Analisa penerapan fatwa DSN No.49/DSN MUI/II/2005,Tentang Konversi Akad Murabahah Pada Bank BNI Syariah Pusat

(1)

ANALISA PENERAPAN FATWA DSN NO. 49/DSN MUI/II/2005 TENTANG KONVERSI AKAD MURABAHAH

PADA BANK BNI SYARIAH PUSAT Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sajana Ekonomi Islam (SEi)

Oleh :

AKHIRUL SHOLEH NIM : 105046101664 KONSENTRASI MUAMALAH

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 31 Mei 2010


(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad saw beserta keluarganya dan para sahabat dan umatnya yang senantiasa cinta padanya. Skripsi yang berjudul Analisa Penerapan Fatwa DSN NO. 49/DSN MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah Pada Bank BNI Syariah Pusat, merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Islam (S.Ei) Konsentrasi Perbankan Syariah Fakultas Syariah Dan Hukum Uin Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam penyusunan skripsi ini terdapat berbagai kekurangan. Namun demikian semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan khlayak umumnya. Banyak pihak yang membimbing dan membantu dalam proses penulisan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan. Oleh karena itu ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada pihak-pihak tersebut, diantaranya kepada :

1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. KH. Muhammad Amien Suma. SH,MA,MM.

2. Ketua Prodi Muamalat, Dr. Eius Amalia M.Ag. dan Sekretaris Prodi Muamalat Ah. Azharuddin Lathif M.Ag. Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta.


(4)

4. Dr. H.A. Juaini Syukri, Lcs, MA. dan Dr. Hasanuddin, M.Ag. beliau dosen penguji munaqosah yang telah memberikan masukan dan arahan kepada penulis.

5. Bapak Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan membimbing selama perkuliahan penulis.

6. Pimpinan serta Staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, yang dalam penulisan skripsi ini telah memberikan andil besar dalam menyediakan pustaka dan sumber-sumber bacaan untuk kelancaran penulisan skripsi ini.

7. Bpk. Wisnu Suwarno Pimpinan Kelompok Sistem dan Prosedur Pembiayaan Divisi Usaha Syariah BNI yang telah bersedia meluangkan waktunya guna wawancara.

8. Bpk. Muhammad Gunawan Yasni DSN-MUI Bagian Pokja Pasar Modal dan Program yang telah bersedia meluangkan waktunya guna wawancara.

9. Ibunda tercinta Suyati dan Almarhum Bapak yang telah mendidik, mendoakan dan berjuang untuk penulis dan untuk menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dan juga kepada kakak-kakak yang tidak bisa kami sebutkan satu-persatu yang telah memberikan dukungan kepada penulis.


(5)

iii

10.Teman-teman Mahasiswa Perbankan Syariah Angkatan 2005 yang telah memberikan dukungan kepada penulis dan teman-teman PS D yang selama 3 tahun berkumpul dan memberikan masukan dan sahabat-sabahat lainnya.. Akhirnya hanya kepada Allah SWT semua kembali, semoga amal yang telah mereka sumbangkan mendapatkan balasan yang lebih baik dan menjadi tabungan kebaikan di akhirat kelak, amin.

Jakarta, 20 Jumadil Awal 1431H. 5 Mei 2010 M.


(6)

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………... 7

D. Tinjauan Pustaka ………... 9

E. Metodologi Penelitian ... 12

F. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II : TINJAUAN TEORITIS A. Mengenal Murabahah ……….. 18

1. Pengertian Murabahah ………... 18

2. Rukun dan Syarat Murabahah ... 21

B. Deskripsi Umum Tentang Fatwa Dewan Syariah Nasional ... 25

1. Pengertian Fatwa ………... 25

2. Dasar-Dasar Penetapan Fatwa ... 28

3. Sifat Fatwa ………. 37

4. Metode Fatwa ... 39


(7)

BAB III : GAMBARAN UMUM TENTANG

BANK BNI SYARIAH PUSAT

A. Sejarah Singkat Berdirinya Bank ... 49 B. Produk Bank BNI Syariah ... 52 C. Struktur Organisasi ... 68 BAB IV : ANALISA DAN PEMBAHASAN

A. Kedudukan Fatwa tentang Konversi Akad Murabahah pada Bank BNI Syariah ……….... 72 B. Implementasi Fatwa tentang Konversi Akad Murabahah

pada Bank BNI Syariah ... 85 C. Analisa Penerapan Fatwa tentang Konversi Akad

Murabahah pada Bank BNI Syariah ... 93 BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ………... 111 B. Saran ... 114 DAFTAR PUSTAKA ………... 116 LAMPIRAN-LAMPIRAN

A. Surat permohonan dosen pembimbing

B. Surat permohonan wawancara ke pihak Bank BNI Syariah Pusat C. Surat permohonan wawancara ke pihak DSN-MUI Pusat


(8)

vi

F. Hasil wawancara dengan pihak DSN-MUI Pusat

G. Lembar Surat perjanjian pembiayaan murabahah dari pihak Bank BNI Syariah Pusat.


(9)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Perkembangan ekonomi syari’ah1 di Indonesia demikian cepat, khususnya perbankan, asuransi, reksadana, pasar modal, pegadaian, leasing, dan lembaga keuangan mikro syariah. Sehubungan dengan pesatnya pertumbuhan lembaga ekonomi dan keuangan syariah tersebut, maka para praktisi ekonomi syari’ah, masyarakat dan pemerintah (regulator) membutuhkan fatwa-fatwa syariah dari lembaga ulama (MUI) berkaitan dengan praktek dan produk di lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut. Perkembangan lembaga keuangan syariah yang demikian cepat harus diimbangi dengan fatwa-fatwa hukum syari’ah yang valid dan akurat, agar seluruh produknya memiliki landasan yang kuat secara syari’ah. Untuk itulah Dewan Syari’ah Nasional (DSN) dilahirkan pada tahun 1999 sebagai bagian dari Majlis Ulama Indonesia.2

DSN adalah lembaga yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mempunyai fungsi melaksanakan tugas-tugas MUI dalam menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktifitas lembaga keuangan syariah. Salah satu tugas pokok DSN adalah mengkaji, menggali dan merumuskan nilai dan

1

Ekonomi islam adalah ilmu pengetahuan social yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai islam. Diakses pada tanggal 10 Juni 2009 dari http//www.wikipedia.com.

2

Fatwa Ekonomi Syari’ah di Indonesia. Diakses pada tanggal 10 Juni 2009 dari http//www.iaeipusat.org.


(10)

prinsip-prinsip hukum Islam (syari’ah) dalam bentuk fatwa untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan transaksi di Lembaga Keuangan Syari`ah. Melalui Dewan Pengawas Syari`ah melakukan pengawasan terhadap penerapan prinsip syari`ah dalam sistem dan manajemen Lembaga Keuangan Syari`ah (LKS).3

Tren bank syariah sendiri memang makin marak. Dimulai tahun 1992, ketika Bank Muamalat Indonesia berdiri, sistem perbankan syariah diasumsikan bisa melenggang tenang ketika terjadi krisis ekonomi tahun 1997. Kenapa bisa demikian? Asumsinya, penerapan sistem bagi hasil dinyatakan lebih baik ketimbang sistem bunga yang dianut bank konvensional. Dalam urusan kredit, syariah sebenarnya tidak menerapkan pinjaman dalam bentuk uang tunai, tetapi bekerja sama atas dasar kemitraan, seperti mudharabah, musyarokah atas dasar jual beli (murabahah), atau atas dasar sewa (ijarah).

Sistem keuangan dan Perbankan Islam merupakan bagian dari konsep yang lebih luas tentang ekonomi Islam, sebagaimana dianjurkan oleh para ulama tujuannya adalah memberlakukan sistem nilai dan etika Islam kedalam lingkungan ekonomi. Karena dasar etika inilah, maka Lembaga Keuangan Syariah bagi kebanyakan Muslim adalah bukan sekadar sistem transaksi komersial. Persepsi Islam dalam transaksi finansial itu dipandang oleh banyak kalangan Muslim sebagai kewajiban agama. Kemampuan Lembaga Keuangan Syariah menarik investor dengan sukses bukan hanya tergantung pada tingkat kemampuan lembaga

3

Fatwa Ekonomi Syari’ah di Indonesia. Diakses pada tanggal 10 Juni 2009 dari http//www.iaeipusat.org.


(11)

3

itu menghasilkan keuntungan, tetapi pada persepsi bahwa secara sungguh-sungguh memperhatikan batas-batas yang digariskan oleh Islam.4

Dalam dunia perbankan, terutama perbankan syariah tidak lepas dari berbagai permasalahan salah satunya adalah masalah pembiayaan, khususnya dalam pembiayaan Murabahah. Pembiayaan merupakan kegiatan utama dalam Perbankan, sebagai usaha untuk memperoleh laba. Akan tetapi pembiayaan rawan resiko kredit yang tidak saja dapat merugikan bank tapi juga berakibat kepada masyarakat penyimpan dan pengguna dana. Penyebab utama terjadinya resiko kredit pembiayaan adalah terlalu mudahnya bank memberikan pinjaman atau melakukan investasi karena terlalu dituntut untuk memanfaatkan kelebihan likuiditas, sehingga penilaian kredit yang kurang cermat dalam mengantasipasi berbagai kemungkinan resiko usaha yang dibiayainya.5 Kredit macet dalam pembiayaan merupakan salah satu permasalahan yang harus ditangani dengan serius oleh pihak bank. Sebab menyangkut beberapa pihak yang dapat dirugikan haknya, terutama dari pihak bank dan pihak penyimpan dana. Oleh karena itu, pihak bank dapat memberikan sanksi administratif kepada nasabah yang melakukan kredit macet.6

Ada fenomena menarik dalam permasalahan resiko kredit pembiayaan murabahah di Perbankan Syariah. Pihak Perbankan Syariah melakukan konversi

4

Raymond Dantes, Bank Syariah Antara Teori Dan Realita: Studi Komperatif Akad dan Produk Bank Syariah di Dunia Islam., diakses pada 08 Mei 2008 dari

http//www.konsultasimuamalat.com/home/index php.

5

Drs. Zainul Arifin, MBA, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, ( Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006),cet.4, h.225.

6


(12)

akad murabahah supaya nasabah yang telah menunggak tagihan bank dapat segera melunasi hutang-hutang tersebut. Akan tetapi, tidak semudah membalikkan tangan bagi perbankan syariah untuk melakukan reconditioning pembiayaan murabahah tersebut. Adanya aturan-aturan untuk melakukan reconditioning pembiayaan murabahah tersebut, salah satunya dengan meminta Dewan Syariah Nasional untuk berijtihat supaya dapat mengeluarkan fatwa-fatwa yang berkenaan dengan permasalahan yang sedang dihadapi oleh bank.

