PERBEDAAN MANIFESTASI KLINIS DAN LABORATORIUM BERDASARKAN JENIS IMUNOGLOBULIN PADA PENDERITA DEMAM BERDARAH DENGUE

(1)

commit to user

BERDASARKAN JENIS IMUNOGLOBULIN

PADA PENDERITA DEMAM

BERDARAH DENGUE

Oleh :

Dr. Sudaryono

S.9607019

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2011


(2)

commit to user

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Demam berdarah (DB) dan demam berdarah dengue (DBD) hingga kini masih merupakan masalah serius bagi pemerintah maupun masyarakat di Indonesia. Sejak penyakit ini ditemukan di Surabaya dan Jakarta pada tahun 1968, penyakit ini meluas ke seantero wilayah Indonesia dan sering terjadi kejadian luar biasa. Pada tahun 2006,tercatat 113.640 kasus DBD di Indonesia dengan jumlah kematian 1184 (Kusriarti, 2007). Di Surakarta, jumlah kasus DBD pada anak-anak yang dirawat di RS Dr.Moewardi pada tahun 2007 sebanyak 216 dan yang meninggal adalah 8 orang , sedangkan pada orang dewasa jumlah penderita 112 orang dan yang meninggal 1 orang. Dari bulan januari sampai maret 2008 jumlah kasus DBD pada anak-anak sebanyak 89 kasus, meninggal 2 orang dan pada orang dewasa jumlah kasus DBD sebanyak 57 orang (Guntur, 2008).

Demam berdarah dengue masih menjadi perhatian besar oleh karena morbiditasnya yang masih tinggi, penyebarannya yang luas, dan pengetahuan masyarakat terhadap penyakit ini yang masih rendah. Beberapa masalah klinis timbul pada pasien rawat jalan oleh karena sulitnya memprediksi apakah akan menjadi dengue klasik, DBD atau DBD dengan syok. Adanya keterbatasan pemeriksaan diagnostik untuk menentukan adanya kebocoran plasma yang berkaitan dengan tidak adanya biaya lebih menyulitkan untuk menegakkan diagnosis, dilain pihak juga tidak ada data tentang nilai hematokrit yang normal untuk masing populasi berdasarkan usia dan jenis kelamin atau


(3)

masing-commit to user

2

masing individu sehat dan pasien yang keluar rumah sakit sebelum fase yang normal (Guntur, 2008). Beberapa hal memerlukan perhatian serius. Pertama, penyakit ini semula terjadi di seputar musim penghujan tetapi kini hampir pada setiap situasi di berbagai daerah masih terjadi kasus demam berdarah dengue. Kedua, adanya potensi pergeseran umur penderita demam berdarah dengue dari anak ke dewasa. Ketiga, tingkat keseriusan penderita demam berdarah dewasa yang juga semakin tinggi sehingga tidak sedikit yang mengancam jiwa (Nasronudin, 2007).

Manifestasi klinis infeksi virus dengue sangat bervariasi. Spektrum variasinya sedemikian luas mulai dari asimtomatis, demam ringan yang tidak spesifik, demam dengue, demam berdarah dengue, hingga sindrom syok dengue, serta ensefalopati dengue. Dalam penatalaksanaan sehari-hari juga dihadapkan berbagai problem, selain diagnostik klinis saat penderita masuk rumah sakit, juga problem untuk meramalkan atau menentukan perjalanan penyakit DBD, akankah bermanifestasi ringan yang cepat sembuh dan segera berobat jalan, atau justru memberat dan terjadi komplikasi-komplikasi yang berakibat fatal, atau terdapat problem lain yaitu terjadi koinsiden dengan penyakit lain seperti hepatitis virus, malaria, pneumonia, terutama pada penderita-penderita dengan kondisi imunokompromais,misalnya pada pasien usia lanjut, gagal ginjal kronis, diabetes melitus, dan sirosis hepatik (Hadi, 2007).

Berbagai faktor terlibat sehubungan masih tingginya angka kejadian dan kematian akibat DBD. Pertama, faktor virus dengue yang akhir-akhir ini potensial mengalami mutasi genetik ke arah lebih virulen yang menyebabkan tingkat


(4)

commit to user

3

keseriusan penderita DBD dewasa semakin berat. Kedua, vektor nyamuk aedes aegypti potensial mengalami perubahan gaya hidup yang cenderung menjadi lebih ramah lingkungan. Ketiga, bagaimana respons imun host, apakah ada perubahan dalam sistem kekebalan alamiah dan kekebalan didapat dalam memberikan respons terhadap virus dengue (Nasronudin, 2007)

Walaupun sudah beberapa dekade dilakukan penelitian, patogenesis infeksi virus dengue masih belum dipahami dengan baik. Beberapa hipotesis telah dirumuskan untuk menjelaskan terjadinya DBD dan syok pada DBD. Teori

antibody-dependent enhancement (ADE) pada infeksi dengue merupakan hipotesis yang paling diterima secara luas. Meskipun demikian,telah dibuat spekulasi juga bahwa viremia memainkan peranan penting dalam patogenesis infeksi dengue berat (Koraka dkk.,2001). Pada penelitian yang dilakukan terhadap pasien DBD yang dirawat di Rumah Sakit Siti Hajar Mataram pada tahun 2005, didapatkan pasien dengan infeksi primer yang mengalami syok sebesar 6 %, sedangkan pada pasien dengan infeksi sekunder syok terjadi pada 20 % pasien (Taufik dkk., 2007).

Teori antibody-dependent enhancement memprediksikan bahwa individu yang sebelumnya secara imunologis telah tersensitisasi terhadap satu serotipe virus dengue akan membentuk antibodi non netralisasi yang akan memperhebat masuknya virus dengue dengan serotipe yang berbeda (pada infeksi dengue yang kedua) pada fagosit mononuklear, meningkatkan aktifasi komplemen dan kinin, dan pelepasan berbagai mediator yang menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular. Teori ini didukung oleh investigasi laboratorium dan beberapa penelitian


(5)

commit to user

4

yang menunjukkan bahwa pada wabah sebagian besar penderita DBD menunjukkan gambaran respon imun sekunder (Halstead,1989). Meskipun demikian, kasus DBD juga dilaporkan pada penderita dengan infeksi dengue primer (Gubler,1992). Semua jenis virus dapat ditemukan pada kasus fatal. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa di suatu daerah lebih banyak virus dengue 3, di daerah lain virus dengue 2, sedangkan virus dengue 1 dan virus dengue 4 lebih jarang (Sutaryo, 2005).

Kami ingin meneliti perbedaan manifestasi klinis penderita DBD dengan IgM

positif dan IgG negatif antidengue, IgM negatif dan IgG positif antidengue, dan IgM dan IgG positif antidengue pada pasien yang dirawat di Rumah Sakit Dr.Moewardi Surakarta.

1.2. Perumusan Masalah

Apakah terdapat perbedaan manifestasi klinis dan laboratorium antara penderita DBD dengan IgM positif dan IgG negatif antidengue, IgM negatif dan IgG positif antidengue, dan IgM dan IgG positif antidengue pada pasien yang dirawat di Rumah Sakit Dr.Moewardi Surakarta.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan     manifestasi klinis dan laboratorium antara penderita DBD DBD dengan IgM positif dan IgG negatif antidengue, IgM negatif dan IgG positif antidengue, dan IgM dan IgG positif antidengue pada pasien yang dirawat di Rumah Sakit Dr.Moewardi Surakarta.


(6)

commit to user

5

1.4. Manfaat Penelitian

Teoritis : Mengetahui hubungan antara respon imunopatologi pada DBD dengan manifestasi klinis dan laboratorium.

Praktis : Dapat memberikan kontribusi terhadap pengelolaan pasien DBD yang dirawat di Rumah Sakit Dr.Moewardi Surakarta untuk menurunkan angka kematian pasien DBD.


(7)

commit to user

6

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Patofisiologi Demam Berdarah Dengue 2.1.1. Karakteristik Virus Dengue

Virus dengue termasuk virus RNA, genus flavivirus, termasuk famili flaviridae. Sampai saat ini dikenal ada 4 serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi protektif seumur hidup untuk serotipe yang bersangkutan, tetapi tidak untuk serotipe yang lain. Keempat serotipe virus tersebut ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan di Indonesia dan ada hubungannya dengan kasus-kasus berat pada saat terjadi kejadian luar biasa (Monath, 1991; Hadi, 2007)

Virus dengue mempunyai diameter envelope 40-60 nm dan mengandung RNA untai tunggal (ssRNA). Ukuran genom 10,7 kb. Virion matur mengumpul di dalam cisternae retikulum endoplasma. Genom untai tunggal, tidak bersegmen. Klasifikasi famili virus terutama tergantung pada jenis untaian maupun ukuran asam nukleat (Noisakran dkk., 2007). Virus dengue termasuk dalam kelompok virus yang relatif labil terhadap suhu dan faktor kimiawi lain serta masa viremia yang pendek, sehingga keberhasilan isolasi dan identifikasi virus sangat bergantung kepada kecepatan dan ketepatan pengambilan (Soegijanto, 2006)


(8)

commit to user

7

Gambar 2.1 Virus dengue matur dengan pemeriksaan cryoelectron microscopy (Kuhn dkk., 2002)

Pada virus dengue terdapat sekitar 10.700 basa di dalam genomnya. Di dalam genom terdapat sebuah single open reading frame (SORF) yang mengkode 2 macam protein yaitu protein struktural dan nonstruktural. Protein struktural terdiri atas protein C (core), M (membrane), Prm (premembrane) dan E (envelope). Protein nonstruktural terdiri atas 7 macam yaitu NS1, NS2a, NS2b, NS3, NS4a, NS4b, NS5. Struktur protein virus dengue mempunyai beberapa fungsi penting. Fungsi utama adalah mempermudah perpindahan asam nukleat virus dari sel host satu ke sel host yang lain. Protein ini juga berperan melindungi gen virus terhadap inaktivasi oleh nukleus dan melengkapi partikel virus untuk intervensi sel yang rentan. Respons imunitas host secara langsung akan melawan faktor antigen protein atau glikoprotein virus yang tidak terlindungi di permukaan partikel virus (Aryati, 2007).


(9)

commit to user

8

Gambar 2.2 Struktur genom virus dengue. Protein struktural terdiri dari C, prM, dan E. Protein non struktural terdiri dari 1,2A, 2B, 3, 4A, 4B, dan 5 (Noisakarn dan Perng, 2008)

Protein NS1 bukan bagian dari struktur virion, tapi diekspresikan pada permukaan sel yang terinfeksi. NS1 adalah protein nonstruktur berupa glikoprotein yang fungsinya belum jelas diketahui. Meskipun demikian, beberapa penelitian menunjukkan bahwa glikoparotein non struktural ini berperan dalam replikasi RNA virus (Sekaran dkk., 2007; Utama, 2007). NS2 memiliki 2 protein (NS2A dan NS2B) yang berperan pada proses proses poliprotein sedangkan NS3 berperan sebagai serine proteinase. Gen NS4 memiliki 2 protein hidrofob yang berperan pada kompleks replikasi membran RNA. NS5 memiliki berat molekul 105.000 dan merupakan petanda protein Flavivirus (Utama, 2007)

Virus dengue ditularkan lewat gigitan nyamuk aedes. Ada bebreapa spesies yang dapat berlaku sebagai vektor yaitu a.aegypti, a.albopictus, a.polynesiensis

dan a.ascutellaris. Nyamuk Aedes dapat menularkan virus dengue kepada


(10)

commit to user

9

viremia), maupun secara tidak langsung, setelah melewati masa inkubasi dalam tubuhnya selama 8-10 hari (extrinsic incubation period). Manusia bersifat infektif hanya pada saat viremia saja (5-7 hari), tetapi nyamuk dapat infektif selama hidupnya. Masa inkubasi penyakit infeksi ini 3-15 hari (rata-rata 7-10 hari) (Monath, 1991; Sanford,2006; Hadi, 2007).

2.1.2. Patogenesis Demam Berdarah Dengue

Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue sampai saat ini masih diperdebatkan. Beberapa hipotesa telah diajukan untuk menjelaskan mengapa DBD terjadi pada sebagian individu yang terinfeksi virus dengue. Beberapa hipotesa tersebut adalah (Gubler, 1992):

1. Perubahan atau perbedaan virulensi antara keempat serotipe virus dengue, atau antara strain dari serotipe virus yang sama.

2. Interaksi antara virus dengue dengan lingkungan atau agen infeksius lainnya.

3. Perbedaan kerentanan genetik atau faktor lain yang terdapat pada individu yang terinfeksi.

4. Immunologic enchancement infeksi virus dengue oleh antibodi yang terbentuk dari infeksi sebelumnya oleh serotipe dengue yang berbeda.

Teori virulensi virus didasarkan pada pemikiran bahwa seseorang akan terkena virus dengue dan menjadi sakit kalau jumlah dan virulensi virus cukup kuat untuk mengalahkan pertahanan tubuh. Hal ini berdasarkan fakta yang ada bahwa semua jenis virus dapat ditemukan pada kasus fatal. Artinya semua virus dapat saja membuat kematian (Sutaryo, 2005).


(11)

commit to user

10

Polimorfisme genetik juga berperan dalam mekanisme imunopatologi pada patogenesis DBD (Sierra dkk.,2007). Adanya transmisi endemik beberapa serotipe virus dengue di Haiti namun tidak ditemukan kasus DBD dan dengue syock sindrome (DSS), selain berdasarkan pengamatan bahwa orang kulit hitam lebih jarang dirawat di rumah sakit dengan DBD dan DSS daripada orang kulit putih selama epidemi di Kuba,memunculkan hipotesis bahwa faktor genetik manusia turut berperan terhadap kerentanan individu terhadap DBD dan DSS. Beberapa polimorfisme genetik tersebut dapat melindungi atau sebaliknya menyebabkan individu menderita DBD dan DSS (Wagenaar dkk.,2004).

Sejumlah penelitian menemukan variasi pada gen human leukocyte antigen

(HLA) dan beberapa gen lainnya berhubungan dengan beratnya infeksi virus dengue. Beberapa produk gen HLA kelas I dan II berperan penting. Pada penelitian di Thailand, HLA-A2 berkaitan dengan manifestasi infeksi dengue yang lebih berat, sedangkan HLA-A0203 berkaitan dengan manifestasi yang lebih ringan. Human leukocyte antigen yang terletak pada kromosom 6, mengkode

major histocompatability complex (MHC) yang akan membawa protein antigen pada reseptor antigen limfosit T untuk mengaktifkan respon imun seluler. Dua polimorfisme alel non-HLA yaitu reseptor Fc receptor II (Fc RII) dan vitamin D receptor (VDR) juga berperan (Wagenaar dkk.,2004). Monosit dan sel-sel sistem imun lainnya yang mengekspresikan Fc RII merupakan target penting infeksi virus dengue. Oleh karena itu, polimorfisme gen Fc receptor ikut menentukan beratnya manifestasi infeksi virus dengue (Sierra dkk.,2007)


(12)

commit to user

11

Sedangkan menurut teori imunopatologi, kalau seseorang mendapat infeksi primer dengan satu jenis virus, kemudian lain kali mendapat infeksi sekunder dengan jenis serotipe virus yang lain maka mempunyai risiko lebih besar besar akan terjadi infeksi yang berat. Halstead mengajukan hipotesis secondary

heterologous infection yang menyatakan bahwa DBD terjadi bila seseorang

terinfeksi ulang virus dengue dengan tipe yang berbeda. Reinfeksi menyebabkan reaksi anamnestik antibodi sehingga menyebabkan konsentrasi kompleks imun yang tinggi (Suhendro dkk., 2006).

Gambar 2.3 Hipotesis secondary heterologous infection (Dikutip dari Suhendro dkk., 2006)

Teori yang kini dianut luas adalah teori immunologic enchancement atau

antibody dependent enhancement (ADE). Berdasarkan teori ini, bila ada antibodi yang spesifik untuk satu jenis virus maka antibodi tersebut dapat mencegah


(13)

commit to user

12

penyakit oleh virus tersebut, tetapi kalau didalam tubuh seseorang terdapat antibodi yang tidak mampu menetralisir virus tersebut justru dapat menimbulkan manifestasi penyakit yang berat. Pada infeksi dengue didapatkan kedua tipe antibodi tersebut. Yang pertama antibodi yang dapat menetralisir virus secara spesifik, sedang yang kedua antibodi non neutralisasi yang memacu replikasi virus. Teori infection enhancing antibody berdasar pada peran sel fagosit mononuklear merangsang terbentuknya antibodi nonnetralisasi (Soegijanto, 2006). Virus mempunyai target serangan yaitu pada sel fagosit seperti makrofag, monosit, dan sel kupfer. Antigen virus dengue lebih banyak terdapat pada sel makrofag yang beredar dibanding dengan sel makrofag yang tinggal menetap di jaringan. Pada makrofag yang dilingkupi oleh antibodi non neutralisasi, antibodi tersebut akan bersifat opsonisasi, internalisasi dan akhirnya sel mudah terinfeksi. Lebih banyak sel yang terinfeksi akan menjadi aktif dan mengeluarkan pelbagai substansi sitokin proinflamasi dan tromboplastin yang akan meningkatkan permeabilitas kapiler dan akan mengaktivasi faktor koagulasi (Sutaryo, 2005).

Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia melalui perantaraan gigitan nyamuk Aedesaegypti dan Aedes albopictus. Masa inkubasi 3-15 hari (rerata 7-10 hari). Begitu memasuki tubuh, virus dengue ikut dalam sirkulasi sistemik dan berusaha menemukan sel target. Makrofag merupakan sel target utama infeksi virus dengue. Sebelum mencapai makrofag, virus dengue akan dihadang oleh respons imun. Masuknya virus dengue akan direspons melalui mekanisme pertahanan nonspesifik dan spesifik. Sistem imun nonspesifik akan melibatkan


(14)

commit to user

13

pertahanan humoral dan seluler. Imunitas spesifik melalui respons limfosit timbul lebih lambat (Nasronudin, 2007a).

Respons imun berusaha membatasi virus dengue mencapai sel target. Salah satu upaya tubuh untuk menghadapi kehadiran virus dengue dilakukan oleh komplemen. Dampak hiperaktivitas komplemen selain berpengaruh terhadap endotel dan permeabilitas veskuler juga meningkatkan produksi dan sekresi histamin, sehingga tidak jarang penderita DBD disertai keluhan gatal-gatal. Selain komplemen, upaya mencegah internalisasi virus ke sel target juga dilakukan oleh

interferon-α (IFN-α) dan interferon-β (IFN-β) sehingga repiklasi virus dengue dapat ditekan. Meskipun demikian bila kinerja komplemen, IFN-α dan IFN-β serta berbagai sistem imun lain tidak efektif, maka virus dengue juga akan berhasil mencapai makrofag (Nasronudin, 2007a).

Makrofag yang terpapar virus dengue mengalami aktivasi sehingga meningkatkan produksi dan sekresi sitokin proinflamasi. Sekitar satu jam sejak internalisasi virus dengue dalam makrofag terjadi aktivasi gen NFκB sehingga terjadi peningkatan produksi dan sekresi interleukin-1β (IL-1β), kemudian diikuti dengan peningkatan produksi dan sekresi tumor nekrosis factor-α (TNF-α) dan

interleukin-6 (IL-6) pada satu jam berikutnya. Melalui perantaraan reseptor Fc, akan terjadi interaksi dan komunikasi lebih efektif antara makrofag dan limfosit T. Sel T juga memproduksi dan mensekresi sitokin proinflamasi sehingga semakin banyak mediator dan sitokin yang terlibat. Interleukin-1β akan menyebabkan malfungsi endotel dan TNF-α akan menyebabkan destruksi endotel. Keadaan ini


(15)

commit to user

14

dapat meningkatkan permeabilitas vaskuler dan mendorong perpindahan plasma dari intravaskuler ke ekstravaskuler (Halstead, 2004; Sutaryo, 2005).

Hiperaktivitas makrofag yang dipicu oleh virus dengue juga menyebabkan peningkatan produksi dan sekresi enzim PLA2. Enzim PLA2 dalam sirkulasi darah akan memicu metabolisme asam arakhidonat, melalui jalur siklooksigenase, sehingga terjadi peningkatan sintesis prostasiklin (PGI2), PGE2, tromboksan A2, dan leukotrien. Sejalan dengan dampak metabolik akibat intervensi virus dengue tersebut, terjadi tuntutan terhadap mitokondria untuk meningkatkan produksi ATP guna memenuhi kebutuhan tubuh yang berada dalam kondisi hipermetabolik. Efek samping dari produksi ATP berlebih tersebut adalah terbentuknya radikal bebas. Radikal bebas dengan kadar berlebih juga berkontribusi terhadap terjadinya kerusakan endotel. Radikal bebas yang berlebih tersebut juga bertindak sebagai induktor terjadinya pembukaan mitochondrial permeability transition pore

(MPTP). Melebarnya celah MPTP memungkinkan radikal bebas masuk melalui membran dalam (inner membrane) mitokondria dengan diikuti peningkatan mobilitas kalsium ke intraseluler dan mendorong terjadinya peningkatan aktivitas enzim proteolitik dan caspase 8,9, dan 3 sehingga terjadi fragmentasi DNA inti dan kematian sel melalui apoptosis. Akhirnya secara bertubi-tubi endotel mendapat terpaan sitokin proinflamasi, PLA2 dan radikal bebas yang secara simultan akan menyebabkan malfungsi, disfungsi, dan destruksi endotel. Dalam situasi seperti ini permeabilitas vaskuler terbuka lebar sehinnga terjadi terjadi perpindahan plasma, selain juga terjadi gangguan elastisitas dinding vaskuler. Malfungsi, disfungsi, dan destruksi endotel serta menurunnya kelenturan vaskuler


(16)

commit to user

15

akan menentukan kondisi klinis penderita dengan berbagai gradasi beratnya penyakit DBD yaitu derajat I, II, III, dan IV (Nasronudin, 2007a).

Respons imun humoral terhadap infeksi dengue terjadi dengan terbentuknya antibodi. Antibodi yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM. Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam hari ke-5 meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan menghilang setelah 60-90 hari. Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik kadar antibodi IgM, oleh karena itu kinetik antibodi IgG harus dibedakan antara infeksi primer dan sekunder. Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat sekitar demam hari ke-14 sedang pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada demam hari kedua. Oleh karena itu, diagnosis dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM setelah hari sakit kelima, diagnosis infeksi sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan antibodi IgG yang cepat (Sathish dkk., 2003; Roche dkk., 2005; Mulyono, 2007; Anonim, 2009)


(17)

commit to user

16

Antibodi terhadap virus dengue dapat dibagi menjadi dua :

1. Antibodi netralisasi (neutralizing antibodies), bersifat serotipe spesifik yang dapat mencegah infeksi virus yang sama berikutnya.

2. Antibodi non-netralisasi, yang dapat meningkatkan beratnya infeksi berikutnya dengan serotipe yang berlainan, yang berperan dalam patogenesis DBD dan syok.

Pada infeksi primer terjadi antibodi yang memiliki aktivitas netralisasi yang mengenali protein E dan monoklonal antibody terhadap NSI, Pre-M dan NS3 dari virus penyebab infeksi akibatnya terjadi lisis sel yang telah terinfeksi virus tersebut melalui netralisasi atau aktivasi komplemen. Akhirnya virus dilenyapkan dan penderita mengalami penyembuhan, selanjutnya terjadilah kekebalan seumur hidup terhadap serotipe virus yang sama tersebut (Soegijanto, 2006).

Pada infeksi yang kedua oleh virus dengue dengan serotipe yang berbeda terjadi proses sebagai berikut (Halstead, 2004; Soegijanto, 2006) :

1. Virus dengue tersebut berperan sebagai super antigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag. Makrofag ini menampilkan antigen presenting cell

(APC). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari

mayor histocompatibility complex (MHC II) A.

2. Antigen yang bermuatan peptide MHC II akan berikatan dengan CD4 (TH-1 dan TH-2) dengan perantaraan T Cell Receptor (TCR). Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap infeksi tersebut, maka limfosit T akan mengeluarkan substansi dari TH-1 yang berfungsi sebagai imunomodulator yaitu IFN- , II-2 dan colony stimulating factor (CSF).Interferon-

γ

akan merangsang makrofag


(18)

commit to user

17

untuk mengeluarkan IL-I dan TNF-α. Sedangkan CSF akan merangsang neutrofil untuk beradesi dengan endotel dan mengeluarkan lisosim yang akan menyebabkan endotel lisis. Neutrofil juga membawa superoksid yang termasuk dalam radikal bebas yang akan mempengaruhi oksigenasi pada mitokondria dan siklus GMPs. Akibatnya endotel menjadi nekrosis, sehingga terjadi kerusakan endotel pembuluh darah yang mengakibatkan terjadi gangguan vaskuler.

3. Antigen yang bermuatan MHC I akan diekspresikan di permukaan virus sehingga dikenali oleh limfosit T CD8+. Limfosit akan teraktivasi yang bersifat sitolitik, sehingga sel yang mengandung virus dihancurkan.

4. Akibat adanya infeksi sekunder oleh virus yang heterolog (virus dengan serotipe lain atau virus lain) karena adanya antibodi non-netralisasi maka partikel virus dengue dan molekul antibodi IgG membentuk kompleks virus-antibodi dan ikatan antara kompleks tersebut dengan reseptor Fc- pada sel makrofag melalui bagian Fc dari IgG menimbulkan peningkatan

(enhancement) infeksi virus dengue.

5. Tumor necrosis factor-α akan menyebabkan kebocoran dinding pembuluh

darah dan merembesnya cairan plasma ke dalam jaringan tubuh yang disebabkan kerusakan endotel pembuluh darah, yang dapat mengakibatkan syok.

6. Kompleks virus-antibodi (kompleks imun) yang terbentuk juga akan merangsang komplemen, yang kemudian akan mengeluarkan bahan mediator


(19)

commit to user

18

C3a dan C5a. Bahan ini bersifat vasoaktif dan prokoagulan sehingga menyebabkan kebocoran plasma dan perdarahan.

Mekanisme imunopatologi tersebut dapat lebih dijelaskan sesuai gambar berikut:

LPS bp CD 14

IL 6

TNF ‐

IL ‐1 IL 8

APC

CD 4+ TCR

IFN ‐

SUPER  ANTIGEN 

IL ‐10 IL  ‐4 IL ‐5 IL ‐6

Ig

NO ICAM ‐1

α

γ

IMUNOPATOGENESIS

TH ‐2 TH ‐1

B cell

CD 8+

LPS

IL‐2 CSF

Compl. N ∅

NK

( Gu n t u r , 2 0 0 0 )

C3a, C5a

PGE2

TLR 4

TLR2

C7a MHC II

PAI‐1

Gambar 2.5 Imunopatologi (Guntur,2001)

Profil sekresi sitokin membedakan aktivasi sel T helper (Th) 1 atau sel T helper (Th) 2. Sel Th1 mensekresikan IFN- , IL-2 dan TNF- . Sel Th2 mensekresikan IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, dan IL-13 dan merangsang produksi antibodi sel B. Pengaturan silang Th1 dan Th2 terutama diperantarai oleh IL-10 dan IFN- . Pada penyakit demam berdarah terjadi pergeseran dari respons sel Th1 yang dominan pada kasus DF ke sel Th2 yang dominan pada kasus-kasus DBD yang berat. Peningkatan kadar IL-4, IL-6 dan IL-10 diamati terutama


(20)

commit to user

19

dalam kasus-kasus DBD kelas III dan IV. Sebaliknya, kadar IFN- dan IL-2 tertinggi pada kasus DF dan rendah pada DBD grade IV. Profil sitokin pada pasien dengan DF menunjukkan peningkatan kadar IFN- dan2 dan kadar IL-4, IL-6 dan IL-10 yang rendah, khas untuk tipe respons oleh sel Th1. Sedangkan DBD derajad IV menunjukkan peningkatan kadarIL 4, IL-6 dan IL-10 dan kadar IL-2 dan IFN- yang rendah, khas untuk tipe respons oleh sel Th2. Kadar IL-13 serum yang merupakan sitokin tipikal dari sel Th2, tidak ada pada pasien dengan DF dan didapatkan tertinggi pada kasus-kasus DBD grade IV (Chaturvedi dkk., 1999; Chaturvedi dkk.,2000; Chaturvedi dan Nagar, 2008)

Gambar 2.6 Kaskade sitokin yang diinduksi oleh virus dengue. Virus bereplikasi di makrofag dan dipresentasikan oleh makrofag tersebut untuk merekrut sel T CD4 (Chaturvedi dkk.,2000).

Makrofag adalah sel utama tempat virus dengue bereplikasi dan mempresentasikan antigen virus tersebut ke sel CD4. Sel CD4 menghasilkan


(21)

commit to user

20

sitokin khas yaitu cytotoxic factor (CF), pada tikus disebut mice cytotoxic factor

(CF) dan pada manusia disebut human cytotoxic factor (hCF). Bila hCF dari serum penderita DBD diinokulasikan ke tikus menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan kerusakan sawar darah-otak, menunjukkan peran dalam patogenisitasnya. Human cytotoxic factor menginduksi makrofag memproduksi radikal bebas, nitrit, oksigen reaktif dan peroxynitrite. Radikal bebas, selain membunuh sel-sel target dengan apoptosis, juga langsung meningkatkan produksi sitokin proinflamasi (IL-1 , TNF-α, IL-8), dan peroksida hidrogen oleh makrofag. Peningkatan permeabilitas vaskuler disebabkan oleh efek kombinasi dari histamin, radikal bebas, sitokin proinflamasi, produk dari jalur komplemen, dan lain- lain (Chaturvedi dkk.,2000)

Pengaturan produksi hCF belum diketahui, apakah oleh jumlah virus, faktor humoral / sitokin, atau predisposisi genetik. Selain itu juga belum diketahui pasti apakah sel yang menghasilkan hCF adalah sel Th1, sel Th2, atau subset sel T CD4 yang lain (Chaturvedi dkk.,2000).

2.1.3. Trombositopenia Pada Demam Berdarah Dengue

Trombositopenia pada penderita DBD diduga terjadi akibat peningkatan destruksi trombosit oleh sistem retikuloendotelial, agregasi trombosit akibat endotel vaskuler yang rusak serta penurunan produksi trombosit oleh sumsum tulang (Sugianto,1994).

Perdarahan pada DBD disebabkan oleh tiga kelainan hemostasis utama, yaitu vaskulopati, kelainan trombosit, dan penurunan kadar faktor pembekuan. Pada fase awal demam, perdarahan disebabkan oleh vaskulopati dan


(22)

commit to user

21

trombositopenia, sedangkan pada fase syok dan syok lama, perdarahan disebabkan oleh trombositopenia, kemudian diikuti oleh koagulopati, terutama sebagai akibat koagulasi intravaskuler diseminata (KID) dan peningkatan fibrinolisis. Secara klinis, vaskulopati bermanifestasi sebagai petekie, uji bendung positif, perembesan plasma, dan elektrolit serta protein ke dalam rongga ekstravaskuler. Penyebab utama dari vaskulopati adalah dikeluarkannya zat anafilotoksin C3a dan C5a (Nasiruddin, 2006).

Penurunan produksi trombosit pada fase awal penyakit (hari sakit ke-1 sampai dengan ke-4) merupakan penyebab trombositopenia. Pada saat itu sumsum tulang tampak hiposeluler ringan dan megakariosit meningkat dalam berbagai bentuk fase maturasi. Tampaknya,virus secara langsung menyerang mieloid dan megakariosit. Pada hari sakit ke-5 sampai dengan ke-8, terjadinya trombositopenia terutama disebabkan oleh penghancuran trombosit dalam sirkulasi. Kompleks imun yang melekat pada permukaan trombosit mempermudah penghancuran trombosit oleh sistem retikuloendotelial dalam hati dan limpa, mengakibatkan trombositopenia . Tetapi, penghancuran trombosit ini dapat pula disebabkan oleh kerusakan endotel, , antibodi trombosit spesifik, atau koagulasi intravaskular diseminata(Suhendro, 2006; Nasiruddin, 2006).

Pada pemeriksaan sumsum tulang penderita DBD pada awal demam terdapat hipoplasia sumsum tulang dengan hambatan pematangan dari semua sistem hemopoesis, terutama megakariosit. Setelah hari ke-5 sampai ke-8 perjalanan penyakit, terjadi peningkatan cepat eritropoesis dan megakariosit muda. Pada fase konvalesen pada sumsum tulang terjadi hiperseluler dan terutama


(23)

commit to user

22

diisi oleh eritropoesis dengan pembentukan trombosis yang sangat aktif (Djajadiman,1999)

Terbentuknya kompleks antigen-antibodi antara antigen virus Dengue dengan antibodi selain menyebabkan proses terjadinya trombositopenia juga akan mengaktifkan sistem koagulasi. Proses ini dimulai dari aktivasi faktor XIIa

(hegemen) menjadi bentuk XIIa yang aktif, selanjutnya faktor XIIa akan

mengaktifkan faktor koagulasi lainnya secara berurutan mengikuti suatu kaskade sehingga terbentuk fibrin. Di samping itu aktivasi faktor XII akan menggiatkan sistem kinin yang berperan meningkatkan permeabilitas kapiler. Faktor XIIa juga akan mengaktifkan sistem fibrinolisis melalui proses enzimatis sehingga terjadi perubahan plasminogen menjadi plasmin, di mana plasmin mempunyai sifat proteolik dengan sasaran khusus adalah fibrin. Aktivasi sistem koagulasi dan fibrinolisis yang berkepanjangan berakibat menurunnya berbagai faktor koagulasi seperti fibrinogen II, V, VII, VIII, IX, dan X, serta plasminogen. Secara klinis dapat dijumpai gejala perdarahan berat sebagai akibat trombositopenia berat, masa perdarahan dan masa protombin yang memanjang, penurunan kadar faktor pembekuan II, V, VII, VIII, IX, dan X bersama dengan hipofibrinogenemia dan peningkatan produk pemecahan fibrin (Djajadiman,1999).

2.1.4. Gangguan Hepar Pada Demam Berdarah Dengue

Hepar merupakan salah satu organ target infeksi virus dengue. Hepatomegali terjadi pada 90 % kasus DBD anak dan pada 60 % kasus DBD dewasa, umumnya timbul pada demam hari ke- 3 – 4. Besarnya hepatomegali tidak berkorelasi dengan derajat penyakit. Pada 30-90 % kasus terjadi peningkatan


(24)

commit to user

23

SGOT dan SGPT, dengan peningkatan SGOT lebih tinggi daripada SGPT dan akan kembali normal setelah 2 minggu (Mulyono,2007).

Virus dengue mampu bereplikasi dalam sel hepar menyebabkan jejas hepatoselular. Dampak virus Dengue terhadap hepatosit dan sel kupffer melalui beberapa mekanisme yaitu efek langsung, efek sitokin proinflamasi, dan efek radikal bebas atau ROS terhadap hepatosit dan sel kupfer. Virus dengue menginduksi disfungsi mitokondria dan kematian sel. Hal ini mungkin disebabkan oleh protein virus atau produknya beinteraksi dengan membran mitokondria, mengakibatkan peningkatan permeabilitas membran mitokondria, perubahan fisiologi mitokondria, dan produksi reactiv oxygen species (ROS) yang berlebihan. Akibatnya sel mengalami gangguan fungsi. Terbentuk councilman bodies,

kemudian terjadi fragmentasi DNA dan apoptosis hepatosit, sehingga kadar SGOT serum meningkat lebih tinggi. Proses kematian sel hepatosit dan kupffer akibat DBD selain melalui apoptosis juga melalui nekrosis. Terjadi inflamasi, nekrosis hepatoseluler yaitu nekrosis pada zona tengah dan perifer hati. Nekrosis tersebut terjadi akibat insufisiensi sirkulasi mikro yang menyebabkan hepatoseluler mengalami iskhemia, inflamasi akut akibat pengaruh sitokin proinflamasi dan berbagai mediator; serta dampak negatif oksidan dan kholestasis. Kelainan tersebut tidak terlepas dari keterlibatan sistem retikuloendotelial, kompleks imun, aktivasi komplemen, kompleks antigen-antibodi, agregasi trombosit, perubahan endotel, dan berbagai komponen lain selama berlangsungnya infeksi. Nekrosis ditandai oleh kerusakan membran plasma,


(25)

commit to user

24

akumulasi sel fagosit. Proses nekrosis dapat terjadi pada sentrolobuler hepar. Kelainan berupa hepatitis tersebut yang menyebabkan penderita sering mengeluh nyeri pada hipokhondrium kanan, hepatomegali, dan peningkatan kadar transaminase (Nasronudin,2007c; Osorio dkk.,2007; Higa dkk.,2008) .

