Klasifikasi asma TINJAUAN PUSTAKA

Untuk menegakkan diagnosis asma dibutuhkan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan fungsi paru. Pemeriksaan fungsi paru sebagai paramater objektif yang standar dipakai yaitu pemeriksaan spirometri dan peak expiratory flow PEF. Pemeriksaan spirometri dan PEF sangat membutuhkan kemampuan dan kerjasama penderita bersamaan dengan pemahaman yang jelas oleh intruksi pemeriksa. Spirometer adalah alat pengukur faal paru yang penting dalam menegakkan diagnosa untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan Rengganis, 2008. Peak flow meter yang merupakan alat sederhana dibuat untuk monitoring dan bukan alat diagnostik, karena dengan spirometer lebih sensitif dari PFM. Namun PEF dapat menegakkan diagnosa asma jika pasien tidak bisa melakukan pemeriksaan FEV1 Rengganis, 2008. Monitor PEF dibuat untuk self-monitoring untuk melihat respon pengobatan. Setelah menggunakan ICS, monitor PEF jangka pendek dilakukan dua kali sehari selama 3 bulan. Pemeriksaan foto thorax, pemeriksaan IgE, tanda inflamasi, dan uji hiperaktivitas bronkus juga dapat membantu menegakkan diagnosa asma. Foto thorax dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma. Skin prick test untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik pada kulit dimana uji ini untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus. Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein ECP dengan inflamasi dan derajat berat asma. Uji hiperreaktivitas bronkus dapat dilakukan dengan tes provokasi, dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik Rengganis, 2008.

2.5. Klasifikasi asma

Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat keparahan atau asma terkontrol. Berat-ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran klinik sebelum pengobatan gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi β-2 agonis dan uji faal paru serta obat-obat yang digunakan untuk mengontrol asma jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi Universitas Sumatera Utara pemakaian obat. Tidak ada suatu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu penyakit. Pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat menentukan klasifikasi menurut berat-ringannya asma dan sangat penting dalam penatalaksanaan asma. Tabel 2.5.1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis Derajat asma Gejala Gejala malam Faal paru Intermitten Bulanan APE ≥80 - Gejala1xminggu . - Tanpa gejala diluar serangan. - Serangan singkat. ≤ 2 kali sebulan - VEP 1 ≥80 nilai prediksi APE ≥80 nilai terbaik. - Variabiliti APE20. Persisten ringan Mingguan APE80 - Gejala1xminggu tetapi1xhari. - Serangan dapat mengganggu aktifiti dan tidur 2 kali sebulan - VEP 1 ≥80 nilai prediksi APE ≥80 nilai terbaik. - Variabiliti APE 20- 30. Persisten sedang Harian APE 60-80 - Gejala setiap hari. - Serangan mengganggu aktifiti dan tidur. - Membutuhkan bronkodilator setiap hari. 2 kali sebulan - VEP 1 60-80 nilai prediksi APE 60-80 nilai terbaik. - Variabiliti APE30. Persisten berat Kontinyu APE 60 ≤ - Gejala terus menerus - Sering kambuh - Aktifiti fisik terbatas Sering - VEP 1 ≤60 nilai prediksi APE ≤60 nilai terbaik Universitas Sumatera Utara Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2004 2.6. Penatalaksanaan asma Tujuan penatalaksanaan asma adalah untuk mencapai asma terkontrol agar memiliki kualitas hidup baik yang tidak mengganggu aktivitas dan mencegah kematian saat serangan. Penatalaksaan asma ini dikutip berdasarkan GINA 2012, yang mengklasifikasikan pengobatan asma menjadi dua yaitu sebagai obat kontrol asma controllers dan obat pelega asma reliever. Obat controllers adalah obat asma yang digunakan setiap hari dalam jangka waktu panjang pada asma persisten untuk mencegah asma menjadi semakin parah dan mempertahankan asma menjadi terkontrol melalui interaksi dengan proses inflamasi. Sebagai berikut adalah jenis-jenis obat pengontrol : a. Kortikosteroid inhalasi Kortikosteroid inhalasi mempunyai efek anti-inflamasi terhadap sel dan jaringan spesifik. Kortikosteroid yang masuk secara langsung dan diabsopsi di paru akan berikatan dengan reseptornya, menghambat sintesis sitokin proinflamasi, dan menurunkan jumlah sel T limfosit, sel dendrit, eosinofil juga sel mast. Penggunaan kortikosteroid inhalasi menunjukkan perbaikan fungsi paru, menurunkan hiperesponsif bronkus, menurunkan eksaserbasi asma dalam kunjungan gawat darurat Raissy et al, 2013. Kepatuhan menggunakan obat ini menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat asma dengan perkiraan 21 penurunan resiko kematian akibat serangan asma Sloan et al, 2013. Efek samping yang mungkin pada penggunaan kortikosteroid inhalasi lebih minimal daripada kortikosteroid sistemik. Hal ini bergantung pada dosis, potensi bioavailabiliti, metabolisme hati, dan waktu paruhnya. Obat inhalasi kortikosteroid dosis tinggi yang digunakan jangka panjang bisa menimbulkan efek - Variabiliti APE30 Universitas Sumatera Utara sistemik seperti purpura, supresi adrenal dan penurunan densitas tulang. Namun, dengan menggunakan spacer dapat mengurangi efek samping sistemik dengan menurunkan bioavailabiliti. Selain itu, spacer juga membantu untuk mengurangi efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia, dan batuk akibat iritasi saluran napas atas. b. Kortikosteroid sistemik Penggunaan kortikosteroid jangka lama lebih direkomendasikan secara inhalasi daripada sistemik akibat efek samping pemberian sistemik lebih serius. Namun, pemberian sistemik dapat diberikan pada penderita asma persisten berat yang tidak terkontrol. Penggunaan sistemik secara oral lebih dianjurkan dari parenteral intramuskular, intravena, subkutan karena pertimbangan waktu paruh oral lebih singkat dan efek samping yang muncul lebih sedikit. Efek samping yang ditakutkan misalnya osteoporosis, hipertensi, diabetes, obesitas, penekanan axis hipotalamus-hipofisa-korteks adrenal, purpura, penipisan kulit, striae, disfoni. c. Agonis beta-2 kerja lama Long-acting β2-agnonist inhalasi Mekanisme kerja obat beta- 2 agonis yaitu melalui reseptor β2 yang mengakibatkan relaksasi otot polos bronkus. Formoterol dan salmeterol termasuk dalam golongan LABA ini, kedua obat itu memiliki lama kerja obat 12 jam. Namun, obat golongan LABA sebaiknya tidak digunakan sebagai monoterapi jangka panjang karena tidak mempengaruhi respon inflamasinya justru meningkatkan angka kesakitan dan kematian. LABA dikombinasi dengan kortikosteroid inhalasi telah terbukti sangat efektif dalam mengurangi gejala asma dan eksaserbasi dengan menunjukkan hasil fungsi paru yang lebih baik. Kombinasi LABA dan kortikosteroid inlamasi hanya direkomendasikan untuk pasien yang gagal mencapai asma terkontrol dengan kortikosteroid dosis rendah- medium. d. Kromolin: sodium kromoglikat dan sodium nedokromil Universitas Sumatera Utara Kromolin dan nedokromil merupakan obat alternatif dalam pengobatan asma persisten ringan. Kromglikat dan nedokromil memiliki sifat yang sama yaitu sebagai obat anti-inflamasi. Obat ini memblok kanal klorida dan modulasi pelepasan mediator sel mast dan eosinofil NHLBI, 2007. Kromolin juga bisa menghambat reaksi asma fase cepat dan fase lambat, meskipun permulaan percobaan obat ini hanya berperan pada sel mast untuk mensupresi pengeluaran histamin, ternyata dapat menghambat generasi sitokin juga Yazid et al, 2013. Namun, efek anti-inflamasi kromolin lemah dan kurang efektif jka dibandingkan dengan inhalasi kortikosteroid dosis rendah. e. Methyxanthine Teofilin merupakan derivat xantin. Efek terpenting xantin ialah relaksasi otot polos bronkus, terutama bila otot bronkus dalam keadaan konstriksi. Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap reseptor adenosin maupun inhibisi PDE fosfodiesterase. Adenosin dapat menyebabkan bronkokonstriksi pada pasien asma dan memperkuat penglepasan mediator dari sel mast. Oleh karena teofilin merupakan antagonis kompetitif reseptor adenosin, maka hal ini yang mengatasi bronkokonstriksi pasien asma. Selain itu, penghambatan PDE mencegah pemecahan cAMP dan cGMP sampai terjadi akumulasi cAMP dan cGMP dalam sel yang mengakibatkan relaksasi otot polos termasuk otot polos bronkus Louisa dan Dewoto, 2011. Telah dilakukan berbagai penelitian bahwa teofilin efektif sebagai kontrol gejala dan perbaikan terhadap fungsi paru, sehingga teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai pengontrol. Kombinasi kortikosteroid dengan teofilin sebagai alternatif menunjukkan perbaikan fungsi paru namun teofilin tidak lebih efektif dari inhalasi beta-2 agonis. f. Leukotriene modifiers Mekanisme kerja obat ini adalah menghambat reseptor cysteinyl-leukotriene 1 CysLT1 dan enzim 5-lipoksigenase. Leukotrin merupakan derivat asam arakidonat. Asam arakidonat dipecah fosfolipase A2 menjadi arakidonat bebas. Universitas Sumatera Utara Enzim 5-lipoksigenase ini selanjutnya mengkonversi asam arakidonat bebas menjadi leukotrin A4 dan akhirnya akan diubah menjadi leukotrin C4, D4, E4. Leukotrin yang sudah terbentuk berikatan dengan reseptornya yaitu CysLT1 yang ditemukan pada eosinofil, monosit, sel-sel otot polos saluran napas, neutrofil, sel B, sel plasma, dan makrofag jaringan. Dari mekanisme di atas, terlihat bahwa leukotrin dianggap sebagai mediator inflamasi yang mampu mengaktivasi eosinofil, meningkatkan permeabilitas mikrovaskuler, sekresi mukus, proliferasi dan penyempitan otot polos, serta diduga efek bronkokonstriksi yang disebabkan oleh leukotrin lebih besar daripada efek oleh histamin Scichilone, 2013. Leukotriene modifiers digunakan sebagai terapi tambahan dengan kombinasi inhalasi glukokortikosteroid. Namun, beberapa penelitian mengatakan bahwa leukotriene modifiers kurang efektif jika dibandingkan dengan inhalasi β2 agonis sebagai tambahan terapi. Zileuton menghambat langsung kerja enzim 5- lipoxygenase; montelukas, pranlukas, dan zafirlukas menghambat reseptor leukotrin. Prinsip kerja obat pelega relievers adalah sebagai bronkodilator untuk membantu mengatasi bronkokonstriksi jalan napas dan gelaja yang menyertainya seperti sesak, mengi, batuk, dan dada terasa berat. a. Short-acting β2 agonis inhalasi SABA SABA merupakan obat yang paling efektif mengatasi bronkospasme saat eksaserbasi asma akut dan juga dapat mencegah exercice-induced asthma. Golongan SABA dapat diberikan secara inhalasi, oral, atau parenteral. Namun pemberian yang lebih direkomendasikan adalah dengan inhalasi karena mempertimbangkan kerja obat yang cepat juga efek samping yang minimal. SABA memiliki mekanisme sama seperti obat β2 agonis lain yaitu dengan merelaksasi jalan napas, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permiabilitas vaskuler, dan memodulasi penglepasan mediator dari sel mast dan eosinfil. Yang termasuk obat golongan SABA adalah salbutamol, levalbuterol, biltolterol, pirbuterol, isoproterol, metaproternol, terbutaline,epinephrine. Universitas Sumatera Utara b. Anticholinergic Obat golongan ini berupa ipatropium dan oxitropium bromida. Mekanisme kerja obat golongan ini adalah sebagai bronkodilatasi dengan kompetitf menghambat reseptor muskarinik kolinergik, menurunkan tonus intrinsik vagus, blokade reflex bronkokonstriksi akibat zat iritan atau reflux esofagus, dan menurunkan sekresi mukus. Pemberian secara inhalasi bronkodilator antikolinergik ini kurang efektif jika dibandingkan dengan SABA. Namun, Obat ini dapat diberikan pada pasien yang tidak respon terhadap SABA atau sebagai alternatif pada penderita yang memilik efek samping seperti takikardi, aritmia, tremor dengan pemakaian SABA. c. Methylxantin Pemberian teofilin dapat dipertimbangkan karena efek bronkodilatasinya akibat inhibisi aktivitas PDE untuk mengatasi gejala asma. Tetapi efek bronkodilatasinya lebih lemah dari short-acting beta-2 agonis. Penambahan teofilin kerja singkat dengan obat golongan SABA tidak memperkuat respon bronkodilatasi namun dapat bermanfaat untuk respiratory drive. Pemberian teofilin kerja singkat tidak dianjurkan pada pasien yang sudah mendapat terapi teofilin lepas lambat kecuali ada dilakukan monitoring kadarnya dalam darah. Tabel 2.6.1. Pengobatan sesuai berat asma Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila dibutuhkan, tidak melebihi 3-4 kali sehari. Berat Asma Medikasi pengontrol harian Alternatif Pilihan lain Alternatif lain Asma Intermiten Tidak perlu -------- ------- Asma Persisten Ringan Glukokortikosteroid inhalasi 200-400 ug BDhari atau ekivalennya · Teofilin lepas lambat · Kromolin · Leukotriene modifiers ------ Asma Persisten Kombinasi inhalasi Glukokortikosteroid inhalasi 400-800 ug BD Ditambah agonis Universitas Sumatera Utara Sedang glukokortikosteroid 400-800 ug BDhari atau ekivalennya dan agonis beta-2 kerja lama atau ekivalennya ditambah Teofilin lepas lambat ,atau Glukokortikosteroid inhalasi 400-800 ug BD atau ekivalennya ditambah agonis beta-2 kerja lama oral, atau · Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi 800 ug BD atau ekivalennya atau · Glukokortikosteroid inhalasi 400-800 ug BD atau ekivalennya ditambah leukotriene modifiers beta-2 kerja lama oral, atau · Ditambah teofilin lepas lambat Asma Persisten Berat Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid 800 ug BD atau ekivalennya dan agonis beta-2 kerja lama, ditambah ≥ 1 di bawah ini: - teofilin lepas lambat - leukotriene modifiers Prednisolon metilprednisolon oral selang sehari 10 mg ditambah agonis beta-2 kerja lama oral, ditambah teofilin lepas lambat Universitas Sumatera Utara - glukokortikosteroid Oral Semua tahapan : Bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak 3 bulan, kemudian turunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal mungkin dengan kondisi asma tetap terkontrol Universitas Sumatera Utara

BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL