Identifikasi Keragaman Dna Mikrosatelit Lokus CSSM066, ILSTS029 Dan ILSTS061 Pada Sapi Katingan Di Kalimantan Tengah

(1)

IDENTIFIKASI KERAGAMAN DNA MIKROSATELIT

LOKUS CSSM066, ILSTS029 DAN ILSTS061 PADA

SAPI KATINGAN DI KALIMANTAN TENGAH

SKRIPSI REVY PURWANTI

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(2)

RINGKASAN

REVY PURWANTI. 2011. Identifikasi Keragaman DNA Mikrosatelit Lokus CSSM066, ILSTS029 dan ILSTS061 pada Sapi Katingan di Kalimantan Tengah. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M. Agr. Sc Pembimbing Anggota : Dr. Jakaria, S.Pt. M.Si

Sapi Katingan adalah salah satu ternak sapi yang hidup di Kalimantan Tengah yang hanya dipelihara oleh suku Dayak dan umumnya dipelihara di sepanjang aliran sungai Katingan. Sapi Katingan masih sangat terbatas informasi data dasar khususnya data DNA mikrosatelit. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman DNA mikrosatelit lokus CSSM066, ILSTS029 dan ILSTS061 pada sapi Katingan di Kalimantan Tengah.

Sampel darah yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 70 sampel yang berasal dari dari tiga sub populasi yaitu sub populasi Pendahara 26 sampel, Buntut Bali 13 sampel dan Tumbang Lahang 31 sampel. Amplifikasi DNA dilakukan dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) kemudian dielektroforesis menggunakan gel poliakrilamid 6% dan dilanjutkan dengan pewarnaan perak. Data dianalisis menggunakan frekuensi alel, frekuensi genotipe, derajat heterozigositas dan pohon genetik.

Lokus CSSM066 menghasilkan 9 alel dengan macam alel E, F, G, I, J, K, M, L dan O dengan panjang alel 168-188 bp. Frekuensi alel tertinggi adalah alel G (0.385) pada sub populasi Buntut Bali dan terendah adalah alel O (0.017) pada sub populasi Tumbang Lahang. Frekuensi genotipe tertinggi adalah GG (0.385) pada sub populasi Buntut Bali. Lokus ILSTS029 menghasilkan 16 alel dengan macam alel F, G, H, I, J, K, L, M, N, O, R, T, U, E, P dan V dengan panjang alel 159-180 bp. Frekuensi alel tertinggi adalah alel L (0.333) pada sub populasi Buntut Bali dan terendah adalah alel H, P dan V (0.017) pada sub populasi Tumbang Lahang. Frekuensi genotipe tertinggi yaitu JL (0.333) pada sub populasi Buntut Bali. Lokus ILSTS061 menghasilkan 14 alel dengan macam alel D, E, F, G, H, I, K, L, M, N, O, C, B dan P dengan panjang alel 136-164 bp. Frekuensi alel tertinggi adalah alel G (0.308) pada sub populasi Buntut Bali dan terendah adalah alel G dan I (0.021) pada sub populasi Pendahara. Frekuensi genotipe tertinggi yaitu GG (0.308) pada sub populasi Buntut Bali.

Nilai heterozigositas tertinggi pada penelitian ini adalah sebesar =0.7333 pada sub populasi Tumbang Lahang lokus ILSTS029, sedangkan yang terendah

sebesar =0.0000 pada sub populasi Pendahara lokus CSSM066. Nilai rataan

heterozigositas tertinggi ditemukan pada lokus ILSTS029 ( =0.6558) dan terendah pada lokus CSSM066 ( =0.1692).


(3)

ABSTRACT

Identification Polymorphism of CSSM066, ILSTS029 and ILSTS061 Microsatellite DNA Loci on Katingan Cattle in Central Kalimantan

Purwanti, R. , C. Sumantri, and Jakaria

The objective of this study was to identify the polymorphism of CSSM066, ILSTS029 and ILSTS061 microsatellite DNA loci on Katingan cattle in Central Kalimantan. The blood samples used in this study was 70 samples originated from the three sub populations of Pendahara sub populations (26 samples), Buntut Bali (13 samples) and Tumbang Lahang (31 samples). DNA amplification was done by using Polymerase Chain Reaction (PCR) then electrophoresed using 6% polyacrylamide gel followed by silver staining. Data were analyzed using allele frequency, genotype frequency, degree of heterozygosity and genetic tree. The result showed that CSSM066, ILSTS029 and ILSTS061 microsatellite DNA loci were high polymorphisms. CSSM066 locus had 9 alleles with a length of 168-188 bp allele. The highest allele frequency was allele G (0.385) in Buntut Bali sub populations and the lowest allele O (0.017) in Tumbang Lahang sub populations. ILSTS029 locus had 16 alleles with a length of 159-180 bp allele. The highest allele frequency was allele L (0.333) in Buntut Bali sub populations and lowest allele H, P and V (0.017) in Tumbang Lahang sub populations. ILSTS061 locus had 14 alleles with a length of 136-164 bp allele. The highest allele frequency was allele G (0.308) in Buntut Bali sub populations and the lowest is allele G and I (0.021) in Pendahara sub populations. The highest heterozygosity values was found in Tumbang Lahang sub

population ( =0.7333) ILSTS029 locus and lowest in Pendahara sub population

( =0.0000) for CSSM066 locus. The highest heterozigosity average was found

( =0.6558) in ILSTS029 locus and the lowest ( =0.1692) in CSSM066 locus.


(4)

IDENTIFIKASI KERAGAMAN DNA MIKROSATELIT

LOKUS CSSM066, ILSTS029 DAN ILSTS061 PADA

SAPI KATINGAN DI KALIMANTAN TENGAH

REVY PURWANTI D14070008

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(5)

Judul : Identifikasi DNA Mikrosatelit Lokus CSSM066, ILSTS029 dan ILSTS061 pada Sapi Katingan di Kalimantan Tengah

Nama : Revy Purwanti NIM : D14070008

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.) (Dr. Jakaria, S.Pt. M.Si) NIP: 19591212 198603 1 004 NIP. 19660105 199303 1 001

Mengetahui: Ketua Departemen

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.) NIP: 19591212 198603 1 004


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 20 Juni 1988 di Kuantan Singingi Riau. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Bahtiar dan Ibu Mardiati.

Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 2001 di SD Negeri 015 Pasar Gunung, Gunung Toar, Kuantan Singingi. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2004 di SLTP N 1 Gunung Toar, Kuantan Singingi dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2007 di SMA N 1 Teluk Kuantan, Kuantan Singingi, Riau.

Penulis diterima sebagai mahasiswa pada departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2007. Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif di Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Peternakan IPB periode 2008-2009, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Peternakan IPB periode 2009-2010 dan Organisasi Mahasiswa Daerah Riau (IKPMR).


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa dipersembahkan ke hadirat Allah SWT yang selalu memberikan rahmat dan hidayahNya kepada penulis sehingga penelitian dan penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi yang berjudul Identifikasi Keragaman DNA Mikrosatelit Lokus CSSM066, ILSTS029 dan ILSTS061 pada Sapi Katingan di Kalimantan Tengah ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Sapi Katingan merupakan salah satu jenis sapi yang hidup di Kalimantan Tengah. Sapi ini dipelihara oleh masyarakat Dayak saja secara ektensif di sepanjang aliran sungai Katingan. Sapi Katingan berpotensi sebagai penghasil daging yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat. Peningkatan potensi tersebut dapat dilakukan dengan meningkatkan produktivitas ternak melalui pemanfaatan teknologi reproduksi dan teknologi DNA. Salah satu teknologi DNA yang digunakan untuk mengidentifikasi keragaman DNA adalah marker atau penciri DNA mikrosatelit. Penciri DNA mikrosatelit yang digunakan untuk studi keragaman pada penelitian ini adalah lokus CSSM066, ILSTS029 dan ILSTS061.

Bogor, April 2011


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... i

ABSTRACT ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

RIWAYAT HIDUP ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Sapi Lokal Indonesia ... 3

Sapi Katingan ... 4

Keragaman Genetik ... 8

Penanda Genetik ... 9

DNA Mikrosatelit ... 10

Kegunaan DNA Mikrosatelit ... 10

METODE ... 12

Lokasi dan waktu ... 12

Materi ... 12

Sampel Darah Sapi Katingan ... 12

Ekstraksi DNA ... 13

Primer ... 13

Amplifikasi DNA ... 13

Polyacrilamide Gel Electrophoresis (PAGE) ... 13

Pewarnaan Perak ... 13

Prosedur ... 14

Pengambilan Sampel Darah ... 14

Ekstraksi DNA ... 14

Amplifikasi DNA ... 14

Elektroforesis DNA ... 14


(9)

viii

Analisis Data ... 15

Frekuensi Alel ... 15

Frekuensi Genotipe ... 15

Derajat Heterozigositas ... 16

Jarak Genetik dan Pohon Genetik ... 16

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17

Amplifikasi DNA Mikrosatelit ... 17

Keragaman DNA Mikrosatelit ... 21

Lokus CSSM066 ... 21

Lokus ILSTS029 ... 24

Lokus ILSTS061 ... 27

Derajat Heterozigositas ... 31

Jarak Genetik ... 33

KESIMPULAN DAN SARAN ... 34

Kesimpulan ... 34

Saran ... 34

UCAPAN TERIMAKASIH ... 35

DAFTAR PUSTAKA ... 36


(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Raataan dan Simpangan Baku Bobot Badan Sapi Katingan Dewasa

Berdasarkan Lokasi dan Jenis Kelamin ... 5

2. Informasi Primer Mikrosatelit Lokus CSSM066, ILSTS029 dan ILSTS061 ... 13

3. Jenis dan Ukuran Alel Lokus CSSM066 pada Sapi Katingan ... 22

4. Jenis dan Ukuran Alel Lokus ILSTS029 pada Sapi Katingan ... 25

5. Jenis dan Ukuran Alel Lokus ILSTS061 pada Sapi Katingan ... 28

6. Jumlah Alel pada Berbagai Sapi dan Persilangannya ... 30

7. Derajat Heterozigositas Sub Populasi Pendahara, Buntut Bali dan Tumbang Lahang ... 32


(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Variasi Tonjolan di Kepala Sapi Katingan Betina ... 6

2. Keragaman Bentuk Tanduk Sapi Katingan Betina ... 6

3. Keragaman Bentuk Tanduk Sapi Katingan Jantan ... 6

4. Variasi Warna Bulu Mata dan Teracak Sapi Katingan Betina ... 7

5. Keragaman Warna Bulu Sapi Katingan Betina ... 7

6. Keragaman Warna Bulu Sapi Katingan Jantan ... 8

7. Peta Lokasi Pengambilan Sampel Sapi Katingan ... 12

8. Pola Pita Lokus CSSM066 ... 19

9. Rekonstruksi Pita Lokus CSSM066 ... 19

10.Pola Pita Lokus ILSTS029 ... 19

11.Rekonstruksi Pita Lokus ILSTS029 ... 20

12.Pola Pita Lokus ILSTS061 ... 20

13.Rekonstruksi Pita Lokus ILSTS061 ... 20

14.Distribusi Frekuensi Alel Lokus CSSM066 ... 23

15.Distribusi Frekuensi Alel Lokus ILSTS029 ... 26

16.Distribusi Frekuensi Alel Lokus ILSTS061 ... 29

17.Pohon Genetik Sapi Katingan Sub Populasi Pendahara, Buntut Bali dan Pendahara ... 33


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Informasi Lokus CSSM066 ... 41 2. Informasi Lokus ILSTS061 ... 41 3. Informasi Lokus ILSTS029 ... 41


(13)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging terbesar kelima setelah ayam ras pedaging, ayam buras, ayam ras petelur dan itik di Indonesia. Badan Pusat Statistik (2009) menyatakan bahwa jumlah populasi ayam ras pedaging, ayam buras, ayam ras petelur, itik dan sapi potong di Indonesia masing-masing yaitu 991.281.000, 249.964.000, 99.768.000, 42.318.000 dan 12.760.000 ekor pada tahun 2009. Jumlah populasi tersebut belum dapat memenuhi kebutuhan konsumsi daging dalam negeri. Jumlah populasi sapi potong di Indonesia meningkat seiring meningkatnya permintaan konsumsi masyarakat.

Indonesia memiliki sumberdaya genetik ternak lokal yang cukup berlimpah, salah satunya adalah ternak sapi. Jenis-jenis sapi lokal Indonesia adalah sapi Bali, sapi Pesisir, sapi Aceh, sapi Madura dan sapi Peranakan Ongole (PO). Sapi-sapi lokal Indoensia masih belum dapat memenuhi kebutuhan daging masyarakat Indonesia, oleh karena itu banyak ternak sapi yang didatangkan dari luar negeri ke Indonesia. Sapi-sapi lokal Indonesia ini memiiki beberapa keunggulan dibandingkan dengan sapi-sapi yang didatangkan dari luar negeri, seperti dapat bertahan hidup pada lingkungan yang ekstrim, tahan terhadap penyakit dan memiliki produktivitas yang tinggi. Salah satu ternak sapi yang ditemukan di Indonesia adalah sapi Katingan di Kalimantan Tengah.

Sapi Katingan adalah salah satu ternak sapi yang hidup di Kalimantan Tengah yang sebagian besar dipelihara oleh suku Dayak asli dan umumnya dipelihara di sepanjang aliran sungai Katingan. Pemberian nama sapi Katingan disebabkan sapi Katingan dibudidayakan secara ekstensif dalam bentuk kelompok di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Katingan. Keunggulan sapi Katingan adalah dapat beradaptasi dengan lingkungan setempat yang asam dan miskin mineral, mempunyai produktivitas yang cukup baik pada kondisi pemeliharaan ekstensif tradisional, relatif tahan terhadap berbagai macam penyakit dan parasit serta mempunyai kemampuan reproduksi yang tinggi (Adrial, 2010). Keberadaan sapi Katingan sudah ratusan tahun dan merupakan sumber daya genetik ternak seperti halnya sapi lokal lain di Indonesia yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Tidak seperti sapi lokal lainnya, sapi Katingan masih sangat terbatas data dan belum banyak informasi


(14)

2 bahkan belum ada data tentang populasi, reproduksi, serta produktivitas sehingga hal ini penting dilakukan untuk upaya pengembangan sapi Katingan ke depannya.

Keragaman genetik sapi Katingan dapat dideteksi menggunakan DNA mikrosatelit. DNA mikrosatelit pada dasarnya adalah DNA bukan gen dan disebut juga sebagai short tandem repeats (STRs) yang merupakan runutan DNA pendek berulang dengan panjang basa antara 1-5 nukleotida pasang basa (bp) serta memiliki panjang total sekitar 10-100 bp (Bennet, 2000). DNA mikrosatelit dapat digunakan untuk mendeteksi polimorfisme dan analisis genom sehingga banyak digunakan karena memiliki beberapa keuntungan, antara lain karena jumlahnya yang sangat berlimpah di dalam genom, memiliki informasi keragaman yang tinggi dan dapat dilakukan dengan mudah dengan mengamplifikasi mengunakan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR).

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman DNA mikrosatelit lokus CSSM066, ILSTS029 dan ILSTS061 pada sapi Katingan di Kalimantan Tengah.


(15)

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia

Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki banyak bangsa sapi dan hewan-hewan lainnya. Salah satu jenis sapi yang terdapat di Indonesia adalah sapi Bali. Sapi Bali sangat dipercaya sebagai salah satu sapi lokal Indonesia yang diperoleh dari hasil domestikasi Banteng (Namikawa, 1980). Selain sapi Bali, jenis sapi Zebu juga banyak diintroduksi ke Indonesia. Hal ini menjadikan variasi genetik yang cukup besar pada sapi-sapi lokal Indonesia. Sapi merupakan salah satu jenis ternak di Indonesia yang memiliki potensi genetik yang besar terutama sebagai ternak penghasil daging. Keberadaan sapi lokal Indonesia pada beberapa tahun terakhir ini masih kurang mendapat perhatian serius dari pemerintah maupun masyarakat. Padahal dilihat dari potensi yang dimiliki, sapi lokal Indonesia lebih mampu bertahan dan beradaptasi dengan lingkungan setempat maupun secara sosial dan budaya telah lama berinteraksi dengan masyarakat (Direktorat Jenderal Peternakan, 2008).

Bangsa-bangsa sapi yang ada di dunia terbentuk dengan proses yang panjang melalui seleksi baik secara alami maupun buatan. Bangsa sapi di seleksi untuk ketahanan terhadap lingkungan dan kebutuhan manusia. Namun, sapi-sapi lokal Indonesia justru memiliki banyak kombinasi gen dan karakter spesifik untuk adaptasi terhadap berbagai kondisi, seperti ketahanan terhadap penyakit, adaptasi terhadap kondisi pakan terbatas atau kualitas pakan yang rendah dan sebagainya. Namun, karena tidak adanya perhatian serius, maka bangsa sapi lokal ini terancam punah (Maudet et al., 2002).

Bangsa (breed) sapi adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik tersebut, mereka dapat dibedakan dari ternak lainnya meskipun masih dalam spesies yang sama. Karakteristik yang dimiliki dapat diturunkan ke generasi berikutnya (Tanari, 2001). Klasifikasi zoologi sapi termasuk ke dalam filum Chordata (hewan yang memiliki tulang belakang), kelas

Mamalia (menyusui), ordo Artiodactil (berkuku atau berteracak genap), sub ordo

Ruminantia (pemamah biak), famili Bovidae (tanduknya berongga) dan genus Bos


(16)

4 besar bangsa sapi yang ada) dan Bos indicus (sapi-sapi yang memiliki punuk) (Blakely dan Bade, 1992).

Sumberdaya ternak sapi di Indonesia saat ini terdiri dari tiga kelompok, yakni: (1) ternak asli, (2) ternak impor dan (3) ternak yang telah beradaptasi. Sehubungan dengan pentingnya nilai konservasi pada kelompok hewan ternak, maka beberapa bangsa sapi ini menjadi target konservasi sekaligus pemanfaatannya (Utoyo, 2002). Beberapa diantara sumberdaya ternak sapi tersebut adalah sapi Aceh, sapi Madura, sapi Pesisir dan sapi Peranakan Ongole. Keanekaragaman sapi di Indonesia terbentuk dari sumberdaya genetik asli dan impor (Utoyo, 2002).

Sapi Katingan

Kalimantan memiliki salah satu kabupaten yaitu Kabupaten Katingan. Kabupaten Katingan memiliki sapi lokal yang oleh masyarakat setempat (suku Dayak) dinamakan sapi Katingan. Nama Katingan ini sesuai dengan nama dimana sapi tersebut banyak ditemukan yaitu di sepanjang daerah aliran sungai Katingan. Dengan kata lain sapi lokal Kalimantan Tengah belum memiliki nama, namun beberapa orang menyebut sesuai dengan nama Daerah Aliran Sungai (DAS) dimana sapi tersebut hidup. Sapi-sapi tersebut sebagian besar dipelihara oleh masyarakat setempat (suku Dayak).

Asal usul sapi lokal Kalimantan Tengah sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti. Sapi-sapi tersebut dipelihara secara ekstensif di padang pengembalaan yang relatif luas dalam bentuk ranch-ranch. Keberadaan sapi sudah puluhan tahun dan sudah beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya yang lahannya tergolong asam dan miskin mineral. Pengembangan sapi Katingan mengalami beberapa hambatan, salah satunya adalah masih sedikitnya informasi, terutama data dasar tentang sistim produksi dan reproduksi, keadaan lingkungan, daya tampung lahan dan keterampilan petani yang mengelola. Sapi lokal Kalimantan Tengah memiliki potensi besar sebagai ternak potong, karena sapi ini mampu beradaptasi dengan lingkungan Kalimantan Tengah yang asam dan miskin mineral, mempunyai produktivitas yang cukup baik pada kondisi pemeliharaan ekstensif tradisional, relatif tahan terhadap berbagai macam penyakit dan parasit serta mempunyai kemampuan reproduksi yang tinggi, sayangnya potensi ini belum termanfaatkan secara optimal. Dengan keunggulan yang dimiliki oleh sapi lokal Kalimantan Tengah


(17)

5 memungkinkan sapi ini untuk dikembangkan di segenap penjuru Kalimantan Tengah yang sangat luas, sehingga tidak ada lagi lahan terlantar yang tidak termanfaatkan (Adrial, 2010).

Data tentang sapi Katingan baik dari pemerintah daerah Kalimantan Tengah maupun nasional belum ada, tetapi ada beberapa data tentang sapi Katingan yang merupakan hasil penelitian Utomo et al. (2010) mengenai keragaman morfometrik dan fenotipik sapi Katingan sebagai sapi lokal Kalimantan Tengah. Data yang diperoleh tersebut yaitu data bobot badan, warna bulu, bentuk tanduk, varasi warna, warna bulu mata dan warna teracak. Hasil pengukuran bobot badan sapi Katingan di Kalimantan Tengah dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rataan dan Simpangan Baku Bobot Badan Sapi Katingan Dewasa Berdasarkan Lokasi dan Jenis Kelamin

Sub populasi Betina Jantan

……... (Kg) ………

Pendahara 208.9 ± 21.3 250.5 ± 106.0

Buntut Bali 201.8 ± 26.6 299.9 ± 86.1

Tumbang Lahang 217.1 ± 23.0 261.1 ± 20.5

Sumber: Utomo et al. (2010)

Ukuran tubuh dewasa sapi Katingan jantan tidak selalu lebih besar dibandingkan dengan sapi betina, demikian pula sebaliknya. Sapi jantan maupun sapi betina mempunyai gumba yang cukup jelas terlihat. Perbedaan sapi Katingan di Kalimantan Tengah dengan sapi lokal lainnya di Indonesia adalah pada sapi betina dewasa, yaitu bentuk tanduk yang sebagian besar melengkung ke depan (Gambar 2) sedangkan pada sapi Katingan jantan bentuk tanduk tumbuh normal seperti umumnya sapi lokal yang lain, yaitu ke samping atas (Gambar 3). Dijumpai adanya tonjolan pada kepala bagian atas diantara dua tanduk. Tonjolan hanya ditemukan pada sapi betina. Variasi tonjolan dikepala sapi Katingan hanya ada pada sapi Katingan betina saja yang dapat dilihat pada Gambar 1.


(18)

6

Sumber : Utomo et al. (2010)

Gambar 1. Variasi Tonjolan di Kepala Sapi Katingan Betina

Sumber : Utomo et al. (2010)

Gambar 2. Keragaman Bentuk Tanduk Sapi Katingan Betina

Sumber : Utomo et al. (2010)

Gambar 3. Keragaman Bentuk Tanduk Sapi Katingan Jantan


(19)

7 Warna bulu mata sapi Katingan bervariasi, ada yang berwarna hitam, coklat kemerahan, coklat keputihan, bahkan ditemukan pula warna putih. Teracak pada sapi Katingan ditemukan dua warna, yaitu warna hitam (dominan) dan warna coklat kemerahan (Gambar 4).

Sumber : Utomo et al. (2010)

Gambar 4. Variasi Warna Bulu Mata dan Teracak Sapi Katingan Betina

Variasi warna bulu sapi Katingan yaitu dari warna putih sampai dengan hitam. Sapi jantan memiliki delapan variasi warna dan sapi betina memiliki sembilan variasi warna. Variasi warna sapi jantan dan betina dapat dilihat pada Gambar 5 dan 6.

Sumber : Utomo et al. (2010)


(20)

8

Sumber : Utomo et al. (2010)

Gambar 6. Keragaman Warna Bulu Sapi Katingan Jantan

Keragaman Genetik

Hendrick (2000) menyatakan bahwa keragaman genetik adalah perbedaan antara individu dalam suatu populasi, antara individu dalam populasi yang berbeda dalam spesies yang sama atau dalam spesies yang berbeda. Keragaman genetik dalam suatu populasi banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti seleksi,

inbreeding, mutasi dan migrasi. Mutasi dianggap selalu meningkatkan jumlah keragaman genetik, sedangkan migrasi dan inbreeding selalu mengurangi keragaman genetik. Faktor seleksi bisa meningkatkan atau menurunkan keragaman genetik suatu ternak dalam suatu populasi. Bloot et al. (1998) menyatakan bahwa keragaman genetik sangat penting baik pada studi populasi maupun evolusi. Mempertahankan keanekaragaman genetik berarti mempertahankan bangsa-bangsa dalam populasi yang mempunyai sifat khusus dan apabila semua hewan seragam maka keamanan, ketersediaan pangan dan hayati akan terancam punah. Nei (1987) menyatakan bahwa keragaman genetik populasi secara kuantitatif dapat menggunakan lokus polimorfik dan rataan heterozigositas. Nei dan Kumar (2000) menyatakan bahwa derajat heterozigositas merupakan rataan persentase lokus heterozigot tiap individu atau rataan persentase individu heterozigot di dalam populasi.


(21)

9

Penanda Genetik

Penanda genetik dapat diidentifikasi dengan berbagai teknik meliputi teknik

Restriction Fragment Length Polymorphisms (RFLP), Random Amplyfied Polymorphism DNA (RAPD), Single Strand Conformation Polymorphism (SSCP) dan DNA mikrosatelit. Penanda genetik digunakan untuk mengukur respon genetik terhadap seleksi alam dan seleksi buatan (Gomez-Raya et al., 2002) dan untuk mengetahui keragaman genetik. Mikrosatelit merupakan penanda yang bersifat kodominan, sehingga dapat membedakan antara individu-individu homozigot dan heterozigot. Mikrosatelit sangat bermanfaat sebagai penanda DNA karena bersifat kodominan, memliki polimorfisme alel sangat tinggi, cukup mudah dilakukan dan ekonomis dalam pengujiannya (Clisson et al., 2000).

PCR-RFLP merupakan salah satu metode analisis lanjutan dari produk PCR. Metode PCR memanfaatkan runutan nukleotida yang bisa dikenali oleh enzim restriksi yang disebut sebagai situs restriksi. Jika situs restriksi mengalami mutasi (meskipun pada satu basa) maka enzim restriksi tidak mampu mengenalinya. Ada tidaknya situs restriksi kemudian dapat digunakan untuk mengetahui ada tidaknya mutasi. Analisis RFLP biasa digunakan untuk mendeteksi adanya keragaman pada gen yang berhubungan dengan sifat ekonomis, seperti produksi dan kualitas susu (Sumantri et al., 2007).

PCR-RAPD merupakan salah satu teknik molekuler berupa penggunaan penanda tertentu untuk mempelajari keanekaragaman genetika. Dasar analisis RAPD adalah menggunakan mesin PCR yang mampu mengamplifikasi sekuen DNA secara

in vitro yang melibatkan penempelan primer tertentu yang dirancang sesuai dengan kebutuhan. Tiap primer boleh jadi berbeda untuk menelaah keanekaragaman genetik kelompok yang berbeda. Penggunaan teknik RAPD memang memungkinkan untuk mendeteksi polimorfisme fragmen DNA yang diseleksi dengan menggunakan satu primer arbitrasi, terutama karena amplifikasi DNA secara in vitro dapat dilakukan dengan baik dan cepat dengan adanya PCR. PCR-SSCP merupakan metode analisis lebih lanjut yang memanfaatkan produk PCR. Metode PCR-SSCP merupakan metode yang handal dalam mendeteksi adanya mutasi secara cepat (Hayashi, 1991). Asumsi yang mendasari metode analisis SSCP adalah bahwa perubahan yang terjadi


(22)

10 pada nukleotida meskipun terjadi hanya pada satu basa, akan mempengaruhi bentuk (conformation) dari fragmen DNA pada kondisi untai tunggal (Bastos et al., 2001).

DNA Mikrosatelit

Materi genetik (DNA) yang ditemukan pada semua mikroorganisme sebagian besar belum diketahui fungsinya, hanya sebagian kecil (10% dari total DNA) yang diketahui berfungsi sebagai penyandi genetik yang menentukan karakteristik keturunan yang disebut gen, sedangkan 90% sisanya adalah DNA bukan gen seperti mikrosatelit (Moxon dan Will, 1999). DNA bukan gen yang berulang secara berurutan disebut mikrosatelit. Mikrosatelit adalah sekuen DNA genom yang terdiri dari mono-, di-, tri- atau tetra nukleotida motif berulang dalam bentuk kopi berdampingan/tandem (Ashwell et al., 2001). Ulangan nukleotida yang paling sering ditemukan pada mamalia adalah GT/AC (Hoelzel, 1998).

Variabilitas mikrosatelit ditunjukkan oleh variasi dalam jumlah pengulangan basa ulangan. Tingkat variabilitas mikrosatelit secara positif berhubungan dengan panjang dari sekuen berulang dan mikrosatelit yang panjangnya kurang dari 20 bp kemungkinannya kurang menunjukkan keragaman (Johansson et al., 1992). Keragaman dari mikrosatelit ini berkaitan dengan ketidakstabilan lokus. Keragaman yang tinggi dari lokus mikrosatelit dihasilkan dari kecepatan mutasi yang tinggi dengan tingkat minimal 10-3 (Jeffreys et al., 1988) atau 10-4 (Levinson dan Gutman, 1987), atau pada kisaran 10-3-10-5/lokus/gamet/generasi (Lehman et al., 1996). Jeffreys et al. (1994) menyatakan bahwa mekanisme variasi dalam jumlah kopi ulangan mungkin berbeda dari satu ulangan ke ulangan lain.

Kegunaan DNA Mikrosatelit

Mikrosatelit merupakan penanda genetik yang sering digunakan untuk mempelajari pautan (linkage), pemetaan, analisis populasi, sistem perkawinan dan struktur populasi (Silva et al., 1999). Mikrosatelit banyak digunakan sebagai penciri genetik karena keberadaannya berlimpah, bersifat kodominan dan kemungkinan polimorfik tinggi (Bennet, 2000). Mikrosatelit juga dapat digunakan dalam keperluan identifikasi individu, keanekaragaman dan struktur populasi, atau mempelajari evolusi dari spesies yang berkerabat (Clisson et al., 2000). Ciampolini et al. (1995) menyatakan bahwa DNA mikrosatelit juga banyak digunakan sebagai penanda


(23)

11 molekuler untuk mendukung aktifitas pemuliaan ternak seperti kegiatan dalam identifikasi ternak, penetapan asal usul keturunan dan penggalian sumber-sumber genetik.

Penggunaan mikrosatelit sudah banyak digunakan baik di Indonesia maupun di negara lain. Variasi alel mikrosatelit dapat dihitung melalui pemisahan produk PCR secara elektroforesis. Dengan mengidentifikasi pita yang muncul setelah elektroforesis (satu pita untuk homozigot dan dua pita untuk heterozigot) maka genotip suatu individu dapat ditentukan dan frekuensi alel dalam suatu populasi dapat dihitung (Muladno, 2000). Beberapa studi menunjukkan sekuen berulang DNA (mikrosatelit) dapat digunakan untuk mengidentifikasi asal usul individu dari suatu populasi (Edwards et al., 2000). Ciampolini et al. (1995) menyatakan bahwa ada beberapa alel yang memiliki keragaman frekuensi antar bangsa yang sangat tinggi (seperti INRA5 atau INRA32) pada empat bangsa sapi pedaging Italia (Chianina, Marchigiana, Romagnola dan Piementese) dengan menggunakan 17 lokus mikrosatelit. Maskur et al. (2005) menyatakan bahwa marka mikrosatelit selain dapat mengetahui perubahan genetik yang terjadi dalam suatu perkawinan antar ras, lima marker mikrosatelit yaitu INRA037, HEL9, CSSM066, INRA035 dan ETH225 juga memberikan respon yang signifikan terhadap pertambahan bobot hidup harian ternak. Noor et al. (2000) menyatakan bahwa penggunaan marka mikrosatelit sebelumnya juga sudah digunakan untuk meneliti sapi lokal Indonesia lainnya yaitu sapi Bali pada lokus INRA035 yang menemukan dua alel yaitu alel A dan B serta lokus HEL9 yang menemukan satu alel yaitu alel A.


(24)

METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak Bagian Pemuliaan dan Genetika Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor dimulai dari Agustus sampai dengan Desember 2010.

Materi Sampel Darah Sapi Katingan

Sampel darah yang digunakan dalam penelitian ini adalah darah yang berasal dari sapi Katingan di Kalimantan Tengah sebanyak 70 ekor yang diperoleh dari tiga sub populasi yaitu sub populasi Pendahara (26 ekor), Buntut Bali (13 ekor) dan Tumbang Lahang (31 ekor) (Lampiran 1), sedangkan lokasi pengambilan sampel sapi Katingan dapat dilihat pada Gambar 7.


(25)

13

Ekstraksi DNA

Bahan-bahan yang digunakan dalam ekstraksi DNA adalah DW (destilate water), SDS (sodium deodosil sulfat), proteinase-K, STE (Sodium Tris-EDTA), larutan phenol, CIAA (Chloroform Iso Amil Alkohol), NaCl, ethanol absolute dan TE (Tris EDTA).

Primer

Primer yang digunakan dalam penelitian ini disajikan secara lengkap pada Tabel 2.

Tabel 2. Informasi Primer Mikrosatelit Lokus CSSM066, ILSTS029 dan ILSTS061

Lokus Sekuen Primer Annealing

(°C)

Motif Ulangan Posisi di Kromosom CSSM

066

F-5′cacaaatcctttctgccagctga 3′ R-5′ aatttaatgcactgaggagcttgg 3′

60 (CA)16 14

ILSTS 029

F-5′ tgttttgatggaacacagcc 3′ R-5′ tggatttagaccagggttgg 3′

60 (CA)19 3

ILSTS 061

F-5′ aaattataggggccatacgg 3′ R-5′ tggcctaccctaccatttcc 3′

60 (CA)14 15

Sumber : Kathiravan et al. (2009)

Amplifikasi DNA

Bahan-bahan dalam amplifikasi DNA adalah DW (destilate water), primer, dNTPs, MgCl, dreamtaq buffer dan Taq Polymerase.

Polyacrilamide Gel Elektrophoresis (PAGE)

Bahan-bahan dalam pembuatan PAGE adalah DW (destilate water), larutan akrilamida, larutan 5xTBE (tris boric acid-EDTA), TEMED (N,N,N’,N’ -tetramethylethylenediamine) dan APS (ammonium peroxodisulfat).

Pewarnaan Perak

Bahan-bahan dalam pewarnaan perak adalah DW (destilate water), AgNO3, NaOH, NH4OH, formaldehida dan asam asetat.


(26)

14

Prosedur Pengambilan Sampel Darah

Sapi Katingan dipelihara dengan cara dilepas sehingga agak sulit dalam penanganannya dan pengambilan sampel darah harus seizin pemiliknya. Sapi Katingan yang sudah memperoleh izin dari pemiliknya diambil sampel darahnya melalui vena jugularis menggunakan vaccutainer dan ditambah alkohol dengan perbandingan 1:1 kemudian dibawa ke laboratorium.

Ektraksi DNA

Ekstraksi DNA dari sampel darah dilakukan dengan menggunakan Metode Phenol yang telah dimodifikasi (Sambrook et al., 1989).

Amplifikasi DNA

Perbanyakan DNA mikrosatelit menggunakan primer forward dan revearse. Pereaksi yang digunakan untuk mengamplifikasi DNA terdiri atas 9,3 µl DW (destilate water), 0,05 µl primer, 0,1 µl dNTPs, 0,25 µl MgCl, 1,25 µl buffer dan 0,05 µl Taq Polymerase. Campuran pereaksi tersebut kemudian dimasukkan ke dalam mesin thermal cycler. Proses amplifikasi terjadi dalam 35 siklus yang terdiri atas tiga tahapan utama yaitu denaturasi pada suhu 94 0C selama 20 detik, penempelan primer pada suhu 60 0C selama 30 detik dan pemanjangan pada suhu 72 0C selama lima menit.

Elektroforesis DNA

Pengujian produk PCR dilakukan menggunakan gel poliakrilamid 6% dan menggunakan marker 20 bp. Sampel DNA sebanyak 2 µl dicampur dengan loading dye kemudian dimasukkan ke dalam sumur dan dielektroforesis pada tegangan 100 volt selama 1,5 jam dan pada arus 31 mA.

Pewarnaan Perak

Pewarnaan perak gel poliakrilamid 6% dilakukan dalam nampan yang diawali dengan merendam gel poliakrilamid 6% dalam larutan A (200 ml DW; 0,2 g AgNO3; 80 µl NaOH dan 800 µl ammonia) selama delapan menit. Larutan dibuang dan gel dibilas menggunakan DW 200 ml. Tahap selanjutnya, gel poliakrilamid direndam


(27)

15 dalam larutan B (200 µl DW, 6 g NaOH, 200 µl formaldehid). Setelah itu, larutan B dibuang dan gel direndam dalam larutan C (100 ml DW dan asam asetat glasial 1%) untuk menghentikan reduksi perak.

Analisis Data Frekuensi Alel

Frekuensi alel lokus CSSM066, ILSTS029 dan ILSTS061 dihitung dengan menggunakan rumus Nei dan Kumar (2000):

Keterangan : j ≠ 1

xi = frekuensi alel ke-i

nij = jumlah individu untuk genotip ij nii = jumlah individu untuk genotip ii N = jumlah sampel

Frekuensi Genotipe

Frekuensi Genotipe ditentukan dengan cara membagi jumlah sampel sapi Katingan yang memiliki genotipe tipe tertentu dengan seluruh jumlah sapi pengamatan yang dapat dihitung dengan menggunakan rumus Nei dan Kumar (2000):

Keterangan :

xi = frekuensi genotipe ke-i ni = jumlah individu bergenotipe i N = jumlah individu sampel


(28)

16

Derajat Heterozigositas

Derajat heterozigositas ditentukan dengan menggunakan rumus Nei dan Kumar (2000):

Keterangan :

h = nilai heterozigositas xi = frekuensi alel ke-i n = jumlah individu

Rataan heterozigositas pada setiap lokus dihitung dengan menggunakan rumus Nei dan Kumar (2000):

Keterangan :

= rataan heterozigositas semua lokus hj = heterozigositas lokus ke-j

r = jumlah lokus

Jarak Genetik dan Pohon Genetik

Jarak genetik dan pohon kekerabatan dibuat dengan menggunakan software


(29)

HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi DNA Mikrosatelit

Amplifikasi DNA mikrosatelit pada sapi Katingan sub populasi Pendahara, Buntut Bali dan Tumbang Lahang dianalisa dengan menggunakan tiga primer yaitu CSSM066, ILSTS029 dan ILSTS061 (Kathiravan et al., 2009). Penggunaan ketiga lokus tersebut karena memiliki keragaman yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari jumlah ulangan nuleotidanya (Tabel 1). Ketiga lokus tersebut dapat mengamplifikasi sampel DNA sapi Katingan dengan baik, namun ada beberapa sampel DNA yang tidak teramplifikasi. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh primer yang tidak dapat menempel pada daerah komplemennya sehingga DNA mikrosatelit yang diapit tidak dapat diamplifikasi. Tidak teramplifikasinya beberapa sampel DNA juga bisa disebabkan karena DNA hasil ekstraksi yang kurang bagus atau dikarenakan pencampuran bahan PCR yang tidak sempurna.

Suhu annealing adalah suhu yang memungkinkan terjadinya penempelan primer pada DNA cetakan selama proses PCR. Suhu annealing sangat menentukan keberhasilan amplifikasi karena proses perpanjangan DNA dimulai dari primer. Suhu

annealing yang digunakan pada penelitian ini untuk lokus CSSM066, ILSTS029 dan ILSTS061 adalah 60 °C. Suhu annealing pada penelitian ini berbeda dengan yang digunakan oleh Kathiravan et al., (2009) pada kerbau Marathwada yaitu sebesar 55 °C. Perbedaan suhu annealing ini kemungkinan disebabkan karena jenis dan bangsa ternak yang berbeda.

Lokus CSSM066 dapat mengamplifikasi 65 sampel yaitu 22 sampel dari sub populasi Pendahara, 13 sampel dari sub populasi Buntut Bali dan 30 sampel dari sub populasi Tumbang Lahang. Sampel yang tidak teramplifikasi berjumlah lima sampel yaitu sampel nomor 25, 26, 85, 87 dan 88. Lokus ILSTS029 dapat mengamplifikasi 65 sampel yaitu 23 sampel dari sub populasi Pendahara, 12 sampel dari sub populasi Buntut Bali dan 30 sampel dari sub populasi Tumbang Lahang. Sampel yang tidak teramplifikasi berjumlah lima sampel yaitu sampel nomor 35, 36, 85, 87 dan 88. Lokus ILSTS061 dapat mengamplifikasi 68 sampel yaitu 24 sampel dari sub populasi Pendahara, 13 sampel dari sub populasi Buntut Bali dan 31 sampel dari sub populasi Tumbang Lahang. Sampel yang tidak teramplifikasi berjumlah dua sampel yaitu sampel nomor 87 dan 88. Hasil amplifikasi tersebut menunjukkan bahwa


(30)

18 amplifikasi DNA mikrosatelit setiap sub populasi bersifat polimorfik pada semua lokus. Nei dan Kumar (2000) menyatakan bahwa variasi genetik terjadi jika terdapat dua alel atau lebih dalam satu populasi dan biasanya lebih dari 1%.

Sampel DNA yang telah diamplifikasi dengan teknik PCR kemudian dilakukan elektroforesis menggunakan gel poliakrilamid 6% dan dilihat alel yang muncul dengan pewarnaan perak (silver stainning). Hasil pewarnaan perak menunjukkan bahwa primer CSSM066, ILSTS029 dan ILSTS061 ada yang menghasilkan dua pita (heterozigot) dan ada yang satu pita (homozigot) (Gambar 2, 3 dan 4). Pola pita homozigot dan heterozigot disebabkan karena individu masing-masing diwarisi alel dari kedua tetuanya. Homozigot berarti alel yang diwarisi dari pejantan dan induk sama sedangkan dikatakan heterozigot jika alel yang diwarisi dari pejantan dan induk berbeda.

Penentuan alel berdasarkan pada laju migrasi pada saat elektroforesis. Pita dengan laju migrasi yang sama maka akan homozigot dan pita dengan laju migrasi yang berbeda akan menghasilkan pita yang heterozigot. Hasil pewarnaan perak pada penelitian ini menunjukkan adanya pemunculan pita bukan target. Hal ini disebabkan oleh suhu annealing yang mungkin tidak terlalu sesuai sehingga menyebabkan munculnya pita selain pita target. Poerwanto (1993) menyatakan bahwa konsentrasi enzim yang terlalu tinggi dan jumlah siklus yang berlebih pada proses PCR juga dapat menyebabkan munculnya pita tambahan selain pita target. Hal tersebut dikarenakan enzim yang berlebih menyebabkan amplifikasi bukan hanya pada DNA target, sedangkan enzim yang berlebih menyebabkan kinerja enzim polimerase terganggu karena terlalu lama bekerja.


(31)

19 Keterangan : M = marker

Gambar 8. Pola Pita Lokus CSSM066.

Gambar 9. Rekonstruksi Pita Lokus CSSM066 Sampel

Keterangan : M = marker

Gambar 10. Pola Pita Lokus ILSTS029

M 24 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38

KK GG GG GG GK KK GG GG KK GG GG GG

M 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59

JL IO JL KK KO KN OO JJ JJ JO LL GG KK GK

(-)

(+)

(-)

(+) 300 bp

200 bp 160 bp

100 bp 300 bp 200 bp 180 bp


(32)

20 Gambar 11. Rekonstruksi Pita Lokus ILSTS029

Keterangan : M = marker

Gambar 12. Pola Pita Lokus ILSTS061

P

Gambar 13. Rekonstruksi Pita Lokus ILSTS061

BD CC DD GG MM

IO JL KK KO KN JJ JO LL OO

(-)

(+) 100 bp

GG MM BD MM DD DD DD CC BD BD BD MM M 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48

200 bp 300 bp


(33)

21

Keragaman DNA Mikrosatelit

Keragaman genetik dari populasi dapat di evaluasi diantaranya melalui jumlah alel per lokus, rata-rata jumlah alel untuk semua lokus dan heterozigositas (Sun et al., 2008). Hasil pengukuran keragaman genetik pada 70 sampel sapi Katingan dengan menggunakan lokus CSSM066, ILSTS029 dan ILSTS061 menunjukkan bahwa semua lokus bersifat polimorfik. Lokus-lokus yang digunakan pada penelitian ini mempunyai unit ulangan yang lebih dari 10 ulangan, dimana polimorfisme makin tinggi apabila unit ulangannya tergandakan lebih dari 10 kali lipat (Winaya et al., 2000).

Hasil pewarnaan perak menunjukkan jumlah alel yang dihasilkan pada lokus CSSM066, ILSTS029 dan ILSTS061 pada sub populasi Pendahara, Buntut Bali dan Tumbang Lahang beragam. Keragaman mikrosatelit tersebut disebabkan oleh perbedaan ukuran DNA mikrosatelit pada masing-masing lokus (Moxon dan Will, 1999). Jumlah alel yang muncul dipengaruhi oleh banyaknya sampel yang digunakan (Prahasta, 2001) dan variasi genetik sapi yang digunakan (Winaya, 2000). Jumlah alel yang muncul tidak hanya disebabkan oleh banyaknya sampel yang digunakan, namun juga disebabkan karena perbedaan bangsa sapi dan sistem perkawinan yang dilakukan (Sumantri et al., 2007).

Lokus CSSM066

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lokus CSSM066 menghasilkan total alel sebanyak 9 alel dengan macam alel E, F, G, I, J, K, M, L dan O dengan kisaran panjang alel dari 168-188 bp. Sub populasi Pendahara, Buntut Bali dan Tumbang Lahang menghasilkan masing-masing 7 alel, 7 alel dan 8 alel. Frekuensi alel adalah frekuensi relatif dari suatu alel dalam suatu populasi atau jumlah suatu alel terhadap jumlah total alel yang terdapat dalam suatu populasi (Nei dan Kumar, 2000). Frekuensi alel tertinggi pada lokus CSSM066 adalah alel G pada sub populasi Buntut Bali sebesar 0.385 dan terendah adalah alel O pada sub populasi Tumbang Lahang sebesar 0.017. Jumlah dan ukuran alel yang diperoleh pada penelitian ini lebih besar dibandingkan jumlah dan ukuran alel yang diperoleh oleh Kathiravan et al. (2009) pada lokus CSSM066. Jumlah alel yang diperoleh pada kerbau Marathwada lokus CSSM066 sebesar 4 alel, sedangkan ukuran alel yang diperoleh berkisar antara 126-148 bp (Kathiravan et al., 2009). Penyebab perbedaan ini kemungkinan karena


(34)

22 perbedaan jenis dan bangsa ternak yang diteliti. Perbedaan macam (ukuran) dan jumlah alel yang dihasilkan menunjukkan bahwa sub populasi sapi Katingan memiliki tingkat keragaman genetik yang relatif tinggi, karena meningkatnya jumlah alel pada lokus yang berbeda akan meningkatkan rata-rata keragaman genetik dalam populasi (Karthickeyan et al., 2009). Jenis alel dan frekuensi serta genotipe dan frekuensinya dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 3.

Tabel 3. Jenis dan Ukuran Alel Lokus CSSM066 pada Sapi Katingan Jumlah Alel Sub

populasi

Genotipe Frekuensi Genotipe

Alel dan Ukuran (pb)

Frekuensi Alel

7 Pendahara

(n=22) GG (4) JJ (7) EE (1) FF (1) KK (6) MM (1) II (2) 0.182 0.318 0.045 0.045 0.273 0.045 0.091 E(168) F(170) G(172) I(176) J(178) K(180) M(184) 0.045 0.045 0.182 0.091 0.318 0.273 0.045

7 Buntut Bali

(n=13) GG (5) JJ (1) JM (1) FL (1) FF (1) FK (1) KK (2) EK (1) 0.385 0.077 0.077 0.077 0.077 0.077 0.153 0.077 E (168) F(170) G(172) J(178) K(180) L(182) M(184) 0.038 0.154 0.385 0.115 0.231 0.038 0.038

8 Tumbang

Lahang (n=30) GL (1) GG (10) JJ (5) FL (1) EE (2) FF (1) KK (6) KM (1) GK (2) MO (1) 0.033 0.333 0.167 0.033 0.067 0.033 0.200 0.033 0.067 0.033 E (168) F(170) G(172) J(178) K(180) L(182) M(184) O(188) 0.067 0.050 0.383 0.167 0.250 0.033 0.033 0.017

Keterangan : n = Jumlah Individu

Angka dalam tanda kurung () menunjukkan banyaknya genotipe yang muncul pada sub populasi dan panjang ukuran alel


(35)

23 Hasil frekuensi alel pada Tabel 3 menunjukkan distribusi alel yang tidak merata pada setiap sub populasi pada lokus CSSM066. Hal tersebut yang menjadikan alasan mikrosatelit dapat digunakan sebagai penciri yang akurat untuk menguji hubungan kekerabatan antar individu dalam populasi. Distribusi frekuensi alel sub populasi Pendahara, Buntut Bali dan Tumbang Lahang pada lokus CSSM066 dapat dilihat pada Gambar 14. Hasil distribusi alel pada Gambar 14 menunjukkan bahwa ada beberapa alel yang hanya muncul pada sub populasi tertentu. Alel yang ditemukan pada sub populasi Pendahara ada yang tidak ditemukan pada sub populasi Buntut Bali maupun Tumbang Lahang pada lokus CSSM066.

Gambar 14. Distribusi Frekuensi Alel Lokus CSSM066

Lokus CSSM066 menghasilkan 15 macam genotipe. Frekuensi genotipe yang tertinggi adalah genotipe GG sebesar 0.385 pada sub populasi Buntut Bali dan yang terendah adalah genotipe GL, FL, FF, KM dan MO sebesar 0.033 pada sub populasi Tumbang Lahang. Sebaran frekuensi genotipe berdasarkan sub populasi diperoleh frekuensi genotipe tertinggi pada masing-masing sub populasi Pendahara, Buntut Bali dan Tumbang Lahang secara berturut-turut adalah genotipe JJ sebesar 0.318, genotipe GG sebesar 0.385 dan genotipe GG sebesar 0.333. Frekuensi genotipe terendah pada masing-masing sub populasi secara berturut-turut yaitu pada sub populasi Pendahara genotipe terendah adalah genotipe EE, FF dan MM sebesar 0.045, pada sub populasi Buntut Bali genotipe terendah adalah genotipe JJ, JM, FL, FF, FK dan EK sebesar 0.077 dan genotipe terendah pada sub populasi Tumbang Lahang adalah genotipe GL, FL, FF, KM dan MO sebesar 0.033.

0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 0,35 0,40 0,45

E F G I J K M L O

Pendahara Buntut Bali Tumbang Lahang


(36)

24

Lokus ILSTS029

Lokus ILSTS029 menghasilkan jumlah total alel sebesar 16 alel dengan macam alel F, G, H, I, J, K, L, M, N, O, R, T, U, E, P dan V dan dengan panjang alel berkisar antara 148-180 bp. Jumlah alel yang dihasilkan masing-masing sub populasi Pendahara, Buntut Bali dan Tumbang Lahang secara berturut-turut adalah 12 alel, 7 alel dan 12 alel. Frekuensi alel tertinggi adalah alel L sebesar 0.333 pada sub populasi Buntut Bali dan terendah adalah alel H, P dan V sebesar 0.017 pada sub populasi Tumbang Lahang. Jumlah dan frekuensi alel serta genotipe dan frekuensinya dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 4. Jumlah alel yang diperoleh pada lokus ILSTS029 ini juga lebih besar dibandingkan dengan jumlah alel yang diperoleh oleh (Kathiravan et al., 2009) pada kerbau Marathwada di India. (Kathiravan et al., 2009) menyatakan bahwa jumlah alel yang diperoleh pada kerbau Marathwada pada lokus ILSTS029 berjumlah tiga alel sedangkan pada sapi Katingan jumlah alel yang diperoleh sebesar 16 alel, begitu juga dengan ukuran alel juga lebih besar dibandingkan dengan Kathiravan et al. (2009). Penyebab perbedaan ini sama dengan alasan pada lokus CSSM066 yaitu disebabkan oleh jenis dan bangsa ternak yang digunakan berbeda, sehingga dapat memberikan hasil yang berbeda pula.

Jumlah alel yang diperoleh pada sapi Katingan ini jika dibandingkan dengan sapi lokal lain di Indonesia seperti sapi Bali maka jumlah alel yang diperoleh sangat besar. Jumlah alel sapi Bali yang diperoleh berjumlah dua alel yaitu alel A dan B pada lokus INRA035 dan satu alel yaitu alel A pada lokus HEL9 (Noor et al., 2000), sedangkan jumlah alel pada sapi Katingan secara keseluruhan menghasilkan lebih dari lima alel pada lokus CSSM066, ILSTS029 dan ILSTS061. Winaya (2000) menyatakan bahwa jumlah alel pada beberapa sapi Asia seperti sapi PO, sapi Madura dan sapi Bali dengan menggunakan lokus yang berbeda juga memiliki jumlah alel yang lebih kecil daripada jumlah alel yang dihasilkan pada sapi Katingan.


(37)

25 Tabel 4. Jenis dan Ukuran Alel Lokus ILSTS029 pada Sapi Katingan

Jumlah Alel Sub populasi

Genotipe Frekuensi Genotipe

Alel dan Ukuran (pb)

Frekuensi Alel

12 Pendahara

(n=23) LM(1) IM(3) JL(2) II(3) KK(1) HK(1) JJ(3) FF(2) LL(1) GL(1) KO(1) LR(1) KN(1) JN(1) MT(1) 0.043 0.130 0.087 0.130 0.043 0.043 0.130 0.087 0.043 0.043 0.043 0.043 0.043 0.043 0.043 F(150) G(52) H(154) I(156) J(158) K(160) L(162) M(164) N(166) O(168) R(172) T(176) 0.087 0.022 0.022 0.152 0.196 0.109 0.152 0.109 0.043 0.022 0.022 0.022

7 Buntut Bali

(n=12) LM(2) II(1) JL(4) LL(1) MU(1) MM(1) HJ(1) JO(1) 0.167 0.083 0.333 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 H(154) I(156) J(158) L(162) M(164) O(168) U(178) 0.042 0.083 0.250 0.333 0.208 0.042 0.042

12 Tumbang

Lahang (n=30) OP(1) LM(2) IM(1) II(1) JL(7) KK(1) HK(1) JJ(2) EJ(2) FF(1) OO(1) KL(3) LL(2) GJ(2) GO(1) LV(1) EK(1) 0.033 0.067 0.033 0.033 0.233 0.033 0.033 0.067 0.067 0.033 0.033 0.100 0.067 0.067 0.033 0.033 0.033 E(148) F(150) G(152) H(154) I(156) J(158) K(160) L(162) M(164) O(168) P(170) V(180) 0.050 0.033 0.050 0.017 0.050 0.250 0.117 0.283 0.050 0.067 0.017 0.017

Keterangan : n = Jumlah Individu

Angka dalam tanda kurung () menunjukkan banyaknya genotipe yang muncul pada sub populasi dan panjang ukuran alel


(38)

26 Distribusi alel pada lokus ILSTS029 menunjukkan hasil yang sama dengan lokus CSSM066 yaitu adanya distribusi alel yang tidak merata pada sub populasi Pendahara, Buntut Bali dan Tumbang Lahang. Distribusi frekuensi alel pada sub populasi Pendahara, Buntut Bali dan Tumbang Lahang lokus ILSTS029 dapat dilihat pada Gambar 15. Hasil pada Gambar 15 menunjukkan bahwa ada beberapa alel yang hanya muncul pada sub populasi tertentu. Alel yang ditemukan pada sub populasi Pendahara lokus ILSTS029 ada yang tidak ditemukan pada sub populasi Buntut Bali maupun Tumbang Lahang.

Gambar 15. Distribusi Frekuensi Alel Lokus ILSTS029

Banyaknya genotipe yang diperoleh pada lokus ILSTS029 dipengaruhi oleh banyaknya jumlah alel. Lokus ILSTS029 menghasilkan 27 macam genotipe. Frekuensi genotipe tertinggi adalah genotipe JL sebesar 0.333 pada sub populasi Buntut Bali sedangkan frekuensi genotipe terendah adalah genotipe OP, IM, II, KK dan HK sebesar 0.033 pada sub populasi Tumbang Lahang. Sebaran frekuensi genotipe berdasarkan pada sub populasi diperoleh frekuensi genotipe tertinggi masing-masing sub populasi Pendahara, Buntut Bali dan Tumbang Lahang secara berturut-turut adalah genotipe IM, II dan JJ sebesar 0.130, genotipe JL sebesar 0.333 dan genotipe JL sebesar 0.233. Frekuensi genotipe terendah masing-masing sub populasi yaitu sub populasi Pendahara adalah genotipe LM, KK, HK, LL, GL, KO, LR, KN, JN dan MT sebesar 0.043, pada sub populasi Buntut Bali adalah genotipe II,

0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 0,35

F G H I J K L M N O R T U E P V

Pendahara Buntut Bali Tumbang Lahang


(39)

27 LL, MU, MM, HJ dan JO sebesar 0.083 dan pada sub populasi Tumbang Lahang adalah genotipe OP, IM, II, KK, HK, FF, OO, GO, LV dan EK sebesar 0.033.

Lokus ILSTS061

Jumlah total alel yang dihasilkan pada lokus ILSTS061 adalah sebanyak 14 alel yaitu sebagai berikut D, E, F, G, H, I, K, L, M, N, O, C, B dan P dengan kisaran panjang alel antara 136-164 bp. Jumlah alel yang dihasilkan pada sub populasi Pendahara, Buntut Bali dan Tumbang Lahang masing-masing sebesar 11 alel, 6 alel dan 11 alel. Frekuensi alel tertinggi adalah alel G sebesar 0.308 pada sub populasi Buntut Bali dan terendah adalah alel G dan I sebesar 0.021 pada sub populasi Pendahara. Jumlah dan ukuran alel yang diperoleh pada lokus ILSTS061 berbeda dengan hasil yang diperoleh pada kerbau Marathwada lokus ILSTS061. Alel yang dihasilkan pada kerbau Marathwada di India sebesar lima alel dengan kisaran panjang alel antara 144-164 bp (Kathiravan et al., 2009). Tingginya jumlah alel yang dihasilkan pada sapi Katingan kemungkinan disebabkan karena perbedaan jenis dan bangsa ternak yang digunakan, selain itu mungkin disebabkan karena adanya sistem perkawinan yang tidak teratur pada sapi Katingan sehingga alel pada sapi Katingan sudah mendapat campuran dari sapi lain yang terdapat di Kalimantan Tengah. Jumlah dan frekuensi alel serta genotipe dan frekuensinya dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 5.

Frekuensi alel yang diperoleh pada Tabel 5 menunjukkan adanya distribusi alel yang tidak merata pada sub populasi Pendahara, Buntut Bali dan Tumbang Lahang pada lokus ILSTS061. Tidak meratanya distribusi alel yang diperoleh pada lokus ILSTS061 sama dengan lokus CSS066 dan ILSTS029 yaitu menunjukkan bahwa ada sebagian alel yang hanya diperoleh pada sub populasi tertentu tetapi tidak ditemukan pada sub populasi yang lainnya. Distribusi alel sub populasi Pendahara, Buntut Bali dan Tumbang Lahang pada lokus ILSTS061 dapat dilihat pada Gambar 16. Alel yang ditemukan pada sub populasi Pendahara lokus ILSTS061 ada yang tidak ditemukan pada sub populasi Buntut Bali maupun Tumbang Lahang.


(40)

28 Tabel 5. Jenis dan Ukuran Alel Lokus ILSTS061 pada Sapi Katingan

Jumlah Alel Sub populasi

Genotipe Frekuensi Genotipe

Alel dan Ukuran (pb)

Frekuensi Alel

11 Pendahara

(n=24) NN(1) MM(3) DD(2) LL(1) HH(5) EE(1) FF(2) OO(2) GN(1) FK(2) KN(1) DH(1) IL(1) FM(1) 0.042 0.125 0.083 0.042 0.208 0.042 0.083 0.083 0.042 0.083 0.042 0.042 0.042 0.042 D (140) E(142) F(144) G(146) H(148) I(150) K(154) L(156) M(158) N(160) O(162) 0.104 0.042 0.146 0.021 0.229 0.021 0.063 0.063 0.146 0.083 0.083

6 Buntut Bali

(n=13) NN(2) GG(4) DD(2) FF(3) CC(1) DK(1) 0.154 0.308 0.154 0.231 0.077 0.077 C (138) D(140) F(144) G(146) K(154) N(160) 0.077 0.192 0.231 0.308 0.038 0.154

11 Tumbang

Lahang (n=31) PP(1) NN(3) MM(2) GG(4) DD(6) LL(1) DN(1) GI(1) BD(4) HH(2) IN(1) EE(2) FF(2) EI(1) 0.032 0.097 0.065 0.129 0.194 0.032 0.032 0.032 0.129 0.065 0.032 0.065 0.065 0.032 B(136) D(140) E(142) F(144) G(146) H(148) I(150) L(156) M(158) N(160) P(164) 0.065 0.274 0.081 0.065 0.145 0.065 0.048 0.032 0.065 0.129 0.032

Keterangan : n = Jumlah Individu

Angka dalam tanda kurung () menunjukkan banyaknya genotipe yang muncul pada sub populasi dan panjang ukuran alel


(41)

29 Gambar 16. Distribusi Frekuensi Alel Lokus ILSTS061

Jumlah genotipe sapi Katingan yang dihasilkan pada lokus ILSTS061 secara keseluruhan berjumlah 23 macam genotipe. Frekuensi genotipe tertinggi yang diperoleh adalah genotipe GG sebesar 0.308 pada sub populasi Buntut Bali dan terendah adalah genotipe PP, LL, DN, GI, IN dan EI sebesar 0.032 pada sub populasi Tumbang Lahang. Sebaran frekuensi genotipe berdasarkan pada sub populasi diperoleh frekuensi genotipe tertinggi pada masing-masing sub populasi Pendahara, Buntut Bali dan Tumbang Lahang secara berturut-turut adalah genotipe HH sebesar 0.208, genotipe GG sebesar 0.308 dan genotipe DD sebesar 0.194. Frekuensi genotipe terendah pada masing-masing sub populasi yaitu pada sub populasi Pendahara adalah genotipe NN, LL, EE, GN, KN, DH, IL dan FM sebesar 0.042, pada sub populasi Buntut Bali adalah genotipe CC dan DK sebesar 0.077, dan pada sub populasi Tumbang Lahang adalah genotipe PP, LL, DN, GI, IN dan EI sebesar 0.032.

Jenis alel tertentu yang terdapat pada suatu sub populasi dapat dijadikan sebagai penciri sapi Katingan pada sub populasi Pendahara, Buntut Bali maupun Tumbang Lahang dan pada lokus tertentu. Hasil Gambar 14, 15 dan 16 distribusi frekuensi alel pada lokus CSSM066, ILSTS029 dan ILSTS061 di atas menunjukkan bahwa beberapa alel memiliki frekuensi yang tinggi pada sub populasi tertentu, namun dominasi atau frekuensi tertinggi alel-alel tersebut lebih banyak ditemukan pada sapi Katingan sub populasi Buntut Bali dan frekuensi terendah lebih banyak ditemukan pada sub populasi Tumbang Lahang. Sampel pemeriksaan dari sub

0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 0,35

D E F G H I K L M N O C B P

Pendahara Buntut Bali Tumbang Lahang


(42)

30 populasi Tumbang Lahang lebih banyak dibandingkan dari sub populasi Pendahara dan Buntut Bali dan ini memungkinkan lebih banyak munculnya alel namun dengan frekuensi rendah (Sun et al., 2008).

Informasi tentang alel-alel spesifik (breed specific allele) dari data molekuler untuk sapi lokal Indonesia masih sangat terbatas. Sapi Bali memiliki alel spesifik pada lokus mikrosatelit INRA023 (Muladno et al., 2000) dan pada lokus HEL9 dan INRA035 (Noor et al., 2000). DNA mikrosatelit juga memberikan gambaran awal tentang hubungan genetik antara sapi Bali, Madura, PO, dan Brangus berdasarkan panel 16 marka mikrosatelit (Winaya, 2000 dan Winaya et al., 2000). DNA mikrosatelit selain digunakan pada sapi potong juga banyak digunakan dalam penelitian untuk menentukan keragaman pada sapi Fries Holland (FH) (Prahasta, 2001 dan Sumantri et al., 2007), sapi Pesisir Sumatera Barat (Harmayanti, 2004) dan juga digunakan untuk menentukan keragaman genetik pada domba lokal Indonesia (Sumantri et al., 2005) dengan menggunakan lokus CSSM18, ILSTS54 dan IDVGA30.

Penentuan keragaman dengan menggunakan DNA mikrosatelit ini sudah banyak memberikan informasi tentang jenis alel pada beberapa sapi Asia sehingga hal ini memudahkan dalam pengembangan sapi tersebut kedepannya. Perbandingan jumlah alel pada berbagai bangsa sapi dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Perbandingan Jumlah Alel pada Berbagai Sapi Bangsa

Sapi

Jumlah Alel pada Lokus (n) INR

032

ETH 152

INRA 035

HEL 5

ILSTS 005

ETH 10

INRA 023

ETH 185 Bali1) 2 (23) 2 (23) 2 (23) 1 (14) 2 (23) 2 (23) 4 (23) 2 (23) Madura 2 (19) 2 (23) 3 (23) 2 (23) 3 (23) 2 (23) 1 (23) 2 (14) PO 4 (16) 3 (20) 3 (12) 2 (10) 2 (15) 2 (13) 3 (16) 2 (20) Brangus 2 (8) 2 (23) 1 (17) 3 (9) 3 (7) 2 (23) 2 (13) 3 (9)

Bali2) * * 2 (6) * 1 (5) 1 (4) * *

Brangus * * 2 (3) * 1 (2) 2 (2) * *

Keterangan : * = tidak dilakukan penelitian

Sumber 1) = Winaya (2000)

2) = Tim Fakultas Peternakan IPB (2000)


(43)

31 Jumlah alel yang ditemukan pada beberapa sapi di Asia dengan menggunakan beberapa lokus tersebut diatas secara umum lebih rendah jika dibandingkan dengan jumlah alel yang ditemukan pada sapi Katingan lokus CSSM066, ILSTS029 dan ILSTS061 pada sub populasi Pendahara, Buntut Bali dan Tumbang Lahang. Banyaknya alel yang ditemukan pada sapi Katingan kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor seperti adanya perbedaan jumlah sampel yang digunakan, sistem perkawinan, bangsa dan adanya keterbatasan kemampuan dalam penentuan alel secara manual.

Derajat Heterozigositas

Nilai heterozigositas tertinggi pada penelitian ini adalah sub populasi Tumbang Lahang ( = 0.7333) pada lokus ILSTS029, sedangkan yang terendah pada sub populasi Pendahara ( = 0.0000) pada lokus CSSM066. Nei (1987) menyatakan

bahwa nilai heterozigositas ( ) merupakan cara paling akurat untuk mengukur variasi genetik dan derajat heterozigositas dapat diperoleh dari rataan persentase lokus heterozigot tiap individu atau rataan persentase individu heterozigot di dalam populasi (Nei dan Kumar, 2000).

Nilai rataan heterozigositas pada penelitian ini ada dua yaitu yang rataan heterozigositas berdasarkan sub populasi yang sama dan lokus yang berbeda dan berdasarkan sub populasi yang berbeda tetapi lokus yang sama. Rataan heterozigositas dipengaruhi oleh ukuran populasi dan jumlah lokus yang di analisa dan untuk menduga rataan heterozigositas pada suatu lokus minimal membutuhkan 20-30 sampel (Nei, 1987). Derajat heterozigositas sapi Katingan pada Lokus CSSM066, ILSTS029 dan ILSTS061 pada sub populasi Pendahara, Buntut Bali dan Tumbang Lahang dapat dilihat pada Tabel 7.


(44)

32 Tabel 7. Derajat Heterozigositas Sub Populasi Pendahara, Buntut Bali, dan

Tumbang Lahang

Lokus

Derajat Heterozigositas ( ) Rataan Heterozigositas

( )

Pendahara Buntut Bali Tumbang Lahang

CSSM066 0.0000 0.3077 0.2000 0.1692

ILSTS029 0.5417 0.6923 0.7333 0.6558

ILSTS061 0.3043 0.0769 0.2581 0.2131

Raatan Heterozigositas

( )

0.2820 0.3590 0.3971 0.3460

Nilai rataan heterozigositas tertinggi berdasarkan sub populasi yang sama dan lokus yang berbeda adalah sebesar 0.3971 pada sub populasi Tumbang Lahang dan yang terendah sebesar 0.2820 pada sub populasi Pendahara, sedangkan rataan heterozigositas berdasarkan sub populasi yang berbeda dan lokus yang sama, maka diperoleh nilai rataan heterozigositas tertinggi adalah sebesar 0.6558 pada lokus ILSTS029 dan terendah sebesar 0.1692 pada lokus CSSM066. Rendahnya nilai rataan heterozigositas pada penelitian ini kemungkinan disebabkan karena jumlah lokus yang digunakan hanya tiga lokus yaitu CSSM066, ILSTS029 dan ILSTS061 dan jumlah sampel yang digunakan juga terbatas. Heterozigositas yang tinggi pada sub populasi atau populasi menunjukkan bahwa sapi-sapi tersebut mengandung alel-alel sapi lain (Abdullah, 2008). Tidak adanya kegiatan seleksi sebagaimana yang ada di lapangan, memunculkan tingginya alel pengamatan yang memungkinkan keragaman genetiknya juga akan tinggi (Karthickeyan et al., 2009).

Nei dan Kumar (2000) menyatakan bahwa nilai heterozigositas ditentukan oleh jumlah sampel, jumlah dan nilai frekuensi alel. Prahasta (2001) menyatakan bahwa semakin banyak sampel yang digunakan pada suatu lokus maka semakin besar nilai heterozigositas yang diperoleh, tetapi hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian pada sapi Katingan ini. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh jumlah dan nilai frekuensi alel yang diperoleh serta jenis sapi yang digunakan. Jumlah dan nilai rataan heterozigositas dapat digunakan sebagai salah satu langkah awal untuk


(45)

33 melakukan program pemuliaan lainnya seperti seleksi, tetapi program seleksi ini akan lebih akurat lagi jika digunakan pada lokus dan sampel yang lebih banyak.

Jarak Genetik

Hasil penelitian sapi Katingan pada sub populasi Pendahara, Buntut Bali dan Tumbang Lahang menunjukkan bahwa sub populasi Buntut Bali memiliki hubungan kekerabatan atau jarak genetik yang lebih dekat dengan Tumbang Lahang, sedangkan sub populasi Pendahara memiliki hubungan kekerabatan yang jauh dengan sub populasi Buntut Bali dan Tumbang Lahang. Jarak genetik sub populasi Pendahara, Buntut Bali dan Tumbang Lahang dapat dilihat pada Gambar 17.

Gambar 17. Pohon Genetik Sapi Katingan Sub Populasi Pendahara, Buntut Bali, dan Tumbang Lahang

Hal ini kemungkinan disebabkan karena sistem pemeliharaan sapi Katingan yang ekstensif sehingga sistem perkawinan sapi Katingan tidak bisa dikontrol. Sistem perkawinan yang alami ini memungkinkan terjadinya perkawinan antara sapi Katingan di Buntut Bali dan Tumbang Lahang, sehingga terjadi pencampuran genetik antara keduanya. Hal ini menyebabkan jarak genetik keduanya berdekatan, begitu juga dengan sapi Katingan pada sub populasi Pendahara, kemungkinan sapi Katingan pada sub populasi Pendahara ini belum terjadi perkawinan dengan sapi Katingan yang ada pada sub populasi Buntut Bali ataupun Tumbang Lahang sehingga jarak genetiknya berjauhan.

Buntut Bali

Tumbang Lahang 4.16952

4.16952 7.82654

11.99606


(46)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Sapi Katingan sub populasi Pendahara, Buntut Bali dan Tumbang Lahang pada lokus CSSM066, ILSTS029 dan ILSTS061 bersifat polimorfik. Lokus CSSM066 menghasilkan sembilan alel dengan macam alel E, F, G, I, J, K, M, L dan O. Lokus ILSTS029 menghasilkan 16 alel dengan macam alel F, G, H, I, J, K, L, M, N, O, R, T, U, E, P dan V. Lokus ILSTS061 menghasilkan 14 alel dengan macam alel D, E, F, G, H, I, K, L, M, N, O, C, B dan P. Nilai rataan heterozigositas tertinggi

ditemukan pada lokus ILSTS029 ( =0.6558) dan terendah pada lokus CSSM066 ( =0.1692).

Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menentukan keragaman sapi Katingan Kalimantan Tengah dengan jumlah sampel dan lokus yang lebih banyak, sehingga hasil yang diperoleh akan lebih baik dan akurat. Pendeteksian keragaman sapi Katingan bisa dilakukan dengan teknik penciri DNA lainnya seperti dengan menggunakan teknik PCR-RFLP, PCR-SSCP dan penciri genetik lainnya.


(47)

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas berkat rahmat dan karunianya sehingga penulis bisa menyelesaikan penulisan skripsi ini. Kepada Ayahanda (Bapak Bahtiar) dan Ibunda (Ibu Mardiati) tercinta yang senantiasa memberikan kasih sayang dan dukungan serta selalu berdoa untuk kesuksesan penulis. Kepada adik saya tersayang (Dedy Surandi) yang senantiasa memberikan motivasi, nasehat, terimakasih atas semua yang diberikan kepada penulis.

Terimakasih kepada Bapak Dr. Ir. Moh. Yamin, M.Sc. Agr selaku pembimbing akademik yang selalu memberikan nasehat dan motivasi kepada penulis. Terimakasih yang sebanyak-banyaknya penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri M. Agr. Sc dan Dr. Jakaria, S.Pt, M.Si atas segala perhatian, bimbingan, motivasi dan arahannya. Terimakasih kepada Pak Bambang Ngaji Utomo yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian mikrosatelit sapi Katingan ini bersama-sama Beliau, terimakasih juga atas informasi-informasi mengenai sapi Katingan, arahan, dan bimbingannya. Terimakasih kepada Dr. Sri Suharti, S.Pt., M.Si, Ir. Dwi Joko Setyono, MS, dan Ir. Lucia Cyrilla, ENSD, M.Si sebagai penguji yang telah memberikan kritikan dan masukannya.

Terimakasih kepada Kak Eryk, Kak Restu, Kak Surya, Pak Ihsan, Pak Andi, Ibu Suriana, Kak Kia serta teman-teman satu penelitian di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak (Ulin, Irene, Rahma, Erwin, Pris, Ferdy, Icha, Diny, Wike, Gabby, Tiffany, Leni, Cici, Desi, Gina), teman-teman dekat penulis (Dani, Mayang, Nailla, Santi, Tari, Tantia, Fuad, Handa, Riri), dan teman-teman kosan Anggraeni, serta teman-teman IPTP 44 yang seperjuangan dengan penulis yang tidak bisa disebutkan satu persatu, penulis banyak mengucapkan terimakasih atas dukungan dan kebersamaannya.

Bogor, April 2011


(48)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. A. N. 2008. Karakterisasi genetik sapi Aceh menggunakan analisis keragaman fenotipik, daerah D-Loop DNA mitokondria dan DNA mikrosatelit Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Adrial. 2010. Sapi Lokal Kalimantan Tengah Sumberdaya Lokal Potensial yang Belum Termanfaatkan Secara Optimal. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah.

Ashwell, M. S., Tassel, C. P. V, & T. S. S. Tegard. 2001. A genome scan to identify quantitative trait loci affecting economically important traits in Australia Holstein population. J. Dairy Sci. 84: 2535-2542.

Badan Pusat Statistika. 2009. Populasi Ternak 2008.

http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=24&n otab=12. [18 Februari 2011].

Bastos, E., A. Cradavor, J. Azevedo & H. G. Pinto. 2001. Single strand conformation polymorphism (SSCP) detection in six genes in Portuguese indigenous sheep

breed “Churra da Terra Quente”. Biotechnol. Agron. Soc. Environ. 5: 7-15 Bennet, P. 2000. Microsatellites. J. Clin. Pathol. Mol. Pathol. 53: 177-183.

Blakely, J. & D. H. Bade. 1992. Ilmu Peternakan Edisi Ke Empat. Terjemahan Srigandono. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Bloot, S. C., J. L. Williams, & C. S. Haley. 1998. Genetics relationship among European cattle breeds. Anim Genet. 29: 273-282.

Ciampolini, R., K. M. Goudarzi, D. Vaiman, C. Dillmann, E. Mazzanti, J. L. Foulley, H. Leveziel, & D. Cianci. 1995. Individual multilocus genotypes using microsatellite polymorphisms to permit the analysis of the genetic variability within and between Italian beef cattle breeds. J. Anim. Sci.73: 3259-3268. Clisson, I, M. Lathuilliere, & B. Crouau-Ray. 2000. Conservation and evolution of

microsatellite loci in primate Taxa. Am. J. Prim. 50: 205-214.

Direktorat Jenderal Peternakan. 2008. Buku Statistik Peternakan 2008. Jakarta: Ditjenak, Departemen Pertanian Republik Indonesia.

Edwards, C. J., C. Gaillard, D. G. Bradley, & D. E. MacHugh. 2000. Y-spesific microsatellite polymorphisms in a range of bovide species. Anim. Genet. 31: 127-130.

Gomez-Raya, L., H. G. Olsen, F. Lingaas, H. Klungland, D. I. Vage, I. Olsaker, S. B. Talle, M. Aasland, & S. Lien. 2002. The use of genetic marker to measure genomic response to selection in livestock. Genetics. 162: 1381-1388.

Harmayanti, W. A. 2004. Pendeteksian keragaman DNA mikrosatelit sapi Pesisir Sumatera Barat dengan menggunakan primer INRA037, BM2113 serta ILSTS006. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hayashi, K. 1991. PCR-SSCP: A simple and sensitive method for detection of


(49)

37 Hendrick, P. W. Genetics of Population. 2000. 2nd Ed. Jones and Barlett Publishers.

Sudbury. Massachussetts.

Hoelzel, A. R. 1998. Molecular Genetic Analysis of Populations. A Practical Approach. Second Edition. Oxford University Press. New York.

Jeffreys, A. J., N. J. Royle, V. Willson, & Z. Wong. 1988. Spontaneous mutation rates to new length alleles at tandem-repetitive hypervariable loci in human DNA. Nature. 332: 278-281.

Jeffreys, A. J., N. J. Royle, V. Willson, & Z. Wong. 1994. Complex gene conversion events in germlain mutation at human minisatellites. Nat. Genet. 6: 136-145. Johansson, M, H. Ellegre, L. & Anderson. 1992. Cloning and characterization of

polymorphic porcine microsatellite. Hered. 83: 196-198.

Karthickeyan, S. M. K., S. N. Sivaselvam, R. Selvam & P. Thangeraju. 2009. Microsatellite analysis of Kangayam cattle (Bos indicus). Indian J. Sci. Technol. 2: 38-40.

Kathiravan, P, B. P. Mishra, R. S. Kataria, & D. K. Sadana. 2009. Evaluation of genetic architecture and mutation drift equilibrium of marathwada buffalo population in central India. J. Genet. 288-293.

Lehmann, T., A. H. William & F. H Collins. 1996. An evolutionary constraints on microsatellite loci using null allels. J. Genet. 144: 1155-1163.

Levinson, G & G. A. Gutman. 1987. Slipped-satrand mispairing: a major mechanism for DNA sequence evolution. Mol. Biol. Evol 4: 203-221.

Maskur. 2005. Identifikasi genotip menggunakan marker mikrosatelit dan hubungannya dengan sifat kuantitatif pada sapi. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Maudet, C., G. Luikart & P. Taberlet. 2002. Genetic diversity and assignment test among seven french cattle breeds based on microsatellite DNA analysis. J. Anim. Sci. 80: 942–950.

Moxon, E. R & C. Wills. 1999. DNA Microsatellites: Agents of Evaluation. Scientific American. USA.

Muladno, R. R. Noor & B. Tappa. 2000. The Genomic mapping of Bali cattle : Early strategy and an effort to production of “tandemly repeated sequence“ and

“Interspearse Repetitive Sequence“ as DNA Markers. Integrated Competitive

Research Grand Program VI (1997-1999) Report. National Research Council, Ministry of Research and Technology, Republic of Indonesia.

Namikawa, T., Y. Matsuda, K. Kondo, B Pangestu & H Martojo. 1980. Blood groups and blood polymorphism of different types of the cattle in Indonesia. The Origin of Phylogeny of Indonesian Native Livestock (Report by Grant-in Aid for Ovrseas Scientific Survey, No. 404315). Bogor. The Research Group of Overseas Scentific Survey. 35-45.

Nei, M. 1987. Molecular Evolution and Genetics. Columbia University Press, New York.


(50)

38 Nei, M. & Kumar S. 2000. Molecular Evolutionery And Phylogenetics. Oxford

University Press, New York.

Noor, R. R., Muladno, B. Benyamin, Z. Hedah, & Herliantin. 2000. The Purity breed test of Bali cattle by Protein, Microsatellite DNA, Body Hair Structure and Chromosome. Joint Research Grand Program Reports. Faculty of Animal Science, Bogor Agricultural University and Artificial Insemination Center. Poerwanto, S. B. 1993. Teknik PCR dan Aplikasinya. Kursus Singkat Biologi

Molekuler. Fakultas Maematika dan Ilmu Pengentahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Prahasta, P. 2001. Derajat heterozigositas DNA mikrosatelit pada populasi sapi Fries Holland (FH). Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sambrook, J., E.F. Fritsch & T. Maniatis. 1989. Molecular Cloning : Laboratory

Manual. 2nd Edition. Cold Spring Harbor Laboratory Press. USA.

Silva F, L Gusmao, & A. Amorim. 1999. Segregation analysis of tetra and pentanucleotide short tandem repeat polymorphisms: Deviation from Mendelian expectations. Electrophoresis. 20: 1697-1701.

Sumantri, C., A. Farajallah, U. Fauzi, & J. F. Salamena. 2005. Keragaman genetik DNA mikrosatelit dan hubungannya dengan performa bobot badan pada domba lokal. Med. Pet. 31: 1-13.

Sumantri, C., A. Anggraeni., A. Farajallah., dan D. Perwitasari. 2007. Keragaman mikrosatelit DNA sapi perah FH di balai pembibitan ternak unggul Baturraden. JITV 12: 124-133.

Sun, W., H. Chen, C. Lei, X. Lei, & Y. Zhang. 2008. Genetic variation in eight Chinese cattle breeds based on the analysis of microsatellite markers. Genet. Sel. Evol. 40: 681-692

Tanari, M. 2001. Estimasi dinamika populasi dan produktivitas sapi Bali di Propinsi Daerah Tingkat 1 Bali. Tesis. Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Tim Fakultas Peternakan IPB. 2000. Uji kemurnian sapi bali melalui protein, DNA, mikrosatelit, dan struktur bulu. Buku Panduan Seminar Nasional Peranan BIB Singosari dalam Menghadapi Swasembada Daging Tahun 2005. BIB Singosari. Dirjen Peternakan. Departemen Pertanian.

Utomo, B.N., R.R. Noor, C. Sumantri, I. Supriatna, & E.D. Gurnardi. 2010. Keragaman morfometrik dan fenotipik sapi Katingan di Kalimantan Tengah. JITV. 15 (In Press).

Utoyo, D. P. 2002. Management of the Farm Domestic Animal Genetic Resources in Indonesia. Di Dalam Animal Genetic Resources. Directorate Generale of Livestock Services. Ministry of Agriculture Indonesia. Jakarta.

Winaya, A. 2000. Penggunaan penanda molekuler mikrosatelit untuk deteksi polimorfisme dan analisis filogenetik genom sapi. Tesis. Program Studi Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.


(51)

39 Winaya, A., Muladno, & B. Tappa. 2000. Variasi genetik berdasarkan 16 lokus

mikrosatelit pada sapi Bali dan Madura. Makalah. di dalam: Kongres dan Seminar Nasional II Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia (PBPI):


(52)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. A. N. 2008. Karakterisasi genetik sapi Aceh menggunakan analisis keragaman fenotipik, daerah D-Loop DNA mitokondria dan DNA mikrosatelit Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Adrial. 2010. Sapi Lokal Kalimantan Tengah Sumberdaya Lokal Potensial yang Belum Termanfaatkan Secara Optimal. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah.

Ashwell, M. S., Tassel, C. P. V, & T. S. S. Tegard. 2001. A genome scan to identify quantitative trait loci affecting economically important traits in Australia Holstein population. J. Dairy Sci. 84: 2535-2542.

Badan Pusat Statistika. 2009. Populasi Ternak 2008. http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=24&n otab=12. [18 Februari 2011].

Bastos, E., A. Cradavor, J. Azevedo & H. G. Pinto. 2001. Single strand conformation polymorphism (SSCP) detection in six genes in Portuguese indigenous sheep breed “Churra da Terra Quente”. Biotechnol. Agron. Soc. Environ. 5: 7-15 Bennet, P. 2000. Microsatellites. J. Clin. Pathol. Mol. Pathol. 53: 177-183.

Blakely, J. & D. H. Bade. 1992. Ilmu Peternakan Edisi Ke Empat. Terjemahan Srigandono. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Bloot, S. C., J. L. Williams, & C. S. Haley. 1998. Genetics relationship among European cattle breeds. Anim Genet. 29: 273-282.

Ciampolini, R., K. M. Goudarzi, D. Vaiman, C. Dillmann, E. Mazzanti, J. L. Foulley, H. Leveziel, & D. Cianci. 1995. Individual multilocus genotypes using microsatellite polymorphisms to permit the analysis of the genetic variability within and between Italian beef cattle breeds. J. Anim. Sci.73: 3259-3268. Clisson, I, M. Lathuilliere, & B. Crouau-Ray. 2000. Conservation and evolution of

microsatellite loci in primate Taxa. Am. J. Prim. 50: 205-214.

Direktorat Jenderal Peternakan. 2008. Buku Statistik Peternakan 2008. Jakarta: Ditjenak, Departemen Pertanian Republik Indonesia.

Edwards, C. J., C. Gaillard, D. G. Bradley, & D. E. MacHugh. 2000. Y-spesific microsatellite polymorphisms in a range of bovide species. Anim. Genet. 31: 127-130.

Gomez-Raya, L., H. G. Olsen, F. Lingaas, H. Klungland, D. I. Vage, I. Olsaker, S. B. Talle, M. Aasland, & S. Lien. 2002. The use of genetic marker to measure genomic response to selection in livestock. Genetics. 162: 1381-1388.

Harmayanti, W. A. 2004. Pendeteksian keragaman DNA mikrosatelit sapi Pesisir Sumatera Barat dengan menggunakan primer INRA037, BM2113 serta ILSTS006. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hayashi, K. 1991. PCR-SSCP: A simple and sensitive method for detection of


(2)

37 Hendrick, P. W. Genetics of Population. 2000. 2nd Ed. Jones and Barlett Publishers.

Sudbury. Massachussetts.

Hoelzel, A. R. 1998. Molecular Genetic Analysis of Populations. A Practical Approach. Second Edition. Oxford University Press. New York.

Jeffreys, A. J., N. J. Royle, V. Willson, & Z. Wong. 1988. Spontaneous mutation rates to new length alleles at tandem-repetitive hypervariable loci in human DNA. Nature. 332: 278-281.

Jeffreys, A. J., N. J. Royle, V. Willson, & Z. Wong. 1994. Complex gene conversion events in germlain mutation at human minisatellites. Nat. Genet. 6: 136-145. Johansson, M, H. Ellegre, L. & Anderson. 1992. Cloning and characterization of

polymorphic porcine microsatellite. Hered. 83: 196-198.

Karthickeyan, S. M. K., S. N. Sivaselvam, R. Selvam & P. Thangeraju. 2009. Microsatellite analysis of Kangayam cattle (Bos indicus). Indian J. Sci. Technol. 2: 38-40.

Kathiravan, P, B. P. Mishra, R. S. Kataria, & D. K. Sadana. 2009. Evaluation of genetic architecture and mutation drift equilibrium of marathwada buffalo population in central India. J. Genet. 288-293.

Lehmann, T., A. H. William & F. H Collins. 1996. An evolutionary constraints on microsatellite loci using null allels. J. Genet. 144: 1155-1163.

Levinson, G & G. A. Gutman. 1987. Slipped-satrand mispairing: a major mechanism for DNA sequence evolution. Mol. Biol. Evol 4: 203-221.

Maskur. 2005. Identifikasi genotip menggunakan marker mikrosatelit dan hubungannya dengan sifat kuantitatif pada sapi. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Maudet, C., G. Luikart & P. Taberlet. 2002. Genetic diversity and assignment test among seven french cattle breeds based on microsatellite DNA analysis. J. Anim. Sci. 80: 942–950.

Moxon, E. R & C. Wills. 1999. DNA Microsatellites: Agents of Evaluation. Scientific American. USA.

Muladno, R. R. Noor & B. Tappa. 2000. The Genomic mapping of Bali cattle : Early strategy and an effort to production of “tandemly repeated sequence“ and “Interspearse Repetitive Sequence“ as DNA Markers. Integrated Competitive Research Grand Program VI (1997-1999) Report. National Research Council, Ministry of Research and Technology, Republic of Indonesia.

Namikawa, T., Y. Matsuda, K. Kondo, B Pangestu & H Martojo. 1980. Blood groups and blood polymorphism of different types of the cattle in Indonesia. The Origin of Phylogeny of Indonesian Native Livestock (Report by Grant-in Aid for Ovrseas Scientific Survey, No. 404315). Bogor. The Research Group of Overseas Scentific Survey. 35-45.

Nei, M. 1987. Molecular Evolution and Genetics. Columbia University Press, New York.


(3)

38 Nei, M. & Kumar S. 2000. Molecular Evolutionery And Phylogenetics. Oxford

University Press, New York.

Noor, R. R., Muladno, B. Benyamin, Z. Hedah, & Herliantin. 2000. The Purity breed test of Bali cattle by Protein, Microsatellite DNA, Body Hair Structure and Chromosome. Joint Research Grand Program Reports. Faculty of Animal Science, Bogor Agricultural University and Artificial Insemination Center. Poerwanto, S. B. 1993. Teknik PCR dan Aplikasinya. Kursus Singkat Biologi

Molekuler. Fakultas Maematika dan Ilmu Pengentahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Prahasta, P. 2001. Derajat heterozigositas DNA mikrosatelit pada populasi sapi Fries Holland (FH). Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sambrook, J., E.F. Fritsch & T. Maniatis. 1989. Molecular Cloning : Laboratory

Manual. 2nd Edition. Cold Spring Harbor Laboratory Press. USA.

Silva F, L Gusmao, & A. Amorim. 1999. Segregation analysis of tetra and pentanucleotide short tandem repeat polymorphisms: Deviation from Mendelian expectations. Electrophoresis. 20: 1697-1701.

Sumantri, C., A. Farajallah, U. Fauzi, & J. F. Salamena. 2005. Keragaman genetik DNA mikrosatelit dan hubungannya dengan performa bobot badan pada domba lokal. Med. Pet. 31: 1-13.

Sumantri, C., A. Anggraeni., A. Farajallah., dan D. Perwitasari. 2007. Keragaman mikrosatelit DNA sapi perah FH di balai pembibitan ternak unggul Baturraden. JITV 12: 124-133.

Sun, W., H. Chen, C. Lei, X. Lei, & Y. Zhang. 2008. Genetic variation in eight Chinese cattle breeds based on the analysis of microsatellite markers. Genet. Sel. Evol. 40: 681-692

Tanari, M. 2001. Estimasi dinamika populasi dan produktivitas sapi Bali di Propinsi Daerah Tingkat 1 Bali. Tesis. Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Tim Fakultas Peternakan IPB. 2000. Uji kemurnian sapi bali melalui protein, DNA, mikrosatelit, dan struktur bulu. Buku Panduan Seminar Nasional Peranan BIB Singosari dalam Menghadapi Swasembada Daging Tahun 2005. BIB Singosari. Dirjen Peternakan. Departemen Pertanian.

Utomo, B.N., R.R. Noor, C. Sumantri, I. Supriatna, & E.D. Gurnardi. 2010. Keragaman morfometrik dan fenotipik sapi Katingan di Kalimantan Tengah. JITV. 15 (In Press).

Utoyo, D. P. 2002. Management of the Farm Domestic Animal Genetic Resources in Indonesia. Di Dalam Animal Genetic Resources. Directorate Generale of Livestock Services. Ministry of Agriculture Indonesia. Jakarta.

Winaya, A. 2000. Penggunaan penanda molekuler mikrosatelit untuk deteksi polimorfisme dan analisis filogenetik genom sapi. Tesis. Program Studi Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.


(4)

39 Winaya, A., Muladno, & B. Tappa. 2000. Variasi genetik berdasarkan 16 lokus

mikrosatelit pada sapi Bali dan Madura. Makalah. di dalam: Kongres dan Seminar Nasional II Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia (PBPI): Yogyakarta, 7-8 November 2000.


(5)

(6)

Lampiran 1. Informasi Ulangan Nukleotida Lokus CSSM066, ILSTS029 dan ILSTS061 (http://www.ncbi.nlm.nih.gov [5 Februari 2011].

1. Lokus CSSM066

Akses AF232764

5’aatttaatgcactgaggagcttgggctgcagtctacaggggttgcaaagttggacacaac tgagagactgaacacacacacacacacacacacacacacacacactggcttttaatgcccgt cctttcttctcaccttca ccccctctagtccactcagtcagctggcagaaaggatttgtgt

3’

2. Lokus ILSTS061

Akses L37267.1

5’tttcatatcaagtgagagtctgaaaaaaacatttttcttcccatagctcattggaagaaa aaattttcttccctcaaatccctgggaaatatctcttgtaccttactggccagagctgtgac acatgccaatcttagaacaaattataggggccatacggtcatgtgtgccaattagcttatca ggagaaagaaaccagttggagatacacacacacacacacacacacacacacatacacacgtc tcaaggaattgactggcattatggggaaatggtagggtaggccaacagactagaaactctga tgggagataatactatagtcttgcgactaaatttctttttcctctggaaacctcatattttg ctctcaaggattttcatctgattggatgatgcgtacctacattacagaaagtaatatccttt attctgtccatgggatttcccaggtaagaatactggagtgggttgccatgccctcctccagg ggatcctc 3’

3. Lokus ILSTS029

Akses L37252.1

5’caaaccccatctgccttctgttttncnnaagcccatgaactgagaatggcctttccactt tttaattgttaaaataaatgaaataaatactttataacatatgaaaattaaatgaacnnnaa agttcagngtccataaataatgttttgatggaacacagccatactcatttttattacatctc tccatggctgctctagcagtcagacatgactgagggactgagtacacacacacacacacaca

cacacacacacacacacaccgctgtacaggaaaaagtgtgccaaccctggtctaaatccaaa

atccattatcttccaagtacatcacattgtctctccttgatagtgcctaaaaattatctatt agatgctgtaattaggaatctctggttgcccaagcaaaagaaattcagtggaagaagacaga agagcatgagnaagttcatcttgggggaatgaagagaaatttcccagcatgcatgctccgtg gtatctgactctttgcg 3’