Hubungan sensation seeking dengan prestasi akademik mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Jakarta
HUBUNGAN SENSA nON SEEKING DENGAN PRESTASI
AKADEMIK MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI JAKARTA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Universitas Islam Neg"rl
SYARIf HIOAYAiUllAH JAKARTA
Oleh:
FACHDI AMANTA
NIM : 203070001463",
_._.
,
l'gl.
Clio. 1",lul< :
k'"lI1luts! :
,
NAqLセZjQャ
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
JAKARTA
1430 H 12009 M
.....
"k.??: L:k:.::Q.£L._...."...
FAKULTAS PSIKOLOGI NON REGULER
SYARIF HIDAYATULLAH
__.--
.,..,.- ", _ _•...
b
·ャBeセpvst
C
MAANUlNIM
UIN SYdiセ
QセNスj
·1
A
HUBUNGAN SENSATION SEE NG DENGAN PRESTAJ
AKADEMIK PADA MAHASISWA UIN JAKARTA
Skripsi
Oiajukan kepada·Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat
memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Oi Bawah Bimbingan
Pembimbing I
Ikhwan Lutfi, M,SI
NIP. 150 368 809
Oisusun oleh :
Fachdi Amanta
NIM : 203070001463
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi
yang
PRESTASI
berjudul
HUBUNGAN
AKADEMIK
SENSA nON SEEKING DENGAN
MAHASISWA
FAKULTAS
PSIKOLOGI
(UIN)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA telah
diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 23 Juni 2009. Skripsi ini
telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Program Strata 1 (S1) pada Fakultas Psikologi.
Jakarta, 23 Juni 2009
Sidang Munaqasyah
Dekanl
Ketua Merangkap Anggota
Pembantu Dekanl
Sekretaris Merangkap Anggota
セGO
[ウセ「Lョイd
Jahja Umar, Ph.D
NIP, 130885522
NIP. 150215283
Anggota:
Penguji II
Dr. iana Mutiah, M. Si
NIP. 150277 469
Ikhwan Lutfi, M. Si
NIP. 150368809
Pembimbing
セ
セN
... M セ
セ
,,"
...
- Ikhwan Lutfi, M.Si
NIP. 150368809
1II
PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama: Fachdi Amanta
NIM
: 203070001463
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul "Hubungan Sensation
Seeking dengan Prestasi Akademi Mahasiswa Fakultas Psikologi
Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta" adalah benar merupakan karya
saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiatdalam penyusunan skripsi
tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan skripsi ini
telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam daftar pustaka.
Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan
Undang-Undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat
atau jiplakan dari karya orang lain.
Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebaik-baiknya.
Jakarta, 23 Juni 2009
Fachdi Amanta
204070001463
MOTTO
Keajaiban selalu ada pada diri Manusia ..
Jika bta pernah mengalami keajaiban
.
Maka percayalah itu adalah kehendakNya
.
Keajaiban bagai sebuah misteri kehidupan.....
Yang bisa bta alami di Iuar Iogika...
Terimalah keaiaiban atas sebuah KEBERHASlLAN .....
Dan Katakan Syukuy PadaNya.....
Biarkanlah Misteri berjalan di atas Keajaiban ....
" Satu Rasa Satu Hati "
Karya ini
Kupersembahkan untuk
Keluarga terbaikku
Kekasih hatiku
Sahabat setiaku
ABSTRAK
(A) Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
(B) Juni 2009
(C) Fachdi Amanta
(D) Hubungan Sensation Seeking dengan Prestasi Akademik Mahasiswa
Fakultas Psikologi U/N Jakarta.
(E) 83 halaman
(F) Belajar merupakan penga/aman seseorang sepanjang usianya yang
mempengaruhi seluruh proses tingkah laku. Kepribadian seseorang turut
serta mempengaruhi proses be/ajar, salah satunya kepribadian Sensation
Seeking. Kepribadian seseorang dalam proses be/ajar secara pendidikan
formal (Perguruan tinggi) menghasilkan suatu nilai atau hasil evaluasi
belajar yang disebut dengan prestasi akademik.
Kepribadian Sensation Seeking adalah sebuah perilaku yang menjelaskan
tentang penekanan pada pencarian ide yang bervariasi, impulsif, komplek,
sensasi hebat serta pengalaman dan keinginan yang mengandung resiko.
Kegiatan dari sensation seeking sendiri merupakan bentuk pengalaman
yang menyenangkan bagi orang tertentu dengan berusaha
memaksimalkan arousal dan memacu adrenalin mereka menjadi aktif
sehingga dengan ketegangan yang mereka rasakan mendatangkan rasa
puas dan bahagia saat mereka dapat melewati masa kritis tersebut.
Prestasi akademik merupakan hasH kegiatan belajar, yaitu sejauh mana
peserta didik menguasai bahan pelajaran yang diajarkan yang diikuti oleh
munculnya perasaan puas bahwa ia telah melakukan sesuatu dengan
baik.
Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari hubungan antara sensation
seeking dengan prestasi akademik. Jenis penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini ada/ah pendekatan kuantitatif dengan metode
pene/itian korelasi. Jumlah populasi da/am penelitian ini adalah 518
mahasiswa sedangkan yang menjadi sampel penelitian sebanyak 30
mahasiswa. Instrumen pengumpulan data ada/ah Skala modellikert.
Bentuk pengolahan dan analisa data menggunakan ana lisa statistika
dengan menggunakan program SPSS 11.5, pada uji validitas
menggunakan korelasi Product Moment dari Pearson dan untuk menguji
reliabilitas instrument dengan Alpha Cronbach. Dan untuk menguji
hipotesis penelitian menggunakan Product Moment.
.
Jum lahJte.l1lYang_'lalkiuntuk..skaJa..sensation-seeking..29-item-Q8R--- ---------Reliabilitas skala sensation seeking adalah 0.235. Dari penelitian
berdasarkan hasH uji hipotesis dari Pearson terhadap skar sensation
seeking diketahui r hitung (0,235) < dari r tabel (0,355). Hubungan ini
menjelaskan bahwa tidak ada hubungan antara sensation seeking dengan
prestasi akademik.
Diskusi dari penelitian ini dapat dijelaskan bahwa suatu penelitian yang
menyatakan bahwa rutinitas kelas yang membasankan dapat
meyebabkan rasa bosan yang kuat pada pencari sensasi tinggi yang
sangat rentan pada perhatian yang terus menerus, karena itu membuka
jalan tirnbulnya perHaku yang bermasalah seperti gelisah, banyak bicara
dan menggangu (Blum et ai, 2000).
Tinggi rendahnya sensation seeking seeorang dipengaruhi juga oleh
faktor internal dan eksternal, berikut berdasarkan penelilian yang
dilakukan Eysenck (Schultz & Schultz, 2005) dinyatakan bahwa 58% dari
trait sensation seeking disumbangkan oleh faktar genetik.
Pada penelitian selanjutnya disarankan untuk memperbanyak jumlah
sampel sehingga dapat mewakili populasi yang dituju dan untuk
menghindari proporsi sampel yang tidak seimbang.
(G) Bahan Bacaan: 32 buku (1978-2008) + 8 website
KATA PENGANTAR
Assalamu'alaikum Wr. Wb
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya setiap saat, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul "Hubungan Sensation Seeking dengan
Prestasi Akademik Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri
Jakarta" Salawat serta salam semoga tetap Allah Iimpahkan kepada Nabi
Muhammad SAW, atas segala perjuangannya sehingga kita dapat
merasakan indahnya hidup di bawah naungan Islam.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak dapat terlepas
dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, perkenankanlah penulis untuk
mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :
1. Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah, Bapak Jahja Umar,
Ph.D yang telah banyak memberikan pengarahan dan perhatian kepada
penulis selama menjalani proses perkuliahan dan penyusunan skripsi ini.
2. Pembimbing Akademik Bapak Abdurahman Saleh M.Si, atas
bimbingannya selama penulis menjalani perkuliahan.
3. Bapak Ikhwan Lutfi, M.Si, atas segala bimbingan, saran, dan motivasinya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Pembin'lbing seminar skripsi, Bapak Ikhwan Lutfi, M.Si, yang tidak pernah
bosan untuk menyumbangkan pendapatnya, memberikan saran yang
membangun, motivasi, sehingga penulis dapat mengatasi kendala dalam
penyusunan skripsi ini.
5. Para dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah yang dengan
penuh kesabaran dan keikhlasan untuk memberikan i1mu kepada penulis.
6. Seluruh mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah yang
bersedia menjadi sampel dalam penelitian ini.
7. Yang paling penulis hormati dan kasihi setelah Allah dan Rasul-Nya,
Papa, Mama, dan Keluarga yang tak pernah putus memberikan dorongan,
doa, Ginta dan kasih yang tulus kepada penulis.
8. Seluruh keluarga besar Bapak Mukri Nasution yang telah memberi
motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Seluruh sahabat di Fakultas Psikologi angkatan 2003, atas persahabatan
dan dukungan yang telah kalian berikan.
10. Sahabat terdekat dan Band Fortuna (Ihsan, ady, Lutfi, zaki, amir, abdu,
elina, faiin, RizQ, ita, elin, dan semua yang tak terlupakan), atas segala
motivasi dan waktu yang di sediakan untuk berbagi di setiap kesempatan.
11. Lia marlia yang selalu siap membantu dan selalu memberi motivasi
kepada penulis.
Semoga Allah memberikan pahala yang tak henti-hentinya, sebagai balasan
atas segala kebaikan dan bantuan yang di berikan.
Harapan penulis, semoga skripsi ini memberi manfaat, khususnya bagi
penulis dan umumnya bagi seluruh pihak yang terkait. Untuk kesempurnaan
karya ini, penulis harapkan saran dan kritiknya.
Jakarta, 23 Juni 2009
Penulis
DAFTAR 151
HALAMAN JUDUL
.
HALAMAN PERSETUJUAN
.
ii
HALAMAN PENGESAHAN
PERNYATAAN......................................................................
iii
MOTTO.....................................................................................................
iv
PERSEMBAHAN
v
HALAMAN
ABSTRAKSI
;.
KATAPENGANTAR
viii
x
DAFTAR lSI
xiv
DAFTAR TABEL
DAFTAR
vi
GAMBAR..................................................................................
xiv
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
BAB1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
1
1.2 Identifikasi Masalah
11
1.3 Batasan dan Rumusan Masalah Pene/itian
12
1.4 TUjuan dan Manfaat Penelitian
13
1.5 Sistematika Penulisan
14
x
BAB 2 KAJIAN TEORI
2.1
Sensation seeking..
15
2.1.1 Pengertian Sensation seeking
15
2.1.2 Komponen atau sensation seeking
18
2.1.3 Karakteristik sensation seeking
20
2.1.4 Faktor yang mempengaruhi sensation seeking
28
2.2 Prestasi belajar/akademik
2.2.1 Pengertian Prestasi Belajar/Akademik
34
34
2.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Akademik 36
2.2.3 Cara Mengukur Prestasi Belajar...............................
46
2.2.4 Fungsi Prestasi Belajar.............................................
47
2.3 Mahasiswa
50
2.3.1 Definisi Mahasiswa...................................................
45
2.3.2 Tugas Mahasiswa
46
2.4 Kerangka Berpikir
48
2.5 Hipotesis
48
BAB 3 METODOLOGJ PENELITIAN
3.1
Jenis Penelitian
49
3.1.1 Pendekatan Penelitian dan Metode Penelitian
50
3.1.2 Definisi Variabel dan Operasional Variabel..............
51
3.2 Pengambilan Sampel Penelitian
52
3.2.1 Populasi dan Sampel ..
52
3.2.2 Teknik Pengambilan Sampel
53
3.3 Teknik Pengumpulan Data..................................................
54
3.3.1 Instrumen Penelitian
55
3.3.2 Skala
56
3.4 Teknik Uji Instrumen
57
3.4.1 Uji Validitas
57
3.4.2 Uji Reliabilitas
61
3.4.3 Uji Normalitas.
63
3.4.4 Uji Homogenitas.......................................................
64
3.4.5 Uji Hipotesis
64
3.5 Prosedur Penelitian
66
3.5.1 Tahap Persiapan
66
3.5.2 Tahap Pelaksanaan
66
3.5.3 Tahap Pengolahan Data
67
BAB 4 HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum Responden
68
4.1.1 Gambaran Umum Berdasarkan Jenis Kelamin
68
4.1.2 Gambaran Umum Berdasarkan Usia
69
4.1.3 Gambaran Umum Berdasarkan Semester
70
""
4.1.4 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Indeks
Prestasi
4.2 Presentasi Data
4.2.1 Uji Norma/itas ..,
4.2.2 Uji Homogenitas
,
70
71
, ,
71
74
4.3 Kategorisasi
75
4.4 Pengujian Hipotesis
78
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, SARAN
5.1
Kesimpulan.........
79
5.2 Diskusi
80
5.3 Saran
82
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel2.2
Bagan kerangka berpikir ..
48
Tabel3.2
Blue print skala Sensation seeking
56
Tabel3.1
Bobot skor pernyataan
55
Tabel3.3
Kisi-kisi try out skala Sensation seeking
61
Tabel3.4
Blue print penelitian skala Sensation seeking
61
Tabel4.1
Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin
68
Tabel4.2
Distribusi sampel berdasarkan usia
69
Tabel4.3
Distribusi sampel berdasarkan semester............
70
Tabel4.4
Distribusi sampel berdasarkan Indeks prestasi...
70
Tabel4.5
Uji Normalitas Shapiro-Wilk
71
Tabel4.6
Uji Homogenitas
74
Tabel4.7
Kategori Sensation seeking.......
77
Tabel4.7
Hipotesis Uji r........................................................................
79
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
QQ plot Sensation seeking................................................ .
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Angket Try Out
Lampiran 2
Skoring Try Out
Lampiran 3 Angket Pene/itian
Lampiran 4
Skoring Pene/itian
Lampiran 5
HasH Uji Validitas dan Reliabilitas
Lampiran 6
Hasil Uji Normalitas dan Uji Homogenitas
Lampiran 7
QQplot Sensation seeking
Lampiran 8
HasH Uji r
XIV
7
BAB1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Belajar merupakan proses dasar perkembangan seseorang sepanjang
rentang kehidupannya. Belajar tidak hanya sekedar pengalaman, tetapi
merupakan suatu proses yang ber/angsung secara aktif dan menyeluruh.
Menurut Whittaker (1970) mendefinisikan be/ajar sebagai proses perubahan
tingkah laku yang berasal melalui latihan dan pengalaman.
Menurut Siameto (1997) be/ajar merupakan proses perubahan dari belum
mampu menjadi mampu dan terjadi da/am jangka waktu tertentu. Dengan
belajar, siswa dapat mewujudkan cita-cita yang diharapkan.
Salah satu tempat belajar seseorang adalah melalui lembaga pendidikan
formal. Pendidikan formal menerapkan aktivitas belajar mengajar yang
terencana dan terorganisir (Winkel, 1993). Lembaga pendidikan formal di
Indonesia terdiri dari Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah dan
Pendidikan Tinggi (www.depdiknas.go.id. 2009).
1
2
Belajar di perguruan tinggi mempunyai karakteristik tersendiri. Aturan yang
dikembangkan pada institusi pendidikan, metode pengajaran yang diberikan,
karakteristik ilmu yang diajarkan bahkan hubungan antara dosen dan
mahasiswa yang dibina akan mempengaruhi proses belajar yang
berlangsung. Sehingga, program akademis yang ada akan mengarahkan
pengalaman belajar yang akan diterima mahasiswa. Peran mahasiswa dalam
menghadapi berbagai tuntutan/tugas pendidikan yang ada dalam fakultasnya
tidak sekedar menerima saja tuntutan/lugas tersebut, mereka menilai setiap
siluasi yang ada menentukan pilihan serta mencari cara efisien untuk dapat
memenuhi tuntutan/tugas tersebut (Winkel, 1993).
Winkel (1993) juga menjelaskan bahwa dalam menghadapi tuntutan/tugas
belajar yang besar dari fakullasnya, mahasiswa bisa jadi menggunakan
sebagian besar tenaganya unluk menentukan cara belajar yang terbaik atau
pendekatan yang menyebabkan mereka mendapat nilai yang tinggi dari
pengajar. Cara dan respon yang digunakan mahasiswa dalam memenuhi
situasi yang ada menunjukkan kepribadian dan penilaian mahasiswa
lerhadap perannya.
Seorang mahasiswa yang belajar di pendidikan formal harus terlebih dahulu
diketahui preslasi belajarnya (biasa disebut prestasi akademik) agar dapat
naik kejenjang pendidikan selanjutnya. Prestasi akademik ini diperlukan untuk
3
mengetahui perkembangan mahasiswa dalam belajar dan penguasaannya
terhadap hal-hal yang perlu diketahui oleh orangtua, mahasiswa itu sendiri,
dosen yang bersangkutan atau dosen lain yang berhubungan secara tidak
langsung dengan mahasiswa (Slameto, 1988). Bentuk pengukuran prestasi
akademik mahasiswa dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu ujian atau
ulangan, tugas-tugas tertulis seperti makalah atau essay dan melalui praktek
yang berhubungan dengan mata kuliah menurut winkel (1996).
Prestasi akademik menurut Yaspir Gandhi Wirawan dalam Murjono (1996)
adalah Hasil yang dicapai seorang mahasiswa dalam usaha belajarnya
sebagaimana dicantumkan di dalam nilai indeks prestasi. Melalui prestasi
akademik seorang siswa dapat mengetahui kemajuan-kemajuan yang telah
dicapainya dalam belajar.
Pengukuran prestasi akademik dapat menunjukkan gambaran dari kelebihan
maupun kekurangan mahasiswa di Universitas (Crow dan Crow, 1958).
Dengan mengetahui prestasi akademik mahasiswa, maka dapat diketahui
posisi mahasiswa dibandingkan dengan kelompoknya. Selain bagi
mahasiswa, pengukuran prestasi juga bermanfaat bagi dosen dan orang tua.
Seberapa jauh prestasi mahasiswa di dalam menguasai suatu mata pelajaran
akan disajikan dalam bentuk skala penilaian (Winkel, 1983). Skala penilaian
bisa ditampilkan dalam bentuk huruf dan angka yang melambangkan nilai
4
kuantitatif.
Prestasi akademik mahasiswa dipengaruhi beberapa faktor. Faktor-faktor
tersebut dapat digolongkan kedalam faktor-faktor internal dan faktor-faktor
eksternal (Winkel, 1996). Faktor internal adalah faktor yang berada dalam diri
siswa, yaitu kecerdasan (intelegensi), bakat, minat, kepribadian, dan
motivasi. Sedangkan yang dimaksud dengan faktor eksternal adalah faktor di
luar diri siswa, yaitu keluarga, Iingkungan sekolah dan masyarakat.
Faktor-faktor inilah yang akan saling berinteraksi sehingga menghasilkan
suatu nilai atau peringkat tertentu sebagai cerminan dari prestasi akademik
mahasiswa. Sehingga, prestasi akademik siswa bukan semata-mata hasil
menghafal atau pengajaran. Salah satunya adalah pengaruh faktor
kepribadian terhadap prestasi akademik.
Pengaruh kepribadian terhadap prestasi akademik telah banyak diteliti.
Rolfhus dan Ackerman (dalam Petrides, Premuzic, Frederickson & Furnham,
2005) menyebutkan bahwa kemampuan adalah satu bagian saja dari bagian
yang kompleks yang menentukan keterampilan dan pengetahuan siswa
dalam bagian tertentu. Dua komponen lainnya adalah minat dan karakteristik
kepribadian. Penelitian lain yang dilakukan Auckerman dan Heggestad
(dalam Petrides, Premuzic, Frederickson & Furnham, 2005) menyebutkan
5
bahwa terdapat hubungan antara keterbukaan terhadap pengalaman dengan
kemampuan kognitif yang nyata (crystallized cognitive ability). WaJaupun sifat
kepribadian dan kemampuan mental secara umum adaJah domain yang
berdiri sendiri (Eysenck, 1994), adalah mungkin bahwa beberapa sifat
kepribadian mempunyai peran yang khusus daJam memperoleh
pengetahuan.
Penelitian lain yang dilakukan Borg dan Shapiro (1996) dan Ziegert (daJam
Chowdhurry & Amin, 2006) juga menemukan hubungan yang signifikall
antara kepribadian dan prestasi akademik siswa pada beberapa prinsip
pelajaran ekonomi. Penelitian yang dilakukan bahwa siswa yang memiliki
kehati-hatian yang tinggi mempunyai prestasi yang lebih baik daripada siswa
yang kehatian-hatiannya rendah (Chowdhurry & Amin, 2006). TeJah
dibuktikan juga bahwa seseorang dengan skor Agreeableness (periJaku
menghindari konflik, kepribadian selalu mengalah) yang rendah berhubungan
dengan performa akademis yang rendah (Chowdhurry & Amin, 2006).
Tipe kepribadian mempunyai peranan penting bagi siswa daJam belajar yang
dapat diketahui berdasarkan performa siswa dan mempunyai implikasi yang
besar bagi pembelajaran. Sifat kepribadian (trait) terwujud dalam gaya belajar
yang terbagi tiga (auditori, visual, kinestetik) dimana di dalamnya terdapat
pengunaan strategi belajar dan akhirnya menciptakan sebuah hasil dari
6
pembelajaran, antara lain prestasi akademik (De Raad & Schouwenburg
dalam Chouwdhurry & Amin, 2006).
Cara yang dapat digunakan untuk mengetahui kepribadian seseorang adalah
dengan fokus pada aspek-aspek kepribadian yang spesifik. Salah satu
pendekatannya adalah dengan Sensation seeking trait (sifat pencari sensasi).
Zuckerman (dalam JalVis, 2005) mengidentifikasi sensation seeking sebagai
sebuah aspek kepribadian.
Sensation seeking sendiri adalah sebuah perilaku yang menjelaskan tentang
penekanan pada pencarian ide yang belVariasi, impulsif, komplek, sensasi
hebat serta pengalaman dan keinginan yang mengandung resiko. Kegiatan
dari sensation seeking sendiri merupakan bentuk pengalaman yang
menyenangkan bagi orang tertentu dengan berusaha memaksimalkan
arousal dan memacu adrenalin mereka menjadi aktif sehingga dengan
ketegangan yang mereka rasakan mendatangkan rasa puas dan bahagia
saat mereka dapat melewati masa kritis tersebut. (Zuckerman 1979).
Beberapa fenomena yang menggambarkan tingkah laku pada pencari
sensasi cenderung mempunyai pembawaan yang konsisten dalam sejumlah
situasi; Orang yang menikmati pengalaman baru di satu bagian
kehidupannya cenderung menggambarkan dirinya sebagai petualangan
7
dalam kehidupan lainnya. Mereka terlibat dalam olahraga, prafesi, atau hobby
yang berbahaya (terjun payung, balap mobil, menembak, menyelam dan
panjat tebing) menyukai keisengan dalam pengalaman seks dan obat-obatan;
berperilaku nekad dalam situasi fobik yang umum (kegelapan, ketinggian,
binatang yang berbahaya, berpetualang dalam perjudian, dan menyukai
makanan yang aneh-aneh. Bahkan bila diminta menggambarkan kebiasaan
dorongan normal mereka, pencari sensasi tinggi lebih senang mengendarai
mobil atau motor dalam kecepatan tinggi dibanding orang lain. (Carrol,
Zuckerman, dan Vogel, 1982).
Pada fenomena lain kita sering melihat tindakan-tindakan yang begitu berani
dan mengandung resiko tinggi berupa tindakan yang berbahaya (Risky
Activitiy) demi mencari sebuah sensasi (Sensation seeking), seperti terjun
payung, balap motor atau mobil, panjat tebing, arung jeram, sepeda BMX dan
papan luncur (skateboard) yang terdapat pada olahraga menantang (ekstrim).
(www.ristaking.co.uk).
Sebagai bagian dari teori kepribadian yang berarientasi sifat (trait theories),
sensation seeking bersifat relatif stabil dan menetap. Teori ini menyatakan
bahwa manusia memiliki sifat atau traits tertentu, yakni pola kecenderungan
untuk bertingkah laku dengan cara tertentu. Sifat yang stabU ini menyebabkan
8
manusia bertingkah laku secara relatif tetap dari siluasi ke situasi lain (Pervin,
1997).
Ciri dari trait sensation seeking sendiri adalah punya keberanian yang
ekstrim, selalu ingin tahu, toleran terhadap kesulitan atau rasa sakit dan
rentan terhadap kebosanan. Orang dengan trail high sensation seeking
cenderung terbuka terhadap pengalaman baru (Costa & Me Crae dalam
Halonen & Santrock, 1999). Sedangkan orang yang tergolong low sensation
seekers (pencari sensasi rendah) punya ciri yang sebaliknya ; cenderung
merasa takut dan menghindari aklivitas yang berbahaya tersebut. Mereka
umumnya terbilang konvensional dengan norma Iingkungannya. Keyakinan
dan motivasi antara orang yang tergolong high sensation dan low sensation
seeking saling bertolak belakang, khususnya minat, kesukaan dan hobi
mereka. Orang yang termasuk high sensation seeking cenderung over aktif
dengan segala sesuatu yang berbahaya dan punya kesulilan yang tinggi,
sebaliknya orang yang tergolong low sensation seeking cenderung
melakukan sesuatu yang resikonya kecil. (Zuckerman, 1979).
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, karakteristik yang dimiliki oleh
sensation seekers (mereka yang memiliki sensation seeking tinggi), baik
karakateristik perilaku maupun karakteristik kognitif, membuat mereka tidak
mudah beradaptasi dengan pola pengajaran dikelas yang lebih banyak
10
tidak dapat beradaptasi dengan rutinitas kelas. Hal tersebut senada dengan
penjelasan yang terdapat dalam Berliner dan Calfee (1996).
Pendapat Zuckerman (1994) mengenai kepribadian seseorang khususnya
sensation seeking, dimana kecenderungan genetik dan Iingkungan sosial
berperan terhadap individu yang menjadi pencari sensasi (sensation seekers)
atau pengambil resiko. Berdasarkan sudut pandang biologis, Eysenck (dalam
Schultz & Schultz, 2005), menyatakan bahwa 58% dari trait sensation
seeking disumbangkan oleh faktor genetik.
Sejumlah penelitian membuktikan bahwa sensation seeking meningkat sejak
usia kanak-kanak hingga remaja dan puncaknya pada tahap remaja akhir
dengan usia 18-20 tahun (Zuckerman, 1974). Hal ini sejalan dengan
menurunnya enzim monoamine-oxidase (MOA), dopamine-beta-nydroxylase,
dan norepinephrine pada usia remaja sehingga menimbulkan peningkatan
sensation seeking (dalam Hall, Lindzey, & Campbell, 1998).
Sistem belajar mengajar saat ini diketahui tidak saja menyajikan ceramah,
melainkan sudah dikombinasikan dengan metode lainnya yang lebih aktif,
seperti diskusi, kerja kelompok dan presentasi. Hal ini seharusnya dapat
menjadi sarana yang baik bagi sensation seeker yang memiliki karakteristik
11
cenderung mudah bosan dengan rutinitas dan selalu membutuhkan
pengalaman baru.
Perkembangan ini menarik minat peneliti untuk menelaah lebih lanjut prestasi
akademik pada mahasiswa yang memiliki karakteristik sensation seeking.
Dengan semakin bervariasinya metode pengajaran dan belajar, apakah hal
tersebut berpengaruh terhadap keberhasilan akademik mahasiswa yang
memiliki karakteristik kepribadian sensation seeking tinggi atau malah
sebaliknya. Hal tersebutlah yang akan diteliti pada penelitian ini.
Maka berdasarkan latar belakang ini pulalah penulis melakukan penelitian
tentang hubungan Sensation Seeking dengan Prestasi Akademik pada
Mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Jakarta.
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat
diidentifikasikan beberapa hal yang mungkin dapat dijadikan dasar
pelaksanaan penelitian ini, yaitu:
1. Apakah ada hubungan antara sensation seeking dengan prestasi
akademik?
12
2. Komponen apa sajakah yang terdapat pada sensation seeking dan
prestasi belajar?
3. Faktor apa sajakah yang mempengaruhi sensation seeking dan prestasi
belajar?
1.3. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.3.1 Pembatasan Masalah
Prestasi akademik adalah hasil belajar dari suatu aktifitas belajar yang
dilakukan berdasarkan pengukuran dan penilaian terhadap hasil kegiatan
belajar dalam bidang akademik yang diwujudkan berupa angka-angka atau
nilai yang ditulis dalam Indeks prestasi (IP) (Chaplin,1975).
Sensation seeking sendiri adalah sebuah perilaku yang menjelaskan tentang
penekanan pada pencarian ide yang bervariasi, impulsif, komplek, sensasi
hebat serta pengalaman dan keinginan yang mengandung resiko
(Zuckerman, 1991).
1.3.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka
masalah penelitian dapat dirumuskan:
13
Apakah terdapat HUbungan yang signifikan antara Sensation Seeking dengan
Prestasi Akademik Mahasiswa Fakullas Psikologi UIN Jakarta?
1.4. Tujuan dan Manfaat penelitian
1.4.1. Tujuan Penelitian
TUjuan dari penelitian ini yailu unluk mengelahui Hubungan Sensation
seeking dengan Prestasi Akademik Mahasiswa Fakullas Psikologi UIN
Jakarta.
1.4.2. Manfaat Penelitan
1.4.2.1. Manfaat teorilis dilaksanakan penelitian:
Hasil penelilian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi psikologi
pendidikan dan memperkaya hasil penelitian yang telah ada dan dapat
memberi gambaran mengenai Hubungan Sensation Seeking dengan Prestasi
Akademik Mahasiswa Fakullas Psikologi UIN Jakarta.
1.4.2.2. Manfaat penelilian praktis dilaksanakan penelilian:
Hasil Penelilian ini dapal memberikan masukan kepada pihak Universitas
untuk memberikan dukungan dan perhaliannya pada peserta didiknya dalam
menghadapi mahasiswa dengan kepribadian Sensation Seeking linggi dalam
upaya meningkalkan Prestasi Akademiknya.
BAB2
KAJIAN TEORI
2.1
Sensation Seeking
2.1.1 Pengertian Sensation Seeking
Sensation seeking merupakan sebuah karakteristik kepribadian yang
dikemukakan oleh Zuckerman. Sensation seeking (Zuckerman, 1994) adalah
..."characterized by the search for varied, novel, complex, and intense
sensation and experience, and the willingness to take physical, social,
premarital and marital relationships, and/or financial risk for the sake of such
experiences"...
Sebagai sebuah sifat kepribadian (trait), sensation seeking bersifat relatif
stabil dan menetap. Sensation seeking menurut Zuckerman (1979),
mempunyai bentuk dasar mendekati-menarik diri (approach-withdrawaO yang
merupakan salah satu dari sembilan kategori tingkah laku yang dikemukakan
oleh Thomas dan Chess (Zuckerman, 1991).
Sensation seeking sendiri adalah sebuah perilaku yang menjelaskan tentang
penekanan pada pencarian ide yang bervariasi, impuisif, komplek, sensasi
hebat serta pengalaman dan keinginan yang mengandung resiko. Kegiatan
16
dari sensation seeking sendiri merupakan bentuk pengalaman yang
menyenangkan bagi orang tertentu dengan berusaha memaksimalkan
arousal dan memacu adrenalin mereka menjadi aktif sehingga dengan
ketegangan yang mereka rasakan mendatangkan rasa puas dan bahagia
saat mereka dapat melewati masa kritis tersebut. (Zuckerman 1979).
Sebuah pendekatan sistem saraf yang berhubungan dengan kepribadian
sensation seeking berpendapat bahwa para pencari sensasi memiliki
kecenderungan yang konsisten untuk terus mencari aktivitas yang sangat
menegangkan dan mereka juga tertarik dengan segala sesuatu yang belum
mereka ketahui. Akan tetapi, para pencari sensasi tidak memiliki preferensi
yang konsisten, seperti menikmati kebersamaan dengan orang lain, sehingga
mereka tidak dapat dikatakan langsung sebagai orang ekstrovert, tetapi teori
ini juga menyatakan bahwa para pencari sensasi ini mungkin memiliki aktivasi
alami (biologis internal) yang rendah sehingga mencari ransangan dari
Iingkungannya. (Ivan peytrovich Pavlov, 1913).
Seperti yang diungkapkan oleh Zuckerman (1994), sensation seeking adalah
sebuah trait. Trait adalah sebuah karakteristik pada individu yang menetap
dimana diwujudkan dalam cara tingkah laku yang konsisten dalam berbagai
!,?ituasi yang luas (Krech dan Crutchfield, 1958). Trait bersifat stabil dan
17
menetap, setidaknya pada usia dewasa, kecuali perubahan yang terjadi
karena penyakit kejiwaan atau bertambahnya usia.
Menurut Zuckerman (1979) orang yang kesukaannya melakukan kegiatan
ekstrim (menantang) tersebut diasumsikan mempunyai aspek kepribadian
sensation seeking yang mempunyai perbedaan perilaku dari orang lain, dan
memiliki resiko dari tingkah laku, yaitu segala aktifitas yang dapat
mengakibatkan kematian atau efek negatif terhadap kesehatan individL'
(minuman keras, merokok, sex bebas, pola makan yang buruk) atau tingkah
laku sosial yang agresif (kekerasan, kriminal, dan tingkah laku menyimpang).
Dalam fenomena lain dijelaskan keragaman dalam pencarian sensasi dapat
mempengaruhi cara manusia bereaksi terhadap sesamanya. Pencari sensasi
tinggi (High sensation seekers) mungkin merasa bahwa pencari sensasi
rendah (Low sensation seekers) membosankan dan tidak menarik.
Sebaliknya, pencari sensasi rendah merasa bahwa pencari sensasi tinggi
terlibat dalam aktivitas yang tidak produktif dan sia-sia. Sikap ini dapat
menjadi penting dalam pilihan teman hidup. Ada hubungan erat antara suami
dan isteri, pencari sensasi tinggi cenderung mengawini orang bersensasi
tinggi, dan pencari sensasi rendah cenderung mengawini orang bersensasi
rendah. Kecocokan ciri pembawaan ini merupakan tolak ukur dari
penyesuaian perkawinan (Fisher, Zuckerman, dan Neeb, 1981).
18
Didalam bukunya "The Concept of The Sensation Seeking Trait" Zuckerman
mengusulkan bahwa jenis pencarian sensasi akan lebih baik dengan
menentukan bentuk aktifitas yang akan dilakukan. Dan Zuckerman tidak
mengklaim bahwa semua sensation seeker berhasrat membuat hal-hal
negatif terhadap dirinya, misalkan menggunakan obat terlarang, alkohol atau
perbuatan nekat lainnya. Bagaimanapun mereka lebih bahagia dengan
terlibat langsung pada kegiatan yang mempunyai resiko berbahaya daripada
mereka mempersepsikan dirinya sebagai low sensation seekers (pencari
sensasi rendah).(Zuckerman 1979).
2.1.2 Komponen Sensation Seeking
Zuckerman (1991) telah mengembangkan model trait yang disebut sebagai
trait Sensation seeking (pencari sensasi). la membuat pengukuran dari
sensation seeking menjadi 4 komponen, yaitu :
1. Thrill & Adventure
Thrill & Adventure Seeking, mencari sensasi yang menggairahkan lewat
partisipasi dalam kegiatan yang berisiko. Komponen ini menggambarkan
hasrat untuk berpartisipasi dalam olahraga atau aktivitas yang menyajikan
sensasi yang tidak biasa. Sensasi yang tidak biasa ini berhubungan dengan
olahraga atau aktivitas yang menghasilkan sensasi kecepatan atau melawan
19
gravitasi seperti panjat tebing, menyelam, terjun payung, bungge jumping dan
ski.
2. Experience Seeking
Mencari sesuatu yang bersifat stimulasi lewat pikiran, penginderaan dan gaya
hidup yang nonkonfomis. Sensasi ini didapatkan melalui seni, perjalanan
musik, atau obat-obatan. Komponen ini juga menggambarkan hasrat
seseorang untuk bertemu dan berteman dengan orang yang tidak biasa.
Apabila dikaitkan dengan bidang pendidikan, sensasi ini dapat berupa
. khayalan, ide-ide yang orisinal (asH/baru) dan keingintahuan yang kuat.
3. Disinhibition
Mencari sensasi-sensasi lewat stimulasi sosial dan tingkah laku disinhibitory
seperti minum-minum, berjudi, pesta atau hUbungan seksual.
4. Boredom Suscepteibility
Menghindari situasi dan aktivitas yang monoton dan membosankan.
Komponen ini menjelaskan tentang seberapa mudah bosan seseorang pada
suatu keadaan, reaksi seseorang dalam menghadapi situasi dan aktivitas
monoton/membosankan. Seorang siswa akan mudah bosan apabila hanya
diminta untuk mendengarkan ceramah dan mencatat ketika dalam ruangan.
Mereka membutuhkan kegiatan yang selalu bergerak dan dinamis atau baru.
20
Orang yang skornya tinggi pada skala sensation seeking yang meliputi
keempat komponen diatas tersebut, menunjukan hubungan yang signifikan
dengan berbagai macam tingkah laku seperti penyalahgunaan obat, aktivitas
seksualnya dan partisipasinya dalam olahraga yang beresiko besar (Hall
Calvin S, lindzey, Gardner, Campbell, Jhon B. 1998).
2.1.3 Karakteristik Sensation Seeking
Sensation seeking berada dalam sebuah kontinum, dimana semua orang
pasti memiliki sensation seeking, antara sensation seeking tinggi dan rendah.
Sensation seeking terbentuk dalam tingkah laku yang dimotivasi oleh
kebutuhan demi suatu bentuk pengalaman baru yang bervariasi dan
merupakan suatu sensasi yang kompleks (Halonen, Jane S. & Santrock,
Jhon W, 1999). Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai perilaku yang tam pi!.
Berbagai karakteristik Sensation seeking:
a. Karakteristik Perilaku
Dalam penelitian Zuckerman tentang teori Sensation Seeking dan juga di
dalam bukunya ; Psychobiology of Personality Problems in The Behaviour
Sciences ia menguraikan beberapa Giri kepribadian dari orang-orang pencari
sensasi tinggi, yaitu :
21
•
Terlibat dalam aktivitas hidup yang beresiko tinggi (dalam kegiatan
olahraga, profesi, pekerjaan dan hobi-hobinya).
•
Menyukai situasi fobik yang umum, seperti kegelapan, ketinggian,
kedalaman, binatang yang berbahaya.
•
Punya keberanian ekstrim
•
Menyukai segala hal yang menantang
•
Dapat menikmati segala sesuatu yang berbahaya
•
Menganggap segala situasi kurang beresiko
•
Masuk ke perilaku beresiko kecenderungan melakukan hal berbahaya
•
Keluar dari situasinya karena tidak ada stimulasi seperti apa yang
diharapkan
•
Berkurangnya kecemasan dengan adanya penilaian resiko yang sama.
1. Terbuka terhadap pengalaman baru (Openness to Experience).
Trait dari dimensi kepribadian ini mengukur imaginasi, kepekaan akan
estetika dan perasaan, punya minat terhadap berbagai macam kegiatan,
punya daya intelektual dan pemikiran yang bebas (independent of
jUdgement). Terbuka terhadap pengalaman baru merupakan keaktifan
seseorang mencari dan mengekpresikan pengalaman untuk kepentingan
mereka sendiri. (Costa & McCrae dalam Halonen & Santrock,1999).
22
Orang yang skornya tinggi pada hal ini punya karakteristik antara lain;
keingintahuan yang tinggi (intellectual), punya minat yang luas. original,
imajinatif, kreatif, senang membuat ide-ide baru, membuat nilai-nilai baru,
menyukai perubahan, menikmati berbagai macam aktivitas variatif dan
sifatnya novelty, unconformist (bebas mengekspresikan diri dan tidak suka
pada sesuatu yang konservatif), dan menyukai estetika.
Sedangkan orang yang rendah pada skor ini punya karakteristik sebaliknya;
yaitu punya minat yang dangkal, kepekaan terhadap artistiknya rendah,
kurang analisis, penampilan konservatif, respon emosionalnya tidak ekspresif
(Costa & McCrae, 1991).
2. Tipe Ekstrover
Adalah dimensi kepribadian yang mengukur kualitas dan intensitas inte'raksi
interpersonal, tingkat aktivitas, kebutuhan akan stimulasi dan kapasitas
terhadap kegembiraan (R. R McCrae dan P. T. Costa, Jr). Ciri kepribadian
ekstrover asyik dengan dirinya sendiri, dimana orang lain hanyalah sebagai
penonton dan juga sumber stimulus bagi dirinya sendiri. Mereka suka
menjaga otonominya secara asertif dalam berhubungan dengan orang lain
daripada mengisolasi diri. Mereka bisa menjadi asosial dalam pengertian
bahwa mereka mengatur dirinya sendiri daripada diatur oleh kesepakatan
sosial (sosial conventions) dari semua kebutuhan dan sikap-sikapnYi;!
23
terhadap orang lain. Mereka mengharapkan kebebasan dan pemenuhan diri
yang hedonis dengan orang lain (Zuckerman, et ai, 1996). Karakteristik tipe
orang ekstrover adalah :
•
Mudah bersosialisasil bergaull berteman
•
Aktif
•
Banyak bicara (talkative)
•
Orientasi terhadap afiliasi (sociable)
•
Optimis
•
Suka bersenang-senang (fun loving) dan pengembira
•
Impuisif
•
Berani mengambil resiko
•
Asertif
Tetapi sebaliknya orang yang skornya rendah pada dimensi ini
karakteristiknya ; pendiam, tenang, pembawaannya serius, penyendiri (loner),
berorientasi tugas dan cenderung pemalu (Costa & McCrae, 1985).
24
b. Karakteristik Kognitif
Selain berbagai karakteristik yang muncul dalam perilaku, perbedaan tingkat
sensation seeking juga menimbulkan variasi dalam proses kognitif
seseorang. Mereka yang mempunyai nilai sensation seeking tinggi, lebih
cepat dalam mengenali simbol dan gambar daripada mereka yang
mempunyai nilai sensation seeking rendah, dimana dinyatakan bahwa
mereka yang memiliki sensation seeking tinggi memproses informasi dengan
lebih cepat. Pencari sensasi tinggi lebih menyukai stimulasi visual yang
kompleks, sedangkan mereka yang memiliki sensation seeking rendah lebih
menyukai kestabilan, kesederhanaan dan simetris. Pencari sensasi tinggi
dapat memusatkan perhatian dengan lebih baik dibandingkan pencari
sensasi rendah (Schultz & Schultz, 2005).
Korelasi antara sensation seeking dengan intelegensi secara umum adalah
signifikan tetapi tidak tinggi (London & Exner, 1978). Sebuah penelitian yang
dilakukan di Mauritius menemukan bahwa mereka yang mempunyai
sensation seeking yang lebih tinggi pada usia 3 tahun, mempunyai skor
intelegensi 12 angka lebih tinggi pada usia 11 tahun daripada mereka yang
ketika usia 3 tahun memiliki nilai sensation seeking yang rendah. Hasil
tersebut sama pada anak laki-Iaki dan perempuan dan tidak dipengaruhi oleh
tipe pekerjaan dan pendidikan orang tua (Schultz & Schultz, 2005).
25
Anderson (London & Exner, 1978) menemukan bahwa Disinhibition (tingkah
laku minuman keras, sex bebas dan pesta) berkorelasi negatif dengan
prestasi di sekolah lanjutan tingkat atas. Dibuktikan juga oleh Bone & Cowling
(London & Exner, 1978) dengan menemukan korelasi negatif antara
Disinhibition dengan kuesioner motivasi berprestasi. Anderson
menambahkan bahwa Experience Seeking (ES) berkorelasi positif dengan
ketidakhadiran di kelas.
Zuckerman (Merrens & Branningan, 1998) menyatakan, walaupun terdapat
korelasi positif rendah antara Intelegensi dengan sensation seeking, mereka
yang memiliki sensation seeking tinggi tidak sering berprestasi di Sekolah
lanjutan dan Universitas. Analisis menyebutkan bahwa walaupun mereka
sekolah, mereka cenderung untuk menghindari kelas dan memilih mabukmabukan. Hal ini bisa saja merupakan perwujudan dari rasa bosan akan
suasana belajar di kelas dan keinginan untuk selalu mencari pengalaman
baru.
Penelitian lain menunjukkan bahwa pencari sensasi tinggi tidak menghasilkan
nilai sekolah yang baik. Zuckerman menilai bahwa hal tersebut dikarenakan
pencari sensasi tinggi lebih terlibat pada pengejaran hal bersifat rekreasi
mereka lebih sedikit menggunakan waktu untuk belajar. Tes kreativitas dan
orisinalitas menunjukkan bahwa pencari sensasi tinggi mempunyai kapasitas
26
yang lebih baik dalam orisinalitas berpikir tetapi tidak selalu menampilksn
dalam tugas sekolah mereka. Mereka bisa mempunyai khayalan, mimpi, dan
angan-angan yang sangat "hidup" yang perbedaannya sangat rancu antara
stimulus internal dan kenyataan. Menurut Zuckerman (Schultz & Schultz,
2005), hal tersebut dikarenakan pencari sensasi tinggi secara
berkesinambungan mencari pengalaman baru, bila mereka tidak dapat
menemukannya dalam kenyataan mereka mencari dalam batin dan
menciptakan fantasi.
Penelitian menyatakan bahwa rutinitas kelas yang membosankan dapat
meyebabkan rasa bosan yang kuat pada pencari sensasi tinggi yang sangat
rentan pada perhatian yang terus menerus, karena itu membuka jalan
timbulnya perilaku yang bermasalah seperti gelisah, banyak bicara dan'
menggangu (Blum et ai, 2000). Pencari sensasi tinggi merasa kegiatan debat
dan pemberian tugas di luar sekolah adalah hal yang lebih menarik (Merrens
& Branningan, 1998).
Farley (1981), menjelaskan bahwa metode pendidikan yang tidak
merangsang akan memperkecil keingintahuan dari pencari sensasi muda dan
meningkatkan kemungkinan tingkah laku yang buruk sebagai
konsekuensinya. Peraberton (london & Exner, 1978) yang menemukan
adanya korelasi positif dengan skala potensi kreatif menegaskan bahwa gaya
27
nonkonformitas yang dimiliki sensation seekers (pencari sensasi) tidak dapat
beradaptasi dengan rutinitas kelas. Siswa dengan sensation seeking tinggi
lebih menyenangi dan lebih mahir dalam lingkungan belajar yang High-
arousal (Berliner & Calfee, 1996).
Pencari sensasi juga gagal untuk mengembangkan potensi mereka di
sekolah (Grasha, 1980). Siswa yang cenderung tinggi sensation seekingnya
mempunyai hasrat yang lebih pada pengalaman yang menggairahkan dan
bervariasi daripada apa yang disediakan diruang kelas.
Karakteristik perilaku dan kognitif yang dimiliki oleh sensation seekers
(pencari sensasi) membuat mereka rentan akan kebosanan dan selalu
membutuhkan tantangan dan pengalaman baru. Pola pengajaran yang sering
diterapkan dalam pendidikan formal di indonesia adalah ceramah. Siswa
jarang diminta aktif bertanya, berdiskusi, mene/iti atau melakukan percobaan.
Metode ceramah dirasakan sangatlah tidak menarik oleh mereka yang
memiliki sensasi seeking tinggi, sehingga mereka akan mudah teralihkan oleh
hal lain, seperti kegiatan alam bebas, kebut-kebutan, perilaku seksual
beresiko dan kegiatan lainnya yang bukan kegiatan sekolah. Dan hasilnya
mereka berpotensi besar untuk mempunyai prestasi akademik yang rendah,
kesulitan mengikuti pelajaran dan peraturan sekolah.
2.1.4 Faktor yang Mempengaruhi Sensation Seeking
a. Faktor Bawaan (Biologis)
Terdapat beberapa penelitian yang mengindikasikan bahwa seseorang bisa
mempunyai kecenderungan mempunyai sensation seeking yang tinggi atau
rendah berdasarkan faktor bawaan, antara lain:
•
Penelitian pada saudara kembar identik menunjukkan nilai sensation
seeking yang sama pada mereka (Schultz & Schultz, 2005).
•
Antara setengah hingga dua per tiga dari keberagaman sensation
seeking didapatkan melalui keturunan (Merrens & Brannigan, 1998).
•
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Eysenck (Schultz & Schultz,
2005) dinyatakan bahwa 58% dari trait sensation seeking
disumbangkan oleh faktor genetik.
•
Terdapat korelasi yang negatif antara sensation seeking dengan
monoamine-oxidase (MOA), dopamine beta nydroxylase, dan
norepinephrine (hall, Lindzey & Campbell, 1998).
Zuckerman (1983) telah mengembangkan teori biologi untuk melihat
perbedaan individu dalam sensation seeking. Dasar biologis dihubungkan
kepada kuatnya refleks terhadap adanya stimulus dan menguatnya respon
terhadap stimulus tersebut, serta tingginya hormon seks (testoteron,
esterogen dan estrodial) itu semua merupakan eksperimen dari faktor
29
disinhibition. Oi dalam versinya Zuckerman (1984) model pencarian sensasi
tinggi diasosiasikan dengan rendahnya tingkat norepinephrine atau
kemampuan arousal. Sehingga orang tersebut mencari stimulasi untuk
mengimbangi tingkat norepinerphine yang rendah. Mekanisme utama yang
menekankan perilaku impulsif dari pencarian sensasi adalah faktor
disinhibition vs inhibition. Sifat impulsif inilah yang menjelaskan
kecenderungan tingkah laku terhadap hadirnya signal antara reward dan
punishment dalam setiap peristiwa (Zuckerman et ai, 1996). Oiperkirakan
50% variabilitas sensation seeking berdasarkan genetika.
•
Usia
Zuckerman menemukan bahwa sensation seeking bervariasi sesuai dengan
usia. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Putnam & Stiffer menemukan
bukti bahwa perilaku sensation seeking sudah dapat terlihat ketika anak
berusia 2 tahun (Ciccarelli & Meyer, 2006). Pada orang yang lebih muda,
pencarian mereka akan petualangan, resiko dan pengalaman yang baru akan
lebih tinggi dibandingkan orang yang lebih tua. Hasil tes pada remaja hingga
individu yang berusia 60 tahun menunjukkan bahwa sensation seeking mulai
menurun di awal usia 20 tahun (Schultz & Schultz, 2005).
30
Sejumlah penelitian dengan jelas membuktikan bahwa sensation seeking
meningkat sejak usia kanak-kanak hingga remaja dan puncaknya pada tahap
remaja akhir dengan usia 18-20 tahun (Larsen & Buss, 2002). Kish dan
Busse (London & Exner, 1978) menemukan adanya perbedaan yang
signifikan pada rata-rata skor sensation seeking antara siswa sekolah dasar
dengan mahasiswa. Penelitian lain menyebutkan bahwa sensation seeking
mengalami peningkatan hingga usia 16 tahun dan mulai mengalami
penurunan pada awal usia 20 tahun (Hole, 2007). Sehingga, setelah masa
perkuliahan, sensation seeking cenderung melemah (Atwater, 1983).
Diringkas oleh Zuckerman (1975), berdasarkan rentang usia yang terbatas,
ditemukan korelasi negatif yang tinggi secara signifikan antara usia dan
sensation seeking, berkisar antara 30 hingga 64 tahun. korelasi negatif yang
paling tinggi ditemukan pada skala pencarian pengalaman (ES). Korelasi
rata-rata antara sensation seeking dengan usia 30, menyatakan penurunan
bertahap dengan peningkatan usia selama remaja (Larsen & Buss, 2005).
•
Jenis kelamin
Perbedaan yang signifikan terhadap jenis kelamin ditemukan pada semua
komponen sensation seeking (Hole, 2007 dalam Wegner & Pennebaker).
Laki-Iaki mempunyai nilai yang lebih tinggi pada pencari sensasi dan
31
petualangan, Disinhibiton (Wegner & Pennebaker, 1993.) dan ketidaktoleran
terhadap kebosanan (8S). Perempuan mempunyai nilai yang lebih tinggi
pada pencarian pengalaman (ES). Hasil yang sama juga didapatkan pada
pene/itian dengan menggunakan subyek dari negara Amerika Serikat, Inggris,
Skotlandia, Jepang dan Thailand.
Penelitian yang dilakukan pada remaja sekolah lanjutan menunjukkan adanya
perbedaan yang signifikan antara jenis kelamin, yaitu skor sensation seeking
yang dimiliki oleh pria lebih tinggi (Petri & Govern, 2004). Perbedaan yang
signifikan ditemukan dalam semua skala, tetapi perbedaan paling besar
muncul pada skala Disinhibition. Hal ini mungkin sebagai hasil dari
perbedaan sikap impersonallaki-Iaki dan perempuan.
Keragaman dalam pencarian sensasi dapat mempengaruhi cara manusia
bersikap atau bereaksi terhadap sesamanya, orang High sensation seekers
dapat beranggapan bahwa mereka-mereka yang tergolong low sensation
dirasakan begitu membosankan dan tidak menarik dalam berinteraksi. Dan
sebaliknya persepsi dari low sensation seeking merasa bahwa high sensation
seekers terlibat dalam aktivitas yang tidak produktif, nekat dan suatu kesiasiaan saja. Sikap ini menjadi begitu penting pula dalam pencarian pasangan
hidup. Kecocokan dari ciri pembawaan ini merupakan tolak ukur dari
penyesuaian perkawinan (Fisher, Zuckerman & Neeb, 1981 dalam Eysenck,
32
H.J. 1991). Apabila pasangan suami istri, yang satu mempunyai trait
sensation seeking yang dominan dan pasangaannya mempunyai trait
sensation seeking yang rendah, maka kemungkinan ketidaksesuaian dalam
pernikahan sangat besar ; khususnya apabila pasangan wanitanya berskor
tinggi dalam pencarian skala pencarian sensasi. Pasangan dari para high
sensation seekers dapat beranggapan bahwa pasangan dari golongan low
sensation seekers kurang rnenarik dan tertutup. Tetapi mengapa yang
dipermasalahkan bila wanitanya yang tergolong high sensation seeking?
mungkin karena lebih banyak peluapan sensation seeking diluar pernikahan
bagi sang suami daripada pihak istri. Atau karen a faktor harapan budaya
bahwa pria seharusnya mengambil peran pemimpin dalam kehidupan rumah
tangga dan akan menimbulkan masalah apabila si istri lebih cenderung aktif
mencari pengalaman baru. (Zuckerman; ditulis oleh David Pargman dalam
Singer, Robert N., et al.1993).
Sensation seeking dikalangan pria berhubungan dengan preferensi interaksi
antar pribadi, tetapi berkorelasi negatif dengan pekerjaan-pekerjaan
administratif atau pekerjaan bisnis. Sedangkan untuk wanita berkorelasi
negatif dengan pekerjaan kewanitaan yang dianggap streotif, seperti menjadi
ibu rumah tangga atau guru. Pekerjaan dan minat para high sensation
seeking cenderung ke pekerjaan yang punya kebebasan, dan tidak suka
pada pekerjaan yang konservatif. Contoh pekerjaan yang menggairahkan dan
33
bersifat tantangan adalah berkecimpung di dalam olahraga petualangan atau
pekerjaan yang berbahaya. Sedangkan pekerjaan dan minat para low
sensation seeker cenderung kepada pekerjaan yang menuntut kepatuhan
terhadap pihak otoritas.
b. Faktor Lingkungan (Sosial)
Lingkungan atau sosial merupakan salah satu sarana pembelajaran yang
dapat digunakan seseorang. Pengamatan dan kemudian imitasi terhadap
orang tua, teman, dan orang lainnya yang dianggap bermakna mungkin
membantu seseorang untuk belajar secara relatif kecenderungan menjadi
pencari sensasi tinggi atau rendah. Beberapa penelitian yang membuktikan
hal tersebut, antara lain:
•
Orang tua dengan sensation seeking tinggi akan mendorong dan
memberikan semangat kepada anak mereka untuk terlibat da/am
aktivitas yang tidak biasa, sehingga menimbulkan tingkah laku
sensation seeking.
•
Nilai pada sensation seeking juga mendukung pem
AKADEMIK MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI JAKARTA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Universitas Islam Neg"rl
SYARIf HIOAYAiUllAH JAKARTA
Oleh:
FACHDI AMANTA
NIM : 203070001463",
_._.
,
l'gl.
Clio. 1",lul< :
k'"lI1luts! :
,
NAqLセZjQャ
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
JAKARTA
1430 H 12009 M
.....
"k.??: L:k:.::Q.£L._...."...
FAKULTAS PSIKOLOGI NON REGULER
SYARIF HIDAYATULLAH
__.--
.,..,.- ", _ _•...
b
·ャBeセpvst
C
MAANUlNIM
UIN SYdiセ
QセNスj
·1
A
HUBUNGAN SENSATION SEE NG DENGAN PRESTAJ
AKADEMIK PADA MAHASISWA UIN JAKARTA
Skripsi
Oiajukan kepada·Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat
memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Oi Bawah Bimbingan
Pembimbing I
Ikhwan Lutfi, M,SI
NIP. 150 368 809
Oisusun oleh :
Fachdi Amanta
NIM : 203070001463
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi
yang
PRESTASI
berjudul
HUBUNGAN
AKADEMIK
SENSA nON SEEKING DENGAN
MAHASISWA
FAKULTAS
PSIKOLOGI
(UIN)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA telah
diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 23 Juni 2009. Skripsi ini
telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Program Strata 1 (S1) pada Fakultas Psikologi.
Jakarta, 23 Juni 2009
Sidang Munaqasyah
Dekanl
Ketua Merangkap Anggota
Pembantu Dekanl
Sekretaris Merangkap Anggota
セGO
[ウセ「Lョイd
Jahja Umar, Ph.D
NIP, 130885522
NIP. 150215283
Anggota:
Penguji II
Dr. iana Mutiah, M. Si
NIP. 150277 469
Ikhwan Lutfi, M. Si
NIP. 150368809
Pembimbing
セ
セN
... M セ
セ
,,"
...
- Ikhwan Lutfi, M.Si
NIP. 150368809
1II
PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama: Fachdi Amanta
NIM
: 203070001463
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul "Hubungan Sensation
Seeking dengan Prestasi Akademi Mahasiswa Fakultas Psikologi
Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta" adalah benar merupakan karya
saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiatdalam penyusunan skripsi
tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan skripsi ini
telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam daftar pustaka.
Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan
Undang-Undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat
atau jiplakan dari karya orang lain.
Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebaik-baiknya.
Jakarta, 23 Juni 2009
Fachdi Amanta
204070001463
MOTTO
Keajaiban selalu ada pada diri Manusia ..
Jika bta pernah mengalami keajaiban
.
Maka percayalah itu adalah kehendakNya
.
Keajaiban bagai sebuah misteri kehidupan.....
Yang bisa bta alami di Iuar Iogika...
Terimalah keaiaiban atas sebuah KEBERHASlLAN .....
Dan Katakan Syukuy PadaNya.....
Biarkanlah Misteri berjalan di atas Keajaiban ....
" Satu Rasa Satu Hati "
Karya ini
Kupersembahkan untuk
Keluarga terbaikku
Kekasih hatiku
Sahabat setiaku
ABSTRAK
(A) Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
(B) Juni 2009
(C) Fachdi Amanta
(D) Hubungan Sensation Seeking dengan Prestasi Akademik Mahasiswa
Fakultas Psikologi U/N Jakarta.
(E) 83 halaman
(F) Belajar merupakan penga/aman seseorang sepanjang usianya yang
mempengaruhi seluruh proses tingkah laku. Kepribadian seseorang turut
serta mempengaruhi proses be/ajar, salah satunya kepribadian Sensation
Seeking. Kepribadian seseorang dalam proses be/ajar secara pendidikan
formal (Perguruan tinggi) menghasilkan suatu nilai atau hasil evaluasi
belajar yang disebut dengan prestasi akademik.
Kepribadian Sensation Seeking adalah sebuah perilaku yang menjelaskan
tentang penekanan pada pencarian ide yang bervariasi, impulsif, komplek,
sensasi hebat serta pengalaman dan keinginan yang mengandung resiko.
Kegiatan dari sensation seeking sendiri merupakan bentuk pengalaman
yang menyenangkan bagi orang tertentu dengan berusaha
memaksimalkan arousal dan memacu adrenalin mereka menjadi aktif
sehingga dengan ketegangan yang mereka rasakan mendatangkan rasa
puas dan bahagia saat mereka dapat melewati masa kritis tersebut.
Prestasi akademik merupakan hasH kegiatan belajar, yaitu sejauh mana
peserta didik menguasai bahan pelajaran yang diajarkan yang diikuti oleh
munculnya perasaan puas bahwa ia telah melakukan sesuatu dengan
baik.
Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari hubungan antara sensation
seeking dengan prestasi akademik. Jenis penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini ada/ah pendekatan kuantitatif dengan metode
pene/itian korelasi. Jumlah populasi da/am penelitian ini adalah 518
mahasiswa sedangkan yang menjadi sampel penelitian sebanyak 30
mahasiswa. Instrumen pengumpulan data ada/ah Skala modellikert.
Bentuk pengolahan dan analisa data menggunakan ana lisa statistika
dengan menggunakan program SPSS 11.5, pada uji validitas
menggunakan korelasi Product Moment dari Pearson dan untuk menguji
reliabilitas instrument dengan Alpha Cronbach. Dan untuk menguji
hipotesis penelitian menggunakan Product Moment.
.
Jum lahJte.l1lYang_'lalkiuntuk..skaJa..sensation-seeking..29-item-Q8R--- ---------Reliabilitas skala sensation seeking adalah 0.235. Dari penelitian
berdasarkan hasH uji hipotesis dari Pearson terhadap skar sensation
seeking diketahui r hitung (0,235) < dari r tabel (0,355). Hubungan ini
menjelaskan bahwa tidak ada hubungan antara sensation seeking dengan
prestasi akademik.
Diskusi dari penelitian ini dapat dijelaskan bahwa suatu penelitian yang
menyatakan bahwa rutinitas kelas yang membasankan dapat
meyebabkan rasa bosan yang kuat pada pencari sensasi tinggi yang
sangat rentan pada perhatian yang terus menerus, karena itu membuka
jalan tirnbulnya perHaku yang bermasalah seperti gelisah, banyak bicara
dan menggangu (Blum et ai, 2000).
Tinggi rendahnya sensation seeking seeorang dipengaruhi juga oleh
faktor internal dan eksternal, berikut berdasarkan penelilian yang
dilakukan Eysenck (Schultz & Schultz, 2005) dinyatakan bahwa 58% dari
trait sensation seeking disumbangkan oleh faktar genetik.
Pada penelitian selanjutnya disarankan untuk memperbanyak jumlah
sampel sehingga dapat mewakili populasi yang dituju dan untuk
menghindari proporsi sampel yang tidak seimbang.
(G) Bahan Bacaan: 32 buku (1978-2008) + 8 website
KATA PENGANTAR
Assalamu'alaikum Wr. Wb
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya setiap saat, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul "Hubungan Sensation Seeking dengan
Prestasi Akademik Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri
Jakarta" Salawat serta salam semoga tetap Allah Iimpahkan kepada Nabi
Muhammad SAW, atas segala perjuangannya sehingga kita dapat
merasakan indahnya hidup di bawah naungan Islam.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak dapat terlepas
dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, perkenankanlah penulis untuk
mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :
1. Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah, Bapak Jahja Umar,
Ph.D yang telah banyak memberikan pengarahan dan perhatian kepada
penulis selama menjalani proses perkuliahan dan penyusunan skripsi ini.
2. Pembimbing Akademik Bapak Abdurahman Saleh M.Si, atas
bimbingannya selama penulis menjalani perkuliahan.
3. Bapak Ikhwan Lutfi, M.Si, atas segala bimbingan, saran, dan motivasinya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Pembin'lbing seminar skripsi, Bapak Ikhwan Lutfi, M.Si, yang tidak pernah
bosan untuk menyumbangkan pendapatnya, memberikan saran yang
membangun, motivasi, sehingga penulis dapat mengatasi kendala dalam
penyusunan skripsi ini.
5. Para dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah yang dengan
penuh kesabaran dan keikhlasan untuk memberikan i1mu kepada penulis.
6. Seluruh mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah yang
bersedia menjadi sampel dalam penelitian ini.
7. Yang paling penulis hormati dan kasihi setelah Allah dan Rasul-Nya,
Papa, Mama, dan Keluarga yang tak pernah putus memberikan dorongan,
doa, Ginta dan kasih yang tulus kepada penulis.
8. Seluruh keluarga besar Bapak Mukri Nasution yang telah memberi
motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Seluruh sahabat di Fakultas Psikologi angkatan 2003, atas persahabatan
dan dukungan yang telah kalian berikan.
10. Sahabat terdekat dan Band Fortuna (Ihsan, ady, Lutfi, zaki, amir, abdu,
elina, faiin, RizQ, ita, elin, dan semua yang tak terlupakan), atas segala
motivasi dan waktu yang di sediakan untuk berbagi di setiap kesempatan.
11. Lia marlia yang selalu siap membantu dan selalu memberi motivasi
kepada penulis.
Semoga Allah memberikan pahala yang tak henti-hentinya, sebagai balasan
atas segala kebaikan dan bantuan yang di berikan.
Harapan penulis, semoga skripsi ini memberi manfaat, khususnya bagi
penulis dan umumnya bagi seluruh pihak yang terkait. Untuk kesempurnaan
karya ini, penulis harapkan saran dan kritiknya.
Jakarta, 23 Juni 2009
Penulis
DAFTAR 151
HALAMAN JUDUL
.
HALAMAN PERSETUJUAN
.
ii
HALAMAN PENGESAHAN
PERNYATAAN......................................................................
iii
MOTTO.....................................................................................................
iv
PERSEMBAHAN
v
HALAMAN
ABSTRAKSI
;.
KATAPENGANTAR
viii
x
DAFTAR lSI
xiv
DAFTAR TABEL
DAFTAR
vi
GAMBAR..................................................................................
xiv
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
BAB1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
1
1.2 Identifikasi Masalah
11
1.3 Batasan dan Rumusan Masalah Pene/itian
12
1.4 TUjuan dan Manfaat Penelitian
13
1.5 Sistematika Penulisan
14
x
BAB 2 KAJIAN TEORI
2.1
Sensation seeking..
15
2.1.1 Pengertian Sensation seeking
15
2.1.2 Komponen atau sensation seeking
18
2.1.3 Karakteristik sensation seeking
20
2.1.4 Faktor yang mempengaruhi sensation seeking
28
2.2 Prestasi belajar/akademik
2.2.1 Pengertian Prestasi Belajar/Akademik
34
34
2.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Akademik 36
2.2.3 Cara Mengukur Prestasi Belajar...............................
46
2.2.4 Fungsi Prestasi Belajar.............................................
47
2.3 Mahasiswa
50
2.3.1 Definisi Mahasiswa...................................................
45
2.3.2 Tugas Mahasiswa
46
2.4 Kerangka Berpikir
48
2.5 Hipotesis
48
BAB 3 METODOLOGJ PENELITIAN
3.1
Jenis Penelitian
49
3.1.1 Pendekatan Penelitian dan Metode Penelitian
50
3.1.2 Definisi Variabel dan Operasional Variabel..............
51
3.2 Pengambilan Sampel Penelitian
52
3.2.1 Populasi dan Sampel ..
52
3.2.2 Teknik Pengambilan Sampel
53
3.3 Teknik Pengumpulan Data..................................................
54
3.3.1 Instrumen Penelitian
55
3.3.2 Skala
56
3.4 Teknik Uji Instrumen
57
3.4.1 Uji Validitas
57
3.4.2 Uji Reliabilitas
61
3.4.3 Uji Normalitas.
63
3.4.4 Uji Homogenitas.......................................................
64
3.4.5 Uji Hipotesis
64
3.5 Prosedur Penelitian
66
3.5.1 Tahap Persiapan
66
3.5.2 Tahap Pelaksanaan
66
3.5.3 Tahap Pengolahan Data
67
BAB 4 HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum Responden
68
4.1.1 Gambaran Umum Berdasarkan Jenis Kelamin
68
4.1.2 Gambaran Umum Berdasarkan Usia
69
4.1.3 Gambaran Umum Berdasarkan Semester
70
""
4.1.4 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Indeks
Prestasi
4.2 Presentasi Data
4.2.1 Uji Norma/itas ..,
4.2.2 Uji Homogenitas
,
70
71
, ,
71
74
4.3 Kategorisasi
75
4.4 Pengujian Hipotesis
78
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, SARAN
5.1
Kesimpulan.........
79
5.2 Diskusi
80
5.3 Saran
82
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel2.2
Bagan kerangka berpikir ..
48
Tabel3.2
Blue print skala Sensation seeking
56
Tabel3.1
Bobot skor pernyataan
55
Tabel3.3
Kisi-kisi try out skala Sensation seeking
61
Tabel3.4
Blue print penelitian skala Sensation seeking
61
Tabel4.1
Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin
68
Tabel4.2
Distribusi sampel berdasarkan usia
69
Tabel4.3
Distribusi sampel berdasarkan semester............
70
Tabel4.4
Distribusi sampel berdasarkan Indeks prestasi...
70
Tabel4.5
Uji Normalitas Shapiro-Wilk
71
Tabel4.6
Uji Homogenitas
74
Tabel4.7
Kategori Sensation seeking.......
77
Tabel4.7
Hipotesis Uji r........................................................................
79
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
QQ plot Sensation seeking................................................ .
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Angket Try Out
Lampiran 2
Skoring Try Out
Lampiran 3 Angket Pene/itian
Lampiran 4
Skoring Pene/itian
Lampiran 5
HasH Uji Validitas dan Reliabilitas
Lampiran 6
Hasil Uji Normalitas dan Uji Homogenitas
Lampiran 7
QQplot Sensation seeking
Lampiran 8
HasH Uji r
XIV
7
BAB1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Belajar merupakan proses dasar perkembangan seseorang sepanjang
rentang kehidupannya. Belajar tidak hanya sekedar pengalaman, tetapi
merupakan suatu proses yang ber/angsung secara aktif dan menyeluruh.
