Infestasi Cacing pada Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) dan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Taman Margasatwa Ragunan

INFESTASI CACING PADA ORANGUTAN KALIMANTAN
(Pongo pygmaeus) DAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii)
DI TAMAN MARGASATWA RAGUNAN

JEFFRY MATHEUS MANURUNG

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Infestasi Cacing pada
Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) dan Orangutan Sumatera (Pongo
abelii) di Taman Margasatwa Ragunan adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2014
Jeffry Matheus Manurung
NIM B04080008

ABSTRAK
JEFFRY MATHEUS MANURUNG. Infestasi Cacing pada Orangutan
Kalimantan (Pongo pygmaeus) dan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Taman
Margasatwa Ragunan. Dibimbing oleh RISA TIURIA dan MUHAMMAD AGIL.
Orangutan kalimantan dan Orangutan Sumatera adalah satwa endemik
Indonesia yang diklasifikasikan oleh CITES dalam Appendix I, yaitu daftar yang
memuat seluruh spesies tumbuhan dan satwa liar yang terancam dari segala
bentuk perdagangan internasional secara komersial. Orangutan termasuk dalam
satwa yang terancam punah akibat berkurangnya lahan hutan dan perdagangan satwa
secara ilegal sehingga memerlukan usaha pelestarian. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui jenis-jenis cacing parasit dalam tubuh orangutan pada habitat
ex-situ dan derajat infestasi cacing khususnya cacing yang siklusnya melibatkan
saluran pencernaan. Sampel tinja segar yang dikoleksi di Taman Margasatwa
Ragunan kemudian dimasukkan kedalam larutan formalin 10%, kemudian
dilakukan pemeriksaan tinja secara natif, modifikasi filtrasi-sedimentasi, dan
perhitungan TTGT (Telur Per Gram Tinja) dengan metode Mc.Master. Feses

diperiksa secara natif dan ditemukan telur cacing dengan tipe ascarid,
strongyloides, trichostrongyloides dan trichurid. Pemeriksaan sedimentasi
dilakukan dengan meggunakan cairan gula-garam dan disaring bertingkat untuk
menahan telur Cestoda, tetapi seluruh sampel tidak menunjukkan hasil positif.
Pemeriksaan tinja orangutan menghasilkan bahwa orangutan positif terinfeksi
cacing Nematoda. Orangutan di Taman Margasatwa Ragunan terinfeksi dengan
derajat infeksi rendah hingga sedang kecuali untuk telur cacing parasit tipe
Trichurid hanya satu individu orangutan yang terinfeksi cacing tersebut.
Kata kunci: Orangutan, Helminthiasis, sampel tinja

ABSTRACT
JEFFRY MATHEUS MANURUNG. Worms Infestation In Bornean Orangutan
(Pongo pygmaeus) And Sumatran Orangutan (Pongo abelii) at Ragunan Zoo.
Supervised by RISA TIURIA dan MUHAMMAD AGIL.
Bornean and Sumatran Orangutans are endemic faunas which are classified
by CITES in Appendix 1, list that contains species of faunas which are threatened
for commercial international trading. Orangutans are included as endangered
animals as the result of the decrease of habitat and illegal hunting so it needs
conservation effort. The purpose of this research are to study the species of
gastrointestinal parasite (worms) in orangutans, such as Strongiloides,

Ancylostoma and Trichostrongiloid that could be transfered within the population
and transmitted from orangutans to human, also to study the degree of worms
infestation in orangutans. Fresh fecal sample was collected in Ragunan Zoo, and
put into buffer formaline 10%. Fecal sample was examined with native
method,modified filtration-sedimentation method and calculating TTGT (egg in
each gram feces) by using Mc.Master method. Fecal sampel was examined

natively and found several worm egg type, those are ascarid, strongiloides,
trichostrongiloid and trichuris. The sedimentation examination was done by using
sugar-salt liquid and filtered levelly for detain trematoda eggs, however all
sampels not showed positive result. Based on the result of fecal examination of
orangutans in Ragunan Zoo showed that Bornean and Sumatran Orangutan were
positively infected by Nematoda worms. Orangutan at Ragunan Zoo were infected
by 4 worm eggs type those are strongiloides type, ascarid type, strongiloid type
and trichurid type. Bornean orangutan and Sumatran orangutan were infected by
ascarid worm egg type and strongiloides worm egg type with low-moderate risk
infection. The strongiloid worm egg type infected the orangutan at Ragunan Zoo
with low risk infection meanwhile the trichurid worm egg type founded only at
one animal.
Key words: Orangutan, Helminthiasis, fecal sample.


