Kajian Konsentrat Protein Ulat Hongkong (Tenebrio Molitor L) Sebagai Bahan Pakan Sumber Protein Pengganti Meat Bone Meal Pada Broiler

KAJIAN KONSENTRAT PROTEIN ULAT HONGKONG
(Tenebrio molitor L) SEBAGAI BAHAN PAKAN SUMBER
PROTEIN PENGGANTI MEAT BONE MEAL
PADA BROILER

YULI PURNAMAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Konsentrat
Protein Ulat Hongkong (Tenebrio molitor L) sebagai Bahan Pakan Sumber Protein
Pengganti Meat Bone Meal pada Broiler adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2017

Yuli Purnamawati
NIM D251150

RINGKASAN
YULI PURNAMAWATI. Kajian Konsentrat Protein Ulat Hongkong
(Tenebrio molitor L) sebagai Bahan Pakan Sumber Protein Pengganti Meat Bone
Meal pada Broiler. Dibimbing oleh NAHROWI dan SUMIATI.
Bahan pakan untuk unggas masih banyak hasil impor, khususnya bahan
pakan sumber protein seperti bungkil kedelai, tepung ikan dan meat bone meal
(MBM). Tingginya harga tepung ikan berdampak pada penggunaan MBM yang
merupakan produk 100% impor, sehingga diperlukan bahan alternatif lain yang
berpotensi dan dapat menggantikan penggunaan MBM. Penggunaan serangga
dibeberapa negara Eropa maupun Asia sudah banyak diaplikasikan tidak hanya
sebagai pakan ternak, tetapi sudah mulai dikonsumsi manusia, salah satunya adalah
ulat hongkong (Tenebrio molitor L). Ulat hongkong adalah larva dari kumbang
beras yang memiliki nutrien cukup tinggi, seperti protein kasar 47.2-60.3% dan

lemak 31.1-43.1%. Selain nutrien yang tinggi, ulat hongkong memiliki siklus hidup
yang pendek dan mudah dalam memproduksinya. Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa penggunaan ulat hongkong dalam pakan mampu memperbaiki
performa ayam broiler dan tidak menimbulkan dampak negatif.
Tujuan penelitian ini adalah mengkaji ulat hongkong yang telah diekstrak
lemaknya menjadi konsentrat protein sehingga dapat menjadi bahan pakan sumber
protein pengganti meat bone meal yang mampu menghasilkan performa dan
kualitas karkas ayam broiler. Penelitian ini menggunakan 2 perlakuan yaitu R0,
pakan mengandung meat bone meal dan R1, pakan mengandung konsentrat protein
ulat hongkong. Variabel yang diamati dalam penelitian ini yaitu sifat fisik dan kimia
konsentrat protein ulat hongkong, net protein utilization (NPU), performa
(konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, bobot badan akhir, konversi pakan dan
mortalitas), persentase potongan komersil, meat bone ratio and persentase potongan
non carcass ayam broiler.
Hasil penelitian menunjukkan konsentrat protein ulat hongkong memiliki
ukuran partikel yang tergolong kasar dengan kandungan nutrien yang cukup tinggi
seperti protein kasar 54.73%. Selain itu, konsentrat protein ulat hongkong
mengandung asam amino lengkap dengan skor kimia sebesar 13.27% dan indeks
asam amino esensial sebesar 20.18%. NPU konsentrat protein ulat hongkong
sebesar 38.87%, lebih rendah bila dibandingkan NPU meat bone meal yaitu 57.68%.

Performa ayam broiler yang diberi konsentrat protein ulat hongkong
cenderung lebih tinggi bila dibandingkan dengan meat bone meal. Bobot badan
akhir ayam broiler yang diberi ransum mengandung konsentrat protein ulat
hongkong sebesar 1644.50 g/ekor dengan persentase dada 3.29% lebih tinggi
dibandingkan penggunaan meat bone meal dalam ransum broiler.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah penggunaan 5% konsentrat protein
ulat hongkong dalam pakan broiler mampu menyamai penggunaan 5% meat bone
meal dalam menghasilkan performa dan kualitas karkas khususnya persentase dada
ayam broiler. Konsentrat protein ulat hongkong dapat direkomendasikan sebagai
pengganti meat bone meal dalam pakan broiler
Kata kunci : broiler, konsentrat protein, meat bone meal, performa, ulat hongkong.

SUMMARY
YULI PURNAMAWATI. Study of Protein Concentrate of Mealworm
(Tenebrio molitor L) as Feed Protein Source Substitution of Meat Bone Meal of
Broiler. Supervised by NAHROWI and SUMIATI.
Feedstuff for poultry was mostly imported, especially feed protein sources
such as soybean meal, fish meal and meat bone meal (MBM). High prices of the
fish meal also responsible for increasing the demand of MBM. Meat bone meal
100% imported. Therefore it was essential to look for alternative MBM. The use of

insects in some countries of Europe and Asia has been widely applied not only as
animal feed, but also for human consumption, one of that is a mealworm (Tenebrio
molitor L). Mealworm is the larva of the rice beetle, has a high nutrient, such as
crude protein 47.2-60.3% and 31.1-43.1% fat. In addition to high nutrient,
mealworm has a short life cycle and easy to produce. Some studies suggested that
the use mealworm in the ration was able to improve the performance of broilers and
did not cause negative impacts.
The purpose of this research was to study the extraction of mealworm fat to
be a protein concentrate, so it can be used as feed protein source to replace meat
bone meal which is capable of increasing the performance and carcass quality of
broiler chickens. This study uses two treatments, they were R0 = ration containing
5% MBM and R1 = ration containing 5% protein concentrate of mealworm. The
variables observed were the physical and chemical properties of protein
concentrates of mealworm, net protein utilization (NPU), performance (feed intake,
body weight, final body weight, feed conversion and mortality), the percentage of
carcass traits, meat bone ratio and the percentage of noncarcass of broiler.
The results show that a protein concentrate of mealworm have a relatively
coarse particle size and nutrient content was quite high as 54.73% crude protein. In
addition, the protein concentrate of mealworm containing amino acid with a
chemical score of 13.27% and the index of essential amino acids at 20.18%. NPU

of protein concentrate of mealworm at 38.87%, lower than the NPU of meat bone
meal was 57.68%.
The performance of broiler chickens with feed diet containing 5% protein
concentrate of mealworm tend to be higher when compared with meat bone meal.
Final body weight of broiler chickens was given feed containing protein concentrate
of mealworm was 1644.50 g / bird with breast meat percentage 3.29% higher
compared to the use of meat bone meal in broiler rations.
The conclusion of this study was protein concentrates of mealworm has
similar quality with MBM to increase performance and carcass quality especially
the percentage of broiler breast meat. Protein concentrate of mealworm can be
recommended as a substitute for meat bone meal in broiler diet.
Key words: broiler, mealworm, meat bone meal, performance, protein concentrate

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

KAJIAN KONSENTRAT PROTEIN ULAT HONGKONG
(Tenebrio molitor L) SEBAGAI BAHAN PAKAN SUMBER
PROTEIN PENGGANTI MEAT BONE MEAL
PADA BROILER

