Keragaman fenotipik dan genetik, profil reproduksi serta strategi pelestarian dan pengembangan sapi katingan di Kalimantan Tengah

(1)

KERAGAMAN FENOTIPIK DAN GENETIK,

PROFIL REPRODUKSI SERTA STRATEGI

PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN

SAPI KATINGAN

DI KALIMANTAN TENGAH

BAMBANG NGAJI UTOMO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul ”Keragaman Fenotipik dan Genetik, Profil Reproduksi serta Strategi Pelestarian dan Pengembangan Sapi Katingan di Kalimantan Tengah”, adalah karya saya sendiri di bawah arahan dan bimbingan para pembimbing. Karya ini belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2011

Bambang Ngaji Utomo D161070061


(3)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2011

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagaian dan seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(4)

KERAGAMAN FENOTIPIK DAN GENETIK,

PROFIL REPRODUKSI SERTA STRATEGI

PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN

SAPI KATINGAN

DI KALIMANTAN TENGAH

BAMBANG NGAJI UTOMO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(5)

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA.

2. Dr. Ir. Achmad Mahmud Thohari, DEA

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Bess Tiesnamurti, M.Sc. 2. Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA


(6)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Disertasi : Keragaman Fenotipik dan Genetik, Profil

Reproduksi serta Strategi Pelestarian dan Pengembangan Sapi Katingan di Kalimantan Tengah

Nama : Bambang Ngaji Utomo

NRP : D161070061

Program Studi / Mayor : Ilmu dan Teknologi Peternakan (ITP)

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Ronny R. Noor, M.Rur.Sc. Prof. Dr. drh. H.R. Eddie Gurnadi, M.Sc.

Ketua Anggota

Prof. Dr. drh. Iman Supriatna Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc Anggota Anggota

.

Diketahui

Ketua Program Studi/Mayor Ilmu Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

dan Teknologi Peternakan

Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal ujian: 28 Juli 2011 Tanggal lulus:


(7)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penelitian dan karya ilmiah dengan judul “Keragaman Fenotipik dan Genetik, Profil Reproduksi serta Strategi Pelestarian dan Pengembangan Sapi Katingan di Kalimantan Tengah” berhasil diselesaikan.

Penelitian yang dilaksanakan selama 15 bulan (November 2009 sampai Januari 2011) mempunyai arti penting mengingat: (1) Sapi Katingan adalah plasma nutfah yang tidak hanya sebagai aset daerah namun juga aset nasional yang perlu dilestarikan, dimanfaatkan dan dikembangkan untuk kesejahteraan masyarakat khususnya Kalimantan Tengah, (2) Sapi Katingan unik karena hanya dipelihara oleh masyarakat lokal (suku Dayak), mempunyai nilai kultural tinggi dan nilai sejarah, sehingga dengan demikian ikut serta memberdayakan masyarakat asli Kalimantan Tengah yang dewasa ini terkesan terpinggirkan melalui kegiatan bidang peternakan, dan (3) keberadaan Sapi Katingan mulai mengkhawatirkan sementara informasi dan data dasar ternak sangat minim karena belum pernah dilakukan penelitian, padahal data tersebut penting sebagai pijakan untuk pengembangan Sapi Katingan di masa mendatang.

Penelitian ini dapat terlaksana karena dukungan dari berbagai pihak, untuk itu ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada:

1. Guru-guru yang berkomitmen dan berdedikasi tinggi, Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc. sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. drh. H.R. Eddie Gurnadi, M.Sc., Prof. Dr. drh. Iman Supriatna dan Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc., masing-masing sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu, pikiran dan tenaganya dalam membimbing sejak memunculkan ide penelitian, pelaksanaan kegiatan penelitian, penulisan proposal, artikel sampai selesainya penulisan disertasi ini. Semoga Guru-guru penulis diberikan pahala dan diampuni dosanya oleh Allah SWT.


(8)

2. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian selaku Ketua Komisi Pembinaan Tenaga, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program S3.

3. Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP) Bogor dan Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Tengah, yang telah memberikan kepercayaan dan dorongan kepada penulis untuk melanjutkan ke jenjang Program S3 di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

4. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Peternakan IPB dan seluruh jajarannya, yang telah memberikan pelayanan akademik dan administrasi lainnya.

5. Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc. selaku Ketua Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (IPTP), Fakultas Peternakan IPB yang sekaligus sebagai anggota komisi pembimbing dan Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA, selaku Ketua Program Studi/Mayor Ilmu dan Teknologi Peternakan (ITP) atas dukungannya baik dari aspek akademis maupun non akademis.

6. Prof. Dr. Ir. Harimurti Martojo, M.Sc. dan Prof. Dr. Ir. Dewi Apriastuti, MS. atas kesediaannya sebagai penguji luar komisi pada ujian kualifikasi Doktor. Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA. dan Dr. Ir. Achmad Mahmud Thohari, DEA. masing-masing sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup. Dr. Ir. Bess Tiesnamurti, M.Sc. dan Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA. masing-masing sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka.

7. Ford Foundation dan The Indonesian International Education Foundation

(IIEF) yang telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk menerima beasiswa Indonesian Scholar Dissertation Award (ISDA), sehingga sangat membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan penelitian lapang dan laboratorium.

8. Pemerintah Daerah Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Katingan, Ir. Slamet sebagai kepala sub


(9)

bidang Peternakan, Dinas Pertanian Kabupaten Katingan beserta staf, yang telah memberikan dukungan, informasi dan bantuan tenaga di lapang.

9. Kaspul dan Minarni, Ka UPTD dan penyuluh dari Kelurahan Pendahara, Kristiance, Ida dan Izul, Ka UPTD dan penyuluh dari Buntut Bali, Sriyono petugas teknis lapang Desa Tumbang Lahang yang telah membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan di lapang.

10. Teman-teman di laboratorium Genetika dan Molekuler Ternak Fapet IPB yang telah membantu mengarahkan dari aspek teknis dan memberikan wawasan sehingga penelitian laboratorium bisa berjalan lancar.

11. Teman-teman seangkatan tahun 2007, Ir. Aron Batubara, M.Sc., Ir. Eko Handiwirawan, M.Si., Ben Juvarda Takaendengan, S.Pt., M.Si. dan Suryana, S.Pt., MP. yang saling memberikan dukungan, semangat dan berbagi wawasan.

12. Prof. Dr. Ir. Winugroho, M.Sc. yang selalu memberikan semangat, motivasi dan arahan.

13. Akhirnya ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada orang tua dan mertua, istri tercinta Ermin Widjaja, S.Pt., M.Si. serta ananda Yaumil Putri Erlambang, Puspita Vania Prajnaparamitha Ramadhani dan Bunga Rajhana Ragil Gayatri atas dukungan, pengertian dan do’anya.

Pepatah mengatakan tiada gading yang tak retak, penulis menyadari masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, namun demikian besar harapan bahwa karya ilmiah ini bermanfaat bagi perkembangan dan kemajuan ilmu peternakan di Indonesia, khususnya di Kalimantan Tengah serta pembaca.

Bogor, Agustus 2011


(10)

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Blora, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 3 Desember 1961. Penulis merupakan anak kedua dari enam bersaudara dari pasangan ayah Karsan Hadiprajitno dan almarhum ibu Satipah.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri Jetis II Blora pada tahun 1974, pendidikan menengah pertama di SMP Negeri II Blora pada tahun 1977, dan sekolah menengah atas di SMA Negeri Blora pada tahun 1981. Pada tahun 1981 penulis melanjutkan studi di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Pada tahun 1999 penulis mengikuti pendidikan pascasarjana di Wageningen University, Belanda dengan bantuan beasiswa berbagi antara Pemerintah Indonesia (Badan Litbang Pertanian) dengan Pemerintah Belanda (VNONCW). Program studi yang diambil adalah Tropical

Animal Production dan berhasil lulus pada tahun 2001 dengan menyandang gelar

Master of Science (MSc). Pada tahun 2007 penulis kembali melanjutkan studi S3 di Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan mengambil program studi/mayor Ilmu dan Teknologi Peternakan (ITP). Bantuan beasiswa berasal dari Badan Litbang Pertanian.

Sejak tahun 1989 penulis bekerja di Balai Penelitian Veteriner Bogor, kemudian pada tahun 1991 dipindah tugaskan di Sub Balai Penelitian Veteriner Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Pada tahun 1995 bekerja di Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Banjarbaru selama 2 tahun, kemudian sejak tahun 1997 bertugas di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah sampai sekarang sebagai Peneliti Madya.

Penulis menikah dengan Ermin Widjaja, S.Pt., M.Si. pada tahun 1989 dan dikaruniai tiga orang puteri, yaitu Yaumil Putri Erlambang, Puspita Vania Prajnaparamitha Ramandhani dan Bunga Rajhana Ragil Gayatri.

Bogor, Agustus 2011 Penulis


(12)

DAFTAR PUBLIKASI

1. Utomo, B.N., R.R. Noor, C. Sumantri, I. Supriatna, dan E.D. Gunardi. 2011. Keragaan Fenotipik Kualitatif Sapi Katingan di Kalimantan Tengah. Bulletin Plasma Nutfah (Terakreditasi)

2. Utomo, B.N., R.R. Noor, C. Sumantri, I. Supriatna, E.D. Gunardi. 2010. Keragaan Morfometrik Sapi Katingan di Kalimantan Tengah. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner (Terakreditasi)

3. Utomo, B.N., R.R. Noor, C. Sumantri, I. Supriatna, dan E.D. Gunardi. 2011. Keragaman genetik Sapi Katingan dan hubungan kekerabatannya dengan beberapa sapi lokal lain menggunakan analisis DNA mikrosatelit. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner (Terakreditasi)


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Dasar Pertimbangan ... 3

Tujuan Penelitian ... 6

Manfaat Penelitian ………... 6

TINJAUAN PUSTAKA Plasma Nutfah Ternak Sapi ... 7

Keragaman ... 9

Dewasa Kelamin dan Sexual Maturity ... 13

Tingkah Laku Kelamin ……… 14

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu ... 17

Bahan dan Alat ……….... 19

Metode Penelitian ……… 20

Analisis Data ……… 20

EKSISTENSI, STRATEGI PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN SAPI KATINGAN DI KALIMANTAN TENGAH Abstract ... 21

Abstrak ... 21

Pendahuluan ... 22

Bahan dan Metode ... 24

Hasil dan Pembahasan ... 26

Simpulan dan Saran ... 50

Daftar Pustaka ... 51

KERAGAMAN FENOTIPIK KUALITATIF SAPI KATINGAN Abstract ... 53

Abstrak ... 53

Pendahuluan ... 54

Bahan dan Metode ... 55

Hasil dan Pembahasan ... 57

Simpulan dan Saran ... 72

Daftar Pustaka ... 72

KERAGAMAN FENOTIPIK KUANTITATIF SAPI KATINGAN Abstract ... 75


(14)

Abstrak ... 75

Pendahuluan ... 76

Bahan dan Metode ... 78

Hasil dan Pembahasan ... 83

Simpulan dan Saran ... 93

Daftar Pustaka ... 94

KERAGAMAN GENETIK SAPI KATINGAN DAN HUBUNGAN KEKERABATANNYA DENGAN BEBERAPA SAPI LOKAL LAIN BERDASARKAN PADA 15 LOKUS MIKROSATELIT Abstract ... 97

Abstrak ... 97

Pendahuluan ... 98

Bahan dan Metode ... 100

Hasil dan Pembahasan ... 106

Simpulan dan Saran ... 121

Daftar Pustaka ... 122

IDENTIFIKASI HORMON PROGESTERON PADA VARIASI UMUR UNTUK ESTIMASI PERMULAAN PUBERTAS SAPI KATINGAN BETINA Abstract ... 127

Abstrak ... 127

Pendahuluan ... 128

Bahan dan Metode ... 130

Hasil dan Pembahasan ... 132

Simpulan dan Saran ... 141

Daftar Pustaka ... 142

TINGKAH LAKU KELAMIN SAPI KATINGAN JANTAN PADA MANAJEMEN EKSTENSIF TRADISIONAL Abstract ... 147

Abstrak ... 147

Pendahuluan ... 148

Bahan dan Metode ... 150

Hasil dan Pembahasan ... 151

Simpulan dan Saran ... 157

Daftar Pustaka ... 157

PEMBAHASAN UMUM ……… 161

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ... 171

Saran ... 172


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Populasi ternak di Kabupaten Katingan tahun 2003-2007 ... 26