INFESTASI CACING PADA ORANGUTAN KALIMANTAN
(Pongo pygmaeus) DAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii)
DI TAMAN MARGASATWA RAGUNAN

JEFFRY MATHEUS MANURUNG

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013

Judul Skripsi : Infestasi Cacing pada Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus)
dan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Taman Margasatwa
Ragunan
Nama

: Jeffry Matheus Manurung
NIM
: B04080008

Disetujui oleh

Drh. Risa Tiuria, MS, Ph.D
NIP.19630430 198703 2001

Dr. Drh. Muhammad Agil, M.Agr
NIP.132 006 129 1

Diketahui oleh

Drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet
NIP.19630810 198803 1004

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada TUHAN atas segala karunia-Nya
kepada saya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini
dilaksanakan sejak bulan Desember 2012 hingga Juli 2013 di Taman Margasatwa
Ragunan.
Terima kasih saya ucapkan kepada Ibu drh. Risa Tiuria, MS dan Bapak Dr.
Drh. Muhammad Agil, M.Agr selaku pembimbing, serta Bapak Tri dan Bapak
Anwar sebagai Keeper Orangutan Baru Taman Margasatwa Ragunan yang telah
banyak memberikan bantuan dalam mengumpulkan data serta saran dalam
menyusun karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih juga saya ucapkan kepada DIPA
BIOTROP atas fasiltas dan dana yang telah diberikan untuk mendukung
penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu,
keluarga serta sahabat-sahabat Avenzoar atas segala doa dan dukungan moral
kepada saya.Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2013
Jeffry Matheus Manurung

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


vii

DAFTAR GAMBAR

vii

PENDAHULUAN

 

Latar Belakang



Perumusan Masalah



Tujuan Penelitian


2

Hipotesis Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA



METODE PENELITIAN

 

Bahan Penelitian



Peralatan Penelitian


3

Lokasi dan Waktu Penelitian

4

Teknik Pemeriksaan Parasitologi



HASIL DAN PEMBAHASAN


 

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan




Saran



DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

8
11

DAFTAR TABEL
1. Rencana subjek pengambilan sampel pada penelitian
2. Jenis-jenis Tipe Telur cacing dan Derajat Infeksi Kecacingan
(TTGT)


6

DAFTAR GAMBAR
1.


Jenis telur cacing yang ditemukan pada orangutan

6

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Orangutan termasuk satwa primata golongan kera besar yang terdapat di
daratan Asia. Orangutan terdiri dari dua spesies yaitu Orangutan Sumatera (Pongo
abelii) dan Orangutan Kalimantan (Pongo pypmaeus). Pongo pygmaeus dibagi lagi
menjadi tiga subspesies, yaitu Pongo pygmaeus morio, Pongo pygmaeus
pygmaeus dan Pongo pygmaeus wurumbii (Brandon-Jones et al 2004; Singleton
et al 2004). Daerah penyebaran orangutan Kalimantan adalah di Kalimantan
Barat sampai Sarawak, Barat Laut Kalimantan yaitu antara Sungai Kapuas dan
Sungai Barito, sedangkan orangutan Sumatera tersebar di Sumatera Utara, Aceh,
Sumatera Barat dan Riau. Populasi orangutan semakin berkurang dari tahun
ke tahun karena perburuan liar, bencana alam dan berkurangnya habitat orangutan.
Orangutan secara resmi berstatus sebagai satwa yang dilindungi yaitu sebagai jenis
satwa yang dilindungi penuh dan dilarang untuk ditangkap, dilukai, dibunuh,
ditahan, dipelihara, dan diperdagangkan baik dalam keadaan hidup maupun mati.
Orangutan diklasifikasikan oleh CITES (Convention On International Trade of
Endangered Species) dalam Appendix I, yaitu daftar yang memuat seluruh spesies
tumbuhan dan satwa liar yang terancam dari kepunahan (CITES.2010).
Perlindungan terhadap orangutan sebagai satwa yang dilindungi juga telah
dituangkan oleh pemerintah dalam Undang Undang No.5 tahun 1990 tentang
konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya (Menlh.1990).
Penurunan populasi orangutan di Indonesia menjadi salah satu bahasan
penting oleh pemerintah Indonesia dengan cara membuat program konservasi, yaitu
dengan cara merehabilitasi orangutan yang ditemukan tersesat di pemukiman
penduduk atau dipelihara secara ilegal. Orangutan tersebut akan dibawa ke tempat
penampungan orangutan sementara atau kebun binatang untuk mendapatkan
program rehabilitasi sebelum kemudian dapat dilepasliarkan ke habitat aslinya.
Proses rehabilitasi orangutan di tempat penampungan atau habitat buatan (ex-situ)
tidak selalu berhasil karena lingkungan baru dan cuaca yang tidak stabil membuat
orangutan menjadi stress dan akibatnya orangutan akan mudah terserang penyakit.
Penyakit yang menyerang orangutan di habitat ex-situ contohnya adalah hepatitis,
penyakit saluran pernapasan, luka karena kecelakaan di kandang, serta penyakit
yang disebabkan oleh endoparasit.
Kecacingan dalam ilmu kedokteran hewan sangat penting sebagai indikator
kesehatan hewan. Beberapa spesies cacing dapat bersifat zoonotik yaitu dapat
berakibat fatal bagi manusia. Cacing parasit yang ditemukan pada orangutan adalah
Strongiloides, Ancylostoma dan Trichostrongiloid yang bersifat zoonotik. Infestasi
oleh cacing dapat mempengaruhi keadaan fisiologis orangutan, misalnya
penurunan bobot tubuh, berkurangnya aktivitas orangutan, stress, dan potensi
mengakibatkan penurunan kekebalan tubuh sehingga mudah terkena penyakit
lainnya. Penyebaran penyakit parasit terjadi akibat kondisi lingkungan orangutan
yang kurang baik, contohnya kandang dengan sanitasi yang kurang terjaga,
perubahan cuaca dan pengolahan pakan yang kurang higienis.

2
Perumusan Masalah
Usaha Pelestarian Orangutan di kebun binatang selalu tidak sesuai dengan
yang diharapkan. Habitat yang tidak sesuai dengan habitat aslinya dapat
membuat orangutan mudah terserang penyakit. Kondisi Cuaca dan sanitasi
yang buruk dapat mendukung terjadinya infeksi parasit yang disebabkan oleh
cacing. Masalah kecacingan di habitat ex-situ seperti di kebun binatang penting
untuk diteliti untuk mendukung kelangsungan hidup orangutan. Informasi
mengenai jenis-jenis cacing yang menginfeksi orangutan juga sangat diperlukan
karena resiko transmisi parasit dari orangutan ke manusia dapat terjadi dari
beberapa spesies cacing yang bersifat zoonosis.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis cacing parasit dan
derajat infeksi cacing pada orangutan di habitat ex-situ.
Hipotesis Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan dapat ditemukan jenis-jenis telur cacing
parasitik pada Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) dan Orangutan Sumatera
(Pongo abelii) di Taman margasatwa Ragunan sehingga pengobatan dan dan
pencegahan dapat dilakukan lebih baik. Oleh karena itu, hipotesa yang diajukan
adalah :
H0 : penelitian ini tidak menemukan telur cacing parasitik pada tinja
orangutan.
H1 : penelitian ini dapat menemukan telur cacing parasitik pada tinja
orangutan.

TINJAUAN PUSTAKA
Orangutan Kalimantan adalah hewan endemis pulau Sumatera yang memiliki
warna rambut coklat tua sampai kehitaman, jantan dewasa memiliki ukuran tubuh
dua kali lebih besar dari ukuran tubuh betina, yaitu 125-150 cm, jantan dewasa
di alam memiliki berat tubuh 50-90 kg, berat tubuh betina di alam adalah 3050 kg dan dapat mencapai 70 kg. Orangutan jantan mempunyai kantong suara
yang dapat mengeluarkan seruan yang panjang. Berdasarkan data PVA (Population
and Habitat Viability Assessment) tahun 2004 populasi orangutan Kalimantan di
Borneo berjumlah sekitar 45.000 – 69.000 ekor (Ancrenaz et al.2008). Orangutan
Kalimantan merupakan satwa langka yang sudah masuk ke dalam status
dilindungi, dan untuk mempertahankan keberadaannya di alam kera besar ini telah
dilindungi melalui Peraturan Perlindungan Binatang Liar Tahun 1931 No. 233 dan
SK Menteri Kehutanan 10 Juni 1991 No. 301/Kpts-II/1991 serta Undang-Undang
No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati. Peraturan
tersebut dibuat agar orangutan dapat terlindungi dari perburuan liar serta penjualan
hewan liar secara illegal.

3
Orangutan Sumatera
(Pongo abelii) adalah hewan endemis dari pulau
Sumatera, memiliki morfologi sebagai berikut, yaitu warna rambut yang coklat
kekuningan serta agak tebal dan panjang, jantan dewasa memiliki ukuran tubuh dua
kali lebih besar dari ukuran tubuh betina, yaitu 125-150 cm, jantan dewasa di alam
memiliki berat tubuh 50-90 kg dan berat tubuh betina di alam adalah sekitar 3050 kg dan dapat mencapai 70 kg. Populasi Orangutan Sumatera (Pongo
pygmaeus abelii) pada tahun 2004 diperkirakan berjumlah 7.300 ekor (Wich et
al.2008; Singleton et al .2004). Sekitar tahun 1990 diperkirakan terdapat 200.000
ekor orangutan. Kondisi ini menyebabkan kelangsungan hidup Orangutan
Sumatera semakin terancam punah. Saat ini status konservasi Orangutan
Sumatera berdasarkan IUCN (International Union for Conservation of Nature
and Natural Resources) orangutan masuk dalam kategori critically endangered
(IUCN 2008). Salah satu alasannya adalah informasi tentang perilaku,
keberadaan, penyakit dan nasibnya di alam tidak cukup tersedia, sedangkan di
alam banyak gangguan yang terjadi terhadap hutan sebagai habitatnya sehingga
kondisi populasinya terus menurun (Meijaard et al.2001).
Parasit adalah organisme yang hidup pada atau dalam organisme lain dan
atas beban organisme yang ditumpanginya (inang/host). Parasit dalam arti luas
mencakup kuman, virus, kapang, protozoa, helminth dan arthropoda serta semua
organisme yang merugikan bagi inangnya,sedangkan dalam pengertian sehari-hari
parasit hanya mencakup protozoa,helminth, dan arthropoda (Taylor.2007).
Helminth adalah kelompok cacing parasitik dan nonparasitik yang terdiri dari
filum Platyhelminthes (cacing pipih) dan Nemathelminthes (cacing gelang).
Penyebaran penyakit parasit terjadi akibat kondisi lingkungan orangutan yang
kurang baik contohnya kandang dengan sanitasi yang kurang terjaga, perubahan
cuaca dan pengolahan makanan yang kurang higienis. Salah satu parasit yang
sering ditemukan terutama pada orangutan adalah dari ordo Strongyloides. Parasit
ini menginfeksi orangutan pada usia antara 6 bulan sampai 5 tahun. Gejala yang
khas apabila orangutan terkena nematoda ini adalah adanya diare yang persisten.

METODE PENELITIAN
Bahan Penelitian
Penelitian ini menggunakan tinja segar Orangutan Kalimantan (Pongo
pygmaeus) dan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) yang berada di Taman
Margasatwa Ragunan. Tinja tersebut kemudian dilarutkan dalam larutan formalin
10% (Gillespie. 2006). Bahan lain yang digunakan pada penelitian ini adalah
larutan pengapung (campuran gula dan garam) dan methylene blue.

Peralatan Penelitian
Peralatan yang digunakan selama penelitian adalah tusuk gigi, fecal
container, gelas plastik, sendok, sarung tangan, masker, spatula, pinset, gelas ukur,
rak tabung reaksi, tabung reaksi, spoit ukuran 50 ml dan 10 ml, saringan dengan

4
ukuran lubang 750-900 x 600-675 µm, label, cawan petri, object glass, cover
glass, counting chamber, mikroskop, pipet pasteur, kamera, kamar hitung
Mc.Master, mikroskop cahaya, lemari es, timbangan, pipet plastik, lembar
pencatatan dan kamera digital.

Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian
Penelitian dimulai pada bulan Desember 2013 hingga Juli 2013. Penelitian
ini dilakukan di Taman Margasatwa Ragunan dan Laboratorium Endoparasit
Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH
IPB. Objek yang diteliti adalah tinja Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus
pygmaeus) dan seekor Orangutan Sumatera.
Tabel 1 Rencana subjek pengambilan sampel pada penelitian
No.
1
2
3
4
5
6

Spesies
Pongo pygmaeus
Pongo pygmaeus
Pongo pygmaeus
Pongo pygmaeus
Pongo pygmaeus
Pongo abelii

Jenis






Nama
Puri
Saimah
Amida
Inah
Ningsih

Umur
24
25
26
43

Lokasi
Orangutan Utara
Ulla V.M
Orangutan Baru
Tunnel PPS
Orangutan Baru



Ratna

15

Ulla V.M

Teknik Pemeriksaan Parasitologi
Pengambilan sampel dilakukan pada pagi hari untuk memperoleh tinja
orangutan yang masih segar. Sebelum dimasukkan kedalam tabung koleksi feses
diperiksa secara makroskopik yaitu melihat adanya darah, mukus, proglotid
cacing pita, cacing dewasa, dan konsistensi feses. Tabung koleksi telah diisi
sebelumnya dengan larutan formalin 10%. Perbandingan formalin dengan feses
adalah 4:1 yaitu 20 ml formalin 10% untuk 5 gram tinja. Kemudian tabung diberi
label berupa nomor identitas,tanggal dan waktu koleksi,inisial kolektor, nama
fokal,dan lokasi kandang. Selanjutnya tabung dikocok untuk memaksimalkan
kontak antara larutan formalin dan feses. Untuk mencegah kebocoran, tabung
ditutup dan dilapisi parafilm kemudian tinja disimpan dalam lemari pendingin.
Penelitian menggunakan metode pengamatan tinja melalui pendekatan kualitatif
dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif dilakukan dengan cara memeriksa sampel
tinja secara natif dan metode modifikasi filtrasi-sedimentasi sedangkan
pendekatan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan metode Mc.Master.
Analisis data di lakukan secara deskriptif melalui hasil identifikasi dan perhitungan
telur cacing dalam tiap gram tinja. Pemeriksaan secara natif dilakukan dengan cara
tinja diambil sedikit dengan menggunakan lidi atau tusuk gigi dan diletakkan pada
object glass, lalu diratakan sampai homogen, kemudian ditutup dengan cover
glass. Pemeriksaan dilakukan dengan mikroskop perbesaran 10 kali (Subekti dkk.
2007). Pemeriksaan telur trematoda dilakukan dengan metode modifikasi filtrasisedimentasi. Tinja ditimbang sebanyak 1 gram kemudian dimasukkan ke dalam
gelas dan dihomogenkan menggunakan air sebanyak 10 ml, diaduk lalu disaring

