Etiologi dan Patogenesis Akne Vulgaris secara Umum 1.Definisi Akne Vulgaris

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Akne Vulgaris secara Umum 2.1.1.Definisi Akne Vulgaris Akne vulgaris adalah penyakit peradangan menahun folikel pilosebasea yang umumnya terjadi pada masa remaja dan dapat sembuh sendiri Wasitaatmadja, 2008. Walaupun akne bisa sembuh sendiri, sekuelnya bisa berlangsung seumur hidup, dengan pembentukan parut yang berlubang atau hipertropi Zaenglein, 2008. Hampir semua orang pernah menderita penyakit ini Wasitaatmadja, 2008. Umumnya insidens terjadi pada sekitar umur 14–17 tahun pada perempuan dan 16-19 tahun pada laki-laki Wasitaatmadja, 2001. Akne derajat ringan terkadang tampak pada kelahiran, mungkin hasil dari stimulasi androgen, dan dapat berlanjut pada periode neonatal Zaenglein, 2008. Penyakit ini sering menjadi manifestasi awal pada spekrum pubertas, dan setahun sebelum menarke pada usia dewasa muda Soter, 1984. Setelah masa remaja kelainan ini berangsung berkurang Wasitaatmadja, 2008. Namun, pada wanita akne dapat menetap sampai dekade 30 atau bahkan lebih Soter, 1984. Meskipun pada pria umumnya akne vulgaris lebih cepat berkurang, justru gejala yang berat biasanya terjadi pada pria Wasitaatmadja, 2008. Diketahui pula bahwa ras Oriental Jepang, Cina, Korea lebih jarang menderita akne vulgaris dibandingkan dengan ras Kaukasia Eropa, Amerika, dan lebih sering terjadi nodulo-kistik pada kulit putih daripada negro Wasitaatmadja, 2008. Pada penelitian, ditemukan bahwa akne lebih berat pada pasien bergenotip XYY Zaenglein, 2008.

2.1.2. Etiologi dan Patogenesis

Penyebab akne tidak diketahui, namun ada informasi yang berkaitan dengan patogenesisnya. Ini merupakan penyakit multifaktorial. Pengetahuan Universitas Sumatera Utara mengenai berbagai faktor yang termasuk dalam penyakit ini penting karena penatalaksanaan mungkin ditujukan pada satu atau lebih faktor penyebab ini Soter, 1984. Diyakini bahwa penyebab akne adalah sekresi berlebihan dari kelenjar sebaseus dengan penyumbatan duktus pilosebaseus dan infeksi bakteri Pasricha, 2002. Kelenjar sebasea terletak di seluruh permukaan kulit manusia kecuali di telapak tangan dan kaki. Kelenjar ini disebut juga kelenjar holokrin karena tidak berlumen dan sekret kelenjar ini berasal dari dekomposisi sel-sel kelenjar. Kelenjar ini biasanya terdapat di samping akar rambut dan muaranya terdapat pada lumen akar rambut. Sebum mengandung trigliserida, asam lemak bebas, skualen, wax ester, dan kolesterol. Sekresi dipengaruhi oleh hormon androgen, pada anak-anak jumlah kelenjar ini sedikit, pada pubertas menjadi lebih besar dan banyak serta mulai berfungsi secara aktif Wasitaatmadja, 2008. Ada empat faktor patogenesis yang diajukan, yaitu perubahan pola keratinisasi dalam folikel, peningkatan produksi sebum yang menyebabkan peningkatan unsur komedogenik dan inflamatogenik, terbentuknya fraksi asam lemak bebas penyebab terjadinya inflamasi dan kekentalan sebum, dan peningkatan jumlah flora folikel yang berperan dalam kemotaksis inflamasi Wasitaatmadja, 2001. Akne berkembang dalam folikel sebaseus. Folikel-folikel ini terbuka ke permukaan dengan lubang folikular berdilatasi besar yang dinamakan pori-pori kulit wajah. Kanal folikular mengandung bahan keratin dan dinding kanal, sebum dari kelenjar sebaseus, dan bermacam flora mikroba. Semua ini berperan dalam patogenesis penyakit Soter, 1984. Perubahan awal yang terjadi adalah deskuamasi korneum pada folikel sebaseus yang menyebabkan pembentukan plak Fleischer, 2000. Terjadi perubahan pola keratinisasi di infrainfundibulum Soter, 1984. Tidak diketahui penyebab hiperproliferasi keratinosit. Namun, ada beberapa faktor yang memicu hiperproliferasi