YULI PURNAMAWATI

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof Dr Ir Erika B Laconi, MS

PRAKATA
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas
segala nikmat dan karunia-Nya karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul dari
karya ilmiah ini adalah Kajian Konsentrat Protein Ulat Hongkong (Tenebrio
molitor L) sebagai Bahan Pakan Pengganti Meat Bone Meal pada Broiler. Tesis ini
disusun dalam rangka penyelesaian studi Program Magister Sains (S2) pada
Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan (INP) Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Bagian dari tesis ini telah diseminarkan pada seminar interrnasional ke-3
ASEAN Regional Conference on Animal Production di Malang pada tanggal 19-21
Oktober 2016 dengan judul Effect of Subtitution of Meat Bone Meal with Protein
Concentrate of Mealworm (Tenebrio molitor L) on Performance of Broiler.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof Dr Ir Nahrowi MSc dan Prof
Dr Ir Sumiati MSc selaku pembimbing tugas akhir yang telah banyak memberikan
bimbingan, saran, motivasi dan segala bentuk bantuan materi maupun moral
sehingga penelitian tesis ini dapat diselesaikan. Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada Prof Dra R Iis Arifiantini MS selaku moderator seminar dan Prof Dr
Ir Erika Budiarti Laconi MS selaku penguji pada ujian tesis penulis atas saran dan

masukan yang sangat bermanfaat bagi penulis. Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang telah memberikan
kesempatan sebagai penerima Beasiswa Tesis Dalam Negeri pada tahun 2016, juga
kepada KEMDIKBUD karena telah memberikan kesempatan sebagai penerima
Beasiswa Unggulan 2016. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih terdalam
kepada Ayahanda Mulyono dan Ibunda Marhani yang selalu memberikan doa,
kasih sayang, kesabaran, nasehat, bimbingan moral maupun materi yang tiada henti
kepada penulis. Terima kasih kepada mas Dani, mas Wahyu, mbak Veni, Bayu dan
semua keluarga besar atas dukungan doa dan semangatnya. Terima kasih kepada
ibu Prof Dr Ir Yuli Retnani MSc sebagai ketua program studi Ilmu Nutrisi dan
Pakan beserta staf dan pegawai Pascasarjana Ilmu Nutrisi dan Pakan atas segala
bantuan dan bimbingannya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada sahabat
dan teman-teman SINERGI 2014, INP 2014, INP 2015 dan Pondok Annisa atas doa
dan dukungannya. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada teknisi dan pegawai
Laboratorium Nutrisi Ternak Unggas dan Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan
atas kerjasama dan bantuannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk masa depan.

Bogor, Februari 2017


Yuli Purnamawati

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI

xi

DAFTAR TABEL

xii

DAFTAR GAMBAR

xii

DAFTAR LAMPIRAN

xii

1 PENDAHULUAN


1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

2 METODE

3

Waktu dan Lokasi


3

Alat

3

Bahan

3

Perlakuan Penelitian

4

Prosedur Percobaan

5

Prosedur Pengukuran Parameter

7

Peubah yang Diamati

11

Rancangan Percobaan dan Analisis Data

12

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat Fisik, Kimia dan Asam Amino Konsentrat Protein Ulat Hongkong
(Tenebrio molitor L)

12
12

Evaluasi Kualitas Protein pada Konsentrat Protein Ulat Hongkong (Tenebrio
molitor L)
15
Pengaruh Perlakuan terhadap Performa Ayam Broiler

16

Pengaruh Perlakuan terhadap Bobot dan Persentase Bagian Karkas Ayam
Broiler

18

Pengaruh Perlakuan terhadap Meat Bone Ratio Ayam Broiler

19

Pengaruh Perlakuan terhadap Bobot dan Persentase Non Karkas Ayam Broiler
21
4 SIMPULAN DAN SARAN

22

Simpulan

22

Saran

22

DAFTAR PUSTAKA

23

LAMPIRAN

26

RIWAYAT HIDUP

30

DAFTAR TABEL
1. Susunan dan kandungan nutrien ransum perlakuan NPU.
4
2. Susunan dan kandungan nutrien ransum perlakuan (starter dan finisher)
5
3. Sifat fisik konsentrat protein ulat hongkong (Tenebrio molitor L) dan meat bone

meal
12
4. Kandungan asam amino konsentrat protein ulat hongkong (Tenebrio molitor L)
dan meat bone meal
14
5. Pertambahan bobot badan dan konsumsi ransum ayam selama 17 hari perlakuan
NPU
15
6. Rataan N karkas, konsumsi N serta nilai NPU
16
7. Performa ayam broiler selama perlakuan (umur 1-35 hari)
17
8. Bobot dan persentase bagian karkas ayam broiler umur 35 hari
18
9. Meat Bone Ratio pada bagian dada dan paha ayam broiler
20
10. Bobot dan persentase non karkas ayam broiler umur 35 hari
21

DAFTAR GAMBAR
1. Proses Ekstraksi (Meeker dan Hamilton 2006)
2. Ulat Hongkong
3. Metode pengukuran sudut tumpukan (Khalil 1999)

6
6
8

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.

Hasil T-test konsumsi ayam broiler umur 35 hari
Hasil T-test bobot badan akhir ayam broiler umur 35 hari
Hasil T-test PBB ayam broiler umur 35 hari
Hasil T-test FCR ayam broiler umur 35 hari
Hasil T-test persentase karkas ayam broiler umur 35 hari
Hasil T-test persentase dada ayam broiler umur 35 hari
Hasil T-test persentase paha ayam broiler umur 35 hari
Hasil T-test persentase punggung ayam broiler umur 35 hari
Hasil T-test persentase sayap ayam broiler umur 35 hari
Hasil T-test persentase daging dada ayam broiler umur 35 hari
Hasil T-test persentase tulang dada ayam broiler umur 35 hari
Hasil T-test persentase daging paha ayam broiler umur 35 hari
Hasil T-test persentase tulang paha ayam broiler umur 35 hari
Hasil T-test persentase darah ayam broiler umur 35 hari
Hasil T-test persentase bulu ayam broiler umur 35 hari
Hasil T-test persentase kepala ayam broiler umur 35 hari
Hasil T-test persentase kaki ayam broiler umur 35 hari