5
dengan saringan teh. Penyaringan dilanjutkan dengan menggunakan saringan
bertingkat berukuran 400 μm, 100 μm, dan 45 μm. Filtrat yang tersaring pada
saringan ukuran 45 μm dimasukkan ke dalam gelas Baerman. Selanjutnya
ditambahkan air sampai penuh lalu didiamkan selama 10 sampai 15 menit.
Kemudian supernatan dibuang sedangkan sedimennya dibiarkan mengendap.
Perlakuan ini diulang sampai diperoleh supernatan yang jernih. Sedimen yang
terdapat pada dasar gelas Baerman dimasukkan ke dalam cawan petri bergaris dan
ditambah methylene blue. Kemudian diperiksa di bawah mikroskop dengan
perbesaran 10 kali dan 40 kali (Willingham et al.1998). Metode Mc.Master di
gunakan untuk mengetahui jumlah telur cacing per gram tinja. Metode Mc.Master
dilakukan dengan cara mengambil sampel tinja sebanyak 2 gram, kemudian di
tambahkan larutan pengapung (campuran gula-garam) 58 ml lalu di aduk hingga
larut. Tinja yang sudah larut di saring kemudian hasil saringan dimasukkan ke
dalam Mc.Master counting chamber dengan pipet. Telur dihitung dengan
menggunakan mikroskop pada pembesaran 10 kali kemudian telur per gram tinja
(TTGT) dihitung menggunakan rumus TTGT = n/bt:vg/vk (Ministry or
Agriculture, Fisheries and Food. 1986).
Keterangan :
TTGT = n/bt:vg/vk
= n/2:60/0.3
= n/2:200
= nX100
n = jumlah telur yang ditemukan dalam kamar hitung
bt = berat tinja (gram) = 2 gram
vg = volume larutan pengapung + tinja (ml) = 58 ml + 2 gram = 60 ml
vk = volume kamar hitung (vk = 0,15 ml/kamar) = 2 kamar = 0.3 ml

HASIL DAN PEMBAHASAN
Terdapat 4 tipe telur cacing yang ditemukan pada Orangutan Kalimantan
dan Orangutan Sumatera yaitu tipe strongiloides, tipe ascarid, tipe strongiloid dan
tipe trichurid. Menurut Mul et al. 2007., cacing Ascarid sp., Strongiloides sp.,
Trichostrongylus sp. dan Trichuris sp. biasa ditemukan pada orangutan. Derajat
infeksi cacing trematoda pada Orangutan Kalimantan dan Orangutan Sumatera
adalah ringan atau tidak ada sama sekali yang terlihat dari hasil pemeriksaan tinja
secara sedimentatif yang ditunjukkan dengan hasil negatif pada seluruh sampel
tinja. Faktor penyebab kemungkinan tidak ditemukannya cacing trematoda pada
pemeriksaan dengan metode modifikasi filtrasi-sedimentasi adalah waktu
pengambilan sampel yang tidak tepat (telur belum dikeluarkan bersama feses) dan
penyebaran telur cacing pada tinja yang tidak merata (Kusumamiharja.1992;
Hansen & Perry. 1994) serta kemungkinan orangutan memang tidak terinfeksi
cacing trematoda. Cacing jenis trematoda umum ditemukan pada orangutan yang
hidup di alam liar. Jenis cacing trematoda yang pernah dilaporkan ditemukan pada
orangutan adalah Dicrocoeliidae sp. dan Gasterodiscoides sp. (Mul et al.2007).

6

a

b

c

d

Gambar 1 Jenis telur cacing yang ditemukan pada orangutan
a. Tipe telur Strongiloides (Perbesaran 40x10)
b. Tipe telur Ascarid (Perbesaran 40x10)
c. Tipe telur Strongiloid (Perbesaran 40x10)
d. Tipe telur Trichurid (Perbesaran 40x10)
Gejala klinis kecacingan berhubungan dengan nilai derajat infeksi. Infeksi
parasit dengan derajat sedang ditunjukkan dengan perubahan patologi anatomi dan
histopatologi yang belum tentu menunjukkan gejala klinis. Sedangkan pada
derajat infeksi yang ringan tubuh inang masih mampu mengatasi infeksi tersebut
sehingga tidak menunjukkan gejala klinis (Gillespie. 2006). Orangutan
Kalimantan dan Orangutan Sumatera terinfeksi cacing dengan jumlah TTGT
terhadap Tipe telur cacing Ascarid, Strongiloides, Strongiloid dan Trichurid yang
bervariasi sedangkan untuk infeksi tipe telur cacing Trichurid hanya ditemukan
pada 1 ekor orangutan. Hasil pemeriksaan TTGT menunjukkan bahwa orangutan
terinfeksi telur cacing tipe ascarid dengan derajat infeksi rendah hingga sedang.
Kejadian infeksi kecacingan yang tinggi dapat disebabkan oleh pakan dan air yang
telah terkontaminasi tinja yang mengandung telur cacing. Jenis-jenis tipe telur
dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2 Jenis-jenis Tipe Telur cacing dan Derajat Infeksi Kecacingan (TTGT)
Nama

