HUBUNGAN DIET SERAT TINGGI DENGAN KADAR HBA1C PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI LABORATORIUM PATOLOGI KLINIK RSUD Dr.H. ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dia-lah yang Menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; kemudian Dia Bersemayam di atas Arasy. Dia Mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar dari dalamnya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik kesana. Dan Dia Bersama kamu

di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. Milik-Nya-lah kerajaan langit dan bumi. Dan hanya kepada Allah segala urusan

dikembalikan. (Al Hadid : 4-5)

Sesungguhnya amal perbuatan itu disertai niat dan setiap orang mendapat balasan amal sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang berhijrah hanya karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya itu menuju Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya karena dunia

yang ia harapkan atau karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya itu menuju yang ia inginkan (Muhammad SAW).

Tapi belenggu itu tak selamanya jadi belenggu. Zaman akan berputar, dan dalam sekejap mata dari jenak kebangunannya Allah akan mengubah suatu kenyataan menjadi

kenyataan yang lain. Orang yang sesat tak akan selamanya sesat, sebab setelah kesesatan itu selalu ada petunjuk, setelah kekacauan itu selalu ada ketentraman. Hanya

di tangan Allah segala urusan ditentukan (Hasan Al Banna).

Ketahuilah, sesungguhnya Allah tidak melihat dari hasil semata. Yang Allah nilai adalah prosesnya, bagaimana jalannya (Murobbiah).

Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu, karena tanpa mimpi orang-orang seperti kita akan mati (Arai, sang pemimpi).


(7)

Sebuah karya sederhana, dari manusia biasa

Untuk Dia yang sempurna, Pencipta berbagai Mahakarya..

Sebuah kado kecil, dari anak yang tak bisa memberikan apa-apa

Untuk Mama dan Papa, sepasang bidadari yang senantiasa


(8)

(9)

(10)

(11)

(12)

(13)

i DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

1. Tujuan Umum ... 6

2. Tujuan Khusus ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Kerangka Pemikiran ... 8

1. Kerangka Teori ... 8

2. Kerangka Konsep ... 10

F. Hipotesis ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

A. Diabtetes Melitus ... 11

1. Definisi Diabetes Melitus ... 11

2. Faktor Resiko ... 12

3. Klasifikasi ... 13


(14)

7. Pengendalian.. ... 25

8. Komplikasi ... 26

B. Diet Serat Tinggi ... 27

1. Definisi ... 27

2. Penggolongan Serat ... 28

3. Sumber Serat ... 28

4. Serat dan Diabetes Melitus ... 29

5. Penilaian Diet Serat ... 30

C. HbA1c ... 32

1. Definisi ... 33

2. Metode Pemeriksaan ... 35

3. Bahan dan Spesimen ... 35

4. Penanganan Khusus ... 36

5. Keunggulan ... 37

6. Kekurangan ... 38

III. METODE PENELITIAN ... 39

A. Desain Penelitian ... 39

B. Waktu dan Tempat Penelitian ... 39

C. Populasi dan Sampel ... 40

1. Populasi ... 40

2. Sampel ... 40

D. Identifikasi Variable ... 41

1. Variabel Bebas ... 41

2. Variabel Terikat ... 41


(15)

iii

F. Metode Pengumpulan Data ... 43

G. Pelaksanaan Penelitian ... 43

H. Pengolahan dan Analisis Data ... 44

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47

A. Hasil ... 47

1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 47

2. Analisis Univariat ... 48

a. Karakteristik Responden ... 48

b. Diet Serat Tinggi Pasien DM Tipe 2 ... 51

c. Kadar HbA1C Pasien DM Tipe 2 ... 51

3. Analisis Bivariat ... 52

a. Hubungan Diet Serat Tinggi dengan Kadar HbA1c . 52 B. Pembahasan ... 54

1. Univariat ... 54

a. Karakteristik Responden ... 54

b. Diet Serat Tinggi Pasien DM Tipe 2 ... 57

c. Kadar HbA1c Pasien DM Tipe 2 ... 59

2. Bivariat ... 60

a. Hubungan Diet Serat Tinggi dengan Kadar HbA1c . 60 3. Keterbatasan Penelitian ... 63

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 65

A. Kesimpulan ... 65

B. Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(16)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Rekomendasi Diagnosis Diabetes WHO 2011 ... 17 2. Target Penatalaksanaan DM (ADA) ... 26 3. Definisi operasional ... 42 4. Distribusi Umur Pasien DM Tipe 2 Yang Meriksakan Hba1c Di

Laboratorium RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung ... 49

5. Distribusi Jenis Kelamin Pasien DM Tipe 2 Yang Memeriksakan Hba1c Di Laboratorium RSUD Dr.H. Abdul Moeloek

Provinsi Lampung ... 49

6. Distribusi Tingkat Pendidikan Pasien DM Tipe 2 Yang

Memeriksakan Hba1c Di Laboratorium RSUD Dr.H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung ... 50 7. Distribusi Lama Menderita DM Pasien DM Tipe 2 Yang Memeriksakan

Hba1c Di Laboratorium RSUD Dr.H. Abdul Moeloek Provinsi

Lampung ... 51 8. Gambaran Diet Serat Tinggi Pasien DM Tipe 2 Yang Memeriksakan

Hba1c Di Laboratorium RSUD Dr.H. Abdul Moeloek Provinsi

Lampung ... 51 9. Kadar HbA1C Pasien DM Tipe 2 di Laboratorium RSUD Dr.H.

Abdul Moeloek Provinsi Lampung ... 52 10. Hubungan Diet Serat Tinggi dengan Kadar HbA1c Pasien

DM Tipe 2... 53 11. Hasil Analisis Hubungan Diet Serat Tinggi Dengan Kadar Hba1c

Pasien DM Tipe 2 di Laboratorium RSUD Dr. H. Abdul Moeloek


(17)

v DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka teori ... 9

2. Kerangka konsep ... 10

3. Patofisiologi DM tipe 2 ... 15

4. Langkah-langkah diagnosis DM dan keluhan ... 18


(18)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diabetes Melitus disebut juga the silent killer merupakan penyakit yang akan memicu krisis kesehatan terbesar pada abad ke-21. Negara berkembang seperti Indonesia merupakan daerah yang paling banyak terkena Diabetes Melitus. Indonesia merupakan negara dengan jumlah penderita Diabetes Melitus ke-4 terbanyak di dunia setelah Cina, India dan Amerika Serikat. Setiap tahun ada 3,2 juta kematian yang disebabkan langsung oleh Diabetes Melitus. Itu berarti ada 1 orang per 10 detik atau 6 orang per menit yang meninggal akibat penyakit yang berkaitan dengan Diabetes Melitus (IDF, 2010).

Meningkatnya prevalensi Diabetes Mellitus dibeberapa negara berkembang akibat peningkatan kemakmuran di negara bersangkutan, akhir-akhir ini banyak disoroti. Peningkatan pendapatan per kapita dan perubahan gaya hidup terutama dikota-kota besar, menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degeneratif, salah satunya adalah penyakit Diabetes Mellitus. Diabetes Mellitus merupakan salah satu masalah kesehatan yang berdampak pada produktivitas dan dapat menurunkan sumber daya manusia. Penyakit ini tidak hanya berpengaruh secara individu, tetapi sistem kesehatan suatu negara (Suyono, 2009).


(19)

2

World Health Organization (WHO) 2009, memprediksi data Diabetes Melitus di seluruh dunia akan meningkat menjadi 333 juta dalam 25 tahun mendatang. Perkiraan untuk Indonesia berdasarkan prediksi oleh WHO dalam PERKENI (Perhimpunan Endokrinologi Indonesia) 2011 dikatakan bahwa penyandang Diabetes Melitus mengalami kenaikan dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi 21,3 juta pada tahun 2030.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003 terdapat 133 juta penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun. Dengan prevalensi Diabetes Melitus pada daerah urban sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar 7,2%, maka dapat diperkirakan pada tahun 2030 terdapat penyandang Diabetes sejumlah 12 juta di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural. Sedangkan menurut laporan hasil riset kesehatan dasar tahun 2007

Departemen Kesehatan Repubilk Indonesia (DEPKES RI) menunjukan bahwa prevalensi Diabetes Melitus didaerah urban pada usia diatas 15 tahun sebesar 5,7 % . Prevalensi terkecil terdapat di Papua sebesar 1,7 % dan terbesar di Propinsi Maluku Utara dan Kalimantan Utara sebesar 11,1 % (PERKENI, 2011).

Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Provinsi Lampung pada tahun 2011, tercatat 1406 penderita baru Diabetes Melitus tipe 2 pada tahun 2010 yang terdiri dari 553 pasien rawat jalan dan 853 pasien rawat inap. Pada rentang usia 1 hingga 19 tahun terdapat 15 kasus, 20 hingga 44 tahun 260 kasus, 45 hingga 54 tahun 427 kasus, 55 hingga 59 tahun 348 kasus, 60 hingga 69 tahun 256 kasus, dan usia di atas 70 tahun terdapat 100 kasus. Dari data tersebut


(20)

dapat dilihat banyaknya jumlah penderita Diabetes Melitus tipe 2 yang signifikan pada rentang usia di atas 20 tahun (Amalia, 2011).

Diabetes Mellitus Tipe 2 mempunyai dua faktor penyebab yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin karena sel beta pankreas mulai terganggu fungsinya. Angka kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 meliputi 90% dari semua populasi Diabetes yang sebagian besar disebabkan oleh faktor lingkungan dan perilaku (DEPKES RI, 2005).

Pengendalian glukosa darah pada penderita Diabetes Melitus dilihat dari dua hal yaitu glukosa darah sesaat dan glukosa darah jangka panjang. Pemantauan glukosa darah sesaat dilihat dari glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial, sedangkan pengontrolan glukosa darah jangka panjang dapat dilakukan dengan pemeriksaan Glycate Hemoglobin (HbA1C). Pemeriksaan kadar HbA1C yang dapat memberikan informasi tentang kontrol glikemik pasien selama 2-3 bulan sebelumnya (Jeffcoate SL , 2004).

American Diabetes Association (ADA) 2012 menyebutkan bahwa setiap penurunan HbA1C 1% akan menurunkan insiden kematian yang berhubungan dengan Diabetes Melitus sebesar 21%, infark miokard 14%, komplikasi mikrovaskular 37% dan penyakit pembuluh darah perifer 43%. Kriteria diagnosa Diabetes Melitus berdasarkan HbA1C adalah 6,5%. Sedangkan goal terapi direkomendasikan kurang dari 7%.

Hasil penelitian menggambarkan bahwa tingkat HbA1C pada pasien Diabetes Melitus di Poliklinik sebagian besar memiliki tingkat HbA1C yang buruk


(21)

4

(54,8%). HbA1C terkandung dalam eritrosit yang hidup sekitar 100-120 hari, maka tingkat HbA1C yang buruk mencerminkan pengendalian metabolisme glukosa selama 3-4 bulan buruk (Price & Wilson, 2009).

Tingkat HbA1C yang buruk, mencerminkan ketidakpatuhan pasien dalam menjalani terapi diabetik. Terapi diabetik merupakan terapi yang diberikan pada pasien Diabetes Melitus untuk menilai manfaat pengobatan dan sebagai pegangan penyesuaian diet, latihan jasmani, dan obat-obatan untuk mencapai kadar glukosa darah senormal mungkin, dan terhindar dari keadaan hiperglikemia ataupun hipoglikemia. Efektif atau tidaknya terapi diabetik yang diberikan bergantung pada hasil pemeriksaan HbA1C (Suyono, 2009).

Terapi atau penatalaksanaan diabetik berupa perencanaan makan (perencanaan diet) dalam buku pedoman PERKENI 2011 disebutkan beberapa komposisi makanan yang dianjurkan dengan pengaturan yang tepat untuk pasien Diabetes Melitus diantaranya karbohidrat, protein, lemak, serat dan pemanis alternatif.

American Diabetes Association 2010 merekomendasikan dilakukannya asupan serat pada pasien Diabetes Melitus sebesar 25-35 mg perhari dikarenakan efeknya yang dapat menurunkan kadar kolesterol, terutama serat larut. Dengan mekanisme ini serat akan meningkatkan ketidakmampuan insulin yang resisten.

Hasil penelitian membuktikan rekomendasi diet serat ADA dan membandingkan dengan diet serat tinggi yakni mengkonsumsi serat lebih dari


(22)

50 gram per hari, didapatkan bahwa diet serat yang direkomendasikan oleh ADA menurunkan kadar glukosa darah pasien Diabetes Melitus sebesar 69 mg/dl sedangkan diet serat tinggi mampu menurunkan kadar glukosa darah sebesar 107 mg/dl (Chandalia et al, 2010).

Berbagai penelitian telah menyebutkan, disamping akan menolong menghambat penyerapan lemak, makanan berserat yang tidak dapat dicerna oleh tubuh juga dapat membantu mengatasi rasa lapar yang kerap dirasakan penderita Diabetes Melitus tanpa risiko masukan kalori yang berlebih hal ini secara tidak langsung akan menurunkan kadar glukosa darah. Disamping itu makanan sumber serat seperti sayur dan buah-buahan segar umumnya kaya akan vitamin dan mineral yang baik bagi pasien Diabetes Melitus (DEPKES RI, 2005).

Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Abdul Moeloek merupakan rumah sakit yang menerima rujukan dari berbagai daerah di Provinsi Lampung. Setiap bulannya, rumah sakit ini dikunjungi oleh pasien. Rata-rata angka kunjungan Laboratorium Rawat Jalan perbulannya adalah 1800 pasien dengan 500 diantaranya merupakan penderita Diabetes Melitus tipe 2. Penderita Diabetes Melitus ini akan bertambah setiap bulannya sekitar 10 hingga 50 kasus (Amalia, 2011).

Berdasarkan Peraturan Gubernur Lampung No.44 Tahun 2009 tentang tujuan rumah sakit sebagai institusi pemerintah untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat luas dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal, RSUD Abdul Moeloek menyediakan


(23)

6

pelayanan laboratorium untuk mengukur kadar HbA1C bagi pasien Diabetes Melitus tipe 2 (Dinkes Provinsi Lampung, 2011). Berdasarkan data-data yang telah dijabarkan di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan diet serat tinggi dengan kadar HbA1C pasien Diabetes Melitus tipe 2 di Laboratorium Patologi Klinik Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dikemukakan bahwa masalah yang terjadi adalah meningkatnya prevalensi Diabetes Melitus tipe 2 oleh karena perubahan gaya hidup. Penanganan Diabetes Melitus tipe 2 terbagi menjadi 4 pilar dan salah satunya adalah perencanaan makan dalam hal ini lebih spesifik lagi berupa diet serat tinggi yang ditemukan dapat menurunkan kadar HbA1C. Sehingga dapat dirumuskan permasalahan yang akan saya teliti sebagai berikut: Adakah hubungan diet serat tinggi dengan kadar HbA1C pasien Diabetes Melitus tipe 2 di Laboratorium Patologi Klinik Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan diet serat tinggi dengan kadar HbA1c pasien Diabetes Melitus tipe 2 di Laboratorium Patologi Klinik Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek Provinsi Lampung.


(24)

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui gambaran diet serat tinggi pasien Diabetes Melitus tipe 2 di Laboratorium Patologi Klinik RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung Provinsi Lampung.

b. Untuk mengetahui gambaran kadar HbA1c pada pasien Diabetes Melitus tipe 2 di Laboratorium Patologi Klinik RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung Provinsi Lampung.

D. Manfaat penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi :

a. Peneliti

Menambah wawasan dan pengetahuan peneliti tentang diet serat tinggi pada pasien Diabetes Melitus tipe 2 dan hubungannya dengan kadar HbA1C pada pasien Diabetes Melitus tipe 2 di Laboratorium Patologi Klinik RSUD Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

b. Tenaga kesehatan di RSUD Abdul Moeloek

Menjadi bahan masukan kepada para tenaga kesehatan untuk dapat meningkatkan perannya dalam memberikan penatalaksanaan yang sesuai terkait diet serat pada pasien Diabetes Mellitus tipe 2 di Laboratorium Patologi Klinik RSUD Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

c. Masyarakat

Menambah pengetahuan masyarakat tentang penyakit Diabetes Melitus dan manajemennya, serta meningkatkan kepedulian terhadap keluarga.


(25)

8

d. Peneliti lain

Sebagai dasar dan informasi tambahan bagi penelitian dengan ruang lingkup yang sama.

E.Kerangka Pemikiran

1. Kerangka Teori

Menurut La Greca et al tahun 2005, terdapat empat hal penting yang harus di terapkan oleh pasien Diabetes Melitus, diantaranya pengontrolan gula darah, insulin (termasuk obat hipoglikemik oral/OHO) dan perencanaan makan, olahraga, serta penanganan segera terhadap hipoglikemik. Teori 4 pilar ini kemudian di sebutkan oleh PERKENI (2011), bahwa pengendalian Diabetes Melitus meliputi edukasi, aktivitas fisik, intervensi farmakologi dan perencanaan makan.

Aktivitas self care pada pasien Diabetes Melitus tipe 2 adalah mengusahakan tingkat gula darah sedekat mungkin dengan normal. Tingkat gula darah tidak akan efektif jika hanya dievaluasi dalam jangka pendek (beberapa hari). Pengendalian glukosa perlu dievaluasi juga dalam jangka panjang (beberapa minggu hingga bulan) untuk memudahkan interpretasi. Untuk keperluan ini dilakukan pengukuran hemoglobin terglikosilasi dalam eritrosit atau juga dinamakan hemoglobin glikosilat atau HbA1C (La Greca et al, 2005).


(26)

Perencanaan makan pun, dilihat sebagai faktor yang berpengaruh, semakin seseorang tidak mematuhi program diet, akan mengindikasikan kadar gula darah terus meningkat dan HbA1C pun akan naik. Dalam hal ini diet serat tinggi akan menurunkan indeks glikemik, maka glukosa yang terakumulasi dalam darahpun akan menurun dan dalam waktu yang lebih lama kadar HbA1C juga akan menurun (Robert MD, 2012).

Selain itu, masih banyak faktor lain yang akan memberikan gambaran terhadap perubahan kadar HbA1C diantara lain Anemia hemolitik, kekurangan besi, perdarahan akut dan kronik, inflamasi, profil lipid yang tinggi, Uremia dan kehamilan (Nitin S, 2010)


(27)

10

2. Kerangka konsep

Gambar 2. Kerangka Konsep

F. Hipotesis

Berdasarkan data-data yang sudah dipaparkan dalam latar belakang masalah, penulis menyatakan hipotesis bahwa :

Terdapat hubungan diet serat tinggi dengan kadar HbA1C pada pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Laboratorium Patologi Klinik RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung Provinsi Lampung.


(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.Diabetes Melitus

1. Definisi

Diabetes Mellitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi oleh karena kelainan pada sekresi insulin akibat terjadinya gangguan pada fungsi pankreas atau pun dikarenakan kerja insulin yang mengalami kelainan. Dapat berbentuk kelainan pada kedua-duanya (PERKENI 2011).

Sedangkan menurut WHO (2011), Diabetes Melitus merupakan suatu penyakit metabolik dengan berbagai etiologi, memiliki karakteristik hiperglikemia kronik dan gangguan metabolisme dari karbohidrat, lemak, protein sebagai hasil dari ketidakfungsian insulin (resistensi insulin), menurunnya fungsi Pankreas maupun keduanya.

Diabetes Melitus didefinisikan sebagai suatu gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manisfestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Jika telah berkembang secara klinis maka Diabetes Melitus ditandai dengan hiperglikemi puasa dan postprandial, aterosklerotik dan penyakit vaskular mikroangiopati, dan neuropati (Price & Wilson, 2009).


(29)

12

Diabetes Mellitus merupakan suatu penyakit yang terlihat dengan kadar glukosa darah diatas normal. Insulin dihasilkan oleh kelenjar pankreas sangatlah penting demi keterseimbangan kadar glukosa di dalam darah , dimana untuk orang normal (non diabetes) waktu puasa antara 60-120 mg/dL dan dua jam postprandial harus dibawah 140 mg/dL. Kadar yang seimbang tersebut akan dapat terganggu yaitu cenderung naik bila terjadi gangguan pada kerja insulin (Suyono, 2009).

2. Faktor Resiko

Menurut PERKENI (2011), yang termasuk dalam faktor risiko Diabetes Melitus yaitu :

a. Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi : 1) Ras dan etnik

2) Riwayat keluarga dengan diabetes (anak penyandang diabetes) 3) Umur. Risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat

seiring dengan meningkatnya usia. Usia > 45 tahun harus dilakukan pemeriksaan Diabetes Melitus.

4) Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi > 4000 gram atau riwayat pernah menderita Diabetes Melitus Gestasional (DMG). 5) Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg. Bayi

yang lahir dengan BB rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding dengan bayi lahir dengan BB normal.

b. Faktor risiko yang bisa dimodifikasi; 1) Berat badan lebih (IMT > 23 kg/m2).


(30)

2) Kurangnya aktivitas fisik. 3) Hipertensi (> 140/90 mmHg).

4) Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL)

3. Klasifikasi

Klasifikasi Diabetes Melitus mengalami perkembangan dan perubahan dari waktu ke waktu. Dahulu diabetes diklasifikasikan berdasarkan waktu munculnya (time of onset). Diabetes yang muncul sejak masa kanak-kanak

disebut “juvenile diabetes”, sedangkan yang baru muncul setelah

seseorang berumur di atas 45 tahun disebut sebagai “adult diabetes”.

Namun klasifikasi ini sudah tidak layak dipertahankan lagi, sebab banyak sekali kasus-kasus diabetes yang muncul pada usia 20-39 tahun, yang menimbulkan kebingungan (Depkes RI, 2005)

Setelah disepakati, klasifikasi Diabetes Melitus diperkenalkan oleh

American Diabetes Association (ADA) yang telah disahkan oleh World Health Organization (WHO) dan telah dipakai di seluruh dunia, yaitu :

a. Diabetes tipe 1

1) Diperantai oleh sistem imun (tipe 1A) 2) Idiopatik

b. Diabetes tipe 2

1) Defek genetik fungsi sel beta 2) Defek genetik pada kerja insulin 3) Penyakit pada pankreas eksokrin 4) Endokrinopati


(31)

14

5) Obat atau bahan kimia

6) Infeksi: rubella kongenital, sitomegalovirus

7) Bentuk jarang diabetes imunologik: sindrom”Stiff man”

8) Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan diabetes: sindrom Down, sindrom Klinefelter

c. Tipe diabetes spesifik lainnya d. Diabetes melitus gestasional

4. Etiologi dan Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2

Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak penderitanya dibandingkan dengan Diabetes Melitus Tipe 1. Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya berusia di atas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita Diabetes Melitus Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-anak populasinya meningkat. Etiologi Diabetes Melitus Tipe 2 merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya terungkap dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan terjadinya Diabetes Melitus tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan (Kurt J et al, 2009).

Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu faktor predisposisi

utama. Penelitian terhadap mencit dan tikus menunjukkan bahwa ada hubungan antara gen-gen yang bertanggung jawab terhadap obesitas


(32)

dengan gen-gen yang merupakan faktor pradisposisi untuk Diabetes Melitus Tipe 2 (Kurt J et al, 2009)

Berbeda dengan Diabetes Melitus Tipe 1, pada penderita Diabetes Melitus Tipe 2, terutama yang berada pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal patofisiologis Diabetes Melitus Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai “Resistensi Insulin” (Price & Wilson, 2009)

Gambar 3. Patofisiologi DM tipe 2

Resistensi insulin banyak terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas, gaya hidup kurang gerak (sedentary), dan penuaan. Disamping resistensi insulin, pada penderita Diabetes Melitus Tipe 2 dapat juga timbul gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun


(33)

16

demikian, tidak terjadi pengerusakan sel-sel β Langerhans secara otoimun sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1 (Price & wilson, 2009).

Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita Diabetes Melitus Tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu dalam penanganannya umumnya tidak memerlukan terapi pemberian insulin. Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20 menit sesudahnya (Kurt J et al, 2009).

Pada awal perkembangan Diabetes Melitus Tipe 2, sel-sel β menunjukkan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan penyakit selanjutnya penderita Diabetes Melitus Tipe 2 akan mengalami kerusakan sel-sel β pankreas yang terjadi secara progresif, yang seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pada penderita Diabetes Melitus Tipe 2 umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin (Kurt J et al, 2010)


(34)

5. Diagnosis

Kecurigaan adanya Diabetes Melitus perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik Diabetes Melitus seperti tersebut di bawah ini (PERKENI, 2011) :

a. Keluhan klasik Diabetes Melitus berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

b. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

Tabel 1 : Rekomendasi diagnosis WHO, 2011

Kriteria Nilai

Gejala klasik DM+GDS ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L)

Gejala klasik DM+GDP ≥ 126 mg/dL (7,0 mmol/L)

GD2PP pada TTGO ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L)


(35)

18

Gambar 4 : Langkah diagnosis DM dan keluhan (PERKENI, 2011)

Untuk kelompok tanpa keluhan khas Diabetes Melitus, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosa Diabetes Melitus. Diperlukan pemeriksaan lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl pada hari yang lain, atau hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah setelah pembebanan ≥ 200 mg/dl (PERKENI, 2011).

Pada Juli 2009, the International Expert Committee merekomendasikan kriteria diagnostik tambahan dari hasil HbA1C ≥ 6,5% untuk Diabetes Melitus dengan faktor yang mempengaruhinya adalah anemia berat, kehamilan, gagal ginjal dan hemoglobinopati. Pemantauan dengan


(36)

menggunakan HbA1C merupakan “standar emas” pemeriksaan gula darah dibanyak sentral, tes ini memberikan masukan yang penting untuk profesional perawatan kesehatan dan pasien (Yulianti et al, 2010).

6. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe 2

Penatalaksanaan pada pasien Diabetes Mellitus sangat penting untuk selalu menstabilkan kadar gula darah pasien guna mencegah terjadinya berbagai komplikasi akut dan kronik. Hal tersebut menurut PERKENI (2011) dilakukan melalui empat pilar utama pengelolaan Diabetes Mellitus, yaitu :

1. Edukasi

Berupa pendidikan dan latihan tentang pengetahuan pengelolaan penyakit Diabetes Mellitus bagi pasien dan keluarganya. Untuk mencapai perubahan perilaku perlu dilakukan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi.

2. Perencanaan Makan

Bertujuan untuk mempertahankan kadar normal glukosa darah dan lipid, nutrisi yang optimal, serta mencapai/mempertahankan berat badan ideal. Adapun komposisi makanan yang dianjurkan bagi pasien adalah sebagai berikut: karbohidrat 60-70%, lemak 20-25%, dan protein 10-15%. Perencanaan makan merupakan terapi gizi medis (TGM) yang menjadi bagian dari penatalaksanaan Diabetes Melitus secara total. Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan makan


(37)

20

pada penyandang Diabetes Melitus hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari :

a. Karbohidrat

 Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.  Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan.

 Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.

 Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat makan sama dengan makanan keluarga yang lain.

 Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.

 Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted Daily Intake).

 Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari.

 Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.


(38)

b. Lemak

 Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori.  Tidakdiperkenankan melebihi 30% total asupan energi.  Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori

 Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.

 Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain : daging berlemak dan susu penuh (whole milk).

 Anjuran konsumsi kolesterol < 300 mg/hari.

c.Protein

 Dibutuhkan sebesar 10 – 20% total asupan energi.

 Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi,dll), daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, tempe.

 Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologik tinggi.

d. Natrium

 Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 g (1 sendok teh) garam dapur.


(39)

22

 Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg garam dapur.

 Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda,dan bahan pengawet seperti natrium benzoat dan natriumnitrit.

e. Pemanis alternatif

 Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis bergizi dan pemanis tak bergizi. Termasuk pemanis bergizi adalah gula alkohol dan fruktosa.

 Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol,sorbitol dan xylitol.

 Dalam penggunaannya, pemanis bergizi perlu diperhitungkan kandungan kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.  Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes

karena efek samping pada lemak darah.

 Pemanis tak bergizi termasuk: aspartam, sakarin, acesulfame potassium, sukralose, neotame.

 Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted Daily Intake / ADI ).

f. Serat

 Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan,buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat.


(40)

 karena mengandung vitamin, mineral, serat dan bahan lain yang baik untuk kesehatan.

 Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/1000 kkal/hari.

Selanjutnya serat akan dibahas lebih jauh pada bagian terkait diet serat tinggi.

3. Latihan Jasmani

Berupa kegiatan jasmani sehari-hari (berjalan kaki ke pasar, berkebun, dan lain-lain) dan latihan jasmani teratur (3-4x/minggu selama ± 30 menit) (PERKENI, 2011).

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut dan kegiatan fisik. Kegiatan fisik atau latihan jasmani yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal. Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respons sel-sel β terhadap stimulus glukosa (DEPKES RI, 2005).

Dalam salah satu penelitian dilaporkan bahwa penurunan 5% berat badan dapat mengurangi kadar HbA1C sebanyak 0,6% (HbA1C adalah salah satu parameter status DM), dan setiap kilogram penurunan berat badan dihubungkan dengan 3-4 bulan tambahan waktu harapan hidup (DEPKES RI, 2005).

Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap normal. Saat ini ada dokter olah raga yang dapat dimintakan


(41)

24

nasihatnya untuk mengatur jenis dan porsi olah raga yang sesuai untuk penderita diabetes. Prinsipnya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan (DEPKES RI, 2005).

4. Intervensi Farmakologis

Diberikan apabila target kadar glukosa darah belum bisa dicapai dengan perencanaan makan dan latihan jasmani. Intervensi farmakologis dapat berupa Obat hipoglikemik oral/OHO (insulin sensitizing, insulin secretagogue, penghambat alfa glukosidase) dan Insulin, diberikan pada kondisi berikut:

 Penurunan berat badan yang cepat

 Hiperglikemia berat disertai ketosis

 Ketoasidosis diabetik

 Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik

 Hiperglikemia dengan asidosis laktat

 Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal

 Stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, AMI, stroke)

 Diabetes mellitus gestasional yang tak terkendali dengan perencanaan makanan

 Gangguan fungsi ginjal/hati yang berat

 Kontraindikasi atau alergi OHO

Departemen Kesehatan Replubik Indonesia pada tahun 2005 menggolongkan Obat Hipoglikemik Oral (OHO) berdasarkan mekanisme


(42)

kerjanya, obat-obat hipoglikemik oral dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:

a) Obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin, meliputi obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea dan glinida (meglitinida dan turunan fenilalanin).

b) Sensitiser insulin (obat-obat yang dapat meningkatkan sensitifitas sel terhadap insulin), meliputi obat-obat hipoglikemik golongan biguanida dan tiazolidindion, yang dapat membantu tubuh untuk memanfaatkan insulin secara lebih efektif.

c) Inhibitor katabolisme karbohidrat, antara lain inhibitor α -glukosidase yang bekerja menghambat absorpsi glukosa dan umum digunakan untuk mengendalikan hiperglikemia post-prandial (post-meal hyperglycemia). Disebut juga “starch -blocker”.

7. Pengendalian Diabetes Melitus

Sasaran Diabetes Melitus bukan hanya glukosa darah saja, tetapi juga termasuk faktor-faktor lain yaitu berat badan, tekanan darah, dan profil lipid. The American Diabetes Association (ADA) 2012, merekomendasikan beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan diabetes.


(43)

26

Tabel 2 : Target Penatalaksanaan DM

Parameter Kadar Ideal Yang Diharapkan

Kadar Glukosa Darah Puasa 80–120mg/dl Kadar Glukosa Plasma Puasa 90–130mg/dl

Kadar Glukosa Darah Saat Tidur

(Bedtime blood glucose)

100–140mg/dl

Kadar Glukosa Plasma Saat Tidur

(Bedtime plasma glucose)

110–150mg/dl

Kadar Insulin <7mg/dl

Kadar HbA1C ≤7 %

Kadar Kolesterol HDL >45mg/dl (pria)

Kadar Kolesterol HDL >55mg/dl (wanita) Kadar Trigliserida <200mg/dl

Tekanan Darah <130/80mmHg

8. Komplikasi

Menurut Prince & Wilson (2009), komplikasi-komplikasi Diabetes Melitus dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu:

a. Komplikasi Metabolik Akut 1) Ketoasidosis diabetik

2) Hiperglikemia, hiperosmolar, koma nonketotik 3) Hipoglikemia


(44)

1) Retinopati diabetik

2) Glomerulosklerosis diabetik 3) Nefropati diabetik

4) Neuropati perifer

5) Penyakit makrovaskular mengacu pada aterosklerosis dengan berkembangnya penyakit arteria koronaria, stroke, penyakit pembuluh darah perifer, dan meningkatnya risiko infeksi.

B. Diet Serat Tinggi

1. Definisi

Diet serat tinggi secara definisi merupakan besar asupan atau kandungan serat yang terdapat dalam porsi makanan baik didalamnya terkandung serat larut maupun serat tidak larut ( Anderson JW, 2012).

Secara fisiologis serat makanan didefinisikan sebagai karbohidrat yang resisten terhadap hidrolisis oleh enzim pencernaan manusia dan lignin. Termasuk ke dalamnya adalah selulosa, hemisellulosa, pektin, lignin, gum, β-glukan, dan resistant starch. Berdasarkan kelarutannya dalam air, serat dapat diklasifikasikan menjadi serat larut (hemisellulosa, pektin, gum, psillum, β-glukan dan musilages) dan serat tidak laut (sellulosa dan hemisellulosa) (Zaimal Z, 2009).


(45)

28

2. Penggolongan Serat

Menurut karakteristik fisik dan pengaruhnya dalam tubuh serat dibagi dalam dua golongan besar yaitu serat larut dalam air (soluble fiber) dan serat tidak larut dalam air (insoluble fiber). Sifat kelarutan ini sangat menentukan pengaruh fisiologi serat pada proses pencernaan dan metatabolisme zat gizi (Wirakusumah, 2003).

1. Soluble fiber

Yaitu serat yang dapat larut air dan juga dalam saluran pencernaan dapat membentuk gel dengan cara menyerap air, jenis serat ini antara lain mucilage, gum dan pektin. Serat jenis ini akan membentuk gel sehingga isi lambung akan penuh dan menyebabkan rasa cepat kenyang. Selain itu serat larut berfungsi menurunkan kadar kolesterol.

2. Serat tidak larut air (insoluble fiber)

Yaitu serat yang tidak dapat larut air dan juga dalam saluran pencernaan, memiliki kemampuan menyerap air dan meningkatkan tekstur dan volume tinja sehingga makanan dapat melewati usus besar dengan cepat dan mudah. Yang tergolong jenis serat ini adalah sellulosa dan hemisellulosa.

3. Sumber Serat

Sebagian besar serat makanan bersumber dari pangan nabati. Serat tersebut berasal dari dinding sel berbagai jenis buah, sayuran, umbi-umbian,


(46)

kacang-kacangan, dan lain-lain. Serat makanan larut air terdapat pada semua buah-buahan, beberapa biji-bijian, dan beberapa polong-polongan. Serat tipe ini berperan pada penangkapan lemak sehinga lemak terhalang penyerapannya ke dalam tubuh. Serat makanan larut juga memiliki manfaat positif terhadap gula darah (Larsen, 2003).

Serat makanan yang tidak larut air yaitu sellulosa, hemisellulosa dan lignin. Selulosa sebagai serat makanan, banyak ditemui pada berbagai jenis sayuran. Hemisellulosa merupakan jenis serat yang terdapat pada dinding sel sayur-sayutan (Wirakusumah, 2003).

4. Serat dan Diabetes Melitus

Untuk pasien Diabetes Melitus, direkomendasikan sebesar 20-35 g perhari dari berbagai sumber makanan. Sebuah penelitian di amerika membuktikan diet serat tinggi pada pasien diabetes >25 g perhari mampu memperbaiki pengontrolan gula darah, menurunkan peningkatan insulin yang berlebihan dalam darah serta akan menurunkan kadar lemak dalam darah (Joseph, 2002)

Mekanisme serat yang tinggi dalam menurunkan glukosa darah berhubungan dengan kecepatan penyerapan makanan (karbohidrat) masuk ke dalam aliran darah yang dikenal dengan glicemic index (GI). GI memiliki angka 0 sampai 100, makanan yang cepat dirombak dan cepat diserap memiliki angka glycemic yang tinggi sehingga dapat meningkatkan kadar gula darah. Sebaliknya, makanan yang lambat


(47)

30

dirombak dan diserap mampu menunjukan kadar glukosa darah yang rendah (Joseph 2002).

5. Penilaian Diet Serat

Penilaian diet merupakan suatu estimasi yang digunakan untuk perhitungan masukkan makanan dan kandungan nutrisi yang dimakan dalam satu waktu tertentu. Dietary assessment (Penilaian Diet) sering menentukan asupan macronutrient (Kalori, protein, lemak, dan serat) dan

micronutrient (Vitamin dan Mineral) yang terkandung dalam asupan makan. Instrumen penilaian diet sangat penting dalam mengevaluasi diet yang berhubungan dengan berbagai penyakit kronik misalnya (Penyakit jantung, kanker, obesitas, Diabetes Melitus, dan lainnya) (Baltimore, 2012).

Instrumen penilaian diet yang dapat digunakan dalam penilaian asupan

macronutrient dan micronutrient antara lain : 1. Food Frequency Questionnaire (FFQ)

FFQ merupakan instrumen yang sering digunakan secara umum untuk menilai data kualitatif pola konsumsi makanan dibandingkan untuk menilai komposisi dan masukan nutrisi dalam makanan. FFQ juga dapat menilai secara pasti makanan yang dikomsumsi dalam frekuensi harian, mingguan, bulanan dan bahkan tahunan. Kelebihan dari instrumen FFQ adalah keakuratan data kualitatif dari konsumsi makanan, tidak mahal, instrumen mudah digunakan oleh pasien


(48)

sendiri. Kekurangan dari instrumen ini meliputi tidak adekuat dalam penilaian data kuantitatif dari konsumsi makanan dan tidak spesifik terhadap semua jenis makanan yang ada di dunia karena instrumen FFQ terstandarisasi pada jenis makanan yang berasal dari Amerika Utara sehingga FFQ spesifik pada jenis makanan yang berasal dari sana (Baltimore A, 2012).

2. Food Record (FRd)

Food Record (FRd) merupakan instrumen penilaian subjektif pada waktu konsumsi makanan dan minuman dengan durasi yang spesifik, dengan tipe 1-7 hari penilaian, dan penilaian kuantitatif intake.

3days-FRd atau 7days-FRd adalah instrumen Food Record yang sering digunakan. FRd bisa mengestimasi ketepatan penilaian masukan akhir. Porsi dalam FRd dapat dengan mudah dirubah berdasarkan satuan penukar Rumah Tangga, Gelas, Sendok dan skala ukur lainnya yang telah distandarisasi sehingga ketepatan data kuantitatif dari konsumsi makan dapat terlihat. Kelemahan dari instrumen FRd adalah metode ini sulit digunakan sehingga pasien tidak dapat melakukan penilaian diet sendiri dan diperlukan tingkat ketelitian yang tinggi agar dapat menghasilkan hasil yang benar mengingat penilaian subjektif dari pasien pada waktu proses konsumsi yang juga menjadi pertimbangan (Baltimore, 2012).


(49)

32

3. 24-Hours Food Recall (24-h FR)

24-h FR merupakan metode pengukuran asupan makanan rata-rata pada suatu kelompok dan kurang cocok untuk karakteristik diet individu meskipun dalam praktek keseharian metode ini sering digunakan untuk penilaian hal tersebut. Asupan makanan pasien dalam 24 jam di tinjau oleh pewawancara untuk memberikan deskripsi rinci tentang porsi dan komposisi dari keseluruhan makanan dan minuman yang dikonsumsi pasien, cara memasak, dan merek dagangnya. Penilaian kuantitatif sering menggunakan satuan ukuran rumah tangga atau menggunakan food models sebagai bantuan dalam penilaian yang lebih akurat. 24-h FR dapat diulang beberapa kali pada orang yang sama untuk perincian dan pengakuratan yang lebih maksimal. Kelebihan instrument penilaian diet ini adalah hasilnya cepat, tidak mahal dan tidak menyulitkan pasien. Single 24-h FR ternyata tidak cukup menilai asupan nutrisi dan tidak dapat menilai variasi asupan makanan dari hari ke hari, maka pengulangan 24-h FR dihari berikutnya sangat membantu dalam akurasi data (Baltimore, 2012).

C. HbA1c

1. Definisi

Hemoglobin adalah salah satu protein yang mengalami glikosilasi membentuk HbA1C. Kadar HbA1C merupakan petunjuk rerata kadar glukosa darah selama 2–3 bulan terakhir. Untuk mengetahui kepatuhan


(50)

penderita melakukan pengobatan yang telah ditetapkan. Ketika terjadi kenaikan kadar glukosa darah, molekul glukosa akan menempel pada hemoglobin sel darah merah (Nitin S, 2010).

HbA1C terbentuk pasca-translasi yang berlangsung lambat dan tidak dipengaruhi oleh enzim sepanjang masa hidup eritrosit. Karena itu pada eritrosit yang lebih tua kadarnya lebih tinggi daripada eritrosit yang lebih muda. Hemoglobin bercampur dengan larutan berkadar glukosa tinggi, rantai beta molekul hemoglobin mengikat satu gugus glukosa secara ireversibel, maka proses ini dinamakan glikosilasi. Glikosilasi terjadi secara spontan dalam sirkulasi dan tingkat glikosilasi ini meningkat apabila kadar glukosa dalam darah tinggi. Pada orang normal, sekitar 4―6% hemoglobin mengalami glikosilasi menjadi hemoglobin glikosilat atau HbA1C. Pada hiperglikemia yang berkepanjangan, kadar HbA1C dapat meningkat hingga 18―20%. Glikosilasi tidak mengganggu kemampuan hemoglobin mengangkut oksigen, tetapi kadar HbA1C yang tinggi mencerminkan kurangnya pengendalian diabetes. Setelah kadar normal glikemik menjadi stabil, kadar HbA1C kembali ke normal dalam waktu sekitar 3 minggu (Yulianti et al, 2010).

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun Pedoman 2012, nilai HbA1C harus dikontrol di bawah 7% di semua penderita diabetes . Menurut pedoman yang sama, HbA1C sekarang disebut sebagai A1C. Lebih besar dari nilai 7% mengindikasikan kemungkinan


(51)

34

peningkatan perkembangan penyakit menjadi komplikasi diabetes, terutama mikrovaskular.

Hasil dari reaksi glikasi albumin yaitu advanced glycation end products

(AGEs) berperan untuk terjadinya komplikasi mikrovaskular dan

makrovaskular pada penderita diabetes melitus. AGEs adalah kelompok senyawa heterogen yang dibentuk dari reaksi nonenzimatik gula tereduksi dengan asam amino dari protein, lemak dan asam nukleat. Produk awal dari reaksi ini disebut Schiff base, yang mana secara spontan membentuk produk Amadori, yang dikenal sebagai hemoglobin A1C. Reaksi awal ini bersifat reversible tergantung dari konsentrasi reaktan. Kadar glukosa darah yang rendah akan melepaskan ikatan glukosa dengan asam amino, sebaliknya kadar glukosa yang tinggi akan menyebabkan efek yang berlawanan, jika menetap. Kecepatan pembentukan AGE tergantung dari konsentrasi gula darah, tingkat stres oksidatif dan waktu pemajanan (Yulianti et al, 2010).

Prinsip pemeriksaan HbA1C adalah mengukur persentasi hemoglobin sel darah merah yang diselubungi oleh gula. Semakin tinggi nilainya berarti kontrol gula darah buruk dan kemungkinan komplikasi semakin tinggi. Pada orang yang tidak menderita diabetes, kadar HbA1C berkisar antara 4,5 sampai 6%. Jika kadarnya 6,5% atau lebih pada dua pemeriksaan terpisah, maka kemungkinan orang tersebut menderita diabetes. Nilai antara 6 sampai 6,5% menunjukkan keadaan pradiabetes. Penderita diabetes yang tidak terkontrol dalam waktu yang lama biasanya memiliki


(52)

kadar HbA1C lebih dari 9% sedangkan target pengobatan adalah kadar HbA1C sebesar 7% atau kurang (Harefa, 2011).

2. Metode Pemeriksaan

Terdapat beberapa metode yang sering digunakan dalam pemeriksaan ka dar HbA1antara lain:

Metode Kromatografi Pertukaran Ion ( Ion Exchange Chromatography)

Metode HPLC (High Performance Liquid Chromatography) Metode Agar Gel Elektroforesis

Metode Immunoassay (EIA) Metode Affinity Chromatography

Metode Analisis Kimiawi dengan Kolorimetri Metode Spektrofotometri

3. Bahan atau spesimen

Bahan atau spesimen yang digunakan untuk pemeriksaan HbA1C adalah sampel darah yang diambil dari pembuluh darah vena di lengan. Bagian dari lengan yang diambil darahnya biasanya dari bagian dalam siku atau bagian belakang tangan. Sebelum dilakukan pengambilan darah, tempat yang akan ditusuk harus dibersihkan terlebih dahulu dengan larutan antiseptik, kemudian tenaga kesehatan membungkus daerah di sekitar lengan atas dengan sebuah band elastis (Bararah, 2011).


(53)

36

Selanjutnya, tenaga kesehatan memasukkan dengan perlahan jarum ke dalam vena. Darah dikumpulkan dalam tabung kedap udara yang melekat pada jarum kemudian band elastis dilepaskan agar peredaran darah di daerah lengan atas kembali lancar. Bekas tusukan jarum ditutup untuk menghentikan pendarahan. Darah yang diperoleh dikumpulkan ke dalamtabung gelas kecil yang disebut pipet atau ke strip slide atau strip tes (Bararah, 2011).

4. Penanganan khusus

Tidak terlalu banyak hal-hal khusus yang harus diperhatikan dalam penanganan pemeriksaan HbA1C karena pemeriksaan ini dapat dilakukan kapan saja tanpa pasien diwajibkan melakukan puasa terlebih dahulu dan tidak dipengaruhi oleh makanan, obat-obatan serta emosi pasien. Hal yang perlu mendapat perhatian khusus adalah pada saat pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan HbA1C, biasanya untuk mengetahui kadar gula seseorang dilakukan cek darah di jari, tetapi untuk melakukan diagnosis diabetes dengan pemeriksaan HbA1C, darah yang diambil berasal dari pembuluh darah di lengan bukan di jari (Bararah, 2011).

Selain itu proses penyimpanan sampel darah setelah diambil dari tubuh pasien harus disimpan dalam tabung atau tube yang steril dan diletakkan pada suhu kamar tidak boleh disimpan dalam lemari es serta tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam. Apabila baru dipergunakan setelah 24 jam maka perlu ditambahkan pengawet seperti EDTA dan heparin sebagai antikoagulan (Departemen Mikrobiologi, 2010).


(54)

5. Keunggulan

Pemeriksaan kadar HbA1C memiliki banyak keunggulan dibandingkan pemeriksaan glukosa darah yaitu antara lain (Harefa, 2011) :

Tidak perlu puasa dan dapat diperiksa kapan saja

Memperkirakan keadaan glukosa darah dalam jangka waktu lebih lama (2-3 bulan) atau tidak dipengaruhi perubahan gaya hidup jangka pendek.

Metode telah terstandarisasi dengan baik dan keakuratannya dapat dipercaya

Variabilitas biologisnya dan instabilitas preanalitiknya lebih rendah dibanding glukosa plasma puasa.

Kesalahan yang disebabkan oleh faktor nonglikemik yang dapat mempengaruhi nilai HbA1C sangat jarang ditemukan dan dapat diminimalisasi dengan melakukan pemeriksaan konfirmasi diagnosis dengan glukosa plasma.

Pengambilan sampel lebih mudah dan pasien merasa lebih nyaman. Lebih stabil dalam suhu kamar dibanding glukosa plasma puasa.

Memiliki keterulangan pemeriksaan yang jauh lebih baik dibanding glukosa puasa

Lebih direkomendasikan untuk pemantauan pengendalian glukosa Level HbA1C berkorelasi dengan komplikasi diabetes sehingga lebih baik dalam memprediksi komplikasi mikro dan makrokardiovaskular.