27
27
27
27
27
27
27
28
28
28
28
28
28
28
29
29
29

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Industri peternakan saat ini terus mengalami peningkatan, karena masyarakat
mulai sadar akan pentingnya sumber protein hewani seperti telur, susu dan daging.
Salah satu sumber protein hewani yang cukup digemari oleh masyarakat di
Indonesia adalah daging ayam. Daging ayam merupakan produk unggas yang
mengandung nilai gizi dan daya cerna tinggi, serta mudah dalam pengolahan. Pada
tahun 2012 konsumsi daging ayam di Indonesia mencapai 3.65 kg perkapita
pertahun, meningkat menjadi 3.74 kg perkapita pertahun pada tahun 2013 dan pada
tahun 2014 kosumsi daging ayam mencapai 4.13 kg perkapita pertahun (BPS 2015).
Konsumsi ini akan terus meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk. Akan
tetapi, adanya kendala pakan yang dapat menghabiskan 70-80% dari total biaya
produksi mengakibatkan produksi daging ayam kurang maksimal sehingga
harganya sering berfluktuatif. Bahan pakan unggas umumnya masih impor, salah
satunya bahan pakan sumber protein seperti tepung ikan, bungkil kedelai, dan meat
bone meal (MBM). Tingginya harga tepung ikan akan berdampak pada penggunaan
MBM yang tinggi dan MBM merupakan produk 100% impor dengan level
penggunaan dalam ransum 4-6%. Indonesia dikenal sebagai negara agraris
seharusnya mempunyai potensi besar dalam penyediaan bahan pakan lokal baik
yang berasal dari tanaman maupun hewan sehingga ketersediaan pakan ternak
terjamin dan biaya impor dapat dikurangi. Impor yang terus menerus tentunya akan
mengurangi cadangan devisa negara dan menyebabkan industri nasional rentan
terhadap gejolak kurs, serta jika tidak diatasi akan menjadikan ketergantungan
negara kita terhadap negara lain.
Di Eropa serangga sudah banyak dipergunakan tidak hanya sebagai pakan
ternak tetapi juga konsumsi manusia, sedangkan di Asia seperti Thailand produksi
serangga sudah mulai banyak digunakan sebagai pakan ayam (Durst dan
Hanboonsong 2015). Penelitian Siemianowska et al. (2013) menyebutkan bahwa
serangga berpotensi sebagai sumber makanan yang bergizi tinggi bagi manusia dan
ternak karena mengandung sumber protein yang cukup tinggi seperti yang terdapat
pada ikan dan daging. Makkar et al. (2014) meninjau beberapa penelitian dengan
produk serangga sebagai pakan dan menemukan 24 percobaan (17 dari Afrika, 4
dari Asia dan 3 dari Amerika Serikat) menggunakan larva lalat rumah (maggot
meal) dan 9 penelitian dari India menggunakan silkworm, hasil menunjukkan
bahwa tepung ikan, bungkil kedelai dan bungkil kacang tanah dapat digantikan
hingga 100% dengan protein serangga.
Larva Tenebrio molitor L atau yang lebih dikenal sebagai ulat hongkong
merupakan larva dari kumbang beras. Selain itu, ulat hongkong mempunyai sebutan
khusus yaitu mealworm atau yellow mealworm. Secara ekonomis T.molitor
mempunyai nilai positif, khususnya ketika dalam fase larva sebagai ulat hongkong,
karena mudah diternakan dibandingkan jenis serangga lain dan dijadikan komoditi
yang diperjual-belikan sebagai sumber makanan ikan, reptil, amfibi dan juga
burung. Pada fase dewasa, sebagai kumbang mempunyai nilai negatif karena
merusak biji-bijian dan makanan simpanan manusia (Ramos-Elorduy et al. 2002).
De Foliart et al. (2009) melaporkan bahwa serangga seperti ulat hongkong

2
mengandung nutrien yang cukup unggul meliputi protein, lemak dan karbohidrat.
Kandungan nutrien ulat hongkong diantaranya protein kasar 47.2-60.3%, lemak
kasar 31.1-43.1%, karbohidrat 7.4–15% dan abu 1.0–4.5% (Makkar et al. 2014).
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kandungan protein kasar
ulat hongkong sebesar 45.87 %, lebih tinggi 2.93% dari protein meat bone meal
(MBM) (Purnamawati et al. 2016). Akan tetapi, penggunaan ulat hongkong yang
terlalu tinggi dalam pakan ayam broiler mengakibatkan performa ayam menurun
pada hasil penelitian sebelumnya. Hal ini terlihat dari penggunakan tepung ulat
hongkong pada level 5% mengakibatkan performa ayam menurun, tetapi pada
penggunaan 2.5% tepung ulat hongkong performa ayam broiler sama dengan
penggunaan 5% MBM, begitu juga dengan hasil pengukuran energi metabolisnya.
Energi metabolis ayam broiler dengan ransum 2.5% tepung ulat hongkong sebesar
3282 Kkal kg-1, sedangkan pada pakan 5% MBM 2988 Kkal kg-1 (Nahrowi et al.
2015). Hal tersebut diduga adanya kandungan kitin yang mengikat nutrien tepung
ulat hongkong yaitu protein dan lemak, sehingga tidak termanfaatkan secara
optimal.
Dilakukan sebuah uji coba pengekstraksian terhadap ulat hongkong yang
menghasilkan lemak dan hasil samping berupa konsentrat protein karena
mengandung protein kasar sebesar 54.73% dan serat kasar 8.85%. Amoo et al.
(2006) menyatakan bahan pakan dapat dikatakan sebagai konsentrat protein jika
nutrien selain protein telah dikeluarkan dan mengandung protein kasar lebih dari
20% dan rendah akan serat yaitu dibawah 18%.
Oleh sebab itu merujuk pada hasil tersebut diperlukan adanya teknologi
pengolahan terlebih dahulu yaitu melalui proses ekstraksi pada ulat hongkong agar
menghasilkan bahan pakan sumber protein hewani yang berkualitas dan mampu
bersaing dengan pakan sumber protein lainnya, salah satunya yaitu meat bone meal
(MBM).
Tujuan Penelitian
1. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sifat fisik dan kimia dari konsentrat
protein ulat hongkong (Tenebrio molitor L).
2. Menentukan nilai net protein utilization (NPU) konsentrat protein ulat hongkong
(Tenebrio molitor L) pada ayam broiler.
3. Mengkaji konsentrat protein ulat hongkong (Tenebrio molitor L) sebagai bahan
pakan sumber protein pengganti meat bone meal dalam menghasilkan performa
dan daging ayam broiler yang berkualitas.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah merekomendasikan penggunaan konsentrat
protein ulat hongkong (Tenebrio molitor L) dalam ransum ayam broiler dan
menambah informasi ilmiah tentang kajian ulat hongkong (Tenebrio molitor L)
pada broiler.

3

2 METODE
Waktu dan Lokasi
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2016 sampai dengan September 2016.
Pemeliharaan ayam dilakukan di Laboratorium Lapang (Kandang C), analisis
kandungan nutrien dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan dan
analisis karkas dilakukan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Unggas Fakultas Peternakan
IPB.
Alat
Penelitian ini menggunakan kandang sistem litter beralaskan sekam padi.
Kandang menggunakan tirai yang tidak tertutup sepenuhnya (saat suhu kandang
melebihi batas normal penutup kandang dibuka) sehingga memungkinkan
terjadinya pertukaran udara dengan lancar dan ukuran kandang ini 1 m x 1 m
sebanyak 23 petak. Kandang pada masing-masing petak dilengkapi dengan tempat
pakan dan tempat air minum. Peralatan lain yang digunakan adalah timbangan, tirai,
sapu, thermohigrometer, brooder (pemanas), dan exhaust fan.
Bahan
Penelitian ini menggunakan DOC (Day Old Chick) broiler jantan dengan
merk MB 202 (strain New Lohman) dari PT Japfa Comfeed Indonesia sebanyak 30
ekor untuk uji net protein utilization (NPU) yang terdiri atas 3 perlakuan dengan
masing-masing 10 ekor broiler, sedangkan untuk feeding trial menggunakan 200
ekor yang dibagi ke dalam 2 perlakuan dan 10 ulangan, dimana setiap ulangan
terdiri atas 10 ekor broiler. Ransum yang digunakan untuk pengukuran NPU adalah
ransum yang disusun dari bahan-bahan yang terdiri atas tepung tapioka, tepung gula,
DCP, minyak kelapa sawit, premix, meat bone meal dan konsentrat protein ulat
hongkong. Adapun bahan-bahan yang digunakan untuk feeding trial adalah jagung,
bungkil kedelai, dedak, meat bone meal, konsentrat protein ulat hongkong, CPO,
CaCO3, premix, NaCl, L-Lysin dan DL-Methionin.
Komposisi bahan pakan untuk pengujian NPU disajikan dalam Tabel 1,
terdiri atas ransum starter, pakan bebas protein dan pakan yang akan diuji kualitas
proteinnya. Penyusunan pakan bebas protein sulit untuk dilakukan karena bahan
pakan yang digunakan masih mengandung protein walau sedikit, sehingga diganti
dengan pakan mengandung sangat rendah protein. Komposisi bahan pakan untuk
feeding trial disajikan dalam Tabel 2. Pakan disusun berdasarkan referensi buku
Commercial Poultry Nutrition Leeson dan Summers (2008).

