TINJAUAN PUSTAKA PERBEDAAN MANIFESTASI KLINIS DAN LABORATORIUM BERDASARKAN JENIS IMUNOGLOBULIN PADA PENDERITA DEMAM BERDARAH DENGUE

commit to user 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Patofisiologi Demam Berdarah Dengue 2.1.1. Karakteristik Virus Dengue Virus dengue termasuk virus RNA, genus flavivirus, termasuk famili flaviridae. Sampai saat ini dikenal ada 4 serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi protektif seumur hidup untuk serotipe yang bersangkutan, tetapi tidak untuk serotipe yang lain. Keempat serotipe virus tersebut ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan di Indonesia dan ada hubungannya dengan kasus-kasus berat pada saat terjadi kejadian luar biasa Monath, 1991; Hadi, 2007 Virus dengue mempunyai diameter envelope 40-60 nm dan mengandung RNA untai tunggal ssRNA. Ukuran genom 10,7 kb. Virion matur mengumpul di dalam cisternae retikulum endoplasma. Genom untai tunggal, tidak bersegmen. Klasifikasi famili virus terutama tergantung pada jenis untaian maupun ukuran asam nukleat Noisakran dkk., 2007. Virus dengue termasuk dalam kelompok virus yang relatif labil terhadap suhu dan faktor kimiawi lain serta masa viremia yang pendek, sehingga keberhasilan isolasi dan identifikasi virus sangat bergantung kepada kecepatan dan ketepatan pengambilan Soegijanto, 2006 commit to user 7 Gambar 2.1 Virus dengue matur dengan pemeriksaan cryoelectron microscopy Kuhn dkk., 2002 Pada virus dengue terdapat sekitar 10.700 basa di dalam genomnya. Di dalam genom terdapat sebuah single open reading frame SORF yang mengkode 2 macam protein yaitu protein struktural dan nonstruktural. Protein struktural terdiri atas protein C core, M membrane, Prm premembrane dan E envelope. Protein nonstruktural terdiri atas 7 macam yaitu NS1, NS2a, NS2b, NS3, NS4a, NS4b, NS5. Struktur protein virus dengue mempunyai beberapa fungsi penting. Fungsi utama adalah mempermudah perpindahan asam nukleat virus dari sel host satu ke sel host yang lain. Protein ini juga berperan melindungi gen virus terhadap inaktivasi oleh nukleus dan melengkapi partikel virus untuk intervensi sel yang rentan. Respons imunitas host secara langsung akan melawan faktor antigen protein atau glikoprotein virus yang tidak terlindungi di permukaan partikel virus Aryati, 2007. commit to user 8 Gambar 2.2 Struktur genom virus dengue. Protein struktural terdiri dari C, prM, dan E. Protein non struktural terdiri dari 1,2A, 2B, 3, 4A, 4B, dan 5 Noisakarn dan Perng, 2008 Protein NS1 bukan bagian dari struktur virion, tapi diekspresikan pada permukaan sel yang terinfeksi. NS 1 adalah protein nonstruktur berupa glikoprotein yang fungsinya belum jelas diketahui. Meskipun demikian, beberapa penelitian menunjukkan bahwa glikoparotein non struktural ini berperan dalam replikasi RNA virus Sekaran dkk., 2007; Utama, 2007. NS 2 memiliki 2 protein NS 2 A dan NS 2 B yang berperan pada proses proses poliprotein sedangkan NS 3 berperan sebagai serine proteinase. Gen NS 4 memiliki 2 protein hidrofob yang berperan pada kompleks replikasi membran RNA. NS 5 memiliki berat molekul 105.000 dan merupakan petanda protein Flavivirus Utama, 2007 Virus dengue ditularkan lewat gigitan nyamuk aedes. Ada bebreapa spesies yang dapat berlaku sebagai vektor yaitu a.aegypti, a.albopictus, a.polynesiensis dan a.ascutellaris. Nyamuk Aedes dapat menularkan virus dengue kepada manusia, baik secara langsung setelah menggigit orang yang sedang dalam fase commit to user 9 viremia, maupun secara tidak langsung, setelah melewati masa inkubasi dalam tubuhnya selama 8-10 hari extrinsic incubation period. Manusia bersifat infektif hanya pada saat viremia saja 5-7 hari, tetapi nyamuk dapat infektif selama hidupnya. Masa inkubasi penyakit infeksi ini 3-15 hari rata-rata 7-10 hari Monath, 1991; Sanford,2006; Hadi, 2007. 2.1.2. Patogenesis Demam Berdarah Dengue Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue sampai saat ini masih diperdebatkan. Beberapa hipotesa telah diajukan untuk menjelaskan mengapa DBD terjadi pada sebagian individu yang terinfeksi virus dengue. Beberapa hipotesa tersebut adalah Gubler, 1992: 1. Perubahan atau perbedaan virulensi antara keempat serotipe virus dengue, atau antara strain dari serotipe virus yang sama. 2. Interaksi antara virus dengue dengan lingkungan atau agen infeksius lainnya. 3. Perbedaan kerentanan genetik atau faktor lain yang terdapat pada individu yang terinfeksi. 4. Immunologic enchancement infeksi virus dengue oleh antibodi yang terbentuk dari infeksi sebelumnya oleh serotipe dengue yang berbeda. Teori virulensi virus didasarkan pada pemikiran bahwa seseorang akan terkena virus dengue dan menjadi sakit kalau jumlah dan virulensi virus cukup kuat untuk mengalahkan pertahanan tubuh. Hal ini berdasarkan fakta yang ada bahwa semua jenis virus dapat ditemukan pada kasus fatal. Artinya semua virus dapat saja membuat kematian Sutaryo, 2005. commit to user 10 Polimorfisme genetik juga berperan dalam mekanisme imunopatologi pada patogenesis DBD Sierra dkk.,2007. Adanya transmisi endemik beberapa serotipe virus dengue di Haiti namun tidak ditemukan kasus DBD dan dengue syock sindrome DSS, selain berdasarkan pengamatan bahwa orang kulit hitam lebih jarang dirawat di rumah