keratinosit, antara lain: stimulasi androgen, penurunan asam linoleat, dan peningkatan aktivitas interleukin- 1α. Hormon androgen mungkin berperan pada keratinosit folikular dalam menstimulasi terjadinya hiperproliferasi. Universitas Sumatera Utara Proliferasi keratinosit folikular juga mungkin diatur oleh asam linoleat. Diketahui bahwa terjadi penurunan asam linoleat pada penderita akne. IL-1 juga berperan dalam hiperproliferasi keratinosit. Keratinosit folikular manusia menunjukkan hiperproliferasi dan pambentukan mikrokomedo saat IL-1 ditambahkan, sedangkan reseptor antagonis IL-1 menghambat pembentukan mikrokomedo Zaenglein, 2008. Hiperproliferasi epidermal folikular menghasilkan pembentukan lesi primer, yaitu mikrokomedo Zaenglein, 2008. Normalnya, keratinous squamae di kanal folikular tersusun jarang. Pada lesi awal yang berupa mikrokomedo, bahan keratin menjadi lebih padat. Sel mikrokomedo lebih koheren dan mengandung bahan amorfik, yang mungkin terbentuk dari lipid selama proses keratinisasi Soter, 1984. Sel ini berlebihan dan melekat sehingga menghasilkan plak di lubang folikular. Plak ini kemudian menyebabkan konsentrasi keratin, sebum, dan bakteri terkumpul di dalam folikel. Konsentrasi yang terbungkus ini menyebabkan dilatasi folikel rambut atas Zaenglein, 2008. Jika muncul dalam waktu yang lama, plak dapat menjadi komedo Fleischer, 2000. Komedo adalah massa abnormal keratin dan sebum di dalam lubang folikular yang membesar. Komedo membesar sampai titik dimana paksaan mekanik sederhana mampu menghancurkan dinding epidermal folikular, membiarkan keratin dan sebum masuk ke korium sebagai benda asing. Ini menghasilkan folikulitis dalam keparahan yang beragam, mulai dari area eritem sampai lesi papulopustular purulen. Pillsburry, 1960. Hal kedua yang berperan dalam patogenesis akne adalah produksi sebum yang berlebihan pada kelenjar sebaseus Zaenglein, 2008. Pasien akne biasanya memiliki kelenjar sebaseus yang lebih besar dan memproduksi lebih banyak sebum daripada orang tanpa akne. Namun, pasien dengan kulit yang sangat kering juga mungkin bisa memiliki akne Fleischer, 2000. Pada suatu kelompok, didapati pula bahwa pasien dengan akne memproduksi lebih banyak sebum daripada orang normal, dan pasien dengan akne berat memproduksi lebih banyak sebum daripada yang memiliki akne sedang. Namun, ada perbedaan produksi sebum pada dalam kelompok pasien dengan akne, yang menujukkan bahwa Universitas Sumatera Utara penyakit ini tidak hanya berkaitan dengan aktivitas kelenjar sebaseus Soter, 1984. Trigliserida, yang merupakan komponen pembentuk sebum, berperan dalam patogenesis akne. Trigliserida diuraikan menjadi asam lemak bebas oleh P. acnes, flora normal yang terdapat di unit pilosebaseus. Asam lemak bebas ini mengawali kolonisasi P. acnes, menyebabkan inflamasi, dan bisa menjadi komedogenik. Hormon androgen juga berpengaruh dalam produksi sebum. Sama seperti aksinya di keratinosit infundibular folikular, hormon androgen berikatan dan mempengaruhi aktivitas sebosit. Pasien akne memiliki tingkat androgen yang lebih tinggi daripada yang tidak menderita akne. 5α-reductase, enzim yang bertanggung jawab mengubah testosteron menjadi DHT yang poten, memiliki aktivitas paling besar di area yang rentan terjadi akne, seperti wajah, leher, dan punggung Zaenglein, 2008. Ada banyak fakta yang menunjukkan bahwa sebum berperan dalam patogenesis penyakit ini, antara lain: sebum itu komedogenik, sebum menyebabkan inflamasi ketika disuntikkan ke dalam kulit, akne muncul pada masa neonatal ketika kelenjar sebaseus berkembang dengan baik, akne muncul sebagai bagian dari spektrum pubertal pada saat perkembangan kelenjar sebaseus muncul, dan akne bisa dikontrol dengan estrogen dan x-ray, yang