Akad sale and lease back pada transaksi sukuk ritel di PT. BNI Securities

(1)

AKAD SALE AND LEASE BACK PADA TRANSAKSI SUKUK RITEL DI PT. BNI SECURITIES

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)

Oleh:

Dani Arsyad Anwar 205046100662

KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

AKAD SALES AND LEASE BACK PADA TRANSAKSI SUKUK RITEL DI PT. BNI SECURITIES

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy) Oleh :

Dani Arsyad Anwar NIM : 205046100662

Di Bawah Bimbingan Pembimbing I

DR. Euis Amalia, M.Ag NIP. 197107011998032002

Pembimbing II

DR. Hj. Mesraini, M. Ag NIP. 150 326 895

KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH

PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul AKAD SALES AND LEASE BACK PADA TRANSAKSI SUKUK RITEL DI PT BNI SECURITIES telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 18 Maret 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy) pada Program Studi Muamalat (Ekonomi Islam).

Jakarta, 18 Maret 2010 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof.DR.H.Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 195505051982031012

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Drs. Djawahir Hejazziey, SH., MA 195510151979031002

(……….)

2. Sekretaris : Drs.Ahmad Yani, MA. 196404121994031004

(……….)

3. Pembimbing I : DR. Euis Amalia, M.Ag 197107011998032002

(……….)

4. Pembimbing II : DR.Hj.Mesraini, M.Ag 150326895

(……….)

5. Penguji I : Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag 19740725200112001

(……….)

6. Penguji II : Drs.H.Burhanuddin Yusuf, MM 195406181981031005


(4)

i

ميح رلا نمحرلا ها مسب KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Baginda Rasulullah SAW yang telah memberikan tuntunan dan bimbingan kepada umat manusia untuk kehidupan yang lebih baik serta kepada keluarganya, para sahabatnya, dan umatnya.

Alhamdulillah, pada akhirnya skripsi yang berjudul “Akad Sales and Lease

Back pada Transaksi Sukuk Ritel di PT BNI Securities” dapat diselesaikan oleh penulis dengan baik. Dengan penuh kesadaran penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan tidak akan selesai tanpa dukungan dari berbagai pihak baik dukungan moril maupun materil. Penghargaan yang tidak dapat terlukiskan, penulis berikan kepada orang-orang tersayang dan pihak-pihak yang telah

memberikan dukungan, do’a, dan pengorbanan demi selesainya skripsi ini. Ucapan

terima kasih yang mendalam penulis sampaikan kepada:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Euis Amalia, M. Ag., dan Ah. Azharuddin Lathif, M. Ag., selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Mu’amalah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta serta Drs. Djawahir Hejazziey dan Drs. H.


(5)

ii

Ahmad Yani, M.Ag., selaku Ketua dan Sekretaris Koordinator Teknis Program Non-Reguler. dan Pembimbing Akademik penulis, Asmawi, M.Ag.

3. Dr. Euis Amalia, M. Ag dan Dr. Hj. Mesraini, M.Ag., selaku pembimbing skripsi yang telah sabar membimbing, memberikan arahan, dan meluangkan waktunya di sela-sela kesibukannya kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan peranan dalam hal pembelajaran dan ilmunya kepada penulis selama masa kuliah.

5. Seluruh Staff dan Karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan.

6. Bapak Sandy, Bapak Robitirtanto, selaku Manajer Debt Capital Maket PT BNI Securities, Bapak Adrian Mailangkay, selaku Corporate Secretary PT BNI Securities, dan seluruh karyawan serta staf PT BNI Securities yang telah memberikan izin untuk mengadakan penelitian dan membantu perolehan data dan informasi yang penulis butuhkan dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Ayahanda dan Ibunda tercinta, Papah Ali Nurdin S.Ag dan Mamah D. Yarnalis, yang kasihnya sepanjang masa tidak bisa terbayarkan oleh apapun. Yang terus mengorbankan tenaga, fikiran, tenaga, dan harta demi selesainya pendidikan anak-anaknya. Nasehat berharga, motivasi bernilai, dan dukungan yang kuat terus menerus diberikan kepadaku.


(6)

iii

8. Bapak dan ibu mertua, (alm) Moch. Nuh dan Azmah yang selalu memberikan

support, cinta, dan kasih sayangnya, memberikan penulis ruang yang nyaman

untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Untuk Kak Alamsyah dan Kak Hildah terima kasih atas komputernya, saya dan Rahma harus bergadang di rumah untuk revisi skripsi ini.

9. Isteriku tersayang, Rahmawati yang selalu setia menemaniku di kala suka dan duka, walaupun dalam keadaan hamil, tetapi masih bisa semangat menemani,

men-support, dan menyelesaikan pendidikan ini bersama, dengan kekompakkan

dan komitmen. Dan buah hatiku yang kunantikan kehadirannya, menambahku semangat untuk tetap komitmen dan konsisten fi sabililah.

10.Adik-adiku yang tercinta, Annisa Ulfah (Icha) dan Putri Insan Kamilah (Uthi), yang terus memotivasiku, menyemangatiku, pinjaman laptopnya yang berharga, walaupun jarang aku berada di sisi kalian selama menempuh pendidikan ini. Sepupuku Eko Saputra, Eki Sentosa terima kasih atas do’a kalian.

11.Ali Sakti, S.E, M.Ec dan keluarga yang senantiasa meluangkan waktunya di sela-sela kesibukannya setiap minggu untuk membimbing kami menjadi pribadi-pribadi tangguh. Dan teman-teman kajian, Daris, Abdurrahman, Iqbal, Nurkholis.

Semoga amal dan kebaikan semua pihak yang diberikan kepada penulis diberikan ganjaran berupa pahala dunia dan akhirat. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini banyak kekurangan disebabkan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman. Namun penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi


(7)

iv

semua pihak. Skripsi ini dapat menjadi bahan perbandingan untuk skripsi-skripsi berikutnya, dapat menjadi bahan pertimbangan untuk berbagai pihak yang terlibat dalam terselesainya skripsi ini.

Jazakumullah khairon katsiron. Wassalamu’alikum

Jakarta, Maret 2010 H

Rabiu-t-Tsani 1431 M

Penulis,


(8)

v DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI vi

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

B.Pembatasan dan Perumusan Masalah C.Tujuan dan Manfaat Penelitian D.Metodologi Penelitian

E. Review Studi Terdahulu F. Kerangka Teori

G.Sistematika Penelitian

1 7 7 9 11 14 15 BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A.Konsep Ijarah(Sewa) dalam Fiqh Mu’amalat 1. Pengertian Ijarah

2. Prinsip-prinsip Ijarah

3. Pendapat Fuqaha Klasik dan Kontemporer 4. Mekanisme Ijarah

B.Konsep Al-Bay’ (Jual Beli) dalam Fiqh Muamalat 1. Pengertian Al-Bay’ (Jual Beli)

17 17 20 32 35 38 38


(9)

vi 2. Dasar Hukum Al-Bay’ 3. Hukum Al-Bay’

4. Rukun dan Syarat Jual Beli C.Konsep Sales and Lease Back

1. Pengertian Sale and Lease Back 2. Prinsip-prinsip Sale and Lease Back 3. Mekanisme Sale and Lease Back D.Konsep Sukuk

1. Pengertian Sukuk 2. Prinsip-prinsip Sukuk 3. Jenis-jenis Sukuk 4. Mekanisme Sukuk

41 43 44 48 48 48 49 51 51 57 59 69 BAB III SUKUK RITEL DI PT. BNI SECURITIES

A.Profil PT. BNI Securities

1. Sejarah Singkat PT. BNI Securities 2. Visi dan Misi PT. BNI Securities 3. Struktur Organisasi PT. BNI Securities 4. Produk dan Jasa PT. BNI Securities B.Mekanisme Sukuk Ritel di PT BNI Securities

72 72 87 88 89 96 BAB IV ANALISA DAN TEMUAN


(10)

vii Sukuk Ritel di PT. BNI Securities

B.Analisa Konsistensi Akad Jual Beli (Al-Bay’) Pada Struktur Akad Sales and Lease Back dalam Transaksi Sukuk Negara Ritel

1. Bentuk dan Jenis SBSN

2. Struktur Akad Jual Beli (Al-Bay’) pada Sukuk Ritel 3. Rukun Jual Beli Bersyarat (bay’ wafa’) pada Akad

Sales and Lease Back

4. Syarat-syarat pada Akad al-bay’ (Jual Beli) dalam Struktur Akad Sales and Lease Back

5. Hukum Jual Beli Bersyarat (Bay’ Wafa’)

C. Analisa Konsistensi Akad Sewa (Ijarah) Pada Struktur Akad Sales and Lease Back dalam Transaksi Sukuk Negara Ritel

1. Akad Ijarah (sewa) pada Struktur Akad Sales and

Lease Back dalam Sukuk Negara Ritel

2. Mekanisme Akad Ijarah (sewa) pada Transaksi SBSN Sukuk Negara Ritel

3. Rukun Ijarah (sewa) pada Akad Sales and Lease Back dalam Sukuk Negara Ritel

101

102 102 103

105

108 108

111

111

112


(11)

viii

DAFTAR PUSTAKA 120

LAMPIRAN 123

BAB V PENUTUP A.Kesimpulan B.Saran

116 118


(12)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Beberapa usaha dilakukan pada tahun 1980-an untuk mengembangkan instrumen sekuritas Islam yang dapat diperdagangkan, akan tetapi proses yang baik untuk menerbitkan sukuk dimulai pada tahun 1992 di Malaysia dan pada tahun 2001 di Bahrain. Setelah itu pasar sukuk meningkat dengan cepat hampir di seluruh bagian dunia. Selama tahun 2001-2004 volume investasi pada sukuk diperkirakan mencapai US $ 8 sampai 9 miliar, di mana senilai lebih kurang US $ 6 miliar sukuk ijarah dan sisanya berdasarkan syirkah, salam atau aset gabungan. Penerbitan sukuk di Malaysia sebagian besar berdasarkan konsep bay’al ‘ínah berupa aset utama dan konsep

tabarru, sementara perdagangan pada pasar sekunder dengan melalui bay’ al-dayn,

mereka juga telah menerbitkan sukuk ijarah.1

Di Indonesia saat ini instrumen sukuk mulai dilirik oleh pemerintah setelah beberapa perusahaan swasta meluncurkan Obligasi Syariah. Pemerintah melalui Departemen Keuangan (Depkeu) melalui Ditjen Pengelolaan Utang Depkeu telah menunjuk Bank Umum Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki izin usaha dari Bank Indonesia (BI), dan perusahaan efek yang memiliki izin usaha sebagai penjamin emisi efek dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga

1

Mustafa Edwin Nasution dan Nurul Huda, Investasi pada Pasar Modal Syari’ah, Jakarta: Kencana Predana Media Group h. 149.


(13)

2

Keuangan (Bapepam-LK) untuk menjadi agen penjual Sukuk. Agen penjual yang dipilih ini wajib memiliki komitmen terhadap pemerintah dalam pengembangan pasar sukuk dan berpengalaman dalam menjual produk keuangan syariah. Instrumen sukuk tersebut adalah Sukuk Ritel Indonesia yang menjadi prioritas dalam menambah defisit anggaran tahun 2009 di tengah pasar obligasi konvensional yang mengalami kesulitan akibat krisis keuangan global.2

Pemerintah telah menerbitkan Sukuk Ritel tersebut pada akhir Februari 2009 silam. Tujuan penerbitan sukuk ini untuk diversifikasi instrumen pembiayaan dan mengembangkan pasar Sukuk di Indonesia. Sukuk Ritel merupakan instrumen yang menyasar investor-investor masyarakat individual karena di tengah situasi krisis keuangan global yang masih gonjang-ganjing, investor individual menjadi alternatif ketika banyak perusahaan yang terkena imbas krisis ekonomi. Menariknya investor-investor sukuk tidak hanya berasal dari institusi-institusi syariah saja, tetapi juga investor konvensional.3

Dari beberapa sosialisasi yang dilakukan, pemerintah telah berhasil menjaring calon-calon investor potensial. Pertama, mereka adalah para investor yang membeli sukuk dengan pertimbangan syariah compliance (kepatuhan syariah). Kedua, mereka para investor yang memiliki institusi kelebihan dana, seperti bank syariah (Bank Muamalat), Asuransi Takaful. Institusi ini kelebihan dana, namun tidak ada

2 M.Gunawan Yasni. “Syariah Dan Implikasinya Atas Pengembangan Sukuk Khususnya

Ijarah & Pasar Modal Ke Depan” artikel diakses pada 4 November 2009 dari www.wordpress.com

3


(14)

3

instrumen yang dapat dijadikan sarana investasi. Dalam hal ini potensi Sukuk Ritel sangat besar, apalagi diprediksikan pertumbuhan perbankan syariah akan mencapai 15-20%. Ketiga, potensi pasar internasional, yaitu mereka para investor asal Timur Tengah yang memiliki akses likuiditas seiring melambungnya harga minyak mentah dunia. Para Investor Timur Tengah lebih tertarik menempatkan uang mereka di instrumen berbasis syariah. Ini semakin menambah potensi demand Sukuk Indonesia. Makanya Sukuk Ritel ini tidak hanya diterbitkan di dalam negeri tapi juga luar negeri.4

Belum lagi sukuk memiliki kelebihan di mata investor yang sangat memperhatikan syariah compliance. Bagi investor ini, sukuk adalah instrumen yang paling tepat. Antara sukuk dengan non sukuk yang menarik adalah dari sisi penentuan yield dan penerbitnya. Pemerintah adalah sebagai penerbit yang bebas dari resiko, sukukpun adalah instrumen bebas resiko, inilah yang membuat sukuk semakin menarik, disamping itu, yieldnya sepadan dengan instrumen lain terutama bagi para investor.

Perkembangan Sukuk Ritel terbukti dari waktu enam hari masa penawaran sukuk ritel perdana dari masa penawaran yang dibuka pemerintah sejak 30 Januari sampai 20 Februari 2009, jumlah penjualan mencapai Rp 1,487 triliun atau 82% dari target yang disampaikan oleh 13 Agen Penjual sukuk ritel yaitu sebesar Rp1,7 triliun. Minat masyarakat membeli Sukuk Ritel cukup besar. Hal ini juga dipengaruhi oleh

4


(15)

4

perkembangan tingkat suku bunga yang trennya downturn yang terlihat dari berlanjutnya kebijakan penurunan BI Rate menjadi 8,25%. 5

Perkembangan harga sukuk ritel lebih kurang sama dengan perkembangan harga obligasi nasional ritel (ORI 001-005). Sebab, sukuk ritel secara risiko, penerbit, dan imbal hasilnya dijamin oleh pemerintah. Selain itu, kedua instrumen tersebut juga memiliki prinsipal yang sama yaitu undang-undang.

Trend yield ORI periode 2007-24 Februari 2009 sebagai pembanding yield sukuk karena ORI jatuh temponya tidak jauh berbeda dengan sukuk. Dalam periode tersebut ORI yang sudah berumur dua tahun, yield awalnya 12 persen. Saat ini, setelah umurnya tinggal satu tahun, yield-nya di secondary market 11-12 persen, bahkan ada yang 10 persen untuk satu tahun. Namun untuk ORI yang jatuh temponya masih lebih panjang, yieldnya masih berada di level 13 persen.6

Selain masalah harga, transaksi harian sukuk diperkirakan juga meningkat seperti layaknya rata-rata transaksi ORI 001-005 sejak diterbitkan tahun 2006. Pada tahun 2006 nilai frekuensi ORI di secondary market mencapai Rp14,73 miliar per hari. Di tahun 2007, frekuensinya naik menjadi Rp110 miliar per hari, dan di 2008 meningkat menjadi Rp 209 miliar per hari.7

5

Heri Susanto, Agus Dwi Darmawan, “Tawarkan Bagi Hasil 12% Depkeu: Peminat Sukuk Ritel Luar Biasa Besar” Artikel diakses pada 30 Juli 2009 dari www.vivanews.com

6

Heri Susanto, Agus Dwi Darmawan. ibid

7


(16)

5

Setelah dicatatkan di Bursa Efek Indonesia (BEI), harga sukuk ritel seri SR001 naik 30 basis poin. Saat itu, sukuk ritel ditransaksikan pada harga terendah sebesar 100 persen par dan harga tertinggi 100,30 persen par dengan volume Rp 55 miliar.8

Jumlah nominal sukuk ritel yang diterbitkan mencapai Rp5,556 triliun dengan imbal hasil tingkat kupon (fixed rate) 12 persen per tahun. Pencapaian penjualan sukuk ritel, melampaui 200 persen dari target. Sukuk ritel ini akan jatuh tempo pada 25 Februari 2012 atau memiliki jangka waktu 3 tahun sejak diterbitkan 25 Februari 2009.

Di samping pentingnya peningkatan permodalan dan penambahan anggaran negara disertai dengan semakin naiknya demand terhadap sukuk dan meningkatnya potensi sukuk di Indonesia, yang menjadi elemen terpenting adalah syariah

compliance akan sukuk itu sendiri. Kepatuhan syariah dari penerapan transaksi itu

mulai dari penawaran, penjualan, sampai perdagangannya di pasar modal.

Transaksi dalam Sukuk Ritel Indonesia pada seri SR 001 adalah dengan menggunakan akad al-bay’ (jual beli) dan ijarah (sewa), atau lebih dikenal dengan akad sales and lease back. Yaitu satu kesatuan transaksi antara dua transaksi yang terpisah antara sales (penjualan)dan lease (sewa).

Dalam transaksi ini Lessee terlebih dahulu menjual barang modal yang sudah dimilikinya kepada Lessor dan atas barang modal yang sama kemudian dilakukan

8


(17)

6

kontrak sewa guna usaha antara Lessee (pemilik semula) dengan Lessor (pembeli barang modal tersebut). Lessee membutuhkan dana untuk modal kerja, sehingga seolah-olah dia menjual asset-nya (meskipun sebenarnya tidak karena memang masih dubutuhkan).

Selain masalah-masalah di atas yang berkaitan dengan sukuk yang memberikan pengaruh jangka panjang terhadap integritas sistem keuangan Islam9 di antaranya adalah:

1. Tingkat return yang dipastikan pada sukuk 2. Akad bay’ ad-dayn

3. Metodologi jual dan sewa kembali (sales and lease back) 4. Penguasaan Sukuk Ijarah

5. Sukuk untuk pembiayaan sektor publik yang defisit

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka topik ini menjadi sangat menarik untuk dibahas, terutama analisa pada metodologi jual dan sewa kembali (sales and

lease back) pada instrumen Sukuk Ritel Indonesia di salah satu agen penjual SRI

yaitu PT. BNI Securities. Dengan demikian maka penulis ingin membahasnya lebih lanjut dalam bentuk skripsi dengan judul:

“Akad Sales and Lease Back Pada Transaksi Sukuk Ritel Indonesia di PT. BNI Securities”

9

Mustafa Edwin, Nurul Huda dan Nasution. Investasi Pada Pasar Modal Syariah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), Cet. Kedua, h. 150


(18)

7

B.Pembatasan dan Perumusan Masalah

Mengingat banyaknya tempat agen penjualan Sukuk Ritel Indonesia dan luasnya segmen yang dapat dibahas dari pembahasan Sukuk Ritel Indonesia, maka penulis membatasi tempat penelitian pada PT.BNI Securities objek pembahasan adalah seputar analisis pada akad yang dijalankan yaitu Sales and Lease Back yang masih relevan dengan Ijarah, mekanisme dan aplikasi Sukuk Ritel Indonesia (SRI) pada PT.BNI Securities.

Bertolak dari latar belakang masalah di atas, untuk mempermudah pembahasannya maka yang diajukan dalam perumusan masalah ini, yaitu:

1. Bagaimana konsep akad Sukuk Ritel di Indonesia berdasarkan Fatwa DSN MUI? 2. Bagaimana konsistensi akad al-bay’ (jual beli) pada struktur akad sales and lease

back pada instrumen Sukuk Ritel Indonesia?

3. Bagaimana konsistensi akad al-ijarah (sewa) pada struktur akad sales and lease back pada instrumen Sukuk Ritel Indonesia?

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan di atas maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui mekanisme Sukuk Ritel Indonesia berdasarkan Fatwa DSN MUI?

2. Untuk mengetahui konsistensi akad al-bay’ (jual beli) pada struktur akad sales


(19)

8

3. Untuk mengetahui konsistensi akad al-ijarah (sewa) pada struktur akad sales and

lease back pada Sukuk Ritel Indonesia.

Adapun manfaat dari penulisan dan penelitian ini adalah:

1. Bagi Penulis, penulisan ini sangat bermanfaat untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai mekanisme Sukuk Ritel Indonesia mulai diperjualkan melalui agen penjual Sukuk Ritel Indonesia sampai diperdagangkan di pasar sekunder, dan menambah pangetahuan mengenai hukum transaksi dengan menggunakan akad sales and lease back pada SRI.

2. Bagi akademisi, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan sumbangan pemikiran, pengetahuan dalam khazanah ekonomi Islam dan menambah referensi serta acuan dalam menunjang penelitian selanjutnya yang mungkin cakupannya jauh lebih luas sebagai bahan perbandingan.

3. Bagi praktisi (penjual dan pembeli SRI), dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil keputusan dalam memperdagangkan Sukuk Ritel Indonesia berdasarkan prinsip syariah.