sakit dengan DBD dan DSS daripada orang kulit putih selama epidemi di Kuba,memunculkan hipotesis bahwa faktor genetik manusia turut berperan terhadap kerentanan individu terhadap DBD dan DSS. Beberapa polimorfisme genetik tersebut dapat melindungi atau sebaliknya menyebabkan individu menderita DBD dan DSS Wagenaar dkk.,2004. Sejumlah penelitian menemukan variasi pada gen human leukocyte antigen HLA dan beberapa gen lainnya berhubungan dengan beratnya infeksi virus dengue. Beberapa produk gen HLA kelas I dan II berperan penting. Pada penelitian di Thailand, HLA-A2 berkaitan dengan manifestasi infeksi dengue yang lebih berat, sedangkan HLA-A0203 berkaitan dengan manifestasi yang lebih ringan. Human leukocyte antigen yang terletak pada kromosom 6, mengkode major histocompatability complex MHC yang akan membawa protein antigen pada reseptor antigen limfosit T untuk mengaktifkan respon imun seluler. Dua polimorfisme alel non-HLA yaitu reseptor Fc receptor II Fc RII dan vitamin D receptor VDR juga berperan Wagenaar dkk.,2004. Monosit dan sel-sel sistem imun lainnya yang mengekspresikan Fc RII merupakan target penting infeksi virus dengue. Oleh karena itu, polimorfisme gen Fc receptor ikut menentukan beratnya manifestasi infeksi virus dengue Sierra dkk.,2007 commit to user 11 Sedangkan menurut teori imunopatologi, kalau seseorang mendapat infeksi primer dengan satu jenis virus, kemudian lain kali mendapat infeksi sekunder dengan jenis serotipe virus yang lain maka mempunyai risiko lebih besar besar akan terjadi infeksi yang berat. Halstead mengajukan hipotesis secondary heterologous infection yang menyatakan bahwa DBD terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan tipe yang berbeda. Reinfeksi menyebabkan reaksi anamnestik antibodi sehingga menyebabkan konsentrasi kompleks imun yang tinggi Suhendro dkk., 2006. Gambar 2.3 Hipotesis secondary heterologous infection Dikutip dari Suhendro dkk., 2006 Teori yang kini dianut luas adalah teori immunologic enchancement atau antibody dependent enhancement ADE. Berdasarkan teori ini, bila ada antibodi yang spesifik untuk satu jenis virus maka antibodi tersebut dapat mencegah commit to user 12 penyakit oleh virus tersebut, tetapi kalau didalam tubuh seseorang terdapat antibodi yang tidak mampu menetralisir virus tersebut justru dapat menimbulkan manifestasi penyakit yang berat. Pada infeksi dengue didapatkan kedua tipe antibodi tersebut. Yang pertama antibodi yang dapat menetralisir virus secara spesifik, sedang yang kedua antibodi non neutralisasi yang memacu replikasi virus. Teori infection enhancing antibody berdasar pada peran sel fagosit mononuklear merangsang terbentuknya antibodi nonnetralisasi Soegijanto, 2006. Virus mempunyai target serangan yaitu pada sel fagosit seperti makrofag, monosit, dan sel kupfer. Antigen virus dengue lebih banyak terdapat pada sel makrofag yang beredar dibanding dengan sel makrofag yang tinggal menetap di jaringan. Pada makrofag yang dilingkupi oleh antibodi non neutralisasi, antibodi tersebut akan bersifat opsonisasi, internalisasi dan akhirnya sel mudah terinfeksi. Lebih banyak sel yang terinfeksi akan menjadi aktif dan mengeluarkan pelbagai substansi sitokin proinflamasi dan tromboplastin yang akan meningkatkan permeabilitas kapiler dan akan mengaktivasi faktor koagulasi Sutaryo, 2005. Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia melalui perantaraan gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Masa inkubasi 3-15 hari rerata 7-10 hari. Begitu memasuki tubuh, virus dengue ikut dalam sirkulasi sistemik dan berusaha menemukan sel target. Makrofag merupakan sel target utama infeksi virus dengue. Sebelum mencapai makrofag, virus dengue akan dihadang oleh respons imun. Masuknya virus dengue akan direspons melalui mekanisme pertahanan nonspesifik dan spesifik. Sistem imun nonspesifik akan melibatkan commit to user 13 pertahanan humoral dan seluler. Imunitas spesifik melalui respons limfosit timbul lebih lambat Nasronudin, 2007a. Respons imun berusaha membatasi virus dengue mencapai sel target. Salah satu upaya tubuh untuk menghadapi kehadiran virus dengue dilakukan oleh komplemen. Dampak hiperaktivitas komplemen selain berpengaruh terhadap endotel dan permeabilitas veskuler juga meningkatkan produksi dan sekresi histamin, sehingga tidak jarang penderita DBD disertai keluhan gatal-gatal. Selain komplemen, upaya mencegah internalisasi virus ke sel target juga dilakukan oleh interferon- α IFN-α dan interferon-β IFN-β sehingga repiklasi virus dengue dapat ditekan. Meskipun demikian bila kinerja komplemen, IFN- α dan IFN-β serta berbagai sistem imun lain tidak efektif, maka virus dengue juga akan berhasil mencapai makrofag Nasronudin, 2007a. Makrofag yang terpapar virus dengue mengalami aktivasi sehingga meningkatkan produksi dan sekresi sitokin proinflamasi. Sekitar satu jam sejak internalisasi virus dengue dalam makrofag terjadi aktivasi gen NF κB sehingga terjadi peningkatan produksi dan sekresi interleukin-1 β IL-1β, kemudian diikuti dengan peningkatan produksi dan sekresi tumor nekrosis factor- α TNF-α dan interleukin-6 IL-6 pada satu jam berikutnya. Melalui perantaraan reseptor Fc, akan terjadi interaksi dan komunikasi lebih efektif antara makrofag dan limfosit T. Sel T juga memproduksi dan mensekresi sitokin proinflamasi sehingga semakin banyak mediator dan sitokin yang terlibat. Interleukin-1 β akan menyebabkan malfungsi endotel dan TNF- α akan menyebabkan destruksi endotel. Keadaan ini commit to user 14 dapat meningkatkan permeabilitas vaskuler dan mendorong perpindahan plasma dari intravaskuler ke ekstravaskuler Halstead, 2004; Sutaryo, 2005. Hiperaktivitas makrofag yang dipicu oleh virus dengue juga menyebabkan peningkatan produksi dan sekresi enzim PLA2. Enzim PLA2 dalam sirkulasi darah akan memicu metabolisme asam arakhidonat, melalui jalur siklooksigenase, sehingga terjadi peningkatan sintesis prostasiklin PGI2, PGE2, tromboksan A2, dan leukotrien. Sejalan dengan dampak metabolik akibat intervensi virus dengue tersebut, terjadi tuntutan terhadap mitokondria untuk meningkatkan produksi ATP guna memenuhi kebutuhan tubuh yang berada dalam kondisi hipermetabolik. Efek samping dari produksi ATP berlebih tersebut adalah terbentuknya radikal bebas. Radikal bebas dengan kadar berlebih juga berkontribusi terhadap terjadinya kerusakan endotel. Radikal bebas yang berlebih tersebut juga bertindak sebagai induktor terjadinya pembukaan mitochondrial permeability transition pore MPTP. Melebarnya celah MPTP memungkinkan radikal bebas masuk melalui membran dalam inner membrane mitokondria dengan diikuti peningkatan mobilitas kalsium ke intraseluler dan mendorong terjadinya peningkatan aktivitas enzim proteolitik dan caspase 8,9, dan 3 sehingga terjadi fragmentasi DNA inti dan kematian sel melalui apoptosis. Akhirnya secara bertubi-tubi endotel mendapat terpaan sitokin proinflamasi, PLA2 dan radikal bebas yang secara simultan akan menyebabkan malfungsi, disfungsi, dan destruksi endotel. Dalam situasi seperti ini permeabilitas vaskuler terbuka lebar sehinnga terjadi terjadi perpindahan plasma, selain juga terjadi gangguan elastisitas dinding vaskuler. Malfungsi, disfungsi, dan destruksi endotel serta menurunnya kelenturan vaskuler commit to user 15 akan menentukan kondisi klinis penderita dengan berbagai gradasi beratnya penyakit DBD yaitu derajat I, II, III, dan IV Nasronudin, 2007a. Respons imun humoral terhadap infeksi dengue terjadi dengan terbentuknya antibodi. Antibodi yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM. Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam hari ke-5 meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan menghilang setelah 60-90 hari. Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik kadar antibodi IgM, oleh karena itu kinetik antibodi IgG harus dibedakan antara infeksi primer dan sekunder. Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat sekitar demam hari ke-14 sedang pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada demam hari kedua. Oleh karena itu, diagnosis dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM setelah hari sakit kelima, diagnosis infeksi sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan antibodi IgG yang cepat Sathish dkk., 2003; Roche dkk., 2005; Mulyono, 2007; Anonim, 2009 Gambar 2.4 Profil serologi infeksi dengue Anonim, 2009 commit to user 16 Antibodi terhadap virus dengue dapat dibagi menjadi dua : 1. Antibodi netralisasi neutralizing antibodies, bersifat serotipe spesifik yang dapat mencegah infeksi virus yang sama berikutnya. 2. Antibodi non-netralisasi, yang dapat meningkatkan beratnya infeksi berikutnya dengan serotipe yang berlainan, yang berperan dalam patogenesis DBD dan syok. Pada infeksi primer terjadi antibodi yang memiliki aktivitas netralisasi yang mengenali protein E dan monoklonal antibody terhadap NSI, Pre-M dan NS3 dari virus penyebab infeksi akibatnya terjadi lisis sel yang telah terinfeksi virus tersebut melalui netralisasi atau aktivasi komplemen. Akhirnya virus dilenyapkan dan penderita mengalami penyembuhan, selanjutnya terjadilah kekebalan seumur hidup terhadap serotipe virus yang sama tersebut Soegijanto, 2006. Pada infeksi yang kedua oleh virus dengue dengan serotipe yang berbeda terjadi proses sebagai berikut Halstead, 2004; Soegijanto, 2006 : 1. Virus dengue tersebut berperan sebagai super antigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag. Makrofag ini menampilkan antigen presenting cell APC. Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari mayor histocompatibility complex MHC II A. 2. Antigen yang bermuatan peptide MHC II akan berikatan dengan CD4 TH-1 dan TH-2 dengan perantaraan T Cell Receptor TCR. Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap infeksi tersebut, maka limfosit T akan mengeluarkan substansi dari TH-1 yang berfungsi sebagai imunomodulator yaitu IFN- , II-2 dan colony stimulating factor CSF. Interferon- γ akan merangsang makrofag commit to user 17 untuk mengeluarkan IL-I dan TNF- α. Sedangkan CSF akan merangsang neutrofil untuk beradesi dengan endotel dan mengeluarkan lisosim yang akan menyebabkan endotel lisis. Neutrofil juga membawa superoksid yang termasuk dalam radikal bebas yang akan mempengaruhi oksigenasi pada mitokondria dan siklus GMPs. Akibatnya endotel menjadi nekrosis, sehingga terjadi kerusakan endotel pembuluh darah yang mengakibatkan terjadi gangguan vaskuler. 3. Antigen yang bermuatan MHC I akan diekspresikan di permukaan virus sehingga dikenali oleh limfosit T CD8+. Limfosit akan teraktivasi yang bersifat sitolitik, sehingga sel yang mengandung virus dihancurkan. 4. Akibat adanya infeksi sekunder oleh virus yang heterolog virus dengan serotipe lain atau virus lain karena adanya antibodi non-netralisasi maka partikel virus dengue dan molekul antibodi IgG membentuk kompleks virus- antibodi dan ikatan antara kompleks tersebut dengan reseptor Fc- pada sel makrofag melalui bagian Fc dari IgG menimbulkan peningkatan enhancement infeksi virus dengue. 5. Tumor necrosis factor- α akan menyebabkan kebocoran dinding pembuluh darah dan merembesnya cairan plasma ke dalam jaringan tubuh yang disebabkan kerusakan endotel pembuluh darah, yang dapat mengakibatkan syok. 6. Kompleks virus-antibodi kompleks imun yang terbentuk juga akan merangsang komplemen, yang kemudian akan mengeluarkan bahan mediator commit to user 18 C3a dan C5a. Bahan ini bersifat vasoaktif dan prokoagulan sehingga menyebabkan kebocoran plasma dan perdarahan. Mekanisme imunopatologi tersebut dapat lebih dijelaskan sesuai gambar berikut: LPS bp CD 14 IL 6 TNF ‐ IL ‐1 IL 8 APC CD 4 + TCR IFN ‐ SUPER ANTIGEN IL ‐ 10 IL ‐ 4 IL ‐ 5 IL ‐ 6 Ig NO ICAM ‐1 α γ IMUNOPATOGENESIS TH ‐ 2 TH ‐ 1 B cell CD 8 + LPS IL ‐2 CSF Compl. N ∅ NK Gu n t u r , 2 0 0 0 C3a, C5a PGE 2 TLR 4 TLR2 C7a MHC II PAI ‐1 Gambar 2.5 Imunopatologi Guntur,2001 Profil sekresi sitokin membedakan aktivasi sel T helper Th 1 atau sel T helper Th 2. Sel Th1 mensekresikan IFN- , IL-2 dan TNF- . Sel Th2 mensekresikan IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, dan IL-13 dan merangsang produksi antibodi sel B. Pengaturan silang Th1 dan Th2 terutama diperantarai oleh IL-10 dan IFN- . Pada penyakit demam berdarah terjadi pergeseran dari respons sel Th1 yang dominan pada kasus-kasus DF ke sel Th2 yang dominan pada kasus- kasus DBD yang berat. Peningkatan kadar IL-4, IL-6 dan IL-10 diamati terutama commit to user 19 dalam kasus-kasus DBD kelas III dan IV. Sebaliknya, kadar IFN- dan IL-2 tertinggi pada kasus DF dan rendah pada DBD grade IV. Profil sitokin pada pasien dengan DF menunjukkan peningkatan kadar IFN- danIL-2 dan kadar IL- 4, IL-6 dan IL-10 yang rendah, khas untuk tipe respons oleh sel Th1. Sedangkan DBD derajad IV menunjukkan peningkatan kadarIL 4, IL-6 dan IL-10 dan kadar IL-2 dan IFN- yang rendah, khas untuk tipe respons oleh sel Th2. Kadar IL-13 serum yang merupakan sitokin tipikal dari sel Th2, tidak ada pada pasien dengan DF dan didapatkan tertinggi pada kasus-kasus DBD grade IV Chaturvedi dkk., 1999; Chaturvedi dkk.,2000; Chaturvedi dan Nagar, 2008 Gambar 2.6 Kaskade sitokin yang diinduksi oleh virus dengue. Virus bereplikasi di makrofag dan dipresentasikan oleh makrofag tersebut untuk merekrut sel T CD4 Chaturvedi dkk.,2000. Makrofag adalah sel utama tempat virus dengue bereplikasi dan mempresentasikan antigen virus tersebut ke sel CD4. Sel CD4 menghasilkan commit to user 20 sitokin khas yaitu cytotoxic factor CF, pada tikus disebut mice cytotoxic factor CF dan pada manusia disebut human cytotoxic factor hCF. Bila hCF dari serum penderita DBD diinokulasikan ke tikus menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan kerusakan sawar darah-otak, menunjukkan peran dalam patogenisitasnya. Human cytotoxic factor menginduksi makrofag memproduksi radikal bebas, nitrit, oksigen reaktif dan peroxynitrite. Radikal bebas, selain membunuh sel-sel target dengan apoptosis, juga langsung meningkatkan produksi sitokin proinflamasi IL-1 , TNF- α, IL-8, dan peroksida hidrogen oleh makrofag. Peningkatan permeabilitas vaskuler disebabkan oleh efek kombinasi dari histamin, radikal bebas, sitokin proinflamasi, produk dari jalur komplemen, dan lain- lain Chaturvedi dkk.,2000 Pengaturan produksi hCF belum diketahui, apakah oleh jumlah virus, faktor humoral sitokin, atau predisposisi genetik. Selain itu juga belum diketahui pasti apakah sel yang menghasilkan hCF adalah sel Th1, sel Th2, atau subset sel T CD4 yang lain Chaturvedi dkk.,2000. 2.1.3. Trombositopenia Pada Demam Berdarah Dengue Trombositopenia pada penderita DBD diduga terjadi akibat peningkatan destruksi trombosit oleh sistem retikuloendotelial, agregasi trombosit akibat endotel vaskuler yang rusak serta penurunan produksi trombosit oleh sumsum tulang Sugianto,1994. Perdarahan pada DBD disebabkan oleh tiga kelainan hemostasis utama, yaitu vaskulopati, kelainan trombosit, dan penurunan kadar faktor pembekuan. Pada fase awal demam, perdarahan disebabkan oleh vaskulopati dan commit to user 21 trombositopenia, sedangkan pada fase syok dan syok lama, perdarahan disebabkan oleh trombositopenia, kemudian diikuti oleh koagulopati, terutama sebagai akibat koagulasi intravaskuler diseminata KID dan peningkatan fibrinolisis. Secara klinis, vaskulopati bermanifestasi sebagai petekie, uji bendung positif, perembesan plasma, dan elektrolit serta protein ke dalam rongga ekstravaskuler. Penyebab utama dari vaskulopati adalah dikeluarkannya zat anafilotoksin C3a dan C5a Nasiruddin, 2006. Penurunan produksi trombosit pada fase awal penyakit hari sakit ke-1 sampai dengan ke-4 merupakan penyebab trombositopenia. Pada saat itu sumsum tulang tampak hiposeluler ringan dan megakariosit meningkat dalam berbagai