Gambaran Penggunaan Obat Asma pada Pasien Asma di Puskesmas Kota Medan Tahun 2014

(1)

GAMBARAN PENGGUNAAN OBAT ASMA PADA PASIEN ASMA DI PUSKESMAS KOTA MEDAN TAHUN 2014

Oleh : ELVIRA 110100333

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

GAMBARAN PENGGUNAAN OBAT ASMA PADA PASIEN ASMA DI PUSKESMAS KOTA MEDAN TAHUN 2014

KARYA TULIS ILMIAH

Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh : ELVIRA 110100333

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Gambaran Penggunaan Obat Asma pada Pasien Asma di Puskesmas Kota Medan Tahun 2014

Nama : Elvira NIM : 110100333

Pembimbing Penguji 1

(Prof. Dr. dr. Rozaimah Zain-Hamid, MS, Sp.FK) (dr. RefliHasan, Sp.PD, Sp.PJ (K)) NIP: 19530417 198003 2 001 NIP: 19610403 198709 1 001

Penguji 2

(dr. Andrina Y. M. Rambe, Sp.THT-KL)

NIP: 19710622 199703 2 001

Medan 12 Januari 2015, Dekan

FakultasKedokteran Universitas Sumatera Utara

(Prof. dr. GontarAlamsyahSiregar. Sp. PD-KGEH) NIP: 19540220 198011 1 001


(4)

ABSTRAK

Asma merupakan masalah kesehatan yang dapat menurunkan kualitas dan produktifitas hidup penderitanya sehingga dibutuhkan penatalaksanaan yang tepat. Penatalaksanaan asma sudah seharusnya bisa dilakukan oleh dokter umum sampai tuntas sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia dimana puskesmas sebagai ujung tombak terdepan dalam pelayanan kesehatan dilayani oleh dokter umum.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran penggunaan obat asma pada pasien asma di puskesmas Kota Medan tahun 2014.

Metode penelitian yaitu penelitian deskriptif dengan pendekatan cross-sectional. Penelitian ini dilaksanakan di lima puskesmas Kota Medan, pada bulan Juli – Desember 2014.

Hasil penelitian yaitu obat yang diberikan dokter puskesmas kombinasi pelega dan pengontrol (83,6%), yang dipakai saat serangan akut dan stabil (85,1%), Jenis obat corticosteroid sebagai obat pengontrol dan golongan SABA untuk pelega dengan cara diminum, selain itu pemeriksaan fungsi paru yaitu dengan Peak Flow Meter tidak dilakukan di puskesmas sebagai evaluasi pengobatan (100%). Tingkat kontrol asma yang terbanyak adalah asma tidak terkontrol 79,1%, asma terkontrol sebagian 19,4%, asma terkontrol total 1,5%.


(5)

Abstract

Asthma has been a massive health issue that affects the productivity and the quality of life of the patients therefore the best treatment is a mandatory. General practitioner should be able to treat the patients according to the Indonesia Standardize General Practitioner Competencies. Where rural health care centre is the front row of the care provider to treat patients with asthma issues.

The purpose of this experiment is to figure out the treatment of asthma in primary health care center in Medan city 2014.

This is a descriptive experiment with cross sectional approach. The experiment takes places in five primary health care centers in Medan city and the experiment will be held on July until December 2014.

The results of the study are; drugs are given by doctors in clinic, reliever and controller combination ( 83.6 % ) , drugs that are used in acute attack and stable condition (85.1% ), corticosteroid is used as controller in the other side SABA is used as reliever all those drugs are orally taken by patients, in addition to the pulmonary function tests, namely the Peak Flow Meter is not carried out in health centers as evaluation of treatment (100%). The experiment found that the percentage of uncontrolled asthma is 79.1 %, partially controlled 19,4% , controlled asthma 1.5 %.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan KTI ini yang diberi judul “Penggunaan Obat Asma pada Pasien Asma di Puskesmas Kota Medan Tahun 2014”.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing, Prof. Dr. dr. Rozaimah Zain-Hamid, MS, Sp.FK, atas bimbingan dan waktu yang telah diberikan dalam penyelesaian KTI ini, dosen penguji, dr. Refli Hasan, Sp.PD, Sp.JP(K) dan dr. Andrina Y. M. Rambe, Sp.THT-KL yang telah memberi masukan dan nasehat dalam menyempurnakan penelitian KTI. Penulis mengucapkan terima kasih kepada keluarga penulis ayah Hermansyah dan ibu Suikim juga abang-abang tercinta Andry, Tony dan juga dr. Nata Nakamura yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini serta memberi dukungan, dan dorongan yang luar biasa. Dan kepada teman-teman yang turut memberikan semangat dan bantuan Cindy Tantarica, Melvina Liantoro, Lia, Ressa, Viany, Devina, Bintang, Nadya, Priska dan Nurul dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan semuanya.

Penulis menyadari bahwa proposal penelitian ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran agar dapat menjadi lebih baik untuk kedepan nya.

Medan, 11 Desember 2014 Penulis,

ELVIRA 110100333


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PERSETUJUAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Definisi Asma ... 5

2.2. Faktor Resiko ... 6

2.3. Patogenesis Asma ... 7

2.4. Diagnosis Asma ... 8

2.5. Klasifikasi Asma... 9

` 2.6. Penatalaksanaan Asma ... 11

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 18

3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 18

3.2. Definisi Operasional ... 18

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN ... 22

4.1. Jenis Penelitian ... 22

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 22

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 22

4.4. Metode Pengumpulan Data ... 24

4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 24


(8)

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26

5.1. Hasil penelitian ... 26

5.2 Pembahasan ... 33

5.3 Kendala-kendala dalam penelitian ... 37

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 38

6.1. Kesimpulan ... 38

6.2. Saran ... 39


(9)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.5.1. Klasifikasi Derajat Asma Berdasarkan Gambaran Klinis 10

2.6.1. Pengobatan Sesuai Berat Asma 16

3.2.1.4. Alat Inhalasi 19

5. 1. Distribusi karakteristik responden berdasarkan umur, jenis 27 kelamin, status perkawinan, pendidikan dan pekerjaan

5.2. Penggunaan obat pasien asma di puskesmas 29 5.3. Distribusi frekuensi tes kontrol asma (ACT) 33


(10)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.2.1. Faktor Penjamu dan Faktor Lingkungan 6

3.1. Kerangka Konsep Penelitian 18


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup

Lampiran 2 Lembar Penjelasan Kepada Subjek Penelitian Lampiran 3 Lembar Persetujuan (Informed Consent) Lampiran 4 Lembar Pertanyaan Penelitian (Kuesioner) Lampiran 5 Lembar kuesioner Tes Kontrol Asma Lampiran 6 Ethical clearance


(12)

ABSTRAK

Asma merupakan masalah kesehatan yang dapat menurunkan kualitas dan produktifitas hidup penderitanya sehingga dibutuhkan penatalaksanaan yang tepat. Penatalaksanaan asma sudah seharusnya bisa dilakukan oleh dokter umum sampai tuntas sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia dimana puskesmas sebagai ujung tombak terdepan dalam pelayanan kesehatan dilayani oleh dokter umum.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran penggunaan obat asma pada pasien asma di puskesmas Kota Medan tahun 2014.

Metode penelitian yaitu penelitian deskriptif dengan pendekatan cross-sectional. Penelitian ini dilaksanakan di lima puskesmas Kota Medan, pada bulan Juli – Desember 2014.

Hasil penelitian yaitu obat yang diberikan dokter puskesmas kombinasi pelega dan pengontrol (83,6%), yang dipakai saat serangan akut dan stabil (85,1%), Jenis obat corticosteroid sebagai obat pengontrol dan golongan SABA untuk pelega dengan cara diminum, selain itu pemeriksaan fungsi paru yaitu dengan Peak Flow Meter tidak dilakukan di puskesmas sebagai evaluasi pengobatan (100%). Tingkat kontrol asma yang terbanyak adalah asma tidak terkontrol 79,1%, asma terkontrol sebagian 19,4%, asma terkontrol total 1,5%.


(13)

Abstract

Asthma has been a massive health issue that affects the productivity and the quality of life of the patients therefore the best treatment is a mandatory. General practitioner should be able to treat the patients according to the Indonesia Standardize General Practitioner Competencies. Where rural health care centre is the front row of the care provider to treat patients with asthma issues.

The purpose of this experiment is to figure out the treatment of asthma in primary health care center in Medan city 2014.

This is a descriptive experiment with cross sectional approach. The experiment takes places in five primary health care centers in Medan city and the experiment will be held on July until December 2014.

The results of the study are; drugs are given by doctors in clinic, reliever and controller combination ( 83.6 % ) , drugs that are used in acute attack and stable condition (85.1% ), corticosteroid is used as controller in the other side SABA is used as reliever all those drugs are orally taken by patients, in addition to the pulmonary function tests, namely the Peak Flow Meter is not carried out in health centers as evaluation of treatment (100%). The experiment found that the percentage of uncontrolled asthma is 79.1 %, partially controlled 19,4% , controlled asthma 1.5 %.


(14)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit asma masih merupakan masalah kesehatan di dunia, karena akan menurunkan kualitas hidup dan produktivitas pasiennya. Saat ini, pasien asma di seluruh dunia mencapai 300 juta orang, dari kalangan semua usia yang berasal dari berbagai latar belakang suku etnis. Jumlah ini diperkirakan akan bertambah lagi 100 juta orang pada tahun 2025. Prevalensi kecacatan akibat asma berkisar 15 juta per tahun dan menduduki urutan ke-25 Disability-Adjusted Life Years Lost tahun 2001. Jumlah ini menyerupai kecacatan akibat penyakit diabetes, sirosis hati dan skizofrenia. Selain itu, diperkirakan kematian akibat asma adalah 1 dari tiap 250 kematian (Global Burden Report of Asthma, 2013).

Di Indonesia, prevalensi asma menunjukkan angka sekitar 4,0% (Riskesdas, 2007), dan meningkat menjadi 4,5% Riskesdas (2013). Persentase tertinggi diperoleh di Sulawesi Tengah (7,8%) dan yang terendah di Lampung (1,6%), sedangkan di Sumatera Utara (2,4%). Selain itu, hasil penelitian ISAAC (International Study on Asthma and Allergy in Children) di Jakarta mendapatkan angka 11,5% pada tahun 2001, dan meningkat menjadi 12,2%pada tahun 2008 (Yunus et al., 2011). Di Medan, hasil survei asma pada anak SD (6 sampai 12 tahun), menunjukkan prevalensi asma berkisar antara 3,7%-6,4% (Menkes, 2008). Dari berbagai hasil penelitian di atas, tampak bahwa prevalensi penyakit asma mengalami peningkatan yang signifikan.

Patogenesis dasar penyakit asma adalah proses inflamasi kronik pada saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemen seluler. Inflamasi kronik tersebut menyebabkan saluran napas menjadi hiperresponsif dan menjadi sempit,sehingga mengganggu proses bernapas yang normal, dan menimbulkan manifestasi klinis berupa sesak napas, mengi, dada terasa berat serta batuk, terutama pada malam atau pagi hari (GINA, 2012). Penyempitan saluran napas yang terjadi pada asma


(15)

bersifat reversibel, ditandai oleh obstruksi pernapasan di antara dua interval asimtomatik (Djojodibroto,2012).

Saat ini berbagai obat yang tepat dan sesuai untuk penatalaksanaan asma dalam bentuk sediaan inhalasi, sudah tersedia. Pemberian obat secara inhalasi lebih aman, karena obat hanya bekerja lokal dan memberikan efek samping sistemik yang minimal. Tujuan penatalaksanan asma adalah mencegah/ mengurangi kejadian serangan akut, dan meminimalkan kemungkinan kejadian efek samping obat. Dengan demikian, pasien asma dapat hidup seperti layaknya orang normal, dengan kualitas hidup yang baik.

Penatalaksanaan asma yang adekuat seharusnya dilaksanakan pada saat pasien berada di luar serangan, dengan memberikan kombinasi anti-inflamasi (controller) dan bronkodilator (reliever) secara inhalasi. Obat yang dianjurkan untuk keperluan ini adalah kombinasi dari corticosteroid (ICS) dan agonis β2 kerja lama (Long Acting β2 Agonis/ LABA) dalam bentuk sediaan inhalasi. Penatalaksanaan ini sebaiknya disertai dengan evaluasi objektif terhadap kondisi aliran udara di saluran pernapasan pasien asma. Evaluasi ini dilakukan dengan menggunakan alat sederhana berupa peak flow meter, yang dapat digunakan untuk menetapkan apakah seseorang adalah pasien asma, dan juga untuk menilai kemajuan yang dihasilkan oleh penatalaksanaan yang diberikan, apakah sudah terkontrol, terkontrol sebagian, dan tidak terkontrol. Selain itu, penilaian untuk mengetahui apakah penyakit asma sudah terkontrol, terkontrol sebagian, dan tidak terkontrol, dapat dilakukan dengan menggunakan Asthma Control Test (ACT).Bila hal ini dilaksanakan, kejadian serangan akut dapat dikurangi, bahkan dapat ditiadakan, sehingga akan meningkatkan kualitas hidup pasien asma.

Banyaknya kecacatan dan kematian akibat asma disebabkan oleh kurang sesuai dan kurang tepatnya penatalaksanaan asma. Penatalaksanaan asma yang benar sangat memerlukan pengetahuan pasien asma tentang berbagai hal yang berhubungan dengan penyakitnya, khususnya pengetahuan tentang penggunaan obat asma. Penggunaan obat dan teknik penggunaan sediaan inhalasi yang sesuai


(16)

dan tepat, merupakan faktor penentu keberhasilan pengobatan. Karena itu, kerjasama dokter dengan pasien dalam melaksanakan edukasi kepada pasien asma, sangat diperlukan.

Di dalam kurikulum pendidikan dokter berbasis kompetensi di Indonesia, penyakit asma termasuk ke dalam golongan penyakit dengan kompetensi 4A (SKDI, 2012), yang berarti golongan penyakit yang harus dapat ditatalaksana sampai tuntas oleh dokter umum. Di sisi lain, Puskesmas yang merupakan ujung tombak terdepan dalam pelayanan kesehatan, pada umumnya dilayani oleh dokter umum. Dokter di puskesmas, tidak hanya bertugas mengobati pasien asma, tetapi juga harus memberikan informasi tentang berbagai hal yang berkaitan dengan penyakit asma, khususnya dalam penggunaan obat yang benar. Dengan demikian, upaya mencapai asma yang terkontrol dapat terwujud.

Dari uraian di atas, dinyatakan bahwa penyakit asma adalah penyakit yang sudah diketahui patogenesisnya dan sudah tersedia obatnya. Namun, prevalensinya di masyarakat masih cenderung meningkat. Karena itu, untuk upaya antisipasinya, perlu diperoleh informasi berkenaan dengan hal ini melalui pelaksanaaan penelitian tentang: “Gambaran penggunaan obat asma pada pasien asma di puskesmas Kota Medan, tahun 2014”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: Bagaimana gambaran penggunaan obat asma pada pasien asma yang berobat di puskesmas Kota Medan, tahun 2014?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan umum

Untuk mengetahui gambaran penggunaan obat asma pada pasien asma di puskesmas Kota Medan, tahun 2014.


(17)

1.3.2. Tujuan khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah :

1.3.2.1. Untuk mengetahui sebaran rentang umur, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan dan pekerjaan pasien asma yang berobat di puskesmas Kota Medan, tahun 2014.

1.3.2.2. Untuk memeroleh berbagai informasi berkenaan dengan obat yang digunakan pasien asma yang berobat ke puskesmas Kota Medan, tahun 2014 (jenis obat yang digunakan, cara menggunakan obat, cara mengevaluasi keberhasilan penggunaan obat asma).

1.3.2.3. Untuk mengetahui jumlah pasien asma terkontrol, terkontrol sebagian, dan tidak terkontrol di puskesmas Kota Medan.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Bagi peneliti, memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan penelitian dan mengaplikasi ilmu yang telah dipelajari.

1.4.2. Bagi masyarakat, dapat mengetahui kondisi penggunaan obat asma di kalangan masyarakat, sehingga dapat mawas diri dan segera melakukan koreksi untuk penatalaksanaan asma, bila hasil pengobatan asma tidak seperti yang diharapkan.

1.4.3. Bagi sistem pelayanan kesehatan, sebagai masukan untuk upaya perbaikan pada kebijakan pengadaan dan penggunaan obat asma dalam bentuk sediaan inhalasi pada sistem pelayanan kesehatan.


(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi asma

Asma dikenal sebagai penyakit alergi, biasanya dimulai pada masa kanak-kanak, dengan karakteristik obstruksi aliran udara yang reversibel dan bersifat episodik dan prognosis yang menguntungkan karena responnya yang baik terhadap obat anti inflamasi (Papaiwannou et al., 2014).

GINA (2012) dengan spesifik mendefinisikan asma menurut karakteristiknya secara klinis, fisiologis, dan patologis. Secara klinis, adanya episodik sesak napas terutama pada malam hari, sering disertai dengan batuk yang merupakan ciri utamanya. Karakteristik utama fisiologisnya yaitu, terdapat obstruksi saluran napas dengan keterbatasan aliran udara ekspirasi. Berdasarkan patologisnya terdapat inflamasi jalan napas yang berhubungan dengan perubahan struktur jalan napas. Asma melibatkan komponen genetik dan lingkungan, dengan patogenesisnya belum jelas, sehingga penjelasan operasional asma menurut konsekuensi secara fungsional dari inflamasi jalan napas yaitu, merupakan penyakit inflamasi kronik pada jalan napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan episode berulang mengi, sesak napas, sesak di dada, dan batuk terutama saat malam atau dini hari. Episode ini bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.

Dijelaskan dalam ICSI (2012), penyakit inflamasi jalan napas ini melibatkan sel-sel inflamasi seperti eosinofil, makrofag, sel mast, sel epitelial, dan juga mengaktivasi limfosit yang mengeluarkan berbagai sitokin, molekul adhesi dan mediator lainnya. Ciri lain yaitu hiperesponsifitas terhadap rangsangan alergen, iritan lingkungan, infeksi virus dan olahraga, dimana setiap penderita memiliki stimulus yang tidak selalu sama (Djojodibroto, 2012).


(19)

2.2. Faktor resiko

Faktor yang mempengaruhi resiko terjadinya asma dapat dibagi menjadi faktor yang menyebabkan perkembangan asma, faktor penjamu (genetik) dan faktor yang memicu asma, faktor lingkungan. Bukan hanya kedua faktor tersebut yang berperan tetapi juga diperlukan adanya interaksi antara keduanya dan telah diketahui gen yang berhubungan dengan interaksi gen-lingkungan misalnya CD14, TLR2 dan TLR4 (Vercelli, 2010).

Gambar 2.2.1 Faktor penjamu dan faktor lingkungan

Sumber : Dewan Asma Indonesia Faktor Penjamu

Genetik, misalnya • Genetik atopi • Genetik

hipereaktivitas bronkus • Genetik asma Obesiti

Jenis kelamin

Faktor Lingkungan Alergen

• Dalam ruangan : tungau domestik, serpihan kulit, bulu binatang

(anjing,kucing), kecoa, jamur, dll.

• Luar ruangan : tepung sari, jamur, infeksi terutama virus Sensitisasi lingkungan : dalam rumah, luar rumah dan tempat kerja

• Asap rokok (aktif & pasif) • Asap dapur (biomassa, gas) • Asap kendaraan

• Asap pabrik


(20)

2.3. Patogenesis asma

Keterbatasan aliran udara yang masuk disebabkan oleh banyaknya faktor yang berperan dalam patogenesis asma. Faktor utama yaitu terjadi inflamasi pada saluran napas. National Heart, Lung, and Blood Institute dalam Expert Panel Report 3 (2007) menjelaskan ada beberapa perubahan yang terjadi pada jalan napas. Perubahan yang utama adalah kontraksi otot polos bronkus sehingga saluran napas menjadi sempit . Hal ini merupakan respon utama terhadap paparan berbagai rangsangan termasuk alergen atau zat iritan. IgE terutama sebagai antibodi pada reaksi alergi fase cepat setelah fase sensitisasi. Alergen yang masuk diendositosis oleh APCs, terdeteksi oleh sel T lalu sel T berdiferensiasi menjadi sel Th2. Selanjutnya, sel Th2 menginduksi produksi IgE oleh sel B. IgE kemudian menempel pada reseptor nya di permukaan sel mast dan basofil (Ishmael, 2011). Akibat aktivasi oleh antigen ini maka dilepaskan mediator-mediator yang menginisiasi bronkospasme seperti histamin, leukotriens, tryptase, prostaglandin D2 dan mediator inflamasi sitokin lainnya.

Proses inflamasi yang progresif dan persisten membuat aliran udara semakin terbatas. Banyak sel yang berperan dalam proses inflamasi ini, dimana melibatkan peningkatan eosinofil dan sitokin Th2 sebagaimana juga digunakan sebagai biomarker dalam pengobatan (Manuyakorn, 2012). Meningkatnya jumlah eosinofil berkorelasi dengan derajat keparahan asma karena eosinofil mengandung enzim-enzim inflamasi, leukotriens, dan sitokin pro-inflamasi. Th2 dan IL-5 yang dihasilkan oleh sumsum tulang meningkatkan jumlah eosinofil (Ishmael, 2011). Selanjutnya eosinofil akan masuk ke matriks saluran napas dan bertahan lama akibat adanya IL-4 dan GM-CSF. IL-4 penting untuk diferensiasi Th2, dan diperlukan IL-13 untuk pembentukan IgE. Banyaknya mediator yang berperan tersebut menyebabkan inflamasi yang persisten, termasuk edema lokal, hipersekresi mukus, hipertropi serta hiperplasia otot polos jalan napas (NHLBI, 2007).

Hiperresponsif jalan napas termasuk dalam salah satu fakto resiko dalam perkembangan gejala asma pada dewasa dan anak-anak, yang terkait dengan


(21)

keparahan gejala, penurunan fungsi paru, dan sebagai penentu pengobatan. Hiperresponsif bronkus merupakan respon obstruksi jalan napas yang berlebihan akibat stimulus obat-obatan, kimia dan fisik termasuk histamin, metakolin, AMP, sulfur dioksida, asap, dan udara dingin (Meurs et al., 2008).

Struktur utama jalan napas yaitu sel epitel, fibroblas, dan sel otot polos. Respon terhadap inflamasi adalah dengan perbaikan jalan napas, akan tetapi perbaikan jalan napas pada penderita asma merupakan perbaikan patologis dengan perubahan struktur jalan napas yang disebut remodelling. Remodelling mempunyai karakteristik penebalan subepitel oleh karena deposisi kolagen, denudasi epitel dengan metaplasia sel goblet, meningkatkan lapisan otot polos, angiogenesis, dan masuknya komponen matriks ekstraselular seperti kolagen, proteoglikan, glikoprotein pada dinding saluran napas (Manuyakorn, 2014).

2.4. Diagnosis asma

Diagnosis asma bisa ditegakkan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesa berupa keluhan utama, riwayat penyakit keluarga, faktor yang memperberat atau memperingan gejala, bagaimana dan kapan terjadinya keluhan. Karakteristik gejala asma yaitu lebih dari satu gejala berupa mengi, sesak napas, batuk, dada terasa berat, yang semakin buruk saat malam atau pagi hari dengan waktu dan intensitas yang bervariasi, bisa dipicu oleh infeksi virus, olahraga, paparan allergen, perubahan cuaca, serta bahan iritan seperti asap (GINA, 2014).

Simptom yang dikeluhkan pasien sangatlah bervariasi, dengan pemeriksaan fisik auskultasi, temuan abnormal yang paling sering didapatkan adalah mengi. Mengi (wheezing) adalah napas yang berbunyi seperti suling yang menunjukkan adanya penyempitan saluran napas, baik secara fisiologis (oleh karena dahak) maupun secara anatomik (oleh karena konstriksi) (Djojodibroto, 2012). Namun, mengi kadang tidak ditemukan atau hanya ditemukan bila dengan ekspirasi paksa saat eksaserbasi asma yang berat, hal ini disebut juga silent chest.


(22)

Untuk menegakkan diagnosis asma dibutuhkan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan fungsi paru. Pemeriksaan fungsi paru sebagai paramater objektif yang standar dipakai yaitu pemeriksaan spirometri dan peak expiratory flow (PEF). Pemeriksaan spirometri dan PEF sangat membutuhkan kemampuan dan kerjasama penderita bersamaan dengan pemahaman yang jelas oleh intruksi pemeriksa. Spirometer adalah alat pengukur faal paru yang penting dalam menegakkan diagnosa untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan (Rengganis, 2008).

Peak flow meter yang merupakan alat sederhana dibuat untuk monitoring dan bukan alat diagnostik, karena dengan spirometer lebih sensitif dari PFM. Namun PEF dapat menegakkan diagnosa asma jika pasien tidak bisa melakukan pemeriksaan FEV1 (Rengganis, 2008). Monitor PEF dibuat untuk self-monitoring untuk melihat respon pengobatan. Setelah menggunakan ICS, monitor PEF jangka pendek dilakukan dua kali sehari selama 3 bulan.

Pemeriksaan foto thorax, pemeriksaan IgE, tanda inflamasi, dan uji hiperaktivitas bronkus juga dapat membantu menegakkan diagnosa asma. Foto thorax dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma. Skin prick test untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik pada kulit dimana uji ini untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus. Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Uji hiperreaktivitas bronkus dapat dilakukan dengan tes provokasi, dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik (Rengganis, 2008).

2.5. Klasifikasi asma

Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat keparahan atau asma terkontrol. Berat-ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi β-2 agonis dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi


(23)

pemakaian obat). Tidak ada suatu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu penyakit. Pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat menentukan klasifikasi menurut berat-ringannya asma dan sangat penting dalam penatalaksanaan asma.

Tabel 2.5.1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis

Derajat asma

Gejala Gejala malam

Faal paru

Intermitten Bulanan APE≥80%

- Gejala<1x/minggu .

- Tanpa gejala diluar serangan. - Serangan singkat.

≤ 2 kali sebulan

- VEP1≥80% nilai prediksi APE≥80% nilai terbaik. - Variabiliti

APE<20%.

Persisten ringan Mingguan APE>80%

- Gejala>1x/minggu tetapi<1x/hari. - Serangan dapat

mengganggu aktifiti dan tidur

>2 kali sebulan

- VEP1≥80% nilai prediksi APE≥80% nilai terbaik. - Variabiliti APE

20-30%.

Persisten sedang Harian APE 60-80%

- Gejala setiap hari. - Serangan

mengganggu aktifiti dan tidur. - Membutuhkan

bronkodilator setiap hari.

>2 kali sebulan

- VEP1 60-80% nilai prediksi APE 60-80% nilai terbaik. - Variabiliti

APE>30%.

Persisten berat Kontinyu APE 60≤%

- Gejala terus menerus - Sering kambuh - Aktifiti fisik

terbatas

Sering - VEP1≤60% nilai prediksi

APE≤60% nilai terbaik


(24)

Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2004 2.6. Penatalaksanaan asma

Tujuan penatalaksanaan asma adalah untuk mencapai asma terkontrol agar memiliki kualitas hidup baik yang tidak mengganggu aktivitas dan mencegah kematian saat serangan. Penatalaksaan asma ini dikutip berdasarkan GINA (2012), yang mengklasifikasikan pengobatan asma menjadi dua yaitu sebagai obat kontrol asma (controllers) dan obat pelega asma (reliever).

Obat controllers adalah obat asma yang digunakan setiap hari dalam jangka waktu panjang pada asma persisten untuk mencegah asma menjadi semakin parah dan mempertahankan asma menjadi terkontrol melalui interaksi dengan proses inflamasi. Sebagai berikut adalah jenis-jenis obat pengontrol :

a. Kortikosteroid inhalasi

Kortikosteroid inhalasi mempunyai efek anti-inflamasi terhadap sel dan jaringan spesifik. Kortikosteroid yang masuk secara langsung dan diabsopsi di paru akan berikatan dengan reseptornya, menghambat sintesis sitokin proinflamasi, dan menurunkan jumlah sel T limfosit, sel dendrit, eosinofil juga sel mast. Penggunaan kortikosteroid inhalasi menunjukkan perbaikan fungsi paru, menurunkan hiperesponsif bronkus, menurunkan eksaserbasi asma dalam kunjungan gawat darurat (Raissy et al, 2013). Kepatuhan menggunakan obat ini menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat asma dengan perkiraan 21% penurunan resiko kematian akibat serangan asma (Sloan et al, 2013).

Efek samping yang mungkin pada penggunaan kortikosteroid inhalasi lebih minimal daripada kortikosteroid sistemik. Hal ini bergantung pada dosis, potensi bioavailabiliti, metabolisme hati, dan waktu paruhnya. Obat inhalasi kortikosteroid dosis tinggi yang digunakan jangka panjang bisa menimbulkan efek

- Variabiliti APE>30%


(25)

sistemik seperti purpura, supresi adrenal dan penurunan densitas tulang. Namun, dengan menggunakan spacer dapat mengurangi efek samping sistemik dengan menurunkan bioavailabiliti. Selain itu, spacer juga membantu untuk mengurangi efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia, dan batuk akibat iritasi saluran napas atas.

b. Kortikosteroid sistemik

Penggunaan kortikosteroid jangka lama lebih direkomendasikan secara inhalasi daripada sistemik akibat efek samping pemberian sistemik lebih serius. Namun, pemberian sistemik dapat diberikan pada penderita asma persisten berat yang tidak terkontrol. Penggunaan sistemik secara oral lebih dianjurkan dari parenteral (intramuskular, intravena, subkutan) karena pertimbangan waktu paruh oral lebih singkat dan efek samping yang muncul lebih sedikit.

Efek samping yang ditakutkan misalnya osteoporosis, hipertensi, diabetes, obesitas, penekanan axis hipotalamus-hipofisa-korteks adrenal, purpura, penipisan kulit, striae, disfoni.

c. Agonis beta-2 kerja lama (Long-acting β2-agnonist) inhalasi

Mekanisme kerja obat beta-2 agonis yaitu melalui reseptor β2 yang mengakibatkan relaksasi otot polos bronkus. Formoterol dan salmeterol termasuk dalam golongan LABA ini, kedua obat itu memiliki lama kerja obat >12 jam. Namun, obat golongan LABA sebaiknya tidak digunakan sebagai monoterapi jangka panjang karena tidak mempengaruhi respon inflamasinya justru meningkatkan angka kesakitan dan kematian. LABA dikombinasi dengan kortikosteroid inhalasi telah terbukti sangat efektif dalam mengurangi gejala asma dan eksaserbasi dengan menunjukkan hasil fungsi paru yang lebih baik. Kombinasi LABA dan kortikosteroid inlamasi hanya direkomendasikan untuk pasien yang gagal mencapai asma terkontrol dengan kortikosteroid dosis rendah-medium.


(26)

Kromolin dan nedokromil merupakan obat alternatif dalam pengobatan asma persisten ringan. Kromglikat dan nedokromil memiliki sifat yang sama yaitu sebagai obat anti-inflamasi. Obat ini memblok kanal klorida dan modulasi pelepasan mediator sel mast dan eosinofil (NHLBI, 2007). Kromolin juga bisa menghambat reaksi asma fase cepat dan fase lambat, meskipun permulaan percobaan obat ini hanya berperan pada sel mast untuk mensupresi pengeluaran histamin, ternyata dapat menghambat generasi sitokin juga (Yazid et al, 2013). Namun, efek anti-inflamasi kromolin lemah dan kurang efektif jka dibandingkan dengan inhalasi kortikosteroid dosis rendah.

e. Methyxanthine

Teofilin merupakan derivat xantin. Efek terpenting xantin ialah relaksasi otot polos bronkus, terutama bila otot bronkus dalam keadaan konstriksi. Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap reseptor adenosin maupun inhibisi PDE (fosfodiesterase). Adenosin dapat menyebabkan bronkokonstriksi pada pasien asma dan memperkuat penglepasan mediator dari sel mast. Oleh karena teofilin merupakan antagonis kompetitif reseptor adenosin, maka hal ini yang mengatasi bronkokonstriksi pasien asma. Selain itu, penghambatan PDE mencegah pemecahan cAMP dan cGMP sampai terjadi akumulasi cAMP dan cGMP dalam sel yang mengakibatkan relaksasi otot polos termasuk otot polos bronkus (Louisa dan Dewoto, 2011).

Telah dilakukan berbagai penelitian bahwa teofilin efektif sebagai kontrol gejala dan perbaikan terhadap fungsi paru, sehingga teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai pengontrol. Kombinasi kortikosteroid dengan teofilin sebagai alternatif menunjukkan perbaikan fungsi paru namun teofilin tidak lebih efektif dari inhalasi beta-2 agonis.

f. Leukotriene modifiers

Mekanisme kerja obat ini adalah menghambat reseptor cysteinyl-leukotriene 1 (CysLT1) dan enzim 5-lipoksigenase. Leukotrin merupakan derivat asam arakidonat. Asam arakidonat dipecah fosfolipase A2 menjadi arakidonat bebas.


(27)

Enzim 5-lipoksigenase ini selanjutnya mengkonversi asam arakidonat bebas menjadi leukotrin A4 dan akhirnya akan diubah menjadi leukotrin C4, D4, E4. Leukotrin yang sudah terbentuk berikatan dengan reseptornya yaitu CysLT1 yang ditemukan pada eosinofil, monosit, sel-sel otot polos saluran napas, neutrofil, sel B, sel plasma, dan makrofag jaringan. Dari mekanisme di atas, terlihat bahwa leukotrin dianggap sebagai mediator inflamasi yang mampu mengaktivasi eosinofil, meningkatkan permeabilitas mikrovaskuler, sekresi mukus, proliferasi dan penyempitan otot polos, serta diduga efek bronkokonstriksi yang disebabkan oleh leukotrin lebih besar daripada efek oleh histamin (Scichilone, 2013).

Leukotriene modifiers digunakan sebagai terapi tambahan dengan kombinasi inhalasi glukokortikosteroid. Namun, beberapa penelitian mengatakan bahwa leukotriene modifiers kurang efektif jika dibandingkan dengan inhalasi β2 agonis sebagai tambahan terapi. Zileuton menghambat langsung kerja enzim 5-lipoxygenase; montelukas, pranlukas, dan zafirlukas menghambat reseptor leukotrin.

Prinsip kerja obat pelega (relievers) adalah sebagai bronkodilator untuk membantu mengatasi bronkokonstriksi jalan napas dan gelaja yang menyertainya seperti sesak, mengi, batuk, dan dada terasa berat.

a. Short-actingβ2 agonis inhalasi (SABA)

SABA merupakan obat yang paling efektif mengatasi bronkospasme saat eksaserbasi asma akut dan juga dapat mencegah exercice-induced asthma. Golongan SABA dapat diberikan secara inhalasi, oral, atau parenteral. Namun pemberian yang lebih direkomendasikan adalah dengan inhalasi karena mempertimbangkan kerja obat yang cepat juga efek samping yang minimal. SABA memiliki mekanisme sama seperti obat β2 agonis lain yaitu dengan merelaksasi jalan napas, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permiabilitas vaskuler, dan memodulasi penglepasan mediator dari sel mast dan eosinfil. Yang termasuk obat golongan SABA adalah salbutamol, levalbuterol, biltolterol, pirbuterol, isoproterol, metaproternol, terbutaline,epinephrine.


(28)

b. Anticholinergic

Obat golongan ini berupa ipatropium dan oxitropium bromida. Mekanisme kerja obat golongan ini adalah sebagai bronkodilatasi dengan kompetitf menghambat reseptor muskarinik kolinergik, menurunkan tonus intrinsik vagus, blokade reflex bronkokonstriksi akibat zat iritan atau reflux esofagus, dan menurunkan sekresi mukus. Pemberian secara inhalasi bronkodilator antikolinergik ini kurang efektif jika dibandingkan dengan SABA. Namun, Obat ini dapat diberikan pada pasien yang tidak respon terhadap SABA atau sebagai alternatif pada penderita yang memilik efek samping seperti takikardi, aritmia, tremor dengan pemakaian SABA.

c. Methylxantin

Pemberian teofilin dapat dipertimbangkan karena efek bronkodilatasinya akibat inhibisi aktivitas PDE untuk mengatasi gejala asma. Tetapi efek bronkodilatasinya lebih lemah dari short-acting beta-2 agonis. Penambahan teofilin kerja singkat dengan obat golongan SABA tidak memperkuat respon bronkodilatasi namun dapat bermanfaat untuk respiratory drive. Pemberian teofilin kerja singkat tidak dianjurkan pada pasien yang sudah mendapat terapi teofilin lepas lambat kecuali ada dilakukan monitoring kadarnya dalam darah. Tabel 2.6.1. Pengobatan sesuai berat asma

Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila dibutuhkan, tidak melebihi 3-4 kali sehari.

Berat Asma Medikasi pengontrol harian

Alternatif / Pilihan lain Alternatif lain Asma

Intermiten

Tidak perlu --- ---

Asma Persisten Ringan

Glukokortikosteroid inhalasi

(200-400 ug BD/hari atauekivalennya)

· Teofilin lepas lambat · Kromolin

· Leukotriene modifiers

---

Asma Persisten

Kombinasi inhalasi Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD

Ditambah agonis


(29)

Sedang glukokortikosteroid (400-800 ug BD/hari atau ekivalennya) dan

agonis beta-2 kerja lama

atau ekivalennya) ditambah

Teofilin lepas lambat ,atau

Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD

atau ekivalennya) ditambah

agonis beta-2 kerja lama oral, atau

·

Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 ug BD atau ekivalennya) atau

·

Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah leukotriene modifiers beta-2 kerja lama oral, atau · Ditambah teofilin lepas lambat Asma Persisten Berat Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (> 800 ug BD atau ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama, ditambah ≥ 1 di bawah ini: - teofilin lepas lambat

- leukotriene modifiers

Prednisolon/

metilprednisolon oral selang sehari 10 mg ditambah agonis beta-2 kerja lama oral, ditambah


(30)

-

glukokortikosteroid Oral

Semua tahapan : Bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak 3 bulan, kemudian turunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal mungkin dengan kondisi asma tetap terkontrol


(31)

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif murni. Berdasarkan tujuannya, kerangka konsep penelitian: “Gambaran penggunaan obat asma pada pasien asma yang berobat ke puskesmas Kota Medan, tahun 2014”dapat dijabarkan seperti diagram di bawah ini (Gambar 3.1):

Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian 3.2. Definisi Operasional

3.2.1. Variabel 3.2.1.1. Pasien asma:

Pasien asma yang diteliti adalah: setiap pasien yang datang berobat ke puskesmas dan didiagnosa menderita asma, dengan gejala klinis berupa mengi, sesak napas, batuk, dada terasa berat.

- Umur

- Jenis kelamin - Status perkawinan - Pendidikan

- Pekerjaan - Jenis obat

- Cara menggunakan obat - Cara evaluasi keberhasilan penggunaan obat

- Asthma Control Test Gambaran penggunaan

obat asma di Puskesmas kota Medan, tahun 2014


(32)

3.2.1.2. Obat pelega adalah obat yang melebarkan bronkus (bronkodilator).

SABA (Salbutamol, terbutalin, fenoterol, levalbuterol HFA, reproterol, pirbuterol, prokaterol); LABA (Salmeterol, bambuterol, prokaterol, formoterol); Anti-muscarinic kerja singkat (ipratropium); Anti-muscarinic kerja lama (tiotropium); xantin (theophyllin, aminophyllin).

3.2.1.3. Obat pengontrol adalah obat yang dapat menekan proses inflamasi yang terjadi di saluran pernapasan.

Corticosteroid inhalasi (Fluticasone, budesonide, beclomethasone, ciclesonide, flunisolide, mometasone, triamcinolone); corticosteroid sistemik (Metilprednisolon, prednisolon); LABA (Salmeterol, bambuterol, prokterol, formoterol); Cromolyn; Anti-leukotriene (montelukast, pranlukast, zafirlukast)

3.2.1.4. Alat inhalasi adalah: alat yang digunakan untuk memberikan obat dengan dihirup, diisap, atau diberi uap.

Tabel 3.2.1.4. Gambar alat inhalasi


(33)

Turbuhaler Rotahaler

Diskhaler Nebulizer

3.2.1.5. Peak Flow Meter adalah alat yang dipakai untuk mengukur ekspirasi maksimal dengan nilai normal 400-650 l/min.

3.2.1.6. Asthma Control Test / ACT adalah kuesioner yang berisi 5 pertanyaan untuk menentukan pasien asma dengan:

asma terkontrol (score 25)

asma terkontrol sebagian (score 20-24) asma tidak terkontrol (score ≤19).

3.2.2. Alat ukur : kuesioner 3.2.3. Cara pengukuran : wawancara


(34)

3.2.4. Skala ukur : nominal

3.2.5. Hasil ukur : Gambaran penggunaan obat pada pasien asma yang berobat ke puskesmas kota Medan, tahun 2014 yang didapat dari kuesioner dan disajikan dalam tabel frekuensi distribusi.


(35)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan cross-sectional untuk mengamati gambaran penggunaan obat asma pada pasien asma di puskesmas Kota Medan pada saat itu juga.

4.2. Lokasi dan waktu penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di puskesmas Kota Medan pada bulan Juli sampai Oktober 2014.

4.3. Populasi dan data sampel 4.3.1. Populasi

Populasi target penelitian ini mencakup semua pasien asma, dimana dalam penelitian ini populasi yang terjangkau adalah pasien asma yang didiagnosa di puskesmas Kota Medan.

4.3.2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini merupakan bagian dari populasi terjangkau yang dipilih dengan cara Cluster Sampling yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut:

Kriteria inklusi: Pasien yang didiagnosa menderita asma di puskesmas Kota Medan.


(36)

Gambar 4.3.2. Kecamatan Kota Medan (Pemko, 2011)

Kota Medan terbagi menjadi 21 Kecamatan. Peneliti membagi Kecamatan Kota Medan menjadi 5 wilayah untuk mewakili Kota Medan. Dari setiap wilayah, masing-masing dipilih satu puskesmas untuk mewakili Kota Medan.

Puskesmas yang terpilih adalah sebagai berikut: 1. Puskesmas Bromo, Kec. Medan Denai

2. Puskesmas Kampung Baru, Kec. Medan Maimun 3. Puskesmas Desa Lalang, Kec.Medan Sunggal 4. Puskesmas Sentosa Baru, Kec. Medan Perjuangan 5. Puskesmas Belawan, Kec. Medan Belawan


(37)

4.3.3. Besar sampel

Penghitungan besar sampel menggunakan rumus : (Sastroasmoro, 2013) n = Zα ² PQ

n = (1,96)² × 0.5 × (1-0,5) (0,1)²

n = 96,04 n = besar sampel

Zα = deviat baku normal untuk α

P = proporsi, yang digunakan dalam penelitian ini adalah 0,5 D = perbedaan hasil klinis

Jadi, besar sampel yang akan diambil adalah sebanyak 100 responden dengan 20 responden untuk setiap puskesmas yang sudah dipilih. 4.4. Metode pengumpulan data

Pengumpulan data dalam penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan wawancara dengan alat yang sudah disediakan berupa kuesioner yang akan diberikan kepada setiap pasien asma di puskesmas Kota Medan. Setelah kuesioner telah diisi, peneliti akan mencatat hasil yang didapat.

4.5. Metode pengolahan dan analisis data

Data kuesioner yang sudah diperoleh akan dilakukan editing, koding, entry, penyimpanan data, kemudian dianalisa dalam data statistik dengan menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solution) untuk mendapat hasil yang sesuai dengan gambaran penggunaan obat asma pada pasien asma di puskesmas Kota Medan.


(38)

4.6. Ethical clearance

Ethical clearance adalah keterangan tertulis yang diberikan oleh komisi etik penelitian untuk penelitian yang melibatkan makhluk hidup (manusia, hewan dan tumbuhan) yang menyatakan bahwa suatu proposal riset layak dilaksanakan setelah memenuhi persyaratan tertentu. Pada penelitian ini, akan diberikan kuesioner kepada pasien asma di puskesmas Kota Medan setelah mendapat persetujuan Ethical Clearance dari Komisi Etik Penelitian Bidang Kesehatan Fakultas Kedokteran USU.


(39)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di lima puskesmas Kota Medan yang dipilih dari 39 puskesmas yang terdapat di Kota Medan yaitu sebagai berikut:

1. Puskesmas Bromo, berlokasi di jalan Rotary, Kecamatan Medan Denai didapatkan sebanyak 16 responden.

2. Puskesmas Kampung Baru, berlokasi di jalan Pasar Senen Kp. Baru, Kecamatan Medan Maimun didapatkan 18 responden.

3. Puskesmas Desa Lalang, berlokasi di jalan Binjai Km.7, Kecamatan Medan Sunggal didapatkan sepuluh responden.

4. Puskesmas Sentosa Baru, berlokasi di jalan Sentosa Baru 22, Kecamatan Medan Perjuangan didapatkan 15 responden.

5. Puskesmas Belawan, berlokasi di jalan Kampar 17, Kecamatan Medan Kota Belawan didapatkan delapan responden.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden

Dalam penelitian ini didapatkan data responden yang berasal dari data sekunder yaitu status rekam medis sebanyak 108 responden yang sudah didiagnosa asma oleh dokter di puskesmas mulai bulan Juli 2014 – Desember 2014 namun pasien yang berhasil diwawancarai melalui kunjungan di puskesmas dan kunjungan ke rumah hanya sebanyak 67 pasien. Data selanjutnya didapat dari data primer dengan wawancara langsung menggunakan kuesioner pada pasien asma. Gambaran karakteristik yang diperoleh dibedakan berdasarkan umur, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan dan pekerjaan. Distribusi frekuensi karakteristik reponden dapat dilihat pada tabel berikut ini.


(40)

Tabel 5.1. Disribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin, Status Perkawinan, Pendidikan, dan Pekerjaan

Karakteristik N (orang) % (persentase)

Umur

≤ 18 tahun 11 16.4

19-25 tahun 5 7.5

26-45 tahun 26 38.8

46-60 Tahun 11 16.4

>60 tahun 14 20.9

Total 67 100.0

Jenis kelamin

Laki-laki 30 44.8

Perempuan 37 55.2

Total 67 100.0

Status perkawinan

Belum menikah 20 29.9

Menikah 43 64.2

Janda/ duda 4 6

Total 67 100.0

Pendidikan

Tidak sekolah 18 26.9

SD 15 22.4

SMP 8 11.9

SMA 21 31.3

Perguruan tinggi 5 7.5

Total 67 100.0

Pekerjaan

Buruh 17 25.4

Ibu rumah tangga 16 23.9


(41)

Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 5.1. didapatkan kelompok umur terbanyak yaitu pada umur 26-45 tahun sebanyak 26 responden (38,8%), kemudian diikuti umur >60 tahun 14 responden (20,9%), terdapat persamaan kelompok umur ≤ 18 tahun dan 46-60 tahun 11 responden (16,4%) , serta umur 19-25 tahun 5 responden (7,5%).

Untuk responden yang berjenis kelamin perempuan sedikit lebih banyak daripada responden laki-laki yaitu 37 orang (55,2%) dan laki-laki sebanyak 30 orang (44,8%).

Status perkawinan dimulai yang terbanyak adalah yang sudah menikah sebanyak 43 orang (64,2%), belum menikah 20 orang (29,9%), dan yang janda/ duda 4 orang (6%).

Tingkat pendidikan terbanyak adalah SMA 21 orang (31,3%), diikuti yang tidak sekolah 18 orang (26,9%), SD 15 orang (22,4%), SMP 8 orang (11,9%), dan perguruan tinggi 5 orang (7,5%).

Responden dengan pekerjaan sebagai buruh berjumlah 17 orang (25,4%), ibu rumah tangga 16 orang (23,9%), pelajar/mahasiswa 11 orang (16,4%), pembantu rumah tangga 4 orang (6,0%), tidak bekerja 3 orang (4,5%), nelayan dan pegawai bank masing-masing 1 orang (1,5%).

Karakteristik N (orang) % (persentase)

Pegawai Bank 1 1.5

Pelajar/ mahasiswa 11 16.4

Pembantu rumah tangga 4 6.0

Wiraswasta 14 20.9

Tidak bekerja 3 4.5


(42)

5.1.2. Deskripsi Gambaran Penggunaan Obat Pasien Asma di Puskesmas Kota Medan

Untuk melihat bagaimana gambaran penggunaan obat pasien asma di puskesmas dapat diperoleh dari pertanyaan kuesioner yang terdiri dari 20 pertanyaaan tentang jenis obat, cara menggunakan obat, dan cara evaluasi keberhasilan penggunaan obat.

Tabel 5.2. Penggunaan obat pasien asma di puskesmas

Pengunaan obat pasien asma n (orang) % (persentase) Sediaan obat yang diberikan

puskesmas:

Tablet 67 100.0

Jumlah 67 100.0

Obat yang diberikan oleh dokter puskesmas:

Obat pelega saja 6 9.0

Obat kontrol saja 5 7.5

Kombinasi pelega dan kontrol 56 83.6

Jumlah 67 100.0

Pemakaian obat saat:

Serangan akut saja 2 3.0

Serangan akut dan stabil 57 85.1

Stabil saja 8 11.9

Jumlah 67 100.0

Obat pengontrol serangan akut

Corticosteroid 55 82.1

Tidak ada 12 17.9

Jumlah 67 100.0

Pemberian obat pengontrol serangan akut dengan cara:


(43)

Karakteristik N (orang) % (persentase)

Tidak ada 12 17.9

Diminum 54 80.6

Dihirup dengan inhaler 1 1.5

Jumlah 67 100.0

Sediaan hirup obat pengontrol untuk serangan akut

Tidak ada 66 98.5

IDT (inhalasi dosis terukur) 1 1.5

Jumlah 67 100.0

Obat pelega saat serangan akut

Tidak ada 8 11.9

SABA 59 88.1

Jumlah 67 100.0

Pemberian obat pelega serangan akut dengan cara

Tidak ada 8 11.9

Diminum 56 83.6

Dihirup dengan inhaler 3 4.5

Jumlah 67 100.0

Sediaan hirup obat pelega untuk serangan akut

Tidak ada 64 95.5

IDT 3 4.5

Jumlah 67 100.0

Pasien yang menggunakaan obat saat stabil

Tidak 36 53.7

Ya 31 46.3


(44)

Karakteristik N (orang) % (persentase) Obat kontrol saat stabil

Tidak ada 38 56.7

Corticosteroid 29 43.3

Jumlah 67 100.0

Pemberian obat kontrol saat stabil dengan cara

Tidak ada 38 56.7

Diminum 29 43.3

Jumlah 67 100.0

Sediaan hirup obat kontrol saat stabil

Tidak menggunakan sediaan inhaler

67 100.0

Obat pelega saat stabil

Tidak ada 38 56.7

SABA 29 43.3

Jumlah 67 100.0

Pemberian obat pelega saat stabil dengan cara

Tidak ada 38 56.7

Diminum 28 41.8

Dihirup/ inhalasi 1 1.5

Jumlah 67 100.0

Sediaan hirup obat pelega saat stabil

Tidak ada 66 98.5

IDT 1 1.5

Jumlah 67 100.0


(45)

Karakteristik N (orang) % (persentase)

Tidak ada 66 98.5

Dua semprotan, setiap 24 jam (1xsehari)

1 1.5

Cara pemberian obat kontrol dan pelega

Diberikan terpisah secara diminum

67 100.0

Disertai evaluasi dengan cara

Tidak dievaluasi 45 67.2

Mengamati gejala klinis 22 32.8

Jumlah 67 100.0

Menurut PFM, dokter anda mengurangi/ menghentikan pengobatan saat:

Tidak pernah melakukan pemeriksaan PFM

67 100.0

Berdasarkan Tabel 5.2. diatas, dapat dilihat bahwa sediaan obat asma yang diberikan puskesmas dalam bentuk tablet kepada 67 orang (100%). Yang mendapatkan kombinasi pelega dan pengontrol sebanyak 56 orang (83,6%). Pemakaian obat pelega dan atau obat pengontrol saat serangan akut dan stabil sebanyak 57 orang (85,1%). Pasien asma yang mendapatkan kortikosteroid sebagai obat kontrolnya sebanyak 55 orang (82,1%), sedangkan yang tidak mendapatkan obat pengontrol sebanyak 12 orang.

Obat pengontrol dipakai dengan cara diminum 54 orang (80,6) dan inhalasi 1 orang (1,5%) dengan alat hirupnya adalah inhalasi dosis terukur (IDT). Penderita asma yang mendapat obat pelega SABA sebanyak 59 orang (88,1%) dengan cara diminum 56 orang (83,6%), dihirup 3 orang (4,5%) dengan alat IDT


(46)

juga. Pasien yang tidak melakukan evaluasi pengobatan sebanyak 45 orang (67,2%) dan hanya mengamati gejala klinis 22 orang (32,8%).

5.1.3. Deskripsi Tingkat Kontrol Asma

Tingkat kontrol asma diperoleh dari 5 pertanyaan yaitu dalam 4 minggu terakhir, seberapa sering asma mengganggu untuk melakukan pekerjaan sehari-hari, seberapa sering sesak napas, seberapa sering asma menyebabkan terbangun malam/ lebih awal, seberapa sering menggunakan obat semprot /oral untuk melegakan pernapasan dan bagaimana tingkat kontrol asma menurut pasien sendiri. Setiap pertanyaan tersebut diberi jawaban dan memperoleh score menjadi asma terkontrol total (score 25), asma terkontrol sebagian (score 20-24), dan tidak terkontrol (score≤19).

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Tes Kontrol Asma (ACT)

Tingkat kontrol n (orang) % (persentase)

Asma terkontrol total 1 1.5

Asma terkontrol sebagian

13 19.4

Asma tidak terkontrol 53 79.1

Jumlah 67 100.0

Berdasarkan Tabel 5.4. tingkat kontrol pasien asma terbanyak adalah tidak terkontrol berjumlah 53 orang (79,1%), asma terkontrol sebagian 13 orang (19,4%), dan asma terkontrol total hanya 1 orang (1,5%).

5.2. Pembahasan

5.2.1. Karakteristik responden berdasarkan umur, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan, dan pekerjaan

Berdasarkan hasil penelitian ini, kelompok umur terbanyak berada pada rentang umur 26-45 tahun (38,8%) yang sesuai dengan hasil penelitian Wahyuni


(47)

(2010) yaitu pada usia dewasa muda <30 tahun (44%). Hasil penelitian Anriyani (2013) juga dengan usia terbanyak pada dewasa usia 31-38 tahun (21,8%) dan berpendapat bahwa asma pada orang dewasa dapat merupakan kelanjutan asma bronkial yang terjadi pada masa kanak-kanak atau asma yang kambuh lagi atau yang pertama kali muncul pada usia dewasa.

Berdasarkan jenis kelamin, dalam penelitian ini didapatkan perempuan lebih banyak sejumlah 37 responden (55,2%) dimana hal ini bersamaan dengan penelitian Wahyuni (2013) 63%, dan lebih tinggi lagi persentase yang didapat berjenis kelamin perempuan oleh Katerine (2014) 75,4%. Menurut Wahyuni, belum ada penyebab jelas kenapa didapatkan prevalensi perempuan dewasa yang lebih banyak namun diduga perempuan lebih perhatian terhadap kesehatannya daripada laki-laki dan mungkin juga disebabkan oleh tingkat kecemasan emosional wanita yang lebih besar dibandingkan laki-laki. Sedangkan menurut Putra (2012) mendapatkan prevalensi dominan pada laki-laki sebanyak 96,08% yang sejalan dengan penelitiannya yang menduga bahwa pada pria dewasa banyak sebagai perokok aktif dimana merupakan faktor risiko menimbulkan eksaserbasi asma namun penelitiannya menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara merokok dan eksaserbasi asma.

Dilihat dari sebaran status perkawinan dimulai yang terbanyak adalah yang sudah menikah sebanyak 43 orang (64,2%), belum menikah 20 orang (29,9%), dan yang janda/ duda 4 orang (6%). Sesuai dengan hasil penelitian Priyanto (2011) sebagian besar pasien asma sudah menikah 77,5%. Ini berkesinambungan dengan usia pasien asma yang banyak pada dewasa muda dimana merupakan usia reproduktif.

Menurut tingkat pendidikan, responden yang tingkat pendidikannya adalah SMA adalah 31,3% yang tidak jauh berbeda dengan jumlah responden dengan tingkat pendidikan SD dan tidak sekolah, dan responden yang tingkat pendidikannya sampai ke perguruan tinggi hanya 7,5%. Berbeda dengan


(48)

penelitian Priyanto (2011) di RS Persahabatan, responden dengan jenjang pendidikan yang terbanyak sampai ke perguruan tinggi 40,2%.

Berdasarkan dari pekerjaan responden sehari-hari buruh merupakan pekerjaan terbanyak pada penelitian sebanyak 25,4%, disusul dengan ibu rumah tangga 23,9%, wiraswasta 20,9%, pelajar/ mahasiswa 16,4%, tidak bekerja 4,5%, nelayan dan pegawai bank masing-masing dengan persertase terkecil yaitu 1,5%. 5.2.2. Penggunaan obat asma pada pasien asma di puskesmas Kota Medan

Puskesmas sebagai unit pelayanan kesehatan tingkat pertama dan terdepan dalam sistem pelayanan kesehatan, melaksanakan upaya kesehatan wajib dan upaya kesehatan pengembangan. Upaya kesehatan wajib harus diselenggarakan oleh setiap puskesmas dan upaya kesehatan pengembangan diselengagarakan disesuaikan dengan masalah, kondisi, kebutuhan, kemampuan dan inovasi serta kebijakan pemerintah daerah setempat ( Kemenkes RI, 2011).

Penelitian tentang gambaran penggunaan obat asma di puskesmas sangatlah minimal. Peneliti mendapat hasil jawaban responden dan observasi peneliti terhadap penggunaan obat di puskesmas maka didapatkan yaitu, sediaan obat yang diberikan oleh puskesmas secara keseluruhan berupa tablet 100%. Dari keseluruhan pemberian sediaan obat tablet yang diberikan merupakan obat generik dimana obat generik dapat meningkatkan pelayanan kesehatan, dari segi ekonomis dapat dijangkau dan tersedia di pelayanan kesehatan (Widodo, 2004). Obat yang diberikan oleh dokter puskesmas kepada penderita asma berupa kombinasi obat pelega dan obat pengontrol sebanyak 83,6% yang memang sudah seharusnya menjadi tatalaksana untuk penyakit asma, namun masih ditemukan pemberian obat pelega saja sebanyak 9% dan obat pengontrol saja 7,5%. Pemakaian obat saat serangan akut dan stabil 85,1%, saat serangan akut saja 3%, saat stabil saja 11,9%. Penatalaksanaan asma yang adekuat seharusnya dilaksanakan saat pasien berada di luar serangan dengan kombinasi anti-inflamasi dan bronkodilator. Obat yang dianjurkan sebaiknya kombinasi corticosteroid dan LABA.


(49)

Berdasarkan hasil penelitian secara keseluruhan, jenis obat pengontrol saat serangan akut yang diberikan adalah corticosteroid 82,1% diberikan secara diminum 80,6% dan tidak ada obat yang diberikan dalam sediaan hirup 98,5%. Terdapat sediaan hirup berupa IDT 1,5% berdasarkan pengakuan responden sediaan hirup tersebut diperoleh dari rumah sakit setelah mendapat surat rujukan dari puskesmas. Obat pelega saat serangan akut yang dipakai hanyalah SABA saja (88,1%) . Hal ini mungkin disebabkan karena penelitian yang dilakukan hanya di lima puskesmas dari 39 puskesmas yang ada di Kota Medan sehingga peluang mendapat obat golongan lain juga kecil. Selain itu, penggunaan obat aminofilin/ teofilin dengan harga yang jauh lebih murah tidak didapatkan dalam penelitian ini hal ini disebabkan obat golongan SABA bekerja lebih efektif sebagai pelega juga efek samping karena aminofilin/ teofilin yang mungkin lebih tidak dapat ditoleransi. Obat pelega yang dipakai secara diminum (83,6) dan dihirup dengan inhaler dengan IDT (4,5%). Dari hasil ini dapat dilihat bahwa penggunaan obat di puskesmas belum ada yang diberikan secara inhalasi yang seharusnya tersedia. Selanjutnya, pasien di puskesmas yang tidak menggunakan obat saat stabil sebanyak 53,7% ini berhubungan dengan penelitian Priyanto (2011) yang menyatakan alasan utama pasien adalah karena tidak adanya biaya. Dalam hal ini di Indonesia membuat terobosan baru yaitu dengan BPJS (Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial) untuk seluruh penduduk agar memperoleh manfaat pemeliharaan dasar kesehatannya yang handal, unggul dan terpercaya paling lambat 1 Januari 2019.

Selain pengobatan yang adekuat untuk pasien asma, harus dilakukan monitoring terhadap keberhasilan pengobatan yang diberikan yaitu pemeriksaan fungsi paru dengan peak flow meter atau spirometer. Berdasarkan hasil penelitian semua responden tidak pernah melakukan evaluasi peak flow meter tersebut di puskesmas. Namun banyak responden yang mengaku bahwa mereka datang ke puskesmas untuk pengobatan asmanya dengan hanya mengamati gejala klinis (32,8%). Disini dapat dilihat pelayanan kesehatan di puskesmas yang merupakan


(50)

ujung tombak pelayanan kesehatan belum memadai dalam sarana dan pelaku medis.

5.2.3. Tingkat kontrol asma

Tingkat kontrol pasien asma terbanyak adalah tidak terkontrol berjumlah 53 orang (79,1%), asma terkontrol sebagian 13 orang (19,4%), dan asma terkontrol total hanya 1 orang (1,5%). Ini sesuai dengan penelitian Katerine (2014) dengan asma tidak terkontrol 55,4%.

5.3. Kendala-kendala dalam penelitian

1. Sampel penelitian tidak memenuhi minimal pengambilan sampel, kendalanya akibat data dari rekam medis yang tidak lengkap dan tidak jelas dalam penulisan alamat dan juga diagnosanya.


(51)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian di atas, dapat diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Pasien asma di puskesmas yang menderita asma terbanyak adalah rentang umur 26-45 tahun 38,8%, jenis kelamin perempuan (55,2%), status perkawinan sudah menikah (64,2%), pendidikan SMA (31,3%), pekerjaan sebagai buruh (25,4%).

2. Sediaan obat pelega dan pengontrol yang diberikan puskesmas masih bentuk tablet yaitu 67 orang (100%). Obat yang diberikan dokter puskesmas kombinasi pelega dan pengontrol (83,6%), yang dipakai saat serangan akut dan stabil (85,1%),

3. Pada penelitian ini, jenis obat corticosteroid sebagai obat pengontrol dan golongan SABA sebagai pelega digunakan dengan cara diminum, selain itu pemeriksaan fungsi paru yaitu dengan Peak Flow Meter tidak dilakukan di puskesmas sebagai evaluasi pengobatan (100%).

4. Tingkat kontrol asma yang terbanyak adalah asma tidak terkontrol 79,1%, asma terkontrol sebagian 19,4%, asma terkontrol total 1,5%.


(52)

6.2. Saran

1. Bagi sistem pelayanan kesehatan, agar dapat meningkatkan kualitas pelayanan khususnya pada penggunaan obat asma di puskesmas dan memperbaiki kebijakan penggunaan obat asma dalam bentuk sediaan inhalasi dan mengadakan pemeriksaan fungsi paru dengan peak flow meter untuk monitor keberhasilan pengobatan.

2. Bagi puskesmas, dapat memaksimalkan kelengkapan dan kejelasan data rekam medis.

3. Bagi mahasiswa kedokteran, untuk lebih lagi mempelajari bagaimana diagnosis dan tatalaksana yang tepat dan adekuat khususnya untuk penyakit asma karena merupakan kompetensi 4A yang harus bisa ditatalaksana sampai tuntas.


(53)

DAFTAR PUSTAKA

Anriyani, D., 2013. Karakteristik penderita asma bronchial rawap inap di rumah sakit umum daerah langsa tahun 2009-2012.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2013. Laporan hasil riset kesehatan dasar . Badan penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik

Indonesia. Jakarta.

Djojodibroto, R.D., 2012. Penyakit non-infeksi saluran pernapasan. In: Respirologi. Jakarta: ECG, 105-127.

Global Initiative for Asthma, 2014. Global Strategy for Asthma Management and Prevention. Available from 2014]

Institute for Clinical Systems Improvement, 2012. Diagnosis and management of

asthma. Available from

Ishmael, T., Faoud, 2011. The inflammatory response in the pathogenesis of asthma. JAOA. 111(11): S11-S17.

[Accessed 25 March 2014].

Katerine, Medison, I., Rustam, E, 2014. Hubungan tingkat pengetahuan mengenai asma dengan tingkat kontrol asma. Jurnal Kesehatan Andalas 2014. 3(1) Konsil Kedokteran Indonesia, 2012. Standar Kompetensi Dokter Indonesia.

Jakarta. Konsil Kedokteran Indonesia.

Manuyakorn, Wiparat, 2014. Airway remodelling in asthma: role for mechanical forces. Asia Pac Allergy. 4:19-24.

Meurs, H., Gosens, R. & Zaagsma, J., 2008. Airway hyperresponsiveness in asthma : lessons from in vitro model systems and animal models. Eur Respir J. 32: 487-502.

NHLBI, 2007. The Expert Panel Report 3 : Guidelines for the diagnosis and management of asthma. Available from:


(54)

March 2014].

Papaiwannou, A., et al., 2014. Asthma-chronic obstructive pulmonary disease overlap syndrome (ACOS): current literature review. J Thorac Dis. 6(S1): S146-S151.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2004. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Asma Di Indonesia. Jakarta.

Putra, S. P., Khairsyaf, O., Julizar, 2012. Hubungan derajat merokok dengan eksaserbasi asma pada pasien asma perokok aktif di bangsal paru RSUP DR. M. Djamil Padang tahun 2007-2010. Jurnal Kesehatan Andalas. 2012. 1(1)

Priyanto, H., Yunus, F., Wiyono, W.H., 2011. Studi perilaku kontrol asma pada pasien yang tidak teratur di RS persahabatan. J respir Indo 31(3)

Raissy, H. H., Kelly, H. W., Harkins, M. & Szefler, S. J, 2013. Inhaled

corticosteroids in lung diseases. Am J Respir Crit Care Med. 187: 798-803

Rengganis, I., 2008. Diagnosis dan tatalaksana asma bronkial. Maj Kedokt Indon. 58(11): 444-451.

Sastroasmoro, S. & Ismael, S., 2013. Perkiraan besar sampel. In: Madiyono, B. et al. (eds). Dasar-dasar metodologi penelitian. 4th ed. Jakarta: Sagung Seto, 348-381.

Scichilone, N., et al. 2013. Safety and efficacy of montelukast as adjunctive therapy for treatment of asthma in elderly patients. Clin Interv Aging. 8: 1329-1337

Sloan, D., Chantel, et al. 2013. Reactive versus proactive patterns of inhaled corticosteroid use. Annals ATS. 10(2): 131-134.

Vercelli, D., 2010. Gene-environment interactions in asthma and allergy: the end of the beginning. Curr Opin Allergy Clin Immunol. 10(2): 145-148. Wahyuni, A.,S., 2013. Model perilaku adherensi dan kaitannya dengan kualitas


(55)

Yazid, S., Sinniah, A., Solito, E., Calder, V. & Flower, R. J.,2013. Anti-allergic cromones inhibit histamine and eicosanoid release from activated human and murine mast cells by releasing annexin A1. PLOS. 8(3): e58983. Yunus, F., et al., 2011. Prevalens asma pada siswa usia 13-14 tahun berdasarkan


(56)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Elvira

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 17 April 1993 Agama : Kristen Protestan

Alamat : Jl. Sentosa Km.12 No.88 Riwayat Pendidikan :

1. TK Yayasan Pendidikan Swasta Andreas Medan (1996-1998) 2. SD Yayasan Pendidikan Swasta Andreas Medan (1998-2002) 3. SD Yayasan Pendidikan Swasta Methodist-2 Medan (2002-2004) 4. SMP Yayasan Pendidikan Swasta Methodist-2 Medan (2004-2007) 5. SMA Yayasan Pendidikan Swasta Methodist-2 Medan (2007-2010)

Riwayat Pelatihan : 1. Peserta MMB (Manajemen Mahasiswa Baru) FK USU Tahun 2011

2. Peserta Seminar Dokter Keluarga dan Workshop Scoph Sirkumsisi


(57)

Lampiran 1

LEMBAR PENJELASAN

Kepada Yth. Bapak/Ibu, Dengan hormat,

Saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama : Elvira

NIM : 110100333

Adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (USU), Medan yang akan melaksanakan penelitian dengan judul:

“Gambaran Penggunaan Obat Asma pada Pasien Asma di Puskesmas Kota Medan Tahun 2014”.

Melalui lembar penjelasan ini ingin menjelaskan berbagai hal berkenaan dengan pelaksanaan penelitian dengan judul di atas. Pada umumnya di puskesmas dilayani oleh dokter umum yang bisa secara tuntas mengobati penyakit asma. Selain itu, juga harus memberikan informasi tentang hal yang berkaitan dengan penyakit asma. Penyakit asma yang sudah seharusnya dapat diobati dengan baik malah mengalami peningkatan kejadian penyakit asma. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian ini untuk mendapat berbagai fakta yang berkaitan dengan penggunaan obat asma pada pasien asma di puskesmas Kota Medan.

Penelitian ini dilakukan dengan mewawancarai bapak/ibu dan pengisian daftar pertanyaan (kuesioner). Identitas pribadi bapak/ibu akan dirahasiakan dan penelitian ini tidak akan merugikan peserta penelitian (responden). Informasi yang diperoleh dari penelitian ini hanya akan digunakan sebagai masukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dalam upaya perbaikan sistem kebijakan.


(58)

Saya sangat mengharapkan kesediaan bapak/ibu menjadi peserta penelitian (responden) pada penelitian ini. Bila bapak/ibu bersedia, mohon memberikan jawaban / mengisi daftar pertanyaan (kuesioner) yang diberikan dengan sejujur-jujurnya, dan bersedia menandatangani persetujuan keikutsertaan pada penelitian ini. Jika bapak/ibu tidak bersedia menjadi responden, tidak ada sanksi apapun bagi bapak/ibu sekalian. Atas perhatian dan kesediaan bapak/ibu menjadi peserta penelitian ini, saya ucapkan banyak terima kasih.

Hormat Saya Peneliti,


(59)

Lampiran 2

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN (INFORMED CONSENT)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama :

Umur : Alamat :

Dengan ini menyatakan sesungguhnya telah memberikan PERSETUJUAN

Untuk menjadi responden dalam penelitian ini setelah mendapat penjelasan dan memahami tentang penelitian “Gambaran Penggunaan Obat Asma pada Pasien Asma di Puskesmas Kota Medan Tahun 2014”. Dengan penuh kesadaran serta tanpa paksaan, saya bersedia menjadi responden dalam penelitian ini dan bila sewaktu-waktu saya mengundurkan diri, tidak ada sanksi yang berlaku terhadap saya yang berkenaan dengan penelitian ini. Demikianlah surat persetujuan ini saya perbuat dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan siapapun.

Medan, 31 September 2014 Responden,


(60)

LEMBAR PERTANYAAN PENELITIAN

GAMBARAN PENGGUNAAN OBAT ASMA PADA PASIEN ASMA DI PUSKESMAS KOTA MEDAN (TAHUN 2014)

I. DATA IDENTITAS RESPONDEN

Berikan tanda (√) pada kotak yang tersedia untuk jawaban pilihan anda

1. Nomor :

2. Tanggal wawancara :

3. Umur :

4. Jenis kelamin :

Laki-laki

Perempuan 5. Status perkawinan :

Belum menikah

Sudah

menikah

Janda/Duda

6. Pendidikan :

□ Tidak sekolah

□ SD

□ SMP/SLTP □ SMA

□ Perguruan tinggi :

S1

S2

S3 7. Pekerjaan :

PNS / Pensiunan PNS

Ibu rumah tangga

POLRI / TNI / Pensiunan

Dosen

Pegawai swasta / Wiraswasta

Guru

Petani

Sekretaris

Buruh

Pembantu rumah

tangga

Pegawai bank

Lainnya

(Nyatakan:……

Pelajar / mahasiswa

………..)


(61)

II. DATA PARAMETER PENELITIAN

Berikan tanda (√) pada kotak yang tersedia untuk jawaban plihan anda 1. Ketika anda datang berobat asma ke puskesmas, obat yang diberikan

kepada anda adalah dalam bentuk sediaan □ Tablet

□ Sirup

□ Obat hirup/isap (inhaler) □ Obat suntik

2. Obat apa yang diberikan dokter puskesmas untuk pengobatan asma anda? □ Obat yang melebarkan jalan napas (obat pelega) saja

□ Obat pengontrol saja

□ Kombinasi obat pelega + obat pengontrol

Catatan: sebutkan nama obatnya atau menunjukkan obatnya, sehingga peneliti mengetahui golongan obat yang diberikan.

3. Di Puskesmas, anda memperoleh obat pengontrol dan obat pelega untuk pengobatan asma, pada saat:

□ Saat serangan akut / kumat saja

□ Saat serangan akut / kumat, kemudian obat dilanjutkan pada kondisi stabil (tidak dalam keadaan serangan)

□ Saat kondisi stabil (tidak dalam keadaan serangan) saja

4. Obat pengontrol yang diberikan oleh dokter anda, pada saat serangan asma akut adalah:

□ Corticosteroid

□ Agonis β-2 kerja lama (Long Acting β -2 Agonist/ LABA) □ Chromolyne


(62)

Catatan: Sebutkan atau tunjukkan obatnya, agar peneliti mengetahui golongan obat yang digunakan, kemudian peneliti yang memilih jawabannya

5. Obat pengontrol yang diberikan kepada anda saat serangan akut, digunakan dengan cara:

□ Diminum □ Dihirup/ diisap □ Disuntikkan

6. Jika obat pengontrol diberikan dengan cara dihirup, bentuk sediaan obat yang digunakan adalah:

□ Inhaler dosis terukur

□ Inhaler dosis terukur dengan spacer □ Turbuhaler

□ Rotahaler □ Diskhaler

Catatan: tunjukkan bentuk sediaan obatnya, peneliti yang akan memilih jawabannya.

7. Obat pelega yang diberikan oleh dokter anda, pada saat serangan asma akut adalah:

□ Agonis β-2 kerja singkat (Short Acting β -2 Agonist/ SABA) □ Agonis β-2 kerja lama (Long Acting β -2 Agonist/ LABA) □ Antagonis muscarinic kerja singkat (Short Acting Muscarinic

Antagonist/ SAMA)

□ Antagonis muscarinic kerja lama (Long Acting Muscarinic Antagonist/ LAMA)


(63)

Catatan: Sebutkan atau tunjukkan obatnya, agar peneliti mengetahui golongan obat yang digunakan, kemudian peneliti yang memilih jawabannya

8. Obat pelegayang diberikan kepada anda saat serangan akut, digunakan dengan cara:

□ Diminum □ Dihirup/ diisap □ Disuntikkan

9. Jika obat tersebut diberikan dengan cara dihirup, bentuk sediaan obat yang digunakan adalah:

□ Inhaler dosis terukur

□ Inhaler dosis terukur dengan spacer □ Turbuhaler

□ Rotahaler □ Diskhaler □ Nebuliser

Catatan: tunjukkan bentuk sediaan obatnya, peneliti yang akan memilih jawabannya.

10.Pada kondisi stabil (tidak dalam serangan), apakah anda tetap menggunakan obat pengontrol dan atau obat pelega?

. Ya

Tidak

Bila jawabannya “ya”, lanjutkan menjawab pertanyaan selanjutnya yang diberikan. Bila jawabannya “tidak” lanjut pertanyaan no.20

11.Bila ya, obat pengontrol yang diberikan oleh dokter anda, pada saat kondisi stabil adalah:

□ Corticosteroid


(64)

□ Chromolyne □ Anti Leucotriene

Catatan: Sebutkan atau tunjukkan obatnya, agar peneliti mengetahui golongan obat yang digunakan, kemudian peneliti yang memilih jawabannya.

12.Obat pengontrol yang diberikan kepada anda pada kondisi stabil, digunakan dengan cara:

□ Diminum □ Dihirup/ diisap □ Disuntikkan

13.Jika pada kondisi stabil obat pengontrol diberikan dengan cara dihirup, bentuk sediaan obat yang digunakan adalah:

□ Inhaler dosis terukur

□ Inhaler dosis terukur dengan spacer □ Turbuhaler

□ Rotahaler □ Diskhaler □ Nebuliser

Catatan: tunjukkan bentuk sediaan obatnya, peneliti yang akan memilih jawabannya.

14.Obat pelega yang diberikan oleh dokter anda, pada kondisi stabil adalah: □ Agonis β-2 kerja singkat (Short Acting β -2 Agonist/ SABA)

□ Agonis β-2 kerja lama (Long Acting β -2 Agonist/ LABA) □ Antagonis muscarinic kerja singkat (Short Acting Muscarinic

Antagonist/ SAMA)

□ Antagonis muscarinic kerja lama (Long Acting Muscarinic Antagonist/ LAMA)


(65)

Catatan: Sebutkan atau tunjukkan obatnya, agar peneliti mengetahui golongan obat yang digunakan, kemudian peneliti yang memilih jawabannya

15.Obat pelega yang diberikan kepada anda saat kondisi stabil, digunakan dengan cara:

□ Diminum □ Dihirup/ diisap □ Disuntikkan

16.Jika pada kondisi stabil obat pelega diberikan dengan cara dihirup, bentuk sediaan obat yang digunakan adalah:

□ Inhaler dosis terukur

□ Inhaler dosis terukur dengan spacer □ Turbuhaler

□ Rotahaler □ Diskhaler □ Nebuliser

Catatan: tunjukkan bentuk sediaan obatnya, peneliti yang akan memilih jawabannya.

17.Jika pada kondisi stabil anda diberi obat pengontrol dan atau obat pelega, diberikan dengan cara dihirup/semprot, interval pemberian obatnya adalah:

□ Satu semprotan, setiap 8 jam (3X sehari) □ Satu semprotan, setiap 12 jam (2X sehari) □ Dua semprotan, setiap 12 jam (2X sehari) □ Satu semprotan, setiap 24 jam (1X sehari) □ Dua semprotan, setiap 24 jam (1X sehari)

18.Jika pada kondisi stabil anda diberi obat pengontrol dan atau obat pelega,cara pemberian kedua obat tersebut adalah:


(66)

□ Masing-masing obat diberikan terpisah (diminum) □ Masing-masing obat diberikan terpisah secara inhalasi

□ Kedua obat tersebut diberikan serentak dalam bentuk kombinasi dengan menggunakan satu bentuk sediaan inhalasi

Catatan: tunjukkan bentuk sediaan obatnya, peneliti yang akan memilih jawabannya.

19.Jika pada kondisi stabil anda tetap diberi obat pengontrol dan atau obat pelega, apakah disertai evaluasi pengobatan dengan :

□ Tidak melakukan evaluasi □ Mengamati gejala klinis □ Menggunakan Peak flow meter □ Menggunakan ACT

20.Berdasarlan pemeriksaan dengan peak flow meter, dokter anda akan mengurangi/menghentikan pengobatan, bila:

□ Anda merasa tidak sesak napas lagi, dan hasil pengukuran dengan peak flow meter, menunjukkan peningkatan aliran udara di dalam saluran pernapasan

□ Anda merasa tidak sesak napas lagi dan hasil pengukuran dengan peak flow meter,menunjukkan aliran udara di dalam saluran pernapasan yang tidak bisa meningkat lagi (maksimal)

□ Anda merasa tidak sesak napas lagi, meskipun hasil pengukuran dengan peak flow meter, tidak menunjukkan peningkatan aliran udara di dalam saluran pernapasan.

□ Tidak melakukan pemeriksaan dengan peak flow meter

21.Anda dipersilahkan mengisi/menjawab pertanyaan yang tertera pada lembar Asthma Control Test/ACT. Bagaimana hasil pemeriksaannya?

□ Penyakit asma anda terkontrol total (skornya 25)

□ Penyakit asma anda terkontrol sebagian (skornya 20-24) □ Penyakit asma anda tidak terkontrol (skornya ≤ 19)


(67)

LEMBAR KUESIONER TES KONTROL ASMA (ACT)

1. Selama 4 minggu terakhir, seberapa sering asma mengganggu anda untuk melakukan pekerjaan sehari-hari (kantor,rumah,dll) ?

2. Selama 4 minggu terakhir, seberapa sering anda mengalami sesak napas?

3. Selama 4 minggu terakhir, seberapa sering asma

(bengek,batuk-batuk,sesak napas, nyeri dada) menyebabkan anda terbangun malam/lebih awal) ?

4. Selama 4 minggu terakhir, seberapa sering anda menggunakan obat semprot/obat oral untuk melegakan pernapasan ?

5. Menurut anda, bagaimana tingkat kontrol asma anda dalam 4 minggu terakhir?

Interpretasi tes kontrol asma:

1 Selalu 2 Sering 3 Kadang-kadang

5 Tidak-pernah 4 Jarang

1 Selalu 2 Sering 3 Kadang-kadang

4 Jarang 5 Tidak-pernah

1 4kali/lebih dalam seminggu

2 2-3 kali seminggu

3 Sekali seminggu

4 1-2 kali sebulan

5 Tidak pernah

1 3 kali/

lebih sehari

2 1-2 kali sehari

5 Tidak pernah

3 2-3 kali seminggu

4 1 kali seminggu/ kurang

1Tidak terkontrol

sama sekali

2 Kurang terkontrol

3 Cukup terkontrol

4 Terkontrol dengan baik

5Terkontrol sepenuhnya Asma terkontrol total Skor 25 Asma terkontrol sebagian Skor 20-24 Asma tidak terkontrol


(1)

5. Obat pengontrol yang diberikan kepada anda saat serangan akut, digunakan dengan cara:

□ Diminum □ Dihirup/ diisap □ Disuntikkan

6. Jika obat pengontrol diberikan dengan cara dihirup, bentuk sediaan obat yang digunakan adalah:

□ Inhaler dosis terukur

□ Inhaler dosis terukur dengan spacer □ Turbuhaler

□ Rotahaler □ Diskhaler

Catatan: tunjukkan bentuk sediaan obatnya, peneliti yang akan memilih jawabannya.

7. Obat pelega yang diberikan oleh dokter anda, pada saat serangan asma akut adalah:

□ Agonis β-2 kerja singkat (Short Acting β -2 Agonist/ SABA) □ Agonis β-2 kerja lama (Long Acting β -2 Agonist/ LABA) □ Antagonis muscarinic kerja singkat (Short Acting Muscarinic

Antagonist/ SAMA)

□ Antagonis muscarinic kerja lama (Long Acting Muscarinic Antagonist/ LAMA)


(2)

Catatan: Sebutkan atau tunjukkan obatnya, agar peneliti mengetahui golongan obat yang digunakan, kemudian peneliti yang memilih jawabannya

8. Obat pelegayang diberikan kepada anda saat serangan akut, digunakan dengan cara:

□ Diminum □ Dihirup/ diisap □ Disuntikkan

9. Jika obat tersebut diberikan dengan cara dihirup, bentuk sediaan obat yang digunakan adalah:

□ Inhaler dosis terukur

□ Inhaler dosis terukur dengan spacer □ Turbuhaler

□ Rotahaler □ Diskhaler □ Nebuliser

Catatan: tunjukkan bentuk sediaan obatnya, peneliti yang akan memilih jawabannya.

10.Pada kondisi stabil (tidak dalam serangan), apakah anda tetap menggunakan obat pengontrol dan atau obat pelega?

. Ya

Tidak

Bila jawabannya “ya”, lanjutkan menjawab pertanyaan selanjutnya yang diberikan. Bila jawabannya “tidak” lanjut pertanyaan no.20

11.Bila ya, obat pengontrol yang diberikan oleh dokter anda, pada saat kondisi stabil adalah:

□ Corticosteroid


(3)

jawabannya.

12.Obat pengontrol yang diberikan kepada anda pada kondisi stabil, digunakan dengan cara:

□ Diminum □ Dihirup/ diisap □ Disuntikkan

13.Jika pada kondisi stabil obat pengontrol diberikan dengan cara dihirup, bentuk sediaan obat yang digunakan adalah:

□ Inhaler dosis terukur

□ Inhaler dosis terukur dengan spacer □ Turbuhaler

□ Rotahaler □ Diskhaler □ Nebuliser

Catatan: tunjukkan bentuk sediaan obatnya, peneliti yang akan memilih jawabannya.

14.Obat pelega yang diberikan oleh dokter anda, pada kondisi stabil adalah: □ Agonis β-2 kerja singkat (Short Acting β -2 Agonist/ SABA)

□ Agonis β-2 kerja lama (Long Acting β -2 Agonist/ LABA) □ Antagonis muscarinic kerja singkat (Short Acting Muscarinic

Antagonist/ SAMA)

□ Antagonis muscarinic kerja lama (Long Acting Muscarinic Antagonist/ LAMA)


(4)

Catatan: Sebutkan atau tunjukkan obatnya, agar peneliti mengetahui golongan obat yang digunakan, kemudian peneliti yang memilih jawabannya

15.Obat pelega yang diberikan kepada anda saat kondisi stabil, digunakan dengan cara:

□ Diminum □ Dihirup/ diisap □ Disuntikkan

16.Jika pada kondisi stabil obat pelega diberikan dengan cara dihirup, bentuk sediaan obat yang digunakan adalah:

□ Inhaler dosis terukur

□ Inhaler dosis terukur dengan spacer □ Turbuhaler

□ Rotahaler □ Diskhaler □ Nebuliser

Catatan: tunjukkan bentuk sediaan obatnya, peneliti yang akan memilih jawabannya.

17.Jika pada kondisi stabil anda diberi obat pengontrol dan atau obat pelega, diberikan dengan cara dihirup/semprot, interval pemberian obatnya adalah:

□ Satu semprotan, setiap 8 jam (3X sehari) □ Satu semprotan, setiap 12 jam (2X sehari) □ Dua semprotan, setiap 12 jam (2X sehari) □ Satu semprotan, setiap 24 jam (1X sehari) □ Dua semprotan, setiap 24 jam (1X sehari)

18.Jika pada kondisi stabil anda diberi obat pengontrol dan atau obat pelega,cara pemberian kedua obat tersebut adalah:


(5)

Catatan: tunjukkan bentuk sediaan obatnya, peneliti yang akan memilih jawabannya.

19.Jika pada kondisi stabil anda tetap diberi obat pengontrol dan atau obat pelega, apakah disertai evaluasi pengobatan dengan :

□ Tidak melakukan evaluasi □ Mengamati gejala klinis □ Menggunakan Peak flow meter □ Menggunakan ACT

20.Berdasarlan pemeriksaan dengan peak flow meter, dokter anda akan mengurangi/menghentikan pengobatan, bila:

□ Anda merasa tidak sesak napas lagi, dan hasil pengukuran dengan

peak flow meter, menunjukkan peningkatan aliran udara di dalam saluran pernapasan

□ Anda merasa tidak sesak napas lagi dan hasil pengukuran dengan

peak flow meter,menunjukkan aliran udara di dalam saluran pernapasan yang tidak bisa meningkat lagi (maksimal)

□ Anda merasa tidak sesak napas lagi, meskipun hasil pengukuran dengan peak flow meter, tidak menunjukkan peningkatan aliran udara di dalam saluran pernapasan.

□ Tidak melakukan pemeriksaan dengan peak flow meter

21.Anda dipersilahkan mengisi/menjawab pertanyaan yang tertera pada lembar Asthma Control Test/ACT. Bagaimana hasil pemeriksaannya?

□ Penyakit asma anda terkontrol total (skornya 25)

□ Penyakit asma anda terkontrol sebagian (skornya 20-24) □ Penyakit asma anda tidak terkontrol (skornya ≤ 19)


(6)

LEMBAR KUESIONER TES KONTROL ASMA (ACT)

1. Selama 4 minggu terakhir, seberapa sering asma mengganggu anda untuk melakukan pekerjaan sehari-hari (kantor,rumah,dll) ?

2. Selama 4 minggu terakhir, seberapa sering anda mengalami sesak napas?

3. Selama 4 minggu terakhir, seberapa sering asma

(bengek,batuk-batuk,sesak napas, nyeri dada) menyebabkan anda terbangun malam/lebih awal) ?

4. Selama 4 minggu terakhir, seberapa sering anda menggunakan obat semprot/obat oral untuk melegakan pernapasan ?

5. Menurut anda, bagaimana tingkat kontrol asma anda dalam 4 minggu terakhir?

Interpretasi tes kontrol asma:

1 Selalu 2 Sering 3 Kadang-kadang

5 Tidak-pernah 4 Jarang

1 Selalu 2 Sering 3 Kadang-kadang

4 Jarang 5 Tidak-pernah

1 4kali/lebih dalam seminggu

2 2-3 kali seminggu

3 Sekali seminggu

4 1-2 kali sebulan

5 Tidak pernah

1 3 kali/ lebih sehari

2 1-2 kali sehari

5 Tidak pernah 3 2-3 kali

seminggu

4 1 kali seminggu/ kurang

1 Tidak terkontrol sama sekali

2 Kurang terkontrol

3 Cukup terkontrol

4 Terkontrol dengan baik

5 Terkontrol sepenuhnya Asma terkontrol total Skor 25 Asma terkontrol sebagian Skor 20-24 Asma tidak terkontrol