pendapatan per kapita dan pengeluaran
pangan rumah tangga. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendapatan per
kapita dan pengeluaran pangan menurun seiring dengan peningkatan besar
keluarga. Menurut Suhardjo (2003), terdapat pengaruh antara laju kelahiran dan
keadaan gizi keluarga pada masyarakat miskin. Keluarga akan lebih mudah
memenuhi kebutuhan makanannya jika jumlah anggota keluarga yang harus
diberi makan lebih sedikit. Anak yang paling kecil biasanya paling terpengaruh
oleh kekurangan pangan.

23

Besar keluarga berpengaruh pada kualitas pengasuhan yang bermanfaat
pada anak (Nuraeni 1997). Kualitas pengasuhan anak dimaknai sebagai proses
pengalaman berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungan keluarga,
terutama dengan orang tua mengajar, melatih dan memberikan contoh
berbahasa pada anak. Anak yang berasal dari keluarga beranggota sedikit
cenderung memperhatikan perkembangan anak, orang tua lebih banyak
meluangkan waktu dan biaya untuk anak dalam memberikan fasilitas seperti
ma