dapat menghambat kelenjar sebaseus Soter, 1984. Beberapa penelitian menunjukkan sebum dari pasien akne berbeda dari individu normal. Umumnya, tidak ada pola perubahan tetap yang telah diteliti. Namun, ditunjukkan bahwa ada penurunan yang signifikan pada level asam linoleat dalam sebum. Normalnya, terdapat kurang dari 1 persen asam linoleat di lipid permukaan kulit. Penurunan jumlah asam lemak esensial ini mungkin terlibat dalam penyakit ini Soter, 1984. Jumlah asam linoleat dapat menjadi normal setelah penatalaksanaan dengan isotretinoin. Level subnormal asam linoleat dapat menginduksi hiperproliferasi keratinosit folikular dan menyebabkan sitokin pro- inflamatorik. Diperkirakan juga bahwa jumlah asam linoleat yang dihasilkan pada penderita akne sebenarnya dalam kadar yang normal, tetapi terlarut oleh produksi sebum yang berlebihan Zaenglein, 2008. Universitas Sumatera Utara Selanjutnya, yang berperan dalam patogenesis akne adalah proses inflamasi. Pada saat pertumbuhan bakteri sekunder muncul di komedo, folikular yang ruptur dapat membiarkan bakteri masuk ke lapisan dermis, menyebabkan perubahan inflamatorik yang lebih parah Pillsbury, 1960. Tipe sel predominan dalam 24 jam dari rupturnya komedo adalah limfosit. CD4 + limfosit ditemukan di sekitar unit pilosebaseus dimana sel CD8 + ditemukan di perivaskular. Satu atau dua hari setelah ruptur komedo, neutrofil menjadi tipe sel predominan yang mengelilingi mikrokomedo yang pecah Zaenglein, 2008. Awalnya diperkirakan bahwa inflamasi mengikuti pembentukan komedo, tetapi ada bukti baru bahwa mungkin inflamasi dermal yang sebenarnya mengawali pembentukan komedo. Biopsi yang diambil dari kulit bebas komedo dan rentan akne, menunjukkan peningkatan inflamasi dibandingkan kulit normal. Biopsi dari komedo yang baru terbentuk menunjukkan inflamasi yang bahkan lebih besar. Dibutuhkan penelitian yang lebih lanjut mengenai kejadian ini Zaenglein, 2008. Elemen terakhir dalam patogenesis akne adalah Propriobacterium acnes, yang juga berperan dalam proses inflamasi Zaenglein, 2008. Organisme predominan pada flora folikular adalah Propriobacterium acnes. Pada usia 11 sampai 15 tahun, tidak ditemukan P. acnes pada pasien tanpa akne, sedangkan pada pasien akne ditemukan 114.800 P. acnes per cm 2 . Perbedaan yang serupa ditemukan pada grup usia 16 sampai 20 tahun, tetapi pada individu yang lebih tua jumlah organisme sama pada pasien dengan atau tanpa akne Soter, 1984. Pasien dengan akne berat memiliki titer antibodi yang paling tinggi. Antibodi antipropionibacterium memperparah respon inflamasi dengan cara mengaktifkan komplemen, yang kemudian mengawali kejadian pro-inflamatorik Zaenglein, 2008. P. acnes juga menyebabkan inflamasi dengan merangsang respon hipersensitifitas tipe lambat dan dengan produksi enzim lipase, protease, hialuronidase, dan faktor kemotaktik. Selain itu, P. acnes diketahui merangsang upregulation dari sitokin dengan berikatan pada Toll-like receptor 2 pada monosit dan sel-sel polimorfonuklear yang mengelilingi folikel sebaseus. Setelah berikatan Universitas Sumatera Utara dengan Toll-like receptor 2, sitokin pro-inflamatorik seperti IL-1, IL-8, IL-12, dan faktor nekrosis tumor- α dilepaskan Zaenglein, 2008. Walaupun stafilokokus, mikrokokus, dan jamur juga ditemukan di folikel, tidak ada bukti bahwa mereka berperan dalam proses terjadinya akne Soter, 1984. Keempat elemen dari patogenesis akne tersebut merupakan langkah yang terjalin dalam pembentukan akne. Bermacam penatalaksanaan akne tertuju pada elemen yang berbeda dalam patogenesis akne. Dengan mengerti mekanisme aksi pilihan penatalaksanaan dalam merawat akne akan membantu meyakinkan hasil terapeutik yang lebih baik Zaenglein, 2008.

2.1.3. Manifestasi Klinis