2.2. Diagnosis Demam Berdarah Dengue 2.2.1. Manifestasi Klinis Infeksi Dengue

Rentang variasi klinis infeksi virus dengue sedemikian luas, mulai asimtomatis, demam tidak spesifik, demam dengue, demam berdarah dengue, dan sindrom syok dengue. Demam dengue adalah penyakit demam akut selama 2-7 hari dengan dua atau lebih manifestasi sebagai berikut : nyeri kepala, nyeri

retroorbital, mialgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan dan leukopenia (Schroeder dkk., 1992; Halstead, 2004; Hadinegoro dkk., 2005).

Gambar 2.7 Manifestasi infeksi virus dengue (WHO, 1997)

Infeksi virus dengue

Simtomatis Asimtomatis

DBD dengan syok

Demam berdarah dengue Demam dengue

Dengan perdarahan Demam tidak spesifik

Tanpa perdarahan


(26)

commit to user

25

Pada demam berdarah dengue, perjalanan penyakit dapat menyerupai kasus demam dengue dengan kecenderungan perdarahan dengan satu manifestasi klinis atau lebih, yaitu (Hadinegoro dkk, 2005) :

1. Uji tourniquet positif

2. Petekie, ekimosis atau purpura

3. Perdarahan mukosa (epistaksis, perdarahan gusi) 4. Hematemesis atau melena

5. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/mm3)

6. Hemokonsentrasi sebagai akibat dari peningkatan permeabilitas kapiler dengan manifestasi satu atau lebih, yaitu:

1. Peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis kelamin.

2. Penurunan hematokrit > 20% setelah mendapat cairan.

7. Tanda perembesan plasma, yaitu efusi pleura , asites atau proteinemia.

Kriteria sindrom syok dengue sama dengan yang telah disebutkan diatas, ditambah dengan manifestasi kegagalan sirkulasi yaitu nadi menurun (< 20 mmHg), hipotensi (sesuai umur), kulit dingin dan lembab, dan pasien tampak gelisah (Hadinegoro dkk, 2005).

Demam berdarah dengue mempunyai perjalanan penyakit yang sulit diramalkan. Pada umumnya semua pasien mengalami fase demam selama 2-7hari, kemudian diikuti fase kritis selama 2-3 hari. Pada fase kritis ini suhu turun, dan risiko terjadinya SSD meningkat yang kadang-kadang dapat bersifat fatal bila tidak mendapat pengobatan yang adekuat. Dengan memperhatikan perjalanan


(27)

commit to user

26

penyakit dan memberikan pengobatan yang adekuat dapat menurunkan angka kematian. Patofisiologi penting yang membedakan DBD dengan DD dan penyakit lain adalah adanya gangguan hemostasis dan peningkatan permeabilitas vaskular yang menyebabkan terjadinya perembesan plasma (Hadinegoro dkk, 2005).

Prognosis DBD tergantung dari saat diagnosis perembesan plasma ditegakkan, yaitu saat terjadi penurunan trombosit disertai peningkatan hematokrit. Fase kritis adalah saat suhu turun yaitu setelah dari sakit ketiga. Penurunan junmlah trombosit menjadi kurang dari 100.000 /mm3 atau kurang dari 1-2 trombosit/lapangan pandangan besar (lpb) dengan rata-rata pemeriksaan dilakukan pada 10 lpb, pada umumnya terjadi sebelum terdapat peningkatan hematokrit yaitu sebelum suhu turun. Peningkatan hematokrit lebih dari 20% (misalnya dari 35% menjadi 42 %) menggambarkan perembesan plasma sehingga diperlukan terapi cairan intravena. (Hadinegoro dkk, 2005).

Penyakit ini ditandai oleh demam tinggi yang mendadak, terus menerus, berlangsung 2-7 hari. Kadang-kadang suhu tubuh sangat tinggi sampai 40oC dan dapat dijumpai kejang demam. Akhir fase demam merupakan fase kritis pada DBD, oleh karena fase tersebut dapat merupakan awal penyembuhan tetapi dapat pula sebagai awal fase syok.Penyebab perdarahan pada pasien penyakit DBD ialah vaskulopati, trombositopeni dan gangguan fungsi trombosit, serta koagulasi intravaskular yang menyeluruh. Jenis perdarahan yang terbanyak adalah perdarahan kulit seperti uji tourquet (uji Rumple Leede) positif, petekie, purpura, ekimosis dan perdarahan konjungtiva. Petekie merupakan tanda perdarahan yang sering ditemukan. Perdarahan lain yaitu epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis


(28)

commit to user

27

dan melena. Perdarahan gastrointestinal biasanya terjadi menyertai syok. Kadang-kadang dijumpai pula perdarahan subkonjungtiva (Hadinegoro dkk.,2005).

Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit, bervariasi dari hanya sekedar dapat diraba (just palpable) sampai 2-4 cm di bawah lengkung iga kanan. Derajat pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit. Untuk menemukan pembesaran hati, harus dilakukan perabaan setiap hari. Nyeri tekan di daerah hati tampak jelas pada anak besar dan ini berhubungan dengan adanya perdarahan.Syok ditandai dengan denyut nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (menjadi 20 mmHg atau kurang), hipotensi, kulit dingin dan lembab. Syok merupakan tanda kegawatan yang harus mendapat perhatian

serius, oleh karena bila tidak diatasi secepatnya dapat menyebabkan kematian (Hadinegoro dkk., 2005).

2.2.3. Pemeriksaan Laboratorium Demam Berdarah Dengue

Pemeriksaan darah rutin yang dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam dengue adalah pemeriksaan kadar hemoglobin,hematokrit,jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru. Jumlah leukosit dapat normal, tetapi biasanya menurun dengan dominasi sel neutrofil. Selanjutnya pada akhir fase demam, jumlah leukosit dan sel neutrofil bersama-sama menurun sehingga jumlah sel limfosit secara relatif meningkat. Peningkatan jumlah sel limfosit atipikal atau limfosit plasma biru >15% dapat dijumpai pada hari sakit ketiga, sebelum suhu tubuh turun atau sebelum syok terjadi (Hadinegoro dkk., 2005).


(29)

commit to user

28

Terjadi penurunan jumlah trombosit menjadi kurang dari 100.000/mm3 atau kurang dari 1-2 trombosit/lapangan pandangan besar (lpb) dengan rata-rata pemeriksaan dilakukan pada 10 lpb. Pada umumnya trombositopenia terjadi sebelum ada peningkatan hematokrit dan terjadi sebelum suhu turun. Penurunan jumlah trombosit kurang dari 100.000/mm3 biasanya ditemukan antara hari sakit ketiga sampai ketujuh. Pemeriksaan dilakukan pertama pada aat pasien diduga menderita DBD, bila normal maka diulang pada hari sakit ketiga, tetapi bila perlu diulangi setiap hari sampai suhu turun(Hadinegoro dkk., 2005; Batra dkk., 2006) Peningkatan nilai hematokrit atau hemokonsenstrasi selalu dijumpai pada DBD, merupakan indikator yang peka akan terjadinya perembesan plasma, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan secara berkala. Hemokonsentrasi umumnya dimulai pada hari ketiga demam. Pada umumnya penurunan trombosit mendahului peningkatan hematokrit. Hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit 20% atau lebih (misalnya dari 35% menjadi 42%), mencerminkan peningkatan permeabilitas kapiler dan perembesan plasma. Perlu mendapat perhatian, bahwa nilai hematokrit dipengaruhi oleh penggantian cairan atau perdarahan (Hadinegoro dkk., 2005; Batra dkk., 2006).

Kompleks virus antibodi atau mediator dari fagosit yang terinfeksi virus pada DBD ternyata dapat mengaktifkan sistem koagulasi. Aktivasi sistem koagulasi dan fibrinolisis yang berkepanjangan berakibat menurunnya berbagai faktor koagulasi seperti fibrinogen II,V, VII, VIII, IX dan X serta plasminogen. Keadaan ini menyebabkan dan memperberat perdarahan pada pasien DBD, ditambah lagi dengan adanya trombositopenia (Hadinegoro dkk,2005).


(30)

commit to user

29

Pada penderita DBD SGOT dan SGPT dapat meningkat. Disfungsi hati dapat disebabkan efek langsung virus terhadap sel hati atau karena respon imun tubuh melawan virus. Virus dengue dapat bereplikasi di hepatosit maupun di sel Kupffer (Seneviratnea dkk., 2006). Pada infeksi virus dengue proses inflamasi berasal dari lesi parenkim hati yang mengeluarkan marker ke darah. Pada fase akut infeksi dengue terjadi peningkatan kadar aminotransferase, diikuti penurunan kadar enzim hati setelah fase penyembuhan. Pada infeksi dengue diketahui kadar SGOT lebih tinggi dibandingkan SGPT dengan rasio antara 1-1,5 (Tahono,2006). Marker SGOT dan SGPT penting dan dapat digunakan sebagai parameter untuk mengevaluasi derajat keparahan hati (Souza dkk.,2007). Peningkatan rata-rata SGPT lebih tinggi untuk DENV-2, diikuti DENV-3, sedangkan aktifitas enzim hati SGOT pada serum pasien yang terinfeksi DENV-2, 1 dan 3 secara statistik lebih tinggi daripada aktivitas enzim pada kelompok kontrol. Pada infeksi dengue perlu dideteksi adanya peningkatan enzim hati untuk mencegah terjadinya ensefalopati hepatik yang tidak diinginkan (Pichardo dkk., 2006).

Pemeriksaan ureum dan kreatinin dilakukan bila didapatkan gangguan fungsiginjal. Hipoproteinemia dapat terjadi akibat kebocoran plasma.Pemeriksaan golongan darah dan cross match dilakukan bila akan diberikan tranfusi (Suhendro dkk., 2006)

Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis infeksi dengue memainkan peranan penting pada perawatan pasien, surveilans epidemiologi, pemahaman patogenesis infeksi dengue, dan riset formulasi vaksin.Saat ini, pemeriksaan laboratorium infeksi dengue meliputi isolasi virus, deteksi genom


(31)

commit to user

30

virus, deteksi antigen virus, dan pemeriksaan serologi(Shu dan Huang, 2004; Dutra dkk., 2009).

1. Isolasi virus

Masa viremra virus dengue berlangsung singkat, biasanya terdeteksi dua atau tiga hari sebelum onset demam sampai lima hari setelah demam. Diagnosis spesifik infeksi dengue dibuat dengan isolasi virus dari darah pasien. Sampel serum akut diinokulasikan ke dalam kultur jaringan sel nyamuk atau secara langsung ke dalam nyamuk toxorhynchites, aedes aegypti atau aedes albopictus hidup. Serotipe dengue dapat diidentifikasi dengan indirect fluorecent antibody test, dengan teknik immunofluoresensi menggunakan antibodi monoklonal spesifik serotipe (Gubler, 1992; Guzman dan Kouri,1996; Shu dan Huang, 2004; Dutra dkk., 2009)

2. Deteksi antigen virus

Pemeriksaan antigen virus dengue dapat dilakukan dengan ELISA streptavidin biotin system. Antigen virus dengue lebih sering terdeteksi pada sel monosit darah perifer dibandingkan pada serum. Teknik pemeriksaan yang lain adalah dengan teknik imunohistokimia(Dutra dkk.,2009).

3. Deteksi genom virus

Polymerase chain reaction (PCR) memainkan peranan penting untuk diagnosa infeksi dengue, surveilans epidemiologi, penelitian vaksin dengue dan obat- obat antiviral (Dutra dkk.,2009).