Sedimentasi

PURI
RATNA
SAIMA
AMIDA
NINGSIH
INAH

-

Keterangan:
A : Tipe Telur Ascarid
S : Tipe Telur Strongiloides

Σ Infeksi Cacing Parasit (TTGT)
A
S
H
T
500
225
250
0
125
100
125
0
850
550
25
0
575
250
25
0
375
75
0
0
550
200
300
75
T : Tipe Telur Trichurid
H : Tipe Telur Strongiloid

Derajat infeksi cacing trematoda pada Orangutan Kalimantan dan Orangutan
Sumatera adalah ringan atau tidak ada sama sekali, yang terlihat dari hasil
pemeriksaan tinja secara sedimentatif yang menunjukkan hasil negatif pada
seluruh sampel tinja. Faktor penyebab tidak ditemukan cacing trematoda pada
pemeriksaan dengan metode modifikasi filtrasi-sedimentasi adalah waktu
pengambilan sampel yang tidak tepat (telur belum dikeluarkan bersama feses) dan
penyebaran telur cacing pada tinja yang tidak merata (Kusumamiharja.1992;
Hansen & Perry. 1994) serta kemungkinan orangutan memang tidak terinfeksi

7
cacing trematoda. Cacing jenis trematoda umum ditemukan pada orangutan yang
hidup di alam liar (Mul et al.2007). Siklus perkembangan cacing trematoda
contohnya cacing Fasciola, dimulai dari telur yang keluar bersama feses.
Perkembangan dari stadium telur sampai metasecaria hanya dapat terjadi pada
lingkungan yang tergenang air yang bertindak sebagai faktor pembatas siklus
hidup cacing di luar tubuh ternak (Noble dan Elmer.1989).
Infeksi telur cacing tipe Ascarid dan Strongiloides sangat berbahaya jika
dibiarkan lama dalam derajat infeksi tinggi. Derajat infeksi yang tinggi dapat
menyebabkan inflamasi mukosa, ulserasi, disentri, penurunan berat badan, dan
kematian (Roberts & Janovy, 2009). Gejala tersebut dapat terlihat pada orangutan
dan manusia (Pappas et al. 1999). Infeksi telur tipe cacing Ascarid dengan derajat
tinggi dapat menyebabkan individu yang terinfeksi menjadi malnutrisi, gangguan
kognitif, obstruksi intestinal,dan prolapsus rektal (Roberts & Janovy. 2009).
Infeksi cacing tipe telur strongiloid dapat menyebabkan anemia dan eosinofilia
serta radang mukosa usus halus hingga radang kantong empedu. Infeksi cacing
tipe telur Trichurid dapat menyebabkan rasa sakit saat buang air besar, diare
berdarah dan prolapsus rektal.
Penyakit kecacingan pada orangutan di Taman Margasatwa Ragunan dapat
ditularkan ke manusia dan hewan lain demikian juga sebaliknya. Parasit dapat
berpindah dari orangutan ke manusia karena kedua spesies memiliki kesamaan
genetik hingga 96.4% (Miyamoto. 1988; Chen & Li. 2001), artinya manusia yang
berhubungan dekat dengan orangutan memiliki resiko tinggi terhadap zoonosis.
Penularan penyakit dari manusia ke orangutan juga dapat terjadi. Kera besar
(gorilla,simpanse dan orangutan) dan manusia dapat saling menularkan penyakit
(Wallis and Lee. 1999; Woodford et al. 2002) dan salah satunya adalah penyakit
kecacingan. Parasit saluran pencernaan pada orangutan sebelumnya ternyata
terdapat juga di manusia yang ada di Indonesia (Cross et al. 1976; Putrali et al.
1977; Joseph et al. 1978) termasuk di dalamnya Protozoa (Entamoeba, Endolimax,
Iodamoeba, Balantidium and Giardia), nematoda (Strongyloides, Ascardia,
Enterobius, Trichuris dan hookworms), cestoda (Hymenolepis) and trematoda
(Dicrocoeliids).
Pengunjung atau keeper yang melakukan kontak fisik diketahui memiliki
potensi yang tinggi terinfeksi penyakit zoonotik dari orangutan. Sama halnya
dengan benda-benda seperti mainan atau sampah yang berada di dalam kandang
yang telah terkontaminasi oleh kotoran orangutan (Dellatore.2007). Infeksi parasit
sampai menimbulkan gejala klinis pada inang dapat terjadi ketika kekebalan tubuh
inang turun, yang dapat disebabkan oleh stress, masa kehamilan, kondisi fisik
yang buruk, umur tua atau hewan sedang sakit (Mul et al.2007). Untuk mencegah
terjadinya infeksi silang cacing parasit pada hewan dalam penangkaran ek-situ,
pengelola dapat melakukan pemeriksaan berkala, yaitu general check up setiap
enam bulan sekali, meliputi pengukuran berat badan, dan pemeriksaan tinja.
Sedangkan untuk pemeliharaan harian, hewan dapat diberikan vitamin penambah
nafsu makan. Pemeriksaan berkala terhadap keeper yang bertugas juga disarankan
untuk mencegah penyebaran penularan penyakit. Untuk mengatasi penyakit
kecacingan dapat dilakukan pemberian obat cacing seperti ivermectin dan
mebendazole serta dapat dilakukan pengendalian berupa pemutusan siklus hidup
cacing parasit.

8

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Orangutan di Taman Margasatwa Ragunan terinfeksi cacing parasit dengan
4 macam tipe telur cacing yaitu tipe Strongiloides, tipe Ascarid, tipe Strongiloid
dan tipe Trichurid. Orangutan Kalimantan dan Orangutan Sumatera terinfeksi
telur cacing tipe Ascarid dan telur tipe Strongiloides dengan derajat infeksi rendah
hingga sedang. Cacing tipe telur Strongiloid menginfeksi dengan derajat infeksi
rendah sedangkan untuk tipe telur cacing Trichurid hanya ditemukan pada 1 ekor
orangutan.

Saran
Rekam medik dari pengelola kebun binatang sangat diperlukan sebagai
tinjauan penelitian. Rekam medik yang diperlukan berupa waktu individu
diberikan obat cacing, daftar individu yang terkena penyakit cacingan dan hasil
pemeriksaan tinja orangutan untuk melengkapi data penelitian serta perlu
dilakukan penelitian lanjutan mengenai jenis cacing parasit hingga tingkat spesies.

DAFTAR PUSTAKA
Ancrenaz M, Marshall A, Goossens B, Van Schaik C, Sugardjito J, Gumal M,
Wich S.2008.Pongo pygmaeus. IUCN Red List of Threatened Species Version
2013.1 [Internet]. [diunduh 11 Juni 2013].Tersedia pada: http//www.
iucnredlist.org.
Brown HW.1979.Dasar Parasitologi Klinis. Edisi ke-3.Rukmono B, Hoedojo,
Djakaria NS, Soeprihatin SD, Margono SS, Oemijati S, Gandahusada S,
Pribadi W, penerjemah.Jakarta (ID):PT Gramedia.Terjemahan dari: Basic
Clinical Parasitology.
[CDC] Center for Disease Control and Prevention. 2009. Parasites and Health:
Ascaridiasis, Strongiloidesiasis, Trichuriasis, Trichostrongylosis. Atlanta
(USA): Center for Disease Control and Prevention.
Chapman CA, Wasserman MD, Gillespie TR, Speirs ML, Lawes MJ, Saj TL,
Ziegler TE.2006.Do food availability, parasitism, and stress have synergistic
effects on red colobus populations living in forest Fragments?. Am J Phys
Anthropol.534:525-534.
Chen FC,Li WH.2001.Genomic divergences between humans and other
hominoids and the effective population size of the common ancestor of
humans and chimpanzees.American Journal of Human Genetics.68: 444–456.
[CITES]
Convention
On
International
Trade
In
Endangered
Species.2010.Appendices [Internet]. [diunduh 11 Oktober 2013]. Tersedia
pada: http://www.cites.org/eng/ resources/pub/checklist11/Appendices.pdf.

9
Cross JH, Clarke MD, Cole WC, Lien JC, Partono F, Djakaria JA, Oemijati S.
1976. Parasitik infections in humans in West Kalimantan (Borneo), Indonesia.
Trop Geo Med.28: 121–130.
De Coster G, De Neve L, Martín-Gálvez D, Therry L, Lens L.2010. Variation in
innate immunity in relation to ectoparasite load, age and season: a field
experiment in great tits (Parus Major). Journal of Experimental Biology. 213:
3012-3018.
Dellatore DF.2007.Behavioural Health of Reintroduced Orangutans (Pongo
abelii) in Bukit Lawang, Sumatra Indonesia [disertasi].Headington (UK):
Primate Conservation of Oxford Brookes University.
Gandahusada S, Ilahude HD, Pribadi W.2003.Parasitologi Kedokteran. Jakarta (ID):
Balai Penerbit FKUI.
Gillespie TR.2006.Noninvasive assessment of gastrointestinal parasite infections
in free-ranging primates. International Journal of Primatolog. 27:1129-1143.
Gillespie TR, Nunn CL, Leendertz FH. 2008. Integrative approaches to the study of
primate infectious disease: implications for biodiversity conservation and global
health.Yearbook of Physical Anthropology.51:53–69.
Hansen J, Perry B. 1994. The epidemiology, diagnosis and control of helminth
parasites of ruminants [Internet]. [diunduh 11 juni 2013].Tersedia pada:
http://www.articlebase.com/print/473820.
[IUCN] International Union for Conservation of Nature.2009. IUCN Red List of
Threatened Species Version 2009.United Kingdom (UK):IUCN Species Survival
Commision.
Jones DB et al.2004. Asian Primate Classification. Int J Primatology 25(1):Meijaard
E, Rijksen HD. 2001. Di Ambang Kepunahan! Kondisi Orangutan Liaradi
Awal Abad ke-21. Penerjemah:Kartikasari SN. Jakarta: The Gibbon
foundation Indonesia.
Joseph SW, Carney WP, Van Peenen PF, Russell D, Saroso JS.1978.Human
parasitosis of the Malili area, South Sulawesi (Celebes), Indonesia. Southeast
Asian J Trop Med and Pub Health.9:264–271.
Kusumamihardja S. 1995.Parasit dan Parasitosis pada Hewan ternak dan Hewan
Piaraan di Indonesia.Bogor (ID):Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB.
[MOAFF]Ministry of Agriculture, Fisheries and Food. 1986. Manual of Veterinary
Parasitological Laboratory Techniques. London (UK): Her Majesty’s
Stationary Office.
[Menlh] Kementrian Lingkungan Hidup.1990. Undang undang no. 5 tahun 1990
Tentang : konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya [Internet].
[diunduh 11 Oktober 2013].Tersedia pada: http://bk.menlh.go.id/files/UU590.pdf.
Miyamoto MM, Koop BF, Slightom JL, Goodman M, Tennant MR.1988.
Molecular systematics of higher primates: genealogical relations and
classification [Internet]. [diunduh 11 Juni 2013]. Tersedia pada:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC282245.pdf.
Mul IF, Paembonan W, Singleton I, Wich SA, Bolhuis HG.2007.Intestinal
parasites of free-ranging, semicaptive,and captive Pongo abelii in SumatraIndonesia. International Journal of Primatology. 28: 407-420.

10
Noble AG, Elmer RN.1989.Parasitologi Biologi Parasit Hewan. Edisi ke-5.
Wardiarto, penerjemah.Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press.
Terjemahan dari : Parasitology The Biology of Animal Parasites.
Pappas PW,Barley AJ,Wardrop SM.1999.Hymenolepis Diminuta: glucose and
glycogen gradients in the adult tapeworm. Experimental Parasitology 91:315–
326.
Putrali J, Carney WP, Stafford EE, Tubo S.1977.Intestinal and blood parasites in
Banggai, Central Sulawesi, Indonesia.Southeast Asian J Trop Med and Pub
Health.8:375–379.
Roberts LS, Janovy J. 2009. Foundations of parasitology.Edisi ke-8.New York
(US):McGraw-Hill.
Singleton I, Wich SA, Griffiths M. 2008. Pongo abelii.IUCN Red List of
Threatened Species Version 2013.1 [Internet]. [diunduh 11 Juni 2013].
Tersedia pada: http//www.iucnredlist.org.
Subekti S, Koesdarto SS, Mumpuni HP, Kusnoto.2007.Penuntun Praktikum Teknik
Laboratorium. Jakarta (ID): Departemen Pendidikan Nasional Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.
Supriatna J, Wahyono EH.2000.Panduan Lapangan Primata Indonesia.Jakarta (ID)
Yayasan Obor Primata Indonesia.
Taylor MA, Coop RL, Wall RL.2007.Veterinary Parasitology. Iowa
(US):Blackwell publishing.
Wallis J, Lee DR.1999.Primate conservation: the prevention of disease
transmission.International Journal of Primatology. 20 (6):803-826.
Mc.Master HV.1948. Some Modification of the McMaster Helmint Egg Counting
Technique and Apparatus . J Of the Cour on Press of Stor Cer. 219-239.
Wich SA, Meijaard E, Marshall AJ, Husson S, Ancrenaz M, Lacy RC, Van Schaik
CP, Sugardjito J, Simorangkir T, Traylor-Holzer K, Doughty M, Supriatna J,
Dennis R, Gumal M, Knott CD, Singleton I.2008.Distribution and conservation
status of the orang-utan (Pongo sp.) on Borneo and Sumatra: how many
remain? Oryx.42:329-339.
Woodford MH, Butynski TM, Karesh WB.2002.Habituating the great apes: the
disease risks.Oryx.36 (2):153-160.

11

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Liwa-Lampung Barat pada tanggal 17 Juli 1990 dari
ayah G.Manurung dan ibunda Dwi Krismawati. Penulis merupakan anak pertama
dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan TK Negeri 1 Liwa
pada tahun 1996 dan SD Negeri 1 Liwa pada tahun 2002 serta SMP Negeri 1
Liwa pada tahun 2005. Pada tahun 2008 penulis menyelesaikan pendidikan pada
SMA Negeri 1 Liwa dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa
kedokteran hewan IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif pada berbagai kepanitiaan dan
organisasi di dalam kampus. Penulis juga aktif dalam Unit Kegiatan Mahasiswa
Uni Konservasi Fauna (UKF) hingga semester 4, Himpunan Organisasi Hewan
Kesayangan dan Satwa Akuatik (Himpro HKSA) mulai dari tahun 2009, dan
Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB bidang Komisi Pelayanan Anak hingga saat
ini. Diluar kampus, penulis aktif dalam Ikatan Alumni Kelompok Ilmiah Remaja
(KIR) SMA Negeri 1 Liwa dan Ikatan Alumni English Club SMA Negeri 1 Liwa.