2. Tataguna lahan di Kelurahan Pendahara, Desa Buntut Bali, dan Desa Tumbang Lahang ... 27

3. Kelembagaan pendukung kegiatan pertanian di Kelurahan Pendahara, Desa Buntut Bali dan Desa Tumbang Lahang ... 30

4. Struktur penduduk berdasarkan usia produktif, pendidikan, dan pekerjaan di Kelurahan Pendahara, Desa Buntut Bali dan Desa Tumbang Lahang... 31

5. Populasi ternak di Kelurahan Pendahara (2008), Desa Buntut Bali dan Tumbang Lahang pada tahun 2010 ... 32

6. Responden dan keluarga berdasarkan struktur umur tahun 2009 ... 33

7. Tingkat pendidikan responden ……….. 33

8. Pekerjaan utama responden ... 34

9. Jenis tanaman yang diusahakan oleh responden ... 34

10. Pendapatan tahunan per KK (responden) pada kegiatan usahatani campuran (mix farming) di tiga lokasi penelitian ... 36

11. Hasil pemeriksaan kotoran sapi lokal di 11 titik ranch di Desa Buntut Bali dan Kelurahan Pendahara ... 39

12. Kinerja budidaya Sapi Katingan berdasarkan informasi responden di Kelurahan Pendahara, Desa Buntut Bali, dan Desa Tumbang Lahang ... 40

13. Rumusan strategi pelestarian dan pengembangan Sapi Katingan di Kalimantan Tengah ……… 48

14. Distribusi contoh Sapi Katingan untuk karakterisasi kualitatif ... 56

15. Keragaman warna bulu Sapi Katingan betina ... 59

16. Keragaman warna bulu Sapi Katingan jantan ... 62


(16)

18. Keragaman bentuk tanduk Sapi Katingan dewasa jantan ... 69 19. Bentuk tonjolan di kepala pada sapi lokal Kalimantan Tengah ... 71 20. Distribusi contoh Sapi Katingan di tiga lokasi penelitian yang

diambil secara acak ... 79 21. Rataan (x), simpangan baku (s.d) dan koefisien keragaman (KK)

bobot hidup Sapi Katingan dewasa berdasarkan lokasi dan jenis

kelamin ... 84 22. Rataan (x), simpangan baku (s.d) dan koefisien keragaman (KK)

parameter tubuh Sapi Katingan dewasa berdasarkan lokasi dan

jenis kelamin ... 86 23. Rataan (x), simpangan baku (s.d) dan koefisien keragaman (KK)

parameter kepala Sapi Katingan dewasa berdasarkan lokasi dan

jenis kelamin ……….. 88 24. Presentase nilai kesamaan dan campuran di dalam dan di antara

kelompok Sapi Katingan ... 91 25. Matrik jarak genetik antar tiga lokasi (sub populasi) Sapi Katingan 91 26. Struktur total kanonik ukuran-ukuran tubuh sapi Katingan di tiga

lokasi penelitian ... 93 27. Distribusi contoh darah sapi untuk pemeriksaan keragaman

genetik ... 101 28. Karakteristik 15 lokus mikrosatelit ……… 104 29. Sebaran genotipe untuk masing-masing lokus mikrosatelit pada

tiga subpopulasi Sapi Katingan ... 108

30. Jumlah alel yang dihasilkan setiap lokus DNA mikrosatelit pada

Sapi Katingan di tiga subpopulasi ... 109 31. Sebaran frekuensi alel tertinggi dan terendah pada tiga subpopulasi

Sapi Katingan yang diskrining dengan 15 lokus DNA mikrosatelit 114 32. Alel-alel pada 15 lokus mikrosatelit yang hanya ditemukan pada

Sapi Katingan subpopulasi Buntut Bali, Pendahara, atau Tumbang

Lahang ... 115 33. Nilai heterozigositas dan rataan heterozigositas ke 15 lokus


(17)

34. Nilai rataan heterozigositas 15 lokus mikrosatelit pada populasi

Sapi Katingan di tiga lokasi penelitian ………... 118 35. Perbandingan nilai rataan heterozigositas ( ) antara Sapi Katingan

dengan sapi lokal lainnya yang diskrining dengan variasi lokus

mikrosatelit ………. 118 36. Matrik jarak genetik Nei (1978) antara tiga subpopulasi Sapi

Katingan dengan Sapi PO, Sapi Bali dan Sapi Bos Taurus ……... 119 37. Distribusi contoh darah Sapi Katingan untuk pemeriksaan hormon

progesteron ………. 131 38. Hasil pemeriksaan hormon progesteron pada variasi umur Sapi

Katingan ………. 134 39. Perbandingan umur pubertas sapi tropis dan subtropis ………….. 135 40. Konsentrasi Cu Sapi Katingan dari contoh darah sapi yang sama

untuk pemeriksaan hormon progesteron ……… 138 41. Hasil pengamatan yang memberikan gabaran umum tingkah laku

seksual pejantan Sapi Katingan ……….. 153 42. Lingkar skrotum Sapi Katingan di tiga lokasi penelitian ………... 155


(18)

(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Alur kerangka pemikiran penelitian ... 5 2. Peta lokasi kegiatan penelitian Sapi Katingan ………... 18 3. Peta sumberdaya lahan lokasi penelitian di Kabupaten Katingan ... 29 4. Kontribusi variasi komoditas dalam % terhadap pendapatan

keluarga responden per tahun di lokasi penelitian sapi lokal …….. 37 5. Pemeliharaan sapi secara ekstensif di dalam ranch ... 38 6. Tali yang dibentangkan diantara pepohonan untuk menautkan tali

kekang sapi ... 39 7. Manajemen reproduksi 1 induk 1 anak dalam 1 tahun (20

responden) ... 41 8. Tanaman Karabayan penjinak sapi liar ……….. 42 9. Cara mengumpulkan sapi dengan memberi air garam ... 43 10. Kuadran analisa pelestarian dan pengembangan Sapi Katingan … 49 11. Bentuk tanduk dan tonjolan di kepala pada Sapi Katingan dewasa

betina ... 57 12. Performan Sapi Katingan dewasa jantan dan betina ……… 58 13. Keragaman warna bulu Sapi Katingan betina ... 60 14. Keragaman warna Sapi Katingan betina di tiga lokasi penelitian .. 61 15. Keragaman warna bulu Sapi Katingan jantan ……… 63 16. Keragaman warna Sapi Katingan jantan di tiga lokasi penelitian .. 64 17. Sapi Katingan jantan umur 13 bulan dengan perubahan warna

hitam di punuk mulai nampak jelas ………... 67 18. Keragaman bentuk tanduk pada Sapi Katingan dewasa betina ….. 68 19. Keragaman bentuk tanduk Sapi Katingan betina di tiga lokasi


(20)

20. Keragaman bentuk tanduk Sapi Katingan dewasa jantan ……….. 70

21. Keragaman bentuk tanduk Sapi Katingan jantan di tiga lokasi penelitian ……… 70

22. Variasi tonjolan pada Sapi Katingan betina ………... 71

23. Perkiraan umur sapi berdasarkan pergantian gigi seri ……… 78

24. Bagian-bagian permukaan tubuh sapi yang diukur ……… 80

25. Perbandingan bobot badan Sapi Katingan dengan sapi lokal lainnya: 1)Abdullah (2008), 2)Sarbaini (2004), 3)Suryoatmojo (1993), 4)Wijono dan Setiadi (2004) ……….. 85

26. Perbandingan ukuran tubuh Sapi Katingan dengan sapi lokal lainnya: 1)Utomo et al. (2011), 2)Abdullah (2008), 3)Sarbaini (2004), 4,5,6)Surjoatmodjo (1993) ………... 87

27. Perbandingan ukuran tubuh Sapi Katingan dengan sapi lokal lainnya: 1)Suryoatmojo (1993), 2)Sarbaini, 3)Abdullah (2008) ….. 87

28. Gambaran kanonikal Sapi Katingan di lokasi penelitian Buntut Bali (B), Pendahara (P) dan Tumbang Lahang (T) ... 89

29. Pohon fenogram dari ketiga lokasi (subpopulasi) Sapi Katingan .. 92

30. Pola pita 2 lokus mikrosatelit (ILSTS045 dan ILSTS052) hasil elektroforesis PAGE 6% pada genom Sapi Katingan. M: Marker DNA (20 bp), Lajur 1-12: produk PCR ………. 107

31. Frekuensi alel pada 15 lokus DNA mikrosatelit di tiga subpopulasi Sapi Katingan ………. 111

32. Pohon filogenik pada tiga subpopulasi Sapi Katingan dan dengan beberapa sapi lokal lain ……….. 119

33. Pohon filogenik dan fenogram pada tiga subpopulasi Sapi Katingan ………. 120

34. Konsentrasi hormon progesteron pada individu-individu Sapi Katingan berbagai umur ………. 134

35. Konsentrasi Cu pada Sapi Katingan yang diperiksa hormon progesteronnya ………... 139


(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Kuisener kegiatan penelitian eksploratif Sapi Katingan ... 181 2. Daftar sapi yang diambil contoh darahnya untuk pemeriksaan

DNA mikrosatelit ... 203 3. Macam, ukuran alel dan genotipe pada 15 lokus mikrosatelit Sapi


(22)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Plasma nutfah ternak mempunyai peranan penting dalam memenuhi kebutuhan pangan dan kesejahteraan bagi masyarakat dan lingkungannya. Sebagai negara tropis Indonesia memiliki plasma nutfah ternak cukup berlimpah, khusus untuk ternak sapi, Indonesia memiliki banyak bibit-bibit ternak sapi unggulan. Jenis-jenis ternak sapi asli dan sapi lokal Indonesia adalah Sapi Bali, Sapi PO, Sapi Madura, Sapi Aceh, Sapi Grati, Sapi Jawa, Sapi Pesisir (Otsuka et al. 1980; Pane 1993; Soeroso 2004; Sarbaini 2004; Johari et al. 2007; Astuti et al. 2007; Abdullah 2008). Definisi ternak lokal adalah ternak hasil persilangan atau introduksi dari luar yang telah dikembangbiakkan di Indonesia sampai generasi kelima atau lebih yang telah teradaptasi pada lingkungan dan atau manajemen setempat (Ditjennak 2009).

Plasma nutfah sapi tersebut merupakan modal dasar bagi pembangunan subsektor peternakan karena dapat direkayasa untuk pembentukan bibit ternak unggul yang sesuai dengan kondisi tropis dan secara sosial budaya dapat diterima masyarakat. bahkan dalam kondisi lingkungan yang minimal. Sapi mampu memanfaatkan pakan berkualitas rendah dan mempunyai daya reproduksi yang baik, yaitu mampu menghasilkan anak setiap tahun dan dapat beranak lebih dari 10 kali sepanjang hidupnya. Selain itu sapi lokal juga lebih tahan terhadap penyakit marginal serta tahan terhadap serangan caplak. Sapi PO yang termasuk Bos indicus potensial dikembangkan karena memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan tropis. Sapi-sapi lokal tersebut sangat penting untuk dilindungi, dimanfaatkan dan dikembangkan secara hati-hati dan bijaksana guna menghindari kerusakan genotip yang telah mereka miliki sebagai bangsa sapi tertentu. Sangat disayangkan sapi-sapi unggul tersebut banyak yang tidak dikembangbiakkan sebagaimana mestinya, akibatnya ukuran tubuh ternak semakin mengecil, sebagaimana dilaporkan oleh Abdullah (2008) pada sapi Aceh. Perbaikan mutu genetik sapi untuk mendukung peningkatan produktivitas dapat


(23)

dilaksanakan secara seleksi pada komunitas in-situ yang telah cocok dengan lingkungannya. Program seleksi diterapkan untuk memelihara kemurniannya dalam rumpun dan meningkatkan kompetisi ekonominya atau produksinya, sementara dengan tetap memelihara sifat khas dari sapi tersebut.

Kebutuhan daging sapi sebagai salah satu sumber protein hewani semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya gizi yang seimbang, pertambahan penduduk dan meningkatnya daya beli masyarakat. Meningkatnya permintaan yang cenderung lebih besar daripada produksi mengesankan seolah populasi sapi tidak meningkat padahal terkuras untuk memenuhi permintaan yang selama 5 tahun terakhir (2006-2010) rata-rata mencapai 446 042 ton/tahun dengan senjang produksi pada tahun 2010 sebesar 10.920 ton (Mayulu et al. 2010). Populasi sapi dari tahun 2005 sampai 2010 dilaporkan Mayulu et al. (2010) selalu meningkat setiap tahunnya dari 11 045 900 ekor pada tahun 2005 menjadi 14 763 000 ekor pada tahun 2010. Salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan daging tersebut adalah dengan meningkatkan populasi dan produktivitas sapi potong. Bibit sapi potong lokal merupakan salah satu faktor produksi yang menentukan dan mempunyai nilai strategis dalam upaya mendukung terpenuhinya kebutuhan daging, sehingga diperlukan upaya pengembangan pembibitan sapi potong secara berkelanjutan (Deptan 2006). Berbagai potensi sumberdaya genetik ternak yang ada, unggas, ruminanasia besar, ruminansia kecil bahkan juga ternak-ternak yang berpotensi penghasil daging (promising commodity) perlu dimanfaatkan secara maksimal agar swasembada daging dapat segera tercapai.

Usaha peternakan di Indonesia membutuhkan sumberdaya genetik ternak sebagai bahan untuk merakit bibit ternak unggul agar peternakan mampu berkembang secara maksimal. Hal ini sesuai dengan yang diamanahkan pada UU No. 18 tahun 2009, dimana upaya pelestarian ternak asli Indonesia diarahkan dalam kerangka pengembangan ternak bibit unggul nasional sebagai salah satu upaya pelestarian plasma nutfah berwawasan ke depan yaitu melestarikan potensi genetik ternak dalam rangka biodiversity untuk tujuan perekayasaan bibit unggul nasional. Keanekaragaman sumberdaya genetik ternak perlu dipertahankan, untuk kemudian ditingkatkan potensinya dan dimanfaatkan secara berkelanjutan dalam


(24)

rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat, ketersediaan bahan pangan, terciptanya lapangan kerja, dan peningkatan devisa negara.

Dasar Pertimbangan

Kalimantan Tengah yang sebagian wilayahnya dilalui oleh garis khatulistiwa memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah, diantaranya adalah plasma nutfah sapi potong. Sapi tersebut terletak di Kabupaten Katingan dan Gunung Mas. Keunikannya adalah sapi tersebut hanya dibudidayakan oleh masyarakat Dayak yang merupakan masyarakat lokal Kalimantan Tengah, di sepanjang daerah aliran sungai (DAS), yaitu DAS Katingan di Kabupaten Katingan dan DAS Kahayan di Kabupaten Gunung Mas, sedangkan sapi asli dan sapi-sapi lokal lainnya seperti Sapi Bali, Sapi Madura dan Sapi PO dipelihara oleh masyarakat pendatang (transmigran). Sapi lokal yang ada di Kabupaten Gunung Mas sudah sulit dijumpai dan kemungkinan hampir punah, sedangkan sapi yang berada di Kabupaten Katingan relatif terjaga populasinya walaupun dalam jumlah tidak besar. Manajemen pemeliharaannya yang menyebar di sepanjang daerah aliran sungai Katingan, sehingga sapi tersebut dinamakan Sapi Katingan. Masyarakat Dayak sendiri menyebutnya dengan panggilan sapi lokal atau kadang-kadang sapi “Helu” (sapi jaman dahulu), tidak pernah mereka menamakannya sapi Katingan. Istilah sapi Katingan diproklamirkan untuk membedakan dengan sapi lokal lainnya. Penamaan sapi diberikan sesuai lokasi habitatnya sebagaimana umumnya pada sapi-sapi lokal lainnya (Abdullah 2008; Sarbaini 2004; Sun et al. 2008).

Sapi Katingan dipelihara oleh masyarakat Dayak sudah ratusan tahun sebelum ada introduksi sapi lokal lainnya baik melalui program pemerintah maupun swasta. Sapi Katingan adalah sapi lokal Kalimantan Tengah yang sangat terkait dengan nilai kultural dan sejarah warisan masyarakat Dayak. Berbagai acara ritual masyarakat Dayak selalu memanfaatkan sapi tersebut sebagai hewan korbannya, tidak dengan sapi lokal lainnya. Dengan demikian keberadaan Sapi Katingan mempunyai arti penting bagi masyarakat Dayak. Jumlah populasi sapi secara pasti tidak diketahui apalagi data dinamika populasinya. Nampaknya perhatian pemerintah daerah lebih difokuskan pada ternak-ternak asli dan lokal


(25)

lainnya seperti sapi Bali dan PO. Padahal menurut Noor (2008), sapi lokal adalah sapi yang terbaik untuk lokal setempat karena sapi-sapi tersebut mampu bertahan hidup berdasarkan seleksi alam selama bertahun-tahun. Demikian halnya Sapi Katingan yang mampu bertahan hidup dengan reproduksi yang baik walaupun dengan manajemen ekstensif tradisional, di daerah yang kondisi cuacanya relatif ekstrim, keterbatasan sumberdaya pakan terutama kualitasnya, lahan masam (pH rendah) dan diduga defisiensi mineral tertentu (Darmono 2009).

Eksistensi Sapi Katingan ke depan mulai terancam. Populasi sapi berkembang lambat dan cenderung stagnan. Pemasaran dan perkembangan sapi yang hanya di seputaran wilayah tertentu dikhawatirkan memudahkan terjadinya kasus inbreeding ditambah lagi dengan masuknya sapi lokal lainnya mengakibatkan sering terjadi crossbreeding. Hal-hal tersebut dikhawatirkan bisa menyebabkan terjadinya erosi genetik. Mengingat belum pernah ada penelitian tentang Sapi Katingan, informasi dasar tentang sapi tersebut sangat minim bahkan tidak ada, seperti data produktivitas ternak, morfometrik, genetik, lingkungan budidaya, ketrampilan peternak dan inovasi teknologi yang diterapkan. Astuti et al. (2007) juga melaporkan tidak ada data mengenai Sapi Katingan. Padahal informasi-informasi tersebut sangat penting terkait dengan keberhasilan program pelestarian, pemanfaatan dan pengembangannya di masa yang akan datang.

Melihat sangat terbatasnya informasi-informasi penting terkait dengan kesuksesan pengembangan sapi lokal Kalimantan Tengah, perlu dilakukan penelitian yang sifatnya eksploratif sebagaimana dengan alur pemikiran yang disajikan pada Gambar 1.


(26)

Gambar 1 Alur kerangka pemikiran penelitian. Kabupaten Katingan

(Populasi)

Lapangan dan Laboratorium:

- Eksistensi sapi Katingan

- Keragaman fenotipik, genetik dan kekerabatannya

- Profil reproduksi: umur pubertas dan tingkah laku kelamin Kec. Tewah

Sanggalang Garing

Pendahara

(subpopulasi)

Kec. Pulau Malan

Buntut Bali

(subpopulasi)

Kec. Katingan Tengah

Tbg. Lahang

(subpopulasi) Sapi Katingan:

sapi lokal Kalimantan Tengah

Profil dan

strategi konservasi Sapi Katingan

Potensi:

-Sebagai sumber plasma nutfah daerah/nasional -Potensi ekonomi keluarga dan daerah

-Nilai kultural dan sejarah masyarakat Dayak

Permasalahan:

-Informasi potret budidaya sangat minim

-Populasi rendah dan berkembang hanya pada wilayah tertentu -Data dasar ternak tidak ada

-Ancaman erosi genetik (inbreeding dan crossbreeding)


(27)

Tujuan Penelitian Tujuan Jangka Pendek

Berdasarkan uraian di atas dilakukan rangkaian penelitian yang bertujuan: 1. Mengamati eksistensi sapi lokal Kalimantan Tengah yang dikenal dengan

nama Sapi Katingan di daerah aliran sungai Katingan yang meliputi kegiatan budidaya, lingkungan, potensi sumberdaya pendukung, permasalahan dan prospek ke depan.

2. Merumuskan strategi pelestarian dan pengembangannya di Kalimantan Tengah.

3. Mempelajari keragaman fenotipik, genetik dan kekerabatannya dengan beberapa sapi lokal lainnya.

4. Mempelajari profil reproduksi sapi betina dalam penentuan umur pubertas dan reproduksi sapi jantan dari aspek tingkah laku kelamin.

Tujuan Jangka Panjang

1. Meningkatkan produksi dan reproduksi sapi serta strategi pemanfaatannya secara lestari berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh.

2. Menempatkan Sapi Katingan sebagai salah satu plasma nutfah sapi lokal di Indonesia.

3. Meningkatkan peran serta secara aktif Pemerintah Daerah dalam peningkatan populasi Sapi Katingan.

4. Melestarikan nilai kultural masyarakat Dayak melalui pelestarian Sapi Katingan.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar dalam upaya: (1) optimalisasi reproduksi Sapi Katingan, (2) perbaikan mutu genetik sapi melalui program seleksi, dan (3) penentuan kebijakan mengenai perlindungan, pemanfaatan dan pengembangan Sapi Katingan secara berkelanjutan yang sudah barang tentu secara simultan akan ikut meningkatkan peran sapi tersebut dalam mendukung kecukupan daging daerah dan pemberdayaan masyarakat Dayak.


(28)

TINJAUAN PUSTAKA

Plasma Nutfah Ternak Sapi

Indonesia dengan kondisi geografis dan ekologi yang bervariasi telah menciptakan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Di dalam keanekaragaman hayati, terdapat keragaman di dalam jenis yang disebut plasma nutfah. Jadi plasma nutfah adalah keanekaragaman genetik di dalam jenis (Sumarno 2002). Dengan keanekaragaman plasma nutfah, terbuka peluang yang besar bagi upaya program pemuliaan guna memperoleh manfaat secara optimal (Kurniawan et al. 2004). Plasma nutfah yang ada harus dipertahankan eksistensinya atau keberadaannya, karena plasma nutfah merupakan aset negara yang tak ternilai. Plasma nutfah merupakan bahan genetik yang memiliki nilai guna, baik secara nyata maupun yang masih berupa potensi. Upaya mengurangi atau bahkan mencegah terjadinya erosi genetik yang makin meningkat terhadap plasma nutfah, maka perlu perhatian dalam bentuk kegiatan inventarisasi (koleksi), pendataan (dokumentasi) dan pelestarian (konservasi) (Azmi et al. 2006).

Keanekaragaman bangsa sapi di Indonesia terbentuk dari sumberdaya genetik ternak asli dan impor. Keanekaragaman ternak menurut Subandriyo dan Setiadi (2003) penting dalam rangka pembentukan rumpun ternak modern dan akan terus berlanjut sampai masa yang akan datang. Punahnya keanekaragaman plasma nutfah ternak tidak akan dapat diganti meskipun dengan kemajuan bioteknologi, paling tidak hingga saat ini. Proses perkembangan sapi di Indonesia telah menghasilkan plasma nutfah ternak yang lebih beragam. Sarbaini (2004) mengelompokkan ternak sapi Indonesia ke dalam tiga kategori, yaitu (1) ternak asli, (2) ternak yang telah beradaptasi, dan (3) ternak impor. Beberapa diantara sumberdaya ternak sapi tersebut menurut Utoyo (2002) dan Martojo (2003) adalah Sapi Bali, juga sapi hasil silangan yang telah menjadi sapi lokal seperti Sapi Pesisir, Sapi Aceh, Sapi Madura, Sapi Sumba Ongole (SO) dan Sapi Peranakan Ongole (PO).