4
Perlakuan Penelitian
P0
P1
P2

R0
R1

Perlakuan untuk pengukuran NPU adalah sebagai berikut.
: Pakan rendah protein kasar (PK)
: Pakan dengan kandungan 10% protein kasar (PK) yang berasal dari meat
bone meal
: Pakan dengan kandungan 10% protein kasar (PK) yang berasal dari
konsentrat protein ulat hongkong
Perlakuan untuk feeding trial adalah sebagai berikut.
: Pakan dengan 5% meat bone meal
: Pakan dengan 5% konsentrat protein ulat hongkong
Tabel 1 Susunan dan kandungan nutrien pakan perlakuan NPU

Pakan rendah protein
Pakan uji
Pakan uji
(P0)
(P1)
(P2)
- - - - - - - - - - - - - - - -- - - -(%)- - - - - - - - - - - - - - - - - Tepung tapioka
58
15
64.3
Tepung gula
29
53.5
6.5
Minyak kelapa sawit
4
2
1.3
Meat bone meal
0
23.3
0
Konsentrat protein
0
0
18.7
ulat hongkong
DCP
3.8
0.5
3.4
Premix
4.8
4.3
4.7
L-Lysin
0
0.6
0.9
DL-Metionin
0
0.4
0.4
Jumlah
100
100
100
Kandungan nutrien* :
Energi
metabolis
3124
3104
3110
-1
(kkal kg )
Protein kasar (%)
2.8
10.2
10.1
Lemak (%)
4.1
7.1
5.5
Serat kasar (%)
0
0.6
2.2
Kalsium (%)
0.9
2.4
0.9
Fosfor (%)
0.7
1.1
0.6
Lisin (%)
0
1.1
1.0
Metionin (%)
0
0.5
0.4
Komposisi bahan

Keterangan : P0 = pakan rendah protein, P1 = pakan dengan kandungan 10% protein dari meat bone
meal, P2 = pakan dengan kandungan 10% protein dari konsentrat protein ulat
hongkong
*Hasil analisis Laboratorium Ilmu Teknologi Pakan (2016)

5
Tabel 2 Susunan dan kandungan nutrien pakan perlakuan (starter dan finisher)
Komposisi bahan

Starter

Finisher

R0
R1
R0
R1
- - - - - - - - - - - - - - - (%) - - - - - - - - - - - - 54.18
54.09
63.77
64.70
3.50
4.00
3.50
3.50
30.81
29.78
20.78
19.69
5
0
5
0

Jagung
Dedak Padi
Bungkil Kedelai
MBM
Konsentrat Protein
0
5
Ulat Hongkong
CPO
4.04
3.00
CaCO3
0.85
1.50
DCP
0.30
1.35
Garam
0.45
0.44
L-Lysin
0.08
0.18
DL-Methionine
0.28
0.22
Premix
0.50
0.50
Total
100
100
Kandungan nutrien (hasil perhitungan) :
Bahan kering (%)
89.63
89.87
Energi metabolis
3050
3050
(kkal kg-1)
Protein kasar (%)
22
22
Lemak (%)
6.94
6.43
Serat kasar (%)
2.82
3.32
Kalsium (%)
0.95
0.97
Fosfor (%)
0.68
0.66
Lisin (%)
1.30
1.30
Methionin (%)
0.65
0.57
Methionin+Sistin
0.95
0.96
(%)

0

5

4.59
0.66
0.45
0.45
0.09
0.21
0.50
100

3.20
1.35
1.33
0.41
0.19
0.13
0.50
100

89.69

89.88

3150

3150

18
7.79
2.76
0.89
0.67
1
0.52

18
6.96
3.22
0.89
0.61
1
0.43

0.76

0.75

Keterangan : R0 = pakan dengan 5 % meat bone meal, R1 = pakan dengan 5 % konsentrat protein
ulat hongkong

Prosedur Percobaan
Pembuatan konsentrat protein ulat hongkong
Ulat hongkong segar dilakukan pembersihan terlebih dahulu dari sisa pakan,
kotoran dan kulit yang terkelupas. Selanjutnya, ulat hongkong diekstrak
menggunakan metode yang dimodifikasi dari Meeker dan Hamilton (2006) dan
Andarwulan et al. (2006) yaitu melalui proses rendering. Ekstraksi dimulai dari
pengukusan dengan suhu 80 - 90◦C selama 40 menit, perbandingan air dengan ulat
hongkong adalah 1:3. Kemudian kukusan ulat hongkong tersebut didinginkan dan
selanjutnya di press menggunakan alat pengepresan untuk mengeluarkan lemak
dari tubuh ulat hongkong tersebut. Hasil samping setelah keluar minyak dari ulat
hongkong tersebut adalah berupa tubuh ulat hongkong yang mengandung protein

6
cukup tinggi. Hasil samping tersebut dikeringkan menggunakan oven bersuhu 60◦C
atau dengan bantuan sinar matahari. Setelah kering, hasil samping tersebut digiling
menjadi tepung.

Gambar 1 Proses Ekstraksi (Meeker dan Hamilton 2006)

Gambar 2 Ulat Hongkong
Sumber : dokumentasi pribadi
Tahapan Pembuatan Pakan
Pembuatan pakan NPU tersusun dari bahan-bahan yang terdiri atas tepung
tapioka, tepung gula, DCP, minyak kelapa sawit, premix, meat bone meal dan
konsentrat protein ulat hongkong. Pemberian pakan tersebut dilakukan ketika ayam
berumur 15 hari, sebelumnya ayam diberi pakan komersil (starter). Adapun bahanbahan yang digunakan untuk feeding trial adalah jagung, bungkil kedelai, dedak,
meat bone meal, konsentrat protein ulat hongkong, CPO, CaCO3, premix, NaCl, LLysin dan DL-Methionin. Pakan tersebut diberikan sejak ayam periode starter
sampai finisher. Penyusunan kebutuhan ransum ayam broiler berdasarkan Leeson
dan Summer (2008).
Tahap Persiapan Pemeliharaan
Kandang dan peralatannya didesinfeksi menggunakan desinfektan. 230 ekor
DOC ayam broiler jantan ditempatkan pada 23 unit kandang berukuran 1 m2 secara
acak. Tiap kandang berisi satu tempat pakan dan satu tempat minum, serta lantai
kandang menggunakan alas berupa sekam dan dilapisi kertas koran. Pada masa
brooding, DOC diberi lampu bulb 60 watt yang berfungsi sebagai penerangan dan
penghangat.