bentuk fase maturasi. Tampaknya,virus secara langsung menyerang mieloid dan megakariosit. Pada hari sakit ke-5 sampai dengan ke-8, terjadinya trombositopenia terutama disebabkan oleh penghancuran trombosit dalam sirkulasi. Kompleks imun yang melekat pada permukaan trombosit mempermudah penghancuran trombosit oleh sistem retikuloendotelial dalam hati dan limpa, mengakibatkan trombositopenia . Tetapi, penghancuran trombosit ini dapat pula disebabkan oleh kerusakan endotel, , antibodi trombosit spesifik, atau koagulasi intravaskular diseminata Suhendro, 2006; Nasiruddin, 2006. Pada pemeriksaan sumsum tulang penderita DBD pada awal demam terdapat hipoplasia sumsum tulang dengan hambatan pematangan dari semua sistem hemopoesis, terutama megakariosit. Setelah hari ke-5 sampai ke-8 perjalanan penyakit, terjadi peningkatan cepat eritropoesis dan megakariosit muda. Pada fase konvalesen pada sumsum tulang terjadi hiperseluler dan terutama commit to user 22 diisi oleh eritropoesis dengan pembentukan trombosis yang sangat aktif Djajadiman,1999 Terbentuknya kompleks antigen-antibodi antara antigen virus Dengue dengan antibodi selain menyebabkan proses terjadinya trombositopenia juga akan mengaktifkan sistem koagulasi. Proses ini dimulai dari aktivasi faktor XIIa hegemen menjadi bentuk XIIa yang aktif, selanjutnya faktor XIIa akan mengaktifkan faktor koagulasi lainnya secara berurutan mengikuti suatu kaskade sehingga terbentuk fibrin. Di samping itu aktivasi faktor XII akan menggiatkan sistem kinin yang berperan meningkatkan permeabilitas kapiler. Faktor XIIa juga akan mengaktifkan sistem fibrinolisis melalui proses enzimatis sehingga terjadi perubahan plasminogen menjadi plasmin, di mana plasmin mempunyai sifat proteolik dengan sasaran khusus adalah fibrin. Aktivasi sistem koagulasi dan fibrinolisis yang berkepanjangan berakibat menurunnya berbagai faktor koagulasi seperti fibrinogen II, V, VII, VIII, IX, dan X, serta plasminogen. Secara klinis dapat dijumpai gejala perdarahan berat sebagai akibat trombositopenia berat, masa perdarahan dan masa protombin yang memanjang, penurunan kadar faktor pembekuan II, V, VII, VIII, IX, dan X bersama dengan hipofibrinogenemia dan peningkatan produk pemecahan fibrin Djajadiman,1999. 2.1.4. Gangguan Hepar Pada Demam Berdarah Dengue Hepar merupakan salah satu organ target infeksi virus dengue. Hepatomegali terjadi pada 90 kasus DBD anak dan pada 60 kasus DBD dewasa, umumnya timbul pada demam hari ke- 3 – 4. Besarnya hepatomegali tidak berkorelasi dengan derajat penyakit. Pada 30-90 kasus terjadi peningkatan commit to user 23 SGOT dan SGPT, dengan peningkatan SGOT lebih tinggi daripada SGPT dan akan kembali normal setelah 2 minggu Mulyono,2007. Virus dengue mampu bereplikasi dalam sel hepar menyebabkan jejas hepatoselular. Dampak virus Dengue terhadap hepatosit dan sel kupffer melalui beberapa mekanisme yaitu efek langsung, efek sitokin proinflamasi, dan efek radikal bebas atau ROS terhadap hepatosit dan sel kupfer. Virus dengue menginduksi disfungsi mitokondria dan kematian sel. Hal ini mungkin disebabkan oleh protein virus atau produknya beinteraksi dengan membran mitokondria, mengakibatkan peningkatan permeabilitas membran mitokondria, perubahan fisiologi mitokondria, dan produksi reactiv oxygen species ROS yang berlebihan. Akibatnya sel mengalami gangguan fungsi. Terbentuk councilman bodies, kemudian terjadi fragmentasi DNA dan apoptosis hepatosit, sehingga kadar SGOT serum meningkat lebih tinggi. Proses kematian sel hepatosit dan kupffer akibat DBD selain melalui apoptosis juga melalui nekrosis. Terjadi inflamasi, nekrosis hepatoseluler yaitu nekrosis pada zona tengah dan perifer hati. Nekrosis tersebut terjadi akibat insufisiensi sirkulasi mikro yang menyebabkan hepatoseluler mengalami iskhemia, inflamasi akut akibat pengaruh sitokin proinflamasi dan berbagai mediator; serta dampak negatif oksidan dan kholestasis. Kelainan tersebut tidak terlepas dari keterlibatan sistem retikuloendotelial, kompleks imun, aktivasi komplemen, kompleks antigen-antibodi, agregasi trombosit, perubahan endotel, dan berbagai komponen lain selama berlangsungnya infeksi. Nekrosis ditandai oleh kerusakan membran plasma, disfungsi mitokondria dan lisis sel, disertai proses inflamasi dan commit to user 24 akumulasi sel fagosit. Proses nekrosis dapat terjadi pada sentrolobuler hepar. Kelainan berupa hepatitis tersebut yang menyebabkan penderita sering mengeluh nyeri pada hipokhondrium kanan, hepatomegali, dan peningkatan kadar transaminase Nasronudin,2007c; Osorio dkk.,2007; Higa dkk.,2008 . 2.2. Diagnosis Demam Berdarah Dengue 2.2.1. Manifestasi Klinis Infeksi Dengue Rentang variasi klinis infeksi virus dengue sedemikian luas, mulai asimtomatis, demam tidak spesifik, demam dengue, demam berdarah dengue, dan sindrom syok dengue. Demam dengue adalah penyakit demam akut selama 2-7 hari dengan dua atau lebih manifestasi sebagai berikut : nyeri kepala, nyeri retroorbital, mialgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan dan leukopenia Schroeder dkk., 1992; Halstead, 2004; Hadinegoro dkk., 2005. Gambar 2.7 Manifestasi infeksi virus dengue WHO, 1997 Infeksi virus dengue Simtomatis Asimtomatis DBD dengan syok Demam berdarah dengue Demam dengue Dengan perdarahan Demam tidak spesifik Tanpa perdarahan DBD tanpa syok commit to user 25 Pada demam berdarah dengue, perjalanan penyakit dapat menyerupai kasus demam dengue dengan kecenderungan perdarahan dengan satu manifestasi klinis atau lebih, yaitu Hadinegoro dkk, 2005 : 1. Uji tourniquet positif 2. Petekie, ekimosis atau purpura 3. Perdarahan mukosa epistaksis, perdarahan gusi 4. Hematemesis atau melena 5. Trombositopenia jumlah trombosit 100.000mm3 6. Hemokonsentrasi sebagai akibat dari peningkatan permeabilitas kapiler dengan manifestasi satu atau lebih, yaitu: 1. Peningkatan hematokrit 20 dibandingkan standar sesuai umur dan jenis kelamin. 2. Penurunan hematokrit 20 setelah mendapat cairan. 7. Tanda perembesan plasma, yaitu efusi pleura , asites atau proteinemia. Kriteria sindrom syok dengue sama dengan yang telah disebutkan diatas, ditambah dengan manifestasi kegagalan sirkulasi yaitu nadi menurun 20 mmHg, hipotensi sesuai umur, kulit dingin dan lembab, dan pasien tampak gelisah Hadinegoro dkk, 2005. Demam berdarah dengue mempunyai perjalanan penyakit yang sulit diramalkan. Pada umumnya semua pasien mengalami fase demam selama 2-7hari, kemudian diikuti fase kritis selama 2-3 hari. Pada fase kritis ini suhu turun, dan risiko terjadinya SSD meningkat yang kadang-kadang dapat bersifat fatal bila tidak mendapat pengobatan yang adekuat. Dengan memperhatikan perjalanan commit to user 26 penyakit dan memberikan pengobatan yang adekuat dapat menurunkan angka kematian. Patofisiologi penting yang membedakan DBD dengan DD dan penyakit lain adalah adanya gangguan hemostasis dan peningkatan permeabilitas vaskular yang menyebabkan terjadinya perembesan plasma Hadinegoro dkk, 2005. Prognosis DBD tergantung dari saat diagnosis perembesan plasma ditegakkan, yaitu saat terjadi penurunan trombosit disertai peningkatan hematokrit. Fase kritis adalah saat suhu turun yaitu setelah dari sakit ketiga. Penurunan junmlah trombosit menjadi kurang dari 100.000 mm3 atau kurang dari 1-2 trombositlapangan pandangan besar lpb dengan rata-rata pemeriksaan dilakukan pada 10 lpb, pada umumnya terjadi sebelum terdapat peningkatan hematokrit yaitu sebelum suhu turun. Peningkatan hematokrit lebih dari 20 misalnya dari 35 menjadi 42 menggambarkan perembesan plasma sehingga diperlukan terapi cairan intravena. Hadinegoro dkk, 2005. Penyakit ini ditandai oleh demam tinggi yang mendadak, terus menerus, berlangsung 2-7 hari. Kadang-kadang suhu tubuh sangat tinggi sampai 40 o C dan dapat dijumpai kejang demam. Akhir fase demam merupakan fase kritis pada DBD, oleh karena fase tersebut dapat merupakan awal penyembuhan tetapi dapat pula sebagai awal fase syok.Penyebab perdarahan pada pasien penyakit DBD ialah vaskulopati, trombositopeni dan gangguan fungsi trombosit, serta koagulasi intravaskular yang menyeluruh. Jenis perdarahan yang terbanyak adalah perdarahan kulit seperti uji tourquet uji Rumple Leede positif, petekie, purpura, ekimosis dan perdarahan konjungtiva. Petekie merupakan tanda perdarahan yang sering ditemukan. Perdarahan lain yaitu epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis commit to user 27 dan melena. Perdarahan gastrointestinal biasanya terjadi menyertai syok. Kadang- kadang dijumpai pula perdarahan subkonjungtiva Hadinegoro dkk.,2005. Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit, bervariasi dari hanya sekedar dapat diraba just palpable sampai 2-4 cm di bawah lengkung iga kanan. Derajat pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit. Untuk menemukan pembesaran hati, harus dilakukan perabaan setiap hari. Nyeri tekan di daerah hati tampak jelas pada anak besar dan ini berhubungan dengan adanya perdarahan.Syok ditandai dengan denyut nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang, hipotensi, kulit dingin dan lembab. Syok merupakan tanda kegawatan yang harus mendapat perhatian serius, oleh karena bila tidak diatasi secepatnya dapat menyebabkan kematian Hadinegoro dkk., 2005. 2.2.3. Pemeriksaan Laboratorium Demam Berdarah Dengue Pemeriksaan darah rutin yang dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam dengue adalah pemeriksaan kadar hemoglobin,hematokrit,jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru. Jumlah leukosit dapat normal, tetapi biasanya menurun dengan dominasi sel neutrofil. Selanjutnya pada akhir fase demam, jumlah leukosit dan sel neutrofil bersama-sama menurun sehingga jumlah sel limfosit secara relatif meningkat. Peningkatan jumlah sel limfosit atipikal atau limfosit plasma biru 15 dapat dijumpai pada hari sakit ketiga, sebelum suhu tubuh turun atau sebelum syok terjadi Hadinegoro dkk., 2005. commit to user 28 Terjadi penurunan jumlah trombosit menjadi kurang dari 100.000mm3 atau kurang dari 1-2 trombositlapangan pandangan besar lpb dengan rata-rata pemeriksaan dilakukan pada 10 lpb. Pada umumnya trombositopenia terjadi sebelum ada peningkatan hematokrit dan terjadi sebelum suhu turun. Penurunan jumlah trombosit kurang dari 100.000mm3 biasanya ditemukan antara hari sakit ketiga sampai ketujuh. Pemeriksaan dilakukan pertama pada aat pasien diduga menderita DBD, bila normal maka diulang pada hari sakit ketiga, tetapi bila perlu diulangi setiap hari sampai suhu turunHadinegoro dkk., 