(55)

38

6. Kekurangan

Selain keunggulan, pemeriksaan kadar HbA1C juga memiliki beberapa keterbatasan antara lain (Harefa, 2011) :

Saat interpretasi HbA1C bermasalah, maka pemeriksaan glukosa puasa dan postprandial dianjurkan untuk tetap digunakan.

Meningkat seiring bertambahnya usia, akan tetapi seberapa besar perubahan dan pengaruh usia terhadap peningkatan HbA1C belum dapat dipastikan.

Harganya lebih mahal dibandingkan pemeriksaan glukosa.

Etnis yang berbeda memiliki sensitivitas dan spesifisitas HbA1C yang berbeda, diduga mungkin berkaitan dengan: perbedaan genetik dalam konsentrasi hemoglobin (Hb), tingkat kecepatan glikasi (perbedaan tingkat kecepatan glukosa masuk dalam eritrosit, kecepatan penambahan atau lepasnya glukosa dari hemoglobin) dan masa hidup/daya tahan serta jumlah sel darah merah.


(56)

III. METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini bersifat survey dengan pendekatan cross sectional yaitu desain penelitian dengan pengukuran variabel yang dilakukan satu waktu saja untuk mengetahui hubungan diet serat tinggi dengan kadar HbA1C pada pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Laboratorium Patologi Klinik RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung Provinsi Lampung (Notoatmodjo, 2010).

B. Waktu dan Tempat Penelitian

1. Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan mulai November 2012 sampai dengan Januari 2013.

2. Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik RSUD Abdul Moeloek Provinsi Lampung.


(57)

40

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah pasien Diabetes Melitus tipe 2 yang melakukan pemeriksaan HbA1C di Laboratorium Patologi Klinik RSUD Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

2. Sampel

Sampel pada penelitian ini adalah pasien Diabetes Melitus tipe 2 yang melakukan pemeriksaan HbA1C di Laboratorium Patologi Klinik RSUD Abdul Moeloek Provinsi Lampung, pada November 2012 hingga Januari 2013. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara accidental sampling, yaitu mengambil kasus atau responden yang kebetulan ada atau tersedia di suatu tempat sesuai dengan konteks penelitian (Notoatmodjo, 2010).

Adapun kriteria inklusi pada penelitian ini meliputi: a. Pasien Diabetes Melitus tipe 2

b. Melakukan pemeriksaan kadar HbA1C c. Bersedia untuk menjadi responden

Dan kriteria eksklusi pada penelitian ini meliputi : a. Pasien baru terdiagnosa DM


(58)

Setiap harinya sampel yang di dapat adalah 1-2 orang dan diperkirakan per bulannya adalah 25-51 orang. Untuk mengetahui besar sampel maka digunakan rumus Taroyamane sebagai berikut :

n = N 1 + N ( d )2

Keterangan :

n : Besar Sampel N : Populasi d : 0,05

dengan demikian didapatkan besar sampel yaitu :

n = 51

1 + 51 (0,05)2 = 45,05

Berdasarkan perhitungan maka besar sampel penelitian adalah 45 orang.

D. Identifikasi Variabel

Adapun variabel pada penelitian ini adalah: a. Variabel independen : diet serat tinggi b. Variabel dependen : kadar HbA1C


(59)

42

E. Definisi Operasional

Tabel 3. Definisi Operasional

Variabel Defenisi Operasional

Cara

Ukur Alat Ukur Skala

Keterangan

Diet Serat Tinggi

Kandungan asupan serat tinggi yang di konsumsi dalam waktu 1x24 jam menggunakan metode food recall

Wawa ncara

kuesioner Ordinal

1. Baik (total asupan serat tinggi ≥ 50 g per /hari)

2. Buruk

(Asupan serat total < 50 g perhari) (Chandalia et al,

2005)

Kadar HbA1C

Konsentrasi glukosa darah terglikasi selama periode 1-3 bulan Pengu kuran Labora torium Immuno-assay Ordinal

1. ≤7% (Baik) 2. >7% (Buruk)

(ADA, 2012)


(60)

F. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan :

Data primer yaitu dengan pengumpulan data food recall dari hasil wawancara pada pasien Diabetes Melitus tipe 2 yang sedang kontrol di Laboratorium Patologi Klinik RSUD Abdul Moeloek Provinsi Lampung untuk melihat diet serat tinggi pada pasien. Data sekunder yaitu melihat laporan hasil pemeriksaan HbA1C pasien tersebut yang diambil di Laboratorium Patologi Klinik RSUD Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

G. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilakukan dalam 4 (empat) tahap, yaitu:

a. Tahap Persiapan

Diawali dengan survei tempat dan survei pasien sebelum dilakukan penelitian, serta meminta izin kepada pihak pimpinan di Laboratorium Patologi Klinik RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung Provinsi Lampung untuk melakukan penelitian.

b. Tahap Pengumpulan Data

Tahapan kegiatan yang akan dilakukan sebagai berikut:

1) Pasien datang memeriksakan kadar HbA1C kemudian menunggu hasil di koridor atau ruang tunggu yang telah disediakan di Laboratorium Patologi Klinik.


(61)

44

2) Meminta kesediaan responden untuk menjadi subjek penelitian (untuk mengisi kuesioner/food recall dengan metode wawancara), yaitu dengan informed consent.

3) Setelah pasien bersedia, dilakukan wawancara untuk mengisi kuesioner yang telah disiapkan.

4) Mengumpulkan data hasil pemeriksaan HbA1C pasien yang bersedia menjadi subjek penelitian dari laboratorium

c. Pengolahan dan analisis data

d. Kesimpulan

H. Pengolahan dan Analisis Data

Data diperoleh dengan cara mempelajari data primer berupa hasil food recall -24 jam pasien diabetes melitus tipe 2 di Laboratorium Patologi Klinik RSUD dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

1. Pengolahan Data

Data yang telah diperoleh dari proses pengumpulan data akan diubah ke dalam bentuk tabel, kemudian data diolah menggunakan alat bantu perangkat software uji statistik. Selanjutnya, proses pengolahan data menggunakan program komputer ini terdiri dari beberapa langkah:

a. Coding, untuk menerjemahkan data yang dikumpulkan selama penelitian ke dalam simbol yang cocok untuk keperluan analisis


(62)

c. Verifying, melakukan pemeriksaan secara visual terhadap data yang telah dimasukkan ke dalam komputer

d. Computer Output, hasil analisis yang telah dilakukan oleh komputer kemudian dicetak

2. Analisis Data

Dengan melihat data yang diperoleh, data akan diolah dengan alat bantu perangkat software uji statistik. Untuk analisis data digunakan analisis data univariat dan analisis bivariat.

a. Analisis data univariat adalah analisis data untuk mengetahui gambaran masing-masing variabel yaitu diet serat tinggi pasien diabetes melitus dan kadar HbA1C pasien Diabetes Melitus tipe 2 di Laboratorium Patologi Klinik RSUD dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

b. Analisis data bivariat digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara diet serat tinggi dengan kadar HbA1C pada pasien Diabetes Melitus tipe 2 di Laboratorium Patologi Klinik RSUD dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

Analisis ini dilakukan dengan menggunakan uji statistik Chi Square yaitu:

Keterangan:

x2 = Kai kuadrat


(63)

46

fh = Frekuensi yang diharapkan pada populasi penelitian dengan α = 0,05

Tetapi bila tidak memenuhi syarat uji chi square, maka digunakan uji alternatifnya yaitu Fisher (untuk tabel 2 x 2), Kolmogorov-Smirnov (untuk tabel 2x3) dan penggabungan sel (untuk tabel 3x3) (Priyatno, 2008).


(64)

DAFTAR PUSTAKA

ADA. 2012. Standards of medical care in diabetes 2012. Diunduh dari http://www.scribd.com/document_downloads/direct/46449251?extension=pdf &ft=1316385416&lt=1316389026&uahk=L7tCiyZiewNPiZLzQs3UxfaCCE 4 pada tanggal 19 September 2012.

ADA. 2010. Standards of medical care in diabetes 2010. Diunduh dari http://www.scribd.com/document_downloads/direct/46449251?extension=pdf &ft=1316385416&lt=1316389026&uahk=L7tCiyZiewNPiZLzQs3UxfaCCE 4 pada tanggal 19 September 2012.

Adil, M. 2005. Knowledge of type 2 diabetic patients about their illness : pilot project. Diunduh dari http://www.jpma.org.pk/ full_article_text.php?article_id=747 pada tanggal 5 Oktober 2011.

Alvin, C, 2010. Diabetes Melitus, Harrison internal Medicine 17th Edition, 2052- 2063

Amalia, FP. 2011. Hubungan Pengetahuan Tentang Diabetes Melitus Dan Dukungan Keluarga Dengan Kualitas Hidup Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Rsud Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung. Fakultas Kedokteran. Universitas Lampung (Skripsi)

Anderson, J.W. 2012. Modern Nutrition in health and disease. Lippincott Williams & Wilkins : Philadelpia. 1043-1066 hlm

Baltimore A, Beltsville MD. 2012. Food and Nutrition Information Center Agricultural Research Service. USDA. National Agricultural Library, Room 304, 10301 20705-2351. (301) 504-5719. Fax: (301) 504-6409. <<a href="http://www.nal.usda.gov/fnic/">http://www.nal.usda.gov/fnic/>. <<a href="fnic@nal.usda.gov">fnic@nal.usda.gov>.


(65)

68

Bararah, VF. 2011. Pengambilan sampel darah diagnostik Diabetes Mellitus. http://www.ilunifled3.com/t224p270-Diabetes-melitus/ di unduh pada tanggal 19 september 2012

Basuki, E. 2007. Teknik Penyuluhan Diabetes Melitus : Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 283 hlm.