4. Pemeriksaan NS1 virus dengue. Pemeriksaan dengan capture ELISA dapat mendeteksi antigen NS1 baik pada infeksi primer maupun sekunder. NS1


(32)

commit to user

31

terdeteksi pada hampir semua infeksi dengue antara hari 0-9 post infeksi. Hal ini disebabkan karena antigen NS1 disekresikan dengan kadar yang lebih tinggi selama infeksi, sehingga NS1 dapat tetap terdeteksi meskipun partikel

virus dengue telah dimusnahkan oleh sistem imun. Kadar antigen NS1 yang tinggi pada hari ke 5 disebabkan karena lebih banyak pasien yang terinfeksi virus dengue serotipe 1 dan 2 yang diketahui lebih banyak memproduksi NS1. Sedangkan penurunana NS1 setelah hari ke 5 disebabkan oleh pembentukan kompleks imun antara antigen NS1 dan antibodi spesifik NS1 (Shu dkk.,2003; Alcon-Lepoder dkk., 2006).

5. Pemeriksaan serologi. Terdapat beberapa macam uji serologi yang biasa dipakai untuk menentukan adanya infeksi virus dengue , yaitu:

1. Uji hambatan hemaglutinasi

Diantara uji serologis yang tersebut diatas, uji HI adalah uji serologis yang paling sering dipakai dan dipergunakan sebagai baku emas pada pemeriksaan serologis. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan pada uji HI ini.Uji HI ini sensitive tetapi tidak spesifik, artinya dengan uji serologis ini tidak dapat menunjukkan tipe virus yang menginfeksi. Antibodi HI bertahan di dalam tubuh sampai lama sekali (>48 tahun), maka uji ini baik dipergunakan pada studi seroepidemiologi.Untuk diagnosis pasien, kenaikan titer konvaselen empat kali lipat dari titer serum akut atau titer tinggi (>1280) baik pada serum akut atau konvaselen dianggap sebagai presumptive positif, atau diduga keras positif infeksi


(33)

commit to user

32

dengue yang baru terjadi (recent dengue infection) (Hadinegoro dkk,2005).

2. Uji komplemen fiksasi

Uji komplemen fiksasi jarang dipergunakan sebagai uji diagnostik secara rutin, oleh karena selain rumit juga memerlukan tenaga pemeriksa

yang berpengalaman (Hadinegoro dkk,2005). 3. Uji netralisasi

Uji netralisasi rumit dan memerlukan waktu yang cukup lama sehingga tidak dipakai secara rutin (Hadinegoro dkk,2005).

4. IgM Elisa (IgM captured Elisa / Mac .Elisa)

Infeksi virus dengue pertama kali akan menyebabkan terjadinya respon primer dengan ciri kenaikan titer antibodi yang lambat. Pada infeksi primer IgM antidengue muncul pada hari ke 5 setelah timbulnya gejala sampai 30-90 hari. IgG muncul kemudian dan bertahan seumur hidup.Pada infeksi sekunder, kadar IgM lebih rendah dan pada sebagian kasus tidak terdeteksi adanya IgM. Sebaliknya kadar IgG naik secara cepat, dengan kadar yang jauh lebih tinggi dibanding pada infeksi primer (Sanford, 1991; Roche, 2005;). Mac Elisa pada tahun terakhir ini merupakan uji serologi yang banyak sekali dipakai. Pada perjalanan penyakit infeksi virus dengue, akan timbul IgM yang kemudian diikuti dengan IgG. Dengan mendeteksi IgM pada serum pasien, secara cepat dapat ditentukan diagnosis yang tepat.Ada kalanya hasil uji terhadap IgM masih negatif, dalam hal seperti ini perlu diulang. Imunoglobuli M dapat


(34)

commit to user

33

bertahan didalam darah sampai 2-3 bulan setelah adanya infeksi. Untuk memperjelas hasil uji IgM dapat pula dilakukan uji terhadap IgG. Mengingat alasan tersebut diatas maka uji IgM tidak boleh dipakai sebagai satu-satunya uji diagnostik untuk pengelolaan kasus. Uji Mac Elisa mempunyai sensitifitas sedikit dibawah uji HI, dengan kelebihan uji Mac Elisa hanya memerlukan satu serum akut saja (Hadinegoro dkk,2005). Saat ini tersedia uji cepat (rapid test) dalam bentuk kit yang mudah penggunaannya ( Hadinegoro dkk, 2005 ). Klasifikasi yang lain adalah berdasarkan rasio IgM/IgG. Bila rasio IgM/IgG lebih besar dari 1,78 disimpulkan sebagai infeksi primer, sedangkan bila kurang dari 1,78 disimpulkan sebagai infeksi sekunder (Vaughn dkk.,1999; Neeraja dkk., 2006; Dutra dkk.,2009).

2.2.3. Pemeriksaan Penunjang Lain

Pada pemeriksaan radiologi bisa didapatkan efusi pleura terutama pada hemitoraks kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dlam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada posisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG (Suhendro dkk.,2006).

2.2.4. Kriteria Diagnosis dan Derajad Demam Berdarah Dengue

Karena luasnya variasi dari manifestasi klinis DBD, kriteria diagnosis DBD berdasarkan kriteria sebagai berikut (WHO, 1997) :


(35)

commit to user

34

1. Demam tinggi mendadak berlangsung 2-7 hari, pola demam seperti punggung pelana kuda.

2. Kecenderungan perdarahan, dibuktikan sedikitnya dengan satu hal berikut : 1.Uji bendungan positif

2.Terdapat petekie, ekimosis, atau purpura pada kulit

3.Perdarahan spontan sedang seperti mimisan atau perdarahan gusi 4.Terdapat perdarahan spontan berat yaitu hematemesis dan atau melena. 3. Jumlah trombosit turun hingga kurang dari 100.000 sel/mm3

4. Terdapat minimal satu dari tanda-tanda perpindahan plasma akibat peningkatan permeabilitas pembuluh darah kapiler :

1.hematokrit meningkat > 20 % dibandingkan hematokrit rata-rata pada usia, jenis kelamin, dan populasi yang sama.

2.hematokrit turun hingga > 20 % dari hematokrit awal setelah pemberian cairan.

3.terdapat tanda-tanda perembesan plasma seperti efusi cairan di rongga pleura, asites, hiponatremia, dan hipoalbuminemia.

Sedangkan beratnya penyakit DBD dibagi menjadi 4 derajat yaitu (WHO, 1997). :

Derajad I : Demam mendadak tinggi dengan gejala lain yang tidak khas disertai perdarahan pada uji bendungan.

Derajat II : Derajat I disertai dengan perdarahan spontan biasanya pada bentuk perdarahan kulit atau perdarahan lain.


(36)

commit to user

35

Derajat III : Kegagalan sirkulasi ditandai denyut nadi cepat dan lemah, hipotensi, kulit terabadingin dan lembab serta gelisah.

Derajat IV : Syok berat, ditandai dengan nadi dan tekanan darah tidak terdeteksi. Sebelum mencapai kepastian diagnosis sering didapatkan problem yang antara lain disebabkan manifestasi klinis DBD belum terlalu jelas pada fase awal, seperti manifestasi perdarahan, demikian juga pada pemeriksaan darah tepi mungkin masih dalam batas normal, sehingga masih sulit dibedakan dengan penyakit infeksi akut lainnya.Demikian juga trombositopenia, demam, hepatomegali yang terjadi pada penderita penyakit infeksi lain, misalnya malaria, leukemia, demam tifoid, dan sepsis. Untuk itu pada kasus yang meragukan dalam penentuan penatalaksanaan diperlukan pemantauan dan pemeriksaan lebih lanjut sehingga diperoleh kepastian diagnosis (Hadi, 2007)


(37)

commit to user

36

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka konsep

Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian.

Keterangan:   : menurunkan     : menaikkan

3.2 Hipotesis

Penderita DBD dengan IgG (+) / IgM (+) antidengue mempunyai manifestasi klinis dan laboratorium yang lebih berat dibanding penderita dengan IgG (+) / IgM (-) dan IgG (-) / IgM (+) antidengue.

Infeksi dengue primer

Infeksi dengue sekunder ( serotype lain ) Antibodi anti dengue serotipe terkait ( antibodi netralisasi dan non netralisasi)

IgM (- )/IgG (+) anti dengue

IgM (+ )/IgG (+) anti dengue

    Trombosit

    SGOT     SGPT     Derajad DBD

    Lama perawatan IgM (+)/IgG(- )


(38)

commit to user

37

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Jenis penelitian

Jenis penelitian observasional analitik prospektif dengan pendekatan kohor.

4.2 Populasi, kriteria inklusi dan eksklusi, ukuran sampel dan teknik pengambilan sampel

4.2.1 Populasi

1. Populasi Sasaran : pasien demam berdarah dengue usia dewasa

2. Populasi Sumber : pasien demam berdarah dengue yang dirawat di RSUD Dr.Moewardi Surakarta.

3. Populasi Studi : pasien demam berdarah dengue yang dirawat di bangsal Penyakit Dalam, bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

4.2.2 Kriteria inklusi

1. Pasien demam berdarah dengue dengan usia 14 tahun ke atas. 2. Bersedia ikut dalam penelitian ini.

4.2.3 Kriteria eksklusi

Pasien dengan imunokompromis (diabetes melitus, sirosis hepatis, gagal ginjal kronik, HIV AIDS, keganasan)


(39)

commit to user

38 4.2.2 Ukuran sampel

Dengan analisis bivariat,diperlukan 60 subyek penelitian 4.2.3 Teknik pengambilan sampel

Teknik pengambilan sampel adalah exhaustive sampling. Setiap pasien yang dirawat di bangsal rawat inap penyakit dalam RS Dr. Moewardi Surakarta yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diikutkan dalam penelitian.

4.3 Variabel Penelitian 4.3.1 Identifikasi Variabel 1. Variabel Bebas

1. IgM (+) dan IgG (-) antidengue 2. IgM (-) dan IgG (+) antidengue 3. IgM (+) dan IgG(+) antidengue 2. Variabel tergantung

1. Jumlah trombosit 2. SGOT

3. SGPT

4. Derajat DBD 5. Lama perawatan 4.3.2 Definisi Operasional


(40)

commit to user

39

1. Respons antibodi pada penderita terhadap antigen virus dengue, dibagi menjadi tiga (Mulyono, 2007) :

1. IgM (+) dan IgG (-) antidengue : Infeksi dengue primer. 2. IgM (-) dan IgG (+) antidengue : Infeksi dengue sekunder. 3. IgM (+) dan IgG (+) antidengue : Infeksi dengue sekunder.

Imunoglobulin M dan imunoglobulin G diukur pada hari ke-5 demam dengan

alat diagnostik On sight dengue Combo (WB). Alat ini memiliki 3

pre-coated line, yaitu garis kontrol, garis tes IgG, dan garis tes IgM. Garis kontrol digunakan sebagai kontrol prosedur. Garis kontrol akan tampak jika prosedur tes berjalan dengan baik. Garis IgG dan atau IgM akan tampak jika terdapat cukup antibodi IgG dan atau IgM terhadap virus dengue pada sampel. Jika tidak terdapat antibodi IgG dan atau IgM terhadap virus dengue, tidak akan muncul garis IgG dan atau IgM. Prinsip kerja Onsight dengue Combo (WB) adalah ketika sampel melewati membran pada alat, akan terjadi komplek konjugasi antara dengue specific recombinant antigen colloidal gold dengan antibodi spesifik IgM dan atau IgG terhadap virus dengue (bila terdapat pada sampel). Kompleks ini kemudian akan bergerak dari membran menuju tempat dimana komplek tersebut akan diimobilisasi oleh specific human IgM antibody

dan atau human IgG antibody, membentuk formasi yang tampak sebagai pita atau garis berwarna sebagai penunjuk hasil tes positif. Cara kerja Onsight dengue Combo (WB) adalah sebagai berikut :


(41)

commit to user

40

2. Empat tetes larutan buffer diteteskan pada kaset bagian B. 3. Hasil dibaca 15 menit kemudian.

4. Hasil test tidak boleh dibaca setelah 20 menit. Interpretasi hasil test adalah sebagai berikut :

1. Hanya ada 1 garis yaitu pada kontrol (C), menunjukkan hasil test negatif 2. Terdapat 2 garis, yaitu pada garis control dan garis IgM, menunjukkan adanya antibodi IgM terhadap virus dengue. Hal ini menunjukkan adanya infeksi dengue primer akut.

3. Terdapat 3 garis, yaitu pada garis kontrol, garis IgM, dan garis IgG. Hal ini menunjukkan terdapat antibodi IgM dan IgG terhadap virus dengue. Hal ini menunjukkan adanya infeksi dengue sekunder.

4. Terdapat 2 garis yaitu pada garis kontrol dan garis IgG. Ini menunjukkan terdapat antibodi IgG terhadap virus dengue. Hal ini menunjukkan adanya infeksi dengue sekunder atau infeksi dengue yang sudah lama terjadi.

2. Manifestasi klinis dan laboratorium penderita DBD, yang pada penelitian ini diperiksa adalah jumlah trombosit, SGOT, SGPT, Derajat DBD dan lama perawatan.

1. Jumlah trombosit diukur dengan metode flowcytometri dengan alat advia 1200. Diukur setiap hari sampai pasien dipulangkan.

2. SGOT diukur dengan alat hitachi 912. Diukur pada hari kelima demam. 3. SGPT diukur dengan alat hitachi 912. Diukur pada hari kelima demam.


(42)

commit to user

41

pasien dipulangkan. Derajat beratnya DBD dibagi 4 yaitu (WHO, 1997) : Derajat I : Demam mendadak tinggi dengan gejala lain yang tidak khas disertai perdarahan pada uji bendungan.

Derajat II: Derajat I disertai dengan perdarahan spontan biasanya pada bentuk perdarahan kulit , atau perdarahan lain.

Derajat III : Kegagalan sirkulasi ditandai denyut nadi cepat dan lemah, hipotensi, kulit teraba dingin dan lembab serta gelisah.

Derajat IV :Syok berat, ditandai dengan nadi dan tekanan darah tidak terdeteksi

5. Lama perawatan : lama penderita dirawat dihitung mulai emam hari ke-5 sampai dipulangkan. Kriteria dipulangkan yaitu (Hadinegoro dkk., 2005) : 1. Pasien tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik

2. Nafsu makan membaik 3. Klinis tampak perbaikan 4. Hematokrit stabil

5. Tiga hari setelah syok teratasi 6. Jumlahtrombosit lebih dari 50.000/ul

7. Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis )


(43)

commit to user

42

Penelitian ini dilakukan di bangsal Penyakit Dalam RSUD Dr. Moewardi Surakarta, mulai bulan desember 2009 sampai juni 2010.

4.5 Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan pada pasien DBD hari ke-5 demam sampai pasien dipulangkan.

Prosedur pengumpulan data terdiri dari : 4.5.1 Wawancara

Dilakukan wawancara baik pada pasien langsung (autoanamnesis) bila pasien sadar dan /atau dengan keluarganya (alloanamnesis) bila pasien tidak sadar/kesadaran menurun, sehingga didapat karakteristik responden mencakup identitas, perjalanan penyakit, riwayat penyakit sebelumnya, riwayat pengobatan sebelumnya serta adanya penyakit penyerta. Wawancara dilakukan untuk memenuhi kriteria DBD menurut WHO tahun 1997.

4.5.2 Pemeriksaan Fisik

Dilakukan pemeriksaan fisik meliputi tanda vital, tingkat kesadaran, pemeriksaan sistem tubuh,dan Rumple leed test.

4.5.3 Pemeriksaan Penunjang

Dilakukan pemeriksaan laboratorium meliputi IgG dan Ig M antidengue, hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit, kreatinin, albumin, gula darah sewaktu, SGOT,dan SGPT


(44)

commit to user

43

Data yang diperoleh kemudian dilakukan analisis statistik dengan menggunakan program SPSS.13 for windows. Uji hipotesis menggunakan uji anova untuk jumlah trombosit, SGOT, SGPT, dan lama perawatan, dan uji X2 untuk derajat DBD.

4.7 Alur Penelitian

Gambar 4.1 Alur Penelitian

Hasil

Pasien masuk dengan diagnosis DBD

Demam hari ke-5 : Pemeriksaan fisik dan laboratorium (IgG dan IgM antidengue, darah rutin, albumin,kreatinin, SGOT,SGPT)

Pemeriksaan fisik, trombosit setiap hari sampai pasien dipulangkan


(45)

commit to user

44

BAB 5

HASIL PENELITIAN

5.1. Karakteristik Subyek Penelitian

Selama masa studi didapatkan 44 subyek penelitian, yang terdiri dari 3 kelompok:

Kelompok 1: penderita DBD dengan IgM (+) dan IgG (-) antidengue , didapatkan 1 orang penderita.

Kelompok 2 : penderita DBD dengan IgM (-) dan IgG (+) antidengue, didapatkan 18 orang penderita.

Kelompok 3 : penderita DBD dengan IgM (+) dan IgG (+) antidengue, didapatkan 25 orang penderita.

Seluruh pasien secara lengkap diikuti sampai pasien dipulangkan setelah memenuhi kriteria untuk dipulangkan.

Penderita DBD kelompok 1 berjumlah 1 orang. Penderita tersebut adalah seorang perempuan umur 18 tahun, dengan keluhan utama demam. Demam sudah 3 hari, dirasakan terus menerus. Penderita juga merasakan nyeri kepala dan nafsu makan menurun. Tidak ada muntah, nyeri perut atau sesak nafas. Buang air besar dan buang air kecil normal. Hasil pemeriksaan pada demam hari kelima adalah: 1. Keadaan umum baik, gizi cukup, compos mentis.

Tekanan darah : 110/70 mmHg Nadi : 72 kali permenit Suhu : 36,8 C


(46)

commit to user

45

2. Pemeriksaan jantung, paru, dan abdomen dalam batas normal. Tidak didapatkan hepatomegali. Rumple leede positif.

Tabel 5.1 Hasil laboratorium penderita kelompok 1 pada demam hari kelima.

Penderita mengalami DBD derajad I dengan lama perawatan 3 hari. Karena jumlah sampel hanya 1 orang, kelompok ini secara statistik tidak dapat dibandingkan dengan kelompok lain.

Sedangkan perbandingan karakteristik antara kelompok 2 dan 3 adalah sebagai berikut:

Tabel 5.2 Perbandingan karakteristik menurut jenis kelamin

VARIABEL Klp.2(IgM-/IgG+) Klp.3(IgM+/IgG+) ANALISIS N % n % X2 P

JENIS KELAMIN 18 100 25 100

Laki-laki 8 44,4 13 50 0,03 0.857

Perempuan 10 55,6 12 50

Jenis pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan Hemoglobin 12,7 g/dl 12 – 16 Hematokrit 38 % 40 – 54 Jml lekosit 4,1 103 /mmk 4,5-12

Albumin 4,1 g/dl 3,5 - 5,0 Creatinin 0,6 mg/dl 0,6 – 1,1 Jml Trombosit(demam hari ke-5) 51 103 /mmk 150 - 450

Jml Trombosit(demam hari ke-6) 90 103 /mmk 150 - 450

Jml Trombosit(demam hari ke-7) 110 103 /mmk 150 - 450

SGOT 25 U/L 0,0 – 38


(47)

commit to user

46

Tabel 5.3 Perbandingan karakteristik menurut rerata umur, tanda vital, dan laboratorium.

VARIABEL Klp.2(IgM-/IgG+) Klp.3(IgM+/IgG+) ANALISIS

Rerata SD Rerata SD t p

Umur (th) 29,00 9,49 22,46 6,69 -2,72 0.007 TDS (mmHg) 112,78 9,43 107,80 133,74 -1,02 0,308 TDD (mmHg) 73,89 6,31 72,20 9,02 -0,38 0,702 Nadi (x/mnt) 83,89 7.49 86.08 17,92 -0,04 0.970 Suhu (C) 36,66 0,36 36,73 0,51 -0,09 0,928 RR (x/mnt) 18,78 1,21 20,00 2,23 -2,24 0,025 Hb (g/dl) 14,06 1,97 15,56 1,87 -2,54 0.015 Hct (%) 42,51 7,04 46,76 5,75 -2,18 0,035 Lekosit (103 /mmk) 4,98 2,65 4,09 1,98 1,18 0.237 Albumin (g/dl) 3,73 0,48 3,72 0,37 -0,74 0,456 Creatinin (mg/dl) 0,80 0,23 0,87 0,24 -0,92 0,362

Pada tabel 5.2 tampak bahwa tidak didapatkan berbedaan yang secara statistik bermakna untuk jenis kelamin kedua kelompok (p = 0,857). Pada tabel 5.3 tampak bahwa rata-rata umur pada kelompok IgM antidengue (-) dan IgG antidengue (+) adalah 29,00 ± 9,49 , sedangkan pada kelompok IgM antidengue (+)dan IgG antidengue (+)adalah 22,46 ± 6,69 dengan hasil uji statistik didapatkan p = 0,007. Hal ini berarti terdapat perbedaan yang bermakna untuk umur pada kedua kelompok penelitian tersebut. Pada demam hari ke-5 tidak didapatkan berbedaan yang secara statistik bermakna pada rerata variabel tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik, nadi, suhu, kadar albumin, kreatinin, dan jumlah lekosit. Sedangkan kadar hemoglobin dan hematokrit pada kelompok 3 secara statistik lebih tinggi secara bermakna (p=0,015 dan


(48)

commit to user

47

5.2 Hasil pemeriksaan jumlah trombosit, SGOT, SGPT, Derajad DBD, dan lama perawatan kelompok 2 dan 3.

5.2.1 Jumlah trombosit.

Tabel 5.4 Perbedaan rerata jumlah trombosit hari ke 5, 6 dan 7.

VARIABEL Klp.2(IgM-/IgG+) Klp.3(IgM+/IgG+) ANALISIS

Rerata SD Rerata SD t p

Jml trombosit h-5 (x 103 /mmk) 43,67 23,74 29,72 19,92 -2,18 0.029

Jml Trombosit h-6(x 103 /mmk) 53,06 33,88 36,04 23,22 -1,96 0,050

Jml Trombosit h-7(x 103 /mmk) 85,72 38,49 53,24 25,89 -2,99 0,003

0 20 40 60 80 100 120

hari ke 5 hari ke 6 hari ke 7

klmp 1 klmp 2 klmp 3

Gambar 5.1 Grafik jumlah trombosit pasien DBD kelompok 1 dan jumlah trombosit rata- rata pasien DBD kelompok 2 dan 3.

Jumlah trombosit rata-rata kelompok 2 dibandingkan dengan kelompok 3 menunjukkan perbedaan yang bermakna untuk jumlah trombosit pada demam hari ke 5, 6, dan 7, dengan p= 0,029 untuk jumlah trombosit hari ke-5, p= 0,05 untuk jumlah trombosit hari ke-6, dan p= 0,003 untuk jumlah trombosit hari ke-7.


(49)

commit to user

48

Tabel 5.5 Perubahan rerata jumlah trombosit pada setiap hari pengukuran.

KelompokSubjek

Jumlah Trombosit Analisis

Hari -5

SD

Hari-6

SD Hari-7 SD F p

Klp 2(IgM - /IgG (+) 43,67 23,74 53,06 31,73 85,72 38,49 26,33 0,000* Klp3(Ig M + / IgG +) 29,72 19,92 36,04 23,22 53,24 25,89 25,04 0,000*

Tabel 5.6 Analisis pos hoc perubahan rerata jumlah trombosit setiap hari pengukuran pada kelompok 2.

No Hari Pengukuran Jumlah Trombosit Analisis

Rerata SD Rerata SD t p

1 Hari ke 5 & 6 43,67 23,74 53,06 31,73 -2,75 0,017*

2 Hari ke 5 & 7 43,67 23,74 85,72 38,49 -2,57 0,000*

3 Hari ke 6 & 7 53,06 31,73 85,72 38,49 -0,61 0,000*

Terdapat perbedaan jumlah trombosit (peningkatan) secara bermakna pada setiap setiap hari pengukuran (p<0,05).

Tabel 5.7 Analisis pos hoc perubahan rerata jumlah trombosit setiap hari pengukuran pada kelompok 3.

No Hari Pengukuran

Jumlah Trombosit Analisis

Rerata SD Rerata SD t p

1 Hari ke 5 & 6 29,72 19,92 36,04 23,22 -2,75 0,006*

2 Hari ke 5 & 7 29,72 19,92 53,24 25,89 -2,57 0,000*

3 Hari ke 6 & 7 36,04 23,22 53,24 25,89 -0,61 0,000*

Terdapat perbedaan jumlah trombosit (peningkatan) secara bermakna pada setiap setiap hari pengukuran (p<0,05).


(50)

commit to user

49 5.2.2 Kadar SGOT dan SGPT.

Tabel 5.8 Perbedaan rerata SGOT dan SGPT.

VARIABEL Klp.2(IgM-/IgG+) Klp.3(IgM+/IgG+) ANALISIS

Rerata SD Rerata SD t p

SGOT 126,39 93,04 214,44 133,74 -2,81 0.005

SGPT 100,28 78,81 114,20 67,27 -1,09 0,273

Tampak pada tabel 5.5 terjadi peningkatan kadar SGOT pada kedua kelompok penderita. Peningkatan kadar SGOT pada kelompok 3 dibandingkan dengan kelompok 2 menunjukkan perbedaan yang bermakna dengan p = 0.005. Kadar SGPT juga meningkat pada kedua kelompok. Peningkatan kadar SGPT pada kedua kelompok penderita tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna dengan p = 0.273.

5.2.3 Derajad DBD

Tabel 5.9 Perbedaan derajad DBD.

VARIABEL Klp.2(IgM-/IgG+) Klp.3(IgM+/IgG+) ANALISIS OR

n % n % X2 p (95% CI)

DERAJAT

DBD 18 100 25 100

8,00 I 17 94,4 17 68,0 2,96 0.038 (0,90-71,11)

≥II 1 5,6 8 32,0

Terdapat perbedaan proporsi derajat DBD yang bermakna pada kedua kelompok penderita dengan p = 0,038. Dibandingkan kelompok 2, kelompok 3 mempunyai resiko delapan kali mengalami DBD derajat II atau lebih.


(51)

commit to user

50 5.2.4 Lama perawatan di Rumah Sakit. Tabel 5.10 Perbedaan rerata lama perawatan.

VARIABEL Klp.2(IgM-/IgG+) Klp.3(IgM+/IgG+) ANALISIS

Rerata SD Rerata SD t p

Lama rawat (hari) 3,94 0,64 4,60 0,50 -3,21 0.001

Penderita DBD kelompok 3 menjalani perawatan di rumah sakit lebih lama secara bermakna ( p = 0,001) dibandingkan kelompok 2.


(52)

commit to user

51

BAB 6 PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui hubungan imunopatologi demam berdarah dengue dengan manifestasi klinis yang ditimbulkannya. Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan jenis immunoglobulin anti dengue yang ada pada penderita DBD, beberapa manifestasi klinis dan laboratorium, proporsi derajad DBD, serta lama perawatan di rumah sakit.

Pada penelitian ini pasien DBD yang masuk ke bangsal Penyakit Dalam RS Dr Moewardi Surakarta dibagi menjadi 3 kelompok. Kelompok 1 yaitu pasien infeksi dengue primer yang ditandai dengan IgM (+) dan IgG (-) antidengue pada demam hari kelima. Kelompok 2 yaitu pasien infeksi dengue sekunder dengan IgM (-) dan IgG (+) antidengue dan kelompok 3 yaitu pasien infeksi dengue sekunder dengan IgM (+) dan IgG (+) antidengue. Kami lakukan pemeriksaan fisik dan penunjang mulai saat pasien masuk rumah sakit sampai pasien dipulangkan. Penilaian untuk penelitian ini kami lakukan mulai demam hari kelima sampai pasien dipulangkan.

Kelompok 1 berjumlah 1 orang sehingga secara statistik tidak dapat dibandingkan dengan kelompok lain. Kelompok 2 berjumlah 18 orang dan kelompok 3 berjumlah 25 orang. Pada tabel 5.2 tampak bahwa pada kedua kelompok tersebut tidak didapatkan perbedaan yang secara statistik bermakna pada perbandingan karakteristik jenis kelamin penderita (p = 0,857). Pada tabel 5.3 tampak bahwa rata-rata umur pada kelompok 2 adalah 29,00 ± 9,49 tahun,


(53)

commit to user

52

sedangkan pada kelompok 3 adalah 22,46 ± 6,69 tahun. Terdapat perbedaan yang bermakna untuk rerata umur pada kedua kelompok (p = 0,007). Penderita DBD pada penelitian ini terjadi sebagian besar pada usia dewasa muda dapat dikarenakan orang pada usia muda memiliki aktifitas dan mobilitas yang tinggi sehingga lebih beresiko tertular penyakit DBD. Sedangkan rerata usia kelompok 3 lebih muda dibanding kelompok 2, dimungkinkan karena pada usia lebih muda memiliki respon imun yang lebih kuat, sehingga saat terinfeksi virus dengue proses imunopatologi yang terjadi juga lebih hebat sehingga memiliki manifestasi klnis yang lebih berat. Hematokrit pada kelompok 3 juga lebih tinggi secara bermakna dibandingkan kelompok 2 (p=0,035), menunjukkan terjadinya kebocoran plasma yang lebih berat pada kelompok 3.

Tabel 5.4 menunjukkan penurunan jumlah trombosit pada kelompok 2 dan 3 pada hari ke-5, ke-6 maupun ke-7, dengan jumlah terendah pada hari ke-5. Jumlah trombosit pada kelompok 3 lebih rendah secara bermakna dibandingkan dengan kelompok 2 baik untuk jumlah trombosit pada demam hari ke 5 (p= 0,029), hari ke-6 (p= 0,029), maupun hari ke-7 (p= 0,003). Sedangkan pada kasus dengan infeksi dengue primer (1 orang), penderita mengalami penurunan jumlah trombosit yang lebih ringan. Penurunan jumlah trombosit pada penelitian ini sesuau dengan penelitian Chairulfatah dan kawan-kawan yang menemukan trombositopenia pada demam hari ke-3 sampai hari ke-7 (Chairulfatah dkk, 2005) Trombositopenia pada penderita DBD terjadi akibat peningkatan destruksi trombosit oleh sistem retikuloendotelial, agregasi trombosit akibat endotel vaskuler yang rusak serta penurunan produksi trombosit oleh sumsum tulang


(54)

commit to user

53

(Sugianto,1994;Halstead,2007). Penurunan produksi trombosit pada fase awal penyakit (hari sakit ke-1 sampai dengan ke-4) merupakan penyebab trombositopenia. Pada saat itu sumsum tulang tampak hiposeluler ringan dan megakariosit dalam berbagai bentuk fase maturasi. Pada hari sakit ke-5 sampai dengan ke-8, terjadinya trombositopenia terutama disebabkan oleh penghancuran trombosit dalam sirkulasi. Kompleks imun yang melekat pada permukaan trombosit mempermudah penghancuran trombosit oleh sistem retikuloendotelial dalam hati dan limpa, mengakibatkan trombositopenia. Tetapi, penghancuran trombosit ini dapat pula disebabkan oleh kerusakan endotel atau disseminated intravascular coagulation ( DIC ) ( Suhendro, 2006; Nasiruddin, 2006). Infeksi dengue juga menginduksi terjadinya proses autoimun karena molecular mimicry.

Antibodi terhadap NS1 atau prM dapat bereaksi silang dengan trombosit dan sel endotel. Ikatan dengan trombosit dengan perantaraan aktivasi komplemen akan menyebabkan lisis trombosit sehingga terjadi trombositopenia (Lei dkk., 2008). Pada tabel 5.8 tampak bahwa terjadi peningkatan kadar SGOT dan SGPT pada kedua kelompok penderita dengan infeksi dengue sekunder. Peningkatan kadar SGOT pada kelompok 3 lebih tinggi secara bermakna ( p = 0.005) dibandingkan dengan kelompok 2, sedangkan peningkatan kadar SGPT pada kedua kelompok tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p = 0.273). Menurut Tahono, pada fase akut infeksi dengue terjadi peningkatan kadar aminotransferase, diikuti penurunan kadar enzim hati setelah fase penyembuhan. Kadar SGOT lebih tinggi dibandingkan SGPT dengan rasio antara 1-1,5 (Tahono,2006).


(55)

commit to user

54

Dampak virus dengue terhadap hepatosit dan sel kupffer melalui beberapa mekanisme yaitu efek langsung, efek sitokin proinflamasi, dan efek radikal bebas atau ROS (Nasronudin,2007c). Virus dengue menginduksi disfungsi mitokondria dan kematian sel. Hal ini mungkin disebabkan oleh protein virus atau produknya berinteraksi dengan membran mitokondria, mengakibatkan peningkatan permeabilitas membran mitokondria, perubahan fisiologi mitokondria, dan produksi reactiv oxygen species (ROS) yang berlebihan. Akibatnya sel mengalami gangguan fungsi. Terbentuk councilman bodies, kemudian terjadi fragmentasi DNA dan apoptosis hepatosit, sehingga kadar SGOT serum meningkat lebih tinggi (Higa dkk.,2008). Proses kematian sel hepatosit dan kupffer selain melalui apoptosis juga melalui nekrosis. Terjadi inflamasi dan nekrosis hepatoseluler pada zona tengah dan perifer hati. Nekrosis tersebut terjadi akibat insufisiensi sirkulasi mikro yang menyebabkan iskemia, inflamasi akut akibat pengaruh sitokin proinflamasi dan berbagai mediator, serta dampak negatif oksidan. Kelainan tersebut tidak terlepas dari keterlibatan sistem retikuloendotelial, kompleks imun, aktivasi komplemen, kompleks antigen-antibodi, agregasi trombosit, perubahan endotel, dan berbagai komponen lain selama berlangsungnya infeksi. Kelainan berupa hepatitis tersebut yang menyebabkan penderita sering mengeluh nyeri pada hipokhondrium kanan, hepatomegali, dan peningkatan kadar transaminase(Nasronudin,2007c; Osorio dkk.,2007; Higa dkk.,2008) .

Tabel 5.6 menunjukkan terdapat perbedaan proporsi derajat DBD derajad I dan derajad II atau lebih yang bermakna pada penderita DBD kelompok 3


(56)

commit to user

55

dibandingkan dengan kelompok 2 ( p= 0,038 dengan Odd ratio 8,00). Hal ini berarti dibandingkan dengan kelompok 2, kelompok 3 mempunyai risiko delapan kali mengalami DBD derajat II atau lebih. Dua kasus (8 %) penderita DBD kelompok 3 mengalami DBD derajad III, sedangkan pada kelompok 2 tidak ada penderita yang mengalami DBD derajad III.

Beratnya derajad DBD disebabkan oleh beberapa faktor antara lain kebocoran plasma, trombositopenia dan aktivasi sistem koagulasi. Perdarahan pada DBD disebabkan oleh vaskulopati, penurunan jumlah trombosit, dan penurunan kadar faktor pembekuan. Pada fase awal demam perdarahan disebabkan oleh vaskulopati dan trombositopenia, sedangkan pada fase syok perdarahan disebabkan oleh trombositopenia dan koagulopati, terutama sebagai akibat koagulasi intravaskuler diseminata (KID) dan peningkatan fibrinolisis. (Halstead,2007, Nasronudin, 2007b).

Tabel 5.7 menunjukkan kelompok 3 menjalani perawatan di rumah sakit lebih lama (rata-rata 4,6 hari), berbeda secara bermakna (p = 0,001) dibandingkan dengan kelompok 2 (rata-rata 3,9 hari). Lama perawatan tegantung pada jumlah trombosit, perbaikan klinis, nafsu makan, lama demam, dan komplikasi yang terjadi.

Pada penelitian kami pasien DBD karena infeksi dengue primer hanya berjumlah 1 orang, sedangkan pasien DBD karena infeksi sekunder mencapai 43 orang. Pasien infeksi dengue primer pada penelitian ini mempunyai manifestasi klinis dan laboratorium yang lebih ringan apabila dibandingkan dengan manifestasi klinis dan laboratorium rata- rata pasien dengan infeksi


(57)

commit to user

56

dengue sekunder. Hasil penelitian kami konsisten dengan beberapa penelitian sebelumnya yang melaporkan bahwa infeksi dengue sekunder sebagai faktor risiko untuk terjadinya manifestasi infeksi dengue yang berat (Nisalak dkk,2003; Anantapreecha dkk.,2005). Hasil penelitian ini mendukung teori immunologic enhancement/ antibody dependent enhancement (ADE).

Meskipun demikian, pasien dengan infeksi dengue primer juga dapat bermanifestasi berat meskipun lebih jarang karena virulensi dan jumlah virus juga turut berperan tehadap beratnya manifestasi yang terjadi. Penelitian yang dilakukan di Thailand oleh Anantapreecha dkk melaporkan bahwa hampir semua DBD yang disebabkan oleh virus DEN-2 dan DEN-4 merupakan infeksi dengue sekunder, sedangkan seperlima DBD yang disebabkan oleh DEN-1 dan DEN-3 merupakan infeksi dengue primer. Hasil ini menunjukkan bahwa di Thailand virus DEN-1 dan DEN-3 lebih virulen, dapat menyebabkan DBD baik pada infeksi primer maupun sekunder, sedangkan virus DEN-2 dan DEN-4 di Thailand jarang menyebabkan DBD pada infeksi primer (Anantapreecha dkk, 2005).

Pada infeksi dengue sekunder, berdasarkan teoriimmunologic enhancement/

antibody dependent enhancement, kalau di dalam tubuh seseorang terdapat

antibodi yang tidak mampu menetralisir virus tersebut, keadaan ini dapat menimbulkan manifestasi klinis yang berat. ( Guzman dan Kouri,1996, Sugianto, 2006). Sel T helper merangsang aktivitas sel B memproduksi antibodi spesifik yang protektif dan juga antibodi non netralisasi yang berperan pada terjadinya DBD. Pada infeksi dengue sekunder sel T memori berperan dominan dibandingkan dengan sel T naive. Antibodi IgG yang terbentuk pada infeksi


(1)

commit to user

55

dibandingkan dengan kelompok 2 ( p= 0,038 dengan Odd ratio 8,00). Hal ini berarti dibandingkan dengan kelompok 2, kelompok 3 mempunyai risiko delapan kali mengalami DBD derajat II atau lebih. Dua kasus (8 %) penderita DBD kelompok 3 mengalami DBD derajad III, sedangkan pada kelompok 2 tidak ada penderita yang mengalami DBD derajad III.

Beratnya derajad DBD disebabkan oleh beberapa faktor antara lain kebocoran plasma, trombositopenia dan aktivasi sistem koagulasi. Perdarahan pada DBD disebabkan oleh vaskulopati, penurunan jumlah trombosit, dan penurunan kadar faktor pembekuan. Pada fase awal demam perdarahan disebabkan oleh vaskulopati dan trombositopenia, sedangkan pada fase syok perdarahan disebabkan oleh trombositopenia dan koagulopati, terutama sebagai akibat koagulasi intravaskuler diseminata (KID) dan peningkatan fibrinolisis. (Halstead,2007, Nasronudin, 2007b).

Tabel 5.7 menunjukkan kelompok 3 menjalani perawatan di rumah sakit lebih lama (rata-rata 4,6 hari), berbeda secara bermakna (p = 0,001) dibandingkan dengan kelompok 2 (rata-rata 3,9 hari). Lama perawatan tegantung pada jumlah trombosit, perbaikan klinis, nafsu makan, lama demam, dan komplikasi yang terjadi.

Pada penelitian kami pasien DBD karena infeksi dengue primer hanya berjumlah 1 orang, sedangkan pasien DBD karena infeksi sekunder mencapai 43 orang. Pasien infeksi dengue primer pada penelitian ini mempunyai manifestasi klinis dan laboratorium yang lebih ringan apabila dibandingkan dengan manifestasi klinis dan laboratorium rata- rata pasien dengan infeksi


(2)

commit to user

56

dengue sekunder. Hasil penelitian kami konsisten dengan beberapa penelitian sebelumnya yang melaporkan bahwa infeksi dengue sekunder sebagai faktor risiko untuk terjadinya manifestasi infeksi dengue yang berat (Nisalak dkk,2003; Anantapreecha dkk.,2005). Hasil penelitian ini mendukung teori immunologic enhancement/ antibody dependent enhancement (ADE).

Meskipun demikian, pasien dengan infeksi dengue primer juga dapat bermanifestasi berat meskipun lebih jarang karena virulensi dan jumlah virus juga turut berperan tehadap beratnya manifestasi yang terjadi. Penelitian yang dilakukan di Thailand oleh Anantapreecha dkk melaporkan bahwa hampir semua DBD yang disebabkan oleh virus DEN-2 dan DEN-4 merupakan infeksi dengue sekunder, sedangkan seperlima DBD yang disebabkan oleh DEN-1 dan DEN-3 merupakan infeksi dengue primer. Hasil ini menunjukkan bahwa di Thailand virus DEN-1 dan DEN-3 lebih virulen, dapat menyebabkan DBD baik pada infeksi primer maupun sekunder, sedangkan virus DEN-2 dan DEN-4 di Thailand jarang menyebabkan DBD pada infeksi primer (Anantapreecha dkk, 2005).

Pada infeksi dengue sekunder, berdasarkan teori immunologic enhancement/

antibody dependent enhancement, kalau di dalam tubuh seseorang terdapat

antibodi yang tidak mampu menetralisir virus tersebut, keadaan ini dapat menimbulkan manifestasi klinis yang berat. ( Guzman dan Kouri,1996, Sugianto, 2006). Sel T helper merangsang aktivitas sel B memproduksi antibodi spesifik yang protektif dan juga antibodi non netralisasi yang berperan pada terjadinya DBD. Pada infeksi dengue sekunder sel T memori berperan dominan dibandingkan dengan sel T naive. Antibodi IgG yang terbentuk pada infeksi


(3)

commit to user

57

dengue terdiri atas antibodi yang berfungsi menghambat replikasi virus

(neutralizing antibody) dan antibodi yang berfungsi memacu replikasi virus dalam

makrofag (infection enhancing antibody). Pada infeksi sekunder, antibodi non netralisasi yang dibentuk pada infeksi primer menyebabkan kompleks antigen-antibodi yang akan melekat pada membran sel makrofag (Halstead,2007; Nasronudin, 2007a, Chaturvedi dan Nagar, 2008). Perlekatan itu mengakibatkan makrofag akan memfagositosis virus yang berakibat makrofag terinfeksi virus Dengue. Karena antibodi yang heterolog, virus tidak dapat dinetralisir dan bebas bereplikasi di dalam makrofag. Selanjutnya infeksi virus ini akan mengaktivasi makrofag (Gubler,1998). Makrofag yang terinfeksi virus akan mengekspresikan dua macam MHC yaitu MHC kelas 1 dan MHC kelas 2 yang berisi protein virus. Selanjutnya MHC kelas 2 akan direspons oleh TCR sel efektor CD4 atau sel T

Helper, yang akan mensekresi interferon gamma yang berakibat aktivasi lebih

lanjut dari makrofag. Aktivasi makrofag akan menyebabkan sel tersebut mensekresi sitokin antara lain IL-1, IL-6, IL-12, IL-8 , TNF alfa dan pratelet

activating factor (PAF). TNF alfa, IL 1 dan IL 6 dikenal sebagai pro-inflamasi

sitokin, menyebabkan demam karena rangsangan di hipothalamus serta merangsang hepatosit mensekresi protein fase akut, apoptosis endotel, meningkatkan permeabilitas pada endotel kapiler dan ekspresi ICAM sehingga terjadi kebocoran plasma dan perdarahan (Nasronudin, 2007a).

Pada penelitian ini, pasien kelompok 3, dibandingkan dengan kelompok 2, mempunyai manifestasi klinis dan laboratorium yang lebih berat secara bermakna (penurunan jumlah trombosit, kadar SGOT, derajad DBD, dan lama perawatan).


(4)

commit to user

58

Menurut Chaturvedi dan kawan-kawan, pada penyakit demam berdarah terjadi pergeseran dari respons sel Th1 yang dominan pada kasus-kasus DF ke sel Th2 yang dominan pada kasus-kasus DBD yang berat. Analisis kasus menunjukkan 66% kasus DF dengan tipe respon sel Th1, sedangkan 71% kasus DBD kelas IV dengan tipe respon sel Th2. Kadar IL-13 serum yang merupakan sitokin tipikal dari sel Th2, tidak ada pada pasien dengan DF dan didapatkan tertinggi pada kasus-kasus DBD grade IV (Chaturvedi dkk., 1999, Chaturvedi dkk.,2000, Chaturvedi dan Nagar, 2008)

Sel CD4 pada infeksi dengue pada manusia menghasilkan sitokin khas yaitu human cytotoxic factor (hCF). Selama epidemi DBD di India utara selama tahun 1996, hCF didapatkan pada 90% dari 333 kasus dengan kadar tertinggi

pada kasus DBD grade IV (Chaturvedi dkk., 2000). Human cytotoxic factor

menginduksi makrofag memproduksi radikal bebas, nitrit, oksigen reaktif dan

peroxynitrite. Radikal bebas, selain membunuh sel-sel target dengan apoptosis,

juga langsung meningkatkan produksi sitokin proinflamasi (IL-1 , TNF-α, IL-8), dan peroksida hidrogen oleh makrofag. Peningkatan permeabilitas vaskuler disebabkan oleh efek kombinasi dari histamin, radikal bebas, sitokin proinflamasi, produk dari jalur komplemen, dan lain- lain (Chaturvedi dkk., 2000).

Di sisi lain, infeksi virus dengue menginduksi terjadinya autoimun karena

molecular mimicry. Antibodi terhadap NS1 atau prM dapat bereaksi silang dengan

trombosit dan sel endotel. Ikatan dengan trombosit dengan perantaraan aktivasi komplemen akan menyebabkan lisis trombosit sehinnga terjadi trombositopenia. Ikatan ini juga akan menghambat agregasi trombosit. Sedangkan ikatan antibodi


(5)

commit to user

59

ini dengan sel endotel akan menyebabkan aktivasi signalling pathway yang terlibat dalam ekspresi iNOS dan produksi NO, yang akan merangsang pelepasan

cytochrome c dan kemudian aktivasi caspase-3 sehingga terjadi apoptosis sel

endotel. Apoptosis sel endotel ini akan menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular sehingga terjadi kebocoran plasma (Lei dkk, 2008).

Berdasarkan hal tersebut di atas, pada penelitian ini kelompok 3 memiliki manifestasi klinis dan laboratorium yang lebih berat dapat terjadi karena dominasi sel Th2 yang akan lebih memacu sel limfosit B sehingga produksi imunoglobulin lebih tinggi, baik IgM maupun IgG antidengue. Komplek antigen antibodi yang terbentuk juga lebih tinggi sehingga proses imunupatologi yang terjadi juga lebih berat.

Penelitian ini memiliki keterbatasan dalam hal waktu mulainya pengambilan data dikaitkan dengan perawatan pasien. Pengambilan data dimulai pada demam hari kelima, sedangkan penderita datang dan mulai dirawat di rumah sakit dengan lamanya demam yang telah diderita bervariasi. Sehingga pada saat pengambilan data pada hari kelima demam, sebagian belum mendapatkan perawatan dan pengobatan, sedangkan sebagian yang lain telah mendapatkan perawatan dan pengobatan baik di RSUD Dr Moewardi maupun di tempat pelayanan kesehatan sebelumnya. Hal ini dapat mempengaruhi hasil penelitian.


(6)

commit to user

60

BAB 7 PENUTUP

7.1 Kesimpulan

Penderita DBD dengan IgG (+) / IgM (+) antidengue mempunyai manifestasi klinis dan laboratorium yang lebih berat dibanding penderita dengan IgG (+) / IgM (-) dan IgG (-) / IgM (+) antidengue.

7.2 Saran

1. Perlu pemeriksaan IgG dan IgM anti dengue terhadap pasien DBD yang dirawat di rumah sakit sebagai salah satu prediktor beratnya DBD.

2 . Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan pemeriksaan IgG dan IgM anti dengue kuantitatif dan hCF untuk lebih memahami imunopatologi pada demam berdarah dengue .