Menurut Whittaker (1970) mendefinisikan be/ajar sebagai proses perubahan
tingkah laku yang berasal melalui latihan dan pengalaman.
Menurut Siameto (1997) be/ajar merupakan proses perubahan dari belum
mampu menjadi mampu dan terjadi da/am jangka waktu tertentu. Dengan
belajar, siswa dapat mewujudkan cita-cita yang diharapkan.
Salah satu tempat belajar seseorang adalah melalui lembaga pendidikan
formal. Pendidikan formal menerapkan aktivitas belajar mengajar yang
terencana dan terorganisir (Winkel, 1993). Lembaga pendidikan formal di
Indonesia terdiri dari Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah dan
Pendidikan Tinggi (www.depdiknas.go.id. 2009).
1
2
Belajar di perguruan tinggi mempunyai karakteristik tersendiri. Aturan yang
dikembangkan pada institusi pendidikan, metode pengajaran yang diberikan,
karakteristik ilmu yang diajarkan bahkan hubungan antara dosen dan
mahasiswa yang dibina akan mempengaruhi proses belajar yang
berlangsung. Sehingga, program akademis yang ada akan mengarahkan
pengalaman belajar yang akan diterima mahasiswa. Peran mahasiswa dalam
menghadapi berbagai tuntutan/tugas pendidikan yang ada dalam fakultasnya
tidak sekedar menerima saja tuntutan/lugas tersebut, mereka menilai setiap
siluasi yang ada menentukan pilihan serta mencari cara efisien untuk dapat
memenuhi tuntutan/tugas tersebut (Winkel, 1993).
Winkel (1993) juga menjelaskan bahwa dalam menghadapi tuntutan/tugas
belajar yang besar dari fakullasnya, mahasiswa bisa jadi menggunakan
sebagian besar tenaganya unluk menentukan cara belajar yang terbaik atau
pendekatan yang menyebabkan mereka mendapat nilai yang tinggi dari
pengajar. Cara dan respon yang digunakan mahasiswa dalam memenuhi
situasi yang ada menunjukkan kepribadian dan penilaian mahasiswa
lerhadap perannya.
Seorang mahasiswa yang belajar di pendidikan formal harus terlebih dahulu
diketahui preslasi belajarnya (biasa disebut prestasi akademik) agar dapat
naik kejenjang pendidikan selanjutnya. Prestasi akademik ini diperlukan untuk
3
mengetahui perkembangan mahasiswa dalam belajar dan penguasaannya
terhadap hal-hal yang perlu diketahui oleh orangtua, mahasiswa itu sendiri,
dosen yang bersangkutan atau dosen lain yang berhubungan secara tidak
langsung dengan mahasiswa (Slameto, 1988). Bentuk pengukuran prestasi
akademik mahasiswa dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu ujian atau
ulangan, tugas-tugas tertulis seperti makalah atau essay dan melalui praktek
yang berhubungan dengan mata kuliah menurut winkel (1996).
Prestasi akademik menurut Yaspir Gandhi Wirawan dalam Murjono (1996)
adalah Hasil yang dicapai seorang mahasiswa dalam usaha belajarnya
sebagaimana dicantumkan di dalam nilai indeks prestasi. Melalui prestasi
akademik seorang siswa dapat mengetahui kemajuan-kemajuan yang telah
dicapainya dalam belajar.
Pengukuran prestasi akademik dapat menunjukkan gambaran dari kelebihan
maupun kekurangan mahasiswa di Universitas (Crow dan Crow, 1958).
Dengan mengetahui prestasi akademik mahasiswa, maka dapat diketahui
posisi mahasiswa dibandingkan dengan kelompoknya. Selain bagi
mahasiswa, pengukuran prestasi juga bermanfaat bagi dosen dan orang tua.
Seberapa jauh prestasi mahasiswa di dalam menguasai suatu mata pelajaran
akan disajikan dalam bentuk skala penilaian (Winkel, 1983). Skala penilaian
bisa ditampilkan dalam bentuk huruf dan angka yang melambangkan nilai
4
kuantitatif.
Prestasi akademik mahasiswa dipengaruhi beberapa faktor. Faktor-faktor
tersebut dapat digolongkan kedalam faktor-faktor internal dan faktor-faktor
eksternal (Winkel, 1996). Faktor internal adalah faktor yang berada dalam diri
siswa, yaitu kecerdasan (intelegensi), bakat, minat, kepribadian, dan
motivasi. Sedangkan yang dimaksud dengan faktor eksternal adalah faktor di
luar diri siswa, yaitu keluarga, Iingkungan sekolah dan masyarakat.
Faktor-faktor inilah yang akan saling berinteraksi sehingga menghasilkan
suatu nilai atau peringkat tertentu sebagai cerminan dari prestasi akademik
mahasiswa. Sehingga, prestasi akademik siswa bukan semata-mata hasil
menghafal atau pengajaran. Salah satunya adalah pengaruh faktor
kepribadian terhadap prestasi akademik.
Pengaruh kepribadian terhadap prestasi akademik telah banyak diteliti.
Rolfhus dan Ackerman (dalam Petrides, Premuzic, Frederickson & Furnham,
2005) menyebutkan bahwa kemampuan adalah satu bagian saja dari bagian
yang kompleks yang menentukan keterampilan dan pengetahuan siswa
dalam bagian tertentu. Dua komponen lainnya adalah minat dan karakteristik
kepribadian. Penelitian lain yang dilakukan Auckerman dan Heggestad
(dalam Petrides, Premuzic, Frederickson & Furnham, 2005) menyebutkan
5
bahwa terdapat hubungan antara keterbukaan terhadap pengalaman dengan
kemampuan kognitif yang nyata (crystallized cognitive ability). WaJaupun sifat
kepribadian dan kemampuan mental secara umum adaJah domain yang
berdiri sendiri (Eysenck, 1994), adalah mungkin bahwa beberapa sifat
kepribadian mempunyai peran yang khusus daJam memperoleh
pengetahuan.
Penelitian lain yang dilakukan Borg dan Shapiro (1996) dan Ziegert (daJam
Chowdhurry & Amin, 2006) juga menemukan hubungan yang signifikall
antara kepribadian dan prestasi akademik siswa pada beberapa prinsip
pelajaran ekonomi. Penelitian yang dilakukan bahwa siswa yang memiliki
kehati-hatian yang tinggi mempunyai prestasi yang lebih baik daripada siswa
yang kehatian-hatiannya rendah (Chowdhurry & Amin, 2006). TeJah
dibuktikan juga bahwa seseorang dengan skor Agreeableness (periJaku
menghindari konflik, kepribadian selalu mengalah) yang rendah berhubungan
dengan performa akademis yang rendah (Chowdhurry & Amin, 2006).
Tipe kepribadian mempunyai peranan penting bagi siswa daJam belajar yang
dapat diketahui berdasarkan performa siswa dan mempunyai implikasi yang
besar bagi pembelajaran. Sifat kepribadian (trait) terwujud dalam gaya belajar
yang terbagi tiga (auditori, visual, kinestetik) dimana di dalamnya terdapat
pengunaan strategi belajar dan akhirnya menciptakan sebuah hasil dari
6
pembelajaran, antara lain prestasi akademik (De Raad & Schouwenburg
dalam Chouwdhurry & Amin, 2006).
Cara yang dapat digunakan untuk mengetahui kepribadian seseorang adalah
dengan fokus pada aspek-aspek kepribadian yang spesifik. Salah satu
pendekatannya adalah dengan Sensation seeking trait (sifat pencari sensasi).
Zuckerman (dalam JalVis, 2005) mengidentifikasi sensation seeking sebagai
sebuah aspek kepribadian.
Sensation seeking sendiri adalah sebuah perilaku yang menjelaskan tentang
penekanan pada pencarian ide yang belVariasi, impulsif, komplek, sensasi
hebat serta pengalaman dan keinginan yang mengandung resiko. Kegiatan
dari sensation seeking sendiri merupakan bentuk pengalaman yang
menyenangkan bagi orang tertentu dengan berusaha memaksimalkan
arousal dan memacu adrenalin mereka menjadi aktif sehingga dengan
ketegangan yang mereka rasakan mendatangkan rasa puas dan bahagia
saat mereka dapat melewati masa kritis tersebut. (Zuckerman 1979).
Beberapa fenomena yang menggambarkan tingkah laku pada pencari
sensasi cenderung mempunyai pembawaan yang konsisten dalam sejumlah
situasi; Orang yang menikmati pengalaman baru di satu bagian
kehidupannya cenderung menggambarkan dirinya sebagai petualangan
7
dalam kehidupan lainnya. Mereka terlibat dalam olahraga, prafesi, atau hobby
yang berbahaya (terjun payung, balap mobil, menembak, menyelam dan
panjat tebing) menyukai keisengan dalam pengalaman seks dan obat-obatan;
berperilaku nekad dalam situasi fobik yang umum (kegelapan, ketinggian,
binatang yang berbahaya, berpetualang dalam perjudian, dan menyukai
makanan yang aneh-aneh. Bahkan bila diminta menggambarkan kebiasaan
dorongan normal mereka, pencari sensasi tinggi lebih senang mengendarai
mobil atau motor dalam kecepatan tinggi dibanding orang lain. (Carrol,
Zuckerman, dan Vogel, 1982).
Pada fenomena lain kita sering melihat tindakan-tindakan yang begitu berani
dan mengandung resiko tinggi berupa tindakan yang berbahaya (Risky
Activitiy) demi mencari sebuah sensasi (Sensation seeking), seperti terjun
payung, balap motor atau mobil, panjat tebing, arung jeram, sepeda BMX dan
papan luncur (skateboard) yang terdapat pada olahraga menantang (ekstrim).
(www.ristaking.co.uk).
Sebagai bagian dari teori kepribadian yang berarientasi sifat (trait theories),
sensation seeking bersifat relatif stabil dan menetap. Teori ini menyatakan
bahwa manusia memiliki sifat atau traits tertentu, yakni pola kecenderungan
untuk bertingkah laku dengan cara tertentu. Sifat yang stabU ini menyebabkan
8
manusia bertingkah laku secara relatif tetap dari siluasi ke situasi lain (Pervin,
1997).
Ciri dari trait sensation seeking sendiri adalah punya keberanian yang
ekstrim, selalu ingin tahu, toleran terhadap kesulitan atau rasa sakit dan
rentan terhadap kebosanan. Orang dengan trail high sensation seeking
cenderung terbuka terhadap pengalaman baru (Costa & Me Crae dalam
Halonen & Santrock, 1999). Sedangkan orang yang tergolong low sensation
seekers (pencari sensasi rendah) punya ciri yang sebaliknya ; cenderung
merasa takut dan menghindari aklivitas yang berbahaya tersebut. Mereka
umumnya terbilang konvensional dengan norma Iingkungannya. Keyakinan
dan motivasi antara orang yang tergolong high sensation dan low sensation
seeking saling bertolak belakang, khususnya minat, kesukaan dan hobi
mereka. Orang yang termasuk high sensation seeking cenderung over aktif
dengan segala sesuatu yang berbahaya dan punya kesulilan yang tinggi,
sebaliknya orang yang tergolong low sensation seeking cenderung
melakukan sesuatu yang resikonya kecil. (Zuckerman, 1979).
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, karakteristik yang dimiliki oleh
sensation seekers (mereka yang memiliki sensation seeking tinggi), baik
karakateristik perilaku maupun karakteristik kognitif, membuat mereka tidak
mudah beradaptasi dengan pola pengajaran dikelas yang lebih banyak
10
tidak dapat beradaptasi dengan rutinitas kelas. Hal tersebut senada dengan
penjelasan yang terdapat dalam Berliner dan Calfee (1996).
Pendapat Zuckerman (1994) mengenai kepribadian seseorang khususnya
sensation seeking, dimana kecenderungan genetik dan Iingkungan sosial
berperan terhadap individu yang menjadi pencari sensasi (sensation seekers)
atau pengambil resiko. Berdasarkan sudut pandang biologis, Eysenck (dalam
Schultz & Schultz, 2005), menyatakan bahwa 58% dari trait sensation
seeking disumbangkan oleh faktor genetik.
Sejumlah penelitian membuktikan bahwa sensation seeking meningkat sejak
usia kanak-kanak hingga remaja dan puncaknya pada tahap remaja akhir
dengan usia 18-20 tahun (Zuckerman, 1974). Hal ini sejalan dengan
menurunnya enzim monoamine-oxidase (MOA), dopamine-beta-nydroxylase,
dan norepinephrine pada usia remaja sehingga menimbulkan peningkatan
sensation seeking (dalam Hall, Lindzey, & Campbell, 1998).
Sistem belajar mengajar saat ini diketahui tidak saja menyajikan ceramah,
melainkan sudah dikombinasikan dengan metode lainnya yang lebih aktif,
seperti diskusi, kerja kelompok dan presentasi. Hal ini seharusnya dapat
menjadi sarana yang baik bagi sensation seeker yang memiliki karakteristik
11
cenderung mudah bosan dengan rutinitas dan selalu membutuhkan
pengalaman baru.
Perkembangan ini menarik minat peneliti untuk menelaah lebih lanjut prestasi
akademik pada mahasiswa yang memiliki karakteristik sensation seeking.
Dengan semakin bervariasinya metode pengajaran dan belajar, apakah hal
tersebut berpengaruh terhadap keberhasilan akademik mahasiswa yang
memiliki karakteristik kepribadian sensation seeking tinggi atau malah
sebaliknya. Hal tersebutlah yang akan diteliti pada penelitian ini.
Maka berdasarkan latar belakang ini pulalah penulis melakukan penelitian
tentang hubungan Sensation Seeking dengan Prestasi Akademik pada
Mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Jakarta.
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat
diidentifikasikan beberapa hal yang mungkin dapat dijadikan dasar
pelaksanaan penelitian ini, yaitu:
1. Apakah ada hubungan antara sensation seeking dengan prestasi
akademik?
12
2. Komponen apa sajakah yang terdapat pada sensation seeking dan
prestasi belajar?
3. Faktor apa sajakah yang mempengaruhi sensation seeking dan prestasi
belajar?
1.3. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.3.1 Pembatasan Masalah
Prestasi akademik adalah hasil belajar dari suatu aktifitas belajar yang
dilakukan berdasarkan pengukuran dan penilaian terhadap hasil kegiatan
belajar dalam bidang akademik yang diwujudkan berupa angka-angka atau
nilai yang ditulis dalam Indeks prestasi (IP) (Chaplin,1975).
Sensation seeking sendiri adalah sebuah perilaku yang menjelaskan tentang
penekanan pada pencarian ide yang bervariasi, impulsif, komplek, sensasi
hebat serta pengalaman dan keinginan yang mengandung resiko
(Zuckerman, 1991).
1.3.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka
masalah penelitian dapat dirumuskan:
13
Apakah terdapat HUbungan yang signifikan antara Sensation Seeking dengan
Prestasi Akademik Mahasiswa Fakullas Psikologi UIN Jakarta?
1.4. Tujuan dan Manfaat penelitian
1.4.1. Tujuan Penelitian
TUjuan dari penelitian ini yailu unluk mengelahui Hubungan Sensation
seeking dengan Prestasi Akademik Mahasiswa Fakullas Psikologi UIN
Jakarta.
1.4.2. Manfaat Penelitan
1.4.2.1. Manfaat teorilis dilaksanakan penelitian:
Hasil penelilian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi psikologi
pendidikan dan memperkaya hasil penelitian yang telah ada dan dapat
memberi gambaran mengenai Hubungan Sensation Seeking dengan Prestasi
Akademik Mahasiswa Fakullas Psikologi UIN Jakarta.
1.4.2.2. Manfaat penelilian praktis dilaksanakan penelilian:
Hasil Penelilian ini dapal memberikan masukan kepada pihak Universitas
untuk memberikan dukungan dan perhaliannya pada peserta didiknya dalam
menghadapi mahasiswa dengan kepribadian Sensation Seeking linggi dalam
upaya meningkalkan Prestasi Akademiknya.
BAB2
KAJIAN TEORI
2.1
Sensation Seeking
2.1.1 Pengertian Sensation Seeking
Sensation seeking merupakan sebuah karakteristik kepribadian yang
dikemukakan oleh Zuckerman. Sensation seeking (Zuckerman, 1994) adalah
..."characterized by the search for varied, novel, complex, and intense
sensation and experience, and the willingness to take physical, social,
premarital and marital relationships, and/or financial risk for the sake of such
experiences"...
Sebagai sebuah sifat kepribadian (trait), sensation seeking bersifat relatif
stabil dan menetap. Sensation seeking menurut Zuckerman (1979),
mempunyai bentuk dasar mendekati-menarik diri (approach-withdrawaO yang
merupakan salah satu dari sembilan kategori tingkah laku yang dikemukakan
oleh Thomas dan Chess (Zuckerman, 1991).
Sensation seeking sendiri adalah sebuah perilaku yang menjelaskan tentang
penekanan pada pencarian ide yang bervariasi, impuisif, komplek, sensasi
hebat serta pengalaman dan keinginan yang mengandung resiko. Kegiatan
16
dari sensation seeking sendiri merupakan bentuk pengalaman yang
menyenangkan bagi orang tertentu dengan berusaha memaksimalkan
arousal dan memacu adrenalin mereka menjadi aktif sehingga dengan
ketegangan yang mereka rasakan mendatangkan rasa puas dan bahagia
saat mereka dapat melewati masa kritis tersebut. (Zuckerman 1979).
Sebuah pendekatan sistem saraf yang berhubungan dengan kepribadian
sensation seeking berpendapat bahwa para pencari sensasi memiliki
kecenderungan yang konsisten untuk terus mencari aktivitas yang sangat
menegangkan dan mereka juga tertarik dengan segala sesuatu yang belum
mereka ketahui. Akan tetapi, para pencari sensasi tidak memiliki preferensi
yang konsisten, seperti menikmati kebersamaan dengan orang lain, sehingga
mereka tidak dapat dikatakan langsung sebagai orang ekstrovert, tetapi teori
ini juga menyatakan bahwa para pencari sensasi ini mungkin memiliki aktivasi
alami (biologis internal) yang rendah sehingga mencari ransangan dari
Iingkungannya. (Ivan peytrovich Pavlov, 1913).
Seperti yang diungkapkan oleh Zuckerman (1994), sensation seeking adalah
sebuah trait. Trait adalah sebuah karakteristik pada individu yang menetap
dimana diwujudkan dalam cara tingkah laku yang konsisten dalam berbagai
!,?ituasi yang luas (Krech dan Crutchfield, 1958). Trait bersifat stabil dan
17
menetap, setidaknya pada usia dewasa, kecuali perubahan yang terjadi
karena penyakit kejiwaan atau bertambahnya usia.
Menurut Zuckerman (1979) orang yang kesukaannya melakukan kegiatan
ekstrim (menantang) tersebut diasumsikan mempunyai aspek kepribadian
sensation seeking yang mempunyai perbedaan perilaku dari orang lain, dan
memiliki resiko dari tingkah laku, yaitu segala aktifitas yang dapat
mengakibatkan kematian atau efek negatif terhadap kesehatan individL'
(minuman keras, merokok, sex bebas, pola makan yang buruk) atau tingkah
laku sosial yang agresif (kekerasan, kriminal, dan tingkah laku menyimpang).
Dalam fenomena lain dijelaskan keragaman dalam pencarian sensasi dapat
mempengaruhi cara manusia bereaksi terhadap sesamanya. Pencari sensasi
tinggi (High sensation seekers) mungkin merasa bahwa pencari sensasi
rendah (Low sensation seekers) membosankan dan tidak menarik.
Sebaliknya, pencari sensasi rendah merasa bahwa pencari sensasi tinggi
terlibat dalam aktivitas yang tidak produktif dan sia-sia. Sikap ini dapat
menjadi penting dalam pilihan teman hidup. Ada hubungan erat antara suami
dan isteri, pencari sensasi tinggi cenderung mengawini orang bersensasi
tinggi, dan pencari sensasi rendah cenderung mengawini orang bersensasi
rendah. Kecocokan ciri pembawaan ini merupakan tolak ukur dari
penyesuaian perkawinan (Fisher, Zuckerman, dan Neeb, 1981).
18
Didalam bukunya "The Concept of The Sensation Seeking Trait" Zuckerman
mengusulkan bahwa jenis pencarian sensasi akan lebih baik dengan
menentukan bentuk aktifitas yang akan dilakukan. Dan Zuckerman tidak
mengklaim bahwa semua sensation seeker berhasrat membuat hal-hal
negatif terhadap dirinya, misalkan menggunakan obat terlarang, alkohol atau
perbuatan nekat lainnya. Bagaimanapun mereka lebih bahagia dengan
terlibat langsung pada kegiatan yang mempunyai resiko berbahaya daripada
mereka mempersepsikan dirinya sebagai low sensation seekers (pencari
sensasi rendah).(Zuckerman 1979).
2.1.2 Komponen Sensation Seeking
Zuckerman (1991) telah mengembangkan model trait yang disebut sebagai
trait Sensation seeking (pencari sensasi). la membuat pengukuran dari
sensation seeking menjadi 4 komponen, yaitu :
1. Thrill & Adventure
Thrill & Adventure Seeking, mencari sensasi yang menggairahkan lewat
partisipasi dalam kegiatan yang berisiko. Komponen ini menggambarkan
hasrat untuk berpartisipasi dalam olahraga atau aktivitas yang menyajikan
sensasi yang tidak biasa. Sensasi yang tidak biasa ini berhubungan dengan
olahraga atau aktivitas yang menghasilkan sensasi kecepatan atau melawan
19
gravitasi seperti panjat tebing, menyelam, terjun payung, bungge jumping dan
ski.
2. Experience Seeking
Mencari sesuatu yang bersifat stimulasi lewat pikiran, penginderaan dan gaya
hidup yang nonkonfomis. Sensasi ini didapatkan melalui seni, perjalanan
musik, atau obat-obatan. Komponen ini juga menggambarkan hasrat
seseorang untuk bertemu dan berteman dengan orang yang tidak biasa.
Apabila dikaitkan dengan bidang pendidikan, sensasi ini dapat berupa
. khayalan, ide-ide yang orisinal (asH/baru) dan keingintahuan yang kuat.
3. Disinhibition
Mencari sensasi-sensasi lewat stimulasi sosial dan tingkah laku disinhibitory
seperti minum-minum, berjudi, pesta atau hUbungan seksual.
4. Boredom Suscepteibility
Menghindari situasi dan aktivitas yang monoton dan membosankan.
Komponen ini menjelaskan tentang seberapa mudah bosan seseorang pada
suatu keadaan, reaksi seseorang dalam menghadapi situasi dan aktivitas
monoton/membosankan. Seorang siswa akan mudah bosan apabila hanya
diminta untuk mendengarkan ceramah dan mencatat ketika dalam ruangan.
Mereka membutuhkan kegiatan yang selalu bergerak dan dinamis atau baru.
20
Orang yang skornya tinggi pada skala sensation seeking yang meliputi
keempat komponen diatas tersebut, menunjukan hubungan yang signifikan
dengan berbagai macam tingkah laku seperti penyalahgunaan obat, aktivitas
seksualnya dan partisipasinya dalam olahraga yang beresiko besar (Hall
Calvin S, lindzey, Gardner, Campbell, Jhon B. 1998).
2.1.3 Karakteristik Sensation Seeking
Sensation seeking berada dalam sebuah kontinum, dimana semua orang
pasti memiliki sensation seeking, antara sensation seeking tinggi dan rendah.
Sensation seeking terbentuk dalam tingkah laku yang dimotivasi oleh
kebutuhan demi suatu bentuk pengalaman baru yang bervariasi dan
merupakan suatu sensasi yang kompleks (Halonen, Jane S. & Santrock,
Jhon W, 1999). Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai perilaku yang tam pi!.
Berbagai karakteristik Sensation seeking:
a. Karakteristik Perilaku
Dalam penelitian Zuckerman tentang teori Sensation Seeking dan juga di
dalam bukunya ; Psychobiology of Personality Problems in The Behaviour
Sciences ia menguraikan beberapa Giri kepribadian dari orang-orang pencari
sensasi tinggi, yaitu :
21
•
Terlibat dalam aktivitas hidup yang beresiko tinggi (dalam kegiatan
olahraga, profesi, pekerjaan dan hobi-hobinya).
•
Menyukai situasi fobik yang umum, seperti kegelapan, ketinggian,
kedalaman, binatang yang berbahaya.
•
Punya keberanian ekstrim
•
Menyukai segala hal yang menantang
•
Dapat menikmati segala sesuatu yang berbahaya
•
Menganggap segala situasi kurang beresiko
•
Masuk ke perilaku beresiko kecenderungan melakukan hal berbahaya
•
Keluar dari situasinya karena tidak ada stimulasi seperti apa yang
diharapkan
•
Berkurangnya kecemasan dengan adanya penilaian resiko yang sama.
1. Terbuka terhadap pengalaman baru (Openness to Experience).
Trait dari dimensi kepribadian ini mengukur imaginasi, kepekaan akan
estetika dan perasaan, punya minat terhadap berbagai macam kegiatan,
punya daya intelektual dan pemikiran yang bebas (independent of
jUdgement). Terbuka terhadap pengalaman baru merupakan keaktifan
seseorang mencari dan mengekpresikan pengalaman untuk kepentingan
mereka sendiri. (Costa & McCrae dalam Halonen & Santrock,1999).
22
Orang yang skornya tinggi pada hal ini punya karakteristik antara lain;
keingintahuan yang tinggi (intellectual), punya minat yang luas. original,
imajinatif, kreatif, senang membuat ide-ide baru, membuat nilai-nilai baru,
menyukai perubahan, menikmati berbagai macam aktivitas variatif dan
sifatnya novelty, unconformist (bebas mengekspresikan diri dan tidak suka
pada sesuatu yang konservatif), dan menyukai estetika.
Sedangkan orang yang rendah pada skor ini punya karakteristik sebaliknya;
yaitu punya minat yang dangkal, kepekaan terhadap artistiknya rendah,
kurang analisis, penampilan konservatif, respon emosionalnya tidak ekspresif
(Costa & McCrae, 1991).
2. Tipe Ekstrover
Adalah dimensi kepribadian yang mengukur kualitas dan intensitas inte'raksi
interpersonal, tingkat aktivitas, kebutuhan akan stimulasi dan kapasitas
terhadap kegembiraan (R. R McCrae dan P. T. Costa, Jr). Ciri kepribadian
ekstrover asyik dengan dirinya sendiri, dimana orang lain hanyalah sebagai
penonton dan juga sumber stimulus bagi dirinya sendiri. Mereka suka
menjaga otonominya secara asertif dalam berhubungan dengan orang lain
daripada mengisolasi diri. Mereka bisa menjadi asosial dalam pengertian
bahwa mereka mengatur dirinya sendiri daripada diatur oleh kesepakatan
sosial (sosial conventions) dari semua kebutuhan dan sikap-sikapnYi;!
23
terhadap orang lain. Mereka mengharapkan kebebasan dan pemenuhan diri
yang hedonis dengan orang lain (Zuckerman, et ai, 1996). Karakteristik tipe
orang ekstrover adalah :
•
Mudah bersosialisasil bergaull berteman
•
Aktif
•
Banyak bicara (talkative)
•
Orientasi terhadap afiliasi (sociable)
•
Optimis
•
Suka bersenang-senang (fun loving) dan pengembira
•
Impuisif
•
Berani mengambil resiko
•
Asertif
Tetapi sebaliknya orang yang skornya rendah pada dimensi ini
karakteristiknya ; pendiam, tenang, pembawaannya serius, penyendiri (loner),
berorientasi tugas dan cenderung pemalu (Costa & McCrae, 1985).
24
b. Karakteristik Kognitif
Selain berbagai karakteristik yang muncul dalam perilaku, perbedaan tingkat
sensation seeking juga menimbulkan variasi dalam proses kognitif
seseorang. Mereka yang mempunyai nilai sensation seeking tinggi, lebih
cepat dalam mengenali simbol dan gambar daripada mereka yang
mempunyai nilai sensation seeking rendah, dimana dinyatakan bahwa
mereka yang memiliki sensation seeking tinggi memproses informasi dengan
lebih cepat. Pencari sensasi tinggi lebih menyukai stimulasi visual yang
kompleks, sedangkan mereka yang memiliki sensation seeking rendah lebih
menyukai kestabilan, kesederhanaan dan simetris. Pencari sensasi tinggi
dapat memusatkan perhatian dengan lebih baik dibandingkan pencari
sensasi rendah (Schultz & Schultz, 2005).
Korelasi antara sensation seeking dengan intelegensi secara umum adalah
signifikan tetapi tidak tinggi (London & Exner, 1978). Sebuah penelitian yang
dilakukan di Mauritius menemukan bahwa mereka yang mempunyai
sensation seeking yang lebih tinggi pada usia 3 tahun, mempunyai skor
intelegensi 12 angka lebih tinggi pada usia 11 tahun daripada mereka yang
ketika usia 3 tahun memiliki nilai sensation seeking yang rendah. Hasil
tersebut sama pada anak laki-Iaki dan perempuan dan tidak dipengaruhi oleh
tipe pekerjaan dan pendidikan orang tua (Schultz & Schultz, 2005).
25
Anderson (London & Exner, 1978) menemukan bahwa Disinhibition (tingkah
laku minuman keras, sex bebas dan pesta) berkorelasi negatif dengan
prestasi di sekolah lanjutan tingkat atas. Dibuktikan juga oleh Bone & Cowling
(London & Exner, 1978) dengan menemukan korelasi negatif antara
Disinhibition dengan kuesioner motivasi berprestasi. Anderson
menambahkan bahwa Experience Seeking (ES) berkorelasi positif dengan
ketidakhadiran di kelas.
Zuckerman (Merrens & Branningan, 1998) menyatakan, walaupun terdapat
korelasi positif rendah antara Intelegensi dengan sensation seeking, mereka
yang memiliki sensation seeking tinggi tidak sering berprestasi di Sekolah
lanjutan dan Universitas. Analisis menyebutkan bahwa walaupun mereka
sekolah, mereka cenderung untuk menghindari kelas dan memilih mabukmabukan. Hal ini bisa saja merupakan perwujudan dari rasa bosan akan
suasana belajar di kelas dan keinginan untuk selalu mencari pengalaman
baru.
Penelitian lain menunjukkan bahwa pencari sensasi tinggi tidak menghasilkan
nilai sekolah yang baik. Zuckerman menilai bahwa hal tersebut dikarenakan
pencari sensasi tinggi lebih terlibat pada pengejaran hal bersifat rekreasi
mereka lebih sedikit menggunakan waktu untuk belajar. Tes kreativitas dan
orisinalitas menunjukkan bahwa pencari sensasi tinggi mempunyai kapasitas
26
yang lebih baik dalam orisinalitas berpikir tetapi tidak selalu menampilksn
dalam tugas sekolah mereka. Mereka bisa mempunyai khayalan, mimpi, dan
angan-angan yang sangat "hidup" yang perbedaannya sangat rancu antara
stimulus internal dan kenyataan. Menurut Zuckerman (Schultz & Schultz,
2005), hal tersebut dikarenakan pencari sensasi tinggi secara
berkesinambungan mencari pengalaman baru, bila mereka tidak dapat
menemukannya dalam kenyataan mereka mencari dalam batin dan
menciptakan fantasi.
Penelitian menyatakan bahwa rutinitas kelas yang membosankan dapat
meyebabkan rasa bosan yang kuat pada pencari sensasi tinggi yang sangat
rentan pada perhatian yang terus menerus, karena itu membuka jalan
timbulnya perilaku yang bermasalah seperti gelisah, banyak bicara dan'
menggangu (Blum et ai, 2000). Pencari sensasi tinggi merasa kegiatan debat
dan pemberian tugas di luar sekolah adalah hal yang lebih menarik (Merrens
& Branningan, 1998).
Farley (1981), menjelaskan bahwa metode pendidikan yang tidak
merangsang akan memperkecil keingintahuan dari pencari sensasi muda dan
meningkatkan kemungkinan tingkah laku yang buruk sebagai
konsekuensinya. Peraberton (london & Exner, 1978) yang menemukan
adanya korelasi positif dengan skala potensi kreatif menegaskan bahwa gaya
27
nonkonformitas yang dimiliki sensation seekers (pencari sensasi) tidak dapat
beradaptasi dengan rutinitas kelas. Siswa dengan sensation seeking tinggi
lebih menyenangi dan lebih mahir dalam lingkungan belajar yang High-
arousal (Berliner & Calfee, 1996).
Pencari sensasi juga gagal untuk mengembangkan potensi mereka di
sekolah (Grasha, 1980). Siswa yang cenderung tinggi sensation seekingnya
mempunyai hasrat yang lebih pada pengalaman yang menggairahkan dan
bervariasi daripada apa yang disediakan diruang kelas.
Karakteristik perilaku dan kognitif yang dimiliki oleh sensation seekers
(pencari sensasi) membuat mereka rentan akan kebosanan dan selalu
membutuhkan tantangan dan pengalaman baru. Pola pengajaran yang sering
diterapkan dalam pendidikan formal di indonesia adalah ceramah. Siswa
jarang diminta aktif bertanya, berdiskusi, mene/iti atau melakukan percobaan.
Metode ceramah dirasakan sangatlah tidak menarik oleh mereka yang
memiliki sensasi seeking tinggi, sehingga mereka akan mudah teralihkan oleh
hal lain, seperti kegiatan alam bebas, kebut-kebutan, perilaku seksual
beresiko dan kegiatan lainnya yang bukan kegiatan sekolah. Dan hasilnya
mereka berpotensi besar untuk mempunyai prestasi akademik yang rendah,
kesulitan mengikuti pelajaran dan peraturan sekolah.
2.1.4 Faktor yang Mempengaruhi Sensation Seeking
a. Faktor Bawaan (Biologis)
Terdapat beberapa penelitian yang mengindikasikan bahwa seseorang bisa
mempunyai kecenderungan mempunyai sensation seeking yang tinggi atau
rendah berdasarkan faktor bawaan, antara lain:
•
Penelitian pada saudara kembar identik menunjukkan nilai sensation
seeking yang sama pada mereka (Schultz & Schultz, 2005).
•
Antara setengah hingga dua per tiga dari keberagaman sensation
seeking didapatkan melalui keturunan (Merrens & Brannigan, 1998).
•
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Eysenck (Schultz & Schultz,
2005) dinyatakan bahwa 58% dari trait sensation seeking
disumbangkan oleh faktor genetik.
•
Terdapat korelasi yang negatif antara sensation seeking dengan
monoamine-oxidase (MOA), dopamine beta nydroxylase, dan
norepinephrine (hall, Lindzey & Campbell, 1998).
Zuckerman (1983) telah mengembangkan teori biologi untuk melihat
perbedaan individu dalam sensation seeking. Dasar biologis dihubungkan
kepada kuatnya refleks terhadap adanya stimulus dan menguatnya respon
terhadap stimulus tersebut, serta tingginya hormon seks (testoteron,
esterogen dan estrodial) itu semua merupakan eksperimen dari faktor
29
disinhibition. Oi dalam versinya Zuckerman (1984) model pencarian sensasi
tinggi diasosiasikan dengan rendahnya tingkat norepinephrine atau
kemampuan arousal. Sehingga orang tersebut mencari stimulasi untuk
mengimbangi tingkat norepinerphine yang rendah. Mekanisme utama yang
menekankan perilaku impulsif dari pencarian sensasi adalah faktor
disinhibition vs inhibition. Sifat impulsif inilah yang menjelaskan
kecenderungan tingkah laku terhadap hadirnya signal antara reward dan
punishment dalam setiap peristiwa (Zuckerman et ai, 1996). Oiperkirakan
50% variabilitas sensation seeking berdasarkan genetika.
•
Usia
Zuckerman menemukan bahwa sensation seeking bervariasi sesuai dengan
usia. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Putnam & Stiffer menemukan
bukti bahwa perilaku sensation seeking sudah dapat terlihat ketika anak
berusia 2 tahun (Ciccarelli & Meyer, 2006). Pada orang yang lebih muda,
pencarian mereka akan petualangan, resiko dan pengalaman yang baru akan
lebih tinggi dibandingkan orang yang lebih tua. Hasil tes pada remaja hingga
individu yang berusia 60 tahun menunjukkan bahwa sensation seeking mulai
menurun di awal usia 20 tahun (Schultz & Schultz, 2005).
30
Sejumlah penelitian dengan jelas membuktikan bahwa sensation seeking
meningkat sejak usia kanak-kanak hingga remaja dan puncaknya pada tahap
remaja akhir dengan usia 18-20 tahun (Larsen & Buss, 2002). Kish dan
Busse (London & Exner, 1978) menemukan adanya perbedaan yang
signifikan pada rata-rata skor sensation seeking antara siswa sekolah dasar
dengan mahasiswa. Penelitian lain menyebutkan bahwa sensation seeking
mengalami peningkatan hingga usia 16 tahun dan mulai mengalami
penurunan pada awal usia 20 tahun (Hole, 2007). Sehingga, setelah masa
perkuliahan, sensation seeking cenderung melemah (Atwater, 1983).
Diringkas oleh Zuckerman (1975), berdasarkan rentang usia yang terbatas,
ditemukan korelasi negatif yang tinggi secara signifikan antara usia dan
sensation seeking, berkisar antara 30 hingga 64 tahun. korelasi negatif yang
paling tinggi ditemukan pada skala pencarian pengalaman (ES). Korelasi
rata-rata antara sensation seeking dengan usia 30, menyatakan penurunan
bertahap dengan peningkatan usia selama remaja (Larsen & Buss, 2005).
•
Jenis kelamin
Perbedaan yang signifikan terhadap jenis kelamin ditemukan pada semua
komponen sensation seeking (Hole, 2007 dalam Wegner & Pennebaker).
Laki-Iaki mempunyai nilai yang lebih tinggi pada pencari sensasi dan
31
petualangan, Disinhibiton (Wegner & Pennebaker, 1993.) dan ketidaktoleran
terhadap kebosanan (8S). Perempuan mempunyai nilai yang lebih tinggi
pada pencarian pengalaman (ES). Hasil yang sama juga didapatkan pada
pene/itian dengan menggunakan subyek dari negara Amerika Serikat, Inggris,
Skotlandia, Jepang dan Thailand.
Penelitian yang dilakukan pada remaja sekolah lanjutan menunjukkan adanya
perbedaan yang signifikan antara jenis kelamin, yaitu skor sensation seeking
yang dimiliki oleh pria lebih tinggi (Petri & Govern, 2004). Perbedaan yang
signifikan ditemukan dalam semua skala, tetapi perbedaan paling besar
muncul pada skala Disinhibition. Hal ini mungkin sebagai hasil dari
perbedaan sikap impersonallaki-Iaki dan perempuan.
Keragaman dalam pencarian sensasi dapat mempengaruhi cara manusia
bersikap atau bereaksi terhadap sesamanya, orang High sensation seekers
dapat beranggapan bahwa mereka-mereka yang tergolong low sensation
dirasakan begitu membosankan dan tidak menarik dalam berinteraksi. Dan
sebaliknya persepsi dari low sensation seeking merasa bahwa high sensation
seekers terlibat dalam aktivitas yang tidak produktif, nekat dan suatu kesiasiaan saja. Sikap ini menjadi begitu penting pula dalam pencarian pasangan
hidup. Kecocokan dari ciri pembawaan ini merupakan tolak ukur dari
penyesuaian perkawinan (Fisher, Zuckerman & Neeb, 1981 dalam Eysenck,
32
H.J. 1991). Apabila pasangan suami istri, yang satu mempunyai trait
sensation seeking yang dominan dan pasangaannya mempunyai trait
sensation seeking yang rendah, maka kemungkinan ketidaksesuaian dalam
pernikahan sangat besar ; khususnya apabila pasangan wanitanya berskor
tinggi dalam pencarian skala pencarian sensasi. Pasangan dari para high
sensation seekers dapat beranggapan bahwa pasangan dari golongan low
sensation seekers kurang rnenarik dan tertutup. Tetapi mengapa yang
dipermasalahkan bila wanitanya yang tergolong high sensation seeking?
mungkin karena lebih banyak peluapan sensation seeking diluar pernikahan
bagi sang suami daripada pihak istri. Atau karen a faktor harapan budaya
bahwa pria seharusnya mengambil peran pemimpin dalam kehidupan rumah
tangga dan akan menimbulkan masalah apabila si istri lebih cenderung aktif
mencari pengalaman baru. (Zuckerman; ditulis oleh David Pargman dalam
Singer, Robert N., et al.1993).
Sensation seeking dikalangan pria berhubungan dengan preferensi interaksi
antar pribadi, tetapi berkorelasi negatif dengan pekerjaan-pekerjaan
administratif atau pekerjaan bisnis. Sedangkan untuk wanita berkorelasi
negatif dengan pekerjaan kewanitaan yang dianggap streotif, seperti menjadi
ibu rumah tangga atau guru. Pekerjaan dan minat para high sensation
seeking cenderung ke pekerjaan yang punya kebebasan, dan tidak suka
pada pekerjaan yang konservatif. Contoh pekerjaan yang menggairahkan dan
33
bersifat tantangan adalah berkecimpung di dalam olahraga petualangan atau
pekerjaan yang berbahaya. Sedangkan pekerjaan dan minat para low
sensation seeker cenderung kepada pekerjaan yang menuntut kepatuhan
terhadap pihak otoritas.
b. Faktor Lingkungan (Sosial)
Lingkungan atau sosial merupakan salah satu sarana pembelajaran yang
dapat digunakan seseorang. Pengamatan dan kemudian imitasi terhadap
orang tua, teman, dan orang lainnya yang dianggap bermakna mungkin
membantu seseorang untuk belajar secara relatif kecenderungan menjadi
pencari sensasi tinggi atau rendah. Beberapa penelitian yang membuktikan
hal tersebut, antara lain:
•
Orang tua dengan sensation seeking tinggi akan mendorong dan
memberikan semangat kepada anak mereka untuk terlibat da/am
aktivitas yang tidak biasa, sehingga menimbulkan tingkah laku
sensation seeking.
•
Nilai pada sensation seeking juga mendukung pem