4. Bagi PT. BNI Securities sebagai salah satu agen penjualan Sukuk Ritel Indonesia, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam mempertimbangkan prinsip syariah (syariah compliance) terhadap produk Sukuk Ritel.


(20)

9

D.Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian

Pada penelitian ini akan digunakan jenis penelitian deskriptif, yaitu data yang dinyatakan dalam bentuk kata, kalimat, gambar, dan tidak dapat dinyatakan dengan angka-angka, mendeskripsikan mekanisme Sukuk Ritel Indonesia, serta konsistesi akad al-bay’ dan al-ijarah di dalamnya.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang penulis lakukan yakni pendekatan studi kasus di PT BNI Securities, yaitu salah satu agen penjual Sukuk Ritel yang ditunjuk oleh Pemerintah. Pendekatan studi kasus ini menjabarkan keadaan objek yang sedang diteliti serta menganalisanya.

3. Objek Penelitian

Objek dari penelitian ini adalah transaksi Sukuk Ritel Indonesia, yang diterbitkan oleh Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan Republik Indonesia yang kemudian diperjualkan melalui agen penjual Sukuk salah satunya adalah PT.BNI Securities.

4. Jenis Data a. Data Primer

Yaitu data yang diambil langsung dari sumbernya seperti wawancara langsung ke bagian Debt Capital Market PT. BNI Securities, Ditjen Pengelolaan Utang Departemen Keuangan Republik Indonesia, para praktisi dan akademisi seperti Prof. Dr. Hasanuddin AF dan Ali Sakti, M.Ec.


(21)

10

b. Data Sekunder

Yaitu data yang diperoleh dari laporan-laporan atau data-data yang dikeluarkan oleh bank. Selain itu, diperoleh dari internet, literatur kepustakaan seperti buku, kitab sumber lainnya yang berkaitan dengan materi skripsi ini. 5. Teknik Pengumpulan Data

Pada penelitian ini menggunakan metode studi kepustakaan (library riset) dan melakukan wawancara/studi lapangan (field riset) sesuai dengan permasalahan yang penulis bahas. Kajian kepustakaan penulis lakukan guna mencapai pemahaman secara menyeluruh (komprehensif) tentang konsep dari permasalahan yang sedang dibahas.

a. Library Riset (Studi Kepustakaan)

Yaitu pengumpulan data dengan mempelajari bahan-bahan tertulis seperti buku, majalah, surat kabar, serta artikel yang terkait dengan penelitian mengenai Sukuk Ritel Indonesia yang sedang dilakukan.

b. Field Riset (Studi Lapangan)

Yaitu pengumpulan data dengan pengamatan langsung dengan melakukan wawancara kepada bagian Debt Capital Market PT.BNI Securities atau seorang authoritas (seorang yang ahli atau yang berwenang dalam suatu masalah).10 Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan disiapkan terlebih dahulu yang diarahkan kepada informasi-informasi untuk topik yang akan digarap.

10


(22)

11

6. Teknik Analisa Data

Bahan-bahan yang diperoleh dari hasil penelitian baik berupa data primer dan data sekunder yang didapatkan dari majalah, surat kabar, artikel, dan pengamatan langsung melalui wawancara kemudian diseleksi dan dipilah sesuai kebutuhan penelitian, kemudian disusun dan diklasifikasikan berdasarkan kepada masalah yang akan dibahas. Setelah bahan-bahan tersebut terklasifikasikan kemudian dianalisa dengan menggunakan analisa studi pustaka untuk sebuah temuan masalah.

7. Teknik Penulisan

Teknik penulisan ini merujuk pada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2007.

E. Review Studi Terdahulu

1. Ani Khoironi, 2008. “Potensi Sukuk Bagi Pertumbuhan Investasi di Pasar Modal Indonesia”.

Temuan inti dari skripsi ini bahwa saudari Ani Khoironi menganalisa potensi sukuk secara umum bagi pertumbuhan investasi di pasar modal Indonesia dengan menggunakan analisa SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Treath), dan juga menganalisa potensi sukuk dengan analisa Eksternal-Internal, Internal-Eksternal sukuk itu sendiri.


(23)

12

Dalam skripsi ini ditemukan beberapa kendala yang dihadapi oleh pemerintah dalam pengembangan sukuk ke depan setelah diketahui kekuatan dan peluangnya, dan ditemukan pula strategi-strategi yang harus ditempuh oleh penerbit dan Bapepam-LK didasarkan pada analisa SWOT.

Sementara skripsi yang dibuat oleh penulis lebih membahas kepada aplikasi objek yang lebih spesifik yaitu Sukuk Ritel Indonesia, penulis juga menganalisa transaksi akad sales and lease back pada salah satu agen penjual sukuk ritel yaitu PT.BNI Securities berdasarkan pada akad ijarah dalam fiqh

mu’amalat.

2. Susanto Abdillah, 2005. “Konsep dan Mekanisme Obligasi Syariah serta Kontribusinya Terhadap Aspek Permodalan (Studi Kasus pada PT. Bank Syariah Muamalat Indonesia).”

Dalam kripsi ini saudara Susanto Abdillah menggunakan metode studi lapangan langsung ke tempat penerbit sukuk korporasi yaitu PT. Bank Muamalat Indonesia ditambah studi kepustakaan dari literatur-literatur yang tersedia.

Skripsi ini membahas konsep dan mekanisme obligasi syariah mudaharabah pada PT. Bank Muamalat Indonesia dan efektifitasnya terhadap peningkatan permodalan di PT. Bank Muamalat Indonesia, dijelaskan pula pemeringkatan efek hutang BBB Obligasi Syariah Mudharabah dan rencana penggunaan dana dari hasil penawaran umum PT. Bank Muamalat Indonesia.


(24)

13

3. Rachmi Handayani, 2003. “Obligasi Syariah Upaya Kreatif Menghindari Riba: Analisis Obligasi Mudharabah pada PT. Indosat, Tbk Jakarta .” Dalam skripsi ini saudari Rachmi Handayani membahas manfaat dan efektifitas Obligasi Syariah Mudharabah terhadap penghindaran transaksi ribawi dan perannya dalam peningkatan permodalan pada PT. Indosat, Tbk. Dijelaskan pula struktur Obligasi Syariah Mudharabah mulai dari dana Obligasi yang ditetapkan, harga penawaran, jatuh tempo dana obligasi, perhitungan pendapatan bagi hasil, rencana penggunaan dana hasil penawaran umum Obligasi Syariah, dan pemeringkatan oleh Bapepam yaitu peringkat AA+ (Stable Outlook).

Perbedaan skripsi saudari Rachmi Handayani dan skripsi ini diantaranya: objek yang akan dibahas yaiitu sukuk ritel dengan menggunakan akad sales and lease back, bentuk sukuk/obligasi syariah yang dibahas adalah sukuk pemerintah yang dijual ritel dan bukan sukuk korporasi, dalam skripsi ini penulis akan lebih menganalisa seputar aplikasi akad sales and lease back pada transaksi sukuk ritel pada salah satu agen penjual sukuk yaitu PT.BNI Securities.

4. Joko Wahyu, 2009. “Akad Ijarah pada SBSN (Analisa Fiqh Muamalat)”. Dalam skripsi ini saudara Joko membahas mengenai akad Ijarah pada SBSN (Surat Berharga Syariah Nasional) dengan pendekatan analisa fiqh muamalat.


(25)

14

Perbedaan skripsi saudara Joko dengan skripsi penulis adalah, pada skripsi ini penulis membahas mengenasi konsistensi akad sales (al-bay’/jual

beli) dan Lease (al-ijarah/sewa) pada akad Sales and Lease Back dalam

transaksi Sukuk Negara Ritel.

F. Kerangka Teori

Surat Berharga Syariah Nasional (SBSN) dengan instrumennya yaitu Sukuk Ritel Indonesia berdasarkan prinsip syariah adalah atas pertimbangan bahwa negara akan mengalami defisit anggaran pada Tahun 2009, maka Pemerintah melalui Ditjen Pengelolaan Utang Departemen Keuangan Republik Indonesia menerbitkan Sukuk Ritel Indonesia untuk memenuhi kebutuhan defisit anggaran tahun 2009 di tengah pasar obligasi konvensional yang sulit akibat krisis keuangan global, atas dasar itu Depkeu memilih beberapa lembaga keuangan Perbankan, dan non perbankan untuk menjadi agen penjual SBSN seri SR 001. Sampai saat ini penjualan Sukuk Ritel Indonesia mengalami peningkatan bahkan melebihi dari target penjualan sebelumnya. Kenaikan bahkan dialami pada secondary market, target sukuk naik samapai 200% melebihi target dan menambah 14 ribu investor baru.

Sukuk dan instrumen keuangan syariah lainnya perlu menjadi pertimbangan maslahat dan mudharat berdasarkan perspektif ekonomi Islam terlihat dari kebutuhan pasar terhadap instrumen keuangan syariah sebagai solusi dari instrumen ekonomi konvensional yang tidak konsisten dalam menjaga prinsip-prinsip keadilannya.


(26)

15

G.Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah penyusunan penulisan skripsi, maka penulis membagi skripsi ini menjadi lima bab dengan sistematika sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini, penulis menguraikan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, review studi terdahulu, kerangka teori dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Dalam bab ini, penulis membahas konsep ijarah dalam fiqh mu’malat, pengertian ijarah (sewa), prinsip-prinsip ijarah (sewa), pendapat fuqaha klasik dan kontemporer, mekanisme ijarah (sewa), konsep al-bay’ (jual beli) dalam Fiqh Muamalat, pengertian al-bay’ (jual beli), dasar hukum al-bay’ (jual beli), hukum al-bay’ (jual beli), rukun dan syarat al-bay’ (jual beli), pengertian sale and lease back, prinsip-prinsip sale and lease back, mekanisme sale and lease back, pengertian Sukuk, prinsip-prinsip sukuk, jenis-jenis sukuk, mekanisme sukuk

BAB III SUKUK RITEL DI PT. BNI SECURITIES

Dalam bab ini, penulis menguraikan sejarah singkat PT. BNI Securities, visi dan misi PT. BNI Securities, struktur organisasi PT. BNI Securities, produk dan jasa PT. BNI Securities, dan mekanisme sukuk ritel di PT BNI Securities.


(27)

16

BAB IV ANALISA DAN TEMUAN

Pada Bab ini penulis membahas akad sale and lease back pada transaksi sukuk ritel di PT. BNI Securities, analisa konsistensi akad jual beli (al-bay’) pada struktur Akad Sales and Lease Back dalam transaksi Sukuk Negara Ritel, bentuk dan jenis SBSN, struktur akad jual beli (al-bay’) pada Sukuk Ritel, rukun jual beli bersyarat (bay’ wafa’) pada Akad Sales and Lease Back, syarat-syarat pada Akad al-bay’ (jual beli) dalam struktur akad Sales and Lease Back, hukum jual beli bersyarat (Bay’ Wafa’), analisa konsistensi akad sewa (ijarah) pada struktur akad Sales and

Lease Back dalam transaksi Sukuk Negara Ritel, akad ijarah (sewa) pada struktur

akad Sales and Lease Back dalam Sukuk Negara Ritel, mekanisme akad ijarah (sewa) pada transaksi SBSN Sukuk Negara Ritel, rukun ijarah (sewa) pada akad

Sales and Lease Back dalam Sukuk Negara Ritel.

BAB V PENUTUP

Bab ini merupakan bagian akhir dari sebuah penelitian yang berisi kesimpulan, saran dan keterbatasan penelitian.


(28)

17 BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A.Konsep Ijarah dalam Fiqh Mu’amalat 1. Pengertian Ijarah

Lafal al-ijarah dalam bahasa Arab berarti upah, sewa, jasa, atau imbalan.

Al-Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi kebutuhan

hidup manusia, seperti sewa menyewa, kontrak, atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain.

Secara terminologi, ada beberapa definisi al-ijarah yang dikemukakan para ulama fiqh.

Pertama, Ulama Hanafiyah mendefinisikannya dengan:

1

“Transaksi terhadap suatu mafaat dengan imbalan.”

Kedua, ulama Syafi’iyah mendefinisikannya dengan:

2

1


(29)

18

Transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah dan boleh

dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.”

Ketiga, ulama Malikiyah dan Hanabilah mendefinisikannya dengan:

3

“Pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu

imbalan.”

Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka akad al-ijarah tidak boleh dibatasi oleh syarat. Akad al-ijarah juga tidak berlaku pada pepohonan untuk diambil buahnya, karena buah itu sendiri adalah materi, sedangkan akad al-ijarah itu hanya ditujukan kepada manfaat. Demikian juga halnya dengan kambing, tidak boleh dijadikan objek al-ijarah untuk diambil susu atau bulunya, karena susu dan bulu kambing adalah materi. Jumhur ulama fiqh juga tidak membolehkan air mani hewan ternak pejantan, seperti unta, sapi, kuda, dan kerbau, karena yang dimaksudkan dengan hal itu adalah mendapatkan keturunan hewan, dan mani itu sendiri merupakan materi. Hal ini sejalan dengan sebuah riwayat dari Rasulullah saw yang berbunyi:

2

Asy-Syaibani al-Khatib, Mughni al-Muhtaj, (Beirut: Dar al-Fikri, 1978), Jilid II, h.233.

3

Syihab ad-Din al-Qarafi, al-Furuq, (Beirut: Dar al-Fikri, 1982), Jilid IV, hlm. 4. Dan lihat juga Ibnu Qudamah, al-Mughni, (Riyadh al-Haditsah, 1982), Jilid V, h.398.


(30)

19

( 4

“Rasulullah saw melarang penyewaan mani hewan pejantan. (HR al-Bukhari,

Ahmad ibn Hanbal, an-Nasa’i, dan Abu Daun dari „Abdillah ibn „umar)”.

Demikian juga para ulama fiqh tidak memperbolehkan al-ijarah terhadap nilai tukar uang, seperti Dirham dan Dinar, karena menyewakan hal itu berarti menghabiskan materinya, sedangkan dalam al-ijarah yang dituju hanyalah manfaat dari suatu benda.5

Akan tetapi Ibn Qayyim al-Jauziyyah (691-751 H/1292-1350 M), pakar fiqh Hanbali, menyatakan bahwa pendapat jumhur pakar fiqh itu tidak didukung oleh

al-Qur’an, as-Sunnah, ijmak, dan qiyas. Menurutnya, yang menjadi prinsip dalam

syari’at Islam adalah bahwa suatu materi yang berevolusi secara bertahap, hukumnya

sama dengan manfaat, seperti buah pada pepohonan, susu dan bulu pada kambing. Oleh karena itu, Ibn al-Qayyim menyamakan antara manfaat dengan materi dalam wakaf. Menurutnya, manfaat pun boleh diwakafkan, seperti mewakafkan manfaat rumah untuk ditempati dalam masa tertentu dan mewakafkan hewan ternak untuk

4

Al-Kasani, op. cit., h.175.

5


(31)

20

dimanfaatkan susunya. Dengan demikian, menurutnya tidak ada alasan yang melarang untuk menyewakan (al-ijarah) suatu materi yang hadir secara evolusi, sedangkan basisnya tetap utuh, seperti susu kambing, dan manfaat rumah; karena kambing dan rumah itu, menurutnya tetap utuh.6

2. Prinsip-prinsip Ijarah

Para ulama fiqh mengatakan bahwa yang menjadi dasar dibolehkannya akad

al-ijarah adalah firman Allah dalam surat az-Zukhruf, 43: 32 yang berbunyi:

“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan

antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar

sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain....”

Di samping itu, para ulama fiqh juga beralasan kepada firman Allah dalam surat ath-Thalaq, 65: 6 yang berbunyi:

6

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, (Beirut: Dar-al-Jail, 1973), Jilid II, h.15.


(32)

21

“...Jika mereka menyusukan (anak-anak)-mu untukmu, maka berikanlah upah kepada

mereka..”

Dalam surat al-Qashash, 28: 26 Allah juga berfirman:

“Salah seorang dari dua wanita itu berkata: “Wahai bapakku ambillah dia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang

kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”

Para ulama fiqh juga mengemukakan alasan dari beberapa buah sabda Rasulullah saw., di antaranya adalah sabda beliau yang mengatakan:

( 7

7


(33)

22

“Berikanlah upah/jasa kepada orang yang kamu pekerjakan sebelum kering keringat

mereka.”(HR Abu Ya’la, Ibnu Majah, ath-Thabrani, dan at-Tirmidzi).

Dalam riwayat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri Rasulullah sam bersabda:

)

8

“Siapa yang menyewa seseorang maka hendaklah ia beritahu upahnya.” (HR „ abd

ar-Razzaq dan Baihaqi)

Selanjutnya dalam riwayat „Abdullah ibn „Abbas dikatakan:

( 9

“Rasulullah saw berbeka, lalu beliau membayar upahnya kepada orang yang

membekamnya. (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad ibn Hanbal).”

8

Al-Kasani, al-Bada’i’ al-Shana’i’, (Beirut: Dar al-Fikri, 1978), Jilid IV h.174.

9


(34)

23

a. Rukun al-Ijarah

Menurut ulama Hanafiyyah, rukun al-ijarah itu hanya satu, yaitu ijab (ungkapan menyewakan) dan qabul (persetujuan terhadap sewa menyewa). Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa rukun al-ijarah ada empat, yaitu:

1) Orang berakad 2) Sewa/imbalan 3) Manfaat, dan

4) Shighat (ijab dan qabul)

Ulama Hanafiyyah menyatakan bahwa orang yang berakad, sewa/imbalan, dan manfaat, termasuk syarat-syarat al-ijarah, bukan rukun-rukunnya.10

b. Syarat-syarat al-Ijarah

Sebagai sebuah transaksi umum, al-I jarah baru dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya, sebagaimana yang berlaku secara umum dalam transaksi lainnya. Adapun syarat-syarat akad ijarah adalah sebagai berikut:11

1) Untuk kedua orang yang berakad (al-muta’aqidain), menurut ulama

Syafi’iyah dan Hanabilah, disyaratkan telah baligh dan berakal. Oleh sebab

itu, apabila orang yang belum atau tidak berakal, seperti anak kecil dan orang gila, menyewakan harta mereka atau diri mereka (sebagai buruh), menurut mereka, al-ijarah-nya tidak sah. Akan tetapi, ulama Hanafiyah dan Malikiyah

10

Al-Khathib Asy-Syarbaini, Mugni al-Muhtaj, (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), Jilid II, h.233.

11


(35)

24

berpendapat bahwa kedua orang yang berakad itu tidak harus mencapai usia balig, tetapi anak yang telah mumayyiz pun boleh melakukan akad al-ijarah. Namun, mereka mengatakan, apabila seorang anak yang mumayyiz melakukan akad al-ijarah terhadap harta atau dirinya, maka akad itu baru dianggap sah apabila disetujui oleh walinya.12

2) Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad al-ijarah. Apabila salah seorang di antaranya terpaksa melakukan akad itu, maka akadnya tidak sah. Hal ini berdasarkan kepada firman Allah dalam surat an-Nisa’, 4: 29 yang berbunyi:

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta

kamu dengan cara yang batil, kecuali melalui suatu perniagaan yang berlaku

suka sama suka...”

3) Manfaat yang jadi objek al-ijarah harus diketahui secara sempurna, sehingga tidak muncul perselisihan di kemudian hari. Apabila manfaat yang akan menjadi objek al-ijarah itu tidak jelas, maka akadnya tidak sah. Kejelasan

12


(36)

25

manfaat itu dapat dilakukan dengan menjelaskan jenis manfaatnya, dan penjelasan berapa lama manfaat di tangan penyewa. Dalam masalah penentuan waktu sewa ini, ulama syafi’iyyah memberikan syarat yang ketat. Menurut mereka apabila seseorang menyewakan rumahnya selama satu tahun dengan harga sewa Rp. 150.000,- sebulan, maka akad sewa menyewa batal, karena dalam akad seperti ini diperlukan pengulangan akad baru setiap bulan dengan harga sewa baru pula. Sedangkan kontrak rumah yang telah disepakati selama satu tahun itu, akadnya tidak diulangi setiap bulan. Oleh sebab itu, menurut mereka, akad sebenarnya belum ada, yang berarti al-ijarah pun batal (tidak ada). Di samping itu, menurut mereka, sewa menyewa dengan cara di atas, menunjukkan tenggang waktu sewa tidak jelas, apakah satu tahun atau satu bulan. Berbeda halnya jika rumah itu disewa dengan harga sewa Rp. 1 juta setahun, maka akad seperti itu adalah sah, karena tenggang waktu sewa jelas dan harganya pun ditentukan untuk satu tahun. Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa akad seperti itu adalah sah dan bersifat mengikat. Apabila seseorang menyewakan rumahnya selama satu tahun dengan harga sewa Rp. 100.000,- sebulan, maka, menurut jumhur ulama, akadnya sah untuk bulan pertama, sedangkan untuk bulan selanjutnya apabila kedua belah pihak saling rela membayar sewa dan menerima sewa seharga Rp. 100.000,- maka kerelaan ini dianggap sebagai kesepakatan bersama, sebagaimana halnya


(37)

26

dalam ba’i al-mu’athah (jual beli tanpa ijab dan qabul, tetapi cukup dengan membayar uang dan mengambil barang yang dibeli).13

4) Obyek al-ijarah itu boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat. Oleh karena itu, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa tidak boleh menyewakan sesuatu yang tidak boleh diserahkan dan dimanfaatkan langsung oleh penyewa. Misalnya, apabila seseorang menyewa rumah, maka rumah itu langsung ia terima kuncinya dan langsung boleh ia manfaatkan. Apabila rumah itu masih berada di tangan orang lain, maka akad

al-ijarah hanya berlaku sejak rumah itu boleh diterima dan ditempati oleh

penyewa kedua. Demikian juga halnya apabila atap rumah itu bocor dan sumurnya kering, sehingga membawa mudharat bagi penyewa. Dalam kaitan ini, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa pihak penyewa berhak memilih apakah akan melanjutkan akad itu atau membatalkannya.

5) Obyek al-ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara’. Oleh sebab itu, para ulama fiqh sepakat menyatakan tidak boleh menyewa seseorang untuk mengajarkan ilmu sihir, menyewa seseorang untuk membunuh orang lain (pembunuh bayaran), dan orang Islam tidak boleh menyewakan rumah kepada orang non Muslim untuk dijadikan tempat ibadah mereka. Menurut mereka, obyek sewa menyewa dalam contoh di atas termasuk maksiat, sedangkan kaidah fiqh menyatakan:

13

Syihab ad-Din al-Qarafi, al-Furuq, (Beirut: Dar al-Fikr, 1982), Jilid IV, h.4, dan lihat juga as-Sarakhsi, al-Mabsuth, (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), Jilid XI, h.43.


(38)

27

14

“Sewa menyewa dalam masalah maksiat tidak boleh”

6) Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa. Misalnya, menyewa orang untuk melaksanakan shalat untuk diri penyewa dan menyewa orang yang belum haji untuk menggantikankan haji penyewa. Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa sewa menyewa seperti ini tidak sah, karena shalat dan haji merupakan kewajiban bagi orang yang disewa. Terkait dengan masalah itu juga, para ulama fiqh berbeda pendapat dalam hal menyewa/menggaji seseorang untuk jadi mu’adzin, menggaji imam shalat, dan menggaji seseorang yang mengajarkan al-Qur’an. Ulama Hanafiyah dan Hanabilah15 mengatakan tidak boleh atau haram hukumnya menggaji seorang

mu’adzin, imam shalat, dan guru yang akan mengajarkan al-Qur’an, karena

pekerjaan seperti ini, menurut mereka, termasuk pekerjaan taat (dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah), dan terhadap perbuatan taat seseorang tidak

boleh menerima gaji. Alasan mereka adalah sebuah riwayat dari „Amr ibn al

-„Ash yang mengatakan:

14

Ad-Dardir, op. cit., h.21.

15


(39)

28

16

“Apabila salah seorang di antara kamu dijadikan mu’adzin (di Masjid) maka

janganlah kamu minta upah atas azan itu.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Nasa’ i)

Akan tetapi, ulama Malikiyah17dan Syafi’ iyyah18, menyatakan bahwa boleh menerima gaji dalam mengajarkan Al-Qur’ an, karena mengajarkan Al -Qur’ an itu merupakan suatu pekerjaan yang jelas. Alasan mereka adalah sabda Rasulullah saw, yang menjadikan hafalan al-Qur’ an seseorang menjadi mahar, sebagaimana yang terdapat dalam sabda beliau yang berbunyi:

)

19 (

“Rasulullah saw menikahkan seorang laki-laki dengan mahar ayat-ayat

Al-Qur’an yang ada (hafal) padanya”. (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad ibn Hanbal).

16

Ibid.

17

Ad-Dardir, op. cit., h.16.

18

Asy-Syarbaini al-khathib, Mughni al-Muhtaj, jilid II, h.344.

19


(40)

29

Menurut mereka, Hadits ini mengandung pengertian bahwa ayat Al-Qur’an boleh dijadikan mahar, sedangkan mahar biasanya bermakna harta. Di samping itu, Rasulullah saw bersabda:

)

( 20

“Upah yang lebih berhak kamu ambil adalah dari mengajarkan Kitab Allah.”

(HR. Ahmad ibnu Hanbal, Abu Daud, Tirmidzi, dan ibnu Majah dari Sa’ id al

-Khudri).

Berdasarkan sabda Rasulullah saw di atas, ulama malikiyyah berpendapat boleh hukumnya menggaji seseorang untuk menjadi mu’adzin dan imam tetap di Masjid. Akan tetapi ulama Syafi’iyyah tidak membolehkan menggaji imam shalat. Akan tetapi seluruh ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa seseorang boleh menerima gaji untuk mengajarkan berbagai disiplin ilmu, baik ilmu agama, seperti Fiqih dan Hadits, maupun ilmu umum, seperti bahasa, sejarah, dan ilmu-ilmu eksakta, karena mengajarkan seluruh ilmu itu, menurut mereka, bukanlah kewajiban pribadi tetapi kewajiban kolektif

(fardhu kifayah). Selanjutnya terdapat pula perbedaan pendapat ulama dalam

20


(41)

30

hal mengambil upah dalam penyelenggaraan jenazah, seperti memandikan, mangafani, dan menguburkannya. Ulama Hanafiyah mengatakan tidak boleh mengambil upah dalam penyelenggaraan jenazah, karena hal itu merupakan kewajiban seorang Muslim. Akan tetapi, jumhur ulama membolehkannya, dengan alasan bahwa penyelenggaraan jenazah termasuk kewajiban kolektif

(fardhu kifayah), bukan kewajiban pribadi (fardhu ‘ain).21

7) Objek al-ijarah itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan, seperti rumah, mobil, dan hewan tunggangan. Oleh sebab itu, tidak boleh dilakukan akad sewa menyewa terhadap sebatang pohon yang akan dimanfaatkan penyewa sebagai penjemur kain cucian, karena akad pohon bukan dimaksudkan untuk penjemur cucian.

8) Upah/sewa dalam akad al-ijarah harus jelas, tertentu dan sesuatu yang bernilai harta. Oleh sebab itu, para ulama sepakat menyatakan bahwa khamr dan babi tidak boleh menjadi upah dalam akad al-ijarah, karena kedua benda itu tidak bernilai harta dalam Islam.

9) Ulama Hanafiyah mengatakan upah/sewa itu tidak sejenis dengan manfaat yang disewa.22 Misalnya, dalam sewa menyewa rumah. Jika sewa rumah dibayar dengan penyewaan kebun, menurut mereka al-ijarah seperti ini

21

Ibnu Rusyd, Bidayah Mujtahid wa Nihayah Muqtashid, (Beirut: Darul Fikri, 1978) Jilid I, h. 221.

22


(42)

31

dibolehkan. Apabila sewa rumah itu dilakukan dengan cara mempertukarkan rumah, seperti Munaf menyewakan rumahnya pada Indra. Indra dalam membayar sewa rumah itu menyewakan pula rumahnya pada Munaf, sebagai sewa; sedangkan dari segi kualitas dan kuantitas tidak berbeda. Sewa menyewa seperti ini, menurut mereka, tidak sah. Akan tetapi, jumhur ulama tidak menyetujui syarat ini, karena menurut mereka antara sewa dengan manfaat yang disewakan boleh sejenis, seperti yang dikemukakan ulama Hanafiyah di atas.23

c. Sifat Akad al-ijarah

Para ulama fiqih berbeda pendapat tentang sifat akad al-ijarah, apakah bersifat mengikat kedua belah pihak atau tidak. Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa akad al-ijarah itu bersifat mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat uzur dari salah satu pihak yang berakad, seperti salah satu pihak wafat atau kehilangan kecakapan bertindak hukum.24 Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa akad al-ijarah itu bersifat mengikat, kecuali ada cacat atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan. Akibat perbedaan pendapat ini terlihat dalam kasus apabila salah seorang meninggal dunia, maka akad al-ijarah batal, karena manfaat tidak boleh

23

Ibid.

24

Az-Sarakhsi, op. cit, h.2 .


(43)

32

diwariskan karena termasuk harta (al-mal). Oleh sebab itu, kematian salah satu pihak yang berakad tidak membatalkan akad al-ijarah.25

3. Pendapat Para Fuqaha Klasik dan Kontemporer Pendapat para fuqaha; antara lain:

a. Al-Syairazi :

.

26

“Boleh melakukan akad ijarah (sewa menyewa) atas manfaat yang dibolehkan…karena keperluan terhadap manfaat sama dengan keperluan terhadap

benda. Oleh karena akad jual beli atas benda dibolehkan, maka sudah seharusnya

boleh pulaakad ijarah atas manfaat.”

b. Ibnu Qudamah:

)

(

.

27

25

Ibnu Qudamah, op. cit., h.409, dan Ibnu Rusyd, op. cit., Jilid II, h.

26


(44)

33

“Ijarah adalah jual beli manfaat; dan manfaat berkedudukan sama dengan

benda.”

c. Imam al-Nawawi, Ad-Dimyati, dan As-Syarbini:

.

28

“…kebutuhan orang mendorong adanya akad ijarah (sewa menyewa), sebab tidak setiap orang memiliki kendaraan, tempat tinggal dan pelayan (pekerja).

Oleh karena itu, ijarah dibolehkan sebagaimana dibolehkan juga menjual benda.”

d. Ibnu Qudamah:

.

29

27

Ibnu Qudamah, al-Mughni al_Muhtaj, (Riyadh: Maktabah ar-Roiyadh al-Haditsah, tt.), Jilid VIII, h.7.

28

Imam al-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, juz XV, h.308; al-Syarbini,Mughni al-Muhtaj, juz II h. 332; al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, Ijuz II, h.108.


(45)

34

“Benda yang disewa adalah amanah di tangan penyewa; jika rusak bukan disebabkan kelalaian, penyewa tidak diminta harus bertanggung jawab (mengganti).”

Pendapat para ulama tentang kebijakan pemerintah; antara lain: a. Pendapat Ibn Nujaim

30

“Imam (kepala negara, pemegang otoritas) boleh melakukan kebijakan terhadap kekayaan negara untuk hal-hal yang dipandangnnya mengandung maslahat bagi mereka (warga negara); di antara kemaslahatan tersebut adalah menjual

29

Ibnu Qudamah, op. cit., h.113.

30

Ibn Nujaim, al-Asybah wa al-Nazha’ir, tahqiq: ’Abd al-’Aziz Muhammad al-Wakil, (al-Qahirah: Mu’assasah al-Halabi, 1968), h. 124; Walid Khalid al-Syayiji, Madkhal ila Maliyah


(46)

35

sebagian kekayaan baitul mal (perbendaharaan negara) guna menghimpun dana yang cukup untuk membiayai kemaslahatan dan kebutuhan umum mereka. Hal itu mengingat bahwa kebijakan Imam, apabila didasarkan pada maslahat yang berhubungan dengan urusan umum, dipandang tidak sah menurut hukum Syariah kecuali jika sesuai dengan maslahah; jika tidak sesuai dengan maslahah maka kebijakan tersebut tidak sah”.

b. Pendapat Ibnu „Abidin

.

31

“Sultan (kepala negara) boleh menjual tanah baitul mal….karena imam (kepala negara, pemegang otoritas) memiliki kekuasaan umum; dan ia boleh melakukan

kebijakan untuk kemaslahatan umat Islam.

4. Mekanisme Ijarah

Dilihat dari segi objeknya, akad al-ijarah dibagi para ulama fiqh kepada dua macam, yaitu: yang bersifat manfaat dan yang bersifat pekerjaan (jasa). Al-ijarah

31Ibn ’Abidin,

Hasyiyah Radd al-Muhtar, (Beirut:Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 2003), jilid 6, h. 298.


(47)

36

yang bersifat manfaat, umpamanya adalah sewa menyewa rumah, toko, kendaraan, pakaian, dan perhiasan. Apabila manfaat itu merupakan manfaat yang dibolehkan syara’ untuk dipergunakan, maka para ulama fiqh sepakat menyatakan boleh dijadikan objek sewa menyewa.32

Al-ijarah yang bersifat pekerjaan ialah dengan cara mempekerjakan seseorang

untuk melakukan pekerjaan. Al-ijarah seperti ini, menurut para ulama fiqh, hukumnya boleh apabila jenis pekerjaan itu jelas, seperti buruh bangunan, tukang jahit, buruh pabrik, dan tukang sepatu. Al-ijarah seperti ini ada yang bersifat pribadi, seperti menggeji seorang pembantu rumah tangga, dan yang bersifat serikat, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang menjual jasanya untuk kepentingan orang banyak, seperti tukang sepatu, buruh pabrik, dan tukang jahit. Kedua bentuk al-ijarah terhadap pekerjaan ini (buruh, tukang, dan pembantu), menurut para ulama fiqh, hukumnya boleh.33

Apabila orang yang dipekerjakan itu bersifat pribadi, maka seluruh pekerjaan yang ditentukan untuk dikerjakan menjadi tanggung jawabnya. Akan tetapi, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa apabila objek yang dikerjakannya itu rusak ditangannya, bukan karena kelalaian dan kesengajaan, maka ia tidak boleh dituntut ganti rugi. Apabila kerusakan itu terjadi atas kesengajaan atau kelalaiannya, maka, menurut kesepakatan pakar fiqh, ia wajib membayar ganti rugi. Misalnya, sebuah

32

Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Darul Fikri 1984), jilid IV, h.759 dan seterusnya.

33


(48)

37

piring terjatuh dari tangan pembantu rumah tangga ketika mencucinya. Dalam kasus seperti ini, menurut kesepakatan pakar fiqh, pembantu itu tidak boleh dituntut ganti rugi, karena pecahnya piring itu bukan disengaja atau karena kelalaiannya.

Penjual jasa untuk kepentingan orang banyak, seperti tukang jahit dan tukang sepatu, apabila melakukan suatu kesalahan sehingga sepatu orang yang diperbaikinya rusak atau pakaian yang dijahit penjahit itu rusak, maka para ulama fiqh berbeda pendapat dalam masalah ganti rugi terhadap kerusakan itu. Imam abu Hanifah, Zufar

ibnu Huzail, ulama Hanbilah dan Syafi’iyah, berpendapat bahwa apabila kerusakan

itu bukan karena unsur kesengajaan dan kelalaian tukang sepatu atau tukang jahit itu, maka ia tidak dituntut ganti rugi barang yang rusak itu.34 Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani, keduanya sahabat Abu Hanifah, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad ibn Hanbal berpendapat bahwa penjual jasa untuk kepentingan umum bertanggung jawab atas kerusakan barang yang sedang ia kerjakan, baik dengan sengaja maupun tidak, kecuali kerusakan itu di luar batas kemampuannya untuk menghindari, seperti banjir besar atau kebakaran35 Ulama Malikiyah berpendapat bahwa apabila sifat pekerjaan itu membekas pada barang yang dikerjakan, seperti binatu, juru masak, dan bururh angkat (kuli), maka baik sengaja

34

Imam al-Kasani, op. cit., h.195.

35


(49)

38

maupun tidak disengaja, segala kerusakan yang terjadi menjadi tanggung jawab mereka dan wajib diganti.36

B. Konsep Al-Bay’ (Jual Beli) dalam Fiqh Muamalat 1. Pengertian Al-Bay’ Jual Beli

Jual beli dalam istilah fiqh disebut dengan al-bay’ yang berarti menjual, menganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Lafal al-bay’ dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yakni kata asy-syira’ (beli). Dengan demikian, kata al-bay’ berarti jual, tetapi sekaligus juga berarti beli.

Secara terminologi, terdapat beberapa definisi jual beli yang dikemukakan ulama fiqh, sekalipun substansi dan tujuan masing-masing definisi adalah sama. Ulama Hanafiyah mendefinisikannya dengan:37

Saling menukar harta dengan harta melalui cara tertentu; atau

36

Ad-Dardir, op. cit., h.4

37

Ibnu „Abidin, Radd al-Muhtar ‘ala ad-Darr al-Mukhtar, Jilid IV, hlm. 3, dan lihat juga Iman al-Kasani, al-Bada’i’u ash-Shana’i’u, Jilid V, hlm. 133.


(50)

39

Tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.

Dalam definisi ini terkandung pengertian bahwa cara yang khusus yang dimaksudkan Ulama Hanafiyah adalah melalui ijab (ungkapan membeli dari pembeli)

dan qabul (pernyataan menjual dari penjual), atau juga boleh melalui saling

memberikan barang dan harga dari penjual dan pembeli. Di samping itu, harta yang diperjualbelikan harus bermanfaat bagi manusia, sehingga bangkai, minuman keras, dan darah, tidak termasuk sesuatu yang boleh diperjualbelikan, karena benda-benada itu tidak bermanfaat bagi muslim. Apabila jenis-jenis barang seperti itu tetap diperjualbelikan, menurut ulama Hanafiyah, jual belinya tidak sah.

Definisi lain dikemukakan ulama Maliiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Menurut mereka, jual beli adalah:38

Saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan.

Dalam hal ini mereka melakukan penekanan kepada kata “milik dan

pemilikan”, karena ada juga tukar menukar harta yang sifatnya tidak harus dimiliki,

seperti sewa menyewa (Ijarah).

38

Imam Nawawi, al-Majmu’ Syarhul Muhazzab, (Beirut:Darul Fikri, 1980). Jilid IX, hlm. 65; Asy-Syarbaini al-Khathib, Mughni al-Muhtaj, Jilid II, hlm. 2. Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Jilid III, hlm.559; dan ad-Dardir, Asy-Syarhul Kabir ‘ala Hasyiyah ad-Dasuqi, Jilid III, hlm. 2.


(51)

40

Dalam menguraikan apa yang dimaksud dengan al-maal (harta), terdapat perbedaan pengertian antara ulama Hanfiyah dengan Jumhur Ulama. Akibat dari perbedaan ini, muncul pula hukum-hukum yang berkaitan dengan jual beli itu sendiri. Menurut jumhur Ulama, yang dikatakan al-maal adalah materi dan manfaat. Oleh sebab itu, manfaat dari suatu benda, menurut mereka, dapat diperjualbelikan.39Ulama Hanfiyah mengertikan al-maal dengan suatu materi yang mempunyai nilai. Oleh sebab itu, manfaat dan hak-hak, menurut mereka, tidak boleh dijadikan obyek jual beli.40

Pada masyarakat primitif jual beli dilangsungkan dengan cara saling menukarkan harta dengan harta (al-muqayadah), tidak dengan uang sebagaimana berlaku di zaman ini, karena masyarakat primitif belum mengenal alat tukar seperti uang. Misalnya, satu ikat kayu api ditukar dengan satu liter beras, atau satu tangkai kurma ditukar dengan satu tandan pisang. Untuk melihat apakah antara barang yang saling ditukar itu sebanding, tergantung kepada kebiasaan masyarakat primitif itu. Jual beli seperti ini dalam istilah fiqh disebut dengan al-muqayyadah.41

Setelah manusia mengenal nilai tukar (uang), jual beli al-muqayyadah mulai kehilangan tempat. Akan tetapi, dalam perkembangan dunia modern dalam hubungan dagang antar negara, menurut Fathi ad-Duraini, guru besar fiqh di Universitas

39

Ibid

40

As-Sarkhsi, al-Mabsuth, Jilid XII, hlm. 108.

41Mustafa Ahmad Zarqo’,


(52)

41

Damaskus, Syria, bentuk jual beli inilah yang berlaku, sekalipun untuk menentukan jumlah barang yang ditukar tetap perhitungkan dengan nilai mata uang tertentu. Akan tetapi, esensi al-muqayyadah masih dipakai. Misalnya, indonesia membeli spare part kendaraan ke Jepang, maka barang yang diimpor itu dibayar dengan minyak bumi dalam jumlah tertentu sesuai dengan nilai spare part yang diimpor Indonesia itu.

2. Dasar Hukum Al-Bay’ (Jual Beli)

Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat manusia mempunyai landasan yang kuat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. Terdapat sejumlah ayat A-Qur’an yang berbicara tentang jual beli, di antaranya dalam surat Al-Baqarah, 2:275 yang berbunyi:





Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...










(53)

42











...Kecuali dengan jalan perdagangan yang didasari suka sama suka di antara kamu...(QS. An-Nisa: 29).

Dasar hukum jual beli dalam sunnah Rasulullah saw. Diantaranya adalah hadits dari Rifa’ah ibn rafi’ bahwa:

Rasulullah saw. Ditanya salah seorang sahabat mengenai pekerjaan (profesi) apa yang paling baik. Rasulullah ketika itu menjawab: Usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkati. (HR. Al-Bazzar dan Al-Hakim).

Artinya jual beli yang jujur, tanpa diiringi kecurangan-kecurangan mendapat

berkat dari Allah. Dalam hadits dari Abi Sa’id al-Khudri yang diriwayatkan oleh


(54)

43

Jual beli itu didasarkan kepada suka sama suka. Dalam riwayat At-Tirmizi Rasulullah saw bersabda:

Pedagang yang jujur dan terpercaya itu sejajar (tempatnya di surga) dengan para Nabi, para shiddiqiin, dan para Syuhada’.

