Perkembangan dari Perspektif Pengusaha.

menjadi sangat, atau bahkan terlalu berhati-hati. Gambar 3: Perkembangan Kredit Menurut Jenis Triliun dollar AS 40,1 58,4 79,8 112,1 151,0 206,4 220,5 65,3 73,5 82,9 94,3 116,9 132,5 140,9 163,6 175,7 202,7 231,6 285,7 350,8 388,4 50 100 150 200 250 300 350 400 450 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Okt 2006 Kredit konsumsi Kredit investasi Kredit modal kerja Sumber: Kadin Indonesia data BI. Gambar 4: Perkembangan Suku Bunga Pinjaman Menurut Jenis Kredit, Jan.04-Sept.06 1 3 1 4 1 5 1 6 1 7 1 8 1 9 J a n . 4 M a r. 4 M a y . 4 J u ly . 4 S e p

t. 4

N o v . 4 J a n . 5 M a

r. 5

M e

i. 5

J u li .0 5 S e p

t. 5

N o v . 5 J a n . 6 M a

r. 6

M e

i. 6

J u li .0 6 S e p

t. 6

Modal Kerj a Investasi Konsumsi Sumber: Kadin Indonesia data BI.

III. Perkembangan dari Perspektif Pengusaha.

Seperti telah diungkapkan di Bab I, sedikitnya kredit yang disalurkan perbankan ke sektor riil selama ini bisa juga disebabkan oleh tidak adanya permintaan kredit dari dunia usaha. Hal ini bisa karena dua penyebab: tidak ada pertumbuhan kegiatan ekonomi atau tidak ada rencana investasi yang besar sehingga membutuhkan dana pinjaman dari perbankan ini akan dibahas di Bab IV, atau pengusaha lebih suka mencari dana dari sumber- sumber alternatif seperti misalnya obligasi atau saham karena lebih menguntungkan atau karena di mata pengusaha sektor perbankan nasional belum baik, atau aksesnya sulit. Ekspektasi Ekonomi Masa Depan 6 7 Tidak adanya rencana investasi bisa karena berbagai alasan, salah satunya berkaitan dengan prospek ekonomi nasional menurut opini pengusaha. Dalam survei yang dilakukan oleh WEF 2006 terhadap pimpinan-pimpinan perusahaanCEOs di 125 negara termasuk Indonesia, salah satu pertanyaannya adalah mengenai opini mereka mengenai prospek ekonomi nasional dalam 12 bulan ke depan. Skor yang diberikan adalah antara 1 dan 7: 1 = akan mengalami suatu resesi dalam 12 bulan mendatang, dan 7 = akan mengalami suatu pertumbuhan pesat dalam 12 bulan ke depan. Hasilnya dapat dilihat di Tabel 4, yang mengindikasikan bahwa pada umumnya pengusaha di Indonesia masih relatif lebih pesimis mengenai masa depan perekonomian nasional dibandingkan pengusaha-pengusaha di banyak negara lainnya yang termasuk di dalam survei. Misalnya, pengusaha India yang disurvei pada umumnya sangat optimis sehingga membuat negara tersebut berada pada peringkat teratas Tabel 4: Ekspektasi Resesi dalam The Global Competitiveness Report 2006-2007 Peringkat Negara Skor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 23 31 33 44 45 65 India Qatar Irlandia Mauritania Afrika Selatan UA. Emirates Angola Estonia Trinidad Tobago Rep. Slovak Vietnam Singapura Malaysia Indonesia China Filipina Kambodia Thailand 6,5 6,4 6,1 6,0 6,0 6,0 5,8 5,6 5,6 5,5 5,5 5,4 5,2 5,1 5,1 4,8 4,8 4,5 Keterangan: = data primer dari Executive Opinion Survey 2006. Sumber: WEF 2006. Perasaan pesimis mengenai masa depan ekonomi nasional dari sebagian besar pengusaha-pengusaha Indonesia yang disurvei tentu tidak mewakili opini dari semua pengusaha yang ada di tanah air. Namun demikian, hasil survei ini merupakan suatu tanda bahwa ada kemungkinan besar bahwa pengusaha Indonesia pada umumnya memang pesimis atau paling tidak, tidak terlalu optimis bahwa ekonomi Indonesia akan tumbuh pesat dalam periode jangka pendek ke depan. Selanjutnya, ini berarti sedikit permintaan terhadap kredit perbankan. Akses ke Kredit Perbankan Kurangnya kredit perbankan yang mengalir ke sektor riil selama ini bisa juga dikarenakan oleh sulitnya akses, dalam arti persyaratan terlalu ketat sehingga banyak pengusaha yang memilih sumber-sumber dana alternatif lainnya, seperti yang telah disebut sebelumnya di atas. Hal ini memang sangat masuk akal, karena di satu pihak, perbankan tidak mungkin secara terang-terangan menutup pintu bagi dunia usaha yang ingin pinjam dana untuk investasi atau modal kerja. Namun perbankan punya keinginan, yakni lebih memilih menyalurkan kredit 8 konsumen danatau menanam di SBI atau SUN. Agar pilihan ini terpenuhi, maka perbankan memperketat syarat- syarat meminjam untuk maksud bisnis, apalagi investasi, sementara memperingan syarat-syarat meminjam untuk maksud konsumsi misalnya untuk beli mobil atau rumah. Diskriminiasi dalam persyaratan kredit ini yang lebih berat ke dunia usaha bisa saja dilihat dari sudut pandang pengusaha sebagai terbatasnya akses ke kredit perbankan. Dalam survei WEF, ada dua pertanyaan: 1 “apakah mudah meminjam uang dari perbankan di negara anda hanya dengan menunjukkan suatu rencana bisnis yang baik tanpa jaminan”; dan 2 apakah dalam satu tahun terakhir mendapatkan kredit usaha menjadi lebih mudah atau tambah sulit. Penilaian yang diberikan untuk pertanyaan pertama itu adalah: 1= tidak mungkin dan 7 = mudah. Sedangkan skor untuk pertanyaan kedua tersebut juga antara 1 hingga 7: 1 = lebih sulit dan 7 = menjadi lebih gampang. Untuk pertanyaan pertama itu, ternyata hasil survei dari WEF menunjukkan bahwa kebanyakan responden Indonesia tidak melihat sulitnya mendapatkan dana perbankan hanya dengan menunjukkan suatu rencana bisnis yang baik. Seperti yang ditunjukkan di Tabel 5, Indonesia masuk di dalam 10 besar dengan skor 5.4. Untuk pertanyaan kedua tersebut, Tabel 6 menunjukkan kondisi yang sama, yakni mendapatkan kredit usaha menjadi lebih gampang dalam satu tahun terakhir. Posisi Indonesia juga masuk di dalam 10 besar. Lagi-lagi, sampel ini tidak mewakili pandangan dari seluruh pengusaha yang ada di Indonesia. Namun demikian, jika sebagian besar dari 135 pengusaha Indonesia yang menjawab dua pertanyaan tersebut beranggapan bahwa tidak ada masalah dengan akses ke perbankan, maka ini bisa menjadi suatu tanda bahwa memang demikian kenyataannya. Tabel 5: Kemudahan Akses ke Kredit Perbankan dalam The Global Competitiveness Report 2006-2007 Peringkat Negara Skor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 16 21 23 47 78 87 99 113 Denmark Iceland Inggris Sweden Norwegia Indonesia Belanda Finlandia UA Emirates Irlandia Singapura India Malaysia Thailand Filipina Vietnam China Kambodia 5,6 5,5 5,5 5,4 5,4 5,4 5,3 5,3 5,2 5,2 4,8 4,6 4,5 3,6 2,9 2,7 2,5 2,2 Keterangan: = data primer dari Executive Opinion Survey 2006. Sumber: WEF 2006. Tabel 6: Akses ke Kredit Perbankan dalam Satu Tahun terakhir dalam The Global Competitiveness Report 2006-2007 Peringkat Negara Skor 9 Keterangan: = data primer dari Executive Opinion Survey 2006. Sumber: WEF 2006. Kondisi Perbankan Kurangnya kredit yang disalurkan ke dunia usaha di Indonesia selama ini sejak krisis ekonomi 199798 juga bisa disebabkan oleh kondisi perbankan nasional yang belum baik. Survei dari WEF juga menanyakan masalah ini dari perspektif pengusaha: “apakah menurut Anda kondisi perbankan di negara Anda baik?”. Skor yang diberikan adalah antara 1 dan 7: 1 = buruk dalam arti solvabilitasnya rendah dan perlu bantuan dari pemerintah seperti rekap yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap sejumlah besar bank nasional semasa krisis, dan 7 = sangat sehat dengan neraca yang sangat baik. Hasilnya bisa dilihat di Tabel 7. Ternyata seperti dugaan umum?, sebagian besar dari pengusaha Indonesia yang menjawab pertanyaan tersebut menganggap bahwa kondisi perbankan nasional masih buruk, yang membuat Indonesia berada di peringkat ke 88 dan paling rendah di kelompok ASEAN setelah Vietnam dan Kambodia Tabel 7: Kondisi Perbankan Nasional dalam The Global Competitiveness Report 2006-2007 Peringkat Negara Skor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 21 37 43 75 80 88 103 115 Inggris Swiss Denmark Irlandia Kanada Luxembourg Sweden Australia Belanda Belgia Singapura India Malaysia Thailand Filipina Indonesia Vietnam Kambodia 6,9 6,9 6,8 6,8 6,8 6,7 6,7 6,7 6,7 6,6 6,5 6,0 5,9 5,2 5,2 4,9 4,7 4,4 Keterangan: = data primer dari Executive Opinion Survey 2006. Sumber: WEF 2006. 10 Hasil di Tabel 4 ekspektasi resesi dan hasil di Tabel 7 kondisi perbankan konsisten dengan laporan dari Standard and Poor 2006 4 mengenai resiko ekonomi dan perbankan di dunia menurut negara. Penilaiannya dibagi ke dalam 6 enam kategori: rendah, rendah sedang, sedang, tinggi sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Menurut laporan tersebut, Indonesia bersama-sama dengan Filipina masuk ke dalam kategori tinggi untuk kedua bidang tersebut. Sebagai perbandingan, China dapat penilaian resiko tinggi untuk perbankan dan tinggi sedang untuk ekonomi, sedangkan India dan Thailand masuk kategori tinggi sedang untuk ekonomi dan perbankan. IV. Sedikit Kredit Penyebab Utama Lesunya Sektor Riil?