Diperlukan upaya untuk mempertahankan ternak-ternak lokal di suatu daerah atau negara karena ternak-ternak tersebut telah beradaptasi dengan


(29)

keadaan lingkungan baik terhadap makanan yang bernilai gizi rendah maupun penyakit terutama di daerah tropis. Dalam mempertahankan sumber daya genetik atau plasma nutfah ternak diperlukan langkah-langkah yang sistematis. Tahapan pengelolaan sumber daya genetik ternak menurut Turner (1981) adalah melakukan dokumentasi, evaluasi, pengembangan rencana pemuliaan (development of breedingplans) dan konservasi.

Mengacu kepada UU No. 18 tahun 2009, upaya pelestarian ternak asli Indonesia diarahkan dalam kerangka pengembangan ternak bibit unggul nasional sebagai salah satu upaya pelestarian plasma nutfah berwawasan kedepan yaitu melestarikan potensi genetik ternak dalam rangka biodiversity untuk tujuan perekayasaan bibit unggul nasional. Hal ini masih mendapatkan hambatan karena inventarisasi terhadap potensi berbagai sumberdaya genetik ternak, distribusi, performans dan perkembangan masih belum lengkap sehingga sangat sulit dilakukan kebijakan-kebijakan yang strategis khususnya arah dan program kerja manajemen pemanfaatan dan konservasi sumberdaya genetik ternak baik secara morfologis maupun genetik (Azmi et al. 2006).

Keberadaan plasma nutfah tidak mempunyai arti tanpa pemberdayaan melalui karakterisasi dan evaluasi serta pemanfaatan untuk kesejahteraan. Menurut KNPN (2002), pemanfaatan plasma nutfah ternak secara umum ada tiga macam, yaitu :

1. Penggunaan rumpun ternak asli (lokal) sebagai rumpun murni secara terus menerus. Hal ini diterapkan apabila rumpun ternak impor tidak akan lebih baik hasilnya dibandingkan dengan ternak asli (lokal), bahkan ternak asli (lokal) lebih baik mutunya dibandingkan dengan rumpun impor pada kondisi lingkungan tertentu. Keadaan ini dapat terjadi apabila kondisi produksi dan pasar statis.

2. Membentuk rumpun baru melalui persilangan. Apabila kondisi produksi atau pasar berubah secara cepat, maka pembentukan rumpun yang sesuai dengan persilangan dapat dicapai dalam waktu yang relatif cepat, yaitu dengan menggabungkan rumpun-rumpun yang tersedia. Rumpun baru ini dikenal sebagai rumpun komposit atau sintetis.


(30)

3. Penggantian rumpun. Perubahan pasar dan kondisi produksi dapat mengakibatkan banyak rumpun yang tidak sesuai untuk digunakan lagi. Pada masa lampau penggantian rumpun dilakukan secara bertahap melalui metode silang balik berulang (repeated back cross atau grading up) terhadap suatu rumpun.

Keragaman

Produksi ternak dipengaruhi oleh banyak faktor, yang secara garis besar dapat dikelompokkan dalam faktor lingkungan dan faktor genetis. Salah satu faktor lingkungan utama yang mempengaruhi produktivitas ternak adalah berupa pakan, baik kualitas maupun kuantitas. Kualitas pakan akan mempengaruhi sistem pencernaan dan metabolisme. Disamping itu, masing-masing individu ternak memiliki sistem pencernaan dan sistem metabolisme yang diatur secara genetis, yang antara individu satu dengan individu lain dalam populasi terdapat variasi. Variasi genetis inilah yang kemudian dijadikan dasar dalam pemuliaan (Sutarno 2009). Keragaman individu (terutama variasi genotip) memegang peranan penting dalam pemuliabiakan ternak. Jika dalam suatu populasi ternak tidak ada variasi genotip, maka tidak ada gunanya menyeleksi ternak bibit. Semakin tinggi variasi genotip didalam populasi, semakin besar perbaikan mutu bibit yang diharapkan. Populasi ternak yang memiliki keragaman genetik rendah crossbreeding ataupun outcrossing akan sangat bermanfaat untuk meningkatkan mutu genetik ternak. Sebaliknya, apabila keragaman genetik suatu populasi sangat tinggi maka upaya peningkatan mutu genetik ternak sebaiknya dilakukan melalui program seleksi yang ketat sehingga kemajuan genetik yang diperoleh akan lebih besar (Soeroso 2004). Di Indonesia usaha untuk menyeleksi dan menyingkirkan sapi-sapi yang kurang baik dari kelompok sapi yang dipelihara hampir tidak pernah dilakukan. Hal semacam ini disamping kurang menguntungkan dari segi ekonomi, juga dapat memperburuk keturunan-keturunan berikutnya (Sutarno 2009).

Keragaman dalam populasi dibedakan keragaman fenotipik dan keragaman genetik (Noor 2008). Keragaman fenotipik lebih banyak digunakan pada kegiatan pemuliaan praktis. Dewasa ini keragaman genetik melalui teknologi


(31)

molekuler telah berkembang dengan pesat sejak ditemukannya PCR, marker dan teknologi sekuensing (Hanotte & Jianlin 2005).

Keragaman Fenotipik

Variasi merupakan ciri-ciri umum yang terdapat di dalam suatu populasi. Keragaman terjadi tidak hanya antar bangsa tetapi juga di dalam satu bangsa yang sama, antar populasi maupun di dalam populasi. Keragaman pada sapi dapat dilihat dari ciri-ciri (karakteristik) yang dapat diamati atau terlihat secara langsung. Setiap sifat yang diekspresikan seekor hewan disebut fenotipe (Martojo 1992; Hardjosubroto 1994; Noor 2008). Potensi biologik seekor ternak diukur berdasar kemampuan produksi dan reproduksinya dalam lingkungan pemeliharaan yang tersedia, karena data kuantitatif potensi biologik yang berupa fenotipe produksi dan reproduksi tidak terlepas dari pengaruh lingkungan tempat ternak dipelihara. Seekor hewan atau ternak menunjukkan fenotipenya (P) sebagai hasil pengaruh seluruh gen atau genotipenya (G), lingkungan (E) dan interaksi antara genotipe dan lingkungan (IGE) (Martojo 1992; Hardjosubroto 1994). Populasi Sapi Jawa yang menyebar pada lokasi-lokasi yang berbeda menunjukkan keragaman performan yang tinggi pada beberapa sifat kuantitatif, hal ini disebabkan karena kondisi pakan pada setiap lokasi tidak sama (Soeroso 2004), kondisi yang relatif sama dilaporkan oleh Bugiwati (2007) pada Sapi Bali di Sulawesi Selatan.

Karakterisasi merupakan kegiatan dalam rangka mengidentifikasi sifat-sifat penting yang bernilai ekonomis, atau yang merupakan penciri dari varietas yang bersangkutan. Karakterisasi dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif (Sarbaini 2004; Noor 2008).

Ukuran-ukuran tubuh yang merupakan sifat kuantitatif mempunyai peranan yang penting untuk melihat produktivitas ternak. Rekwot et al. 2000 dan Ho Son et al. 2001 melakukan penelitian dengan menghubungkan antara sifat kuantitatif (bobot badan) dengan umur pubertas sapi. Ukuran-ukuran tubuh banyak dikaitkan dengan bobot badan. Pada sapi ukuran tubuh yang digunakan untuk menentukan bobot badan adalah lingkar dada dan panjang badan Abdullah (2008).


(32)

Warna bulu dan bentuk tanduk merupakan bentuk ekspresi gen lainnya selain ukuran tubuh yang dikenal dengan sifat kualitatif (Noor 2008). Sifat kualitatif menurut Soeroso (2004) dan Noor (2008) tidak banyak dipengaruhi oleh lingkungan (lokasi penyebaran), oleh karena itu sifat kualitatif seperti warna bulu kulit memiliki keragaman yang rendah. Warna bulu kulit pada sapi dan mamalia disebabkan kehadiran melanin. Melanin ada 2 tipe yaitu eumelanin yang responsif terhadap warna hitam dan coklat dan phaeomelanin yang responsif terhadap warna merah dan kuning (Russo & Fontanesi 2004). Menurut Fries dan Ruvinsky (1999), hewan-hewan dengan warna bulu terang yang menutupi kulit berpigmen gelap akan beradaptasi dengan baik di daerah tropis dimana tingkat radiasi mataharinya tinggi.

Keragaman Genetik

Studi genetik sangat diperlukan pada kegiatan konservasi. Riwantoro (2005) menjelaskan bahwa konservasi adalah semua bentuk kegiatan yang melibatkan tatalaksana pemanfaatan sumberdaya genetik dengan baik untuk memenuhi kebutuhan pangan dan pertanian saat ini dan masa yang akan datang dengan mempertahankan keragaman genetik yang dikandungnya. Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 1999 konservasi adalah sebagai pengawetan, yaitu suatu upaya untuk menjaga agar keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya baik di dalam maupun di luar habitatnya tidak punah. Pelestarian keragaman sumberdaya genetik penting dan diperlukan untuk mengantisipasi perubahan. Keragaman genetik yang tinggi akan sangat membantu suatu populasi beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya, termasuk mampu beradaptasi terhadap penyakit-penyakit yang ada di alam. Berkembangnya teknologi molekuler maka keragaman genetik, kesamaan genetik dan jarak genetik populasi sapi yang berasal dari berbagai wilayah dapat dipelajari (Astuti 2004). Menurut Metta et al. (2004) karakterisasi molekuler rumpun sapi adalah penting untuk mencegah erosi genetik karena adanya crossbreeding.

Polimorfisme protein adalah marker molekuler pertama yang digunakan pada ternak yang dikenal sebagai allozyme. Sejumlah besar penelitian tersebut


(33)

telah didokumentasikan terutama pada periode tahun 1970an (Hanotte & Jianlin 2005). Adanya variasi di dalam protein plasma atau serum darah yang merupakan polimorfisme biokimia (misalnya albumin, alkaline phosphatase, transferrin dan lain-lain), sel darah merah (acid phosphatase, Haemoglobin beta, Peptidase B dan sebagainya), sel darah putih (Alkaline ribonuclease, Leucocytic protein 2, Phosphoglucomutase dan sebagainya) dan susu (Casein beta, Casein kappa, Lactoglobulin beta dan sebagainya) juga merupakan keragaman yang dapat dilihat pada sapi (Handiwirawan & Subandrio 2004). Lebih lanjut dikatakan Handiwirawan dan Subandrio (2004) bahwa jenis-jenis protein di dalam darah maupun susu dapat menunjukkan polimorfisme (dengan menggunakan prosedur elektroforesis), yang merupakan cerminan adanya perbedaan genetis. Polimorfisme biokimia yang diatur secara genetis dijelaskan oleh Maeda et al. (1980) sangat berguna untuk membantu penentuan asal usul dan menyusun hubungan filogenetis antara spesies-spesies. Namun demikian menurut Hanotte dan Jianlin (2005), level polimorfisme yang diamati pada protein sering rendah sehingga akan mempengaruhi studi keragaman. Berkembangnaya teknologi Polymerase Chain Reaction (PCR) dan sekuensing, polimorfisme berbasis DNA sekarang menjadi pilihan utama untuk studi keragaman genetik. Berthouly et al. (2008) melaporkan bahwa berbagai penelitian tentang keragaman genetik berbasis DNA molekuler muncul sekitar tahun 1990an. Salah satu marker DNA molekuler tertua yang digunakan untuk mengkaji keragaman adalah restriction fragment length polymorphisms (RFLPs). Dewasa ini teknologi molekuler banyak dikembangkan untuk mempelajari keragaman genetik pada berbagai variasi sapi seperti RFLP, AFLP, SNP, mikrosatelit, dll. (Shashikanth & Yadav 2003). DNA mikrosatelit nampaknya banyak digunakan dan menjadi pilihan terbaik sebagai alat molekuler untuk karakterisasi rumpun sapi (Metta et al. 2004). Berbagai bangsa sapi di Indonesia dan di dunia telah diteliti keragaman genetiknya dengan menggunakan mikrosatelit (Pereira et al. 2003; Kim et al. 2004; Ibeagha et al. 2004; Metta et al. 2004; Sarbaini 2004; Liron et al. 2006; Nguyen et al. 2007; Sun et al. 2008; Abdullah 2008; Hartati 2010).

DNA mikrosatelit merupakan rangkaian molekul DNA pendek yang susunan basanya berulang, biasanya terdiri dari 1 sampai 6 pasang basa (bp)


(34)

panjangnya, yang mana diulang bisa sampai maksimum 60 kali. Mikrosatelit mempunyai polimorfisme dan tingkat mutasi yang tinggi. Tingginya polimorfisme mikrosatelit disebabkan oleh variasi dalam jumlah unit ulangan (Masle 2007). Penyebab utama mutasi dikarenakan adanya mekanisme replikasi slippage (Ellegren 2004). Laju mutasi yang cepat dari DNA mikrosatelit lebih disebabkan oleh perubahan jumlah basa berulang yang mengalami penambahan atau pengurangan dibandingkan dengan perubahan pada urutan basa (Jeffreys et al. 1991). Tingkat mutasi mikrosatelit dilaporkan kira-kira 10-3 – 10-6 (Zhang & Hewitt 2003; Masle 2007).

Dewasa Kelamin dan Sexual Maturity

Dewasa kelamin atau pubertas adalah umur atau waktu dimana alat kelamin mulai berfungsi dan perkembang biakan dapat berlangsung (Helbig 2005). Partodihardjo (1982) mengemukakan bahwa pubertas adalah periode dalam kehidupan makhluk jantan atau betina dimana proses reproduksi mulai terjadi yang ditandai oleh kemampuan untuk pertamakalinya memproduksi benih dan selain itu menurut Levaseur dan Thibault (1980) juga memperlihatkan kelakuan kelamin yang kompleks. Pubertas merupakan manifestasi kerja hormonal dan perubahan level hormon (Lunstra et al. 1978).

Pubertas pada sapi jantan didefinisikan sebagai fase perkembangan tubuh yang kelenjar gonadnya mensekresikan sejumlah hormon dalam jumlah yang cukup untuk mempercepat (merangsang) pertumbuhan organ kelamin dan munculnya sifat-sifat kelamin sekunder (Toelihere 1985; Helbig 2005). Pubertas dimulai dengan pembentukan sperma hidup di dalam ejakulatnya (Toelihere 1985). Sapi dikatakan telah mencapai pubertas apabila jumlah sperma paling tidak mencapai 50 x 106

Pubertas pada sapi betina didefinisikan sebagai umur pada saat pertama kali munculnya estrus dan terjadi ovulasi (Senseman 1989; Elmer 1981). Hormon yang berperanan adalah estrogen dan progesteron (Hardjopranjoto 1983).

/ml dan motilitas 10% (Lunstra et al. 1978; Brito et al. 2004; Casas et al. 2007; Devkota et al. 2008). Adapun hormon yang berperan dalam proses pubertas pada hewan jantan ialah androgen (Soeparna 1984), utamanya adalah testosteron (Lunstra et al. 1978; Helbig 2005).


(35)

Pubertas terjadi ketika hormon gonadotropin (FSH dan LH) diproduksi pada konsentrasi yang cukup tinggi untuk mengawali pertumbuhan folikel, pemasakan oosit dan ovulasi. Pertumbuhan folikel dapat dideteksi beberapa bulan sebelum pubertas (Elmer 1981). Umur permulaan pubertas pada sapi betina didefinisikan sebagai umur ketika konsentrasi serum progesteron >1 ng/ml (Cooke & Arthington 2009; Getzewick 2005; Sargentini et al. 2007).

Pubertas tidak menandakan kapasitas reproduksi sepenuhnya. Hewan masih memerlukan waktu untuk mencapai level optimum atau dikenal mencapai dewasa kelamin (sexual maturity). Contohnya pada kerbau jantan menurut Cool dan Entwisle (1989) saat pubertas produksi harian sperma > 0.5 x 106 per gram parenkim testis, sedangkan dewasa kelamin dicapai saat produksi harian sperma mencapai 14 x 106 per gram parenkim testis.

Tingkah Laku Kelamin

Hafez (1969) membagi sembilan bentuk dasar tingkah laku hewan, salah satunya adalah tingkah laku kelamin (sexual behavior). Tingkah laku kelamin betina tergantung pada keseimbangan sirkulasi endokrin, yang dikontrol oleh sekresi ovarium, terutama estrogen. Betina ketika estrus menjadi receptive mereka menaiki atau dinaiki oleh sapi betina lainnya dan ini berlangsung sekitar 1 hari. Tingkat tingkah laku kelamin ditentukan oleh genetik, faktor lingkungan, faktor fisiologis, kesehatan dan pengalaman sebelumnya (Hafez & Hafez 2000).

Sapi betina akan menerima pejantan hanya selama benar-benar periode estrus. Pejantan mendeteksi pro-estrus betina sekitar 2 hari sebelum estrus (Albright et al. 1997). Ketika sapi betina mencapai estrus, pejantan menjadi sangat bergairah dan mengikuti betina dari dekat, menjilati dan membaui organ genital luar dan sering memperlihatkan flehmen (Jacobs et al. 1980). Sapi yang estrus akan menunjukkan tanda-tanda menaiki dan dinaiki oleh sapi lain baik yang jantan maupun betina. Periode ini (mounting) berlangsung 1 – 18 jam dengan rata-rata sekitar 4.4 jam. Selama periode estrus betina meningkatkan frekuensinya mengeluarkan urin sehingga pejantan mendapatkan contoh baik bau maupun rasa urin betina (Phillips 1993). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pejantan menggunakan lidah untuk mentransfer (kemungkinan urin) ke bantalan gigi,


(36)

kemudian di transfer ke organ vomeronasal (Jacobs et al. 1980) yang dipertimbangkan menjadi tempat identifikasi feromon.

Libido dan kemampuan kopulasi (mengawini) adalah dua sifat penting pada pejantan, tanpa kedua sifat tersebut menjadikannya sebagai pejantan afkir (Chenoweth 1983). Libido menurut Tomaszewska (1991) adalah kesediaan dan keinginan untuk menaiki, mengawini dan menginseminasi betina. Sedangkan kemampuan kawin atau kopulasi adalah kemampuan untuk memberikan pelayanan secara lengkap. Tingkah kawin menurut Chenoweth (1981) adalah tingkah laku yang muncul/ditunjukkan sebelum, selama dan setelah pelayanan. Ditambahkan oleh Chenoweth (1982) bahwa libido dan kemampuan untuk kawin adalah sangat penting pada sapi jantan dan dua sifat tersebut sangat kuat dipengaruhi oleh faktor genetik.

Interaksi kelakuan kelamin jantan yang menghasilkan kopulasi dibagi menjadi 4 fase utama yaitu: pencarian pasangan seksual, penentuan keadaan fisiologis pasangan seksual, rangkaian interaksi kelakuan kelamin yang menghasilkan penyesuaian bentuk perkawinan oleh hewan betina, dan reaksi menaiki betina kemudian kopulasi. Munculnya kelamin sebenarnya dimulai oleh hewan betina. Peranan hewan betina saat estrus sangat penting terhadap hewan jantan yang sedang mencari pasangan seksual. Pada saat estrus hewan betina mengeluarkan tanda-tanda yang menarik perhatian pejantan (Alexander et al. 1980).

Kelakuan kelamin hewan jantan menunjukkan rangkaian pola tertentu. Pola tersebut hampir sama pada semua spesies, hanya bentuknya berlainan. Rangkaian pola tersebut mengarah ke satu sasaran ialah kopulasi (Bailey 2003). Senger (1999) membagi rangkaian pola tingkah laku kelamin ke dalam beberapa stadium, yaitu tingkah laku pre-kopulatori, kopulatori dan post-kopulatori. Pada stadium pre-kopulatori, komponen-komponennya adalah mencari pasangan yang dilanjutkan dengan rayuan (courtship), dorongan seksual (sexual arousal), ereksi dan penile protrusion. Selama stadium kopulatori terjadi menaiki (mounting) diikuti intromisi dan ejakulasi. Sedangkan pada stadium post-kopulatori, pejantan turun (dismounting) dan rasa puas (refraktories). Respon flehmen terjadi pada stadium pre-kopulatori.


(37)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penentuan tempat penelitian dilakukan secara stratified purposive sampling (Supranto 1998), yaitu berawal dari penentuan di tingkat kabupaten, tingkat kecamatan dan tingkat desa yang dipilih berdasarkan lokasi yang padat ternak dan masing-masing lokasi agak terisolir sebagai sub populasi.

Kegiatan penelitian dilaksanakan di Kabupaten Katingan sebagai tempat populasi sapi lokal Kalimantan Tengah dan di tiga kecamatan sebagai subpopulasi, yaitu masing-masing di Kecamatan Tewah Sanggalang Garing dengan konsentrasi lokasi di Kelurahan Pendahara, Kecamatan Pulau Malan dengan konsentrasi lokasi di Desa Buntut Bali dan Kecamatan Katingan Tengah dengan konsentrasi lokasi di Desa Tumbang Lahang. Kelurahan Pendahara, Desa Buntut Bali dan Desa Tumbang Lahang secara geografis terletak pada daerah aliran sungai (DAS) (Gambar 2) yaitu pada sabuk meander (meander belt) sungai Katingan dengan posisi ordinat berturut-turut: 113o17’35“ BT – 01o46’48” LS (Pendahara), 113o15’48“ BT – 01o41’13” LS (Buntut Bali) dan 113o08’00“ BT – 01o

Ke tiga lokasi penelitian dihubungkan oleh jalan darat yang berupa jalan tanah dan transportasi sungai. Jarak tempuh dari Pendahara ke Buntut Bali sekitar 1.5 jam, sedangkan dari Buntut Bali ke Tumbang Lahang sekitar 2 jam. Sarana transportasi darat untuk umum berupa kendaraan roda empat relatif jarang. Sarana transportasi sungai masih dimanfaatkan terutama ketika terjadi banjir di musim penghujan. Pada musim penghujan sering terjadi banjir yang mengakibatkan jalan darat antar lokasi sulit dilalui. Banjir terjadi hampir setiap tahun dengan jangka waktu lama, dengan demikian wilayah penelitian merupakan wilayah potensi banjir. Mengingat kondisi wilayah yang seperti itu mobilitas ternak sapi di ketiga lokasi relatif rendah, sehingga kontak ternak antar masing-masing lokasi juga relatif jarang, oleh karena itu lokasi dalam penelitian ini digunakan sebagai peubah kelompok (subpopulasi).

31’15” LS (Tumbang Lahang) dengan ketinggian tempat berada pada kisaran 0-700 meter diatas permukaan laut (Puslittanak 1996).


(38)

(Sumber: Bhermana 2010)

(Sumber

Gambar 2 Peta lokasi kegiatan penelitian Sapi Katingan.


(39)

Banjir yang sering terjadi di lokasi kegiatan penelitian berdampak pada sulitnya pelaksanaan kegiatan penelitian yang sifatnya monitoring rutin pada interval hari atau minggu tertentu.

Penelitian dilaksanakan selama 15 bulan, terdiri dari kegiatan penelitian lapang selama 6 bulan (November 2009 - April 2010) dan selama 9 bulan (Mei 2010 - Januari 2011) di laboratorium Genetika dan Pemuliaan Ternak Fakultas Peternakan dan di laboratorium Fisiologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat Lapang

Bahan penelitian yang digunakan adalah peternak lokal, sebagai pembanding ternak Sapi Katingan, Sapi Bali, PO dan Sapi Limousin, lingkungan pemeliharaan dan lembaga pendukung. Peternak yang melakukan kegiatan bidadaya Sapi Katingan adalah masyarakat lokal yang dikenal dengan nama suku Dayak. Kata Dayak mempunyai arti sungai, suku Dayak artinya suku yang bermukim di sepanjang tepi sungai oleh karena itu masyarakat Dayak tidak bisa dipisahkan kehidupannya dari sungai dan hutan. Masyarakat Dayak yang memelihara Sapi Katingan di lokasi penelitian adalah dari suku Ngaju, merupakan suku Dayak terbesar di Kalimantan Tengah.

Peralatan yang digunakan meliputi peralatan lapang untuk pengukuran parameter tubuh sapi (mistar dan pita ukur), untuk pengambilan contoh darah (tabung vakuntainer tanpa antikoagulan dan venojek), peralatan dokumentasi (kamera dan handycam), GPS dan alat untuk pengamatan sapi dari jarak agak jauh (binokuler).

Laboratorium

Bahan penelitian laboratorium meliputi darah Sapi Katingan dalam alkohol absolut (96%) untuk pemeriksaan DNA mikrosatelit, serum Sapi Katingan untuk pemeriksaan hormon progesteron, bahan ekstraksi DNA, PCR dan gel akrilamid, KIT RIA progesteron dan bahan pemeriksaan hormon progestron.


(40)

Peralatan utama yang digunakan pada analisis DNA mikrosatelit adalah mesin PCR, elektroforesis, sedangkan pada pemeriksaan hormon progestron peralatan utama adalah gamma counter.

Metode Penelitian

Kegiatan yang dilakukan merupakan kombinasi antara penelitian lapang dengan metode survei dan monitoring, serta pemeriksaan laboratorium, sehingga didapatkan informasi: (1) gambaran umum kegiatan budidaya Sapi Katingan di DAS Katingan, (2) keragaman fenotipik dan genetik, (3) umur pubertas sapi betina dan (4) tingkah laku kelamin sapi jantan.

Kegiatan lapang meliputi wawancara dengan para peternak, petugas lapang dan institusi terkait lainnya. Pengukuran parameter tubuh sapi, inventarisasi bentuk tanduk dan warna sapi serta dokumentasi sapi Katingan. Pengambilan contoh darah pada Sapi Katingan dan beberapa sapi lokal lainnya untuk analisis keragaman genetik dan kekerabatannya dengan menggunakan DNA mikrosatelit dan contoh darah dari individu-individu Sapi Katingan betina berbagai variasi umur untuk melihat konsentrasi hormon progesteron dalam rangka menentukan umur permulaan pubertas. Pengamatan tingkah laku reproduksi Sapi Katingan di dilakukan pada sekelompok Sapi Katingan yang dipelihara secara ekstensif tradisional. Estimasi fertilitas pejantan pada manajemen pemeliharaan tersebut dilakukan melalui pengukuran lingkar skrotumnya.

Kegiatan laboratorium dilakukan untuk melihat keragaman genetik dengan analisis DNA mikrosatelit menggunakan metode modifikasi Sambrook et al., yaitu meliputi tahapan ekstraksi DNA, PCR dan elektroforesis dengan menggunakan gel akrilamid 6% (Polyacrilamide Gel Electrophoresis). Analisis hormon progesteron menggunakan KIT RIA untuk menentukan umur permulaan pubertas Sapi Katingan betina.

Data dianalisis secara diskriptif untuk informasi yang bersifat kualitatif dan secara statistik untuk yang bersifat kuantitatif. Untuk memudahkan analisis data digunakan software SPSS dan Popgene 3.2.


(41)

EKSISTENSI, STRATEGI PELESTARIAN DAN

PENGEMBANGAN SAPI KATINGAN

DI KALIMANTAN TENGAH

ABSTRACT

General information of activities related to raising of Katingan Cattle by Dayak people including farming, Katingan Cattle, environment and technology aspect were obtained from survey activity, interview (primer data) and secondary data. The information usefull to find out the existency of Katingan Cattle and it will be used also to arrange conservation strategy of Katingan Cattle using SWOT analysis. The Research was conducted in three subdistricts, those were Tewah Sanggalang Garing subdistrict with focus location in Pendahara, Pulau Malan subdistrict with focus location in Buntut Bali and Katingan Tengah subdistrict with focus location in Tumbang Lahang. Fifteen to twenty respondens from each of locations used in this research in order to collect primary information. The respondens were choose based on purposive sampling and the data was collected by Participatory Rural Appraisal (PRA) method. Quisionary also used in order to the information focused on the topic. The results gave information that Katingan Cattle is more valueable than other local cattle due to the value of cultural heritage. The cattle gave contribution toward household income about 18-28%, second greatest after rubber commodity (46-57%). Based on biophysic condition, human resources and their experience in raising of the cattle, the Katingan Cattle can be increased their productivity in the area. Improving their productivity should be done by various aspects including farmer, cattle, environment and technology aspect without forget about social cultural and religion of local people. Based on SWOT analysis, the strategy conservation of Katingan Cattle was aggressive strategy in term of short term programme should be arranged. The strategy was recommended also based on the strengths and the opportunity factors. Although the conservation of Katingan Cattle in term of population number in stable condition which was naturally maintenanced by custom of Dayak people, the role of local Government is needed for instance technology, institution and acces in capital aspect in order to increase population and household income of local farmer.

Key words: Katingan cattle, existency, conservation strategy

ABSTRAK

Informasi potret kegiatan budidaya Sapi Katingan yang meliputi aspek peternak, ternak, lingkungan dan teknologinya diperoleh melalui kegiatan survei, wawancara (data primer) dan dari data sekunder. Informasi tersebut berguna untuk mengetahui eksistensi sapi Katingan saat ini dan juga sekaligus digunakan untuk


(42)

menyusun strategi konservasi Sapi Katingan melalui analisa SWOT. Penelitian dilaksanakan di tiga kecamatan yaitu di Kecamatan Tewah Sanggalang Garing (Keluarahan Pendahara), Kecamatan Pulau Malan (Desa Buntut Bali) dan Kecamatan Katingan Tengah (Desa Tumbang Lahang). Sebanyak 15-20 orang dari masing-masing lokasi penelitian dijadikan sebagai responden dalam penggalian informasi primer. Teknik pengambilan contoh responden dilakukan secara purposive sampling dan pengumpulan data dilakukan dengan metode Participatory Rural Appraisal (PRA). Agar informasi yang dikumpulkan lebih terarah dibekali dengan daftar isian pertanyaan. Hasil penelitian memberikan gambaran bahwa nilai lebih dari Sapi Katingan dibandingkan dengan sapi lokal lainnya adalah nilai kulturalnya yang tinggi. Kontribusinya bagi pendapatan keluarga adalah sebesar 18-28%, kedua terbesar setelah komoditas karet. Berdasarkan kondisi biofisik lingkungan, SDM dan pengalaman beternak yang ada sangat memungkinkan Sapi Katingan bisa dikembangkan lebih baik lagi di lokasi habitatnya sesuai dengan potensi genetiknya. Peningkatan produksi dan reproduksi Sapi Katingan dilakukan melalui perbaikan berbagai aspek budidaya meliputi aspek peternak, ternak sapi, lingkungan dan teknologi dengan tetap memperhatikan aspek sosial budaya dan agama masyarakat setempat. Berdasarkan analisis SWOT pelestarian Sapi Katingan dilakukan melalui strategi yang bersifat agresif jangka pendek berdasarkan pertimbangan faktor kekuatan dan peluang yang dimiliki. Walaupun kelestarian Sapi Katingan secara alami terjaga oleh adat istiadat yang ada namun demikian diperlukan dukungan pemerintah (teknis, kelembagaan, akses permodalan) untuk meningkatkan populasi dan pendapatan peternak.

Kata-kata kunci: Sapi Katingan, eksistensi, strategi pelestarian

PENDAHULUAN

Kalimantan Tengah memiliki beberapa plasma nutfah ternak yang telah dibudidayakan sesuai dengan kondisi wilayah dan sosial budaya masyarakat setempat, diantaranya adalah kerbau rawa, babi lokal dan sapi potong lokal.

Sapi lokal Kalimantan Tengah khusus dipelihara oleh masyarakat Dayak di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Katingan, sehingga diberi nama sebagai sapi Katingan, sedangkan sapi-sapi lokal lainnya seperti Sapi Bali, Sapi Madura dan Sapi PO dipelihara oleh masyarakat pendatang (transmigran). Keberadaan sapi yang jauh di pedalaman Kalimantan Tengah, yaitu di Kabupaten Katingan dengan infrastruktur yang minim membuat sapi-sapi ini kurang mendapatkan perhatian pengembangannya. Kebijakan Pemerintah Daerah lebih banyak mendatangkan sapi-sapi dari luar (utamanya Sapi Bali) untuk membantu


(43)

meningkatkan populasi sapi. Populasi Sapi Katingan belum diketahui secara pasti, demikian juga dengan berbagai aspek yang terlibat dalam kegiatan budidaya sapi tersebut. Nilai kompetitif dari Sapi Katingan dibandingkan dengan sapi lokal lainnya adalah nilai kulturalnya sehingga untuk sapi-sapi tertentu harga jualnya lebih mahal dan dari segi rasa daging Sapi Katingan lebih disukai.

Manajemen pemeliharaan yang terbatas pada etnis tertentu dan pada wilayah tertentu dikhawatirkan sapi tidak bisa berkembang secara maksimal bahkan dimungkinkan akan terjadi erosi genetik seiring makin gencarnya sapi-sapi lokal lainnya yang dikembangkan melalui berbagai aktivitas (penyebaran dan introduksi inseminasi buatan).

Sapi Katingan merupakan plasma nutfah yang mempunyai potensi untuk dirakit menjadi strain unggul hewan atau ternak, oleh karena itu menurut Riwantoro (2005) keberadaan plasma nutfah ternak lokal di berbagai daerah perlu diidentifikasi secara baik sehingga dapat dilakukan konservasi dengan tepat.

Konservasi adalah semua bentuk kegiatan yang melibatkan tatalaksana sumberdaya genetik dengan baik untuk memenuhi kebutuhan pangan dan pertanian saat ini dan masa yang akan datang, dengan mempertahankan keragaman genetik yang dikandungnya (Riwantoro 2005). Secara singkat konservasi meliputi kegiatan perlindungan, pengawetan, pemeliharaan, rehabilitasi, introduksi, pelestarian, pemanfaatan dan pengembangan (Komisi Nasional Plasma Nutfah 2002).

Dalam kegiatan konservasi Sapi Katingan permasalahan yang dihadapi adalah masih sedikitnya informasi dari semua aspek, yaitu produksi, reproduksi, lingkungan, manajemen pemeliharaan, ketrampilan petani yang mengelola, aspek genetik, dll. Oleh karena itu salah satu tahapan yang digali pada penelitian ini adalah dalam rangka untuk mengetahui gambaran umum kegiatan budidaya Sapi Katingan sekaligus untuk menentukan strategi pelestarian dan pengembangannya.


(44)

BAHAN DAN METODE

Bahan

Penelitian dilakukan di 3 (tiga) kecamatan di Kabupaten Katingan, yaitu Kecamatan Tewah Sanggalang Garing (Kelurahan Pendahara), Kecamatan Pulau Malan (Desa Buntut Bali) dan Kecamatan Katingan Tengah (Desa Tumbang Lahang). Kegiatan penelitian difokuskan pada identifikasi kegiatan budidaya Sapi Katingan, lingkungan budidaya, potensi sumberdaya pendukung, permasalahan dan prospek pengembangan.

Berbagai informasi yang diperlukan sebagai bahan penelitian diperoleh dari peternak sapi Katingan, petugas lapangan, petugas Dinas Pertanian Kabupaten Katingan dan petugas dari institusi terkait (kecamatan, kelurahan dan UPTD). Sebanyak 15-20 orang dari masing-masing lokasi penelitian dijadikan sebagai responden dalam penggalian informasi primer.

Metode

Pembangunan peternakan yang tangguh menurut Darmawan (2003) merupakan interaksi 4 variabel, yaitu (1) peternak, subyek yang harus dijamin meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan, (2) ternak, obyek yang ditingkatkan produksi dan produktivitasnya, (3) lahan, basis ekologi yang mendukung pakan dan lingkungan budidaya, dan (4) teknologi, alat/rekayasa untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu penggalian informasi dan monitoring data difokuskan pada 4 variabel tersebut. Selain itu juga terhadap ketersediaan subsistem pendukung dan kebijakan pembangunan peternakan di Kalimantan Tengah antara kebijakan dan aplikasi di lapangan.

Jenis penelitian yang dilakukan adalah diskriptif, yaitu melalui kegiatan survei, data yang dikumpulkan bersumber dari data primer dan sekunder. Data primer berasal dari hasil wawancara dengan peternak, petugas dinas, petugas lapangan dan informan kunci. Teknik pengambilan contoh responden dilakukan secara purposive sampling, yaitu dilakukan pemilihan secara sengaja berdasarkan pertimbangan tertentu. Pengumpulan data dilakukan dengan metode Participatory Rural Appraisal (PRA) (Badan Litbang Pertanian 2006). Agar informasi yang


(45)

dikumpulkan lebih terarah digunakan daftar isian pertanyaan (Lampiran 1). Selain wawancara dilakukan kunjungan dan pengamatan lapang.

Informasi (data primer) yang dikumpulkan diantaranya adalah sumber daya lahan dan ternak yang dimiliki, produktivitas usahatani (ternak dan tanaman), potensi sumberdaya pakan lokal dan pendapatan rumah tangga petani. Sedangkan data sekunder diperoleh dari lembaga atau instansi terkait meliputi data: kependudukan, iklim, tataguna lahan, jenis tanah, struktur organisasi lokal, data teknis peternakan, riwayat penyebaran ternak, dll.

Analisis Data

Data yang diperoleh dilakukan analisa deskriptif melalui tabulasi dan dalam bentuk grafik. Tabulasi dimaksudkan untuk mempermudah proses analisis serta untuk memberikan gambaran tentang distribusi data dari seluruh responden.

Terkait dengan strategi pelestarian dan pengembangan plasma nutfah Sapi Katingan ke depan dilakukan analisis SWOT (Strengths, Opportunities, Weakness, Threats). Salah satu manfaat pendekatan analisis SWOT menurut Yusdja dan Ilham (2006) adalah kemampuannya mengarahkan kebijakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Sistem penilaian SWOT sering dianggap mempunyai kadar subyektivitas, namun dengan menggunakan informasi di lapang dan justifikasi para ahli menurut Yusdja dan Ilham (2006) sifat subyektivitas dapat dikurangi atau dengan kata lain hasil analisis dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Analisis SWOT dilakukan adalah untuk identifikasi berbagai faktor secara sistematis dalam merumuskan strategi pelestarian dan pengembangan Sapi Katingan. Analisa ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Pertanian Kabupaten Katingan. Dengan demikian perencanaan strategis (strategic planner) harus menganalisa faktor-faktor lingkungan strategis lokasi keberadaan Sapi Katingan (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini (bersifat kondisional).


(46)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil Kabupaten Katingan

Kabupaten Katingan adalah salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Kalimantan Tengah dengan luas wilayah 17.500 Km2

Salah satu prioritas pembangunan di Kabupaten Katingan adalah pengembangan pertanian dalam arti luas, termasuk di dalamnya adalah pembangunan peternakan. Pengembangan peternakan di Kabupaten Katingan masih berskala kecil ataupun usaha rumah tangga, sementara lahan yang tersedia sangat cocok untuk usaha ini. Melihat potensi yang ada sangat berpeluang untuk pengembangan peternakan terutama sapi potong. Perkembangan populasi ternak di Kabupaten Katingan dari tahun 2003 – 2007 disajikan pada Tabel 1.

, terdiri atas 11 (sebelas) kecamatan serta 145 (seratus empat puluh lima) desa dan 7 (tujuh) kelurahan yang memiliki sumber daya alam yang potensial untuk pengembangan baik sektor kehutanan, perkebunan, pertambangan, pertanian secara umum dan sektor perikanan.

Tabel 1. Populasi ternak di Kabupaten Katingan tahun 2003-2007 No. Jenis Ternak Populasi

2003 2004 2005 2006 2007 1. Sapi Potong 4.158 4.328 4.331 4.792 5.132

2. Kerbau 198 213 233 240 252

3. Kambing 478 524 524 573 586

4. Domba 198 211 251 265 273

5. Babi 5.113 5.259 5.613 5.935 6.324 6. Ayam Potong 32.452 32.730 32.730 32.987 33.012 7. Ayam Buras 117.542 117.692 117.716 11.820 12.326

8. Ayam Petelur - - - - -

9. Itik 5.798 6.085 6.085 6.375 6.985 10. Entok 1.865 1.916 2.687 2.875 2.995

(Sumber data : Dinas Pertanian Kabupaten Katingan 2008)

Berdasarkan daya dukung lahan dan sumber daya yang dimiliki, kabupaten Katingan mampu menampung kurang lebih 76.000 ekor sapi. Menurut laporan dari Dinas Pertanian Kabupaten Katingan (2009), daerah yang berpotensi untuk


(47)

pengembangan sapi potong adalah Kecamatan Katingan Tengah, Pulau Malan, Tewang Sanggalang Garing dan Kecamatan Marikit.

Profil Lokasi Penelitian

Luas Kelurahan Pendahara, Desa Buntut Bali dan Tumbang lahang masing-masing adalah 155 km2, 136 km2 dan 16.000 ha. Dimanfaatkan pada berbagai kegiatan usahatani, adapun luas lahan yang telah diusahakan disajikan pada Tabel 2. Lahan yang tersedia baik yang sudah diusahakan maupun yang belum berpotensi untuk pengembangan usahatani terutama ternak sapi.

Tabel 2 Tataguna lahan di Kelurahan Pendahara, Desa Buntut Bali dan Desa Tumbang Lahang

No. Peruntukan Lahan Kelurahan/Desa Pendahara (ha) Buntut Bali (ha) T. Lahang (ha) 1. Lahan Sawah

- Sawah tadah hujan - Sawah Lebak

1.075 200 75 125

900

2. Lahan bukan sawah a. Lahan Kering

- Padang penggembalaan - Perkebunan

- Pekarangan - Ladang + Tegal

- Sementara tidak diusahakan - Hutan rakyat

b. Lahan lainnya - Rawa/sungai

25.6 43 44.5

723 5.163.2 4.342.5

11 585 72 103 + 28 12.426 150 25

1.200 1.400

8.300 5.000

Sumber: UPTD Kec. Tewang Sanggaling Garing (2008); UPTD Kec. Pulau Mulan (2008); Monografi Desa Tumbang Lahang (2006)

Berdasarkan kondisi biofisik lingkungan (sumberdaya lahan dan iklim), tipe batuan dan mineral yang mendominasi ke tiga tempat tersebut adalah aluvial muda (recent alluvial) dengan landform berupa dataran yang sewaktu-waktu dapat tergenang. Pada beberapa lokasi dijumpai batuan kuarsit dan secara umum jenis batuan endapan yang terdapat di wilayah ini umumnya bersifat masam (Puslittanak 1996).


(48)

Kondisi topografi secara umum adalah merupakan dataran (flat) dengan kelas kelerengan < 2%. Ketinggian tempat ketiga lokasi penelitian berada pada kisaran 0-700 meter diatas permukaan laut. Hal ini menjadikan kawasan ini memiliki rejim suhu panas (isohyperthermic) dan rejim kelembaban yang lembab (udic). Suhu udara maksimum rata-rata berkisar antara 30-32oC dan suhu minimum 25oC dengan suhu rata-rata tahunan 27o

Berdasarkan sistem lahan skala 1:250.000, jenis tanah yang terdapat pada tiga tempat penelitian didominasi ordo Entisols dengan group besar Tropofluvents dan Fluvaquents (Gambar 3). Jenis tanah ini secara geografis terdapat di sepanjang jalur sungai Katingan dimana terdapat Kelurahan Pendahara dan Desa Buntut Bali, menuju ke atas Desa Tumbang Lahang (Bhermana 2009). Jenis-jenis tanah aluvial ini berasal dari endapan baru yang berlapis-lapis dengan kandungan bahan organik yang tidak beraturan berdasarkan kedalamannya dan terbentuk pada jalur aliran sungai (Hardjowigeno 1987). Tanah-tanah ini memiliki nilai C-organik > 0.2% dengan pH tanah 4.0-4.5. Kondisi drainase tergolong buruk karena sebagian besar jenuh air dengan kandungan lempung hasil endapan sungai. Di wilayah Pendahara pada beberapa tempat di bagian sebelah Timur dijumpai gambut tipis hingga kedalaman 0-25 cm, sedangkan diwilayah Tumbang Lahang pengaruh tanah-tanah berpasir yang berasal dari jenis tanah Placaquods terdapat di bagian sebelah Barat dengan kandungan pasir < 60%. Komposisi kimia tanah secara umum tanah ordo Entisol pada ketiga wilayah ini memiliki tekstur lempung liat berpasir; reaksi tanah masam, C organik sangat rendah, N dan C/N sedang, Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan Kejenuhan basa (KB) rendah, P

C (Puslittanak 1996). Berdasarkan zona agroklimat wilayah ini masuk ke dalam zona B1 dengan jumlah bulan basah (>200 mm/bulan) antara 7 – 9 bulan dan bulan kering (<100 mm/bulan) kurang dari 2 bulan (Oldeman et al. 1980).

2O5 total

sedang, P2O5 tersedia sangat rendah, K2

Tanah-tanah Aluvial yang terdapat pada ketiga wilayah desa tersebut secara umum merupakan tanah yang subur karena mengandung cukup hara akibat adanya endapan sungai. Hal ini memungkinkan untuk pengembangan pertanian O sangat rendah dan kejenuhan Aluminium (Al) tinggi (Hartomi et al. 2000).


(49)

termasuk peternakan melalui pengembangan kawasan HMT sebagai pakan ternak dan kawasan penggembalaan (pasture).

Gambar 3 Peta sumberdaya lahan lokasi penelitian.

Menurut Direktorat Perluasan Areal dan Dirjen Pengelolaan Lahan dan Air (2009) perluasan areal untuk pengembangan HMT dilakukan melalui pembersihan lahan, pengolahan tanah, pemupukan dan penanaman. Berdasarkan

Tumbang Lahang

Buntut Bali


(1)

Macam alel menurut ukuran panjang (bp) (ILSTS036)

A B C D E F G H I J K L M N O P

138 140 142 144 146 148 150 152 154 156 158 160 162 164 168 178

No Lab

Alel 1 (bp)

Alel 2 (bp)

Genotipe No Lab

Alel 1 (bp)

Alel 2 (bp)

Genotipe No Lab

Alel 1 (bp)

Alel 2 (bp)

Genotipe

1a 150 150 GG 28 162 162 MM 59 148 158 FK

2a 150 150 GG 29 162 162 MM 60 152 158 HK

3a 150 150 GG 30 162 162 MM 61 154 154 II

4a 142 150 CG 31 162 162 MM 62 160 160 LL

1 142 150 CG 32 - - - 63 154 154 II

2 142 142 CC 33 158 158 KK 64 152 154 HI

3 142 150 CG 34 158 158 KK 65 154 154 II

4 150 150 GG 35 160 160 LL 66 152 154 HI

5 140 140 BB 36 158 164 KN 67 - - -

6 144 144 DD 37 158 168 KO 68 158 158 KK

7 144 144 DD 38 168 168 OO 69 160 162 LM

8 138 144 AD 39 168 168 OO 70 146 146 EE

9 160 160 LL 40 158 158 KK 71 160 160 LL

10 160 160 LL 41 190? 190? - 72 164 164 NN

11 154 160 IL 42 168 168 OO 73 - - -

12 154 160 IL 43 168 168 OO 74 158 158 KK

12b 160 160 LL 44 168 168 OO 75 156 158 JK

14 152 160 HL 45 160 160 LL 76 - - -

15 160 160 LL 46 160 160 LL 77 156 156 JJ

16 160 160 LL 47 158 158 KK 78 - - -

17 154 160 IL 48 158 158 KK 79 - - -

18 160 160 LL 49 160 160 LL 80 - - -

19 160 160 LL 50 - - - 81 146 150 EG

20 - - - 51 158 160 KL 82 160 160 LL

21 152 156 HJ 52 160 160 LL 83 - - -

22 162 162 MM 53 158 158 KK 84 160 160 LL

23 162 162 MM 54 - - - 85 - - -

24 158 158 KK 55 158 160 KL 86 160 162 LM

25 158 158 KK 56 160 160 LL 87 162 162 MM

26 178 178 PP 57 158 158 KK 88 160 160 LL


(2)

A B C D E F G H I J K L M N O P Q 126 128 130 132 134 136 138 140 142 144 146 148 150 152 158 160 162

R S T U

164 168 170 180

No Lab

Alel 1 (bp)

Alel 2 (bp)

Genotipe No Lab

Alel 1 (bp)

Alel 2 (bp)

Genotipe No Lab

Alel 1 (bp)

Alel 2 (bp)

Genotipe

1a 150 164 MR 28 138 152 GN 59 136 140 FH

2a 140 150 HM 29 140 146 HK 60 148 164 LR

3a 140 150 HM 30 148 162 LQ 61 160 180 PU

4a 150 158 MO 31 138 148 GL 62 142 158 IO

1 136 138 FG 32 138 148 GL 63 140 158 HO

2 138 148 GL 33 140 158 HO 64 140 150 HM

3 150 168 MS 34 140 158 HO 65 136 148 FL

4 136 138 FG 35 132 140 DH 66 140 150 HM

5 148 160 LP 36 140 158 HO 67 140 158 HO

6 138 150 GM 37 140 150 HM 68 140 158 HO

7 148 164 LR 38 140 150 HM 69 140 142 HI

8 148 164 LR 39 142 160 IP 70 140 158 HO

9 148 164 LR 40 142 160 IP 71 144 150 JM

10 148 164 LR 41 128 142 BI 72 142 158 IO

11 148 164 LR 42 142 160 IP 73 140 152 HN

12 136 150 FM 43 128 144 BJ 74 134 148 EL

12b 144 160 JP 44 128 144 BJ 75 130 142 CI

14 142 160 IP 45 126 140 AH 76 132 148 DL

15 138 140 GH 46 126 140 AH 77 134 148 EL

16 140 158 HO 47 140 150 HM 78 132 148 DL

17 138 150 GM 48 140 150 HM 79 130 142 CI

18 144 162 JQ 49 150 164 MR 80 148 164 LR

19 128 128 BB 50 136 152 FN 81 148 164 LR

20 142 160 IP 51 138 148 GL 82 140 152 HN

21 132 144 DJ 52 136 148 FL 83 152 164 NR

22 142 160 IP 53 148 162 LQ 84 152 164 NR

23 142 150 IM 54 132 148 DL 85 - - -

24 132 142 DI 55 136 150 FM 86 140 152 HN

25 152 170 NT 56 132 148 DL 87 150 164 MR

26 138 148 GL 57 132 148 DL 88 - - -


(3)

Macam alel menurut ukuran panjang (bp) (ILSTS030)

A B C D E F G H I J

140 146 148 150 152 154 156 158 160 178

No Lab

Alel 1 (bp)

Alel 2 (bp)

Genotipe No Lab

Alel 1 (bp)

Alel 2 (bp)

Genotipe No Lab

Alel 1 (bp)

Alel 2 (bp)

Genotipe

1a 152 152 EE 28 156 158 GH 59 146 156 BG

2a 146 156 BG 29 156 156 GG 60 156 156 GG

3a 152 152 EE 30 156 160 GI 61 156 156 GG

4a 152 152 EE 31 156 156 GG 62 156 156 GG

1 150 150 DD 32 156 156 GG 63 158 158 HH

2 152 152 EE 33 156 156 GG 64 158 158 HH

3 156 156 GG 34 160 160 II 65 158 158 HH

4 152 152 EE 35 156 156 GG 66 156 156 GG

5 146 152 BE 36 156 160 GI 67 156 156 GG

6 152 152 EE 37 160 160 II 68 158 158 HH

7 152 152 EE 38 160 160 II 69 160 178 IJ

8 152 152 EE 39 156 160 GI 70 146 160 BI

9 146 156 BG 40 156 156 GG 71 156 156 GG

10 146 150 BD 41 146 156 BG 72 152 156 FG

11 150 150 DD 42 154 154 FF 73 156 156 GG

12 150 150 DD 43 156 160 GI 74 156 156 GG

12b 152 152 EE 44 154 154 FF 75 156 156 GG

14 154 154 FF 45 156 156 GG 76 156 156 GG

15 146 154 BF 46 150 150 DD 77 156 156 GG

16 154 154 FF 47 150 150 DD 78 158 160 HI

17 154 154 FF 48 150 156 DG 79 156 156 GG

18 154 154 FF 49 146 150 BD 80 156 156 GG

19 - - - 50 148 152 CE 81 150 150 DD

20 154 154 FF 51 140 156 AG 82 150 150 DD

21 150 150 DD 52 152 152 EE 83 150 150 DD

22 156 156 GG 53 148 152 CE 84 140 146 AB

23 156 156 GG 54 150 150 DD 85 - - -

24 156 156 GG 55 148 148 CC 86 150 150 DD

25 146 156 BG 56 148 148 CC 87 150 150 DD

26 158 158 HH 57 156 156 GG 88 152 158 EH


(4)

A B C D E F G H I J K L M N 141 143 145 147 149 151 155 157 159 163 165 167 169 171

No Lab

Alel 1 (bp)

Alel 2 (bp)

Genotipe No Lab

Alel 1 (bp)

Alel 2 (bp)

Genotipe No Lab

Alel 1 (bp)

Alel 2 (bp)

Genotipe

1a 141 141 AA 28 145 145 CC 59 151 171 FN

2a 143 143 BB 29 145 145 CC 60 151 171 FN

3a 143 143 BB 30 141 141 AA 61 145 163 CJ

4a 143 143 BB 31 145 157 CH 62 145 163 CJ

1 145 165 CK 32 145 145 CC 63 149 167 EL

2 145 165 CK 33 145 145 CC 64 149 167 EL

3 145 165 CK 34 145 145 CC 65 151 169 FM

4 145 165 CK 35 145 145 CC 66 149 167 EL

5 145 165 CK 36 145 145 CC 67 149 167 EL

6 145 165 CK 37 145 165 CK 68 149 167 EL

7 145 155 CG 38 145 145 CC 69 149 167 EL

8 145 165 CK 39 145 145 CC 70 151 169 FM

9 145 165 CK 40 145 145 CC 71 149 167 EL

10 145 165 CK 41 145 145 CC 72 151 169 FM

11 145 165 CK 42 147 151 DF 73 145 145 CC

12 145 165 CK 43 145 151 CF 74 143 151 BF

12b 145 165 CK 44 145 145 CC 75 145 145 CC

14 145 165 CK 45 145 145 CC 76 143 151 BF

15 145 165 CK 46 145 165 CK 77 143 143 BB

16 145 165 CK 47 145 145 CC 78 151 151 FF

17 145 165 CK 48 145 151 CF 79 143 143 BB

18 147 167 DL 49 145 165 CK 80 143 143 BB

19 147 167 DL 50 145 145 CC 81 143 143 BB

20 147 167 DL 51 145 151 CF 82 145 151 CF

21 149 169 EM 52 147 165 DK 83 145 145 CC

22 149 169 EM 53 149 157 EH 84 145 145 CC

23 147 167 DL 54 151 171 FN 85 - - -

24 147 167 DL 55 151 171 FN 86 143 143 BB

25 145 145 CC 56 149 159 EI 87 143 143 BB

26 145 145 CC 57 149 169 EM 88 - - -


(5)

Macam alel menurut ukuran panjang (bp) (ILSTS056)

A B C D E F G H I J K L M N O P Q

156 158 160 162 164 168 170 172 174 176 178 180 182 184 186 188 190

R S T U

192 194 196 198

No Lab

Alel 1 (bp)

Alel 2 (bp)

Genotipe No Lab

Alel 1 (bp)

Alel 2 (bp)

Genotipe No Lab

Alel 1 (bp)

Alel 2 (bp)

Genotipe

1a 168 180 FL 28 162 172 DH 59 172 182 HM

2a 168 180 FL 29 168 186 FO 60 172 182 HM

3a 168 180 FL 30 164 182 EM 61 162 174 DI

4a 168 180 FL 31 168 182 FM 62 162 178 DK

1 164 178 EK 32 164 182 EM 63 168 172 FH

2 160 178 CK 33 182 186 MO 64 162 178 DK

3 160 178 CK 34 168 182 FM 65 168 188 FP

4 160 180 CL 35 168 182 FM 66 162 178 DK

5 160 170 CG 36 182 186 MO 67 162 182 DM

6 178 192 KR 37 178 198 KU 68 160 180 CL

7 164 178 EK 38 162 168 DF 69 160 180 CL

8 178 192 KR 39 162 180 DL 70 158 178 BK

9 170 182 GM 40 162 180 DL 71 164 174 EI

10 168 184 FN 41 162 182 DM 72 176 196 JT

11 170 182 GM 42 178 198 KU 73 176 178 JK

12 170 182 GM 43 162 178 DK 74 164 174 EI

12b - - - 44 178 198 KU 75 170 172 GH

14 160 176 CJ 45 162 176 DJ 76 172 174 HI

15 160 176 CJ 46 162 180 DL 77 176 196 JT

16 164 168 DF 47 162 182 DF 78 172 194 IS

17 156 176 AJ 48 170 190 GQ 79 162 174 DI

18 156 176 AJ 49 178 196 KT 80 162 174 DI

19 158 176 BJ 50 178 196 KT 81 162 174 DI

20 156 176 AJ 51 168 178 FK 82 156 162 AD

21 158 176 BJ 52 178 196 KT 83 168 188 FP

22 176 178 JK 53 178 196 KT 84 168 188 FP

23 162 176 DJ 54 168 180 FL 85 180 198 LU

24 176 184 JN 55 178 196 KT 86 168 180 FL

25 162 172 DH 56 178 182 KM 87 172 180 HL

26 164 182 EM 57 168 180 FL 88 170 188 GP


(6)

A B C D E F G H I J K L M N O 148 152 156 158 160 162 164 166 168 170 174 176 178 180 184

No Lab

Alel 1 (bp)

Alel 2 (bp)

Genotipe No Lab

Alel 1 (bp)

Alel 2 (bp)

Genotipe No Lab

Alel 1 (bp)

Alel 2 (bp)

Genotipe

1a 160 160 EE 28 160 168 EI 59 160 168 EI

2a 160 170 EJ 29 160 160 EE 60 160 168 EI

3a 156 164 CG 30 160 168 EI 61 168 184 IO

4a 160 174 EK 31 160 168 EI 62 160 168 EI

1 170 176 JL 32 160 160 EE 63 168 184 IO

2 160 160 EE 33 156 164 CG 64 160 168 EI

3 160 164 EG 34 156 164 CG 65 160 168 EI

4 160 160 EE 35 160 160 EE 66 156 158 CD

5 160 160 EE 36 160 160 EE 67 162 174 FK

6 164 174 GK 37 160 166 EH 68 160 168 EI

7 164 180 GN 38 160 160 EE 69 160 160 EE

8 164 164 GG 39 160 160 EE 70 160 170 EJ

9 158 160 DE 40 160 168 EI 71 166 180 HN

10 158 160 DE 41 168 168 II 72 166 180 HN

11 158 178 DM 42 160 168 EI 73 160 166 EH

12 - - - 43 160 166 EH 74 174 174 KK

12b 158 162 DF 44 160 166 EH 75 162 166 FH

14 158 158 DD 45 160 160 EE 76 160 166 EH

15 158 158 DD 46 160 160 EE 77 160 166 EH

16 158 162 DF 47 160 160 EE 78 160 174 EK

17 158 180 DG 48 166 166 HH 79 166 170 HJ

18 158 158 DD 49 160 166 EH 80 174 174 KK

19 158 162 DF 50 - - - 81 166 170 HJ

20 158 158 DD 51 160 166 EH 82 160 178 EM

21 160 168 EI 52 160 166 EH 83 - - -

22 160 160 EE 53 160 160 EE 84 160 160 EE

23 168 168 II 54 160 160 EE 85 - - -

24 160 160 EE 55 166 180 HN 86 160 160 EE

25 160 160 EE 56 166 180 HN 87 - - -

26 160 160 EE 57 160 168 EI 88 148 152 AB