2005; Batra dkk., 2006 Peningkatan nilai hematokrit atau hemokonsenstrasi selalu dijumpai pada DBD, merupakan indikator yang peka akan terjadinya perembesan plasma, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan secara berkala. Hemokonsentrasi umumnya dimulai pada hari ketiga demam. Pada umumnya penurunan trombosit mendahului peningkatan hematokrit. Hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit 20 atau lebih misalnya dari 35 menjadi 42, mencerminkan peningkatan permeabilitas kapiler dan perembesan plasma. Perlu mendapat perhatian, bahwa nilai hematokrit dipengaruhi oleh penggantian cairan atau perdarahan Hadinegoro dkk., 2005; Batra dkk., 2006. Kompleks virus antibodi atau mediator dari fagosit yang terinfeksi virus pada DBD ternyata dapat mengaktifkan sistem koagulasi. Aktivasi sistem koagulasi dan fibrinolisis yang berkepanjangan berakibat menurunnya berbagai faktor koagulasi seperti fibrinogen II,V, VII, VIII, IX dan X serta plasminogen. Keadaan ini menyebabkan dan memperberat perdarahan pada pasien DBD, ditambah lagi dengan adanya trombositopenia Hadinegoro dkk,2005. commit to user 29 Pada penderita DBD SGOT dan SGPT dapat meningkat. D isfungsi hati dapat disebabkan efek langsung virus terhadap sel hati atau karena respon imun tubuh melawan virus. Virus dengue dapat bereplikasi di hepatosit maupun di sel Kupffer Seneviratnea dkk., 2006. Pada infeksi virus dengue proses inflamasi berasal dari lesi parenkim hati yang mengeluarkan marker ke darah. Pada fase akut infeksi dengue terjadi peningkatan kadar aminotransferase, diikuti penurunan kadar enzim hati setelah fase penyembuhan. Pada infeksi dengue diketahui kadar SGOT lebih tinggi dibandingkan SGPT dengan rasio antara 1-1,5 Tahono,2006. Marker SGOT dan SGPT penting dan dapat digunakan sebagai parameter untuk mengevaluasi derajat keparahan hati Souza dkk.,2007. Peningkatan rata-rata SGPT lebih tinggi untuk DENV-2, diikuti DENV-3, sedangkan aktifitas enzim hati SGOT pada serum pasien yang terinfeksi DENV-2, 1 dan 3 secara statistik lebih tinggi daripada aktivitas enzim pada kelompok kontrol. Pada infeksi dengue perlu dideteksi adanya peningkatan enzim hati untuk mencegah terjadinya ensefalopati hepatik yang tidak diinginkan Pichardo dkk., 2006. Pemeriksaan ureum dan kreatinin dilakukan bila didapatkan gangguan fungsiginjal. Hipoproteinemia dapat terjadi akibat kebocoran plasma.Pemeriksaan golongan darah dan cross match dilakukan bila akan diberikan tranfusi Suhendro dkk., 2006 Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis infeksi dengue memainkan peranan penting pada perawatan pasien, surveilans epidemiologi, pemahaman patogenesis infeksi dengue, dan riset formulasi vaksin.Saat ini, pemeriksaan laboratorium infeksi dengue meliputi isolasi virus, deteksi genom commit to user 30 virus, deteksi antigen virus, dan pemeriksaan serologiShu dan Huang, 2004; Dutra dkk., 2009. 1. Isolasi virus Masa viremra virus dengue berlangsung singkat, biasanya terdeteksi dua atau tiga hari sebelum onset demam sampai lima hari setelah demam. Diagnosis spesifik infeksi dengue dibuat dengan isolasi virus dari darah pasien. Sampel serum akut diinokulasikan ke dalam kultur jaringan sel nyamuk atau secara langsung ke dalam nyamuk toxorhynchites, aedes aegypti atau aedes albopictus hidup. Serotipe dengue dapat diidentifikasi dengan indirect fluorecent antibody test, dengan teknik immunofluoresensi menggunakan antibodi monoklonal spesifik serotipe Gubler, 1992; Guzman dan Kouri,1996; Shu dan Huang, 2004; Dutra dkk., 2009 2. Deteksi antigen virus Pemeriksaan antigen virus dengue dapat dilakukan dengan ELISA streptavidin biotin system. Antigen virus dengue lebih sering terdeteksi pada sel monosit darah perifer dibandingkan pada serum. Teknik pemeriksaan yang lain adalah dengan teknik imunohistokimiaDutra dkk.,2009. 3. Deteksi genom virus Polymerase chain reaction PCR memainkan peranan penting untuk diagnosa infeksi dengue, surveilans epidemiologi, penelitian vaksin dengue dan obat- obat antiviral Dutra dkk.,2009. 4. Pemeriksaan NS1 virus dengue. Pemeriksaan dengan capture ELISA dapat mendeteksi antigen NS1 baik pada infeksi primer maupun sekunder. NS1 commit to user 31 terdeteksi pada hampir semua infeksi dengue antara hari 0-9 post infeksi. Hal ini disebabkan karena antigen NS1 disekresikan dengan kadar yang lebih tinggi selama infeksi, sehingga NS1 dapat tetap terdeteksi meskipun partikel virus dengue telah dimusnahkan oleh sistem imun. Kadar antigen NS1 yang tinggi pada hari ke 5 disebabkan karena lebih banyak pasien yang terinfeksi virus dengue serotipe 1 dan 2 yang diketahui lebih banyak memproduksi NS1. Sedangkan penurunana NS1 setelah hari ke 5 disebabkan oleh pembentukan kompleks imun antara antigen NS1 dan antibodi spesifik NS1 Shu dkk.,2003; Alcon-Lepoder dkk., 2006. 5. Pemeriksaan serologi. Terdapat beberapa macam uji serologi yang biasa dipakai untuk menentukan adanya infeksi virus dengue , yaitu: 1. Uji hambatan hemaglutinasi Diantara uji serologis yang tersebut diatas, uji HI adalah uji serologis yang paling sering dipakai dan dipergunakan sebagai baku emas pada pemeriksaan serologis. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan pada uji HI ini.Uji HI ini sensitive tetapi tidak spesifik, artinya dengan uji serologis ini tidak dapat menunjukkan tipe virus yang menginfeksi. Antibodi HI bertahan di dalam tubuh sampai lama sekali 48 tahun, maka uji ini baik dipergunakan pada studi seroepidemiologi.Untuk diagnosis pasien, kenaikan titer konvaselen empat kali lipat dari titer serum akut atau titer tinggi 1280 baik pada serum akut atau konvaselen dianggap sebagai presumptive positif, atau diduga keras positif infeksi commit to user 32 dengue yang baru terjadi recent dengue infection Hadinegoro dkk,2005. 2. Uji komplemen fiksasi Uji komplemen fiksasi jarang dipergunakan sebagai uji diagnostik secara rutin, oleh karena selain rumit juga memerlukan tenaga pemeriksa yang berpengalaman Hadinegoro dkk,2005. 3. Uji netralisasi Uji netralisasi rumit dan memerlukan waktu yang cukup lama sehingga tidak dipakai secara rutin Hadinegoro dkk,2005. 4. IgM Elisa IgM captured Elisa Mac .Elisa Infeksi virus dengue pertama kali akan menyebabkan terjadinya respon primer dengan ciri kenaikan titer antibodi yang lambat. Pada infeksi primer IgM antidengue muncul pada hari ke 5 setelah timbulnya gejala sampai 30-90 hari. IgG muncul kemudian dan bertahan seumur hidup.Pada infeksi sekunder, kadar IgM lebih rendah dan pada sebagian kasus tidak terdeteksi adanya IgM. Sebaliknya kadar IgG naik secara cepat, dengan kadar yang jauh lebih tinggi dibanding pada infeksi primer Sanford, 1991; Roche, 2005;. Mac Elisa pada tahun terakhir ini merupakan uji serologi yang banyak sekali dipakai. Pada perjalanan penyakit infeksi virus dengue, akan timbul IgM yang kemudian diikuti dengan IgG. Dengan mendeteksi IgM pada serum pasien, secara cepat dapat ditentukan diagnosis yang tepat.Ada kalanya hasil uji terhadap IgM masih negatif, dalam hal seperti ini perlu diulang. Imunoglobuli M dapat commit to user 33 bertahan didalam darah sampai 2-3 bulan setelah adanya infeksi. Untuk memperjelas hasil uji IgM dapat pula dilakukan uji terhadap IgG. Mengingat alasan tersebut diatas maka uji IgM tidak boleh dipakai sebagai satu-satunya uji diagnostik untuk pengelolaan kasus. Uji Mac Elisa mempunyai sensitifitas sedikit dibawah uji HI, dengan kelebihan uji Mac Elisa hanya memerlukan satu serum akut saja Hadinegoro dkk,2005. Saat ini tersedia uji cepat rapid test dalam bentuk kit yang mudah penggunaannya Hadinegoro dkk, 2005 . Klasifikasi yang lain adalah berdasarkan rasio IgMIgG. Bila rasio IgMIgG lebih besar dari 1,78 disimpulkan sebagai infeksi primer, sedangkan bila kurang dari 1,78 disimpulkan sebagai infeksi sekunder Vaughn dkk.,1999; Neeraja dkk., 2006; Dutra dkk.,2009. 2.2.3. Pemeriksaan Penunjang Lain Pada pemeriksaan radiologi bisa didapatkan efusi pleura terutama pada hemitoraks kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dlam posisi lateral dekubitus kanan pasien tidur pada posisi badan sebelah kanan. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG Suhendro dkk.,2006. 2.2.4. Kriteria Diagnosis dan Derajad Demam Berdarah Dengue Karena luasnya variasi dari manifestasi klinis DBD, kriteria diagnosis DBD berdasarkan kriteria sebagai berikut WHO, 1997 : commit to user 34 1. Demam tinggi mendadak berlangsung 2-7 hari, pola demam seperti punggung pelana kuda. 2. Kecenderungan perdarahan, dibuktikan sedikitnya dengan satu hal berikut : 1. Uji bendungan positif 2. Terdapat petekie, ekimosis, atau purpura pada kulit 3. Perdarahan spontan sedang seperti mimisan atau perdarahan gusi 4. Terdapat perdarahan spontan berat yaitu hematemesis dan atau melena. 3. Jumlah trombosit turun hingga kurang dari 100.000 selmm3 4. Terdapat minimal satu dari tanda-tanda perpindahan plasma akibat peningkatan permeabilitas pembuluh darah kapiler : 1. hematokrit meningkat 20 dibandingkan hematokrit rata-rata pada usia, jenis kelamin, dan populasi yang sama. 2. hematokrit turun hingga 20 dari hematokrit awal setelah pemberian cairan. 3. terdapat tanda-tanda perembesan plasma seperti efusi cairan di rongga pleura, asites, hiponatremia, dan hipoalbuminemia. Sedangkan beratnya penyakit DBD dibagi menjadi 4 derajat yaitu WHO, 1997. : Derajad I : Demam mendadak tinggi dengan gejala lain yang tidak khas disertai perdarahan pada uji bendungan. Derajat II : Derajat I disertai dengan perdarahan spontan biasanya pada bentuk perdarahan kulit atau perdarahan lain. commit to user 35 Derajat III : Kegagalan sirkulasi ditandai denyut nadi cepat dan lemah, hipotensi, kulit terabadingin dan lembab serta gelisah. Derajat IV : Syok berat, ditandai dengan nadi dan tekanan darah tidak terdeteksi. Sebelum mencapai kepastian diagnosis sering didapatkan problem yang antara lain disebabkan manifestasi klinis DBD belum terlalu jelas pada fase awal, seperti manifestasi perdarahan, demikian juga pada pemeriksaan darah tepi mungkin masih dalam batas normal, sehingga masih sulit dibedakan dengan penyakit infeksi akut lainnya.Demikian juga trombositopenia, demam, hepatomegali yang terjadi pada penderita penyakit infeksi lain, misalnya malaria, leukemia, demam tifoid, dan sepsis. Untuk itu pada kasus yang meragukan dalam penentuan penatalaksanaan diperlukan pemantauan dan pemeriksaan lebih lanjut sehingga diperoleh kepastian diagnosis Hadi, 2007 commit to user 36

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS