HUBUNGAN OBESITAS DENGAN KADAR HbA1c PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI LABORATORIUM PATOLOGI KLINIK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

(10)

(11)

(12)

(13)

(14)

(15)

(16)

(17)

(18)

(19)

(20)

(21)

(22)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan kadar glukosa darah melebihi normal akibat tubuh kekurangan insulin (Sidartawan, 2004). Penyakit ini timbul perlahan-lahan dan biasanya tidak disadari oleh penderita (Candra, 2011).

DM atau lebih dikenal dengan sebutan “penyakit kencing manis” di masyarakat merupakan salah satu penyakit yang terus bermunculan penderitanya dalam kehidupan sehari-hari. Penyakit ini memberikan dampak yang luas bagi pasiennya, tidak hanya karena mengganggu kesehatan semata akibat berbagai komplikasi yang ditimbulkan namun juga mempengaruhi kehidupan sosial (Kurniawan, 2005).

Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan insidensi DM tipe 2 di berbagai penjuru dunia. WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang DM yang cukup besar untuk tahun-tahun mendatang. Untuk Indonesia, WHO memprediksi


(23)

2

kenaikan jumlah pasien dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (Perkeni, 2011).

Tingginya angka tersebut menjadikan Indonesia peringkat ke-4 jumlah penderita DM terbanyak di dunia setelah Amerika Serikat, India, dan Cina. Meningkatnya penderita DM disebabkan oleh peningkatan obesitas, kurang aktivitas fisik, kurang mengkonsumsi makanan yang berserat, merokok, dan tingginya lemak (Melinda, 2010).

Berdasarkan laporan hasil Riset Kesehatan Dasar Nasional tahun 2007, sebanyak 13 provinsi di Indonesia mempunyai prevalensi DM di atas prevalensi nasional, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Riau, Lampung, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Maluku Utara. Angka kejadian DM di Provinsi Lampung untuk rawat jalan pada tahun 2009 mencapai 365 orang dan mengalami peningkatan pada tahun 2010 sejumlah 1103 orang (Dinkes Lampung, 2011).

Di antara orang dewasa dengan DM, lebih dari 80 % mengalami kelebihan berat badan atau obesitas (yaitu memiliki status gizi dengan indeks massa tubuh lebih dari 25), menunjukkan bahwa hal ini merupakan masalah utama dalam populasi (Bays et al., 2007). Survei pasien menunjukkan bahwa prevalensi DM lebih besar pada orang- orang yang memiliki BMI (body mass index) tinggi (Eeg-Olofsson et al., 2009).


(24)

3

Penelitian yang dilakukan oleh Nguyen et al. (2010) yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu tentang hubungan obesitas dan diabetes masyarakat dewasa di Amerika menemukan bahwa adanya asosiasi antara peningkatan derajat obesitas dan peningkatan prevalensi diabetes. Prevalensi diabetes terendah ditemukan pada pasien dengan IMT atau BMI kurang dari 25. Prevalensi tersebut meningkat seiring dengan peningkatan level obesitas.

Dokter perlu menetapkan target pengendalian kadar gula darah dan merencanakan suatu strategi penatalaksanaan untuk mencapai target tersebut untuk setiap pasien DM (Veteran Health Administration and Departement of Defense, 2010). Pengendalian glukosa darah pada penderita DM dilihat dari dua hal yaitu glukosa darah sesaat dan glukosa darah jangka panjang. Pemantauan glukosa darah sesaat dilihat dari glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial, sedangkan pengontrolan glukosa darah jangka panjang dapat dilakukan dengan pemeriksaan HbA1c (Service FJ et al., 2001).

Dalam Chen et al. (2012), Ryan AS menyatakan bahwa kadar HbA1c dipengaruhi oleh peningkatan lemak perut dan tubuh, dan menurut Harris dipengaruhi oleh profil lipid aterogenik. Faktor risiko tersebut diduga berkaitan dengan peningkatan kadar HbA1c.

Pemeriksaan kadar HbA1c dapat memberikan informasi tentang kontrol glikemik pasien selama 2-3 bulan sebelumnya (Jeffcoate SL, 2004). Menurut penelitian yang dilakukan Look AHEAD Research Group pada tahun 2007,


(25)

4

pasien diabetes yang diintervensi gaya hidupnya sehingga mengalami penurunan berat badan akan mengalami peningkatan kontrol glikemik dan pengurangan kadar HbA1c.

Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Abdul Moeloek merupakan rumah sakit yang menerima rujukan dari berbagai daerah di Provinsi Lampung. Setiap bulannya, rumah sakit ini dikunjungi oleh pasien. Rata-rata angka kunjungan di Laboratorium Patologi Klinik RSUD dr. H. Abdoel Moeloek perbulan adalah sekitar 5200 pasien dengan 1300 diantaranya merupakan penderita DM tipe 2 (Taufiq, 2011).

Berdasarkan data-data yang telah dijabarkan di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan obesitas dengan kadar HbA1c pasien DM tipe 2 di Laboratorium Patologi Klinik Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dikemukakan bahwa masalah yang terjadi adalah meningkatnya prevalensi DM tipe 2 oleh karena perubahan gaya hidup dan peningkatan status gizi (obesitas). Sehingga dapat dirumuskan permasalahan yang akan diteliti sebagai berikut: adakah hubungan obesitas dengan kadar HbA1c pasien DM tipe 2 di Laboratorium Patologi Klinik Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung?


(26)

5

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan obesitas dengan kadar HbA1c pasien DM tipe 2 di Laboratorium Patologi Klinik Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui gambaran karakteristik pasien DM tipe 2 di Laboratorium Patologi Klinik RSUD dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung berdasarkan umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan durasi DM

b. Untuk mengetahui gambaran indeks massa tubuh pasien DM tipe 2 di Laboratorium Patologi Klinik RSUD dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

c. Untuk mengetahui gambaran obesitas menurut indeks massa tubuh pasien DM tipe 2 di Laboratorium Patologi Klinik RSUD dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.


(27)

6

d. Untuk mengetahui gambaran obesitas sentral menurut lingkar pinggang pasien DM tipe 2 di Laboratorium Patologi Klinik RSUD dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

e. Untuk mengetahui gambaran kadar HbA1c pasien DM tipe 2 di Laboratorium Patologi Klinik RSUD dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

f. Untuk menganalisis hubungan obesitas menurut indeks massa tubuh dengan kadar HbA1c pasien DM tipe 2 di Laboratorium Patologi Klinik RSUD dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

D. Manfaat penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi :

a. Peneliti

Menambah wawasan tentang obesitas pada pasien DM tipe 2 dan hubungannya dengan kadar HbA1c.

b. Tenaga kesehatan instansi terkait

Menjadi masukan kepada para tenaga kesehatan untuk dapat meningkatkan perannya dalam menentukan tujuan terapi dan memberi penatalaksanaan yang sesuai dengan kondisi pasien obesitas atau tidak obesitas.


(28)

7

c. Masyarakat

Menambah pengetahuan masyarakat tentang penyakit DM dan kaitannya dengan obesitas, sehingga dapat melakukan pencegahan dini.

d. Peneliti lain

Sebagai dasar dan informasi tambahan bagi penelitian dengan ruang lingkup yang sama.

E.Kerangka Pemikiran

DM bisa terjadi pada penderita obesitas karena adanya resistensi insulin. Seiring pertambahan berat badan, tubuh kurang responsif terhadap efek insulin. Akibatnya pankreas akan memproduksi insulin lebih banyak lagi sehingga akan mengakibatkan hiperinsulinemia. Resistensi insulin pada DM tipe 2 memiliki beberapa efek pada metabolisme lemak. Pada keadaan resistensi insulin, hormon sensitive lipase di jaringan adiposa akan menjadi aktif sehingga lipolisis trigliserida di jaringan adiposa semakin meningkat dan menghasilkan kelebihan asam lemak yang akan dibawa ke hepar untuk di sintesis menjadi trigliserida (Thevenod, 2008). Petitti et al. (2007) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa terdapat hubungan antara kadar HbA1c yang tinggi dengan peningkatan trigliserida.

Kadar HbA1c merupakan petunjuk rerata kadar glukosa darah selama 2–3 bulan terakhir. Semakin lama glukosa dalam darah berada di atas kadar yang


(29)

8

normal, semakin banyak glukosa terikat dengan sel darah merah dan semakin tinggi kadar hemoglobin glikosilasi (Smeltzer &Bare, 2002).

Selain itu, kadar HbA1c yang tinggi juga dipengaruhi oleh aktivitas fisik (Gregg EW, 2000). Beberapa kondisi lain yang mempengaruhi kadar HbA1c adalah umur (Wiener & Roberts dalam Kusumastuti, 2011), ras (Herman et al. dalam Kusumastuti, 2011), perdarahan akut dan kronis (Starkman et al. dalam Nitin, 2010), gangguan fungsi ginjal (Yoshiuci et al. dalam Kusumastuti, 2011), kehamilan (Herranz et al. dalam Kusumastuti, 2011), dan advanced liver disease (Koga et al. dalam Kusumastuti, 2011). Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kadar HbA1c lebih rendah pada pasien dengan anemia hemolitik, dan meningkat pada pasien dengan anemia defisiensi besi (ADB) (Coban et al., 2004).

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Umur Kadar HbA1c Kadar gula darah Ras Perdarahan akut dan kronis

Gangguan fungsi ginjal Kehamilan Advance Liver disease Anemia Status gizi :


(30)

9

F. Kerangka konsep

Gambar 2. Kerangka Konsep

G. Hipotesis

Berdasarkan data-data yang sudah dipaparkan dalam latar belakang masalah, penulis menyatakan hipotesis bahwa :

 Ada hubungan obesitas dengan kadar HbA1c pasien diabetes melitus tipe 2 di Laboratorium Patologi Klinik RSUD dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

Obesitas

Pada Pasien DM tipe 2 Kadar HbA1c Independent Variabel Dependent Variabel


(31)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.Diabetes Melitus

1. Definisi

Menurut Tjandra (2009), DM adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh ketidakmampuan tubuh untuk memproduksi hormon insulin atau karena penggunaan yang tidak efektif dari produksi insulin. Hal ini ditandai dengan tingginya kadar gula dalam darah. Sedangkan, menurut American Diabetes Association (ADA) dalam Perkeni 2011, DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.

Robbins (2007) menyatakan bahwa DM adalah gangguan kronis metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. DM merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan kadar glukosa darah melebihi normal. Insulin yang dihasilkan oleh kelenjar pankreas sangat penting untuk menjaga keseimbangan kadar glukosa darah yaitu untuk orang normal (non diabetes) waktu puasa antara 60-120 mg/dL dan dua jam sesudah makan dibawah 140 mg/dL. Bila terjadi gangguan pada kerja insulin, keseimbangan tersebut


(32)

11 akan terganggu sehingga kadar glukosa darah cenderung naik (Badawi et al., 2010).

2. Faktor Risiko

Menurut Perkeni (2011), yang termasuk dalam faktor risiko DM yaitu:

a. Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi : 1) Ras dan etnik

2) Riwayat keluarga dengan diabetes (anak penyandang diabetes) 3) Umur

Risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Usia lebih dari 45 tahun harus dilakukan pemeriksaan DM.

4) Riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi lebih dari 4000 gram atau riwayat pernah menderita diabetes melitus gestasional (DMG).

5) Riwayat lahir dengan berat badan rendah kurang dari 2,5 kg. Bayi yang lahir dengan berat badan rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding dengan bayi lahir dengan berat badan normal.

b. Faktor risiko yang bisa dimodifikasi; 1) Berat badan lebih (IMT > 23 kg/m2). 2) Kurangnya aktivitas fisik.


(33)

12 3) Hipertensi (> 140/90 mmHg).

4) Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL) 5) Diet tak sehat (unhealthy diet)

Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan meningkatkan risiko menderita prediabetes dan diabetes melitus tipe 2.

c. Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes :

1) Penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin

2) Penderita sindrom metabolik memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya.

3) Memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, seperti stroke, PJK, atau PAD (Peripheral Arterial Diseases).

3. Patofisiologi dan Manifestasi Klinis

Insulin memegang peranan yang sangat penting yaitu bertugas memasukkan glukosa ke dalam sel, untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan bakar. Insulin ini adalah hormon yang dikeluarkan oleh sel beta di pankreas. Pada orang yang menderita DM, jumlah insulin yang dihasilkan sel beta kurang atau kualitas insulinnya kurang baik (resistensi insulin), sehingga tubuh tidak dapat mempertahankan kadar glukosa normal dalam darah setelah memakan karbohidrat (Soegondo, 2009).


(34)

13 Jika hiperglikemia berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka akan timbul glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urin (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsia). Karena glukosa hilang bersama urin, maka penderita mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Penderita mengeluh lelah dan mengantuk (Schteingart, 2006).

Sumber : Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (www.perkeni.org)

Gambar 3. Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2

Pada penderita DM tipe 2 mungkin sama sekali tidak merasakan gejala apapun dan diagnosis dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium dan melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang


(35)

14 berat, penderita tersebut mungkin menderita polidipsia, poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya penderita DM tipe 2 tidak mengalami ketoasidosis karena penderita ini tidak defisiensi insulin secara absolut namun hanya relatif. Artinya, sejumlah insulin tetap disekresikan dan masih cukup untuk menghambat ketoasidosis (Schteingart, 2006).

4. Klasifikasi

Klasifikasi DM secara etiologis berdasarkan Perkeni 2011 yaitu:

a. Diabetes tipe 1

Destruksi sel beta yang umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut.

1) Diperantai oleh sistem imun (tipe 1A) 2) Idiopatik

b. Diabetes tipe 2

Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin.

c. Diabetes tipe lain

1) Defek genetik fungsi sel beta 2) Defek genetik pada kerja insulin


(36)

15 3) Penyakit eksokrin pankreas

4) Endokrinopati

5) Karena obat atau zat kimia 6) Infeksi:

7) Sebab imunologi yang jarang

8) Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan diabetes

d. Diabetes melitus gestasional

5. Diagnosis

Selama beberapa dekade, diagnosis diabetes adalah berdasarkan kriteria glukosa plasma. Baik glukosa plasma puasa atau glukosa plasma 2 jam post prandial dalam tes toleransi glukosa oral 75-g (TTGO). Pada tahun 2009, Ahli Internasional Komite yang mencakup perwakilan dari ADA, Federasi Diabetes Internasional (IDF), dan Asosiasi Eropa untuk Studi Diabetes (EASD) merekomendasikan penggunaan A1C untuk mendiagnosa diabetes, dengan ambang sebesar 6,5. Tes diagnostik harus dilakukan dengan menggunakan metode yang disertifikasi oleh Nasional Glycohemoglobin Standardization Program (NGSP) dan referensi uji Diabetes Control and Complications Trial (DCCT) terstandard. Dalam Perkeni 2011 disebutkan bahwa pemeriksaan HbA1c (>6.5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah terstandardisasi dengan baik.


(37)

16 Tabel 1. Kriteria untuk diagnosis diabetes

1.Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl (11.1 mmol/L) Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu

hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir. Atau

2. Gejala klasik DM + kadar glukosa plasma ≥ 126 mg/dl (7,0 mmol/L) Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam

Atau

3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L) TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air

Sumber : Perkeni, Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe di Indonesia 2011



Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti tersebut di bawah ini (Perkeni, 2011) :

a. Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

b. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.


(38)

17 Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru 1x abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosa DM. Diperlukan pemeriksaan lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl pada hari yang lain, atau hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah setelah pembebanan ≥ 200 mg/dl (Perkeni, 2011)

6. Terapi

Pengobatan DM sangat penting dalam menjaga kestabilan kadar gula darah pasien guna mencegah terjadinya berbagai komplikasi akut dan kronik. Hal tersebut menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (2005) dilakukan melalui empat pilar utama pengelolaan DM, yaitu :

1) Edukasi

Berupa pendidikan dan latihan tentang pengetahuan pengelolaan penyakit diabetes melitus bagi pasien dan keluarganya.

2) Perencanaan makan

Perencanaan makan bertujuan untuk mempertahankan kadar normal glukosa darah dan lipid, nutrisi yang optimal, serta mencapai/ mempertahankan berat badan ideal. Adapun komposisi makanan yang


(39)

18 dianjurkan bagi pasien adalah sebagai berikut: karbohidrat 60-70%, lemak 20-25%, dan protein 10-15%.

Menurut Perkeni (2011) perencanaan makan merupakan terapi nutrisi medis (TNM) yang menjadi bagian dari penatalaksanaan diabetes secara total. Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi.

Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin (Perkeni, 2011).

Modifikasi gaya hidup dengan mengikuti pola diet yang sesuai, telah diterima secara umum sebagai dasar pengobatan untuk orang-orang dengan DM tipe 2, dengan harapan bahwa asupan yang tepat energi dan nutrisi akan meningkatkan kontrol glikemik dan mengurangi risiko komplikasi (Mann JI et al., 2004).


(40)

19 3) Latihan jasmani

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan (Perkeni, 2011).

4) Intervensi farmakologis

Diberikan apabila target kadar glukosa darah belum bisa dicapai dengan perencanaan makan dan latihan jasmani. Intervensi farmakologis dapat berupa obat hipoglikemik oral/OHO (insulin sensitizing, insulin secretagogue, penghambat alfa glukosidase), dan insulin, diberikan pada kondisi berikut:

 Penurunan berat badan yang cepat

 Hiperglikemia berat disertai ketosis


(41)

20

 Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik

 Hiperglikemia dengan asidosis laktat

 Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal

 Stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, AMI, stroke)

 Diabetes melitus gestasional yang tak terkendali dengan perencanaan makanan,

 Gangguan fungsi ginjal/hati yang berat

 Kontraindikasi atau alergi OHO.

Menurut Sudoyo et al. (2009), macam-macam obat anti hiperglikemik oral yaitu:

a. Golongan Insulin Sensitizing

Contoh obat yang termasuk golongan ini adalah metformin yang bekerja dengan cara menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor insulin dan menurunkan produksi glukosa hati.

b. Golongan Sekretagok Insulin

Obat ini mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi sekresi insulin oleh sel beta pankreas.

c. Penghambat Alfa Glukosidase

Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim alfa glukosidase di dalam saluran cerna sehingga dengan demikian dapat


(42)

21 menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia postprandial.

7. Pengendalian Diabetes Melitus

Sasaran DM bukan hanya glukosa darah saja, tetapi juga termasuk faktor-faktor lain yaitu berat badan, tekanan darah, dan profil lipid (Sudoyo et al., 2009).

Tabel 2. Kriteria Pengendalian Diabetes Melitus

Kriteria Baik Sedang Buruk

Glukosa darah (mg/dL)  Puasa

 2 jam post prandial

80-100 80-144 100-125 145-179 ≥ 126 ≥ 180

A1c (%) < 6,5 < 6,5-8 ≥ 8

Kol. Total (mg/dL) < 200 200-239 ≥ 240

Kol. LDL (mg/dL) < 100 100-129 ≥130

Kol. HDL (mg/dL) >45

Trigliserida < 150 150-199 ≥200

IMT (kg/m2) 18,5-23 23-25 >25

Tekanan darah (mmHg) ≤130/80 130-140/80-90 >140/90 Sumber : Perkeni, Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe di Indonesia 2006

Kriteria terbaru pengendalian DM menurut Perkeni 2011, dibagi berdasarkan risiko kardiovaskular, yakni sebagai berikut :


(43)

22 Tabel 3. Kriteria Pengendalian Diabetes Melitus Menurut Risiko Kardiovaskuler

Risiko Kardiovaskular (-) Risiko Kardiovaskular (+) IMT (kg/m2) 18,5 - <23

Glukosa darah Puasa (mg/dl) 2 jam PP (mg/dl)

< 100 < 140

A1C (%) < 7,0 < 7.0

Tekanan darah Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg) ≤ 130 ≤ 80 ≤ 130 ≤ 80 LDL kolesterol

(mg/dl)

< 100 < 70

Sumber : Perkeni, Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2011.

Veteran Health Administration and Department of Defense (2010) merekomendasikan bahwa pengambilan keputusan mengenai target glukosa darah berdasarkan atas karakteristik individu pasien yaitu tentang pengetahuan dan kemampuan self-management pasien, durasi dan tingkat keparahan pasien yaitu ada tidaknya komplikasi pada pasien akibat diabetes dan pertimbangan individu pasien yaitu kepatuhan pasien untuk minum obat dan konsistensi pasien pada perubahan gaya hidup.


(44)

23 8. Komplikasi

Tanpa didukung oleh pengelolaan yang tepat, diabetes dapat menyebabkan beberapa komplikasi (IDF, 2007). Komplikasi yang disebabkan dapat berupa:

1) Komplikasi Akut a) Hipoglikemi

Hipoglikemi ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah hingga mencapai <60 mg/dL. Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar, banyak keringat, gemetar, rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai koma) (PERKENI, 2011).

b) Ketoasidosis diabetik

Merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL), disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/mL) dan terjadi peningkatan anion gap (Perkeni, 2011)

c) Hiperosmolar non ketotik

Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas


(45)

24 plasma sangat meningkat (330-380 mOs/mL), plasma keton (+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat.

2) Komplikasi Kronis (Menahun) a. Makroangiopati:

1. Pembuluh darah jantung 2. Pembuluh darah tepi 3. Pembuluh darah otak

b. Mikroangiopati:

1. Pembuluh darah kapiler retina mata (retinopati diabetik) 2. Pembuluh darah kapiler ginjal (nefropati diabetik)

c. Neuropati

d. Komplikasi dengan mekanisme gabungan:

1. Rentan infeksi, contohnya tuberkolusis paru, infeksi saluran kemih, infeksi kulit dan infeksi kaki.


(46)

25 B. Obesitas

1. Definisi

Obesitas merupakan kelainan dari sistem pengaturan berat badan yang ditandai oleh akumulasi lemak tubuh yang berlebihan. Dalam masyarakat primitif, dimana kehidupan sehari-hari membutuhkan aktivitas fisik yang tinggi dan makanan hanya tersedia sesekali, kecenderungan genetik akan berperan dalam penyimpan kalori sebagai lemak karena makanan yang dikonsumsi tidak melebihi kebutuhan (NCHPDP, 2005).

Obesitas merupakan suatu kondisi yang disebabkan oleh dua faktor yaitu adanya peningkatan asupan makanan dan penurunan pengeluaran energi. Untuk menjaga berat badan yang stabil diperlukan keseimbangan antara energi yang masuk dan energi yang keluar (Pi-Sunyer dalam Pusparini, 2007). The United States Department of Health and Human Services (USDHHS) menyebutkan bahwa obesitas didefinisikan berdasarkan status gizi menurut indeks massa tubuh dan lingkar pinggang.

Status gizi adalah suatu ukuran mengenai kondisi tubuh seseorang yang dapat dilihat dari makanan yang dikonsumsi dan penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh. Status gizi dibagi menjadi tiga kategori, yaitu status gizi kurang, gizi normal, dan gizi lebih (Almatsier, 2005).


(47)

26 Status gizi normal merupakan suatu ukuran status gizi dimana terdapat keseimbangan antara jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh dan energi yang dikeluarkan dari luar tubuh sesuai dengan kebutuhan individu. Energi yang masuk ke dalam tubuh dapat berasal dari karbohidrat, protein, lemak dan zat gizi lainnya (Nix, 2005).

Status gizi kurang atau yang lebih sering disebut undernutrition merupakan keadaan gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk lebih sedikit dari energi yang dikeluarkan. Hal ini dapat terjadi karena jumlah energi yang masuk lebih sedikit dari anjuran kebutuhan individu (Wardlaw, 2007).

Sedangkan, status gizi lebih (overnutrition) merupakan keadaan gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh lebih besar dari jumlah energi yang dikeluarkan (Nix, 2005).

2. Penilaian

Penilaian status gizi merupakan penjelasan yang berasal dari data yang diperoleh dengan menggunakan berbagai macam cara untuk menemukan suatu populasi atau individu yang memiliki risiko status gizi kurang maupun gizi lebih (Hartriyanti dan Triyanti, 2007). Penilaian status gizi terdiri dari dua jenis, yaitu :


(48)

27 1) Penilaian Langsung

a. Antropometri

Antropometri merupakan salah satu cara penilaian status gizi yang berhubungan dengan ukuran tubuh yang disesuaikan dengan umur dan tingkat gizi seseorang. Pada umumnya antropometri mengukur dimensi dan komposisi tubuh seseorang (Supariasa, 2001). Metode antropometri sangat berguna untuk melihat ketidakseimbangan energi dan protein. Akan tetapi, antropometri tidak dapat digunakan untuk mengidentifikasi zat-zat gizi yang spesifik (Gibson, 2005).

b. Klinis

Pemeriksaan klinis merupakan cara penilaian status gizi berdasarkan perubahan yang terjadi yang berhubungan erat dengan kekurangan maupun kelebihan asupan zat gizi. Pemeriksaan klinis dapat dilihat pada jaringan epitel yang terdapat di mata, kulit, rambut, mukosa mulut, dan organ yang dekat dengan permukaan tubuh (kelenjar tiroid) (Hartriyanti dan Triyanti, 2007).

c. Biokimia

Pemeriksaan biokimia disebut juga cara laboratorium. Pemeriksaan biokimia pemeriksaan yang digunakan untuk mendeteksi adanya defisiensi zat gizi pada kasus yang lebih parah lagi, dimana dilakukan pemeriksaan dalam suatu bahan biopsi sehingga dapat diketahui kadar zat gizi atau adanya simpanan di jaringan yang


(49)

28 paling sensitif terhadap deplesi, uji ini disebut uji biokimia statis. Cara lain adalah dengan menggunakan uji gangguan fungsional yang berfungsi untuk mengukur besarnya konsekuensi fungsional dari suatu zat gizi yang spesifik. Untuk pemeriksaan biokimia sebaiknya digunakan perpaduan antara uji biokimia statis dan uji gangguan fungsional (Baliwati, 2004).

d. Biofisik

Pemeriksaan biofisik merupakan salah satu penilaian status gizi dengan melihat kemampuan fungsi jaringan dan melihat perubahan struktur jaringan yang dapat digunakan dalam keadaan tertentu, seperti kejadian buta senja (Supariasa, 2001).

2) Penilaian Tidak Langsung a. Survei Konsumsi Makanan

Survei konsumsi makanan merupakan salah satu penilaian status gizi dengan melihat jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi oleh individu maupun keluarga. Data yang didapat dapat berupa data kuantitatif maupun kualitatif. Data kuantitatif dapat mengetahui jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi, sedangkan data kualitatif dapat diketahui frekuensi makan dan cara seseorang maupun keluarga dalam memperoleh pangan sesuai dengan kebutuhan gizi (Baliwati, 2004).


(50)

29 b. Statistik Vital

Statistik vital merupakan salah satu metode penilaian status gizi melalui data-data mengenai statistik kesehatan yang berhubungan dengan gizi, seperti angka kematian menurut umur tertentu, angka penyebab kesakitan dan kematian, statistik pelayanan kesehatan, dan angka penyakit infeksi yang berkaitan dengan kekurangan gizi (Hartriyanti dan Triyanti, 2007).

c. Faktor Ekologi

Penilaian status gizi dengan menggunakan faktor ekologi karena masalah gizi dapat terjadi karena interaksi beberapa faktor ekologi, seperti faktor biologis, faktor fisik, dan lingkungan budaya. Penilaian berdasarkan faktor ekologi digunakan untuk mengetahui penyebab kejadian gizi salah (malnutrition) di suatu masyarakat yang nantinya akan sangat berguna untuk melakukan intervensi gizi (Supariasa, 2001).

3. Faktor Risiko Obesitas

Terdapat banyak penyebab obesitas. Ketidakseimbangan asupan kalori dan konsumsi bervariasi bagi tiap individu. Turut memainkan peranan dan berkontribusi adalah faktor-faktor sebagai berikut (Galletta, 2005):


(51)

30 A. Faktor Genetik

Obesitas cenderung berlaku dalam keluarga. Ini disebabkan oleh faktor genetik, pola makan keluarga, dan kebiasaan gaya hidup. Walaupun begitu, mempunyai anggota keluarga yang obesitas tidak menjamin sesorang itu juga akan mengalami obesitas.

B. Faktor Emosional

Sebagian masyarakat mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang banyak karena depresi, putus asa, marah, bosan, dan banyak alasan lain yang tidak ada hubungannya dengan rasa lapar. Ini tidak berarti bahwa penderita obesitas mengalami lebih banyak masalah emosional daripada orang normal yang lain. Tetapi hanya berarti bahwa perasaan seseorang mempengaruhi kebiasaan makan dan membuat seseorang makan terlalu banyak. Dalam kasus yang jarang, obesitas dapat digunakan sebagai mekanisme pertahanan akibat tekanan sosial yang dihadapi terutama pada dewasa putri. Dalam kasus seperti ini ditambah dengan masalah emosional yang lain, intervensi psikologis mungkin menberikan manfaat.

C.Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan yang paling memainkan peranan adalah gaya hidup seseorang. Kebiasaan makan dan aktivitas seseorang dipengaruhi oleh masyarakat sekitarnya. Makan terlalu banyak dan aktivitas yang pasif (tidak aktif) merupakan faktor risiko utama terjadinya obesitas.


(52)

31 D. Faktor Jenis Kelamin

Secara rata-rata, lelaki mempunyai massa otot yang lebih banyak dari wanita. Lelaki menggunakan kalori lebih banyak dari wanita bahkan saat istirahat karena otot membakar kalori lebih banyak berbanding tipe-tipe jaringan yang lain. Dengan demikian, perempuan lebih mudah bertambah berat badan berbanding lelaki dengan asupan kalori yang sama.

E. Faktor Usia

Semakin bertambah usia seseorang, mereka cenderung kehilangan massa otot dan mudah terjadi akumulasi lemak tubuh. Kadar metabolisme juga akan menurun menyebabkan kebutuhan kalori yang diperlukan lebih rendah.

F. Kehamilan

Pada wanita, berat badannya cenderung bertambah 4–6 kilogram setelah kehamilan dibandingkan dengan berat sebelum kehamilan. Hal ini bisa terjadi setiap dari kehamilan dan kenaikan berat badan ini mungkin akan menyebabkan obesitas pada wanita.


(53)

32 4. Parameter Obesitas

a. Indeks Massa Tubuh

Salah satu parameter untuk menilai status gizi seseorang adalah dengan mengukur indeks massa tubuh. Indeks massa tubuh (IMT) adalah nilai yang diambil dari perhitungan antara berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) seseorang. IMT dipercayai dapat menjadi indikator atau menggambarkan kadar adipositas dalam tubuh seseorang (Grummer-Strawn LM et al., 2002).

Menurut Grummer-Strawn (2002), IMT tidak mengukur lemak tubuh secara langsung, tetapi penelitian menunjukkan bahwa IMT berkorelasi dengan pengukuran secara langsung lemak tubuh seperti underwater weighing dan dual energy x-ray absorbtiometry. IMT merupakan altenatif untuk tindakan pengukuran lemak tubuh karena murah serta metode skrining kategori berat badan yang mudah dilakukan. Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus: IMT = BB(kg)/TB(m2)

Terdapat beberapa klasifikasi IMT yang ditetapkan oleh berbagai organisasi kesehatan, diantaranya adalah sebagai berikut :


(54)

33 Tabel 4. Klasifikasi IMT menurut IDF 2005

No IMT (kg/m2) Kriteria

1. <18,5 Kurang

2. 18,5-24,9 Normal

3. 25,0-29,9 BB Lebih

4. 30,0-34,9 Obesitas Kelas I 5. 35,0-39,9 Obesitas Kelas II

6. >40 Obesitas Kelas III

Tabel 5. IMT berdasarkan standard Asia menurut IOTF (2000)

Penelitian Soegondo (2004) menunjukkan bahwa kriteria indeks massa tubuh (IMT) obesitas >25 kg/m2 lebih cocok untuk diterapkan pada orang Indonesia.

b. Lingkar Pinggang (waist circumference)

Selain menurut IMT, obesitas juga didefinisikan menurut lingkar pinggang. Lingkar pinggang merupakan indikator obesitas sentral yang menggambarkan baik jaringan adiposa subkutan maupun visceral (Sudoyo et al., 2009).

No. IMT (kg/m2) Kategori

1. <18,5 Berat badan kurang

2. 18,5-22,9 Normal

3. 23-24,9 Berisiko

4. 25-29,9 Obesitas Kelas I


(55)

34 International Diabetes Federation (2005) menganggap bahwa obesitas sentral sangat berkorelasi dengan resistensi insulin, oleh karenanya obesitas sentral digunakan sebagai kriteria utama. Nilai cut-off lingkar pinggang ini dipengaruhi oleh etnik. Untuk Asia digunakan cut-off lingkar pinggang ≥ 90 cm untuk pria dan ≥ 80 cm untuk wanita.

Himpunan studi obesitas Indonesia (HISOBI) telah melakukan studi untuk menentukan nilai ambang waist circumference (WC) untuk populasi Indonesia. Studi dilakukan di Bandung, Karawang, Semarang, Solo, Medan, Makasar, dan Jakarta pada 5.978 orang (laki-laki 4.871, wanita 1.107) menunjukkan nilai ambang WC untuk wanita 82,5 cm, dan untuk laki-laki 88,7 cm (Sukmawati dan Harijanto, 2004).

C. HbA1c

1. Definisi

Hemoglobin (HbA) adalah salah satu protein yang mengalami glikosilasi membentuk HbA1c. Kadar HbA1c merupakan petunjuk rerata kadar glukosa darah selama 2–3 bulan terakhir. Untuk mengetahui kepatuhan penderita melakukan pengobatan yang telah ditetapkan. Ketika terjadi kenaikan kadar glukosa darah, molekul glukosa akan menempel pada hemoglobin sel darah merah. Semakin lama glukosa dalam darah berada di atas kadar yang normal, semakin banyak glukosa terikat dengan sel


(56)

35 darah merah dan semakin tinggi kadar hemoglobin glikosilasi (Smeltzer & Bare, 2002).

Kompleks ini (hemoglobin yang terikat dengan glukosa) bersifat permanen dan berlangsung di sepanjang usia sel darah merah yang lamanya kurang lebih 120 hari. Jika kadar glukosa darah normal dapat dipertahankan dan kenaikan kadar glukosa darah jarang terjadi, maka nilai HbA1c tidak akan meningkat secara drastis. Namun, bila kadar glukosa darah selalu tinggi maka pemeriksaan HbA1c akan meningkat (Smeltzer & Bare, 2002).

HbA1c merupakan hemoglobin terglikasi yang dibentuk oleh glikosilasi hemoglobin. Nilainya merupakan status glikemik seseorang selama dua sampai tiga bulan terakhir (Telen MJ et al., 2004).

Menurut American Diabetes Association (ADA) Pedoman 2012, nilai HbA1c harus dikontrol di bawah 7% di semua penderita diabetes. Menurut pedoman yang sama, HbA1c sekarang disebut sebagai A1C. Nilai HbA1c lebih besar dari nilai 7% mengindikasikan kemungkinan peningkatan perkembangan penyakit menjadi komplikasi diabetes, terutama mikrovaskuler (Telen MJ et al., 2004).


(57)

36 2. Pemeriksaan dan Nilai Normal

Prinsip pemeriksaan HbA1c adalah mengukur persentasi hemoglobin sel darah merah yang diselubungi oleh gula. Semakin tinggi nilainya berarti kontrol gula darah buruk dan kemungkinan komplikasi semakin tinggi. Pada orang yang tidak menderita diabetes, kadar HbA1c berkisar antara 4,5 % sampai 6 %. Jika kadarnya 6,5 % atau lebih pada dua pemeriksaan terpisah, maka kemungkinan orang tersebut menderita diabetes. Nilai antara 6 % sampai 6,5 % menunjukkan keadaan pradiabetes. Penderita diabetes yang tidak terkontrol dalam waktu yang lama biasanya memiliki kadar HbA1c lebih dari 9 % sedangkan target pengobatan adalah kadar HbA1c sebesar 7% atau kurang (Githafas, 2010).

Sumber : Harefa, HbA1c Standardization and Recent Updates 2011


(58)

37 1) Metode Pemeriksaan

Terdapat beberapa metode yang sering digunakan dalam pemeriksaan kadar HbA1c, antara lain :

a. Metode Kromatografi Pertukaran Ion

Prinsip dari metode ini adalah titik isoelektrik HbA1c lebih rendah dan lebih cepat bermigrasi dibandingkan komponen hemoglobin lainnya. Apabila menggunakan metode ini, perubahan suhu reagen dan kolom, kekuatan ion dan pH dari buffer harus dikontrol (Widijanti dan Ratulangi, 2011).

Kelemahan dari metode ini adalah adanya interferensi variabel dari hemoglobinopati, HbF dan carbamylated Hb (HbC) yang bisa memberikan hasil negatif palsu. Keuntungan metode ini adalah dapat memeriksa kromatogram Hb varian dengan tingkat presisi yang tinggi (Harefa, 2011).

b. Metode HPLC (High Performance Liquid Chromatography)

Metode ini memiliki prinsip yang sama dengan Ion Exchange Chromatography, bisa diotomatisasi serta memiliki akurasi dan presisi yang baik sekali. Metode ini juga direkomendasikan menjadi metode referensi untuk pemeriksaan kadar HbA1c (Widijanti dan Ratulangi, 2011).


(59)

38 c. Metode Agar Gel Elektroforesis

Metode ini memiliki hasil yang berkorelasi dengan baik dengan HPLC tetapi presisinya kurang dibandingkan HPLC. HbF memberikan hasil positif palsu tetapi kekuatan ion, pH, suhu, HbS dan HbC tidak banyak berpengaruh pada metode ini (Widijanti dan Ratulangi, 2011).

d. Metode Immunoassay (EIA)

Prinsip dari metode ini adalah ikatan yang terjadi antara antibodi dengan glukosa dan antara asam amino-4 dengan 10 N-terminal rantai β. Kelemahan dari metode ini adalah dapat dipengaruhi oleh gangguan hemoglobinopati dengan asam amino lengkap pada sisi yang berikatan dan beberapa gangguan yang berasal dari HbF (Harefa, 2011) sehingga metode ini hanya mampu mengukur HbA1c dan tidak dapat mengukur HbA1c yang labil maupun HbA1a dan HbA1b (Widijanti dan Ratulangi, 2011).

Keuntungan dari metode ini adalah tidak dipengaruhi oleh HbE dan HbD maupun carbamylated hemoglobin sehingga relatif lebih mudah diimplementasikan pada berbagai format yang berbeda dan memiliki presisi yang baik (Harefa, 2011).

e. Metode Affinity Chromatography

Prinsip dari metode ini adalah glukosa yang terikat pada asam m-amino fenilboronat. Kelemahan dari metode ini adalah bukan hanya


(60)

39 mengukur glikasi valin pada N-terminal rantai β tetapi juga glikasi rantai β pada bagian lain dan glikasi rantai α sehingga hasil pengukuran dengan metode ini lebih tinggi daripada dengan metode HPLC (Harefa, 2011).

2) Bahan atau spesimen

Bahan atau spesimen yang digunakan untuk pemeriksaan HbA1c adalah sampel darah yang diambil dari pembuluh darah vena di lengan (Prodia, 2008). Bagian dari lengan yang diambil darahnya biasanya dari bagian dalam siku atau bagian belakang tangan. Sebelum dilakukan pengambilan darah, tempat yang akan ditusuk harus dibersihkan terlebih dahulu dengan larutan antiseptik, kemudian tenaga kesehatan membungkus daerah di sekitar lengan atas dengan sebuah band elastis. Hal ini dilakukan dengan tujuan memberikan tekanan pada daerah tersebut sehingga vena menjadi membengkak oleh darah (Indah, 2011).

Selanjutnya, tenaga kesehatan memasukkan dengan perlahan jarum ke dalam vena. Darah dikumpulkan dalam tabung kedap udara yang melekat pada jarum kemudian band elastis dilepaskan agar peredaran darah di daerah lengan atas kembali lancar. Bekas tusukan jarum ditutup untuk menghentikan pendarahan. Darah yang diperoleh dikumpulkan ke dalamtabung gelas kecil yang disebut pipet atau ke strip slide atau strip tes (Indah, 2011).


(61)

40 3. Manfaat

Manfaat dari pemeriksaan HbA1c sehingga perlu dilakukan oleh penderita DM antara lain sebagai monitoring kontrol glukosa jangka panjang, penyesuaian terapi, menilai kualitas perawatan diabetes, memprediksi kerusakan jaringan yang disebabkan oleh tingginya kadar glukosa darah dan melihat kepatuhan pengobatan penderita diabetes Melitus, serta untuk memprediksi komplikasi mikro dan makro- kardiovaskular (Harefa, 2011).

4. Keunggulan

Pemeriksaan kadar HbA1c lebih direkomendasikan untuk pemantauan pengendalian glukosa karena lebih stabil dalam suhu kamar dibanding glukosa plasma puasa, pengambilan sampel lebih mudah dan pasien merasa lebih nyaman, metode telah terstandardisasi dengan baik dan keakuratannya dapat dipercaya, serta variabilitas biologisnya dan instabilitas preanalitiknya lebih rendah dibanding glukosa plasma puasa (Harefa, 2011).

5. Keterbatasan

Keterbatasan pemeriksaan kadar HbA1c antara lain karena harganya lebih mahal dibandingkan pemeriksaan glukosa (Harefa, 2011) dan dipengaruhi


(62)

41 oleh kadar hemoglobin dalam darah (anemia) (Coban et al., 2004). Selain itu, faktor usia juga menjadi keterbatasannya sebab kadar HbA1c meningkat seiring bertambahnya usia, akan tetapi seberapa besar perubahan dan pengaruh usia terhadap peningkatan HbA1C belum dapat dipastikan (Harefa, 2011).

Etnis atau ras juga berpengaruh. Etnis yang berbeda memiliki sensitivitas dan spesifisitas HbA1C yang berbeda, diduga mungkin berkaitan dengan: perbedaan genetik dalam konsentrasi hemoglobin (Hb), tingkat kecepatan glikasi (perbedaan tingkat kecepatan glukosa masuk dalam eritrosit, kecepatan penambahan atau lepasnya glukosa dari hemoglobin) dan masa hidup/daya tahan serta jumlah sel darah merah (Harefa, 2011).


(63)

III. METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional yang bersifat analitik dengan pendekatan cross sectional yaitu desain penelitian dengan pengukuran variabel yang dilakukan satu waktu saja (Notoatmodjo,2010) untuk mengetahui hubungan obesitas dengan kadar HbA1c pasien DM Tipe 2 di Laboratorium Patologi Klinik RSUD dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

1. Waktu Penelitian

Penelitian telah dilakukan pada 22 November 2012 sampai dengan 17 Januari 2013.


(64)

43 2. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik RSUD dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah pasien diabetes melitus tipe 2 yang melakukan pemeriksaan kadar HbA1c di Laboratorium Patologi Klinik RSUD dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung. Data populasi pasien DM tipe 2 yang melakukan pemeriksaan HbA1c dalam satu hari sekitar 1-2 pasien. Sehingga selama 1 bulan jumlah pasien DM tipe 1-2 yang memeriksakan HbA1c berkisar antara 25-50 pasien.

2. Sampel

Sampel pada penelitian ini adalah pasien diabetes melitus tipe 2 yang melakukan pemeriksaan kadar HbA1c di Laboratorium Patologi Klinik RSUD dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung selama periode penelitian 30 hari. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara accidental sampling, yaitu mengambil kasus atau responden yang kebetulan ada atau tersedia di suatu tempat sesuai dengan konteks penelitian. Seberapapun


(65)

44 banyaknya sampel yang ada pada waktu penelitian akan dijadikan sampel penelitian (Notoatmodjo, 2010). Ciri penelitian cross sectional pada penelitian di rumah sakit, besarnya sampel tidak dihitung, tetapi ditentukan berdasarkan periode tertentu (Budiarto, 2004).

Adapun kriteria inklusi pada penelitian ini meliputi: a. Pasien diabetes melitus tipe 2

b. Melakukan pemeriksaan kadar HbA1c c. Bersedia menjadi responden

Dan kriteria eksklusi pada penelitian ini meliputi :

a. Pasien dengan anemia berat (laki-laki: Hb < 13,5 mg/dl ; wanita: Hb <12 mg/dl)

b. Pasien dengan riwayat penyakit liver, ginjal, dan perdarahan

D. Identifikasi Variabel

Adapun variabel pada penelitian ini adalah:

a. Variabel independen : obesitas pada pasien DM tipe 2 b. Variabel dependen : kadar HbA1c


(66)

45 E. Definisi Operasional

Tabel 6. Definisi Operasional

Variabel Definisi

Operasional Cara Ukur Alat Ukur Skala Keterangan Obesitas pada pasien DM tipe 2 Status gizi pasien diabetes melitus tipe 2 yang di hitung menurut Rumus IMT=BB/TB2, dimana BB adalah berat badan dalam kilogram dan TB adalah tinggi badan dalam meter, dengan hasil >25 kg/m2.

Antropometri Timbangan berat badan dan pengukur tinggi badan dengan microtoise

Kategorik Dari hasil pengukuran ditentukan kriteria obesitas berdasarkan : 1. <25 kg/m2 =

tidak 2. >25 kg/m2 =

ya Kadar HbA1c Melihat kontrol glikemik pasien DM tipe 2 dengan mengukur konsentrasi glukosa darah rata-rata selama periode 1-3 bulan Pengukuran Laboratoris Immuno-assay

Kategorik 1. Dari hasil pengukuran, ditentukan kriteria berdasarkan:

1.≤ 7% =

Baik 2. >7%=

Buruk (ADA, 2012)


(67)

46 F. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data primer yaitu penimbangan berat badan, pengukuran tinggi badan, dan pengukuran lingkar pinggang pasien diabetes melitus tipe 2 yang sedang memeriksakan kadar HbA1c di Laboratorium Patologi Klinik RSUD dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung sebagai dasar perhitungan indeks massa tubuh dan lingkar pinggang pasien, serta data sekunder yaitu melihat rekam medis dan laporan hasil pemeriksaan HbA1c pasien tersebut.

G. Tahapan Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilakukan dalam 4 (empat) tahap, yaitu:

a. Tahap Persiapan

Pelaksanaan penelitian diawali dengan survei tempat dan survei pasien, serta meminta izin kepada pihak pimpinan di RSUD dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung untuk melakukan penelitian.

b. Tahap Pengumpulan Data

Pada tahapan ini kegiatan yang akan dilaksanakan adalah:

1) Meminta kesediaan responden untuk menjadi subjek penelitian (diukur tinggi badan , ditimbang berat badan, dan diukur lingkar pinggangnya) dengan informed consent.


(68)

47 2) Mengumpulkan data dengan melakukan pengukuran tinggi badan, berat badan, dan lingkar pinggang pasien secara langsung oleh peneliti.

3) Mengumpulkan data hasil pemeriksaan HbA1c pasien yang bersedia menjadi subjek penelitian dari laboratorium dan melihat rekam medis pasien.

4) Menghitung indeks massa tubuh dengan rumus : IMT = BB(kg)/TB(m2)

c. Pengolahan dan analisis data

d. Kesimpulan

H. Pengolahan dan Analisis Data

Data diperoleh dengan cara mempelajari data primer berupa hasil perhitungan indeks massa tubuh dan data lingkar pinggang pasien DM tipe 2 di Laboratorium Sentral RSUD dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

1. Pengolahan Data

Data yang telah diperoleh dari proses pengumpulan data akan diubah ke dalam bentuk tabel, kemudian data diolah menggunakan alat bantu


(69)

48 perangkat lunak SPSS for Windows. Selanjutnya, proses pengolahan data menggunakan program komputer ini terdiri dari beberapa langkah:

a. Coding, untuk menerjemahkan data yang dikumpulkan selama penelitian ke dalam simbol yang cocok untuk keperluan analisis. b. Data Entry, memasukkan data ke dalam komputer.

c. Verifying, melakukan pemeriksaan secara visual terhadap data yang telah dimasukkan ke dalam komputer.

d. Computer Output, hasil analisis yang telah dilakukan oleh komputer kemudian dicetak.

2. Analisis Data

Dengan melihat data yang diperoleh, data akan diolah dengan alat bantu perangkat lunak SPSS for Windows. Untuk analisis data digunakan analisis data univariat & analisis bivariat.

a. Analisis data univariat adalah analisis data untuk mengetahui gambaran masing-masing variabel, yaitu indeks massa tubuh, obesitas menurut indeks massa tubuh, dan kadar HbA1c, serta gambaran obesitas sentral menurut lingkar pinggang pasien diabetes melitus tipe 2 di Laboratorium Patologi Klinik RSUD dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

b. Analisis data bivariat digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara obesitas menurut indeks massa tubuh dengan kadar


(70)

49 HbA1c pada pasien diabetes melitus tipe 2 di Laboratorium Patologi Klinik RSUD dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

Analisis ini dilakukan dengan menggunakan uji statistik Chi Square yaitu: �2 =Σ(�� − �ℎ)

2 �ℎ

Keterangan:

x2 = Kai kuadrat

fo = Frekuensi hasil observasi dari sampel penelitian

fh = Frekuensi yang diharapkan pada populasi penelitian dengan α = 0,05

Tetapi bila tidak memenuhi syarat uji chi square, yakni bila terdapat sel yang memiliki nilai expected < 5 lebih dari 20 %, maka digunakan uji alternatifnya, yaitu Uji Fisher (untuk tabel 2x2) (Dahlan, 2009).


(71)

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S. 2005. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT.Gramedia Pustaka Utama.Jakarta

American Diabetes Association. Standards of Medical Care in Diabetes- 2012. Diabetes Care 2010;30:S4-41.

Arisman. 2011. Buku Ajar Ilmu Gizi Obesitas, Diabetes Melitus dan Dislipidemia. EGC. Jakarta. 44-54 hlm.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2007. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nasional. Jakarta.

Badawi A, Klip A, Haddad P, Cole D, Bailo BG, El-Sohemy , Karmali M. 2010. Type 2 diabetes mellitus and inflammation: Prospects for biomarkers of risk and nutritional intervention. PubMed Central Diabetes Metab Syndr Obes,3:173-186.

Baliwati, Y. F., Ali K., & Caroline M. D. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. PT. Penebar Swadaya. Jakarta.

Bays, H.E, R. H. Chapman, S. Grandy. 2007. The relationship of body mass index to diabetes mellitus, hypertension and dyslipidaemia: comparison of data from two national surveys. International Journal of clinical Pratice.Doi: 10.1111/j.1742-1241.2007.01336.x.

Bintanah, S., Erma H. 2012. Asupan serat dengan kadar gula darah, kadar kolesterol total dan status gizi pada pasien diabetes melitus tipe 2 di rumah sakit roemani semarang. LPPM Unimus. Jurnal ISBN : 978-602-18809-0-6


(72)

81 Brunner, L & Suddarth, D. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Edisi 8.

EGC. Jakarta.

Budiarto, E. 2004. Metode Penelitian Kedokteran. EGC. Jakarta. 61 hlm.

Candra, A. 2011. Kasus Diabetes Terus Meningkat. http: // nasional.kompas. com/read/ 2008/11/19/14085625/ Kasus. Diabetes. Terus. Meningkat. Diakses tanggal 23 Februari 2012.

Chen, Yu & Marthin J.B. 2012. Association between gastric helicobacter pylori colonization and glycated hemoglobin levels. Oxford Journal. infdis.jis106.

Coban E, Ozdogan M, Timuragaoglu A. 2004. Effect of iron deficiency anemia on the levels of hemoglobin A1c in nondiabetic patients. Acta Haematol, 112(3):126–128.

Dahlan, S. 2009. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Penerbit Salemba Medika. Jakarta. 19 hlm.

Dewi, RP. 2013. Faktor risiko perilaku yang berhubungan dengan kadar gula darah pada penderita diabetes melitus tipe 2 di rsud kabupaten karanganyar. Jurnal Kesehatan Masyarakat FKM Undip 2(1): 1-11.

Dinas Kesehatan Bandar Lampung.2011.Profil Kesehatan Provinsi Lampung. Bandar Lampung.

Eeg-Olofsson K, Cederholm J, Nilsson PM. 2009. Risk of cardiovascular disease and mortality in overweight and obese patients with type 2 diabetes: an observational study in 13,087 patients. [PubMed: 18985314] 52(1):65–73.

Fortress, 2000. Fortress Diagnostic Haemoglobin A1C Micro Column. Fortress Diagnostic Limited. United Kingdom.

Galletta, G. 2005. Obesity: Obesity Cause. University of Massachusetts.

Gastaldelli A, Miyazaki Y, Pettiti M, Buzzigoli E,Mahankali S, Ferrannini E, et al. Separate contribution of diabetes, total fat mass, and fat topography to


(73)

82 glucose production, gluconeogenesis,and glycogenolysis. J Clin Endocrinol Metab 2004; 89: 3914-21.

Gibson, R. S. 2005. Principles of Nutritional Assessment. Second Edition. Oxford University Press Inc. New York.

Githafas. 2010. Pemeriksaan HbA1c Pada Penderita Diabetes. http://www.ilunifk83.com/t224p270-diabetes-melitus/. Diakses tanggal 30 September 2012

Ghazanfari, Zeinab, Shamshaddin .N, Fazlollah .G, Bagher .L, Hamid .A, Ali Montazeri. 2010. Determinants of glycemic control in female diabetic patients: a study from Iran. Lipid in Health and Disease 9:83

Goudswaard, Alex.N, Ronald P. Stolk, Peter Zuithoff & Guy E.H.M. Rutten. 2004. Patient characteristics do not predict poor glycaemic control in type 2 diabetes patients treated in primary care. European Journal of Epidemiologi 19: 541-545.

Gregg, Beckles GL, Williamson DF, Leveille SG, Langlois JA, Engelgau MM, Narayan KM. 2000. Diabetes and physical disability among older U.S. adults. Diabetes Care 23:1272-1277.

Grummer-Strawn, LM. 2002. Assessing your weight: about BMI for adult. American Journal of Clinical Nutrition. CDC. New York

Harefa, E. 2011. HbA1c Standardization and Recent Updates. Prodia Laboratories. Makassar.

Hartriyanti, Y & Triyanti. 2007. Penilaian Status Gizi dalam Gizi dan Kesehatan Masyarakat. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Herman, Uwaifo.G, Haffner .S, Kahn .S.E, Horton .E.S. 2007. Differences in A1C by race and ethnicity among patients with impaired glucose tolerance in the diabetes prevention program. Diabetes Care 30:2753-2757.

Indah, N. 2011. HbA1C. http://medicalstudentdate.blogspot.com/2011/hba1c. html/. Diakses tanggal 30 September 2012


(74)

83 International Diabetes Federation. 2005. IDF Clinical Guidelines Task Force.

Global guideline for Type 2 diabetes. Brussels.

IOTF (International Obesity Task Force). 2000. Redefining Obesity and its treatment. The Asia Pasific Perspective.

Ismail, H, Hanafiah, Siti .S, Salmiah, Huda, Tahir, Yunus. Control of glycosylated haemoglobin (HbA1c) among type 2 diabetes mellitus patients attending an urban health clinic in malaysia. 2011. Medical and Health Science Journal 9. pp. 58-65.

Jeffcoate, SL .2004. Diabetes control and complications: the role of glycated haemoglobin, 25 years on. Diabet Med Jul;21(7): 657–665.

Klisiewicz, AM., Raal, F. 2009. Sub-optimal management of type 2 Diabetes mellitus – a local audit. Journal JEMDSA 14(1):13-16

Kurniawan, A., 2005. Current review of diabetes mellitus :. kumpulan makalah one day symposium an update on the management of diabetes mellitus, Panitia Pelantikan Dokter Baru Periode 151 Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Solo,

Kurniawati, D.M. & M.Isnawati. 2011. Perbedaan perubahan berat badan, aktifitas fisik, dan kontrol glukosa darah antara anggota organisasi penyandang diabetes melitus dan non anggota. (Artikel Penelitian) Undip. Semarang

Kusumastuti. 2011. Perbedaan Kadar HbA1C Pada Wanita Usia Subur Dengan Anemia Defisiensi Besi dan Tanpa Anemia Defisiensi Besi. (Tesis) Program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada.Yogyakarta

Look AHEAD Research Group. 2007. Reduction in weight and cardiovascular disease risk factors in individuals with type 2 diabetes. [PubMed: 17363746] Diabetes Care 30:1374–1383

Melinda, 2010. Indonesia, Peringkat Keempat Jumlah Penderita Diabetes Melitus Terbanyak di Dunia. http://www.melindahospital.com/modul/user/detail artikelphp ?id= 963Indonesia,-Peringkat-Keempat-Jumlah-Penderita-Diabetes-Melitus-Terbanyak-di-Dunia. Diakses tanggal 23 Februari 2012


(75)

84 National Center for Health Promotion and Disease Prevention. 2005. Clinical

Reference Manual : Weight Management Program. NCP. Washington DC

National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases (NIDDK). National Diabetes Statistics. 2011. http://diabetes.niddk.nih.gov/dm/pubs/ statistics/#fast. Diakses tanggal 28 Januari 2013

Nitin, S. 2010. HbA1c and factors other than diabetes mellitus affecting it. Singapore Medical Journal.51(8): 616-622

Nix, S. 2005. William’s Basic Nutrition & Diet Therapy, Twelfth Edition. Elsevier Mosby Inc, USA.

Nguyen, Ninh.T, Xuan-Mai T, John Lane, Ping Wang. 2010. Relationship Between Obesity and Diabetes in a US Adult Population: Findings from the National Health and Nutrition Examination Survey, 1999–2006. DOI 10.1007/s11695-010-0335-4. University of California. California USA.

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta

Pelt REV., Schwartz RS, and Kohrt WM. Insulin secretion and clearance after subacute estradiol administration in postmenopausal women. J Clin Endocrinol Metab. 2008. 93: 484 – 90

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2005. Diabetes Melitus. Standar Pelayanan Medik. PB PAPDI. Jakarta.

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia. Jakarta.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus tipe II di Indonesia. PB.PERKENI. Jakarta

Petitti DB, Imperatore G, Palla SL, Daniel SR, Dolan LM, Kershnar AK. 2007. Serum lipids and glucose control. Arch Pediart Adolesc Med 161: 159-165


(76)

85 Pratiwi, A.D. 2007. Epidemiologi, program penanggulangan, dan isu mutakhir

diabetes melitus. Jurnal Unhas Makassar.

Price & Wilson. 2006. Patofisiologi Volume 2. EGC. Jakarta

Prodia. 2008. Tes HbA1C Untuk Cek Rata-Rata Kadar Gula Darah. http:///www.prodiakalimantan.com/tes-hba1c-untuk-cek-rata-rata-kadar-gula-darah/. Diakses tanggal 30 September 2012

Pusparini. 2007. Central obesity, metabolic syndrome and type 2 diabetes mellitus. Journal Universa Medicina 26: 195-204

Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi Anatomi Volume 2 Edisi 7. EGC. Jakarta

Schteingart, D.E. 2006. Metabolisme Glukosa dan Diabetes Melitus : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC, Jakarta. 785 hlm.

Service FJ, O’Brien PC. 2001. The relation of glycaemia to the risk of development and progression of retinopathy in the diabetes control and complications trial. Journal Diabetologia 44: 1215-1220.

Sidartawan, 2004. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Bagi Dokter Puskesmas. FK UI. Jakarta

Smeltzer, Suzanne C. & Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Edisi 8 Vol 2. EGC. Jakarta

Soegondo, S. 2004. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. FKUI. Jakarta

Soegondo, S. 2009. Farmakoterapi pada Pengendalian Glikemia Diabetes Melitus Tipe 2 : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Stefani, S. 2010. Prevalensi dan faktor risiko penyakir jantung koroner pada penderita diabetes melitus tipe 2 di rumah sakit immanuel bandung periode januari-desember 2010. Jurnal Universitas Kristen Maranatha 10: 1-9.


(77)

86 Sudoyo, A, Bambang .S, Adrus .A, Marcellus .S, Siti .S. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta.

Sukmawati, I.R., Harijanto .T. 2004. Optimal cut off value for obesity: Using anthropometric indices to predict atherogenic dyslipidemia in Indonesia population. In 3rd National Obesity Symposium (NOS III). p. 87-88.

Supariasa, I. D. N., Bakhyar, B. & Ibnu F. 2001. Penilaian Status Gizi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Suyono, S. 2007. Penatalaksanaan Diabetes Terpadu Edisi II. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta.

Taufiq, F.P.A. 2011. Hubungan Antara Pengetahuan Tentang Diabetes Melitus dan Dukungan Keluarga dengan Kualitas Hidup Pasien Diabetes Melitus tipe 2 di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.(Skripsi) Unila. Bandar Lampung

Telen MJ, Kaufman RE. 2004. The mature erythrocyte in Wintrobe’s Clinical Hematology 11th ed. Lippincot Williams and Wilkins. 230 hlm.

Tjandra, 2009. Tahun 2030 Prevalensi Diabetes Melitus Di Indonesia Mencapai 21,3 Juta Orang. http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press- release/414-tahun-2030-prevalensi-diabetes-melitus-di-indonesia-mencapai-213-juta-orang.html. Diakses tanggal 23 Februari 2012

Thevenod, F. 2008. Pathophysiology of Diabetes Mellitus Type 2 : Roles of Obesity, Insulin Resistance and ß-cell dysfunction. Medical Journal 19: 1-18

US Department of Health and Human Services. 2000. The Practical Guide to the Identification, Evaluation, and Treatment of Overweight and Obesity in Adult. NIH--National Heart, Lung, and Blood Institute. Bethesda.

VHA (Veteran Health Administration) & DoD (Department of Defense). 2010. Clinical Practice Deadline Management of Diabetes Melitus. Washington DC.


(78)

87 Wardlaw, G.M. & Jeffrey, S. H. 2007. Perspectives in Nutrition Seventh Edition.

Mc Graw Hill Companies Inc. New York.

Widijanti & Ratulangi, B.T. 2011. Jenis Pemeriksaan yang Harus Dilakukan Penderita Diabetes. Laboratorium Patologi Klinik RSUD Dr. Saiful Anwar FK Unibraw. Malang.

www.perkeni.org . Diakses tanggal 23 Februari 2012.

Yusra, A. 2011. Hubungan Antara Dukungan Keluarga dengan Kualitas Hidup Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Pusat Fatmawati Jakarta. (Tesis) UI. Jakarta


(1)

82 glucose production, gluconeogenesis,and glycogenolysis. J Clin Endocrinol Metab 2004; 89: 3914-21.

Gibson, R. S. 2005. Principles of Nutritional Assessment. Second Edition. Oxford University Press Inc. New York.

Githafas. 2010. Pemeriksaan HbA1c Pada Penderita Diabetes. http://www.ilunifk83.com/t224p270-diabetes-melitus/. Diakses tanggal 30 September 2012

Ghazanfari, Zeinab, Shamshaddin .N, Fazlollah .G, Bagher .L, Hamid .A, Ali Montazeri. 2010. Determinants of glycemic control in female diabetic patients: a study from Iran. Lipid in Health and Disease 9:83

Goudswaard, Alex.N, Ronald P. Stolk, Peter Zuithoff & Guy E.H.M. Rutten. 2004. Patient characteristics do not predict poor glycaemic control in type 2 diabetes patients treated in primary care. European Journal of Epidemiologi 19: 541-545.

Gregg, Beckles GL, Williamson DF, Leveille SG, Langlois JA, Engelgau MM, Narayan KM. 2000. Diabetes and physical disability among older U.S. adults. Diabetes Care 23:1272-1277.

Grummer-Strawn, LM. 2002. Assessing your weight: about BMI for adult. American Journal of Clinical Nutrition. CDC. New York

Harefa, E. 2011. HbA1c Standardization and Recent Updates. Prodia Laboratories. Makassar.

Hartriyanti, Y & Triyanti. 2007. Penilaian Status Gizi dalam Gizi dan Kesehatan Masyarakat. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Herman, Uwaifo.G, Haffner .S, Kahn .S.E, Horton .E.S. 2007. Differences in A1C by race and ethnicity among patients with impaired glucose tolerance in the diabetes prevention program. Diabetes Care 30:2753-2757.

Indah, N. 2011. HbA1C. http://medicalstudentdate.blogspot.com/2011/hba1c. html/. Diakses tanggal 30 September 2012


(2)

83 International Diabetes Federation. 2005. IDF Clinical Guidelines Task Force.

Global guideline for Type 2 diabetes. Brussels.

IOTF (International Obesity Task Force). 2000. Redefining Obesity and its treatment. The Asia Pasific Perspective.

Ismail, H, Hanafiah, Siti .S, Salmiah, Huda, Tahir, Yunus. Control of glycosylated haemoglobin (HbA1c) among type 2 diabetes mellitus patients attending an urban health clinic in malaysia. 2011. Medical and Health Science Journal 9. pp. 58-65.

Jeffcoate, SL .2004. Diabetes control and complications: the role of glycated haemoglobin, 25 years on. Diabet Med Jul;21(7): 657–665.

Klisiewicz, AM., Raal, F. 2009. Sub-optimal management of type 2 Diabetes mellitus – a local audit. Journal JEMDSA 14(1):13-16

Kurniawan, A., 2005. Current review of diabetes mellitus :. kumpulan makalah one day symposium an update on the management of diabetes mellitus, Panitia Pelantikan Dokter Baru Periode 151 Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Solo,

Kurniawati, D.M. & M.Isnawati. 2011. Perbedaan perubahan berat badan, aktifitas fisik, dan kontrol glukosa darah antara anggota organisasi penyandang diabetes melitus dan non anggota. (Artikel Penelitian) Undip. Semarang

Kusumastuti. 2011. Perbedaan Kadar HbA1C Pada Wanita Usia Subur Dengan Anemia Defisiensi Besi dan Tanpa Anemia Defisiensi Besi. (Tesis) Program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada.Yogyakarta

Look AHEAD Research Group. 2007. Reduction in weight and cardiovascular disease risk factors in individuals with type 2 diabetes. [PubMed: 17363746] Diabetes Care 30:1374–1383

Melinda, 2010. Indonesia, Peringkat Keempat Jumlah Penderita Diabetes Melitus Terbanyak di Dunia. http://www.melindahospital.com/modul/user/detail artikelphp ?id= 963Indonesia,-Peringkat-Keempat-Jumlah-Penderita-Diabetes-Melitus-Terbanyak-di-Dunia. Diakses tanggal 23 Februari 2012


(3)

84 National Center for Health Promotion and Disease Prevention. 2005. Clinical

Reference Manual : Weight Management Program. NCP. Washington DC

National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases (NIDDK). National Diabetes Statistics. 2011. http://diabetes.niddk.nih.gov/dm/pubs/ statistics/#fast. Diakses tanggal 28 Januari 2013

Nitin, S. 2010. HbA1c and factors other than diabetes mellitus affecting it. Singapore Medical Journal.51(8): 616-622

Nix, S. 2005. William’s Basic Nutrition & Diet Therapy, Twelfth Edition. Elsevier Mosby Inc, USA.

Nguyen, Ninh.T, Xuan-Mai T, John Lane, Ping Wang. 2010. Relationship Between Obesity and Diabetes in a US Adult Population: Findings from the National Health and Nutrition Examination Survey, 1999–2006. DOI 10.1007/s11695-010-0335-4. University of California. California USA.

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta

Pelt REV., Schwartz RS, and Kohrt WM. Insulin secretion and clearance after subacute estradiol administration in postmenopausal women. J Clin Endocrinol Metab. 2008. 93: 484 – 90

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2005. Diabetes Melitus. Standar Pelayanan Medik. PB PAPDI. Jakarta.

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia. Jakarta.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus tipe II di Indonesia. PB.PERKENI. Jakarta

Petitti DB, Imperatore G, Palla SL, Daniel SR, Dolan LM, Kershnar AK. 2007. Serum lipids and glucose control. Arch Pediart Adolesc Med 161: 159-165


(4)

85 Pratiwi, A.D. 2007. Epidemiologi, program penanggulangan, dan isu mutakhir

diabetes melitus. Jurnal Unhas Makassar.

Price & Wilson. 2006. Patofisiologi Volume 2. EGC. Jakarta

Prodia. 2008. Tes HbA1C Untuk Cek Rata-Rata Kadar Gula Darah. http:///www.prodiakalimantan.com/tes-hba1c-untuk-cek-rata-rata-kadar-gula-darah/. Diakses tanggal 30 September 2012

Pusparini. 2007. Central obesity, metabolic syndrome and type 2 diabetes mellitus. Journal Universa Medicina 26: 195-204

Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi Anatomi Volume 2 Edisi 7. EGC. Jakarta

Schteingart, D.E. 2006. Metabolisme Glukosa dan Diabetes Melitus : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC, Jakarta. 785 hlm.

Service FJ, O’Brien PC. 2001. The relation of glycaemia to the risk of development and progression of retinopathy in the diabetes control and complications trial. Journal Diabetologia 44: 1215-1220.

Sidartawan, 2004. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Bagi Dokter Puskesmas. FK UI. Jakarta

Smeltzer, Suzanne C. & Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Edisi 8 Vol 2. EGC. Jakarta

Soegondo, S. 2004. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. FKUI. Jakarta

Soegondo, S. 2009. Farmakoterapi pada Pengendalian Glikemia Diabetes Melitus Tipe 2 : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Stefani, S. 2010. Prevalensi dan faktor risiko penyakir jantung koroner pada penderita diabetes melitus tipe 2 di rumah sakit immanuel bandung periode januari-desember 2010. Jurnal Universitas Kristen Maranatha 10: 1-9.


(5)

86 Sudoyo, A, Bambang .S, Adrus .A, Marcellus .S, Siti .S. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta.

Sukmawati, I.R., Harijanto .T. 2004. Optimal cut off value for obesity: Using anthropometric indices to predict atherogenic dyslipidemia in Indonesia population. In 3rd National Obesity Symposium (NOS III). p. 87-88.

Supariasa, I. D. N., Bakhyar, B. & Ibnu F. 2001. Penilaian Status Gizi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Suyono, S. 2007. Penatalaksanaan Diabetes Terpadu Edisi II. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta.

Taufiq, F.P.A. 2011. Hubungan Antara Pengetahuan Tentang Diabetes Melitus dan Dukungan Keluarga dengan Kualitas Hidup Pasien Diabetes Melitus tipe 2 di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.(Skripsi) Unila. Bandar Lampung

Telen MJ, Kaufman RE. 2004. The mature erythrocyte in Wintrobe’s Clinical Hematology 11th ed. Lippincot Williams and Wilkins. 230 hlm.

Tjandra, 2009. Tahun 2030 Prevalensi Diabetes Melitus Di Indonesia Mencapai 21,3 Juta Orang. http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press- release/414-tahun-2030-prevalensi-diabetes-melitus-di-indonesia-mencapai-213-juta-orang.html. Diakses tanggal 23 Februari 2012

Thevenod, F. 2008. Pathophysiology of Diabetes Mellitus Type 2 : Roles of Obesity, Insulin Resistance and ß-cell dysfunction. Medical Journal 19: 1-18

US Department of Health and Human Services. 2000. The Practical Guide to the Identification, Evaluation, and Treatment of Overweight and Obesity in Adult. NIH--National Heart, Lung, and Blood Institute. Bethesda.

VHA (Veteran Health Administration) & DoD (Department of Defense). 2010. Clinical Practice Deadline Management of Diabetes Melitus. Washington DC.


(6)

87 Wardlaw, G.M. & Jeffrey, S. H. 2007. Perspectives in Nutrition Seventh Edition.

Mc Graw Hill Companies Inc. New York.

Widijanti & Ratulangi, B.T. 2011. Jenis Pemeriksaan yang Harus Dilakukan Penderita Diabetes. Laboratorium Patologi Klinik RSUD Dr. Saiful Anwar FK Unibraw. Malang.

www.perkeni.org . Diakses tanggal 23 Februari 2012.

Yusra, A. 2011. Hubungan Antara Dukungan Keluarga dengan Kualitas Hidup Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Pusat Fatmawati Jakarta. (Tesis) UI. Jakarta


Dokumen yang terkait

HUBUNGAN AKTIVITAS FISIK DENGAN KADAR HBA1C PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI LABORATORIUM PATOLOGI KLINIK RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG

3 30 53

HUBUNGAN DIET SERAT TINGGI DENGAN KADAR HBA1C PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI LABORATORIUM PATOLOGI KLINIK RSUD Dr.H. ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG

1 23 70

HUBUNGAN JENIS PENGOBATAN DAN SIKAP DENGAN KUALITAS HIDUP PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG

13 56 82

HUBUNGAN AKTIVITAS FISIK DENGAN KADAR GULA DARAH PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT UMUM Hubungan Aktivitas Fisik Dengan Kadar Gula Darah Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Rumah Sakit Umum Daerah Karanganyar.

0 1 15

HUBUNGAN AKTIVITAS FISIK DENGAN KADAR GULA DARAH PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT UMUM Hubungan Aktivitas Fisik Dengan Kadar Gula Darah Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Rumah Sakit Umum Daerah Karanganyar.

0 1 14

HUBUNGAN KADAR GULA DARAH DENGAN HIPERTENSI PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT UMUM Hubungan Kadar Gula Darah Dengan Hipertensi Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Rumah Sakit Umum Daerah Karanganyar.

0 3 14

HUBUNGAN KADAR GULA DARAH DENGAN HIPERTENSI PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT UMUM Hubungan Kadar Gula Darah Dengan Hipertensi Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Rumah Sakit Umum Daerah Karanganyar.

0 3 18

Hubungan kadar HbA1C dengan morfologi katarak pada pasien diabetes melitus tipe 2

0 3 15

Hubungan kadar HbA1C dengan morfologi katarak pada pasien diabetes melitus tipe 2

0 0 2

Hubungan kadar HbA1C dengan morfologi katarak pada pasien diabetes melitus tipe 2

1 2 4