،

ﺰ ا

ﺪ ﺎﺧ

،

رﺎ

مﺎﺸه

،

ﺔ رز

أ

ﺎ ﺪ

،

ﺔ ﺮﻜ

،

ا

دواد

،

ﺔ ﺎآر

ﺪ ﺰ

ا

نأ

،

سﺎ

ا

اﻮ ﺎﻘﻓ

،

سﺎ

ءﺎ

،

ﺮ ﻀ ا

جاﺮﺧﺈ

ﺮ أ

و

ﷲا

:

،

ﷲا

لﻮ ر

و

ﷲا

ﷲا

لﻮ ر

لﺎﻘﻓ

،

نﻮ د

سﺎ ا

ﺎ و

ﺎ اﺮﺧﺈ

تﺮ أ

ﻚ إ

:

اْﻮﻌﺿ ْﻮﻠﱠﺠﻌﺗو

»

ﺔ ﺎآر

ﺪ ﺰ

ﺪ ا

اﺬه

وﺮ

ﺪ ﺎﺧ

ﻻإ

«

)

اﺮ ﻄ ﻂ وﻻا ابﺎ ﻜ ا

( 7

Artinya :

“Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Nabi Saw. ketika beliau memerintahkan untuk mengusir Bani Nadhir, datanglah beberapa orang dari mereka seraya mengatakan: “Wahai Nabiyallah, sesungguhnya Engkau telah memerintahkan untuk mengusir kami sementara kami mempunyai piutang pada orang-orang yang belum jatuh tempo” Maka Rasulullah saw berkata: “Berilah keringanan dan tagihlah lebih cepat”. (H.R. Thabrani dalam Kitab Al-Mu’jam al Aswad, juz 15, hal.24)

Telah kita ketahui bahwa, fatwa merupakan salah satu pendirian dalam hukum Islam untuk memberikan jawaban dan solusi terhadap problem yang dihadapi umat. Bahkan umat Islam pada umumnya menjadikan fatwa sebagai rujukan di dalam bersikap dan bertingkah laku. Kehadiran fatwa-fatwa ini menjadi aspek organik dari bangunan ekonomi islami yang tengah ditata/dikembangkan, sekaligus merupakan

7


(13)

5

alat ukur bagi kemajuan ekonomi syari’ah di Indonesia. Fatwa ekonomi syari’ah yang telah hadir itu secara teknis menyuguhkan model pengembangan bahkan pembaharuan fiqh muamalah maliyah (fiqh ekonomi).8

Dari penjelasan yang telah penulis paparkan diatas, bahwa fatwa yang telah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional dikeluarkan jika terdapat permasalahan yang muncul dalam perkembangan ekonomi syariah. Dalam melaksanakan penyusunan fatwa tentang produk perbankan syariah, maka pada tahapan proses penetapannya DSN akan berkonsultasi dengan Bank Indonesia khususnya untuk memperoleh pandangan tentang aspek teknis keuangan dan perbankan serta keselarasan fatwa dengan berbagai hukum positif yang terkait dengan perbankan syariah.9

Apabila kita kaitkan dengan permasalahan pada pembiayaan Murabahah, maka yang menjadi permasalahannya adalah masih adakah penerapan dan efektivitas Fatwa DSN No.49/DSN/MUI/II/2005 tentang Konversi Akad Murabahah yang dipakai oleh Perbankan Syariah dalam meminimalkan permasalahan pada pembiayaan Murabahah. Sebab hal ini sangatlah penting dalam mewujudkan suatu pembiayaan yang bebas dari permasalahan yang sering kali dapat mempersulit dan merugikan pihak perbankan.

Berdasarkan permasalahan di atas, penulis akan memilih tempat penelitian di Bank BNI Syariah Pusat. Hal ini disebabkan pada tahun berdirinya Bank BNI

8

Fatwa Ekonomi Syari’ah di Indonesia. Diakses pada tanggal 10 Juni 2009 dari http//www.iaeipusat.org.

9


(14)

Syariah sekitar tahun 2001, maka berpendapat adanya jangka waktu yang cukup lama sebelum dikeluarkannya Fatwa DSN No.49/DSN/MUI/II/2005 tentang Konversi Akad Murabahah. Disamping itu, hanya Bank BNI Syariah yang mau menerima penulis dalam melaksanakan proses penelitian tersebut.

Berdasarkan pemahaman dan pengkajian mengenai permasalahan di atas, serta keinginan untuk menelusuri lebih jauh bagaimana peran dan eksistensi fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional bagi kemajuan Perbankan Syariah. Dengan demikian penulis bermaksud mengangkat permasalahan tersebut kedalam sebuah skipsi dengan judul ”ANALISA PENERAPAN FATWA DSN NO. 49/DSN-MUI/II/2005 TENTANG KONVERSI AKAD MURABAHAH PADA BANK BNI SYARIAH PUSAT”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan

Banyak penelitian yang telah membahas tentang pembiayaan murabahah yang merupakan salah satu produk yang dibuat oleh bank syariah dengan berbagai macam penelitian yang difokuskan oleh para penulis. Pada penelitian ini penulis akan membatasi permasalahan hanya pada ”Analisa Penerapan Fatwa DSN No.49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah Pada Bank BNI Syariah Pusat”.


(15)

7

Dari uraian latar belakang, penulis merumuskan masalah penelitian dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :

a. Bagaimana posisi atau kedudukan Fatwa DSN di Lembaga Keuangan Syariah? Terutama kedudukan Fatwa DSN No. 49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah.

b. Bagaimana implementasi atau penerapan fatwa DSN di Lembaga Keuangan Syariah? Terutama implementasi Fatwa DSN No. 49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah.

c. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi kedudukan dan implementasi Fatwa DSN No.49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan diangkatnya skripsi yang berjudul ”Analisa Penerapan Fatwa DSN No.49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah Pada Bank BNI Syariah Pusat”. Sesuai uraian permasalahan di atas akan memberikan beberapa hal penjelasan untuk menjawab permasalahan tersebut diantaranya :

a. Penjelasan posisi atau kedudukan Fatwa DSN di Lembaga Keuangan Syariah. Terutama kedudukan Fatwa DSN No. 49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah.


(16)

b. Penjelasan implementasi atau penerapan Fatwa DSN di Lembaga Keuangan Syariah. Terutama implementasi Fatwa DSN No. 49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah.

c. Mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi kedudukan dan implementasi Fatwa DSN No.49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah.

Dengan demikian menurut penulis dianggap penting untuk mengetahui pandangan dari Dewan Syariah Nasional (DSN), UU No. 21 tahun 2008 pasal 125 tentang Konversi Akad Murabahah, PSAK No.108 tentang Konversi Akad Murabahah dan Lembaga Keuangan Syariah dalam menyikapi Fatwa DSN No. 49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah.

Berdasarkan tujuan di atas maka perlu adanya manfaat dari penelitian ini diantaranya sebagai berikut :

1. Dalam lembaga kepustakaan, hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan ilmu dalam memperkaya cakrawala khazanah pemikiran hukum islam.

2. Dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan yang lebih dalam mengenai penggunaan menyikapi Fatwa DSN No. 49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah di Lembaga Keuangan Syariah yang telah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN).


(17)

9

3. Dapat mengetahui prosedur penggunaan fatwa-fatwa dalam mengatasi permasalahan di Lembaga Keuangan Syariah.

4. Dapat mengetahui upaya Lembaga Keuangan Syariah dalam menggunakan Fatwa DSN No. 49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah untuk menyelesaikan permasalahan.

5. Sebagai pengetahuan hukum secara teori dan praktek di Lembaga Keuangan Syariah terutama tentang reconditioning akad murabahah jika terjadi permasalahan.

6. Dapat memberikan penjelasan tentang eksistensi dan peran dari Fatwa DSN No. 49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah kepada masyarakat umumnya dan kepada nasabah khususnya.

D. Tinjauan Pustaka

Sebelum melakukan penelitian ini penulis melakukan penelitian studi terdahulu melalui beberapa skripsi terdahulu untuk mengetahui apa saja yang sudah diteliti, dan mengetahui kekurangan serta kelebihan yang terdapat dalam skripsi terdahulu.

Dengan demikian penulis melakukan penelitian skripsi yang disusun oleh Ardi Triyanto dengan judul Analisa Efektivitas Penerapan Pembiayaan Murabahah Pada Lembaga Multifinance (Studi Kasus PT. Federal International Finance Tbk. Divisi Usaha Syariah). Dalam skripsi tersebut


(18)

membahas tentang analisa penerapan pembiayaan di Lembaga Multifinance, dan hasil penelitiannya adalah :

1. Sistem murabahah yang ideal belum sepenuhnya menerapkan prinsip murabahah yang ideal, terlihat ada beberapa hal yang belum sesuai. Misalnya dalam sistem operasionalnya khususnya dalam hal pengadaan barang yang dipesan oleh konsumen masih belum sepenuhnya dimiliki oleh FIF Syariah. Kemudian hal lain juga terjadi dalam operasional di lapangan terutama transparasi margin yang belum tertransparasikan kepada konsumen ketika terjadi akad awal.

2. Faktor utama yang memiliki peran penting dalam mendukung efektivitas pembiayaan murabahah yang ada di FIF Syariah adalah pertama, faktor Sumber Daya Manusia yang berkompeten dari sisi skill dan pemahaman terhadap muamalah syariah dan kedua, faktor teknologi informasi yang canggih dan mudah di akses.

Bacaan kedua penulis adalah penelitian skripsi yang disusun oleh Silvi Yanti dengan judul Dominasi Murabahah Pada Perbankan Syariah Dalam Perspektif Manajemen Resiko (Studi kasus Pada Permata Bank Syariah). Dalam skripsi tersebut membahas tentang penerapan manajemen resiko pada Bank Permata Syariah, dan hasil penelitiannya adalah adalah :

1. Penerapan manajeman resiko oleh Bank Indonesia No.5/8/PBI/2003 dan resiko-resiko yang disyaratkan Bank Indonesia untuk dikelola


(19)

11

diantaranya: resik kredit, (pembiayaan), resiko pasar, resiko likuiditas, resiko operasional, resiko hukum, resiko reputasi, resiko strategi dan resiko kepatuhan.

2. Program manajemen resiko yakni untuk mengidentifikasikan resiko-resiko yang dihadapi mengukur besar dan kecilnya, kemudan ditarik jalan untuk menangani resiko itu. Jika resiko itu kecil, maka harus dikendalikan. Bacaan ketiga penulis adalah skripsi yang ditulis oleh Mahfudin dengan judul skripsi Kesesuaian Aplikasi Jual Beli Dalam Pembiayaan KPR Syariah Pada unit Usaha Syariah Pt. Bank Permata Tbk. Dalam skripsi tersebut membahas tentang aplikasi pembiayaan KPR Syariah pada Bank Permata Syariah, dan hasil penelitiannya adalah:

Biaya kredit pada pembiayaan bank syariah berdasarkan murabahah atau mark up harga adalah pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan pembiayaan berdasarkan bunga (fixed) yaitu pada sisi faktor yang mempengaruhi keduanya, pembagian resiko, hubungan antara bank dan nasabah, dan juga paada penyelesaian hutang akan dikenakan sanksi apabila telah membayarnya.

Subtansi dalam skripsi diatas jelas berbeda dengan penulisan skripsi ini karena ada beberapa perbedaan yakni :

1. Perbedaan tempat penelitian yakni di Bank BNI Syariah Pusat.

2. Perbedaan objek yang akan diteliti, yakni penelitian tentang Fatwa DSN No. 49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah.


(20)

3. Pandangan UU. No.21 Tahun 2008 Pasal 125 Tentang Konversi Akad Murabahah, dan PSAK No.108 tentang Konversi Akad Murabahah terhadap masalah tingkat kredit macet di perbankan syariah.

4. Alasan dasar hukum Dewan Syariah Nasional (DSN) memutuskan dan mengeluarkan Fatwa DSN No. 49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah tersebut.

E. Metode Penelitian

Dalam upaya mendapat data yang akurat, lengkap, dan objektif, untuk penyusunan skripsi ini penulis menggunakan penelitian melalui:

1. Jenis Penelitian.

Penelitian ini adalah penelitian hukum empiris yang merupakan penelitian melalui pengamatan lansung di lapangan yang berlokasi pada PT. Bank BNI Syariah Pusat. Dimana penelitian ini akan menggabungkan fakta dan teori-teori yang diambil dari studi kepustakaan melalui pengupasan dari buku-buku dan peraturan perundang-undangan. Di samping itu Al-Qur’an, Hadits, dan kitab-kitab fiqih, serta berbagai literatur lainya yang dapat dijadikan sebagai rujukan yang berhubungan dengan bahasan yang sedang dikerjakan.

2. Pendekatan Penelitian.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan melakukan analisis Fatwa DSN No. 49/DSN/MUI/II/2005 Tentang


(21)

13

Konversi Akad Murabahah dengan cara mengurai dan mendiskripsikan putusan fatwa, kemudian dihubungkan dengan masalah yang diajukan sehingga di temukan kesimpulan yang objektif, logis, konsisten, dan sistematis.10

3. Sumber Pengumpulan Data.

Sumber pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data bahan hukum primer yaitu bahan–bahan mengikat yakni; Fatwa DSN No. 49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah, UU No. 21 tahun 2008 pasal 125 Tentang Konversi Akad Murabah, PSAK No.108 tentang Konversi Akad Murabahah yang digunakan oleh pihak Bank. Dan sumber pengumpulan data bahan sekunder yaitu bahan–bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer11; Buku-buku, pendapat ulama yaitu pendapat Majelis Ulama Indonesia (MUI) terutama dari Dewan Syariah Nasional (DSN) tentang penjelasan dan pengeluaran fatwa yang berkaitan dengan konversi akad murabahah, penjelasan dari pihak Bank dalam menggunakan fatwa tersebut, dan penjelasan dari para Praktisi Hukum Ekonomi Islam.

10

Amiruddin. Zainal Asikin., Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.2003.

11

Soerjono Soekanto, Sri Mamudji., Penelitian Hukum Normatif suatu tinjaun singkat. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2003. hal 13


(22)

4. Teknik Pengumpulan Data.

a. Studi Pustaka, dengan mengumpulkan dan menganalisa suatu pengertian yang bersifat teoritis, untuk itu penulis menggunkan beberapa literatur yang mendukung penelitian ini dilakukan dengan cara membaca dan mempelajari buku-buku yang berkenaan dengan masalah yang dibahas. Studi ini dilakukan untuk menguji kebenaran serta relevansi antara teori yang terdapat dalam buku dengan praktek di lapangan.

b. Wawancara, adalah proses pengumpulan data dan memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab dengan menggunakan alat yang dinamakan pedoman wawancara.12 Proses wawancara ini akan ditujukan kepada beberapa nara sumber diantaranya :

- DPS (Dewan Pengawas Syariah) BNI Syariah atau staff DPS BNI Syariah.

- DSN (Dewan Syariah Nasional) sebagai pembuat fatwa-fatwa perbankan.

c. Dokumenter, berupa pengumpulan data-data yang diperoleh melalui data dokumentasi. Maka data yang akan penulis analisa berupa Fatwa

12

Nazir,Muh. Ph.D. Metode Penelitian. Jakata : Ghalia Indonesia, 1988. cetakan ketiga. hal. 234.


(23)

15

DSN No. 49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah dan peraturan-peraturan yang lainnya.

5. Analisa Data.

Seluruh data yang penulis peroleh dari hasil wawancara dan kepustakaan diseleksi dan disusun, setelah itu penulis melakukan klasifiksi data. Estela diklarifikasi lalu di analisis, dalam hal ini data yang di kumpulkan penulis adalah kualitatif, maka teknik analisa data yang digunakan adalah content análisis (analisa isi), artinya penulis menggambarkan sesuatu yang menjadi objek penelitian secara kritis melalui analisa isi yang bersifat kualitattif. Deskriptif dimaksudkan memberikan data yang seteliti mungkin keadaan dan gejalanya.13 Data-data yang telah terkumpul diperiksa kembali mengenai kelengkapan jawaban yang diterima, kejelasannya, konsistensi jawaban atau informasi yang biasa disebut editing.

6. Teknik Penulisan.

Tehnik penulisan dalam penyusunan penulis berpedoman pada prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman skripsi Fakultas Syariah dan Hukum tahun 1428 H/2007 M, agar penulisan skripsi ini sesuai dengan kaidah penulisan skripsi.

13


(24)

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan menguraikan logika yang mendasari tahap-tahap uraian penulisan pelaporan hasil penelitian. Secara keseluruhan skripsi ini terdiri dari lima bab, masing-masing bab terdiri dari sub-sub sebagai berikut :

Bab I. Pendahuluan

Dalam bab ini penulis mengenal alasan pemilihan judul, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjuan pustaka, metodologi penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab II. Tinjuan Teoritis

Dalam bab ini, penulis menjelaskan tentang mengenal Murabahah, diantaranya: Pengertian, Rukun dan Syarat Murabahah. Disamping itu menjelaskan juga tentang deskripsi umum tentang Fatwa Dewan Syariah Nasional,diantaranya: Pengertian, Metode, Sifat dan Implikasi Fatwa terhadap Perkembangan Hukum Islam.

Bab III. Gambaran Umum tentang Bank

Dalam bab ini Menguraikan tentang profil dari tempat penelitian dan menguatkan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, maka penelti mendeskripsikan objek-objek penelitian ini terdiri dari: Sejarah Singkat, Visi dan Misi, Struktur Organisasi Bank.


(25)

17

Bab IV. Analisa dan Pembahasan

Dalam bab ini penjelasan tentang informasi yang dihasilkan dalam pengelolaan data-data yang telah dikumpulkan oleh peneliti berdasarkan metode yang digunakan dengan berpedoman pada landasan teori dasar.

Bab V. Kesimpulan dan Saran

Dalam bab ini merupakan bab penutup dari skripsi yang menyajikan kesimpulan, yang berisi penjelasan secara singkat dari hasil pembahasan dan analisa, dan penulis juga mencoba untuk mengemukakan saran yang dianggap perlu untuk dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi para pembaca.


(26)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS A. Mengenal Bai’ Murabahah

1. Pengertian Bai’ Murabahah

Bai’ Murabahah adalah jual beli barang yang harga asalnya dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Secara bahasa kata “murabahah” berasal dari Bahasa Arab dengan asal kata ( ر- ﺮ- ر.) yang berarti beruntung atau mendapatkan laba.1 Sedangkan secara terminologi, terdapat beberapa definisi Bai’ Murabahah yang dikemukakan oleh :

a. Menurut di dalam kitabnya fiqh sunnah murabahah adalah penjualan dan harga pembelian barang berikut keuntungan yang diketahui.2

b. Menurut Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid, Murabahah adalah jika penjual menyebutkan harga pembelian barang kepada pembeli, kemudian ia menyaratkan atas labanya dalam jumlah tertentu, dinar atau dirham.3

Bai’ Murabahah merupakan salah satu jual beli yang dibenarkan oleh syariah islam dan suatu implementasi muamalah “tijarah” (interaksi bisnis). Maka dapat digambarkan praktek Bai’ Murabahah sebagai berikut :

1

Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir kamus Arab-Indonesia. (Yogyakarta : Pustaka Progresif, 1997). hal.463.

2

Sayyid Sabiq. Fiqh Sunnah Terjemahan Kamaluddin Jilid 12. Al-Ma’rif, (Bandung, 1995). h.47.

3

Ibnu Rusyd. Terjamahan Bidayatul Mujtahid Jilid III. Penerbit As-Syifa’, (Semarang, 1990). h.181.


(27)

19

“Misalnya, pedagang eceran membeli komputer dari grosir dengan harga Rp.10.000.000,- kemudian ia menambahkan keuntungan sebesar Rp.750.000,- dan ia menjual kepada pembeli dengan harga Rp.10.750.000,- Jadi penjual memberitahukan kepada pembeli besarnya harga pokok dan keuntungan yang dia minta. Pada umumnya pedagang eceran tidak akan membeli barang dari grosir sebelum ada pesanan dari calon pembeli".4

Dari beberapa pengertian Bai’ Murabahah penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa murabahah adalah suatu akad jual beli barang dengan menyebutkan harga pokok, biaya-biaya, dan keuntungan yang disepakati dengan pembeli beserta pembayaran secara tunai. Murabahah sebagaimana digunakan dalam perbankan syariah, prinsipnya didasarkan pada dua elemen pokok yang harus diketahui oleh nasabah, dimana perkara tersebut tidak terdapat pada jual beli lainnya, diantaranya adalah :

1. Harga beli barang dan biaya terkait 2. Kesepakatan atas mark up (keuntungan).

Dengan demikian murabahah dapat dikatakan transaksi kepercayaan, karena pembeli mempercayakan penjual untuk menentukan harga asal barang yang akan dibelinya. Ketika bank menawarkan skim murabahah maka sebenarnya bank akan menawarkan kepercayaan dan good willnya kepada nasabah dan sebaliknya nasabah yang memberikan kepercayaan penuh kepada pihak bank.

4

Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Bagi Bankir dan Praktisi. (Jakarta: Bank Indonesia bekerjasama dengan Tazkia Institute, Desember 1999), h. 159.


(28)

Bai’ Murabahah merupakan sarana jual beli atau saling tukar menukar harta diantara sesama manusia yang mempunyai landasan hukum yang amat kuat dalam islam. Diantara landasan hukum yang dijadikan sebagai dasar hukum bai’ murabahah adalah sebagai berikut :

QS. An-Nisa’ ayat 29

☺ . ) ﺂﺴﻨﻟا ء : ٩ ( Artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (QS. An-Nisa’(4): 29)

Dalam ayat diatas dijelaskan bahwa orang-orang yang berdagang tidak boleh mengambil untung terlalu banyak atau tinggi, karena itu akan memberatkan nasabah dan juga dapat memakan harta saudaranya dengan jalan bathil atau merugikan orang lain. Dengan demikian dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa penjual dan pembeli harus sama-sama rela, suka sama suka saat transaksi berniaga, penjual rela menyerahkan barangnya dan pembeli juga rela memberikan uangnya.

Dalam transaksi murabahah, barang yang telah dibeli dibayar dengan cara tunai. Oleh karena itu Allah SWT memerintahkan kepada seluruh umat islam untuk memenuhi akad-akad yang telah dibuat dan disepakati oleh manusia itu sendiri. Akad itu sendiri mencakup janji prasetya kepda Allah SWT dan perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh manusia dalam pergaulan sesamanya


(29)

21

Dalam setiap perniagaan tidak selamanya berjalan sesuai dengan syariat-syariat yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasulullah. Oleh karena itu, setiap perniagaan harus berhati-hati dan semaksimal mungkin untuk menjauhi kecurangan atau praktek riba.

Dalam Firman Allah SWT QS. Al-Baqarah ayat 275

) ... ةﺮﻘﺒﻟا : ٧۵ ( Artinya :

…“Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”… (QS. Al-Baqarah(2) : 275).

Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa Allah SWT telah menghalalkan jual beli, karena jual beli mendapatkan harta seseorang dengan jalan sukarela diantara mereka, dan Allah SWT telah mengharamkan riba karena hal itu berarti melipat gandakan pembayaran uang salah satu orang diantara mereka. Ayat di atas merupakan teguran dan perintah untuk semaksimal mungkin menjauhi praktek riba, sehingga tidak saling merugikan dalam perniagaan.

2. Rukun dan Syarat Bai’ Murabahah a. Rukun Bai’ Murabahah

Bai’ Murabahah adalah suatu transaksi jual beli, dengan demikian rukun-rukunnya sama dengan rukun jual beli, adalah sebagai berikut :

1) Pihak yang berakad dalam jual beli yaitu : penjual dan pembeli.

2) Objek yang diakadkan, meliputi barang yang diperjual belikan dan harga barang yang diperjual belikan.


(30)

3) Akad atau sighot yaitu : ijab dan qobul.5

Adapun ketentuan rukun Bai’ Murabahah adalah sesuai dengan rukun jual beli di atas yaitu :

1) Pihak yang berakad menurut ulama fiqh sepakat, bahwa orang yang melakukan akad murabahah harus memenuhi syarat sebagai berikut : a) Cakap hukum dan baligh (berakal sehat dan dapat membedakan

baik-buruk) sehingga jual beli dengan orang gila tidak sah, sedangkan dengan anak kecil dianggap sah apabila seijin orang tua atau walinya.

b) Orang yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda.6 2) Orang jual beli harus memenuhi :

a) Barang yang diperjual belikan adalah barang yang halal

b) Barang yang diperjual belikan harus bisa diambil manfaatnya atau memiliki nilai.

c) Barang tersebut dimiliki oleh penjual.bukan milik orang lain. d) Barang tersebut dapat diserah terimakan tanpa syarat.

e) Barang tersebut harus diketahui secara spesifik dan diindentifikasikan oleh penjual.

f) Barang tersebut diketahui kuantitasnya dengan jelas.

5

Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Banker Indonesia. Konsep, Produk, dan Implementasi Operasional Bank Syariah. (Jakarta : Djambatan, 2003). h.77.

6

Hasan Ali. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004). h.119.


(31)

23

g) Barang tersebut dapat diketahui kualitasnya dengan jelas. h) Harga barang tersebut jelas.

i) Barang tersebut diakadkan secara fisik dan ditangan penjual.7 3) Ketentuan yang terkait dengan ijab qabul

Perkara utama dalam bai’ Murabahah adalah kerelaan diantara penjual dan penbeli. Kerelaaan ini dapat terlihat saat akad berlangsung, maka ijab qabul harus diucapkan secara jelas karena transaksi ini mengikat kedua belah pihak. Adapun syarat-syarat ijab qabul adalah sebagai berikut :

a) Harus jelas dan disebutkan secara spesifik dengan siapa berakad. b) Antara ijab dan qabul (serah terima) harus selaras baik dalam

spesifiksi barang maupun haraga yang disepakati.

c) Tidak menggantungkan klausul yang bersifat keabsahan transaksi padش hal atau kejadian yang akan datang.

d) Tidak membatasi waktu, misalnya : “saya jual barang ini kepada anda dalam jangka waktu 12 bulan, setelah itu maka jadi milik saya kembali”.8

7

Sri Nurharyati dan Washilah. Akuntamsi Syariah di Indonesia. (Jakarta : Salemba Empat, 2008). h.166.

8

Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Banker Indonesia. Konsep, Produk, dan Implementasi Operasional Bank Syariah. (Jakarta : Djambatan, 2003). h.18.


(32)

b. Syarat Bai’ Murabahah

Dalam Bai’ Murabahah juga dibutuhkan beberapa syarat untuk melengkapi rukun bai’ murabahah diatas, diantara syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut :

1) Mengetahui harga pertama ( harga pembelian). 2) Mengetahui besarnya keuntungan .

3) Modal hendaklah berupa komoditas yang memiliki kesamaan dan sejenis, seperti benda-benda yang dapat ditakar dan ditimbang.

4) Sistem Bai’ Murabahah dalam harta riba hendaknya tidak menisbatkan riba tersebut terhadap harga pertama.

5) Transaksi pertama harus sah secara syara’.9 Skema Jual-Beli Akad Murabahah

PENJUAL

SUPLIER BARANG

PEMBELI 1.Negoisasi &

Persyaratan

2.Akad jual beli 5. Serah Terima Barang 6. Bayar Tunai 3. Beli barang

4. Kirim barang

9


(33)

25

Berdasarkan Skema Bai’ Murabahah diatas, sang penjual melakukan pembelian barang setelah ada negoisasi atau pemesanan barang dari pembeli. Untuk menunjukkan keseriusan pembeli, penjual boleh meminta “hamish ghadiya”10 (artinya uang tanda jadi ketika terjadinya ijab qabul). Jika di kemudian hari pembeli membatalkan pesanannya, maka uang muka tersebut dapat digunakan untuk menutupi kerugian sang penjual. Apabila kerugian tersebut lebih besar dari uang muka, maka penjual dapat meminta kekurangan itu kepada sang pemesan dan sebaliknya terdapat kerugian yang lebih kecil maka sang penjual wajib mengembalikan sisanya kepada sang pemesan.

B. Deskripsi Umum Tentang Fatwa Dewan Syariah Nasional 1. Pengertian Fatwa

Secara etimiologi fatwa berasal dari bahasa arab yaitu (ءﺎﺘﻓﻻا) yang yang merupakan mufrod (tunggal) dan memiliki arti pendapat resmi atau fatwa.11 Menurut bahasa Indonesia fatwa berarti “jawaban” atau keputusan yang diberikan oleh ahli hukum islam atau mufti.12 Di dalam Al-quran terdapat bentuk kata yang menggambarkan aktivitas konsultasi hukum, jadi kata fatwa disini dapat diartikan sebagai mengerjakan sesuatu dengan mengajukan pertanyaan dan memberikan jawaban terhadap pertanyaan tersebut.

10

Hamish ghadiyah adalah uang tanda jadi ketika terjadinya ijab qabul. Lihat juga buku Adi Warma Azhwar Karim, bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan. (Jakarta : IIIT Indonesia, 2003). h.163.

11

Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia. (Yogyakarta : Pustaka Progresif, 1997). h.1034.

12

Mufti adalah orang pemberi fatwa tentang suatu masalah. Lihat di buku Muhammad Ali. Kamus Indonesia Modern. Jakarta : Pustaka Amani. h.96.


(34)

Firman Allah dalam QS. An-Nisa’: 176

⌧ ☺

⌧ ☯

⌧ ☯

⌧ .

) ءﺎﺴﻨﻟا : ٧٦ (

Artinya :

“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah)13. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) Saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (QS. An-Nisaa’(4): 176).

Penggunaan kata “ístifta’” pada ayat tersebut merupakan sebuah penjelasan singkat terhadap terminology yang berkaitan dengan aktivitas pemberian keputusan hukum (menerangkan hukum suatu masalah atau perkara). Terdapat beberapa pengertian tentang fatwa yang dikemukakan oleh :

13

Kalalah artinya seseorang yang telah meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan


(35)

27

a. Menurut M. Hasbi Ash-Shidiqie memberikan maksud bahwa fatwa adalah sebagai jawaban atas pertanyaan yang tidak begitu jelas hukumnya.14

b. Menurut Yusuf Qardhawi memberikan maksud bahwa fatwa adalah menerangkan atau menjelaskan hukum syara’ dari suatu persoalan sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh yang meminta fatwa, baik individu, maupun kolektif atau lembaga.15

c. Dalam ilmu Ushul Fiqh, fatwa berarti pendapat yang dikemukakan oleh seorang mujtahid atau faqih sebagai jawaban atas pertanyaan yang diminta atau diajukan oleh peminta fatwa dalam suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat. Pihak yang meminta fatwa tersebut bisa pihak pribadi, lembaga atau kelompok masyarakat.16

d. Menurut Zamakhsyari, fatwa adalah penjelasan hokum syara’ tentang suatu permasalahan atas pertanyaan seseorang atau kelompok.17

e. Menurut As-Syatibi, fatwa dalam arti al-iftaa berarti keterangan-keterangan tentang hukun syara’ yang tidak mengikat untuk diikuti.18 Beberapa definisi yang telah dikemukakan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa fatwa merupakan suatu pendapat atau jawaban yang diberikan oleh seorang mujtahid, mufti atau ahli hukum islam terhadap suatu pertanyaan atau permasalahan

14

M. Hasbi Ash-Shidiqie. Peradilan dan Hukum Acara Islam.(Semarang : PT. Pustaka Rizki, 2001). h.86.

15

Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam.(Jakarta : Elsas, 2008). h.20.

16

Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedia Hukum Islam. (Jakarta : PT. Ikctiar Baru Van Hoeve, 1996). h.32.

17

Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. (Jakarta : Elsas Jakarta, Juli 2008). h.20.

18


(36)

penting menyangkut masalah hukum islam yang diminta oleh pihak pribadi atau lembaga atau kelompok masyarakat.

Terkadang terjadi kerancuan dalam membedakan antara fatwa dengan ijtihad. Ijtihad menurut Al-Amidi dan An-Nabhani adalah mencurahkan seluruh kemampuan untuk menggali hukum-hukum syariat dari dalil-dalil dzanni hingga batas tidak ada lagi kemampuan melakukan usaha lebih dari apa yang telah dicurahkan. Sedangkan ifta’ hanya dilakukan ketika ada kejadian secara nyata, lalu ulama ahli fiqh berusaha mengetahui hukumnya. Dengan demikian, fatwa lebih spesifik dibandingkan dengan ijtihad.19

Seorang mustafti bisa saja mengajukan pertanyaan kepada seorang mufti mengenai hukum suatu permasalahan yang dihadapinya. Apabila mufti menjawabnya dengan perkataan, hukum masalah ini halal atau haram, disertai dalil-dalilnya secara terperinci, maka itulah fatwa. Fatwa dapat berbentuk perkataan ataupun tulisan.

2. Dasar-Dasar Penetapan Fatwa

Dalam menetapkan fatwa harus mengikuti tata cara dan prosedur tertentu yang telah disepakati oleh para ulama, termasuk dalam hal penggunaan dasar yang menjadi landasan hukum dalam penetapan fatwa. Penetapan fatwa yang tidak mengindahkan tata cara dan prosedur yang ada merupakan salah satu bentuk tahakkum (membuat-buat hukum) dan menyalahi esensi fatwa yang merupakan

19


(37)

29

hukum syara’ terhadap suatu masalah, yang harus ditetapkan berdasarkan dalil-dalil keagamaan (adillah syar’iyyah).

Dalam hal ini para ulama mengelompokkan sumber atau dalil syara’ yang dapat dijadikan dasar penetapan fatwa dan dalil-dalil hukum yang diperselisihkan untuk dijadikan dasar penetapan fatwa. Para ulama juga telah menjelaskan apa saja dalil-dalil hukum yang disepakati untuk dijadikan dasar penetapan fatwa (adilliah al-ahkam al-muttafaq ‘alaihi), yaitu meliputi :

a. Al-Quran

Para ulama menjelaskan bahwa kata “Al-qur’an” secara etimologi berasal dari bahasa Arab

ءﺮ

-

ءﺮﻘ

-

ءﺮ

yang mempunyai arti “bacaan”. Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam QS. Al-Qiyamah ayat 17-18.20

).. ﺔ݊ﺎﻴﻘﻟا : ٧ -٨ ( Artinya :

“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami Telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu”. (QS. Al-Qiyamah (75):17-18).

Para ulama juga menyimpulkan ciri-ciri Al-qur’an sebagai berikut :21 1). Al-qur’an merupakan lafadz

2). Al-qur’an diturunkan dalam bahasa Arab.

20

KH. Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. (Jakarta : eLSAS Jakarta, Juli 2008). h.59.

21


(38)

3) Al-qur’an dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir (diturunkan oleh orang banyak kepada orang banyak sampai sekarang).

4). Membaca setiap kata dalam Al-qur’an mendapat pahala, baik bacaan itu berasal dari hafalan maupun dibaca langsung dari mushaf Al-qur’an.

5). Al-qur’an itu dimulai dari surat Al-Fatihah dan di akhiri dengan suarat An-Nass. Tata urutan surat yang terdapat dalam Al-Quran, disusun sesuai dengn petunjuk Allah melalui malaikat Jibril Nabi Muhammad saw., tidak boleh diubah dan diganti letaknya.

Para ulama sepakat bahwa Al-qur’an merupakan sumber utama hukum islam yang diturunkan Allah, dimana seorang mujtahid harus mendahulukan nash-nash Al-qur’an sebagai dasar penetapan sebelum mempergunakan sumber hukum lainnya. Begitu juga dalam penetapan fatwa, Al-qur’an merupakan dasar pertimbangan pertama sebelum beralih pada yang lainnya. Apabila hukum permasalahan yang dicari tidak ditemukan dalam Al-qur’an, maka barulah mujtahid tersebut menggunakan dalil yang lainnya.

b. As-Sunnah

Pengertian As-Sunnah dari sisi bahasa adalah “jalan yang biasa di lalui” atau “cara yang senantiasa dilakukan”. Hal ini bias kita lihat dalam sabda Rasulullah SAW. yang berbunyi :


(39)

31

ْ ﺔ ْ أ ْ نْﻮ ْ ﺔ ْ ﺎ ﺪ ﺮ ْ ْ ﺎ ﺮ ْﺧأ يﺰ ْا ﻰ ْا ْ

لﺎ أْ ﺮ ﺮ ْ رﺬْ ْا

و ْ اﻰ الﻮ ر ﺪْ ﺎ آ

...

ْ مﺎ ْ ﺈْا

ْ و ءْ ْ هرﻮ أ ْ ﻘْ ْنأ ﺮْ ْ ﺪْ ﺎﻬ ْ ﺮْ أو ﺎهﺮْ أ

ﺪْ ْ ﺎﻬ ْ رْزوو ﺎهرْزو ْ نﺎآ ﺔﺌ مﺎ ْ ﺈْا ْ هرازْوأْ ﻘْ ْنأﺮْ ْ

ءْ

) .

بﺎ ﻜ ا ا اور

ا ا

( 22

Sedangkan secara terminology, As-Sunnah bisa dibedakan menurut disiplin ilmunya. Menurut disiplin ilmu hadis, pengertian Sunnah sama dengan pengertian Hadist, yaitu “seluruh yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik perkataan, perbuatan dan ketetapannya atau sifatnya sebagai manusia, akhlaknya, apakah itu sebelum maupun setelah di angkat menjadi rasul”. Sedangkan pengertian Sunnah menurut disiplin ushul fiqh adalah : “segala yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw, berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum”.23

Sedangkan pengertian Sunnah menurut disiplin ilmu fiqh, disampingnya pengertian yang dikemukan para ulama ushul fiqh di atas, juga dimaksudkan sebagai salah satu hukum taklifi, yang mengandung pengertian “perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa”. Terjadinya perbedaan pengertian Sunnah di kalangan ahli ushul fiqh, disebabkan perbedaaan sudut pandang masing-masing terhadap Sunnah. Ulama ushul fiqh memandang bahwa Sunnah tersebut merupakan salah satu sumber atau dalil hukum. Sedangkan ulama fiqh menempatkan Sunnah sebagai salah satu hukum taklifi.

22

Kitab Shahih Al-Muslim. Dalam Maktabah Syamilah. Juz :5, h.198.

23


(40)

Para ulama sepakat mengatakan bahwa Sunnah Rasulullah saw dalam tiga bentuk (fi’liyyah, qauliyyah dan taqririyyah) merupakan sumber asli dari hukum-hukum syara’ dan menempati posisi yang kedua setelah Al-qur’an. Sehingga dalam penetapan fatwa, As-Sunnah menjadi rujukan kedua setelah Al-qur’an. Ada beberapa alasan yang dikemukan oleh para ulama untuk mendukung penyataan di atas, di antaranya adalah sebagai berikut :24

1). Surat Ali Imran ayat 31.

⌦ ⌧ . ) ناﺮﻤﻌﻟا : ( Artinya :

“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang

."

(QS. Al-Imran: 31).

2). Surat Al-Ahzab (33)ayat 21

⌧ ☺ ⌧ ⌧ ⌧ ) . بﺰ܊ﻻا : ( Artinya :

“Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah

".

(QS. Al-Ahzab ayat 21). (QS. Al-Ahzab

(

33

)

ayat 21).

3). Surat Al-Hasyr (59) ayat 7.

) ﺮﺸ܋ﻟا : ٧ ( 24

Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. (Jakarta : eLSAS Jakarta, Juli 2008). h.87.


(41)

33

Artinya :

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”.(QS. Al-Hasyr

(

59

)

ayat 7).

4). Surat An-Nisa’ )( ayat 59. 4

⌧ ⌧ . ) ءﺎﺴﻨﻟا : ۵٩ ( Artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.(QS. An-Nisa’

(

4

)

ayat 59).

5). Hadist ﺎ ﺪ ﺪ ﺰ ْ نورﺎه لﺎ ﺎ ﺮ ْﺧأ ﺰ ﺮ ْ ﺪْ ْ ﺮ ا ْ أ فْﻮ ﺮ ْا ماﺪْﻘ ْا ْ يﺪْ بﺮآ يﺪْﻜْا لﺎ . لﺎ لﻮ ر ا ا ْ و ﺎ أ إ وأ بﺎ ﻜْا ْ و ﺎ أ إ وأ نﺁْﺮﻘْا ْ و ﻚ ﻮ ر ْ ﺎ ﺎ ْ ﻜ رأ لﻮﻘ ْ ﻜْ نﺁْﺮﻘْﺎ ﺎ ﻓ

ْ ْﺪ و ْ لﺎ ﻮ ﺄﻓ ﺎ و ْ ْﺪ و ْ ما ﻮ ﺮ ﻓ ﺎ أ ْ ﻜ ْ رﺎ ْا ْهﺄْا ﺎ و آ يذ بﺎ ْ عﺎ ا ﺎ أ ﺎ و ﺔﻄﻘ ْ لﺎ ﺪهﺎ ﺎ إ ْنأ ْ ْ ﺎﻬْ ﺎﻬ ﺎ ْ و لﺰ مْﻮﻘ ْ ﻬْ ﻓ ْنأ ْ هوﺮْﻘ ْنﺈﻓ ْ ْ هوﺮْﻘ ْ ﻬ ﻓ ْنأ ْ هﻮ ﻘْ ْ

ْ هاﺮ

25

Yang dimaksud dengan perkataan “dan semisalnya” dalam hadist di atas, menurut jumhur ulama adalah Sunnah Rasulullah saw.

c. Ijma’

25


(42)

Pengertian Ijma’ menurut bahasa (etimilogi) adalah “kesepakatan” atau “konsensus”. Selain itu mengandung arti “ketetapan hati untuk melakukan sesuatu”. Sedangkan secara terminology, ada beberapa rumusan ijma’ yang dikemukakan oleh para ulama. Imam Ghazali mendefinisikan ijma’ dengan “kesepakatan umat Muhammad secara khusus tentang suatu masalah agama”. Rumusan ini memberikan batasan bahwa ijma’ harus dilakukan umat Muhammad saw., yaitu umat Islam, tetapi harus dilakukan oleh seluruh umat Islam, termasuk orang awam.26

Rumusan menurut al-Amidi mengikuti pandangan Imam As-Syafi’I yang meyatakan bahwa ijma’ harus dilakukan dan dihasilkan oleh seluruh umat Islam, karena suatu pendapat yang dapat terhindar dari suatu kesalahan hanyalah apabila disepakati oleh seluruh umat. Selanjutnya al-Amadi merumuskan ijma’ dengan “kesepakatan sekelompok ahl al-hall wa al-‘aqdi dari umat Muhammad pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu peristiwa/kasus”. Rumusan tersebut menunjukkkan bahwa tidak semua orang bias melakukan ijma’, melainkan orang-orang tertentu yang disebut dengan ahl al-hall wa al-‘aqdi yang bertanggung jawab langsung terhadap umat. Maka orang awam tidak diperhitungkan dalam proses ijma’.27

26

KH. Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta : eLSAS Jakarta, Juli 2008. h.92.

27

Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. (Jakarta : eLSAS Jakarta, Juli 2008). h.93.


(43)

35

Sedangkan jumhur ulama merumuskan bahwa ijma’ adalah “kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad saw pada suatu masa, setelah wafatnya Rasulullah saw terhadap suatu hukum syara’”. Dari beberapa rumusan diatas bahwa ijma’ hanya dilakukan dan disepakati oleh para mujtahid Muslim pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah saw. Jumhur ulama perlu menyatakan “setelah wafatnya Rasulullah saw”. sebab selama Rasulullah masih hidup seluruh permasalahan yang timbul langsung dapat ditanyakan kepada beliau, sehingga tidak diperlukan ijma’.

Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ dapat menjadi dalil hukum (hujjah) selagi memenuhi rukun-rukun ijma’. Dalam kondisi terseut ijma’ menjadi hujjah yang qath’i (pasti), wajib diamalkan dan tidak boleh diingkar, sehingga jika ada orang yang mengingkarinya maka dianggap kafir. Dengan begitu ijma’ juga dapat dijadikan sebagai dasar penetapan fatwa. Disamping itu, permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya melalui ijma’ tidak boleh lagi menjadi permasalah oleh umat generasi berikutnya, karena hukum yang ditetapkan melalui ijma’ merupakan hukum syara’ yang qath’I dan menempati urutan yang ketiga sebagai dalil syara’ setelah Al-qur’an dan As-Sunnah. d. Qiyas

Pengertian qiyas secara bahasa adalah ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan, atau menyamakan sesuatu dengan yang lainnya. Sedangkan pengertian qiyas secara terminology terdapat beberapa definisi yang


(44)

dikemukakan para ulama ushul fiqh, sekalipun redaksinya berbeda, tetapi mengandung arti yang sama.28

Menurut mayoritas ulama Syafiiyyah :

ﺎ ﻬ ﺮ ﺎ ﺎ ﻬ واﺎ ﻬ ﻜ اتﺎ اﻰﻓمﻮ مﻮ

وا

29

“Membawa (hukum) yang (belum) diketahui kepada *hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, disebabkan sesuatu yang menyatukan keduanya, baik hukum maupun sifat”.

Menurut Wahbah al-Zuhaili merumuskan qiyas dengan:

ﻓﺎ ﻬآاﺮ ﻻ صﻮ ﺮ ﺎ ﻰ ﺮﺸ ا صﻮ ﺮ اقﺎ ا

ﻜ اﺔ

30

“Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebutkan kasatuan ‘illat hukum antara keduanya”.

Dari beberapa rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa proses penetapan hukum melalui metode qiyas bukanlah menetapkan hukum dari awal, tetapi hanya menyingkapkan dan menjelaskan hukum yang telah ada pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya. Penyingkapan dan penjelasan ini dilakukan melalui pembahasan mendalam dan teliti terhadap ‘illat dari suatu kasus yang sedang dihadapi.

28

Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. (Jakarta : eLSAS Jakarta, Juli 2008). h.105.

29

Al-Ghazali, Al-Mustassyfa fi ‘Ilm al-Ushul, (Beirut: Dar al kutub al-Ilmiyah), jilid II, h.54.

30

Wahbah al-Zuhaili. Al-fiqh al-Islamy wa Adillatuhu. (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah 1991), jilid I. h.601.


(45)

37

Misalnya, seorang mujtahid ingin mengetahui hukum meminum bir atau wisky. Dari hasil pembahasan dan penelitiannya secara cermat, kedua minuman tersebut mengandung zat yang memabukkan, seperti yang ada pada zat yang ada pada khomer (mengandung zat yang memabukkan). Zat yang memabukkan inilah yang menjadi illatnya, sebab illatnya bir dan wisky sama seperti ‘illatnya khomer. Dengan demikian mujtahid tersebut telah menemukan bahwa hukum bir dan wisky sama dengan hukum khomer yaitu haram.31

Para ulama berbeda pendapat tentang apakah qiyas dapat dijadikan dasar hukum. Tetapi jumhur ulama ushul fiqh berpendirian bahwa qiyas dapat dijadikan sebagai metode atau sarana untuk mengistinbatkan hukum syara’. 3. Sifat Fatwa

Dalam perkembangan ekonomi syariah, fatwa mempunyai peranan penting dan menjadi aspek organik dalam bangunannya, fatwa juga menjadi alat ukur bagi kemajuan ekonomi syariah di Indonesia. Secara teknis fatwa ekonomi syariah tampil menyuguhkan pembaharuan dalam fiqh muamalah maaliyah (fiqh ekonomi).32

Dari beberapa pengertian fatwa di atas, fatwa memiliki sifat-sifat yang harus diketahui. Ada dua hal penting yang harus dicatat adalah sebagai berikut :

31

Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. (Jakarta : eLSAS Jakarta, Juli 2008). h.106.

32

Syakir Sula dan Aris Mufti. Amanah Bagi Bangsa Konsep Sistem Ekonomi Syariah. Jakarta : MES dan MUI, BI, Dept. Keuangan RI. h.221.


(46)

a. Fatwa bersifat responsive. Fatwa merupakan jawaban suatu hukum (legal opinion) yang dikeluarkan setelah adanya suatu pertanyaan atau permintaan fatwa (based on demand). Pada umumnya fatwa dikeluarkan sebagai jawaban atas pertanyaan yang merupakan peristiwa atau kasus yang telah terjadi atau nyata. Seorang pemberi fatwa (mufti) boleh untuk menolak memberikan fatwa atas pertanyaan tentang peristiwa yang belum terjadi, berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Ibnu Umar.

ىور ﺪ ْ أ ْ ْا ) اﻮ ﺄْ ْ ْ ﻜ نﺈﻓ ﻰﻬ ْ ﻚ ذ ( و ﺎﻀْأ ْ ْا سﺎ لﺎ ْ

ﺔ ﺎ ا

" اﻮ ﺎآ نﻮ ﺄْ ﺎ إ ْ ﻬ ْ

" ْ او ﻓﺎﺸ ا ﺔهاﺮآ لاﺆ ا ْ

ءْ ﺸ ا ْ و ْﻮﻘ ﻰ ﺎ : } اﻮ ﺄْ ْ ءﺎ ْ أ ْنإ ﺪْ ْ ﻜ ْ آْﺆ { نﺎآو ا ْ و " ﻰﻬْ ْ لﺎ و ﺔ ﺎ إو لﺎ ْا ةﺮْآو لاﺆ ا " ﻓو ﻆْ } نإ ا ﺮآ ْ ﻜ ﻚ ذ { ﺎ ﻬْ 33

Artinya (yang digaris bawahi):

“Jangan kalian menanyakan tentang peristiwa yang belum terjadi karena Umar RA. (pernah) melarang hal tersebut”.

Walaupun begitu, seorang mufti tetap disunahkan untuk menjawab pertanyaan seperti itu, sebagai langkah hati-hati agar tidak termasuk orang yang menyembunyikan ilmu.

b. Dari segi kekuatan hukum, fatwa sebagai jawaban hukum (legal opinion) tidaklah bersifat mengikat. Dengan kata lain, orang yang meminta fatwa (mustafti), baik perorangan, lembaga, maupun masyarakat luas tidak harus mengikuti isi atau hukum yang diberikan kepadanya. Hal ini disebabkan

33


(47)

39

bahwa fatwa tidaklah mengikat sebagaimana putusan pengadilan (qadha’). Bisa saja fatwa seorang mufti di suatu tempat berbeda dengan fatwa mufti lain di tempat yang sama. Namun demikian, apabila fatwa ini kemudian diadopsi menjadi keputusan pengadilan dan hal ini lazim terjadi, maka barulah ia memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Terlebih lagi jika ia diadopsi menjadi hukum positif atau regulasi suatu wilayah.34

Dalam kajian Ushul Fiqh, fatwa memiliki sifat mengikat bagi pihak-pihak yang meminta dan memberi fatwa. Namun teori lama ini dapat diperbaharui seiring dengan perkembangan dan proses terbentuknya fatwa. Teori fatwa yang mengikat bagi pihak yang meminta fatwa dan memberi fatwa ini sudah tidak relevan untuk fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN). Maka dalam fatwa ekonomi syariah Dewan Syariah Nasional (DSN) tidak hanya mengikat bagi pihak yang meminta atau bagi praktisi (lembaga) ekonomi syariah, tapi juga bagi masyarakat Indonesia khususnya yang bertransaksi dengan lembaga terkait. Karena fatwa-fatwa ini telah dipositivisasi oleh Bank Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI), bahkan DPR RI mensyahkan Perbankan Syariah melalui undang-undang No. 21 Tahun 2008.

4. Metode Fatwa

Fatwa merupakan salah satu metode dalam hukum islam yang terdapat dalam Al-quran dan hadist untuk memberikan keterangan dan penjelasan mengenai

34

Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. (Jakarta : eLSAS Jakarta, Juli 2008). h.20-21.


(48)

hukum-hukum secara syara’ Islam, ajaran-ajarannya dan arahan-arahannya. Sebagai sebuah metode dalam memberikan penjelaan terhadap suatu masalah yang belum jelas status hukumnya, maka fatwa menempati posisi yang sangat penting dan strategis.

Mengeluarkan fatwa merupakan salah satu cara untuk menerangkan hukum-hukum Islam kepada masyarakat khususnya umat muslim. Hal ini bukanlah pekerjaan yang mudah dan mengandung resiko yang berat, maka orang yang pantas untuk memberikan dan membuat fatwa tidaklah sembarang orang, diperlukan syarat-syarat tertentu, sehingga fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan layak dipatuhi umat Islam, dapat dipertanggung jawabkan serta tidak menimbulkan perselisihan.

Sebelum memberikan jawaban atau fatwa, seorang mufti pada dasarnya telah melalui proses yang mencakup empat hal, yaitu :

a. Apa hukum atas masalah yang dimaksud. b. Apakah dalilnya

c. Apa wajib dalalah-nya.

d. Apa saja jawaban-jawaban/fatwa yang bertentangan di seputar persoalan yang dimaksud.35

Berdasarkan hal itu, sebagian ulama ahli fiqh mensyaratkan seorang mufti itu harus ahli ijtihad (mujtahid). Sebab, empat proses tersebut di atas, menuntut kemampuan orang yang ahli ijtihad, di samping tentu saja dia adalah seorang

35

Diakses pada tanggal 19 Januari 2010.http://www.microfincenter.com/web/index.php. tentang fatwa&catid=34:artikel-ekonomi syariah&Itemid=56.


(49)

41

muslim, adil, mukallaf, ahli fiqh dan memliki pemikiran yang jernih. Namun as-Syaukani tidak mensyaratkan seorang mufti itu harus mujtahid, yang penting dia ahli di dalam agama Islam.

Seorang mufti juga harus memperhatikan beberapa keadaan, seperti : mengetahui secara persis kasus yang dimintakan fatwanya, mempelajari psikologi mustafti dan masyarakat lingkungannya agar dapat diketahui implikasi dari fatwa yang dikeluarkannya sehingga tidak membuat agama Allah menjadi bahan tertawaan dan permainan.

Seorang mufti tidak boleh berfatwa dengan fatwa yang bertentangan dengan nash syar’i, meskipun fatwanya itu sesuai dengan madzhabnya. Ia juga tidak boleh berfatwa dari perkataan dan pandangan yang belum mengalami proses tarjih atau analisis perbandingan dan pengambilan dalil terkuat.

Disamping itu, Jalaluddin Al-Mahalli juga menyebutkan seorang mufti atau orang yang ahli hukum Islam harus mempunyai persyaratan tertentu agar dalam keputusan-keputusannya layak untuk dipatuhi.

و طﺮ ا نأ نﻮﻜ ﺎ ﺎ ﻘ ﺎ أ ،ﺎ ﺮﻓو ﺎﻓ ﺧ ،ﺎ هﺬ و نأو نﻮﻜ ﺎآ ﺔ ا ،دﺎﻬ ﻻا ﺎﻓرﺎ جﺎ إ طﺎ ا مﺎﻜ ﻷا ﻮ ا ﺔ او ﺔﻓﺮ و لﺎ ﺮ ا

و تﺎ ا ةدراﻮ ا مﺎﻜ ﻷا رﺎ ﺧﻷاو ةدراﻮ ا ﺎﻬ ﻓ . 36 Artinya:

“Mengusai pendapat-pendapat dan akidah-akidah dalam ushul fiqh dan fiqh, mempunyai kelengkapan untuk ijtihad, mengetahui ilmu-ilmu yang dibutuhkan untuk memformulasikan suatu hukum (istinbat al-hukum), misalnya ilmu Nahwu, ilmu bahasa, ilmu mushtalah al-hadits, tafsir-tafsir ayat dan hadist-hadist hukum”.

36


(50)

Dari uraian di atas tersebut mengandung makna bahwa setiap menyatakan hukum terhadap suatu masalah seorang mufti atau ahli hukum Islam tidak hanya mampu menguasai dalil-dalil, tetapi harus menguasai ilmu-ilmu pendukung ijtihad seperti ilmu Nahwu, ilmu bahasa, ilmu mushtalah al-hadits, tafsir-tafsir ayat dan hadist-hadist hukum. Sehingga dapat terhindar dari praktek “tahkim” yaitu membuat-buat hukum dan mengeluarkan sebuah hukum tanpa suatu landasan hukum yang jelas.

Menjadi seorang mufti harus memenuhi persyaratan yang telah disebutkan diatas. Hal ini bertujuan untuk menghindarkan praktek tahkim yang tidak diperbolehkan dan sangat dilarang oleh Allah SWT, karena dapat merusak tatanan hukum Islam, bahkan dapat menimbulkan perselisihan umat Islam. Dalam QS. An-Nahl ayat 116.

☺ ⌧

) . ݅܋ﻨﻟا : ٦٦ ( Artinya :

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan Ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung”. (QS. An-Nahl (16) : 116).

Firman Allah SWT di atas memberikan penjelasan yang sangat tegas, bahwa seorang mufti atau ahli hukum Islam dalam mengeluarkan fatwa tidak dibenarkan hanya didasarkan pada dugaan-dugaan atau suatu kebohongan semata, tanpa didasarkan dalil-dalil yang menguatkannya. Tidak dibenarkan juga dalam


(51)

43

memberikan keputusan hukum sesuai dengan kemauannya hanya untuk memenuhi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

Menurut para ulama ushul fiqh, seorang mufti atau ahli hukum Islam harus mempunyai persyaratan sebagai berikut :

a. Baligh, berakal dan merdeka b. Adil

c. Memenuhi persyaratan seorang Mujtahid atau memilki kapasitas keilmuan untuk memberikan fatwa.37

Untuk memberikan bentuk kehati-hatian dalam memberikan fatwa, imam Ahmad Hambal menyatakan bahwa seseorang tidak pantas untuk mengeluarkan fatwa sebelum pada dirinya terdapat lima hal berikut :38

a. Mempunyai niat yang tulus ikhlas. Maksudnya setiap orang yang mengeluarkan fatwa harus diniatkan “lillahi ta’ala”, tidak karena maksud-maksud lain, apalagi maksud-maksud keduniaan, misalnya agar mendapat kedudukan yang mulia. Karena menurut imam Ahmad, fatwa yang tidak didasari oleh niat ”lillahi ta’ala” tidak mempunyai “nur” (cahaya).

b. Mempunyai ketenangan dan kewibawaan. Karena setiap mufti harus mampu menyampaikan dan menjelaskan fatwanya kepada pihak yang meminta fatwa (mustafti), sehingga fatwanya dipahami secara utuh dan

37

Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedia Hukum Islam. (Jakarta : PT. Ikctiar Baru Van Hoeve, 1996). h.327.

38

Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. (Jakarta : eLSAS Jakarta, Juli 2008). h.30.


(52)

benar. Orang yang tidak mempunyai ketenangan dan kewibawaan akan sulit untuk menyampaikan secara jelas fatwanya.

c. Mempunyai kapasitas kelilmuan yang memadai untuk menetapkan fatwa. Karena seseorang yang mengeluarkan fatwa tanpa didasari oleh keyakinan akan keilmuannya, maka orang tersebut termasuk orang yang membuat-buat hukum dan diancam oleh hadist :

بﻮ أ

ﻰ أ

ْ

ْ

كرﺎ ْا

ْا

ﺎ ﺪ

ﻰ أ

ﺎ ﺪ

ﻰ ﻮ

ْ

هاﺮْإ

ﺎ ﺮ ْﺧأ

ﺮ ْ

ﻰ أ

ْ

ا

ﺪْ

ْ

ا

لﻮ ر

لﺎ

لﺎ

ﷲا

-:

»

ﺎ ْ ْا

ْ آؤﺮْ أ

رﺎ ا

ْ آؤﺮْ أ

«

).

رﺪ ا

بﺎ ﻜ ا

(

39

d. Mempunyai kecukupan dalam penghidupannya. Karena jika tidak mempunyai penghidupan yang cukup dikhawatirkan menggantungkan hidupnya dari berfatwa yang bisa menjadikannya tidak independent dalam berfatwa.

e. Memiliki kecermatan dan kecerdikan dalam menghadapi masalah. Hal ini sangat dibutuhkan oleh seorang mufti agar tidak terjebak dalam tipu daya orang yang ingin menjadikan fatwa sebagai tempat berlindung dari masalah yang dihadapinya.

Ada beberapa metode yang dijadikan pedoman dalam penetapan fatwa. Adapun metode-metode tersebut adalah sebagai berikut :40

39

Kitab Sunan Al-Darami. Dalam Maktabah Syamilah. Juz: 1, h.179.

40

Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. (Jakarta : eLSAS Jakarta, Juli 2008). h.44.


(53)

45

a. Metode Bayani (Analisa Kebahasaan)

Metode ini dipergunakan untuk memperjelaskan teks Al-Quran dan As-Sunnah dalam menetapkan hukum dengan menggunakan analisa kebahasaan. Yang dimaksud dengan kaidah kebahasaan adalah kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para ahli bahasa dan kemudian diadopsi oleh para ulama ushul fiqh untuk melakukan pemahaman terhadap makna lafadz sebagai hasil analisa induktif dari tradisi kebahwaan bangsa Arab sendiri.

Pembahasaan metode bayani ini dalam kajian ushul fiqh mencakup : 1). Analisa berdasarkan segi makna lafadz

2). Analisa berdasarkan segi pemakian makna.

3). Analisa berdasarkan segi terang dan samarnya makna.

4). Analisa berdasarkan segi penunjukan lafadz kepada makna menurut maksud pencipta nash.

b. Metode Ta’lili

Metode ini digunakan untuk menggali dan menetapkan hukum terhadap suatu kejadian yang tidak ditemukan dalilnya secara tersurat dalam nash baik secara qath’i maupun dzanni, dan tidak juga ada ijma’ yang menetapkan hukumnya, namun hukumnya tersirat dalam dalil yang ada. Istinbath seperti ini ditujukan untuk menetapkan hukum suatu peristiwa dengan merujuk kepada kejadian yang telah ada hukumnya Karena antara dua peristiwa itu terdapat kesamaan illat hukumnya. Dalam hal ini, mufti menetapkan hukum


(54)

suatu peristiwa berdasarkan pada kejadian yang telah ada nashnya, istinbath jenis ini dilakukan melalui metode qiyas atau istihsan.

Berdasarkan kegunaan praktisnya, illat dapat dibedakan kepada tiga ketegori, yaitu :41

1). Illat tasyr’i, ialah illat yang digunakan untuk menentukan apakah hukum yang dipahami dari nash tersebut memang harus tetap seperti adanya, atau boleh diubah kepada yang lainnya. Dalam illat tasyri’i ini tidak dipersoalkan adanya qiyas atau tidak, karena penekanan kajiannya adalah pada masalah itu sendiri.

2). Illat qiyasi adalah illat yang dipergunakan untuk memberlakukan suatu ketentuan nash pada masalah lain yang secara zahir tidak dicakupnya. Dengan kata lain, illat ini digunakan untuk menjawab pertanyaan apakah nash yang mengatur masalah ”x ”juga berlaku untuk menjawab masalah ”y” (yang secara harfiah tidak dicakupnya, namun di antara kedua masalah tersebut terdapat kesamaan sifat). Sifat yang sama inilah yang disebut illat.

3). Illat Istihsani yaitu pengecualian maksudnya mungkin saja ada

pertimbangan khusus yang menyebabkan illat tasyri’i tadi tidak dapat berlaku terhadap masalah yang seharusnya ia cakup, atau begitu juga qiyas tidak dapat diterapkan karena ada pertimbangan khusus yang

41

Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. (Jakarta : eLSAS Jakarta, Juli 2008). h.46-47.


(55)

47

menyebabkannya dikecualikan. Dengan demikian illat kategori ini mungkin ditemukan sebagai pengecualian dari yang pertama, sebagimana mungkin juga pengecualian dari kategori yang kedua. Yang membedakan ketiga pengelompokan illat ini hanyalah kegunaannya dan intensitas persyaratannya.

c. Metode Istishlahi

Metode ini dipergunakan untuk menggali, menemukan dan merumuskan hukum syara’ dengan cara menerapkan hukum kulli untuk peristiwa yang ketentuan hukumnya tidak terdapat dalam nash baik qath’i maupun dhanni dan tidak memungkinkan mencari kaitannya engan nash yang ada, belum diputuskan dengan ijma’ dan tidak memungkinkan dengan qiyas atau istihsan. Jadi dasar pegangan dalam ijtihad bentuk ini hanyalah jiwa hukum syara’ yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dalam bentuk mendatangkan manfaat (jalb al-manfaat) ataupun menolak kerusakan (dar u al-mafasid) dalam rangka memelihara agama, kehidupan, akal, keturunan dan harta.42

Lebih jauh para ualam telah membuat tiga ketegori kemaslahatan yang menjadi sarana semua perintah dan larangan Allah SWT, yaitu dharuriyyah, hajiyat dan tahsiniyat.

42

Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. (Jakarta : eLSAS Jakarta, Juli 2008). h.48.


(56)

Penalaran yang dipakai menggunakan ayat-ayat atau hadis-hadis yang mengandung konsep umum sebagai dalil atau sandarannya. Biasanya penalaran ini dilakuakn kalau masalah yang akan diidentifikasikan tersebut tidak dapat dikembalikan kepada suatu ayat atau hadist tertentu secara khusus. Dengan kata laintidak ada bandingan yang tepat dari zaman Nabi yang bias digunakan. Contohnya seperti aturan membuat SIM (Surat Ijin Mengemudi) tidak ada bandingannya dari sunnah Nabi. Tetapi mengatur maslah baru tersebut, baik menerima atau menolaknya adalah perlu karena menyangkut hajat dan kepentingan orang banyak.

Cara kerjanya, ayat dan hadis tersebut digabungkan satu sama lain, sehingga kesimpulannya adalah merupakan sebuah “prinsip umum”. Prinsip umum ini dideduksikan pada persoalan-persoalan yang ingin diselesaikan tadi.


(57)

BAB III

GAMBARAN UMUM TENTANG BANK BNI SYARIAH A. Sejarah Berdirinya Bank BNI Syariah

1. Profil Bank BNI Syariah

Sistem Syariah yang terbukti dapat bertahan dalam tempaan krisis moneter 1997, meyakinkan masyarakat bahwa sistem tersebut kokoh dan mampu menjawab kebutuhan perbankan yang transparan. Berdasarkan hal itu dan mengacu pada UU No 10 Tahun 1998, mulailah PT Bank Negara Indonesia (Persero ) merintis Divisi Usaha Syariah.

Selain adanya demand dari masyarakat terhadap perbankan syariah, untuk mewujudkan visinya (yg lama) menjadi “universal banking”, BNI membuka layanan perbankan yang sesuai dengan prinsip syariah dengan konsep dual system banking, yakni menyediakan layanan perbankan umum dan syariah sekaligus. Hal ini sesuai dengan UU No. 10 Tahun 1998 yang memungkinkan bank-bank umum untuk membuka layanan syariah.

Di awali dengan pembentukan Tim Bank Syariah di Tahun 1999, Bank Indonesia kemudian mengeluarkan ijin prinsip dan usaha untuk beroperasinya unit usaha syariah BNI. Setelah itu BNI Syariah menerapkan strategi pengembangan jaringan cabang, syariah sebagai berikut :


(58)

a. Tepatnya pada tanggal 29 April 2000 BNI Syariah membuka 5 kantor cabang syariah sekaligus di kota-kota potensial, yakni : Yogyakarta, Malang, Pekalongan, Jepara dan Banjarmasin.

b. Tahun 2001 BNI Syariah kembali membuka 5 kantor cabang syariah, yang difokuskan di kota-kota besar di Indonesia, yakni : Jakarta (dua cabang), Bandung, Makassar dan Padang.

c. Seiring dengan perkembangan bisnis dan banyaknya permintaan masyarakat untuk layanan perbankan syariah, Tahun 2002 lalu BNI Syariah membuka dua kantor cabang syariah baru di Medan dan Palembang .

d. Di awal tahun 2003, dengan pertimbangan load bisnis yang semakin meningkat sehingga untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, BNI Syariah melakukan relokasi kantor cabang syariah di Jepara ke Semarang. Sedangkan untuk melayani masyarakat Kota Jepara, BNI Syariah membuka Kantor Cabang Pembantu Syariah Jepara.

e. Pada bulan Agustus dan September 2004, BNI Syariah membuka layanan BNI Syariah Prima di Jakarta dan Surabaya. Layanan ini diperuntukan untuk individu yang membutuhkan layanan perbankan yang lebih personal dalam suasana yang nyaman.

Dari awal beroperasi hingga kini, BNI Syariah menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Asset meningkat dari Rp. 160 Milyar di Tahun 2001 menjadi 460


(59)

Milyar di Tahun 2002. Seiring dengan itu kinerja usaha juga mengalami peningkatan dengan pencapaian laba sebesar Rp. 7,2 Milyar dibanding tahun 2001 yang masih rugi sebesar 3,1 Milyar. Dana pihak ketiga meningkat sebesar 88% dari tahun 2001 menjadi Rp. 205 Milyar. Pembiayaan juga meningkat 163% menjadi 292,9 Milyar.

Data di atas menunjukkan bahwa perbankan syariah memiliki prospek yang baik dan akan terus berkembang di masa yang akan datang. Pada akhir tahun 2003 dana pihak ketiga meningkat 97.56% menjadi Rp405 milyar, pembiayaan meningkat sebesar 67.57% menjadi Rp490milyar sedangkan laba mencapai peningkatan sebesar 281.39% menjadi Rp.27.46 milyar. Pada tahun 2004 BNI Syariah mendapatkan penghargaan The Most Profitable Islamic Bank untuk yang kedua kalinya, penghargaan ini berdasarkan penilaian oleh Karim Business Consulting bekerja sama dengan Majalah Manajemen dan PPM.

2. Tujuan Pendirian Bank BNI Syariah

Tujuan pendirian Bank BNI Syariah tercermin dalam visi dan misi Bank BNI Syariah. Adapun visi dan misi Bank BNI Syariah adalah sebagai berikut :

- Visi. Menjadi Bank Syariah yang unggul dalam layanan dan kinerja dengan menjalankan bisnis sesuai kaidah sehingga insya Allah membawa berkah.


(60)

- Misi. Secara istiqomah melaksanakan amanah untuk memaksimalkan kinerja dan layanan perbankan dan jasa keuangan syariah sehingga dapat menjadi bank syariah kebanggaan anak negeri.

Bank BNI Syariah mengembangkan misinya untuk meningkatkan kualitas dan kredibelitas bank, diantaranya adalah :

a. Melaksanakan operasional perbankan yang berdasarkan dengan prinsip syariah Islam.

b. Memberikan mutu pelayanan yang unggul kepada nasabah dengan system for end dan otomasi online .

c. Meningkatkan kualitas bisnis di segmen pasar usaha ritel.

d. Memberikan kontribusi laba nyata terhadap laba BNI secara keseluruhan.

B. Produk Bank BNI Syariah

1. Produk Inovatif Sesuai Syariah

BNI Syariah menjalankan operasional bank berdasarkan prinsip syariah, seperti jual beli dan bagi hasil serta memiliki beragam produk dan jasa perbankan yang mampu memenuhi berbagai kebutuhan nasabah. BNI Syariah menyadari bahwa masyarakat yang menghendaki layanan syariah tidak terbatas pada masyarakat muslim namun juga dibutuhkan oleh seluruh golongan masyarakat yang menghendaki layanan dan fasilitas perbankan yang nyaman, adil, dan


(61)

modern. Untuk itulah BNI Syariah senantiasa melakukan peningkatan kualitas produk, baik produk dana maupun pembiayaan serta terus menerus melakukan penyempurnaan pada fitur-fiturnya.

Dalam perjalanan usaha terkadang pengusaha menghadapi tantangan yang membutuhkan kecepatan pengambilan keputusan, dimana keputusan tersebut membutuhkan dukungan modal. Untuk menangkap peluang emas tersebut BNI Syariah menyediakan pembiayaan yang dijalankan dengan prinsip syariah dengan target win-win solution.

a. BNI iB Wirausaha

BNI iB Wirausaha (iB diabaca aibi, = islamic Banking) ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan usaha Anda, dengan besarnya pembiayaan dari Rp 50 juta sampai dengan Rp 500 juta yang diproses lebih cepat dan fleksibel sesuai dengan prinsip syariah. Jenis akad yang digunakan adalah sebagai berikut :

Murabahah adalah prinsip jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati antara bank sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli.


(62)

Mudharabah adalah kerjasama antara pihak bank sebagai penyedia dana 100 % sedangkan nasabah menjadi pengelola dana dengan keuntungan dibagi menurut kesepakatan nisbah bagi hasil.

Musyarakah adalah kerjasama dalam penyertaan modal antara pihak bank dan nasabah dengan keuntungan dibagi menurut kesepakatan nisbah bagi hasil.

Keunggulan Akad yang digunakan adalah sebagai berikut :

1) Proses lebih cepat dengan persyaratan mudah sesuai dengan prinsip syariah.

2) Jangka waktu pembiayaan sampai dengan 7 tahun. 3) Mendapatkan perlindungan asuransi jiwa gratis.

4) Pembayaran angsuran melalui debet rekening secara otomatis dan dapat dilakukan di seluruh kantor cabang BNI.

Persyaratan Umum untuk menjadi nasabah pembiayaan :

1) Usaha telah berjalan minimal 1 tahun, dan usaha sesuai syariah 2) Mengisi formulir aplikasi dengan melampirkan fotocopy. 3) KTP suami/isteri dan kartu keluarga.

4) Surat Nikah. 5) NPWP.


(1)

Waktu FLAT Rupiah Valas

1 tahun 8.25 % 4.50 %

2 tahun 8.50 % 4.75 %

3 tahun 8.75 % 5.00 %

4 tahun 9.00 % 5.25 %

< 5 tahun 9.25 % 5.50 %

Tarif Marjin Minimum Pembiayaan BNI Griya iB

WAKTU FLAT

1-5 tahun 8.50 %

>5-10 tahun 9.50 %

>10-15 tahun 10.50 %

Tarif Marjin Minimum Pembiayaan Multiguna Oto

Waktu FLAT

1 tahun 8.50 %

2 tahun 8.75 %


(2)

4 tahun 9.25 %

5 tahun 9.50 %

Naik-turunnya nilai marjin dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah :

- pengaruh dari persaingan antar bank, baik bank syariah maupun bank konvensional yang menggunakan sistem bunga.

- adanya informasi-informasi pihak lapangan yang mengikuti pergerakan nilai pasar.

- adanya pengaruh kurs mata uang

- adanya pengaruh kondisi ekonomi dalam negeri.

8. Dalam pengambilan keputusan jika terjadi suatu kredit macet, maka pihak bank telah mempunyai beberapa langkah yang akan ditempuhnya, diantaranya adalah sebagai berikut :

- melakukan proses pendekatan kepada pihak nasabah yang bermasalah.

- melakukan proses negoisasi jika pendekatan tidak dapat dilakukan. dalam proses negoisasi ini jika nasabah dengan sengaja tidak membayar maka pihak bank akan memberikan surat teguran (SP) sebanyak 3 kali kepada nasabah. - jika proses negoisasi sudah tidak dapat dilakukan, ada kemungkinan barang

akan dijual dengan adanya surat penarikan barang dari pihak bank.

- jika sudah ditarik maka barang tersebut akan dilelang kepada masyarakat yang ingin membelinya.


(3)

9. Proses Restrukturing terdiri dari beberapa hal. diantaranya yaitu :

a. Penjadwalan kembali piutang. hal ini biasanya dilakukan pada pembiayaan konsumtif.

b. Reconditioning piutang, hal ini dilakukan pada pembiayaan produktif dan pembiayaan konsumtif. Tapi proses reconditioning lebih diarahkan pada pembiayaan produktif.

Pada proses restructuring pembiayaan, pihak bank akan memberikan tenggang waktu yang berbeda-beda kepada nasabah tergantung tingkat kemampuan nasabah untuk melunasi semua sisa hutangnya. Sisa hutang tersebut sudah mencakup nilai harga pokok dan marjin yang telah digabungkan sesuai kesepakatan pada awal perjanjian akad murabahah.

Bank BNI Syariah juga mensyaratkan cara angsuran yang telah direstrukturing pembiayaannya :

- Angsuran sudah termasuk harga pokok dan marjin.

- Tidak diperbolehkan adanya tambahan harga dari harga pokok dalam melakukan structuring atau memberikan tambahan waktu angsurannya, karena didalam fatwa telah dijelaskan tidak boleh adanya tambahan harga.

10.Dalam melakukan proses reconditioning pihak Bank BNI Syariah mengkonversi akad murabahah dengan akad Mudharabah dan Musyarokah. Sedangkan akad Ijaroh Al-Munjahiyah Bit-Tamlik belum diterapkan.

11.Pembatalan kontrak hanya boleh dilakukan oleh pihak bank itu sendiri, sedangkan pihak nasabah tidak boleh membatalkan kontrak. Jika pihak nasabah membatalkan kontrak maka dapat dianggap sebagai pembiayaan macet.


(4)

9 12.Dalam menyelesaikan sengketa atau wanprestasi yang dilakukan oleh pihak

nasabah, maka pihak Bank BNI Syariah akan membawa masalah ini ke Pengadilan Agama. Dan dalam proses eksekusi diserahkan kepada pihak Pengadilan Negeri atau Balai Lelang. Hal ini sudah dijelaskan dalam kontrak perjanjian pembiayaan murabahah.

13.Untuk jumlah pembiayaan yang diberikan oleh Bank BNI Syariah dapat kita lihat pada tabel selanjutnya yang telah dilampirkan dibelakang. Dan penulis memberikan tabel singkat untuk membandingkan besarnya persentase pembiayaan.

Pembiayaan Persentase

Murabahah 76% Mudharabah dan Musyarokah 18%


(5)

ANALISA PENERAPAN FATWA DSN NO. 49/DSN MUI/II/2005 TENTANG KONVERSI AKAD MURABAHAH

PADA BANK BNI SYARIAH PUSAT

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sajana Ekonomi Islam (SEi)

Oleh :

AKHIRUL SHOLEH NIM : 105046101664 Di Bawah Bimbingan

Pembimbing

Dr. Jaenal Arifin, M.Ag NIP : 197210161998031004 KONSENTRASI MUAMALAH

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(6)

PENGESAHAN TIM

PEMBIMBING SEMINAR PROPOSAL SKRIPSI PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)

Tim Pembimbing Seminar Proposal Skripsi Program Studi Muamalat mengesahkan proposal skripsi.

Nama : Akhirul Sholeh

NIM : 105046101664

Konsentasi : Perbankan Syariah

Judul : ”Analisa Penerapan Fatwa DSN No. 49/DSN-MUI/II/2005 Tentang Reconditioning Akad Murabahah Terhadap Tingkat Kredit Macet (Studi Kasus Pada Bank Indonesia)”.

Jakarta, 3 Desember 2009

Disahkan oleh TIM Pembimbing Seminar Proposal Skripsi :

Ketua Dr. Euis Amalia, M.Ag. (……….)

Sekretaris Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag, M.H. (……….)

Pembimbing I Drs. H. Zainal Arifin Yusuf (……….)