3. Hukum Al-Bay’ (Jual Beli)

Dari kandungan ayat-ayat Allah dan sabda-sabda Rasul di atas, para ulama fiqh mengatakan bahwa hukum asal dari jual beli itu adalah mubah (boleh). Akan tetapi, pada situasi-situasi tertentu, menurut Imam Asy-Syathibi (w. 790 H), pakar fiqh Maliki, hukumnya boleh berubah menjadi wajib. Imam Asy-Syathibi memberi contoh ketika terjadi praktik ikhtikar (penimbunan barang sehingga stok hilang dari pasar dan harga melonjak naik). Apabila seseorang melakukan ikhtikar dan mengakibatkan melonjaknya harga barang yang ditimbun dan disimpan itu, maka, menurutnya, pihak pemerintah boleh memaksa pedagang untuk menjual barangnya itu sesuai dengan harga sebelum terjadinya pelonjakan harga. Dalam hal ini, menurutnya, pedagang itu wajib menjual barangnya sesuai dengan kebutuhan


(55)

44

pemerintah.42Hal ini sesuai dengan prinsip Asy-Syathibi bahwa yang mubah itu apabila ditinggalkan secara total, maka boleh menjadi wajib. Apabila sekelompok pedagang besar melakukan boikot tidak mau menjual beras lagi, pihak pemerintah boleh melakukan boikot tidak mau menjual beras lagi, pihak pemerintah boleh memaksa mereka untuk berdagang beras dan para pedagang ini wajib melaksanakannya. Demikian pula dalam komoditi-komoditi lainnya.

4. Rukun dan Syarat Al-Bay’ (Jual Beli)

Jual beli mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga jual beli

itu dapat dikatakan sah oleh syara’. Dalam menentukan rukun43

jual bei, terdapat perbedaan pendapat ulama Hanafiyah dengan Jumhur Ulama. Rukun jual beli menurut ulama Hanafiyah hanya satu, yaitu iijab (ungkapan membeli dari pembeli)

dan qabul (ungkapan menjual dari penjual). Menurut mereka yang menjadi rukun

dalam jual beli itu hanyalah kerelaan (rida/taradhi) kedua belah pihak untuk melakukan transasksi jual beli. Akan tetapi, karena unsur kerelaan itu merupakan unsur hati yang sulit untuk diindera sehingga tidak kelihatan, maka diperlukan indikasi yang menunjukkan kerelaan itu dari kedua belah pihak. Indikasi yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual, menurut

42

Abu Ishaq Asy-Syathibi, Al-Muwafaqot fi Ushul As-Syari’ah, (Beirut: Darul Ma’rifah,

1975), Jilid II, hlm. 56.

43

Ulama Hanafiyah mengartikan rukun dengan sesuatu yang tergantung atasnya sesuatu yang lain dan ia berada dalam esensi sesuatu tersebut. Sedangkan menurut Jumhur Ulama Fiqh, rukun adalah sesuatu yang tergantung sesuatu yang lain atasnya, tetapi tidak harus berada pada esensi sesuatu tersebut. Lihat Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos Publishing House, 1996), hlm. 263.


(56)

45

mereka, boleh tergambar dalam ijab dan qobul, atau melalui cara saling memberikan barang dan harga barang (ta’athi).44

Akan tetapi, jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu:45

a. Ada orang yang berakad atau al-muta’aqidain (penjual dan pembeli).

b. Ada shighat (lafal ijab dan qobul).

c. Ada barang yang dibeli.

d. Ada nilai tukar pengganti barang.

Menurut ulama Hanafiyah, orang berakad, barang yang dibeli, dan nilai tukar barang termasuk ke dalam syarat-syarat jual beli, bukan rukun jual beli.

Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang dikemukakan jumhur ulama di atas adalah sebagai berikut:46

a. Syarat orang yang berakad

Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu harus memenuhi syarat:

1) Berakal. Oleh sebab itu, jual beli yang dilakukan anak kecil yng belum berakal dan orang gila, hukumnya tidak sah. Adapun anak kecil yang sudah mumayyiz, menurut ulama Hanafiyah, apabila akad yang dilakukannya membawa

44Ibnu „Abidin,

Radd Al-Mukhtar ‘Alad Dirr al-Mukhtar, Jilid IV, hlm. 5.

45

Al-Bahuti, Kasysyaf al-Qina’, (Beirut: Darul Fikri, tt), Jilid II, hlm. 125, Ad-Dardir, Asy-Syarhul Kabir, Jilid III, hlm. 2, dan Asy-Syarbaini Al-Khatib, Al-Mughni Al-Muhtaj Jilid II, hlm. 3.,

46


(57)

46

keuntungan bagi dirinya, seperti menerima hibah, wasiat, dan sedekah, maka akadnya sah. Sebaliknya, apabila akad itu membawa kerugian bagi dirinya, seperti meminjamkan hartanya kepada orang lain, mewakafkan, menghibhkan, maka tindakan hukumnya ini tidak boleh dilaksanakan.

2) Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda. Artinya, seseorang tidak dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai penjual sekaligus pembeli. Misalnya, Ahmad menjual sekaligus membeli baangnya sendiri.

b. Syarat orang yang terkait dangan Ijab Qobul

Para ulama fiqh mengemukakan bahwa syarat ijab dan qabul itu adalah sebagai berikut:47

1) Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal.

2) Qabul sesuai dengan ijab

3) Ijab dan qabul itu dilakukan dalam satu majelis

.

c. Syarat barang yang dijualbelikan

Syarat-syarat terkait dengan barang yang dijualbelikan adalah:48

1) Barang itu ada, atau tidak ada di tempat, tetapi pihak penjual menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu.

47

Muhammad Yusuf Musa, Al-Amwaal wa Nazhariyatul ‘Aqd, (Mesir: Darul Fikri Al-„Arabi, 1976), hlm. 255.

48


(58)

47

2) Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia.

3) Milik seseorang.Barang yang sifatnya belum dimiliki seseorang tidak boleh dijualbelikan.

4) Boleh diserahkan saat akad berlangsung, atau pada waktu yang disepakati bersama ketika transaksi berlangsung.

d. Syarat-syarat Nilai Tukar (Harga Barang)

Termasuk unsur terpenting dalam jual beli adalah nilai tukar barang yang dijual (untuk zaman sekarang adalah uang). Harga yang dapat dipermainkan pedagang adalah Ats-Tsaman. Para ulama fiqh mengemukakan syarat-syarat

ats-tsaman sebagai berikut:49

1) Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.

2) Boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun secara hukum, seperti pembayaran dengan cek dan kartu kredit.

3) Apabila barang itu dilakukan dengan saling mempertukarkan barang, maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan syara’.

49Mustafa Ahmad Zarqa’, Al


(59)

48

C. Konsep Sales and Lease Back 1. Pengertian Sales and Lease Back

Sales and lease back adalah teknik jual dan sewa kembali. Suatu aset dapat

dibeli dari satu pihak dan kemudian disewakan pada pihak tersebut. Dalam kasus ini, seharusnya kontrak ijarah tidak diputuskan kecuali sampai lembaga keuangan telah memiliki aset tersebut. Aset-aset yang disewakan dengan teknik ini dapat dijual lagi pada pemilik pertama, sebagaimana sebagian besar kasus penerbitan sovereign ijarah

sukuk. Walaupun demikian para pakar syari’ah menyarankan agar klien sebaiknya

membeli kembali aset paling tidak satu tahun setelah penjualan. Hal ini untuk menjamin bahwa teknik ini tidak digunakan sebagai “back door to interest”.

Sebagai contoh, dalam transaksi ini lessee terlebih dahulu menjual barang modal yang sudah dimilikinya kepada lessor dan atas barang modal yang sama kemudian dilakukan kontrak sewa guna usaha antara lessee (pemilik semula) dengan

lessor (pembeli barang modal tersebut). Lessee membutuhkan dana untuk modal

kerja, sehingga seolah-olah dia menjual asetnya (meskipun sebenarnya tidak karena memang masih dibutuhkan).

2. Prinsip-prinsip Sales and Lease Back

a. Merupakan bukti kepemilikan suatu aset berwujud atau hak manfaat (beneficial title);

b. Pendapatan berupa imbalan sewa (kupon). c. Terbebas dari unsur riba, gharar dan maysir;


(60)

49

d. Memerlukan underlying asset.

e. Penggunaan proceeds harus sesuai prinsip syariah

3. Mekanisme Sales and Lease Back a. Penerbitan

1) SPV dan Obligor melakukan transaksi jual-beli aset, disertai dengan

Purchase and Sale Undertaking di mana Pemerintah menjamin untuk

membeli kembali aset dari SPV, dan SPV wajib menjual kembali aset kepada Pemerintah, pada saat sukuk jatuh tempo atau dalam hal terjadi default,.

2) SPV menerbitkan sukuk untuk membiayai pembelian aset.

Pemerintah/Obligor

SPV (Penerbit)

Pemegang Sukuk (Investor) 1) Penjualan

Aset

2) Penerbitan Sukuk

Aset

Sukuk

Purchase & Sale Undertaking

3) Penyewaan Kembali Aset

Rp Rp


(61)

50

3) Pemerintah menyewa kembali aset dengan melakukan perjanjian sewa

(Ijara Agreement) dengan SPV untuk periode yang sama dengan tenor

sukuk yang diterbitkan.

4) Berdasarkan servicing agency agreement, Pemerintah ditunjuk sebagai agen yang bertanggungjawab atas perawatan asset

b. Mekanisme Pembayaran Imbalan

1) Obligor membayar sewa (Imbalan) secara periodik kepada SPV selama masa sewa.

2) Imbalan dapat bersifat tetap (fixed rate) ataupun mengambang (floating rate).

3) SPV melalui agen yang ditunjuk akan mendistribusikan imbalan kepada para investor.

c. Mekanisme Saat Jatuh Tempo

1) Penjualan kembali aset oleh SPV kepada obligor sebesar nilai nominal Sukuk, pada saat sukuk jatuh tempo.

2) Hasil penjualan aset, digunakan oleh SPV untuk melunasi sukuk kepada investor.

Pemerintah (Obligor) SPV Pemegang Sukuk

Rp Rp

Pemerintah (Obligor) SPV Pemegang Sukuk

Rp Rp

Sukuk Aset


(62)

51

D. Konsep Sukuk 1. Pengertian Sukuk

Kata-kata Sakk, Sukuk, dan Sakaik dapat ditelusuri dengan mudah pada litelatur Islam komersial klasik. Kata-kata tersebut terutama secara umum digunakan untuk perdagangan internasional di wilayah muslim pada abad pertengahan, bersamaan dengan kata hawalah (menggambarkan transfer/pengiriman uang) dan mudharabah (kegiatan bisnis persekutuan). Akan tetapi, sejumlah penulis barat tentang sejarah perdagangan Islam/Arab abad pertengahan memberikan kesimpulan bahwa kata Sakk merupakan kata dari suara Latin “cheque” atau “Check” yang biasanya digunakan pada perbankan kontemporer.50

Suatu kenyataan dari keseluruhan sistem Islam bahwa alternatif yang berlandaskan syariah keberadaannya seharusnya merupakan alternatif terhadap aktivitas yang tidak berlandaskan syariah, yang selalu berlanjut sepanjang masa dan diakui, yang dipraktikkan oleh umat manusia pada seluruh aspek kehidupan. Dalam hal ini, para sarjana muslim selama bertahun-tahun telah memberikan pemikiran mendasar, untuk mencari alternatif Islam terhadap instrumen keuangan konvensional yang dapat diperdagangkan.

Fakta empiris membuktikan dan menyimpulkan bahwa sukuk secara nyata digunakan secara luas oleh masyarakat muslim pada abad pertengahan, dalam bentuk

50

Mustafa Edwin Nasution dan Nurul Huda, Investasi pada Pasar Modal Syariah, (Jakarta: Kencana Pradana Media Grup, 2008), h.136


(63)

52

surat berharga yang mewakili kewajiban pembiayaan yang berasal dari perdagangan dan kegiatan komersial lainnya.

Berkaitan dengan perspektif dan kepentingan sejarah, asal produk dalam konteks kontemporer merupakan satu dari keputusan pertama dari Dewan Perundang-undangan Islam (IJC) yaitu “bahwa kombinasi aset tertentu (atau manfaat dari aset tersebut) dapat diwakili dalam bentuk instrumen pembiayaan tertulis yang dapat dijual pada harga pasar dengan ketentuan bahwa komposisi kelompok aset yang diwakili oleh sukuk mayoritas terdiri dari aset yang tangible.”51

Penetapan aturan oleh IJC ini, walaupun tidak ada hubungannya dengan pihak tertentu, bagaimanapun dipandang sebagai terobosan syariah demi kepentingan umat di dunia muslim.

Dengan dukungan dari IJC, dan diikuti dengan periode pembangunan teori dan model, maka pada tahun 2001 adalah pertama kalinya program sukuk diluncurkan di pasar, inisiatif oleh Agen Moneter Bahrain (Bahrain Monetary Agency/BMA) berkaitan dengan sukuk salam jangka pendek (91 hari) senilai 25 juta $erika diluncurkan pada bulan Juni 2001 dan telah diterima dengan baik di pasar.

BMA melanjutkan program sukuk salam-nya dengan sukuk ijarah berjangka panjang sebelum Malaysia (Juni 2002) dan Qatar (2003) untuk menangkap pasar Internasional dengan menawarkan sukuk mega sovereign.

51


(64)

53

Dengan debut pada pasar jutaan ini, standar syariah dengan tema “sukuk

investasi” berdasarkan Akuntansi dan Auditing Organisasi untuk Institusi Keuangan Islam” (AAOIFI) yang diterapkan pada bulan Mei 2003, sesungguhnya penting dari operasionalnya sebagaimana juga penting dipandang dari perspektif aturan.

Standar yang menjadi efektif dengan pengaruh dari 1 Januari 2004 mencatat

bahwa “sukuk adalah sertifikat dengan nilai yang sama yang mewakili bagian

kepemilikan yang sepenuhnya terhadap aset yang tangible, manfaat dan jasa atau

(kepemilikan dari) aset dari suatu proyek atau aktivitas investasi khusus.”52

Standar AAOIFI yang berasal dari institusi yang memperhatikan dengan baik aspek perbankan Islam dan konvensional sesungguhnya tepat pada waktunya, karena hal ini memberikan dukungan yang diperlukan untuk pokok persoalan ini. Misalnya, adalah cukup membantu dalam hal menciptakan beberapa bentuk syariah lintas batas/negara di dunia Islam, dikarenakan standar ditandatangani oleh 14 sarjana muslim yang terdiri dari sarjana muslim terkemuka dari aliran (mazhab) utama negara-negara muslim Timur Tengah, juga dari Malaysia, Pakistan, dan Sudan.

Meskipun demikian, debut dari sukuk telah menyebabkan pergeseran paradigma terhadap sifat produk keuangan Islam yang secara umum dianggap tidak likuid dan juga kurang berkualitas dalam orientasi pasar.

52


(1)

119

ke dalam berbagai aspek kehidupan tanpa meninggalkan prinsip-prinsip yang

terkandung di dalamnya.

7.

Perlunya kerjasama antara akademisi, ulama dan praktisi. Sehingga kebutuhan

pasar akan instrumen keuangan akan terpenuhi tanpa harus meninggalkan

nilai-nilai syariahnya.


(2)

120

DAFTAR PUSTAKA

Darmadji, Tjiptono dan Hendry M Fakhruddin.

Pasar Modal di Indonesia

. ED 1.

Jakarta: Salemba Empat, 2001.

Achsien, Iggi H.

Investasi Syariah di Pasar Modal: Menggagas Konsep dan Praktik

Manajemen Portofolio Syariah

. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003,

cet. ke-2.

Huda, Nurul dan Nasution, Mustafa Edwin.

Investasi Pada Pasar Modal Syariah

.

Jakarta: Kencana, 2007.

Pontjowinoto, Iwan.

Prinsip Syariah di Pasar Modal: Pandangan Praktisi

. Jakarta:

Modal Publication, 2003.

Rusyd, Ibnu.

Bidaayatul Mujtahid Wa Nihaayatul Muqtashid.

Cairo: Darul Fikri,

1989

Sulistyastuti, Dyah Ratih.

Saham dan Obligasi

. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya

Yogyakarta, 2002.

Widiatmodjo, Sawiji.

Cara Sehat Investasi di Pasar Modal: Pengetahuan Dasar

.

Jakarta: PT. Jurnalindo Aksara Grafika, 1996, cet. ke-4.

Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN)-MUI

“Tentang Obligasi Syariah”

, No:

32/DSN-MUI/IX/2002.

---

“Tentang

Obligasi

Syariah

Mudharabah”

, No: 33/DSN-MUI/IX/2002.


(3)

121

Ahmad Hamur, Sami Hasan, Dr.

Tathwiiru-l-

A’maal al

-Mashrifiyyah

. Cairo:

Maktabtu Darit Turats,1991.

Qal’ah, Muhammad Rowwas.

Al-

Mu’aamalat al

-Maaliyah fi Dhoui-l-Fiqhi

wa-s-Syarii’ati.

Kuwait: Fakultas Syariah Universitas Kuwait, Daarun Nafaais,

1999.

Sayyid Thonthowi, Muhammad, Dr.

Mu’aamalatu

-l-Bunuuk wa Ahkaamuha

al-Syar’iyyah.

Cairo: Nahdhoh Mesir, 1997.

Ashraf Usmani, Muhammad Imran, Dr.

Meezanbanks’Guide to Islamic Banking

.

Karachi: Daarul Ishaat, 2000.

Direktorat Perbankan Syariah.

Kajian Gharar dan Maysir dalam Transaksi

Keuangan.

Jakarta: Bank Indonesia, 2007.

Karim, Adiwarman.

Bank Islam Analisa Fiqh dan Keuangan.

Jakarta: Rajawali Press,

2004.

Khallaf, Abdul Wahhab, Prof, Dr.

Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fiqh.

Jakarta: Rajawali Press, 2002.

Firdaus.

Ushul Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara

Komprehensif.

Jakarta: Zikrul Hakim, 2004.

Zuhaili, Wahbah.

Fiqh Muamalah Perbankan Syariah.

Jakarta: Bank Muamalat

Indonesia, 2002.

Heri Susanto, Agus Dwi Darmawan, “

Tawarkan Bagi Hasil 12% Depkeu: Peminat

Sukuk Ritel Luar Biasa Besar” Artikel diakses pada 30 Juli 2009 dari

www.vivanews.com


(4)

122

M.Gunawan Yasni. “Syariah Dan Implikasinya Atas Pengembangan Sukuk

Khususnya Ijarah & Pasar Modal Ke Depan”

artikel diakses pada 4

November 2009 dari www.wordpress.com


(5)

Wawancara mengenai PT. BNI Securities 1. Apa sebenarnya PT. BNI Securities ini?

2. Produk dan jasa apa saja yang ditawarkan di PT. BNI Securities ini?Mohon dijelaskan produk dan jasa tersebut?

3. Bagaimana cara bergabung dengan PT. BNI Securities ini?

4. Apa saja syarat yang harus dipenuhi untuk bergabung di PT. BNI Securities ini? 5. Produk apa yang menjadi andalan PT. BNI Securities?

6. Apa hubungan antara PT. BNI Securities dengan Bursa Efek Indonesia?

7. Produk syariah apa saja yang ditawarkan PT. BNI Securities?

8. Dalam penawaran produk syariah apakah PT. BNI Securities memiliki Dewan Pengawas

Syariah?

9. Apa saja keuntungan yang diperoleh investor bergabung dengan PT. BNI Securities? 10.Bagaimana PT. BNI Securities mendapatkan profit sebagaimana PT. BNI Securities

Badan Usaha?

Wawancara mengenai Sukuk Ritel

11.Bagaimana mekanisme sukuk ritel di PT. BNI Securities mulai dari penawaran sampai penjualannya?

(Jika ada diktat/flow chart mengenai prosedur penjualan sukuk di PT. BNI Securities) 12.Apa keuntungan yang diperoleh PT. BNI Securities sebagai agen penjual sukuk? 13.Bagaimana cara membeli sukuk ritel di PT. BNI Securities?

14.Apa syarat-syarat yang harus dipenuhi nasabah/investor untuk membeli sukuk ritel di PT. BNI Securities?

15.Apa saja peran (hak dan kewajiban) PT. BNI Securities sebagai agen penjual Sukuk Ritel?

16.Berapa minimal sukuk yang dijual kepada nasabah/investor? 17.Berapa lama jatuh tempo Sukuk Ritel Seri SRI 001 ini? 18.Berapa yield yang ditawarkan pemerintah?

19.Bagaimana proses transfer imbalan tiap bulan kepada investor?

20.Dalam transaksi sukuk ini apa posisi PT.BNI Securities dan nasabah/investor?

21.Ketika investor bertransaksi adakah kontrak jual beli? Seperti apakah kontrak tersebut? 22.Dalam kontrak yang ada, apa posisi PT. BNI Securities?

23.Apakah perusahaan penerbit yang dijelaskan di memorandum informasi DEPKEU adalah

agen penjual seperti halnya PT. BNI Securities?

24.Apakah ada pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam transaksi

sales

ini?

25.Apa keuntungan yang diperoleh investor berinvestasi pada Sukuk Ritel di PT. BNI Securities?

26.Adakah resiko berinvestasi pada sukuk ritel?Apa saja resiko-resiko tersebut?

27.Mohon dijelaskan mengenai perdagangan sukuk di pasar sekunder?

28.Apa keuntungan yang dapat diperoleh investor dengan memperdagangkan sukuk dalam


(6)

Data-data lain yang diperlukan 1. Company Profile PT. BNI Securities?

a.Sejarah berdiri PT. BNI Securities b.Struktur Organisasi PT. BNI Securities c.Visi dan misi PT. BNI Securities

d.Produk dan jasa yang ditawarkan di PT. BNI Securities e.Produk dan jasa Syariáh apa saja yang ditawarkan? 2. Brosur mengenai produk dan jasa PT. BNI Securities

3. Memorandum Informasi Mengenai Sukuk Ritel Indonesia seri SRI 001 yang diterbitkan

DEPKEU

4. Kontrak jual (sales) dan kontrak sewa (lease)