HUBUNGAN JENIS PENGOBATAN DAN SIKAP DENGAN KUALITAS HIDUP PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG

(1)

HUBUNGANAN ANTARA JENIS PENGOBATAN DAN SIKAP DENGAN KUALITAS HIDUP PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2

DIRSUD DR. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG

(Skripsi)

Oleh

MEGA NOVIASARI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

(3)

(4)

(5)

HUBUNGANAN ANTARA JENIS PENGOBATAN DAN SIKAP DENGAN KUALITAS HIDUP PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2

DIRSUD DR. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG

Oleh

MEGA NOVIASARI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(6)

Judul Skripsi : HUBUNGAN JENIS PENGOBATAN DAN SIKAP DENGAN KUALITAS HIDUP PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK

PROVINSI LAMPUNG Nama Mahasiswa : Mega Noviasari

Nomor Pokok Mahasiswa : 0918011120 Program Studi : Pendidikan Dokter

Fakultas : Kedokteran

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

dr. TA Larasati, M.Kes NIP. 197707182005012003

dr. Rasmi Zakiah Oktarlina NIP.198410202009122005

2. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

Dr. Sutyarso, M.Biomed NIP. 195704241987031001


(7)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : dr. TA Larasati, M.Kes

Sekretaris : dr. Rasmi Zakiah Oktarlina

Penguji

Bukan Pembimbing : dr. Azelia Nusa Dewiarti, M.PH

2. Dekan Fakultas Kedokteran

Dr. Sutyarso, M.Biomed NIP. 195704241987031001


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pandeglang, pada tanggal 12 April 1991 sebagai anak kedua dari empat bersaudara, dari pasangan Bapak H. Sarip Hidayat dan Ibu Hj. Hadijah

Pendidikan diawali dengan bersekolah di Sekolah Dasar (SD) Negeri Kadugemblo 2. Penulis meneruskan jenjang pendidikannya di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 1 Kaduhejo Pandeglang dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri Cahaya Madani Banten (Boarding School). Pada tahun 2009, penulis melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dan terdaftar sebagai mahasiswi di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

Selama menjadi mahasiswa, Penulis aktif dalam Organisasi Forum Studi Islam (FSI) Ibnu Sina sebagai Sekretaris Bidang (Sekbid) Kaderisasi periode 2010-2011, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kedokteran Universitas Lampung sebagai Anggota PSDMO periode 2011-2012, dan Forum Ukhuwah Lembaga Dakwah Fakultas Kedokteran (FULDFK) sebagai Anggota Departemen Kemuslimahan periode 2012-2013.


(9)

PERSEMBAHAN

“…ALLAH akan mengangkat (derajat) orang

-orang yang beriman diantaramu

dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan ALLAH Mahateliti apa

yang kamu kerjakan”.

(Q.S. AlMujadilah:11)

“Barangsiapa meniti satu jalan untuk mencari ilmu, niscaya dengan hal itu-

Allah mudahkan baginya jalan menuju Surga. Dan sesungguhnya para malaikat akan membentangkan sayap-sayap mereka kepada pencari ilmu sebagai keridhaan atas apa yang ia perbuat. Dan sesungguhnya penghuni langit dan di bumi, sampai ikan-ikan di laut pun memohonkan ampun untuk

orang-orang yang berilmu. Dan sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan purnama atas semua bintang-bintang. Dan sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi.

Dan sesungguhnya para Nabi itu tidak mewariskan dinar dan dirham, tetapi mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya maka dia telah

mengambil bagian yang banyak.”


(10)

Tidak akan pernah bisa diri ini membalas semua curahan kasih sayang,

cinta dan pengorbanan yang telah kalian berikan untukku, anakmu, tapi

sebuah prestasi akan slalu anakmu berikan untuk bisa membuat kalian

tersenyum dan bangga. Teruntuk malaikat duniaku,

Mama & Bapak

semoga kado kecil ini adalah jawaban dari setiap doa yang kalian

panjatkan. Semoga kado kecil ini bisa menghilangkan sedikit kerutan

diwajah kalian.

Satu pintaku pada Allah, semoga Allah mencurahkan rahmat dan

perlindunggan-Nya untukmu, malaikat duniaku.

Dan teruntuk keluarga besarku yang sangat menantikan kelulusanku, terutama

untuk Kak Pian yang slalu mensupport diri ini untuk selalu maju, terimakasih


(11)

i SANWACANA

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji hanyalah milik Allah SWT Rabb semesta alam yang tak hentinya memberikan nikmat melalui kesulitan, kemudahan, kesedihan, kebahagiaan, kesempitan dan kelapangan. Berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Baginda Rasulullah Muhammad SAW, para sahabat, keluarga serta pengikutnya yang tetap istiqomah hingga akhir zaman.

Penulisan skripsi berjudul “Hubungan Jenis Pengobatan dan Sikap dengan Kualitas Hidup Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUD dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung” ini merupakan syarat bagi Penulis untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

Dalam kesempatan baik ini, Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung turut berperan serta dalam proses penyelesaian skripsi ini :


(12)

ii 2. dr. TA Larasati, M.Kes selaku ketua Tim Penguji atas saran, bimbingan, kesabaran, perhatian serta pengertian yang telah diberikan kepada Penulis selama penelitian dan penulisan skripsi ini hingga selesai. Selain itu beliau selaku Pembimbing Akademik yang telah menuntun saya pada proses perkuliahan;

3. dr. Rasmi Zakiah Oktarlina selaku sekretaris Tim Penguji atas saran, bimbingan, kesabaran, perhatian serta pengertian yang diberikan selama penelitian dan penulisan skripsi ini hingga selesai.

4. dr. Azelia Nusa Dewiarti, M.PH selaku penguji atas saran, bimbingan, kesabaran, perhatian serta pengertian selama penulisan skripsi ini hingga selesai.

5. Semua staf dan karyawan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung yang membantu dalam proses pembelajaran semasa kuliah dan penyelesaian skripsi ini.

6. dr. Wiranto Basuki, Sp. PK selaku Kepala Laboratorium Patologi Klinik RSUD Abdul Moeloek atas izin yang diberikan pada penulis untuk melaksanakan penelitian ini.

7. Bapak Muaidi (Pak Mu’ed), Mba Fitri, Ibu Lasiyem, Ibu Sudaryati (bu pipit),

Mas Diki, Mba Ulyn atas kemudahan-kemudahan yang diberikan selama pengambilan data.

8. Semua Bapak dan Ibu pasien Diabetes Melitus tipe 2 di RSUD Abdul Moeloek yang telah bersedia ikut dalam penelitian ini sebagai responden.


(13)

iii untuk terus menggapai cita-cita.

10.Untuk ibu kedua (nenek) yang telah merawatku dan mendidikku dari kecil dan yang selalu berdo’a untuk kesuksesanku.

11.Untuk saudara-saudara dan keluarga besar yang kucinta. Terutama untuk Kak Pian yang selalu menjadi tempat curhat dan selalu mensupport diri ini untuk terus maju, untuk Teh Irma, Teh Eros, Teh Ila, Teh Irna, Delis, Teh Eneng, Teh Emar, terimakasih atas doa dan dukungan kalian. Juga untuk my little sister dan brother, Tazha dan Hazvi, semoga kalian juga dapat membanggakan kedua orangtua. 12.My best friend, teman seperjuangan, Wika, Arum, Aqsha, Odang, Elis, Friska,

Ghina, Ntan, Shinta, Ummi, Nora, dan Dira yang membantu dalam suka duka penelitian, dengan kalian semuanya terasa lebih ringan.

13.Untuk Teh Lewi, terimakasih untuk kerjasamanya di detik-detik terakhir penelitian.

14.Adik-adik hestiers tercinta, anggi, una, etha, kadek ceria, wayan, anggidian, mila, yang telah mewarnai kehidupan dikosn.

15.Untuk Madanian Yogya, Restu dan Deseh, terimakasih telah menemukan “harta

karun” untukku, tanpa kesediaan kalian meluangkan waktu untuk menemukan

kuesioner, penelitian ini mungkin tidak akan pernah berjalan. Untuk kismul lughol sepanjang abab, Anggi dan Ade, atas bantuan dalam menerjemahkan jurnal dan abstrak yang sulit tapi menjadi mudah karena kalian. Tak lupa juga


(14)

iv 16.Untuk mba-mbaku yang nan jauh disana, mba putri, mba defi, mba fauziah, mba dini, mba fira, yang menjadi sumber informasi dan tempat berkeluh kesah dalam penelitian ini, terimaksih atas solusi dan bantuan yang kalian berikan.

17.Untuk adik-adik BBQku 2012, terimakasih sudah membantu menghitung kuesionernya dan kebersamaan dalam merajut ukhuwah.

18. Terima kasih kepada teman-teman sejawat Dorland (Kedokteran Nol Sembilan) yang tak bisa disebutkan satu persatu, keluargaku ditanah perantauan ini, terimakasih atas kebersamaannya selama ini. juga kepada kakak dan adik tingkat 2002, 2003, 2004, 2005, 2006, 2007, 2008, 2010, 2011, 2012.

19.Almamater tercinta.

Akhir kata, Penulis sangat menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, namun Penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi diri Penulis secara pribadi maupun mereka yang telah menyediakan waktu dan sempat untuk membacanya.

Bandar Lampung, 28 Januari 2013 Penulis,


(15)

(16)

(17)

(18)

(19)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diabetes Melitus (DM) adalah salah satu diantara penyakit tidak menular yang akan meningkat jumlahnya di masa datang. Diabetes sudah merupakan salah satu ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada abad 21. Hal ini dikarenakan peningkatan pendapatan per kapita dan perubahan gaya hidup terutama di kota-kota besar, menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung koroner (PJK), hipertensi, hiperlipidemia, diabetes dan lain-lain (Sudoyo et al., 2009).

Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidens dan prevalensi DM tipe 2 di berbagai penjuru dunia. WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes yang cukup besar untuk tahun-tahun mendatang. WHO memprediksikan adanya peningkatan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Senada dengan WHO, International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2009, memprediksikan kenaikan jumlah penyandang DM dari 7,0 juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan angka prevalensi, laporan


(20)

keduanya menunjukan adanya kenaikan jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 202-30.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003, diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun adalah sebesar 133 juta jiwa. Dengan prevalensi DM pada daerah urban sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar 7,2%, maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat penyandang diabetes sejumlah 8,2 juta di daerah urban dan 5,5 juta di daerah rural. Selanjutnya, berdasarkan pola pertambahan penduduk, diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM pada urban (14,7%) dan rural (7,2%) maka diperkirakan terdapat 12 juta penyandang diabetes di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural. Suatu jumlah yang sangat besar dan merupakan beban yang sangat berat untuk dapat ditangani sendiri oleh dokter spesialis/ subspesialis bahkan oleh semua tenaga kesehatan yang ada. Mengingat bahwa DM akan memberikan dampak terhadap kualitas sumber daya manusia dan peningkatan biaya kesehatan yang cukup besar, semua pihak, baik masyarakat maupun pemerintah, seharusnya ikut serta dalam usaha penanggulangan DM, khususnya dalam upaya pencegahan (PERKENI, 2011).

Angka kejadian Diabetes Melitus di provinsi Lampung untuk rawat jalan pada tahun 2009 mencapai 365 orang dan mengalami peningkatan pada tahun 2010 sejumlah 1103 orang (Dinkes Lampung, 2011).


(21)

Penyakit DM adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan, tetapi penderitanya dapat hidup normal apabila gula darahnya dapat dikendalikan pada batas-batas normal. Pengendalian gula darah ini dapat dilakukan secara menyeluruh berupa sebuah perubahan gaya hidup dengan empat pilar penanggulangan DM yaitu : (1) pengaturan makan, (2) aktifitas fisik, (3) minum obat bila diperlukan, (4) dan edukasi (Soegondo, 2009).

Hidup dengan DM tentu bukan hal yang mudah, karena untuk menjalankan program penatalaksanaan DM, yaitu empat pilar pananggulangan DM tersebut di atas, diperlukan kesabaran dan kedisiplinan yang tinggi. Seseorang menderita suatu permasalahan mempunyai kecenderungan untuk mencari informasi tentang permasalahan yang dihadapi serta cara-cara mengatasinya (Zahtamal et al., 2007). Individu yang memperlihatkan beberapa perilaku kesehatan yang positif lebih menyukai memakai pengobatan alternatif dan komplementer secara independen dari status kesehatan mereka (Nahin, 2007). Banyak diantaranya kemudian mencari alternatif lain dalam mendapatkan pengobatan yang diinginkannya. Kondisi ini diperkuat dengan maraknya iklan pengobatan alternatif dan komplementer di media cetak maupun melalui jaringan pemasaran yang berjenjang atau multi level marketing (MLM) (Handriono, 2010).

Pengobatan alternatif dan komplementer semakin berkembang di seluruh dunia termasuk Indonesia. Penelitian Hori (2008) menemukan bahwa 50% dari pasien rawat jalan sebuah rumah sakit di Tokyo juga menggunakan


(22)

pengobatan alternatif dan komplementer paling tidak satu jenis pengobatan dalam 12 bulan terakhir. Kecenderungan ini erat kaitannya dengan semakin sadarnya masyarakat terhadap efek samping bahan kimia sebagai bahan dasar pembuatan obat moderen. Akhir-akhir ini negara-negara yang maju sudah mulai melakukan gerakan kembali ke alam (back to nature) dengan melakukan perubahan gaya hidup, gerakan ekologis, serta makanan dan pengobatan yang memacu perkembangan pengobatan alternatif dan komplementer.

Pada pasien DM sikap merupakan komponen yang dapat mempengaruhi terhadap kesehatan meraka. Menurut Sunaryo (2004), sikap tidak dibawa sejak lahir tetapi dapat dipelajari dan dibentuk berdasarkan pengalaman individu sepanjang perkembangan selama hidupnya. Pembentukan sikap dipengaruhi oleh faktor eksternal (pengalaman, situasi, norma, hambatan dan pendorong) dan internal (fisiologis, psikologis dan motif). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sikap dipengaruhi pula oleh pendidikan. Umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin baik pula sikapnya serta makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi dan memahami sesuatu.

Menurut Ismail (2000), bahwa penderita DM mempunyai perbedaan sikap terhadap dirinya dan kehidupannya termasuk dalam pola makan karena adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh, seperti sering kencing, perubahan pola tidur, dan stres. Permasalahan psikologis yang juga sering


(23)

muncul dan mengiringi perkembangan penyakit diabetes adalah adanya kecemasan dan gangguan depresi terhadap tuntutan penanganan diabetes untuk mengubah pola hidup. Fisher et al. (1982) dalam Asri (2006) menemukan bahwa perubahan pola hidup yang harus dijalani penderita diabetes dapat menimbulkan emosi negatif serta konflik yang terjadi dalam diri penderita. Munculnya emosi negatif berupa marah, rasa bersalah, cemas, dan sedih dapat menyebabkan penderita mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang banyak atau justru mengkonsumsi jenis makanan yang tidak dianjurkan. Kondisi ini apabila tidak ditangani secara serius akan mempengaruhi proses penyembuhan dan dapat menghambat aktivitas kehidupan sehari- hari yang selanjutnya berdampak negatif pada harga diri, semangat juang dan kualitas hidup.

Kualitas hidup dapat diartikan sebagai derajat dimana seseorang menikmati kepuasan dalam hidupnya. Untuk mencapai kualitas hidup maka seseorang harus dapat menjaga kesehatan tubuh, pikiran dan jiwa. Sehingga seseorang dapat melakukan segala aktivitas tanpa ada gangguan (Ventegodt et al., 2003).

Kualitas hidup penting bagi penderita diabetes karena menggambarkan kekuatan penderita dalam mengelola penyakit serta memelihara kesehatannya dalam jangka waktu lama. Ketika penderita merasakan beban yang terlalu berat dalam menangani diabetes maka dalam keadaan seperti ini penderita seringkali melanggar aturan pengelolaan diabetes yang seharusnya dipatuhi.


(24)

Beban yang dinilai terlalu berat ini akan mempengaruhi fluktuasi glukosa darah sehingga mengakibatkan kadar gula darah meningkat, resiko terjadinya komplikasi penyakit semakin tinggi, dan penderitaan yang dialami akan menjadi lebih buruk dalam jangka waktu lama sehingga akan mempengaruhi kualitas hidup penderita diabetes (Asri, 2006).

Menurut Mutia (2010) ada beberapa faktor yang mendorong perlunya pengukuran kualitas hidup terhadap pasien DM tipe 2, yaitu prevalensi DM terus meningkat baik di dunia maupun di Indonesia, selama ini lebih banyak penelitian yang mengangkat seputar masalah klinik DM sehingga perlu penelitian lebih banyak mengenai kualitas hidup mengingat peningkatan kualitas hidup merupakan salah satu sasaran terapi manajemen DM, penyakit diabetes merupakan penyakit kronis yang memerlukan terapi terus menerus sehingga efektifitas dan efek samping pengobatan dapat berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien, pasien DM cenderung menderita komplikasi yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien, dan beberapa penelitian menyebutkan bahwa faktor karakteristik juga dapat mempengaruhi kualitas hidup.

RSUD Dr. H. Abdul Moeloek merupakan salah satu institusi pemerintah daerah yang bertujuan memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat luas dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Berdasarkan SK Menkes RI Nomor : HK.03.05/I/2603/08 tanggal 23 Juli 2008 RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung sebagai rumah sakit


(25)

rujukan tertinggi di Provinsi Lampung dan rumah sakit pendidikan. Hasil analisa data tahun 2002 sampai 2008 pelanggan RSUD Dr. H. Abdul Moeloek dari tahun ketahun cenderung meningkat. Rata-rata angka kunjungan Laboratorium Rawat Jalan perbulannya adalah 1800 pasien dengan 500 diantaranya merupakan penderita DM tipe 2. Penderita DM ini akan bertambah setiap bulannya sekitar 10 hingga 50 kasus (Peraturan Gubernur Lampung No.44, 2009).

Memperhatikan hal tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut kualitas hidup pasien diabetes melitus tipe 2 yang diterapi rawat jalan di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung berdasarkan jenis pengobatan yang dilakukan dan sikap.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan yang akan saya teliti sebagai berikut: adakah hubungan antara jenis pengobatan dan sikap dengan kualitas hidup pada pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUD dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.


(26)

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Mengetahui hubungan antara jenis pengobatan dan sikap dengan kualitas hidup pada pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUD dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

2. Tujuan khusus

2.1 Mengetahui gambaran jenis pengobatan oleh pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUD dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

2.2 Mengetahui gambaran sikap pasien Diabetes Melitus Tipe 2 tentang penyakitnya di RSUD dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung. 2.3 Mengetahui gambaran kualitas hidup pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di

RSUD dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

2.4 Mengetahui hubungan antara jenis pengobatan dengan kualitas hidup pada pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUD dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

2.5 Mengetahui hubungan antara sikap dengan kualitas hidup pada pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUD dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.


(27)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini antara lain: 1. Bagi pasien Diabetes Melitus tipe 2

Dapat menjadi motivasi bagi pasien untuk dapat memilih jenis pengobatan yang baik sehingga kualitas hidup pasien Diabetes Melitus tipe 2 dapat lebih baik.

2. Bagi institusi kesehatan

Memberikan informasi tentang gambaran jenis pengobatan dan sikap dengan kualitas hidup pasien Diabetes Melitus tipe 2.

3. Tenaga kesehatan (dokter)

Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi masukan kepada para tenaga kesehatan untuk dapat meningkatkan sikap pesien Diabetes Melitus dan jenis pengobatan yang dilakukan oleh pasien Diabetes Melitus Tipe 2 sehingga pasien-pasien tersebut mampu meningkatkan kualitas hidupnya.

4. Bagi peneliti selanjutnya

Dapat dijadikan informasi dan data tambahan untuk penelitian selanjutnya dalam ruang lingkup yang sama.

E. Kerangka Pemikiran

Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni faktor perilaku (behaviour causes) dan faktor di luar perilaku (non-behaviour causes). Selanjutnya perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yang dirangkum dalam akronim PRECEDE : Predisposing, Enabling, dan


(28)

Reinforcing Cause in Educational Diagnosis and Evaluation. Precede ini merupakan arahan dalam menganalisis atau diagnosis dan evaluasi perilaku untuk intervensi pendidikan (promosi) kesehatan. Sedangkan PROCEDE : Policy, Regulatory, Organizational Construct in Educational and

Environmental Depelopment, adalah merupakan arahan dalam perencanaan, implementasi, dan evaluasi pendidikan (promosi) kesehatan (Notoatmodjo, 2010).

Teori PRECEDE-PROCEDE dari Lawrence Green (1980) dalam Glnaz K (2002) menunjukkan bahwa perilaku kesehatan dalam mencari jenis pengobatan yang nantinya akan mempengaruhi kualitas hidup seseorang dipengaruhi oleh faktor predisposing, reinforcing, dan enabling, yang ketiga faktor ini dibentuk dari adanya pendidikan kesehatan. Adapun yang termasuk faktor predisposing adalah sikap pasien DM tipe 2 tentang penyakit Diabetes Melitus.

Gambar 1. Kerangka teori

Promosi kesehatan Pendidikan kesehatan Peraturan kebijakan organisasi Faktor predisposisi: sikap Faktor penguat Faktor pemungkin Jenis pengobatan Lingkungan

Kesehatan Kualitas


(29)

F. Kerangka Konsep

G. Hipotesis

1. Terdapat hubungan antara jenis pengobatan dengan kualitas hidup pada pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUD dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

2. Terdapat hubungan antara sikap dengan kualitas hidup pada pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUD dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

INDEPENDENT

VARIABLE

DEPENDENT VARIABLE

Jenis Pengobatan Kualitas Hidup

Gambar 2. Kerangka konsep

Kualitas Hidup Sikap


(30)

II . TINJAUAN PUSTAKA

A. JENIS PENGOBATAN

1. Jenis Pengobatan

Penyakit Diabetes Melitus adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan, tetapi penderitanya dapat hidup normal apabila gula darahnya dapat dikendalikan pada batas-batas normal. Pengendalian gula darah ini dapat dilakukan secara menyeluruh berupa sebuah perubahan gaya hidup dengan empat pilar penanggulangan Diabetes Melitus yaitu : (1) pengaturan makan, (2) aktifitas fisik, (3) intervensi farmakologis, (4) dan edukasi (Soegondo, 2009).

Menurut Kleinman (1980) ada tiga sektor yang saling mempengaruhi dalam sistem pelayanan kesehatan yaitu sektor popular, sektor profesional, dan sektor folk atau penyembuh tradisional.

.

a. Sektor popular atau masyarakat, individu merupakan yang pertama menghadapi penyakit dalam keluarga. Kemudian memikirkan langkah berikutnya yang akan diambil, dimulai dengan


(31)

mempersepsikan dan merasakan gejala penyakitnya. Lalu mengambil keputusan apa yang perlu dilakukan untuk mengatasi penyakitnya. Sektor ini merupakan peran terbesar dalam sistem pelayanan kesehatan dimana terjadi pengambilan keputusan pengobatan. Pengambilan keputusan untuk melakukan pengobatan antara 70 sampai 90 persen dilakukan di sektor popular. Sektor ini meliputi kegiatan preventif seperti gaya hidup, kebersihan, vitamin, dan obat-obatan. Sumber informasinya bisa didapat dari televisi, internet, dan banyak alat publikasi lainnya.

b. Sektor profesional atau tenaga kesehatan yang melayani masyarakat tersebut. Sektor ini disebut juga pengobatan modern merupakan sektor yang dominan dalam pelayanan kesehatan. Sektor profesional didukung secara politis dan hukum yang memberi legalitas dalam memberikan pelayanan kesehatan. Sektor profesional umumnya didominasi oleh biomedis.

c. Sektor folk atau para penyembuh tradisional berkaitan dengan kultur masyarakat. Keberadaannya berkaitan dengan kemaknaan fungsi dari sektor ini sebagai salah satu alternatif pilihan dalam pencarian pengobatan. Sektor folk melibatkan berbagai budaya tradisional praktik penyembuhan yang umumnya bukan bagian resmi atau sistem medis profesional. Hal ini termasuk agama, penyembuhan spiritual, penyembuh alami atau natural, fisik dan penyembuh secara psikologis.


(32)

Di lain pihak ada juga yang membaginya menjadi kedokteran konvensional dan kedokteran non konvensional. Menurut The Free Dictionary Online dictionary, kedokteran konvensional merupakan model saat didirikannya kedokteran barat. Paradigma ini ditunjukan sebagai konvensional karena prevalensinya. Sedangkan menurut Medicine. Net Online Dictionary, kedokteran konvensional merupakan praktik medis yang dilakukan oleh dokter atau sederajat dan praktisi profesional medis lainnya seperti terapis fisik, psikolog, dan perawat.

Pengertian lainnya mengenai kedokteran konvensional termasuk allopathy atau kedokteran allopati. Menurut Merriam-Webster Online Dictionary, Allopati berarti berhubungan atau menjadi sistem pengobatan yang bertujuan untuk memerangi penyakit dengan menggunakan obat (obat-obatan atau pembedahan) yang menghasilkan efek yang berbeda. Kedokteran non konvensional yang meliputi atau disebut juga sebagai pengobatan alternatif, kedokteran komplementer, pengobatan tradisional, kedokteran terpadu, serta kedokteran komplementer dan alternatif (Premik, 2008)

Konsensus umum pada pengobatan DM tipe 2 adalah bahwa manajemen gaya hidup merupakan terapi pilihan yang berada digaris depan. Selain latihan fisik, mengontrol berat badan, terapi gizi medis, penurunan glukosa menggunakan obat-obatan dan suntikan insulin termasuk kedalam terapi konvensional. Perawatan farmakologis ditunjukkan


(33)

ketika kadar glukosa puasa melebihi 140 mg/dl dan postprandial tingkat glukosa melebihi 160 mg/dl atau HbAlc melebihi 8 % (Pandey, 2011).

2. Pengobatan Alternatif dan Komplementer

Pengobatan alternatif dan komplementer atau Complementer and Alternatif Medicine (CAM) merupakan istilah yang digunakan secara luas. Definisi CAM telah dikembangkan pada konfrensi 1997 dari kantor Amerika Serikat untuk pengobatan alternatif dari National Institutes of Health. Menurut The Free Dictionary online dictionary, CAM adalah seperangkat besar dan beragam sistem diagnosis, pengobatan dan pencegahan berdasarkan filosofi dan teknik selain yang digunakan dalam pengobatan konvensional barat (Premik, 2008).

Pengertian pengobatan alternatif dan komplementer mempunyai cakupan yang luas tentang sumber penyembuhannya, meliputi seluruh sistem kesehatan, cara praktik, dan teori-teori yang menyertai, serta kepercayaan. Pengertian menurut National Center for Complementary and Alternative Medicine (NCCAM) Amerika Serikat yaitu sebagai sekumpulan dari berbagai sistem pengobatan dan pelayanan kesehatan, praktik, dan produk yang tidak dipertimbangkan sebagai bagian dari pengobatan konvensional (Hori, 2008).


(34)

Pengertian dari pengobatan alternatif dan komplementer yaitu pengobatan alternatif adalah pengobatan yang dipilih sebagai pengganti terhadap pengobatan medis sedangkan pengobatan komplementer adalah pengobatan yang digunakan bersama-sama dengan pengobatan medis (Aryando, 2008).

Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan definisi pengobatan komplementer tradisional – alternative adalah pengobatan non konvensional yang ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang diperoleh melalui pendidikan terstruktur dengan kualitas, keamanan dan efektifitas yang tinggi berlandaskan ilmu pengetahuan biomedik tapi belum diterima dalam kedokteran konvensional. Dalam penyelenggaraannya harus sinergi dan terintegrasi dengan pelayanan pengobatan konvensional dengan tenaga pelaksananya dokter, dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya yang memiliki pendidikan dalam bidang pengobatan komplementer tradisional – alternatif. Jenis pengobatan komplementer tradisional - alternatif yang dapat diselenggarakan secara sinergi dan terintegrasi harus ditetapkan oleh Menteri Kesehatan setelah melalui pengkajian (Peraturan Kemenkes RI No.1109, 2007).


(35)

3. Metode dan Sistem Kedokteran Alternatif dan Komplementer

Seperti kedokteran konvensional, CAM juga dibagi menjadi bidang yang lebih sempit lagi, diantaranya :

a. Akupunktur

Merupakan suatu cara pengobatan yang memanfaatkan rangsangan pada titik – titik akupunktur sehingga mempengaruhi aliran bioenergi dalam tubuh. Secara tradisional sistem tersebut berdasarkan konsep keseimbangan antara permukaan tubuh dengan organ melalui sistem meridian yang spesifik. Dimana titik akupunktur sebagai pintu masuk rangsangan berdasarkan kualitas energi yang masuk dan diubah menjadi sinyal biologi (kombinasi elektrik dan fibrasi fisik), dilanjutkan oleh deretan yang koherensinya sama dengan titik meredian menuju organ yang dikehendaki (Wasito, 2010).

Efek akupunktur pada diabetes telah diamati secara eksperimen dan secara klinis. Hewan percobaan menunjukkan bahwa akupunktur dapat mengaktifkan glukosa-6-fosfat dan mempengaruhi hipotalamus. Akupunktur dapat bertindak pada pankreas untuk meningkatkan sintesis insulin, meningkatkan jumlah reseptor pada sel target dan mempercepat pemanfaatan glukosa, sehingga menurunkan gula darah. Data dari penelitian lain menunjukkan efek antiobesitas dari manfaat akupunktur. Munculnya bahwa efek terapi akupunktur pada diabetes bukanlah hasil dari tindakan pada organ tunggal tetapi pada beberapa


(36)

sistem. Meskipun akupunktur menunjukkan beberapa efek dalam mengobati diabetes, namun mekanisme aksi masih mengaburkan (Pandey, 2011).

b. Obat Herbal

Sebuah sistem pengobatan yang menggunakan berbagai obat yang berasal dari tanaman dan ekstrak tumbuh–tumbuhan (produk herbal, ramuan, juga botani, adalah tanaman baik itu bagian bunga, daun, kulit, batang, dan sifat terapi yang potensial) untuk mengobati gangguan dan menjaga kesehatan. Menurut WHO manusia yang menggunakan pengobatan ini mencapai 4 miliar orang atau sekitar 80% penduduk dunia (Handriono, 2010).

c. Meditasi

Sebuah proses mental yang sadar menggunakan teknik tertentu, seperti memfokuskan perhatian atau mempertahankan postur yang spesifik, untuk menunda aliran pikiran dan tubuh sehingga membuat pikiran menjadi rileks. Hal ini digunakan karena berbagai alasan, misalnya, untuk meningkatkan relaksasi, ketenangan mental, dan keseimbangan psikologis (Ernst, 2012).

Yoga adalah salah satu contoh meditasi. Yoga telah dipelajari untuk mengontrol gejala dan komplikasi terkait dengan DM tipe 2. Hasil dari studi ini, latihan yoga menunjukkan perbaikan yang signifikan bagi pasien diabetes dengan komplikasi yang sudah ada sebelumnya. Praktik yoga memiliki peran bahkan dalam pencegahan diabetes.


(37)

Yoga membantu untuk mengatur proses fungsi dan psikis tubuh, meningkatkan kesejahteraan dan meningkatkan penuh cinta. (Pandey, 2011).

d. Diet terapi

Sebuah metode CAM, ditandai dengan penggunaan suplemen makanan. Sebuah suplemen makanan adalah produk yang dimaksudkan untuk melengkapi diet. Sebuah suplemen makanan mengandung satu atau lebih bahan makanan (termasuk vitamin, mineral, asam amino, dan zat lainnya) (Ernst, 2000).

Vitamin dan mineral adalah mikronutrien yang tubuh kita memerlukan dalam jumlah yang kecil untuk fungsi tertentu. Mereka paling sering berfungsi sebagai co enzim dan reaksi metabolik co faktor dan dengan demikian membantu mendukung dasar reaksi selular. Mikronutrien telah diselidiki sebagai agen pencegahan dan pengobatan yang potensial untuk kedua tipe 1 dan diabetes tipe 2 dan untuk umum komplikasi diabetes (Pandey, 2011).

Jenis pelayanan pengobatan komplementer – alternatif berdasarkan Permenkes RI, Nomor : 1109/Menkes/Per/2007 adalah :

1. Intervensi tubuh dan pikiran (mind and body interventions) : Hipnoterapi, mediasi, penyembuhan spiritual, doa dan yoga.

2. Sistem pelayanan pengobatan alternatif : akupuntur, akupresur, naturopati, homeopati, aromaterapi, ayurveda.


(38)

3. Cara penyembuhan manual : chiropractice, healing touch, tuina, shiatsu, osteopati, pijat urut.

4. Pengobatan farmakologi dan biologi : jamu, herbal, gurah.

5. Diet dan nutrisi untuk pencegahan dan pengobatan : diet makro nutrient, mikro nutrient.

6. Cara lain dalam diagnosa dan pengobatan : terapi ozon, hiperbarik, EECP.

B. SIKAP

1. Definisi

Menurut Sarnoff dalam Sarwono (2007) mengidentifikasikan sikap sebagai kesediaan untuk bereaksi (disposition to react) secara positif (favorably) atau secara negatif (unfavorably) terhadap obyek – obyek tertentu.

Sedangkan La Pierre dalam Saifuddin (2003) memberikan definisi sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respon terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan. Lebih lanjut menurut Notoatmodjo (2010) sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-(senang-tidak setuju, baik-(senang-tidak baik, dan sebagainya).


(39)

Mar’at (1998), dalam Sunaryo (2004) juga mengatakan bahwa sikap yang terbentuk dalam diri seseorang adalah hasil dari proses penginderaan. Hasil proses penginderaan dari melihat, mendengar dan merasakan akan melahirkan pengetahuan dan pemahaman terhadap informasi, kemudian dari proses pemahaman tersebut seseorang akan memberikan penilaian atau sikap. Sikap tidak dibawa sejak lahir tetapi dapat dipelajari dan dibentuk berdasarkan pengalaman individu sepanjang perkembangan selama hidupnya. Pembentukan sikap dipengaruhi oleh faktor eksternal (pengalaman, situasi, norma, hambatan dan pendorong) dan internal (fisiologis, psikologis dan motif). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sikap dipengaruhi pula oleh pendidikan. Umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin baik pula sikapnya serta makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi dan memahami sesuatu.

2. Komponen Sikap

Menurut Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2010) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok, yaitu :

a. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek, artinya bagaimana keyakinan, pendapat atau pemikiran seseorang terhadap objek. Sikap orang terhadap penyakit kusta misalnya, berarti bagaimana pendapat atau keyakinan orang tersebut terhadap penyakit kusta.


(40)

b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek, artinya bagaimana penilaian (terkandung di dalamnya faktor emosi) orang tersebut terhadap objek. Seperti contoh butir a berarti bagaimana orang menilai terhadap penyakit kusta, apakah penyakit yang biasa saja atau penyakit yang membahayakan.

c. Kecendrungan untuk bertindak (tend to behave), artinya sikap adalah merupakan komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka. Sikap adalah merupakan ancang-ancang untuk bertindak atau berprilaku terbuka (tindakan). Misalnya tentang contoh sikap terhadap penyakit kusta di atas, adalah apa yang dilakukan seseorang bila ia menderita penyakit kusta.

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam menentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting.

Disamping itu juga ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi pembentukan sikap diantaranya adalah pengalaman pribadi, pengaruh kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan, dan lembaga lain, serta pengaruh faktor emosional (Ekaningrum, 2011).

Menurut Notoatmodjo (2007) indikator untuk sikap kesehatan juga sejalan dengan pengetahuan kesehatannya, yakni :


(41)

Adalah bagaimana penilaian atau pendapat seseorang terhadap gejala atau tanda-tanda penyakit, penyebab penyakit, cara penularan penyakit, cara pencegahan penyakit, dan sebagainya.

b. Sikap cara pemeliharaan dan cara hidup sehat

Adalah penilaian atau pendapat seseorang terhadap cara-cara memelihara dan cara-cara berprilaku hidup sehat. Dengan perkataan lain pendapat atau penilaian terhadap makanan, minuman, olahraga, relaksasi, dan istirahat yang cukup.

c. Sikap terhadap kesehatan lingkungan

Adalah pendapat atau penilaian seseorang terhadap lingkungan dan pengaruhnya terhadap kesehatan. Misalnya pendapat atau penilaian terhadap air bersih, pembuangan limbah, polusi, dan sebagainya.

3. Tingkatan Sikap

Menurut Notoatmodjo (2010), seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan :

1. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang atau subyek mau menerima dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang terhadap periksa kehamilan (ante natal care), dapat diketahui atau diukur dari kehadiran ibu untuk mendengarkan penyuluhan tentang ante natal care di lingkungannya.


(42)

2. Menanggapi (responding)

Menanggapi disini diartikan memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi. Misalnya seorang ibu yang mengikuti penyuluhan ante natal care tersebut ditanya atau diminta menanggapi oleh penyuluh, kemudian ia menjawab dan menanggapinya.

3. Menghargai (valuing)

Menghargai diartikan subjek atau seseorang memberikan nilai yang positif terhadap objek atau stimulus, dalam arti membahasnya dengan orang lain, bahkan mengajak atau mempengaruhi atau menganjurkan orang lain merespons. Contoh butir a tersebut, ibu itu mendiskusikan ante natal care dengan suaminya, atau bahkan mengajak tetangganya untuk mendengarkan penyuluhan ante natal care.

4. Bertanggung jawab (responsible)

Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung jawab terhadap apa yang telah diyakininya. Seseorang telah mengambil sikap tertentu berdasarkan keyakinannya, dia harus berani mengambil risiko bila ada orang lain yang mencemoohkan atau adanya risiko lain. Contoh tersebut, ibu yang sudah mau mengikuti penyuluhan ante natal care, ia harus berani untuk mengorbankan waktunya, atau mungkin kehilangan penghasilannya, atau diomeli oleh mertuanya karena meninggalkan rumah, dan sebagainya.


(43)

C. DIABETES MELITUS

1. Definisi

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Sedangkan menurut WHO 1980 dikatakan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin. Diabetes merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya (PDSPDI, 2006).

DM merupakan penyakit gangguan kronik pada metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemia yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, disebabkan oleh defisiensi insulin relative atau absolut. Gambaran patologik DM sebagian besar dapat dihubungkan dengan salah satu efek utama akibat kurangnya insulin yaitu berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel-sel tubuh, peningkatan metabolisme lemak yang menyebabkan terjadinya metabolisme lemak abnormal disertai endapan kolesterol pada dinding


(44)

pembuluh darah sehingga timbul gejala aterosklerosis serta berkurangnya protein dalam jaringan tubuh (Guyton, 2007).

2. Faktor Risiko

Menurut PERKENI (2011), yang termasuk dalam faktor risiko Diabetes Melitus yaitu:

a. Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi : 1) Ras dan etnik

2) Riwayat keluarga dengan diabetes (anak penyandang diabetes) 3) Umur. Risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat

seiring dengan meningkatnya usia. Usia > 45 tahun harusdi lakukan pemeriksaan Diabetes Melitus.

4) Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi > 4000 gram atau riwayat pernah menderita Diabetes Melitus gestasional (DMG). 5) Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg.

Bayi yang lahir dengan BB rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding dengan bayi lahir dengan BB normal.

b. Faktor risiko yang bisa dimodifikasi : 1) Berat badan lebih (IMT > 23 kg/m2). 2) Kurangnya aktivitas fisik.

3) Hipertensi (> 140/90 mmHg).

4) Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL)


(45)

5) Diet tidak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan meningkatkan risiko menderita prediabetes/intoleransi glukosa dan DM tipe 2.

3. Klasifikasi

Klasifikasi Diabetes Melitus (ADA 2009) dalam Sudoyo (2009) 1. Diabetes Melitus Tipe 1

(Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut) A. Melalui proses imunologik

B. Idiopatik

2. Diabetes Melitus Tipe 2

(Bervariasi mulai yang predominan resisten insulin disertain defisiensi insulin relative sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin)

3. Diabetes Melitus Tipe Lain A. Defek genetik fungsi sel beta

 Kromosom 12, HNF-a (dahulu MODY 3)  Kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2)  Kromosom 20, HNF-a (dahulu MODY 1)

B. Defek genetik kerja insulin : resistensi insulin tipe A, I eprechaunism, sindrom rabson mendenhall diabetes lipoatrofik C. Endokrinopati : akromegali, sindrom cushing, hipertiroidisme,


(46)

D. Karena obat atau zat kimia : asam nikotinat, diazoxid, agonis β adrenergik, tiazid, dilantin, interferon α, lainnya.

E.Infeksi : rubella kongenital, CMV, lainnya.

F.Imunologi (jarang) : sindrom “Stiff-man”, antibodi antireseptor insulin, lainnya.

H. Sindroma genetik lain : Sindrom down, sindrom klinefelter, sindrom turner, sindrom prader willi, dan lainya.

4. Diabetes Kehamilan

4. Patofisiologi

Gangguan metabolisme glukosa yang terjadi, diawali oleh kelainan pada dinamika sekresi insulin berupa gangguan pada fase 1 sekresi insulin yang tidak sesuai kebutuhan (inadekuat). Defisiensi insulin ini secara langsung menimbulkan dampak buruk terhadap homeostasis glukosa darah. Yang pertama terjadi adalah hiperglikemia akut pascaprandial (HAP) yakni peningkatan kadar glukosa darah segera (10-30 menit) setelah beban glukosa (makan atau minum). Selain itu Kelainan berupa disfungsi sel beta dan resistensi insulin merupakan faktor etiologi yang bersifat bawaan (Nielsen et al., 2000).

Tidak adekuatnya fase 1, yang kemudian diikuti peningkatan kinerja fase 2 sekresi insulin, pada tahap awal belum akan menimbulkan gangguan terhadap kadar glukosa darah. Secara klinis, barulah pada tahap


(47)

dekompensasi, dapat terdeteksi keadaan yang dinamakan Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) yang disebut juga sebagai prediabetic state. Pada tahap ini mekanisme kompensasi sudah mulai tidak adekuat lagi, tubuh mengalami defisiensi yang mungkin secara relatif, terjadi peningkatan kadar glukosa darah postprandial. Pada TGT didapatkan kadar glukosa darah postprandial, atau setelah diberi beban larutan 75 g glukosa dengan Test Toleransi Glukosa Oral (TTGO), berkisar diantara 140-200 mg/dl. Juga dinamakan sebagai prediabetes, bila kadar glukosa darah puasa antara 100 – 126 mg/dl, yang disebut juga sebagai Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) (Nielsen et al., 2000).

Keadaan hiperglikemia yang terjadi, baik secara kronis pada tahap diabetes, atau hiperglikemia akut postprandial yang terjadi berulangkali setiap hari sejak tahap TGT, memberi dampak buruk terhadap jaringan


(48)

yang secara jangka panjang menimbulkan komplikasi kronis dari diabetes. Tingginya kadar glukosa darah (glucotoxicity) yang diikuti pula oleh dislipidemia (lipotoxicity) bertanggung jawab terhadap kerusakan jaringan baik secara langsung melalui stres oksidatif, dan proses glikosilasi yang meluas (Weyer, 2000).

Resistensi insulin mulai menonjol peranannya semenjak perubahan atau konversi fase TGT menjadi DM Tipe 2. Dikatakan bahwa pada saat tersebut faktor resistensi insulin mulai dominan sebagai penyebab hiperglikemia maupun berbagai kerusakan jaringan. Ini terlihat dari kenyataan bahwa pada tahap awal DM Tipe 2, meskipun dengan kadar insulin serum yang cukup tinggi, namun hiperglikemia masih dapat terjadi. Kerusakan jaringan yang terjadi, terutama mikrovaskular, meningkat secara tajam pada tahap diabetes, sedangkan gangguan makrovaskular telah muncul semenjak prediabetes. Semakin tingginya tingkat resistensi insulin dapat terlihat pula dari peningkatan kadar glukosa darah puasa maupun postprandial. Sejalan dengan itu, pada hepar semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah kemampuan inhibisinya terhadap proses glikogenolisis dan glukoneogenesis, menyebabkan semakin tinggi pula tingkat produksi glukosa dari hepar (Ceriello, 2002).


(49)

5. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis DM dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisiensi insulin. Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urine (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsia). Karena glukosa hilang bersama urine, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan kurang. Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk (Price, 2005).

6. Diagnosis Diabetes Melitus

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti tersebut di bawah ini (PERKENI, 2011) :

a. Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

b. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.


(50)

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Kedua, dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa yang lebih mudah dilakukan, mudah diterima oleh pasien serta murah, sehingga pemeriksaan ini dianjurkan untuk diagnosis DM. Ketiga dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus (PERKENI, 2011).

Kriteria diagnosis DM untuk dewasa tidak hamil, dapat dilihat pada tabel 1. Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) tergantung dari hasil yang diperoleh (PERKENI, 2011).

a. TGT : Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 – 199 mg/dL (7.8-11.0 mmol/L).

b. GDPT : Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5.6 – 6.9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dl.


(51)

Tabel 1. Kriteria diagnosis DM.menurut PERKENI 2011

7. Penatalaksanaan Diabetes Melitus

Pilar penatalaksanaan DM menurut PERKENI (2011) :

1. Edukasi

Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang DM memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi.

Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang 1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL (11.1 mmol/L)

Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.

Atau 2. Gejala klasik DM

+

Kadar glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL (7.0 mmol/L)

Puasa diartikan pasien tak mendapatkan kalori tambahan sedikitnya 8 jam. Atau

3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dL (11.1 mmol/L) TTGO dilakukan dengan standard WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.


(52)

sangat penting dari pengelolaan DM secara holistik. Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat awal dan materi edukasi tingkat lanjutan. Edukasi yang diberikan kepada pasien meliputi pemahaman tentang:

1) Materi edukasi pada tingkat awal adalah: a) Perjalanan penyakit Diabetes Melitus

b) Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan Diabetes Melitus

c) Penyulit Diabetes Melitus dan risikonya

d) Intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta target perawatan

e) Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan obat hipoglikemik oral atau insulin serta obat-obatan lain

f) Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau urin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia)

g) Mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit, atau hipoglikemia

h) Pentingnya latihan jasmani yang teratur

i) Masalah khusus yang dihadapi (contoh: hiperglikemia pada kehamilan)

j) Pentingnya perawatan kaki


(53)

2) Materi edukasi pada tingkat lanjut adalah :

a) Mengenal dan mencegah penyulit akut Diabetes Melitus b) Pengetahuan mengenai penyulit menahun Diabetes Melitus c) Penatalaksanaan Diabetes Melitus selama menderita penyakit

lain

d) Makan di luar rumah

e) Rencana untuk kegiatan khusus (PERKENI, 2011).

2. Terapi gizi medis

 Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri).

 Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi.

 Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.


(54)

3. Latihan jasmani

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti: jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan (PERKENI, 2011)..

Menurut PDSPDI (2006), prinsip latihan jasmani bagi diabetisi, persis sama dengan prinsip latihan jasmani secara umum, yaitu memenuhi beberapa hal, seperti:

1) Frekuensi : jumlah olahraga perminggu sebaiknya dilakukan dengan teratur 3-5 kali perminggu

2) Intensitas : ringan dan sedang (60-70% Maximum Heart Rate) 3) Durasi : 30-60 menit


(55)

4) Jenis : latihan jasmani endurans (aerobik) untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi seperti jalan, jogging, berenang dan bersepeda.

4. Intervensi farmakologis

Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani.

a. Obat hipoglikemik oral (OHO)

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan: 1. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan

glinid.

2. Penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion

3. Penghambat glukoneogenesis (metformin).

4. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa. 5. DPP-IV inhibitor.

b. Insulin

Insulin diperlukan pada keadaan: a) Penurunan berat badan yang cepat b) Hiperglikemia berat yang disertai ketosis c) Ketoasidosis diabetik

d) Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik e) Hiperglikemia dengan asidosis laktat


(56)

g) Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)

h) Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan makan

i) Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat j) Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien, sedangkan pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus (PERKENI, 2011).

8. Komplikasi

Diabetes melitus merupakan penyakit kronis yang membutuhkan pengobatan yang terkontrol. Tanpa didukung oleh pengelolaan yang


(57)

tepat, diabetes dapat menyebabkan beberapa komplikasi (IDF, 2009). Komplikasi yang disebabkan dapat berupa:

1. Komplikasi Akut

a. Hipoglikemi

Hipoglikemi ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah hingga mencapai <60 mg/dL. Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar, banyak keringat, gemetar, rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai koma) (PERKENI, 2011).

b. Ketoasidosis diabetik

Keadaan ini berhubungan dengan defisiensi insulin, jumlah insulin yang terbatas dalam tubuh menyebabkan glukosa tidak dapat digunakan sebagai sumber energi, sehingga tubuh melakukan penyeimbangan dengan metabolisme lemak. Hasil dari metabolisme ini adalah asam lemak bebas dan senyawa keton. Akumulasi keton dalam tubuh inilah yang menyebabkan terjadinya asidosis atau ketoasidosis.

Gejala klinisnya dapat berupa kesadaran menurun, nafas cepat dan dalam (kussmaul) serta tanda-tanda dehidrasi. Selain itu, seseorang dikatakan mengalami ketoasidosis diabetik jika hasil pemeriksaan laboratoriumnya:


(58)

 Hiperglikemia (glukosa darah >250 mg/dL)  Na serum <140 meq/L

 Asidosis metabolik (pH <7,3; bikarbonat <15 meq/L)  Ketosis (ketonemia dan atau ketonuria)

c. Hiperosmolar non ketotik

Riwayat penyakitnya sama dengan ketoasidosis diabetik, biasanya berusia >40 tahun.

2. Komplikasi Kronis (Menahun)

a. Makroangiopati:

1. Pembuluh darah jantung

2. Pembuluh darah tepi

3. Pembuluh darah otak

b. Mikroangiopati:

1. Pembuluh darah kapiler retina mata (retinopati diabetik)

2. Pembuluh darah kapiler ginjal (nefropati diabetik)

c. Neuropati

d. Komplikasi dengan mekanisme gabungan:

1. Rentan infeksi, contohnya tuberkolusis paru, infeksi saluran kemih, infeksi kulit dan infeksi kaki.


(59)

D. KUALITAS HIDUP

1. Definisi Kualitas hidup

Kualitas hidup dapat diartikan sebagai derajat dimana seseorang menikmati kepuasan dalam hidupnya. Untuk mencapai kualitas hidup maka seseorang harus dapat menjaga kesehatan tubuh, pikiran dan jiwa. Sehingga seseorang dapat melakukan segala aktivitas tanpa ada gangguan (Ventegodt et al., 2003).

Kualitas hidup adalah persepsi individu terhadap posisi mereka dalam kehidupan dalam kontek budaya dan nilai dimana mereka hidup dan dalam hubungannya dengan tujuan hidup, harapan, standard dan perhatian. Hal ini dapat mempengaruhi kesehatan fisik seseorang, keadaan psikologis,, tingkat ketergantungan, hubungan sosial, keyakinan personal dan hubungan keyakinan dimasa yang akan datang terhadap lingkungan mereka (Isa & Baiyewu, 2006).

Kualitas hidup biasanya memiliki arti yang berbeda-beda tergantung dari konteks yang akan dibicarakan dan digunakan. Di dalam bidang kesehatan dan aktivitas pencegahan penyakit, kualitas umumnya memiliki arti yang sama untuk menggambarkan kondisi kesehatan (Borrot, 2008).


(60)

2. Komponen Kualitas Hidup

University of Toronto (2004) dalam Kurtus (2005) menyebutkan, kualitas hidup dapat dibagi dalam 3 bagian yaitu kesehatan, kepemilikan (hubungan individu dengan lingkungan) dan harapan (prestasi dan aspirasi individu).

a. Kesehatan

Kesehatan dalam kualitas hidup dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu secara fisik, psikologis dan spiritual. Secara fisik yang terdiri dari kesehatan fisik, personal higiene, nutrisi, olah raga, pakaian dan penampilan fisik secara umum. Secara psikologis yang terdiri dari kesehatan dan penyesuaian psikologis, kesadaran, perasaan, harga diri, konsep diri dan kontrol diri. Secara spiritual terdiri dari nilai-nilai pribadi, standar-standar pribadi dan kepercayaan spiritual.

b. Kepemilikan

Kepemilikan (hubungan individu dengan lingkungannya) dalam kualitas hidup di bagi menjadi 2 bagian yaitu secara fisik dan sosial. Secara fisik terdiri dari rumah, tempat kerja/sekolah, tetangga/ lingkungan dan masyarakat. Secara sosial dekat dengan orang lain, keluarga, teman/rekan kerja, lingkungan dan masyarakat.

c. Harapan

Merupakan keinginan dan harapan yang akan dicapai sebagai perwujudan dari individu seperti terpenuhinya nilai (prestasi dan aspirasi individu) sehingga individu tersebut merasa berharga atau


(61)

dihargai di dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat sekitarnya melalui suatu tindakan nyata yang bermanfaat dari hasi karyanya.

Secara konseptual terdapat tiga komponen utama kualitas hidup yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu : kapasitas fungsional (status fisiologis) merupakan kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari, seperti mengurus diri sendiri, dapat berfungsi sosial, emosional, intelektual, marital, serta interpersonal. Termasuk pula disini bekerja, berkreasi, istirahat dan tidur, aktivitas fisik dan mental baik dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat. Fungsi intelektual berupa ingatan, perhatian, komunikasi, pertimbangan, serta pengambilan keputusan. Fungsi emosional yaitu rasa marah, rasa bersalah, cemas, takut, depresi, kepuasan, dan sebagainya ; Persepsi individu yaitu pandangan tentang status kesehatan serta umum, kepuasan hidup serta bahagia ; Keluhan-keluhan meliputi keluhan akibat penyakitnya sendiri, akibat intervensi yang diberikan dan/atau penyakit penyerta sepeti sesak nafas, nyeri, mual, muntah, dan sebagainya (Mutia, 2010).

3. Pengukuran Kualitas Hidup

Kualitas hidup diakui sebagai kriteria paling penting dalam penilaian hasil medis dari pengobatan penyakit kronis seperti DM. Persepsi individu tentang dampak dan kepuasan tentang derajat kesehatan dan


(62)

keterbatasannya menjadi penting sebagai evaluasi akhir terhadap pengobatan (WHO, 2004)

Menurut Mandagi (2010), hal yang mendorong perlunya pengukuran kualitas hidup, khususnya pada penderita DM adalah karena kualitas hidup merupakan salah satu tujuan utama perawatan Diabetes Melitus dengan alasan :

1. Diabetes Melitus merupakan penyakit kronis yang tidak dapat disembuhkan, namun apabila kadar gula darah dapat terkontrol dengan baik, maka keluhan fisik akibat komplikasi akut ataupun kronis dapat diminimalisir atau dicegah.

2. Kualitas hidup yang rendah serta problem psikologis dapat memperburuk gangguan metabolik, baik secara langsung melalui reaksi stress hormonal, ataupun secara tidak langsung melalui komplikasi.

4. Instrumen Untuk Mengukur Kualitas Hidup

Banyak instrumen telah dirancang untuk mengukur kualitas hidup secara umum yang hasilnya memungkinkan untuk semua penyakit (Bradley et al., 1999). Pengukuran efek pada individu yang hidup dengan penyakit tertentu telah lebih lanjut diukur dengan desain intrumen penyakit tertentu atau yang lebih spesifik (Shen et al., 1999).


(63)

Menurut Spiker (1996) dalam Mutia (2010) Instrumen untuk mengukur kualitas hidup dalam bentuk kuesioner dapat dibagi dalam dua kategori secara umum yaitu instrumen umum dan spesifik. Instrumen umum didesain untuk menilai kualitas hidup pada semua populasi tanpa memperhatikan penyakit, terapi, atau demografi pasien. Kelebihan jenis instrumen ini telah merupakan instrumen tunggal, mendeteksi aspek dari status kesehatan yang berbeda, dan kemungkinan dapat menganilis harga, sedangkan kelemahannya adalah kemungkinan kurang fokus pada ruang lingkup yang diinginkan, kurang responsif, dan stabil dalam menentukan penilaian. Sedangkan instrumen spesifik digunakan pada penyakit tertentu agar memberikan hasil yang lebih terperinci berdasarkan luaran dari kondisi kesehatan atau penyakit tertentu. Kelebihan instrumen ini adalah : secara klinis dapat diterima dan lebih responsif, sedangkan kelemahannya adalah kemungkinan dibatasi dalam hal intervensi dan populasi, terbatas pada fungsi, masalah, dan populasi penyakit tertentu. Yang termasuk jenis instrumen ini adalah Diabetes Quality of Life.

Contoh dari instrumen generik untuk kualitas hidup adalah SF-36. SF-36 telah dikembangkan di Amerika Serikat pada tahun 1980-an sebagai bagian dari penelitian hasil medis. Kuesionernya memungkinkan untuk diterima dan efisiensi untuk mengukur kualitas hidup dari sudut pandang pasien melalui jawaban atas pertanyaan dari keusioner yang sudah standar (Terzic, 2011). Kuesioner SF-36 dibangun untuk mengukur delapan komponen pengukuran, antara lain : Physical Function, Role


(64)

Physical, Bodily Pain, General Health Perceptions, Vitality, Social

Function, Role Emotional, Mental Health. Kedelapan komponen tersebut dikelompokkan menjadi dua skala pengukuran, yaitu skala pengukuran fisik atau Physical Component Scale dan skala pengukuran mental atau Mental Component Scale. Physical Component Scale mencerminkan pengaruh negative atau rasa sakit yang diakibatkan oleh penyakit yang diderita penderita dan penyesuaian tubuh penderita terhadap penyakit tersebut (Chang & Weissman, 2004).

The WHOQOL – Bref telah divalidasi pada orang dengan diabetes tipe 2 (Rose et al, 2002). Pengembangan WHOQOL-Bref adalah proyek mutinasional, didasarkan pada konsep lintas-budaya, sehingga cocok digunakan diberbagai negara. Keempat domain yang diukur adalah: fisik, lingkungan psikologis, sosial dan, melalui serangkaian 26 item yang bisa dikelola sendiri (Skevington et al., 2004).

Kuesioner Diabetes Quality of Life Clinical Trial Quessionnaire (DQLCTQ) yang dikembangkan oleh United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) dipilih sebagai alat ukur karena bisa digunakan untuk membedakan kontrol metabolisme yang ketat, dan memperhatikan antara kontrol pribadi atas diabetes yang baik dan buruk, serta telah diujicobakan di San Fransisco, California, dan Lyon untuk penderita DM tipe 1 dan DM tipe 2. Hal-hal yang diukur dalam DQLCTQ meliputi 8 domain yaitu : fungsi fisik (phisical function),energi (energy), tekanan


(65)

kesehatan (health distress), kesehatan mental (mental health), kepuasan pribadi (satisfaction), kepuasan pengobatan (treatment satisfaction), efek pengobatan (treatment flexibility), dan gejala-gejala penyakit (frequency of symptom). Skor keseluruhan (total) antara 0 (untuk kualitas hidup rendah) sampai 100 (kualitas hidup tertinggi). Skor yang lebih tinggi menandakan suatu status kesehatan yang baik (Shen et al., 1999).

DQLCTQ telah diuji validitas dan realibilitasnya di Kanada, Prancis, Jerman, dan USA pada penderita DM tipe 1 dan 2. Dari uji tersebut diketahui terdapat empat doamin utama yang bertanggung jawab terhadap kontrol metabolik yaitu kepuasan pengobatan (treatment satisfaction), tekanan kesehatan (health distress), kesehatan mental (mental health), dan kepuasan pribadi (satisfaction). Total pasien yang digunakan untuk melakukan uji ini berjumlah 942 pasien. Hasilnya memberikan nila α-cronbach berkisar antara 0,77-0,99 pada semua domain, sementara nilai koefisien interklasinya 0,70-0,90 (Shen et al., 1999).

Di Indonesia, kuesioner DQLCTQ telah digunakan dalam bentuk versi Indonesia atau diterjemahkan kedalam bahasa indonesia yang dilakukan oleh Hartati (2003) dalam penelitiannya tentang kualitas hidup pasien DM tipe 2. Sampel yang dibandingkan adalah pasien yang kadar glukosa darahnya terkendali dengan yang tidak terkendali di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta.


(66)

DQOL / Mod (Diabetes Kualitas Hidup dimodifikasi) adalah salah satu yang paling dikenal luas dari kuesioner kualitas hidup. Kuesioner ini dikembangkan untuk diabetes melitus tipe 1 dan tipe 2 sebagai bagian dari The Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) yang diidentifikasikan melalui review yang memiliki kualitas paling setuju untuk membantu komunikasi dokter- pasien tentang pengobatan. Meskipun fokus konten diinginkan, reliabilitas, dan validitas DQOL dalam bentuk penuh terlalu panjang untuk diselesaikan sebagai bagian dari kunjungan rutin. 46 item ini dalam mengukur empat domain yang sangat relevan dengan persepsi pengobatan yaitu kepuasan dengan pengobatan, dampak pengobatan, khawatir tentang dampak masa depan diabetes, dan khawatir tentang isu-isu sosial / masalah sosial diabetes (Watkins, 2004).

5. Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup pasien Diabetes Melitus

Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan terdapat faktor – faktor yang dapat mempengaruhi kulitas hidup pasien diabetes melitus, diantaranya :

 Diet atau pemakaian CAM (Complementary and Alternative Medicine) berhubungan dengan peningkatan kualitas hidup pada diabetes melitus anak – anak (McCarty et al., 2010).


(67)

 Sikap yang positif terhadap kepatuhan minum obat dapat membantu meningkatkan kualitas hidup pasien DM dengan mengeksplorasi prekursor psikologis (Martinez et al., 2008).

 Kurang tidur umum pada diabetes tipe 2 dan mungkin berdampak negatif pada kualitas hidup (Luyster et al., 2011).

 Program perawatan farmasi adalah efektif dalam meningkatkan hasil klinis dan kualitas hidup pasien dengan diabetes melitus tipe 2 (Sriram et al., 2011).

 Tahap akhir komplikasi memiliki beban terbesar dirasakan pada kualitas hidup. Namun, pengobatan diabetes yang komprehensif juga memiliki efek negatif yang signifikan terhadap kualitas hidup (Huang et al., 2007).


(68)

III. METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional yaitu desain penelitian yang pengukuran variabel-variabelnya dilakukan hanya satu kali, pada satu saat tertentu (Sastroasmoro, 2010) untuk mengetahui hubungan antara jenis pengobatan dan sikap dengan kualitas hidup pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUD dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

1. Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan November hingga Desember 2012 di RSUD dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.


(69)

2. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Rawat Jalan RSUD dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien Diabetes Melitus Tipe 2 yang melakukan rawat jalan di RSUD dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung Provinsi Lampung pada bulan November – Desember 2012 sebanyak 350 orang.

2. Sampel

Prosedur pengambilan sampel dilakukan dengan cara non probability sampling dengan teknik accidental sampling, yaitu dilakukan dengan mengambil kasus atau responden yang kebetulan ada atau tersedia dan memenuhi kriteria retriksi penelitian.

Adapun kriteria retriksi pada penelitian ini meliputi: a. Kriteria inklusi :

1. Pasien dengan diagnosis Diabetes Melitus tipe 2. 2. Bersedia menjadi subjek penelitian.


(70)

b. Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah pasien yang tidak mengisi kuesioner secara lengkap.

Ciri penelitian cross sectional pada penelitian di rumah sakit, besarnya sampel tidak dihitung, tetapi ditentukan berdasarkan periode tertentu (Budiarto, 2004).

D. Identifikasi Variabel

1. Variabel Bebas (Independent variable)

Variabel bebas pada penelitian ini adalah :

a. Jenis pengobatan yang dilakukan oleh pasien Diabetes Melitus tipe 2. b. Sikap pada pasien Diabetes Melitus tipe 2.

2. Variabel Terikat (Dependent variable)

Variable terikat pada penelitian ini adalah status kualitas hidup pada pasien Diabetes Melitus tipe 2.

E. Definisi Operasional

Untuk memudahkan pelaksanaan penelitian dan membatasi penelitian, maka dibuat definisi operasional sebagai berikut :


(71)

Tabel 2. Definisi Operasional

Variabel Definisi Cara

Pengukuran

Hasil Skala

Jenis Pengobatan Terapi yang dilakukan oleh responden untuk menatalaksanakan penyakitnya baik konvensional maupun non konvensional (CAM) Wawancara dengan kuesioner

1. Kelompok A, apabila responden menggunakan pengobatan konvensional dan sering / teratur menggunakan CAM dalam kurun waktu 3 bulan terakhir 2. Kelompok B,

apabila responden menggunakan pengobatan konvensional dan tidak / jarang menggunakan CAM dalam kurun waktu 3 bulan terakhir

Nominal

Sikap Respon tertutup atau penilaian responden terhadap penyakit Diabetes Melitus yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (setuju-tidak setuju). Wawancara dengan kuesioner yang sudah di uji validitas. Terdiri dari 9 item. Jawaban menggunakan skala likert dimana pernyataan positif skalanya : 2 = setuju 1 = kurang setuju 0 = tidak setuju Pernyataan negatif : 0 = setuju 1 = kurang setuju 2 = tidak setuju

Jumlah kumulatif jawaban responden dari kuesioner sikap tentang DM. Skor keseluruhan (total) antara 0 (untuk sikap yang rendah) sampai 18 (untuk sikap yang tinggi)


(1)

Dinas Kesehatan Bandar Lampung. 2011. Profil Kesehatan Provinsi Lampung. Bandar Lampung.

Dini, A.A. 2012. Hubungan Antara Pengetahuan Tentang Diabetes Melitus Dan Kepatuhan Minum Obat Dengan Kadar Gula Darah Puasa Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Rsud Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung Bandar Lampung. (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Ekaningrum, S. 2011. Tugas literatur research tentang proses komunikasi yang

dilakukan ahlii gizi terhadap kliennya.

http://www.scribd.com/doc/90927313/KOM-DIETISIEN-KLIEN diakses pada tanggal 8 oktober 2012.

Ernst, E. 2000. The role of complementary and alternative medicine. Br Med J. 3321; 1133-1135. Availabel from URL : http://ncamm.nih.gov/ diakses pada tanggal 23 September 2012.

Glanz, K. 2002. Health Behaviour and Health Education. Jossey-Bass A Wiley Imprint : 150 – 155.

Guyton, A. C. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC. Jakarta.

Handriono, F.J. 2010. Perilakum Pencarian pengobatan Penyandang Diabetes melitus Anggota Persatuan Diabetes Indonesia (PERSADIA) Kabupaten Kapuas. (Thesis). Universitas gajah Mada. Yogyakarta.

Hartati, T. 2003. Kualitas Hidup Penderita DM tipe 2: Perbandingan Antara penderita Kadar Gula Darah Terkendali dan Tidak Terkendali. (Thesis). Program Pascasarjana. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Hastono, S.P. 2007. Analisis data kesehatan. FKM UI. Jakarta.

Health Kompas. 2011. Mengapa pria rentan diabetes?. Diunduh dari http://health.kompas.com/read/2011/10/04/07462693/Mengapa.Pria.Renta n.Diabetes. pada tanggal 14 Desember 2012.


(2)

Hensarling, J. 2009. Depelopment and psychometric testing of Hensarling’s diabetes family support scale, a dissertation. Degree of Doctor of Philosophy in the Graduate School of the Texa’s Women’s University. Diakses dari www.proquest.com pada tanggal 13 Desember 2012.

Hori, S. 2008. Patterns of Complementary and Alternative Medicine use Amongst Outpatients in Tokyo. Japan. BMC Complementary and Alternative Medicine. Pp 1-9.

Huang, E.S., S.E.S. Brown, B.G. Ewigman, E.C. Foley, D.O. Meltzer. 2008. Patient Perceptiont of Quality of Life With Diabetes-Related Complications and Treatment. Diabetes Care. Author manuscript ; available in PMC.

IDF. 2005. Clinical Guidelines Task Force. Global guideline for Type 2 diabetes. International Diabetes Federation. Brussels.

IDF. 2009. Diabetes melitus prevalence in 7 region. Diunduh dari http://www.idf.org/sites/default/files/DM%202010_7%20regions.xls pada tanggal 30 september 2012.

Isa B. A. and O. Baiyewu. 2006. Quality of life with diabetes mellitus in a Nigerian Teaching Hospital. Hongkong Journal Psychiatry. 27-33.

Ismail, R. 2000. Perilaku Manusia dan Kejadian Sakit (Problem antara teori dan riset), Buletin Epidemiologi Indonesia (2-11) : 3-9, Jaringan Epidemiologi Nasional Jakarta.

Kleinman, A. 1980. Patient and Healers in The Context of Culture. University of California Press. California.

Kurtus. R. 2005. University of Toronto quality of life model. Diunduh dari http://www.school-for-champions.com/life/toronto_ univ_quality_life.htm pada tanggal 26 september 2012.

Luyster, F.S. and J.D. Jacob. 2011. Sleep Quality and Quality of Life in Adults With Type 2 Diabetes. Diabetes Educ. Author mauscript ; available in PMC.


(3)

Mandagi, A. 2010. Faktor yang berhubungan dengan status kualitas hidup penderita diabetes mellitus. (Skripsi). Universitas Airlangga. Surabaya.

Martinez, Y.V., C.P. Aquilar, R.R. Pacheco, J.V. Martinez. 2008. Quality of Life Associated With Treatment Adherence in Patient With Type 2 Diabetes : a Cross-Sectional Study. BMC Health Serv res.

McCarty, Rachele, W.J. Weber, B. Loots, C.C. Breuner, A.V. Stoep, L. Manhart, C. Pihoker. 2010. Complementary and Alternative Medicine Use and Quality of Life in Pediatric Diabetic. J Altern Complement Med.

Moodley, L. M., Rambiritich, V. 2007. An assessment of the level of knowledge about diabetes mellitus among diabetic patients in a primary healthcare settings. Diunduh dari http://www.safpj.co.za pada tanggal 12 Desember 2012.

Mutia, R. 2010. Evaluasi Kualitas Hidup Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 yang Diterapi Rawat Jalan Dengan Anti Diabetik Oral Di RSUP Dr. Sardjito. (Thesis). Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Nahin, R.L. 2007. Health behaviours and risk factors in those who use complementary and alternative medicine. MBC Complementary and Alternative Medicine. USA.

Nielsen, M.F., B. Nyholm, A. Caumo, V. Chandramouli, Schumann, C. Cobelli. 2000. Prandial glucose effectiveness and fasting gluconeogenesis in insulin-resistant first-degree relatives of patients with type 2 diabetes. Diabetes Care. 49: 2135-41.

Nilson, M., G. Trehn, K. Asplund. 2001. Use of complementary and alternatife medicine remedies in Sweden. A population-based longitudinal study within the northem Sweden MONICA Project. J Int Med ;250 : 225-233.

Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta, Jakarta. 249 hlm.

Notoatmodjo, S. 2010. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta, Jakarta. 174 hlm.


(4)

Pandey, A., P. Tripathi, R. Pandey, R. Srivatava, S. Goswami. 2011. Alternative therapies useful in the management of diabetes : A systematic review. Journal of Pharmacy and BioAllied Sciences. Diunduh dari

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3249697/ pada tanggal 15

Desember 2012.

Peraturan Gubernur Lampung No. 44. Tahun 2009. Rencana strategis bisnis dan standar pelayanan minimal RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1109/MENKES/PER/IX/2007 Tentang Penyelenggaraan Pengobatan Komplementer – Alternatif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia. Jakarta.

PERKENI. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. PB PERKENI :Jakarta.

Premik, M. 2008. Complementary and Alternative Medicine : Some Public Health Views. University of Ljubljana. Slovenia.

Price, S.A. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 2. Edisi 6. Jakarta : EGC. 1520 hlm.

Radi, B. 2007. Diabetes mellitus sebagai faktor risiko penyakit jantung. Diakses dari http://www.pjnhk.go.id pada tanggal 15 Desember 2012.

Rahmadiliyani, N. dan A. Muhlisin. 2005. Hubungan antara pengetahuan tentang penyakit dan komplikasi pada penderita diabetes melitus dengan tindakan mengontrol gula darah di wilayah Puskesmas I Gatak Sukoharjo. (Skripsi). Universitas Muhamadiyah Surakarta. Surakarta.

Rochmah W. 2009. Diabetes Mellitus pada Usia Lanjut. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Interna Publising. Jakarta ; p.1967-71.


(5)

Saifuddin, A. 2003. Sikap manusia dan perubahannya. Pustaka pelajar. Yogyakarta.

Santosa, S. and Kasnodihardjo. 2009. Gambaran Diabetes Melitus terhadap Pengobatan Tradisional Di DKI jakarta, Di Yogyakarta, dan Surabaya. Medika Jurnal Kedokteran Indonesia. Diakses dari http://jurnalmedika.com/tentang-kami/profil/32-gambaran-persepsi-dan- sikap-pasien-diabetes-melitus-terhadap-pengobatan-tradisional-di-dki-jakarta-di-yogyakarta-dan-surabaya, pada tanggal 19 Desember 2012.

Sarwono, S. 2007. Sosiologi Kesehatan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Sastroasmoro, S. 2010. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi 3. Sagung Seto. Jakarta.

Shen, W., J.G. Kotsanos, W.J. Huster, S.D. Mathias, C.M. Andrejasich, D.L. Patrick. 1999. Development and Validation of the Diabetes Quality of Life Clinical Trial Questionarre. Medical care. 37 (4) AS45-AS66.

Siahaan, S.A. 2003. Pengetahuan Dan Sikap Diabetes Melitu Terhadap Kepatuhan Dalam Melaksanakan Diet yang Dirawat Jalan Di RSU. Pringadi Medan Tahun 2003. (Thesis). Universitas Sumatera Utara. Medan.

Skevington, S. M., M. Lotfy, K.A. O'Connell. (2004). The World Health Organization's WHOQOL-BREF quality of life assessment: psychometric properties and results of the international field trial. A Report from the WHOQOL Group [Electronic version]. Quality of Life Research, 13(2), 299-310.

Smeltzer, S. and Bare. 2008. Brunner & Suddarth’s Textbook of Medical Surgical Nursing. Lippincot. Philadelpia.

Soegondo, S. 2009. Farmakoterapi pada Pengendalian Glikemia Diabetes Melitus Tipe 2 : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.


(6)

Sriram, S., L.E. Chack, R. Ramasamy, A. Ghasemi, T.K. Ravi, Ali, M. Sabzghabae. 2011. Impact of Pharmaceutical Care on Quality of Life in Patient With type 2 Diabetes Mellitus. J Ress Med Sci.

Sudoyo, A.W., B. Setiyohadi, I. Alwi, S. Setiati, M. Simadibrata. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. Interna Publising. jakarta.

Sunaryo, 2004. Psikologi Untuk Keperawatan. ECG. Jakarta. hlm 143-146.

Taufiq, F.P.A. 2012. Hubungan Pengetahuan Tentang Diabetes Melitus dan Dukungan Keluarga Dengan Kualitias Hidup Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung. (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Terzic, Z. and B. Matejic. 2011. Quality of Life: Concept And Measurement. (jurnal).

Ventegodt, Merrick, Andersen. 2003. QOL I.the IQOL theory of global quality of life concept. Diunduh dari http://www.livskvalitet.org/pdf/QOL_theory_I_ (The_IQOL_theory).pdf pada tanggal 22 september 2012.

Wasito, B. 2010. Teknologi Pengobatan komplementer Alternatif untuk Penyakit Diabetes melitus. (Riset Terapan). Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan, R.I.

Watkins, K. and C.M. Connell. (2004). Measurement of health-related QOL in diabetes mellitus [Electronic version]. Pharmacoeconomics 22(17), 1109-1126.

Weyer C. 2000. Insulin resistance and insulin secretory dysfunction are independent predictors of worsening of glucose tolerance during each stage of type 2 diabetes development. Diabetes Care 24: 89-94.

WHO. 2004. Introducing the WHOQOL Instrument. Diakses dari http//:dept.washington.edi/yqol/docs/whoqol_infopdf pada tanggal 20 Oktober 2012.

Zahtamal, F., Chandra, Suyanto, T. Restuatuti. 2007. Faktor-faktor Risiko Pasien Diabetes Melitus. Berita Kedokteran Masyarakat, BKM/23/03/97-153, pp 142-147.


Dokumen yang terkait

Hubungan Kepatuhan Diet dengan Kualitas Hidup pada Penderita Diabetes Melitus di RSUD Dr. Pirngadi Medan

16 149 122

Peran Konseling Farmasis Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Ditinjau dari Analisis Biaya Terapi di RSUD dr. Djoelham Binjai

1 40 104

PERBEDAAN PROFIL TRIGLISERIDA (TG) PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 YANG TERKONTROL DENGAN YANG TIDAK TERKONTROL DI RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG

1 27 64

HUBUNGAN AKTIVITAS FISIK DENGAN KADAR HBA1C PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI LABORATORIUM PATOLOGI KLINIK RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG

3 30 53

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP MENGENAI DIET DIABETES MELITUS DENGAN TINGKAT KONSUMSI ENERGI PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI POLI PENYAKIT DALAM RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG BANDAR LAMPUNG

0 42 87

PROFIL TRIGLISERIDA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 YANG TIDAK TERKONTROL DI RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG

1 21 72

HUBUNGAN DIET SERAT TINGGI DENGAN KADAR HBA1C PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI LABORATORIUM PATOLOGI KLINIK RSUD Dr.H. ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG

1 23 70

HUBUNGAN ANTARA DERMATITIS SEBOROIK DENGAN KUALITAS HIDUP PASIEN DI RSUD ABDUL MOELOEK LAMPUNG

6 30 49

HUBUNGAN ANTARA DERAJAT KEPARAHAN DERMATITIS ATOPIK DENGAN KUALITAS HIDUP PASIEN DI RSUD ABDUL MOELOEK LAMPUNG

4 35 54

HUBUNGAN ANTARA KONTROL DIRI DENGAN KEPATUHAN TERHADAP PENGOBATAN PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 Hubungan antara Kontrol Diri dengan Kepatuhan terhadap Pengobatan Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUD DR. Moewardi Surakarta.

0 0 18