7
Tahap Pelaksanaan Pemeliharaan
Pemberian pakan dan air minum dilakukan secara ad libitum sampai umur 35
hari. Jumlah pakan yang diberikan dan sisa pakan ditimbang setiap minggu untuk
menentukan konsumsi pakan. Penimbangan bobot badan akan dilakukan setiap
minggu untuk mengetahui bobot badan dan menghitung pertambahan bobot badan.
Prosedur Pengukuran Parameter
Pengukuran sifat fisik dan kimia
Hasil samping yang telah menjadi tepung atau dapat disebut konsentrat
protein ulat hongkong, selanjutnya dianalisis sifak fisik dan kimia. Adapun uji sifat
fisik terdiri atas kerapatan tumpukan (KT), kerapatan pemadatan tumpukan (KPT),
berat jenis (BJ), sudut tumpukan (ST) dan ukuran partikel (UP). Perhitungan sifat
fisik tersebut berdasarkan persamaan Khalil (1999).
1. Kerapatan Tumpukan
Bahan sebanyak 10 g dimasukkan ke dalam gelas ukur 100 ml, kemudian
volumenya diukur untuk mengetahui besarnya kerapatan tumpukan. Perhitungan
kerapatan tumpukan menggunakan persamaan Khalil (1999) dengan satuan yang
dimodifikasi dari kg m-3 menjadi g L-1 :
Kerapatan tumpukan =

bobot bahan g
volume yang ditempati L

2. Kerapatan Pemadatan Tumpukan
Bahan dimasukkan ke dalam gelas ukur 100 ml sebanyak 10 g dengan corong.
Dilakukan proses pemadatan dengan cara menggoyang-goyangkan gelas ukur
secara manual sampai volume tidak berubah lagi. Volume diukur setelah
pemadatan. Kerapatan pemadatan tumpukan dihitung dengan persamaan Khalil
(1999) :
Kerapatan tumpukan =

bobot bahan g
volume ruang setelah dipadatkan L

3. Berat Jenis
Berat jenis diukur dengan menggunakan prinsip hukum Archimedes, yaitu
dengan melihat perubahan volume aquades pada gelasukur 100 ml setelah
dimasukkan bahan-bahan yang massanya 10 g ke dalam gelas ukur 100 ml yang
berisi aquades 70 ml, kemudian dilakukan pengadukan untuk mempercepat
jalannya udara antar partikel bahan selama pengukuran. Perhitungan berat jenis
menggunakan persamaan Khalil (1999) dengan satuan yang dimodifikasi dari g
ml-1 menjadi kg l-1 :
Berat jenis =

bobot bahan kg
perubahan volume aquades L

8
4. Ukuran Partikel
Ukuran partikel diukur menggunakan teknik Ukuran partikel diukur dengan
menggunakan teknik yang digunakan dalam menentukan derajat kehalusan
(Modulus of Finenes), derajat keseragaman (Modulus of Uniformity) dan ukuran
partikel suatu bahan yaitu menggunakan vibrator ball mill nomor sieve 4, 8, 16,
30, 50, 100, dan 400. Bahan ditimbang sebanyak 500 g lalu diletakkan pada sieve
teratas lalu dilakukan penyaringan bahan yang tertinggal pada tiap ayakan
dengan cara digetarkan. Derajat kehalusan (Modulus of Finenes/MF) bahan
diperoleh dengan menjumlahkan hasil perkalian antara persentase bahan yang
tertinggal di sieve dengan nomor perjanjian/nomor sieve, sesuai dengan
persamaan menurut Khalil (1999) :
Derajat kehalusan (Modulus of Finenes)
�� =

Σ %bahan tertinggal pada tiap mesh x No perjanjian

Ukuran partikel rata-rata
= 0.0041 x 2MF x 2.54 cm x 10 mm
Derajat keseragaman (Modulus of Uniformity)
�� =

Σ %

+ +

:

Σ %

+

:

Σ %

+ +

5. Sudut Tumpukan
Sudut tumpukan diukur dengan cara menjatuhkan bahan sebanyak 500 g pada
ketinggian 15 cm menggunakan corong pada bidang datar. Sudut tumpukan
bahan diketahui dengan mengukur diameter dasar (d) dan tinggi (t) tumpukan.
Sudut tumpukan dinyatakan dalam satuan derajat (°). Perhitungan sudut
tumpukan diperoleh dengan persamaan Khalil (1999) :

Gambar 3 Metode pengukuran sudut tumpukan (Khalil 1999)

Keterangan :
t = tinggi (cm)
d = diameter (cm)

tg α =

. ×

Sifat kimia yang diuji adalah protein kasar, lemak, serat kasar, pepsin
digestibility, asam amino, skor kimia dan indeks asam amino esensial (IAAE).

9
Kandungan protein kasar dianalisis dengan metode Kjehdahl yang didasarkan pada
prinsip pengukuran jumlah N dalam sampel (AOAC) (2005). Kandungan lemak
dianalisis dengan metode Soxhlet dan kandungan serat kasar dianalisa dengan alat
Heater Extract (AOAC) (2005). Pengukuran pepsin digestibility dianalisis secara in
vitro berdasarkan metode AOAC (2005) yaitu sampel dicampur dengan pepsin
0.2% dan HCL 0.075 N, kemudian dimasukkan ke dalam shaker bath bersuhu 45◦C
selama 16 jam. Selanjutnya sampel disaring dengan kertas whatman 41 dan
dianalisis proteinnya dengan metode Kjehdahl (protein tidak tercerna).
% Pepsin Digestible Protein
% N protein kasar − % N protein tidak tercerna
=
% N protein kasar
% Pepsin digestibility =

% PDP
×
% protein kasar

Pengukuran asam amino menggunakan High Performance Liquid
Chromatograpy (HPLC). Hasil asam amino yang didapat, kemudian dihitung skor
kimia dan IAAE berdasarkan McDonald et al. (2002).
Skor kimia =

asam amino telur − asam amino uji
×
asam amino telur

IAAE = (A/Ae x B/Be x C/Ce x ... x J/Je)1/n

%

Keterangan :
A, B, C.....,J : Konsentrasi (g kg-1) asam amino esensial tepung ulat hongkong
Ae,Be, Ce..,Je : Konsentrasi (g kg-1) asam amino esensial yang sama terdapat dalam
telur.
n : jumlah asam amino esensial yang dihitung.
Pengukuran net protein utilization (NPU)
Peubah yang diamati adalah NPU (Net Protein Utilization) menurut Leeson
dan Summers (2008), dengan menggunakan rumus :
NPU =

Bf − Bk
×
if

Keterangan:
Bf
= N karkas pada ayam yang diberi makan ransum uji (g)
Bk
= N karkas pada ayam yang diberi makan ransum bebas N (g)
If
= Konsumsi N dari ayam yang makan ransum uji (g)
Performa Ayam Broiler
a. Konsumsi ransum (g ekor-1)
Rataan konsumsi ransum dihitung dari selisih antara ransum yang diberikan
dengan sisa ransum dibagi dengan jumlah ayam yang ada dalam satu petak.
Pengukuran sisa pakan dilakukan seminggu sekali pada pagi hari.

10
Rataan konsumsi ransum (g ekor - ) =

ransum yang diberikan - ransum sisa
jumlah ayam

b. Bobot badan akhir (g ekor-1)
Bobot badan akhir diukur pada saat akhir pemeliharaan ayam broiler pada umur
35 hari.
c. Pertambahan bobot badan (g ekor-1)
Pertambahan bobot badan (PBB) diperoleh dari hasil perhitungan antara bobot
badan akhir dikurangi bobot badan awal. Bobot badan diukur seminggu sekali.
PBB (g ekor-1 ) =

jumlah bobot badan akhir - bobot badan awal
jumlah ayam yang ditimbang

d. Konversi ransum
Konversi Ransum dihitung dari perbandingan antara rataan konsumsi ransum
dengan rataan pertambahan bobot badan.
Konversi ransum =
e. Mortalitas (%)
Mortalitas % =

rataan konsumsi ransum (g
pertambaan bobot badan (g)

jumlah ayam yang mati selama penelitian
×100%
jumlah ayam yang dipelihara saat awal penelitian

Persentase potongan karkas
Pengukuran potongan karkas dilakukan dengan cara ayam broiler yang telah
dipotong (disembelih), dibersihkan dari bulu kemudian dipisahkan bagian-bagian
karkasnya dan ditimbang. Peubah yang diamati pada pengukuran potongan karkas
adalah bobot hidup, bobot karkas, bobot dada, bobot paha, bobot sayap, dan bobot
punggung. Bobot hidup akhir diperoleh dengan penimbangan bobot badan ayam
umur 35 hari sebelum dipotong atau disembelih (g ekor-1), sedangkan bobot karkas
diperoleh dari ayam yang telah disembelih tanpa bulu, darah, organ dalam, kepala
dan kaki (g ekor-1).
Bobot dada diperoleh dengan cara menimbang bagian karkas yang diambil
pada daerah scapula sampai bagian tulang dada (g). Persentase bobot dada terhadap
berat karkas diperoleh dengan rumus sebagai berikut.
Bobot dada (%) =

k

k

×

%

Selain bobot dada, juga dihitung Meat bone ratio bagian dada,yaitu
perbandingan banyaknya daging dada yang dihasilkan pada setiap satuan tulang
dada.
Bobot paha diperoleh dengan cara menimbang bagian karkas yang diambil
pada daerah tulang paha sampai bagian persendian pinggul (g). Persentase bobot
paha terhadap berat karkas diperoleh dengan rumus sebagai berikut.
Bobot paha (%) =
×
%
k

k

11

Meat bone ratio bagian paha merupakan perbandingan banyaknya daging
paha yang dihasilkan pada setiap satuan tulang paha.
Bobot punggung diperoleh dengan cara menimbang bagian karkas yang
diambil pada daerah tulang belakang sampai tulang panggul (g). Persentase bobot
punggung terhadap berat karkas diperoleh dengan rumus sebagai berikut.
Bobot punggung (%) =
×
%
k k

Bobot sayap diperoleh dengan cara menimbang bagian karkas yang diambil
pada daerah persendian antara lengan atas dengan scapula (g). Persentase bobot
sayap terhadap berat karkas diperoleh dengan rumus sebagai berikut.
y
×
%
Bobot sayap (%) =
k

k

Persentase bobot non karkas
Bagian non karkas pada ayam broiler terdiri atas kepala dan leher, kaki,
darah dan bulu. Pengukuran dilakukan dengan cara bagian-bagian tersebut
dipisahkan kemudian ditimbang dan dihitung persentasenya. Bobot kepala dan
leher diperoleh dengan rumus sebagai berikut.
ℎ � �

Bobot kepala dan leher (%) =

� �

×

%

Bobot kaki ayam broiler diperoleh dengan cara menimbang bobot kedua
kaki ayam yang sudah terpisah dari karkasnya (g). Persentase bobot kaki diperoleh
dengan rumus sebagai berikut.
Bobot kaki (%) =

� �

� �

×

%

×

%

×

%

Bobot darah diperoleh dengan cara mencari selisih antara bobot ayam hidup
dan bobot ayam setelah dipotong (g). Persentase darah diperoleh dengan rumus
sebagai berikut.
Bobot darah (%) =

� ℎ �

� �

Bobot bulu diperoleh dengan cara mencari selisih bobot ayam setelah
dipotong masih ada bulu dengan bobot ayam yang sudah dipisahkan bulunya (g).
Persentase bulu diperoleh dengan rumus sebagai berikut.
Bobot bulu (%) =



� �

Peubah yang Diamati

1.
2.

Peubah yang diamati pada penelitian ini meliputi :
Pengukuran sifat fisik dan kimia
Pengukuran net protein utilization (NPU)

12
3.
4.
5.

Performa ayam broiler : konsumsi pakan, bobot badan (BB), pertambahan
bobot badan (PBB), konversi pakan dan mortalitas
Bobot dan persentase potongan karkas (dada, paha, sayap dan punggung)
ayam broiler umur 35 hari dan meat bone ratio
Bobot dan persentase potongan non karkas (darah, bulu, kepala dan kaki)
ayam broiler umur 35 hari .
Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Hasil analisis tersebut kemudian dibandingkan dan diolah dengan uji
independent T-test menggunakan program SPSS untuk mengetahui hasilnya
berbeda nyata atau tidak. Hasil T-test dengan 2 perlakuan dan 10 ulangan (Steel dan
Torrie 1993).

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat Fisik, Kimia dan Asam Amino Konsentrat Protein Ulat Hongkong
(Tenebrio molitor L)
Konsentrat protein ulat hongkong dihasilkan dari ulat hongkong segar yang
telah diambil lemaknya melalui proses pemanasan (pengukusan) dan penekanan
(pressuring). Sifat fisik konsentrat protein ulat hongkong dapat dilihat pada Tabel
3. Sifat fisik penting untuk diketahui karena merupakan sifat dasar dari suatu bahan
yang akan berpengaruh terhadap proses pembuatan pakan. Pengujian sifat fisik
terdiri atas kerapatan tumpukan (KT), kerapatan pemadatan tumpukan (KPT), berat
jenis (BJ), sudut tumpukan (ST) dan ukuran partikel (UP).
Tabel 3 Sifat fisik dan kimia konsentrat protein ulat hongkong (Tenebrio molitor L)
dan meat bone meal
Parameter
KT (g L-1)
KPT (g L-1)
BJ (Kg L-1)
ST (◦)
UP (mm)
PK (%)*
SK (%)
LK (%)

Konsentrat Protein Ulat
Hongkong
385.90
582.80
1.18
49.89
3.12
54.73
8.85
19.10

Meat Bone Meal
540.54
769.23
1.43
41.69
3.43
52.31
5.79
14.54

Keterangan : KT = kerapatan tumpukan, KPT = kerapatan pemadatan tumpukan, BJ = berat jenis,
ST = sudut tumpukan, UP = ukuran partikel, PK = protein kasar, SK = serat kasar, LK
= lemak kasar.
*Hasil analisis Laboratorium Ilmu Teknologi Pakan (2016)

Kerapatan tumpukan dan kerapatan pemadatan tumpukan konsentrat protein
ulat hongkong lebih rendah bila dibandingkan dengan meat bone meal. Hal ini

13
menunjukkan bahwa protein konsentrat ulat hongkong lebih voluminus
dibandingkan meat bone meal (MBM). Kerapatan tumpukan berpengaruh terhadap
laju alir dan daya campur, sama halnya dengan berat jenis. Kerapatan tumpukan
dan kerapatan pemadatan tumpukan pada dasarnya sama, hanya proses
pemadatannya yang berbeda. Nilai kerapatan pemadatan tumpukan makanan yang
berbentuk bubuk umumnya antara 0.3-0.8 g/cm3 atau 300-800 g/L
(Wirakartakusumah et al.1992). Selain itu dapat dilihat juga dari besarnya sudut
tumpukan dan berat jenis, dimana sudut tumpukan konsentrat protein ulat hongkong
8.2% lebih besar dari meat bone meal dan berat jenis konsentrat protein ulat
hongkong yang lebih rendah, menandakan konsentrat protein ulat hongkong lebih
bergerak bebas. Hal ini dikarenakan tubuh ulat hongkong diselimuti oleh kulit luar
(eksoskeleton) yang ringan dan banyak mengandung serat berupa kitin, yaitu
protein berserat tak larut air (Klunder et al. 2012). Hal tersebut juga terlihat dari
kandungan nutriennya, dimana konsentrat protein ulat hongkong mengandung serat
dan protein kasar yang lebih besar, yaitu 8.85% dan 54.73%, sedangkan meat bone
meal sebesar 5.79% dan 52.31%. Hao et al. (2015) menyatakan bahwa kerapatan
tumpukan atau bulk density berkorelasi negatif terhadap serat kasar, dimana setiap
peningkatan kerapatan tumpukan akan menurunkan kadar serat kasar. Selain
protein kasar dan serat kasar, ternyata konsentrat protein ulat hongkong
mengandung lemak yang lebih tinggi dari meat bone meal, menandakan bahwa di
dalam konsentrat protein ulat hongkong tidak murni protein, tetapi masih ada
nutrien lain yang terkandung.
Ukuran partikel konsentrat protein ulat hongkong berdasarkan derajat
keseragaman (Modulus of Uniformity) termasuk dalam kategori kasar. Fasina dan
Sokhansaj (1993) menyatakan bahwa kategori ukuran partikel suatu bahan terdiri dari
halus apabila ukuran partikelnya 0.10–0.78 mm, kategori sedang apabila ukuran
partikelnya lebih besar 0.78 –1.79 mm dan kategori kasar apabila ukuran partikelnya
lebih besar dari 1.79–13.33 mm. Pakan dengan ukuran partikel kasar akan tersimpan di
gizzard sampai ukuran mengecil dan dapat masuk ke saluran duodenum (Safaa et al.
2009). Ukuran partikel tergantung dari proses penggilingan dan berpengaruh terhadap
homogenitas penyebaran bahan pakan yang berkorelasi terhadap daya rekat saat
dicampur dan diolah menjadi pakan, sama halnya dengan berat jenis.
Selain uji sifat fisik, kualitas bahan pakan dapat diuji secara kimia.
Pengukuran kualitas suatu bahan pakan seharusnya tidak hanya sampai batas makro
nutrien saja, tetapi juga secara mikro nutrien, salah satunya adalah kandungan asam
amino. Mutu protein suatu bahan dapat dilihat dari jenis dan kandungan asam
aminonya. Asam amino merupakan molekul-molekul penyusun protein yang sangat
penting dalam pembentukan tubuh. Asam amino yang terkandung dalam konsentrat
protein ulat hongkong dapat dilihat pada Tabel 4.
Asam amino diatas merupakan asam amino esensial yang tidak dapat
disintesis di dalam tubuh namun penting untuk pertumbuhan, sehingga harus
tersedia di dalam makanan, kecuali tirosin dan sistin, karena dapat disintesis oleh
asam amino esensial seperti phenilalanin dan metionin. Sediaoetama (1985)
menyatakan tubuh dapat mensintesa suatu protein tertentu bila asam amino yang
dibutuhkan untuk struktur protein tersebut tersedia lengkap. Bila ada yang kurang
tetapi dari asam amino non esensial, maka asam amino tersebut akan disintesa
terlebih dahulu, tetapi bila yang kurang adalah jenis asam amino esensial, maka
tubuh tidak dapat mensintesa protein tersebut. Berdasarkan hasil di atas, asam
amino tertinggi pada konsentrat protein ulat hongkong adalah leusin, sedangkan

14
terendah yaitu histidin. Ayam membutuhkan asam amino esensial dan sejumlah
asam amino nonesensial untuk mensintesis protein. Ayam yang diberi pakan rendah
protein perkembangannya akan kurang maksimal dan tidak akan terjadi deposisi
lemak (Pesti 2009).
Tabel 4 Kandungan asam amino konsentrat protein ulat hongkong (Tenebrio
molitor L) dan meat bone meal
Asam amino
Histidin (%)
Treonin (%)
Arginin (%)
Tirosin (%)
Metionin (%)
Valin (%)
Phenilalanin (%)
Isoleusin (%)
Sistein (%)
Leusin (%)
Lisin (%)
Skor kimia (%)3)
Indeks
asam
esensial (%)4)
1)
3)

amino

Konsentrat Protein
Ulat Hongkong1)
0.766
0.782
1.112
0.927
0.854
1.134
0.836
1.710
0.980
2.112
1.877
13.27

Meat Bone
Meal1)
1.434
0.811
1.245
1.156
1.382
1.580
1.086
1.616
1.275
2.857
1.820
16.55

20.18

25.39

Protein telur
ayam2)
2.1
4.9
6.4
4.5
4.1
7.3
6.3
8.0
2.4
9.2
7.2
100

Hasil analisis Laboratorium Ilmu Teknologi Pakan (2016),2) Leeson dan Summers (2008)
Hasil perhitungan berdasarkan kandungan asam amino,4) Hasil perhitungan

Salah satu cara mengukur kualitas protein adalah dengan menghitung skor
kimia dan Indeks Asam Amino Esensial (IAAE). Skor kimia diperoleh dengan cara
membandingkan kandungan asam amino esensial dalam protein suatu bahan pakan
uji dengan asam amino esensial standar yang terdapat pada protein telur. Telur
mengandung asam amino esensial yang paling seimbang dan memiliki skor kima
100, sehingga dijadikan sebagai standar. Pada metode skor kimia, kualitas protein
ditentukan oleh asam amino yang paling rendah (defisiensi asam amino paling
besar) dalam bahan pakan uji yang dibandingkan dengan asam amino standar (telur).
Asam amino paling defisien merupakan asam amino pembatas. Asam amino paling
defisien pada konsentrat protein ulat hongkong adalah phenilalanin, yaitu sebesar
86.73%, sehingga skor kimia yang diperoleh sebesar 13.27%. Skor kimia
konsentrat protein ulat hongkong lebih rendah bila dibandingkan dengan meat bone
meal yaitu sebesar 16.55% dan defisien pada asam amino treonin. Phenilalanin dan
treonin termasuk ke dalam lima asam amino esensial pada unggas, selain metionin,
lisin, thryptopan. Metionin dan lisin sering ditambahkan di dalam ransum unggas
karena pakan unggas banyak menggunakan bahan pakan nabati seperti jagung,
dedak padi dan bungkil kedelai. Bahan pakan yang berasal dari nabati defisien akan
asam amino lisin dan metionin.
Pada metode indeks asam amino esensial (IAAE), kualitas protein ditentukan
oleh semua asam amino esensial yang terkandung dalam bahan pakan uji
dibandingkan dengan asam amino esensial standar, yaitu telur. Perhitungan indeks

15
asam amino esensial konsentrat protein ulat hongkong adalah sebesar 20.18%, lebih
rendah bila dibandingkan dengan nilai IAAE meat bone meal yaitu sebesar 25.39%.
Nilai IAAE yang tinggi menunjukkan kualitas protein yang baik. Besarnya skor
kimia dan nilai IAAE pada meat bone meal dikarenakan bahan dasar meat bone
meal yang berasal dari daging yang merupakan sumber protein hewani yang
mengandung asam amino lengkap dan seimbang.
Evaluasi Kualitas Protein pada Konsentrat Protein Ulat Hongkong (Tenebrio
molitor L)
Pengukuran nilai biologi protein pada ayam cukup sulit dilakukan karena urin
dan feses yang menjadi satu, atau disebut ekskreta. Net Protein Utilization (NPU)
merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas protein
suatu bahan pakan dengan menghitung selisih antara kandungan nitrogen pada
karkas ayam broiler yang diberi pakan uji dengan nitrogen karkas ayam yang diberi
pakan bebas atau rendah protein, kemudian dibandingkan dengan konsumsi
nitrogen ayam yang diberi pakan uji (Leeson dan Summer 2001). Pakan bebas
protein diujikan untuk melihat pertumbuhan ayam broiler tanpa adanya kandungan
protein di dalam pakan, namun sulit dilakukan karena bahan yang digunakan masih
mengandung protein sehingga diganti dengan pakan sangatrendah protein.
Kemudian dibandingkan dengan pertumbuhan ayam broiler yang diberi pakan
mengandung 10% protein yang berasal dari bahan pakan uji. Protein yang yang
digunakan hanya 10% karena sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup
pokok, tetapi tidak akan cukup bila untuk produksi.Pertambahan bobot badan
(PBB) dan konsumsi ayam perlakuan NPU dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Pertambahan bobot badan dan konsumsi ransum ayam selama 17 hari
perlakuan NPU
Peubah
PBB
(g ekor-1 h-1)
Konsumsi ransum
(g ekor-1 h-1)

P0
-0.27

P1
16.57

P2
1.27

17.94

41.99

20.78

Keterangan : P0 = pakan rendah protein, P1 = pakan dengan kandungan 10% protein dari meat bone
meal, P2 = pakan dengan kandungan 10% protein dari konsentrat protein ulat
hongkong

Ayam yang diberi perlakuan pakan bebas protein (P0) selama 17 hari
mengalami penurunan bobot badan sebesar -0.27 g/ekor/hari, sedangkan perlakuan
pakan uji mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa nutrien atau zat
makanan yang terkandung dalam pakan perlakuan P0 kurang untuk memenuhi
kebutuhan hidup pokok, sehingga terjadi perombakan atau degradasi cadangan
lemak dan protein di dalam jaringan tubuh. Ayam perlakuan pakan uji meat bone
meal (P1) mengalami peningkatan pertambahan bobot badan paling tinggi yaitu
sebesar 16.57 g/ekor/hari, sedangkan ayam perlakuan pakan uji konsentrat protein
ulat hongkong (P2) sebesar 1.27 g/ekor/hari. Hal ini dikarenakan konsumsi ayam
perlakuan P1 lebih banyak dibandingkan konsumsi ayam perlakuan P2, sehingga
nutrien yang terserap lebih banyak, khususnya protein. Konsumsi ransum ayam

16
perlakuan P1 rata-rata sebesar 41.99 g/ekor/hari, sedangkan konsumsi ayam
perlakuan P2 sebesar 20.78 g/ekor/hari. Rendahnya konsumsi ayam perlakuan P2
dibandingkan P1 dikarenakan palatabilitas ayam pada perlakuan P2 yang rendah.
Hal ini dapat dilihat dari perilaku ayam yang pada awalnya tidak mau makan,
kemudian perlahan mulai makan tetapi tidak banyak, berbeda dengan perlakuan P1
dimana ayam tetap makan sejak pakan perlakuan diberikan. Palatabilitas pada
ternak umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu perbedaan
visual (warna), tekstur, aroma dan rasa (Amerah dan Ravindran 2008).
Tabel 6 Rataan N karkas, konsumsi N serta nilai NPU
N-Karkas
P0
(g ekor-1)
26.5±2.9

N-Karkas
P1
(g ekor-1)
48.1±6.5

N-Karkas
P2
(g ekor-1)
30.8±4.9

Konsumsi
N P1
(g)
24.8±1.5

Konsumsi
N P2
(g)
16.5±1.2

NPU P1

NPU P2

57.7±2.6

38.9±2.2

Keterangan : P0 = pakan rendah protein, P1 = pakan dengan kandungan 10% protein dari meat bone
meal, P2 = pakan dengan kandungan 10% protein dari konsentrat protein ulat
hongkong

Ayam broiler dapat tumbuh dengan cepat dan maksimal karena adanya
kandungan protein atau asam amino yang tinggi dalam ransum (Farkhoy et al.
2012). Menurut Muchtadi (1993) penambahan atau peningkatan massa otot terjadi
apabila protein tersedia dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan yang
dibutuhkan untuk pemeliharaan hidup pokok.
Rata-rata nilai NPU meat bone meal (P1) dan NPU konsentrat protein ulat
hongkong (P2) dapat dilihat pada Tabel 6. Besarnya konsumsi pakan berpengaruh
terhadap banyaknya nutrien yang terserap tubuh. Konsumsi ayam perlakuan P1
lebih besar dibandingkan P0 dan P2, sehingga peluang nitrogen yang terserap dan
teretensi di dalam tubuh juga besar. Dorigam et al. (2016) menyatakan bahwa
besarnya nitrogen yang teretensi dalam tubuh (NR) tergantung dari besarnya intake
nitrogen. Hal ini terbukti dari hasil penelitian dimana nitrogen yang terkandung
dalam karkas ayam broiler perlakuan P1 lebih banyak dibandingkan P0 dan P2,
mengakibatkan nilai NPU perlakuan P1 lebih besar dibandingkan perlakuan P2,
yaitu sebesar 57.7%, sedangkan nilai NPU P2 sebesar 38.9%. Rendahnya nilai NPU
P2 disebabkan juga oleh skor kimia dan IAAE konsentrat protein ulat hongkong
yang lebih rendah dibandingkan dengan meat bone meal, karena asam amino
merupakan indikator penentu kualitas protein dimana protein dibentuk dari
beberapa asam amino. Tetapi, nilai NPU konsentrat protein ulat hongkong dalam
penelitian ini lebih tinggi dari NPU meat bone meal hasil penelitian Hegedüs et al.
(1983), dimana nilai NPU untuk meat and bone meal yang diujikan pada tikus yaitu
sebesar 29.10% dan blood meal sebesar 8.50%.
Pengaruh Perlakuan terhadap Performa Ayam Broiler
Performa ayam broiler yang diberi pakan perlakuan 5% meat bone meal dan
5% konsentrat protein ulat hongkong dapat dilihat pada Tabel 7. Penggunaan
konsentrat protein ulat hongkong pada ayam broiler memberikan pengaruh yang
tidak berbeda nyata (P>0.05) terhadap konsumsi ransum, bobot badan akhir,
pertambahan bobot badan dan FCR.

17
Tabel 7 Performa ayam broiler selama perlakuan (umur 1-35 hari)
Perlakuan
Peubah

R1
R0

Konsumsi pakan (g ekor-1)
Bobot badan awal
(hari ke-1)(g ekor-1)
Bobot badan akhir
(hari ke-35)(g ekor-1)
Pertambahan bobot badan
(g ekor-1)
Konversi pakan
Mortalitas (%)

2804.94±126.37

2846.84±131.60

46.73±1.46

46.70±1.24

1596.40±97.80

1644.50±76.95

1549.68±98.02

1597.78±76.93

1.81±0.06
0.67

1.78±0.06
0.67

Keterangan : R0 = pakan dengan 5 % meat bone meal, R1 = pakan dengan 5 % konsentrat protein
ulat hongkong

Angka konsumsi rans