Bintanah, S. 2012. Asupan Serat Dengan Kadar GDS, Kadar Kolesterol Total Dan Status Gizi Pada Pasien DM Tipe 2 Di Rumah Sakit Roemani Semarang. Semarang di unduh pada http://www.slideshare. Journals pada 24 januari 2013

Chandalia, M.,Garg, A., Lutjohann, D., Berghmann, K.., Brinkley, LJ., et al. 2010. Beneficial effects of High Dietary Fiber Intake in Patiens With Type 2 Diabetes Melitus. USA. Journal scribe di unduh pada tanggal 19 september 2012

Coventry and Health America. 2011. Diabetes clinical practice guidelines 2011. diunduh dari http://healthamerica.coventryhealthcare.com/web /groups/ public/@cvty_regional_chcpa/documents/webcontent/c042496. pdf pada tanggal 19 september 2012

Dahlan, M.S. 2009. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan Ed. 4. Salemba Medika, Jakarta. 272 hlm.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia , 2005 Diabetes Melitus Masalah Kesehatan Serius, Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Profil kesehatan Indonesia. Diunduh dari http://www.depkes.go.id/downloads/publikasi/Profil%20 Kesehatan%20 Indonesia%202008.pdf pada tanggal 19 September 2012.

Departemen Mikrobiologi. 2010. Collection, transport and examination of specimens. Fakultas Kedokteran USU. Medan

Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. 2011. Prevalensi kejadian penyakit tidak menular. Bandar Lampung


(66)

Fung, TT., Hu FB., Pereira MA., et al. Whole–grain intake and the risk of type 2 diabetes: a prospective study in men. Am J Clin Nutr. 2002; 76:535–40. Gallagher, M.L. 2008. The Nutriens and Their Metabolism, dalam Krause’s Food

Nutrion and Theraphy (Mahan & Escott-Stump eds) ed 12, 39-143 hlm Harefa, EM. 2011. Hba1c and standarization & recent update. Prodia lab.

Makasar

Herminingsih, A. 2010. Serat Dalam Menu Makanan. Diunduh pada alamat http://journal.mercubuana.ac.id/data/baruAAT_SERAT_DALAM_MENU_ MAKANAN.pdf tanggal 19 September 2012

IDF. 2010. Diabetes melitus prevalence in 7 region. Diunduh dari http://www.idf.org/sites/default/files/DM%202010_7%20regions.xls pada tanggal 30 september 2012.

Jeffcoate, SL. 2004. Diabetes control and complications : the role of glycate hemoglobin, 25 years on, Diabetes medical journals ; 21 (7) : 657-665

Joseph, G. 2002. Manfaat Serat Makanan bagi Kesehatan Kita. Makalah Falsafah Sains (PPS/02). Program Pasca Sarjana, IPB. Bogor

Krishnan, S., Rosenberg, L., Singer, M., et al. 2007. Glycemic index, glycemic load, and cereal fiber intake and risk of type 2 diabetes in US black women. Arch Intern Med.; 167:2304–9 hlm

Kurt, J., Isselbacher., Eugene, B., Jean, DW., Joseph BM et al. 2009. Harrison’s

Principles of Internal Medicine. 13th Edition Vol 5. McGraw-Hill Inc : Boston

Larsen. 2003. Fiber and Constipation. Diunduh pada alamat berikut http://www.dietititan.com/fiber/html pada 12 september 2012

La Greca, Annette M. 2005. Manual for the Self Care Inventory.(Online). Available at : http://www.psy.miami.edu/faculty/alagreca/SCI_manual_2004. pdf. pada tanggal 10 Oktober 2012


(67)

70

Liu, S., Willett, WC., Stampfer, MJ., et al. 2000. A prospective study of dietary glycemic load, carbohydrate intake, and risk of coronary heart disease in US women. Am J Clin Nutr. 61-1455 hlm

Malini, FN. 2010. Gambaran pengetahuan penderita DM tipe 2 terhadap penyakit dan pengelolaan DM tipe 2 di RSUP H. Adam Malik Medan. (Skripsi). Universitas Sumatera Utara. Medan.

Moodley, LM. 2007. An assessment of the level of knowledge about diabetes mellitus among diabetic patients in a primary healthcare settings. Diunduh dari http://www.safpj.co.za pada tanggal 12 Oktober 2012

Nadimin., Dara, S., Sadariah. 2009. Pengaruh Pemberian Diit DM Tinggi Serat Terhadap Penurunan Kada Gula Darah Pasien DM Tipe 2 Di RSUD Salewangang Kab.Maros. Makassar : Skripsi

Nitin, S. 2010. HbA1c and Factors Other Than Diabetes Melitus Affecting it. http://www.singapore medical.org Journals. Akses pada tanggal 1 oktober 2012

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta, Jakarta. 243 hlm.

Oktaviani, LI. 2011. Korelasi Kadar Hba1c Dengan Kuantitas Sekresi Air Mata Pada Pasien DM Studi Di RSUD Margono Soekarjo. Purwokerto : Unsoed Jurnal

PERKENI. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. PB PERKENI, Jakarta. 58 hlm.

Peraturan Gubernur Lampung. 2009. Rencana strategis bisnis dan standar pelayanan minimal RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

Permanasari, R. 2008. Konsumsi serat makanan pada masyarakat golongan menengah ke atas di perkotaan. Bogor: IPB


(68)

Price, Sylvia Anderson & Lorraine Wilson. 2009.Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Ed.6—. Jakarta: EGC

Prima, D. A. K. 2008. Faktor-faktor yang mempengaruhi praktek pengukuran makanan (diet) sehari-hari pada pasien DM tipe 2. (Tesis). Universitas Diponegoro. Semarang.

Purnamasari, D. 2009. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 1134 hlm.

Rahmadiliyani, N., Muhlisin, A. 2008. Hubungan antara pengetahuan tentang penyakit dan komplikasi pada penderita diabetes melitus dengan tindakan mengontrol gula darah di wilayah Puskesmas I Gatak Sukoharjo. (Skripsi). Universitas Muhamadiyah Surakarta. Surakarta.

RISKESDAS. 2007. Laporan hasil riset kesehatan daerah nasional. Badan penelitian dan pengembangan kesehatan.

Robert, MD. 2012. Dietary Fiber for the Treatment of Type 2 Diabetes Mellitus: A Meta-Analysis. Diunduh pada hhtp://www.jabfm.org journals pada tanggal 1 oktober 2012

Sacks, D. 2011. A1C Versus Glucose Testing : A Comparison. Diunduh pada http://www care diabetes journals. Org pada tanggal 1 oktober 2011

Schrot, Richard J., Kirit, T., Patel and Philip Foulis. 2007. Evaluation of Inaccuracies in the Measurement of Glycemia in the Laboratory, by Glucose Meters, and Through Measurement of Hemoglobin A1c. (Online). Crop Management doi:10.2337/diaclin.25.2.43 Clinical Diabetes April 2007 vol. 25 no. 2 43-49. Available at : http://clinical.diabetesjournals. org/content/25/2/43.full?sid=6 9d7910a-fa50-4407-b3b4-c9c7e3ac8039. diakses 19 September 2012

Schulze, MB., Liu, S., Rimm, EB., Manson, JE., Willett, WC., Hu, FB. Glycemic index, glycemic load, and dietary fiber intake and incidence of type 2 diabetes in younger and middle-aged women. Am J Clin Nutr. 2004; 80:348–56


(69)

72

Setiati, S., Harimurti, K., Roosheroe, A. G. 2007. Proses Menua dan Implikasi Klinis : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 573 hlm.

Shehri, AH., Taha, AZ., Bahnassy, AA., Salah, M., et al. 2008. Health-related quality of life in type 2 diabetic patients. Ann Saudi Med. Vol 5. Diunduh dari http://www.kfshrc.edu.sa/annals pada tanggal 20 Oktober 2012.

Soegondo, S. 2009. Farmakoterapi pada Pengendalian Glikemia Diabetes Melitus Tipe 2 : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 1134 hlm.

Suyono, S. 2009. Diabetes Melitus di Indonesia : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 1134 hlm

Tensiska. 2009. Serat Makanan. Diunduh pada http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/05/serat_makanan_1.pdf tanggal 1 oktober 2012

Ucik WP. 2008. Hubungan Tingkat Pengetahuan,Asupan Karbohidrat dan SeratDengan Pengendalian Kadar Glukosa darah Pada Penderita DM Tipe 2 Rawat jalan di RSUD. Moewardi Solo. Universitas Muhammadiyah Surakarta Wild, S., Roglic, G., Green, A., Sicree, R., King, H., et al. 2004. Global

prevalence of diabetes. Diabetes Care. Vol. 27 : 1050-1051. Diunduh dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15111519 pada tanggal 20 Oktober 2011.

Wirakusumah, ES. 2003. Buah dan Sayur untuk Terapi. Penebar swadaya : Jakarta

WHO and International Diabetes Federation, 2009. Definition and Diagnosis of Diabetes Mellitus and Intermediate Hyperglycemia. Atlas Diabetes. Available from:http://www.who.int/diabetes/publications/Definition%20and

diagnosis%20of%20 diabetes new.pdf. pada tanggal 19 September 2012

World Health Organization. 2011. Definition and Diagnosis of Diabetes Mellitus and use Hba1c to diagnostic. Atlas Diabetes. Available


(70)

from:http://www.who.int/diabetes/publications/Definition%20and diagnosis%20of%20 diabetes new.pdf. pada tanggal 19 September 2012

Yulianti, K., Nursis., Wati., Urip., Rahayu et al. 2010. Hubungan Tingkat Self Care Dengan Tingkat Hba1c Pada Klien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Poliklinik Endokrin RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. http://www.medical.org Journals reference diunduh pada tanggal 1 oktober 2012

Zaimal Z, dr.SPGK. 2009. Fiber for Health. Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran USU. Medan


(1)

Bararah, VF. 2011. Pengambilan sampel darah diagnostik Diabetes Mellitus. http://www.ilunifled3.com/t224p270-Diabetes-melitus/ di unduh pada tanggal 19 september 2012

Basuki, E. 2007. Teknik Penyuluhan Diabetes Melitus : Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 283 hlm.

Bintanah, S. 2012. Asupan Serat Dengan Kadar GDS, Kadar Kolesterol Total Dan Status Gizi Pada Pasien DM Tipe 2 Di Rumah Sakit Roemani Semarang. Semarang di unduh pada http://www.slideshare. Journals pada 24 januari 2013

Chandalia, M.,Garg, A., Lutjohann, D., Berghmann, K.., Brinkley, LJ., et al. 2010. Beneficial effects of High Dietary Fiber Intake in Patiens With Type 2 Diabetes Melitus. USA. Journal scribe di unduh pada tanggal 19 september 2012

Coventry and Health America. 2011. Diabetes clinical practice guidelines 2011. diunduh dari http://healthamerica.coventryhealthcare.com/web /groups/ public/@cvty_regional_chcpa/documents/webcontent/c042496. pdf pada tanggal 19 september 2012

Dahlan, M.S. 2009. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan Ed. 4. Salemba Medika, Jakarta. 272 hlm.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia , 2005 Diabetes Melitus Masalah Kesehatan Serius, Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Profil kesehatan Indonesia. Diunduh dari http://www.depkes.go.id/downloads/publikasi/Profil%20 Kesehatan%20 Indonesia%202008.pdf pada tanggal 19 September 2012. Departemen Mikrobiologi. 2010. Collection, transport and examination of

specimens. Fakultas Kedokteran USU. Medan

Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. 2011. Prevalensi kejadian penyakit tidak menular. Bandar Lampung


(2)

Fung, TT., Hu FB., Pereira MA., et al. Whole–grain intake and the risk of type 2 diabetes: a prospective study in men. Am J Clin Nutr. 2002; 76:535–40. Gallagher, M.L. 2008. The Nutriens and Their Metabolism, dalam Krause’s Food

Nutrion and Theraphy (Mahan & Escott-Stump eds) ed 12, 39-143 hlm

Harefa, EM. 2011. Hba1c and standarization & recent update. Prodia lab. Makasar

Herminingsih, A. 2010. Serat Dalam Menu Makanan. Diunduh pada alamat http://journal.mercubuana.ac.id/data/baruAAT_SERAT_DALAM_MENU_ MAKANAN.pdf tanggal 19 September 2012

IDF. 2010. Diabetes melitus prevalence in 7 region. Diunduh dari http://www.idf.org/sites/default/files/DM%202010_7%20regions.xls pada tanggal 30 september 2012.

Jeffcoate, SL. 2004. Diabetes control and complications : the role of glycate hemoglobin, 25 years on, Diabetes medical journals ; 21 (7) : 657-665

Joseph, G. 2002. Manfaat Serat Makanan bagi Kesehatan Kita. Makalah Falsafah Sains (PPS/02). Program Pasca Sarjana, IPB. Bogor

Krishnan, S., Rosenberg, L., Singer, M., et al. 2007. Glycemic index, glycemic load, and cereal fiber intake and risk of type 2 diabetes in US black women. Arch Intern Med.; 167:2304–9 hlm

Kurt, J., Isselbacher., Eugene, B., Jean, DW., Joseph BM et al. 2009. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 13th Edition Vol 5. McGraw-Hill Inc : Boston

Larsen. 2003. Fiber and Constipation. Diunduh pada alamat berikut http://www.dietititan.com/fiber/html pada 12 september 2012

La Greca, Annette M. 2005. Manual for the Self Care Inventory.(Online). Available at : http://www.psy.miami.edu/faculty/alagreca/SCI_manual_2004. pdf. pada tanggal 10 Oktober 2012


(3)

Liu, S., Willett, WC., Stampfer, MJ., et al. 2000. A prospective study of dietary glycemic load, carbohydrate intake, and risk of coronary heart disease in US women. Am J Clin Nutr. 61-1455 hlm

Malini, FN. 2010. Gambaran pengetahuan penderita DM tipe 2 terhadap penyakit dan pengelolaan DM tipe 2 di RSUP H. Adam Malik Medan. (Skripsi). Universitas Sumatera Utara. Medan.

Moodley, LM. 2007. An assessment of the level of knowledge about diabetes mellitus among diabetic patients in a primary healthcare settings. Diunduh dari http://www.safpj.co.za pada tanggal 12 Oktober 2012

Nadimin., Dara, S., Sadariah. 2009. Pengaruh Pemberian Diit DM Tinggi Serat Terhadap Penurunan Kada Gula Darah Pasien DM Tipe 2 Di RSUD Salewangang Kab.Maros. Makassar : Skripsi

Nitin, S. 2010. HbA1c and Factors Other Than Diabetes Melitus Affecting it. http://www.singapore medical.org Journals. Akses pada tanggal 1 oktober 2012

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta, Jakarta. 243 hlm.

Oktaviani, LI. 2011. Korelasi Kadar Hba1c Dengan Kuantitas Sekresi Air Mata Pada Pasien DM Studi Di RSUD Margono Soekarjo. Purwokerto : Unsoed Jurnal

PERKENI. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. PB PERKENI, Jakarta. 58 hlm.

Peraturan Gubernur Lampung. 2009. Rencana strategis bisnis dan standar pelayanan minimal RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

Permanasari, R. 2008. Konsumsi serat makanan pada masyarakat golongan menengah ke atas di perkotaan. Bogor: IPB


(4)

Price, Sylvia Anderson & Lorraine Wilson. 2009.Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Ed.6—. Jakarta: EGC

Prima, D. A. K. 2008. Faktor-faktor yang mempengaruhi praktek pengukuran makanan (diet) sehari-hari pada pasien DM tipe 2. (Tesis). Universitas Diponegoro. Semarang.

Purnamasari, D. 2009. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 1134 hlm.

Rahmadiliyani, N., Muhlisin, A. 2008. Hubungan antara pengetahuan tentang penyakit dan komplikasi pada penderita diabetes melitus dengan tindakan mengontrol gula darah di wilayah Puskesmas I Gatak Sukoharjo. (Skripsi). Universitas Muhamadiyah Surakarta. Surakarta.

RISKESDAS. 2007. Laporan hasil riset kesehatan daerah nasional. Badan penelitian dan pengembangan kesehatan.

Robert, MD. 2012. Dietary Fiber for the Treatment of Type 2 Diabetes Mellitus: A Meta-Analysis. Diunduh pada hhtp://www.jabfm.org journals pada tanggal 1 oktober 2012

Sacks, D. 2011. A1C Versus Glucose Testing : A Comparison. Diunduh pada http://www care diabetes journals. Org pada tanggal 1 oktober 2011

Schrot, Richard J., Kirit, T., Patel and Philip Foulis. 2007. Evaluation of Inaccuracies in the Measurement of Glycemia in the Laboratory, by Glucose Meters, and Through Measurement of Hemoglobin A1c. (Online). Crop Management doi:10.2337/diaclin.25.2.43 Clinical Diabetes April 2007 vol. 25 no. 2 43-49. Available at : http://clinical.diabetesjournals. org/content/25/2/43.full?sid=6 9d7910a-fa50-4407-b3b4-c9c7e3ac8039. diakses 19 September 2012

Schulze, MB., Liu, S., Rimm, EB., Manson, JE., Willett, WC., Hu, FB. Glycemic index, glycemic load, and dietary fiber intake and incidence of type 2 diabetes in younger and middle-aged women. Am J Clin Nutr. 2004; 80:348–56


(5)

Setiati, S., Harimurti, K., Roosheroe, A. G. 2007. Proses Menua dan Implikasi Klinis : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 573 hlm.

Shehri, AH., Taha, AZ., Bahnassy, AA., Salah, M., et al. 2008. Health-related quality of life in type 2 diabetic patients. Ann Saudi Med. Vol 5. Diunduh dari http://www.kfshrc.edu.sa/annals pada tanggal 20 Oktober 2012.

Soegondo, S. 2009. Farmakoterapi pada Pengendalian Glikemia Diabetes Melitus Tipe 2 : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 1134 hlm. Suyono, S. 2009. Diabetes Melitus di Indonesia : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam

Jilid III Edisi V. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 1134 hlm

Tensiska. 2009. Serat Makanan. Diunduh pada http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/05/serat_makanan_1.pdf tanggal 1 oktober 2012

Ucik WP. 2008. Hubungan Tingkat Pengetahuan,Asupan Karbohidrat dan SeratDengan Pengendalian Kadar Glukosa darah Pada Penderita DM Tipe 2 Rawat jalan di RSUD. Moewardi Solo. Universitas Muhammadiyah Surakarta

Wild, S., Roglic, G., Green, A., Sicree, R., King, H., et al. 2004. Global prevalence of diabetes. Diabetes Care. Vol. 27 : 1050-1051. Diunduh dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15111519 pada tanggal 20 Oktober 2011.

Wirakusumah, ES. 2003. Buah dan Sayur untuk Terapi. Penebar swadaya : Jakarta

WHO and International Diabetes Federation, 2009. Definition and Diagnosis of Diabetes Mellitus and Intermediate Hyperglycemia. Atlas Diabetes. Available from:http://www.who.int/diabetes/publications/Definition%20and

diagnosis%20of%20 diabetes new.pdf. pada tanggal 19 September 2012 World Health Organization. 2011. Definition and Diagnosis of Diabetes Mellitus


(6)

from:http://www.who.int/diabetes/publications/Definition%20and diagnosis%20of%20 diabetes new.pdf. pada tanggal 19 September 2012 Yulianti, K., Nursis., Wati., Urip., Rahayu et al. 2010. Hubungan Tingkat Self

Care Dengan Tingkat Hba1c Pada Klien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Poliklinik Endokrin RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. http://www.medical.org Journals reference diunduh pada tanggal 1 oktober 2012

Zaimal Z, dr.SPGK. 2009. Fiber for Health. Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran USU. Medan