HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN TERHADAP PARTISIPASI PEMILIH PADA PEMILIHAN WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA TAHUN 2010 DI BANDAR LAMPUNG (Studi pada Kelurahan Palapa Kecamatan Tanjung Karang Pusat)

(1)

HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN TERHADAP PARTISIPASI PEMILIH PADA PEMILIHAN WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA

TAHUN 2010 DI BANDAR LAMPUNG

(Studi pada Kelurahan Palapa Kecamatan Tanjung Karang Pusat)

Oleh

Listiati Nainggolan

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA ADMINISTRASI NEGARA

Pada

Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

AT THE ELECTION OF THE MAYOR AND DEPUTY MAYOR IN 2010 IN BANDAR LAMPUNG

(Study in Kelurahan Palapa Kecamatan Tanjung Karang Pusat) By

LISTIATI NAINGGOLAN

This research deals with the relationship of educational level of turnout at the election of the Mayor and Deputy Mayor in Bandar Lampung. The purpose of this research is to know there is no relationship or educational level of turnout at the election of the Mayor and Deputy Mayor in 2010 in Bandar Lampung.

Population of this research account 3.171 DPT with 248 samples in Palapa. The technique of using simple linier regression analysis of data. Based on the research results obtained correlation between level of education and turnout was 0,047 and R2 = 0,11 that is the magnitude of the relationship of educational level of turnout is 1,1% while the rest 98,9% ia affected by other factors outside of this research. Further analysis in this study regression equations are obtained: Y= 44,364 + (-0,553)+0,4025= 44,21 X. It means to increase the value of 1 Y is (participation) then X (implementation level of education) must be increased of 44,21. The negative sign on the regression coefficient numbers showed a direct relationship direction.

Based on the hypothesis test using t-test, stating that level education influence significantly to turnout, but but the negative values yield, meaning that the higher the educational level the turnout will be lower. Conversely, if the low level of voter education and public participation will be higher. Expected results of this research can be used as an information and reference to the Government could increase turnout. The suggestionthat Regional Head Election organizers can increase public confidence will process in Bnadar Lampung, so that the public can be more active in giving his vote at the ellection of the head of the region.


(3)

TERHADAP PARTISIPASI PEMILIH

PADA PEMILIHAN WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA TAHUN 2010 DI BANDAR LAMPUNG

(Studi pada Kelurahan Palapa Kecamatan Tanjung Karang Pusat) Oleh

LISTIATI NAINGGOLAN

Penelitian ini membahas mengenai hubungan tingkat pendidikan terhadap partisipasi pemilih pada pemilihan walikota dan wakil walikota tahun 2010 di Bandar Lampung. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada atau tidak hubungan tingkat pendidikan terhadap partisipasi pemilih pada pemilihan walikota dan wakil walikota tahun 2010 di Bandar Lampung.

Populasi penelitian ini berjumlah 3.171 DPT dengan sampel sebanyak 248 yang di ambil di Kelurahan Palapa. Teknik analisis data menggunakan regresi linier sederhana. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh korelasi antara tingkat pendidikan dan partisipasi pemilih ialah 0,047 dan R2=0,11 artinya besarnya hubungan tingkat pendidikan terhadap partisipasi pemilih adalah 1,1% sedangkan sisanya 98,9% dipengaruhi oleh faktor lain di luar penelitian ini. Analisis selanjutnya dalam penelitian ini didapat persamaan regresinya adalah: Y=44,364 + (-0,553) + 0,4025=44,21X.

Artinya untuk meningkatkan 1 nilai Y (partisipasi pemiih) maka X (implementasi tingkat pendidikan) harus ditingkatkan sebesar 44,21. Tanda negatif pada angka koefisien regresi menunjukkan arah hubungan yang tidak searah.

Berdasarkan uji hipotesis menggunakan uji t, menyatakan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh signifikan terhadap partisipasi pemilih, namun menghasilkan nilai negatif, artinya semakin tinggi tingkat pendidikan maka partisipasi pemilih akan semakin rendah, sebaliknya jika tingkat pendidikan pemilih rendah maka partisipasi masyarakat akan semakin tinggi. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dan referensi untuk pemerintah dapat meningkatkan partisipasi pemilih. Saran supaya penyelenggara Pemilihan Umum Kepala Daerah dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat akan proses Pemilukada, sehingga masyarakat dapat lebih aktif dalam memberikan hak suaranya pada Pemilihan Umum Kepala Daerah.


(4)

(5)

(6)

(7)

JUDUL ABSTRAK DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR TABEL

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 10

1.3 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Kegunaan Penelitian ... ... 10

BAB II Tinjauan Pustaka 2.1 Tinjaun Tentang Pemilu ... 12

2.1.1 Pengertian Pemilu ... 12

2.1.2 Hak Pilih dalam Pemilu ... 13

2.1.3 Kampanye dalam Pemilu ... 15

2.2 Tinjaun Tentang Pemilukada ... 17

2.2.1 Pengertian Pemilukada ... 17

2.2.2 Pelaksanaan Pemilukada ... 20

2.2.3 Penetapan dan Pengumuman Daftar Pemilih Tetap ... 21

2.3 Tinjauan Tentang Partisipasi Politik ... 22

2.3.1 Pengertian Partisipasi Politik ... 23

2.3.2 Bentuk-bentuk Partisipasi Politik ... 22

2.3.3 Jenis-jenis Partisipasi Politik ... 27

2.3.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi ... 30

2.4 Tinjaun Tentang Pendidikan ... 31

2.4.1 Pengertian Pendidikan ... 31

2.4.2 Tingkat Pendidikan ... 33

2.4.3 Faktor-faktor Pendidikan ... 34

2.4.4 Fungsi dan Tujuan Pendidikan ... 36

2.5 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Partisipasi Politik ... 36

2.6 Kerangka Pikir ... 39


(8)

3.2 Definisi Konseptual ... 44

3.3 Definisi Operasional... 45

3.4 Populasi, Sampel dan Teknik Sampling ... 46

3.4.1 Populasi ... 46

3.4.2 Sampel ... 46

3.4.3 Teknik Sampling ... 47

3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 48

3.6 Teknik Pengolahan Data ... 50

3.7 Teknik Pengujian Instrumen ... 51

3.7.1 Uji Validitas ... 52

3.7.2 Uji Reabilitas ... 53

3.8 Teknik Analisis Data ... 54

3.8.1 Statistik Deskriptif ... 55

3.8.2 Statistik Inferensial ... 55

3.8.2.1 Analisis Regresi Linier Sederhana ... 56

3.8.2.2 Uji Normalitas ... 57

3.9 Uji Hipotesis ... 57

3.9.1 Uji t-Statistik ... 58

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum ... ... 59

4.2 Deskripsi Umum Responden ………... 62

4.2.1 Karakteristik Responden Menurut Jenis Kelamin …..… ... 62

4.2.2 Karakteristik Responden Menurut Agama ……….... 63

4.2.3 Karakteristik Responden Menurut Mata Pencaharian …... 64

4.2.4 Karakteristik Responden Menurut Tingkat Pendidikan … ... 65

4.2.5 Karakteristik Responden Menurut Kelompok Usia …….. ... 66

4.2.6 Karakteristik Responden Menurut Suku ………... 67

4.3 Analisis Statistik Deskriptif ………... 67

4.3.1 Variabel Partisipasi Pemilih ………... 68

4.3.1.1 Kegiatan Pemilihan ……….... 68

4.3.1.2 Lobbying/ Usaha Menghubungi Pejabat ………….... 72

4.3.1.3 Kegiatan Organisasi ………... 74

4.3.1.4 Mencari Koneksi ……….... 76

4.3.1.5 Tindak Kekerasan ………... 78

4.4 Analisis Statistik Inferensial ……….……….... 79

4.4.1 Analisis Statistik Linier Sederhana ………... 79

4.4.2 Koefisien Determinasi ………... 80

4.4.3 Koefisien Regresi ………... 81

4.5 Uji Normalitas ……….. 82

4.6 Analisis Regresi Faktor Usia dan Partisipasi Pemilih ………... 84

4.7 Uji Hipotesis ………. 85


(9)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ……… 100

5.2 Saran ……….. 101

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(10)

1.1 Partisipasi Pemilih pada Pemilukada di Bandar Lampung ... 4

1.3 Prosentase Hasil Pemilu Tahun 2010 di Provinsi Lampung ... 5

1.4 Rekapitulasi Tingkat Partisipasi Pemilih Pemilukada 2010 PerKecamatan di Bandar Lampung ... 6

2.1 Karakteristik Sosial Berhubungan Dengan Partisipasi ... 36

3.1 Definisi Operasional ... 45

3.2 Pengujian Validitas ... ... 52

3.3 Indikator Tingkat Reliabilitas ... ... 54

3.4 Uji Reliabilitas ... ... 54

3.5 Klasifikasi Nilai Kategorisasi Rata-rata ... ... 55

3.6 Pedoman untuk Memberikan Interpretasi Terhadap Koefisien korelasi ... ... 56

4.1 Data Kepala Lurah Palapa ... ... 63

4.2 Identitas Responden Menurut Jenis Kelamin ... 63

4.3 Identitas Responden Menurut Agama ... ... 63

4.4 Identitas Responden Menurut Mata Pencaharian ... 64

4.5 Identitas Responden Menurut Tingkat Pendidikan ... 65

4.6 Identitas Responden Menurut Kelompok Usia ... 66

4.7 Identitas Responden Menurut Suku ... ... 67

4.8 Statistik Kegiatan Pemilihan ... ... 68

4.9 Statistik Lobbying ... ... 73

4.10 Statistik Kegiatan Organisasi ... ... 75

4.11 Statistik Koneksi ... ... 76

4.12 Statistik Tindak Kekerasan ... ... 78

4.13 Korelasi Tingkat Pendidikan dan Partisipasi Pemilih ... 80

4.14 Koefisien Determinasi ... ... 80

4.15 Uji Regresi ... ... 81

4.16 Korelasi Faktor Usia dan Partisipasi ... ... 84

4.17 Kategori Rata-rata ... ... 88

4.18 Hasil Wawancara ... 93

4.19 Faktor yang Mempengaruhi Rendahnya Partisipasi Masyarakat Palapa ... 98


(11)

DAFTAR GAMBAR

2.1 Kerangka Pikir ... 41

4.1 Struktur Organisasi Pemerintah Kelurahan Palapa ... 61

4.2 Grafik Histogram ... 83


(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Perkembangan kehidupan masyarakat semakin hari semakin bertambah sejalan dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Perkembangan kebutuhan ini tentunya harus diselaraskan dengan sumber daya yang ada, karena jika tuntutan kebutuhan masyarakat tidak seimbang maka akan terjadi permasalahan di tengah masyarakat dan persoalan ini akan mengkristal serta berkembang menjadi masalah negara.

Persoalan masyarakat yang cukup krusial di lapangan menjadi ulasan penting bagi kajian Administrasi Negara yang fokusnya adalah masalah publik. Administrasi Publik sebagai salah satu ilmu yang dianalogikan sebagai ilmu terapan dalam ilmu sosial atau disebut juga dengan social engineering, merupakan cabang ilmu sosial dan politik di Indonesia.1 Administrasi Publik melihat bagaimana menjalankan Negara dengan prinsip-prinsip yang ada. Menjalankan pemerintahan dengan keprofesionalitasan, namun dalam

1

Yogi Suprayogi Sugandi, Administrasi Publik Konsep dan Perkembangan Ilmu di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2011, hlm: 1.


(13)

perjalanannya administrasi publik tidak dapat lepas dari politik sebagai bagian dari dinamika publik.2

Indonesia sebagai Negara kesatuan (unitary state) dan terdiri dari banyak pulau, pada perkembangan sistem pemerintahannya memilih melaksanakan sistem desentralisasi. Hal ini disebabkan karena sistem desentralisasi dinilai efektif untuk dilaksanakan di Indonesia yang memiliki banyak daerah dan sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu pemerintahan daerah, mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, hal ini diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatmelalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan telah memilih sistem desentralisasi dalam menjalankan sistem pemerintahannya.3 Hal ini juga diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengarahkan daerah pada usaha untuk mengurus urusan rumah tangganya sendiri.

I Gde Panjta Astawa (2008) mengatakan bahwa, otonomi daerah terkait erat dengan demokrasi. Konsekuensinya, harus ada tata cara dan mekanisme pengisian jabatan-jabatan secara demokratis, terutama jabatan-jabatan

2

Ibid, hlm: 1. 3


(14)

politik.4 Hasil amandemen Undang-undang Dasar (UUD) 1945 telah membawa perubahan besar pada sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satu perubahan itu terkait dengan pengisian jabatan Kepala Daerah. Pasal 18 ayat

(4) UUD 1945 menyatakan bahwa “Gubernur, Bupati dan Walikota masing -masing sebagai kepala pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota dipilih

secara demokratis.” Perspektif desentralisasi dan demokrasi prosedural,

sistem Pemilukada merupakan sebuah inovasi yang bermakna dalam proses konsolidasi di aras lokal. Setidaknya sistem Pemilukada memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan dengan sistem rekruitmen politik yang ditawarkan

oleh model sentralistik “ala” Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 atau model demokrasi perwakilan yang diretas oleh Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999.5

Asas desentralisasi yang didalamnya memuat unsur demokrasi menjadikan partisipasi masyarakat sebagai kunci sukses terlaksananya demokrasi pada proses pemilihan pemimpin negara. Sistem demokrasi dengan filosofi dari oleh dan untuk rakyat dinilai dapat benar-benar menampung aspirasi serta mengutarakan hak masyarakat dalam memilih pemimpinnya sendiri.

Tindak lanjut dari pemberlakuan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 diselenggarkan Pemilukada langsung. Pemilukada langsung, pertama kali dilaksanakan pada tanggal 1 Juni 2005 di Kutai Kartanegara. Pada tahun 2005 telah berlangsung Pemilukada di 207 kabupaten/ kota dan tujuh provinsi.

4

Suharizal, S.H., M.H, Pemilukada Regulasi, Dinamika, dan Konsep Mendatang, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm: 6.

5


(15)

Tahun 2006 terlaksana Pemilukada di 70 kabupaten/ kota dan enam provinsi. Tahun 2008 dilaksanakan 160 Pemilukada di 13 Provinsi, dan 147 kabupaten/ kota.

Patrick Merloe seorang anggota senior dalam proses pemilihan Lembaga Demokratik Nasional Untuk Urusan Internasional (NDI) dalam satu pamplet yang ditulisnya untuk konferensi tentang Pemilu di Zimbabwe (15-18 Nopember 1994) menilai bahwa Pemilu sebagai tonggak yang sangat penting dalam peralihan kekuasaan non demokratik ke demokrasi. Ia mengatakan bahwa:

“Pemilu merupakan suatu kesempatan untuk menguji bagaimana seperangkat lembaga berfungsi dan apakah hak asasi manusia yang fundamental dilindungi dan dipupuk. Ukuran dari hal yang dinyatakan tersebut adalah apakah warga negara menyatakan pendapat politik, berserikat, berkumpul dan bergerak sebagai bagian dari suatu proses pemilihan”.6

Kota Bandar Lampung sendiri mulai melakukan Pemilihan Kepala Daerah pada tahun 2008 yaitu untuk memilih Gubernur beserta Wakil Gubernur dan tahun 2010 memilih Walikota beserta Wakil Walikota. Hingga akhir tahun 2012, Kota Bandar Lampung telah dua kali memilih pemimpin daerahnya secara langsung dalam pesta rakyat daerah terbesar yang disebut Pemilukada.

6


(16)

Tabel 1.1 Partisipasi Pemilih pada Pemilukada di Bandar Lampung

sumber: www.kpu-lampungprov.go.id, diakses pada 20 Februari 2012, 14.10 (data terlampir)

Tabel 1.2 Hasil Pemilu Tahun 2010 di Provinsi Lampung

Sumber: data pemilukada KPU Provinsi Lampung, diolah 2013

Data yang disajikan diatas memperlihatkan rendahnya animo masyarakat kota Bandar Lampung akan proses Pemilukada dan lebih memilih untuk masuk dalam golongan yang disebut dengan golongan putih (golput). Persentase terendah di wilayah Bandar Lampung terdapat di Kelurahan Tanjung Karang Pusat Bandar Lampung, berikut data hasil Pemilukada di Bandar Lampung pada tahun 2010:

No Pemilihan/ tahun prosentase 1 Pemilihan

Gubernur/ 2008

58% Mengalami

penurunan 1%

2 Pemilihan Walikota/ 2010

57%

No Kab/ Kota Pemilukada

Tahun 2010

1 Bandar Lampung 57%

2 Metro 71%

3 Tanggamus -

4 Way Kanan 76%

5 Lampung Timur 71%

6 Lampung Barat

-7 Lampung Tengah 68%

8 Lampung Selatan 73%

9 Pesawaran 72%

10 Tulang Bawang -

11 Lampung Utara -

12 Pringsewu -

13 Tulang Bawang Barat -

14 Mesuji -


(17)

Tabel 1.3 Rekapitulasi Tingkat Partisipasi Pemilih Pemilukada 2010 Per-Kecamatan di Bandar Lampung

No Kecamatan DPT Yang

menggunakan hak Pilih

Yang tidak menggunakan hak pilih

Persentase tingkat partisipasi

1 Kedaton 70.950 35.877 35.082 51%

2 Raja Basa 30.175 15.852 14.323 53%

3 Tanjung Seneng 27.629 16.776 10.853 61%

4 Sukarame 51.564 28.757 22.807 56%

5 Tanjung Karang Timur

61.546 30.714 30.832 50%

6 Sukabumi 42.795 24.177 18.618 56%

7 Panjang 44.042 26.886 17.156 61%

8 Teluk Betung Selatan

67.302 40.556 26.746 60%

9 Teluk Betung Barat 40.026 26.308 13.718 66% 10 Teluk Betung Utara 47.961 28.566 19.395 60% 11 Tanjung Karang

Barat

44.207 26.806 17.401 61%

12 Tanjung Karang Pusat

54.531 26.430 28.101 48%

13 Kemiling 45.217 29.003 16.214 64%

Sumber: Data KPU Rekapitulasi Tingkat Partisipasi Pemilih Pemilu Pemilukada 2010 Per-Kecamatan di Provinsi Lampung

Data yang disajikan diatas terlihat bahwa Kecamatan Tanjung Karang Pusat memiliki tingkat partisipasi paling rendah dari 13 Kecamatan yang ada di Kota Bandar Lampung. Kenyataan rendahnya partisipasi masyarakat Kecamatan Tanjung Karang Pusat menarik perhatian peneliti untuk melakukan penelitian di daerah tersebut. Rendahnya partisipasi masyarakat tentunya akan merugikan Indonesia khususnya Kota Bandar Lampung, karena seperti yang diketahui bersama bahwa satu suara pemilih sangat berharga untuk menentukan pemimpin bangsa ke depan. Kenyataan ini menggambarkan demokrasi di Indonesia masih belum dapat berdiri dan menemukan jati dirinya sendiri.


(18)

Terdapat cukup banyak faktor yang memengaruhi tingkat partisipasi masyarakat. Faktor yang diperkirakan memengaruhi tinggi-rendahnya partisipasi politik adalah:

1. Kesadaran politik

Ialah kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Hal ini menyangkut pengetahuan seseorang tentang lingkungan masyarakat dan politik, dan menyangkut minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik tempat ia hidup.

2. Kepercayaan kepada pemerintah

Penilaian seseorang terhadap pemerintah; apakah ia menilai pemerintah bisa dipercaya atau tidak.

Kedua faktor di atas bukan faktor-faktor yang berdiri sendiri. Artinya, tinggi-rendah kedua faktor itu dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti status sosial (keturunan, pendidikan dan pekerjaan) dan status ekonomi, afiliasi politik orangtua dan pengalaman berorganisasi. Seseorang yang memiliki status sosial dan status ekonomi yang cukup tinggi diperkirakan tidak hanya mampu memiliki pengetahuan politik tetapi juga memiliki minat dan perhatian pada politik serta sikap dan kepercayaan kepada pemerintah.7

Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial di setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Keduanya sering dilihat sebagai bagian yang terpisah, yang satu sama lain tidak

7

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1999, hlm.144.


(19)

memiliki hubungan apa-apa. Padahal, keduanya bahu membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat di suatu negara. Lebih dari itu, keduanya satu sama lain saling menunjang dan saling mengisi.8

Apa yang dicapai dibidang pendidikan nampaknya mempunyai pengaruh demografis terpenting terhadap sikap politik. Orang yang tidak terdidik atau orang yang mendapatkan pendidikan terbatas adalah aktor politik yang berbeda dengan orang yang telah mencapai jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ada sejumlah sebab untuk ini. Satu diantaranya, sudah barang tentu, adalah perbedaan pendidikan berkaitan erat dengan perbedaan karakteristik sosial lainnya. Individu yang telah mencapai pendidikan yang lebih tinggi, dibandingkan dengan mereka yang tidak mencapai pendidikan seperti itu, lebih mungkin mendapat penghasilan yang lebih tinggi, bermartabat dan seterusnya dan semua karakteristik ini cenderung mempunyai arah yang sama.9

Orang yang belajar di sekolah cenderung mempelajari mata pelajaran khusus dan juga keterampilan yang berguna bagi partisipasi politik, dan mereka mempelajari pula norma-norma partisipasi politik. Banyak dari pelajaran ini diperoleh melalui pengajaran langsung; beberapa diantaranya mungkin lebih langsung. Bukan saja pendidikan mempengaruhi perspektif politik, tetapi juga menempatkan individu dalam situasi sosial dimana ia bertemu dengan

8

M. Sirozi, Politik Pendidikan Dinamika HUbungan Antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm: 1.

9

Gabriel A. Almond, Budaya Politik Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara, Bina Aksara, Jakarta, 1984, hlm: 382.


(20)

orang lain dengan tingkat pendidikan yang sama, dan ini cenderung memperkuat pengaruh pendidikannnya sendiri.10

Kelompok masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan tertentu memiliki kunci menuju partisipasi politik dan keterlibatan dalam politik lebih besar, sementara mereka dengan status pendidikan yang rendah kurang diperlengkapi dengan baik. Setiap negara kelas terdidik lebih mungkin sadar akan pengaruh pemerintah, menerima informasi tentang pemerintahan, mengikuti politik lewat berbagai media, mempunyai pendapat politik tentang sejumlah besar subyek dan terlibat dalam pembahasan politik. Orang dengan pendidikan lebih tinggi pun mungkin memandang dirinya berkompeten mempengaruhi pemerintah dan bebas terlibat dalam diskusi politik.

Uraian diatas menunjukkan terdapat hubungan antara pendidikan dengan partisipasi politik seseorang. Tingginya tingkat pendidikan seseorang, maka pengetahuan dan wawasannya tentang politik akan semakin tinggi sehingga partisipasi politiknya juga akan semakin tinggi. Pendidikan bukan saja meningkatkan partisipasi politik, tetapi juga dapat menempatkan individu dalam suatu organisasi yang selanjutnya akan mempertinggi kadar partisipasinya.

Kenyataan akan rendahnya partisipasi masyarakat di Bandar Lampung menarik perhatian peneliti untuk membahas mengenai ada atau tidaknya hubungan tingkat pendidikan terhadap Pemilukada yang terjadi di Bandar Lampung pada Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota tahun 2010.

10


(21)

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan yang akan diteliti adalah:

1. Adakah hubungan tingkat pendidikan terhadap partisipasi pemilih dalam Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota tahun 2010 di Bandar Lampung? 2. Seberapa besar hubungan tingkat pendidikan terhadap partisipasi pemilih

pada Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota di Bandar Lampung?

1.3Tujuan Penelitian

Penelitian ini digunakan untuk:

1. Mengetahui hubungan tingkat pendidikan terhadap partisipasi pemilih dalam Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota tahun 2010 di Bandar Lampung.

2. Mengetahui besarnya hubungan tingkat pendidikan terhadap partisipasi pemilih pada Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota di Bandar Lampung.

1.4 Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini ditujukan untuk:

a. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa pemikiran serta perkembangan Ilmu Administrasi Negara kajian Pemerintahan


(22)

Daerah dalam proses pemilihan umum kepala daerah yang terjadi di Bandar Lampung.

b. Secara Praktis

1. Penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan serta wawasan dalam melakukan penelitian terutama di dalam mengkaji masalah-masalah politik yang mengacu pada teori dan pengetahuan yang didapat selama kuliah mengenai pemilihan kepala daerah dan kenyataan di lapangan.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pembaca mengenai hubungan tingkat pendidikan terhadap partisipasi pemilih dalam Pemikada di Bandar Lampung, serta memberikan masukan dalam pemilihan Kepala Daerah selanjutnya.

3. Sebagai rujukan bagi mahasiswa yang berminat dalam penelitian yang berkaitan dengan judul terkait.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tentang Pemilu

2.1.1 Pengertian Pemilu

Pemilihan Umum adalah memilih seorang penguasa, pejabat atau lainnya dengan jalan menuliskan nama yang dipilih dalam secarik kertas atau dengan memberikan suaranya dalam pemilihan.1 Sedangkan, menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pemilihan Umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Pemilih dalam pemilu disebut juga sebagai konstituen, di mana para peserta Pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa kampanye. Kampanye dilakukan selama diwaktu yang telah ditentukan menjelang hari pemungutan suara. Setelah pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan dimulai. Pemenangan Pemilu ditentukan oleh aturan

1

Abu Nashr Muhammad Al-Iman, Membongkar Dosa-dosa Pemilu, Prisma Media, Jakarta, 2004, hlm: 29.


(24)

main atau sistem penentuan pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan disosialisasikan ke para pemilih. Proses pemilihan umum merupakan bagian dari demokrasi.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan, bahwa pemilihan umum adalah proses pemilihan atau penentuan sikap yang dilakukan oleh suatu masyarakat untuk memilih penguasa ataupun pejabat politik untuk memimpin suatu Negara yang juga diselenggarakan oleh Negara.

2.1.2 Hak Pilih dalam Pemilu

Pada azasnya setiap warganegara berhak ikut serta dalam Pemilihan Umum. Hak warganegara untuk ikut serta dalam pemilihan umum disebut Hak Pilih, yang terdiri dari:

a. Hak pilih aktif (hak memilih) b. Hak pilih pasif (hak dipilih)

Setiap warga negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah berumur tujuh belas tahun atau lebih atau sudah/ pernah kawin, mempunyai hak memilih. Seorang warga negara Indonesia yang telah mempunyai hak memilih, baru bisa menggunakan haknya, apabila telah terdaftar sebagai pemilih.2

Seseorang yang telah mempunyai hak memilih, untuk dapat terdaftar sebagai pemilih, harus memenuhi persyaratan:

2

Prof. H. Rozali Abdullah, S.H. Mewujudkan Pemilu yang Lebih Berkualitas (Pemilu Legislatif), PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm. 168.


(25)

a) tidak terganggu jiwa/ ingatannya; b) tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sebaliknya seorang warga negara Indonesia yang telah terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), kemudian ternyata tidak lagi memenuhi persyaratan tersebut di atas, tidak dapat menggunakan hak memilihnya.3

Masalah dan gejolak seringkali terjadi di tengah-tengah masyarakat. Hal ini disebabkan karena tidak akuratnya data pemilih. Ada warga masyarakat yang telah memenuhi persyaratan sebagai pemilih, ternyata tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), malah sebaliknya orang-orang yang sudah meninggal dunia namanya masih tercantum dalam DPT. Sebenarnya masalah ini lebih bersifat teknis dan administratif, tetapi oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan, masalah ini dipolitisasi sehingga tidak jarang menimbulkan gejolak dan konflik.

Berdasarkan pengamatan, ketidakakuratan pemilih/ DPT ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:

a. Belum tertatanya dengan baik data kependudukan, yang mana hal ini merupakan wewenang dan tanggung jawab Pemerintah, dalam hal ini Depatemen Dalam Negeri beserta jajarannya.

b. Pemutakhiran data/ verifikasi data pemilih tidak dilakukan oleh KPU beserta jajarannya dengan baik.

3


(26)

c. Masyarakat, dalam hal ini calon pemilih, tidak berusaha secara aktif, agar mereka tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).4

2.1.3 Kampanye dalam Pemilu

Kampanye Pemilu dilakukan dengan prinsip pembelajaran bersama dan bertanggungjawab.5 Kampanye Pemilu dilaksanakan oleh kampanye dan didukung oleh petugas kampanye serta diikuti oleh peserta kampanye. Pelaksana kampanye terdiri atas Pengurus Partai Politik, calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota serta juru kampanye dan satgas. Peserta kampanye adalah warga masyarakat pemilih, sedangkan yang dimaksud petugas kampanye adalah seluruh petugas yang memfasilitasi pelaksanaan kampanye.6

Pelaksanaan kampanye harus didaftarkan pada KPU, KPU provinsi, KPU Kabupaten/ Kota, PPK, PPS dan PPLN sesuai dengan tingkatannya. Pendaftaran kampanye ini ditembuskan kepada Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/ Kota meliputi visi, misi Partai Politik masing-masing.7

4

Ibid, hlm. 169.

5

Ibid, hlm. 198.

6

Ibid, hlm 199.

7


(27)

Metode kampanye yang dilaksanakan oleh peserta Pemilu adalah dalam bentuk:

a) Pertemuan terbatas; b) Tatap muka; c) Penyiaran melalui media cetak dan media elektronik; d) Penyebaran bahan kampanye kepada umum; e) Pemasangan alat peraga; f) Rapat umum; dan g) Kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan kampanye dalam bentuk pertemuan terbatas, tatap muka, penyebaran melalui media cetak dan media elektronik, penyiaran melalui radio dan/ atau telivisi, penyebaran bahan kampanye kepada umum, dapat dilaksanakan sejak tiga hari kerja setelah peserta Pemilu ditetapkan sebagai peserta Pemilu sampai dengan dimulainya masa tenang. Sedangkan rapat umum, dilaksanakan selama 21 hari kerja sebelum hari dan tanggal pemungutan suara. Ketentuan ini antara

lain bertujuan untuk mengatasi masalah “mencuri start”.8

Ketentuan mengenai pedoman pelaksanaan kampanye secara Nasional, baik mengenai waktu, tata cara dan tempat kampanye di pusat, diatur dengan peraturan KPU. Sedangkan ketentuan mengenai waktu dan pelaksanaan kampanye di tingkat provinsi diatur dengan keputusan KPU Provinsi dan mengenai waktu dan pelaksaan kampanye di tingkat Kabupaten/ Kota, diatur dengan keputusan KPU Kabupaten/ Kota.9

8

Ibid, hlm. 200. 9


(28)

2.2 Tinjauan Tentang Pemilukada 2.2.1 Pengertian Pemilukada

Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) merupakan instrumen yang sangat penting dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan prinsip demokrasi di daerah, karena disinilah wujud bahwa rakyat sebagai pemegang kedaulatan menentukan kebijakan kenegaraan. Mengandung arti bahwa kekuasaan tertinggi untuk mengatur pemerintahan Negara ada pada rakyat. Melalui Pemilukada, rakyat dapat memilih siapa yang menjadi pemimpin dan wakilnya dalam proses penyaluran aspirasi, yang selanjutnya menentukan arah masa depan sebuah negara.10

Pemilukada menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang

“Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah

dan Wakil Kepala Daerah adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah Propinsi dan Kabupaten/ Kota berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 56 ayat (1) dinyatakan bahwa Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah selanjutnya disebut pasangan calon adalah peserta pemilihan

10

Yusdianto, Identifikasi Potensi Pelanggaran Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) dan Mekanisme PenyelesaiiannyaI. Jurnal Konstitusi Vol II nomor 2, November 2010, hlm 44.


(29)

yang diusulkan oleh partai Politik atau gabungan partai politik yang telah memenuhi persyaratan.

Secara normatif, berdasarkan ukuran-ukuran demokrasi, pemilukada langsung menawarkan sejumlah manfaat dan sekaligus harapan bagi pertumbuhan, pendalaman dan perluasan demokrasi lokal. Pertama, sistem demokrasi langsung melalui pemilukada langsung akan membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi warga dalam proses demokrasi dan menentukan kepemimpinan politik di tingkat lokal dibandingkan sistem demokrasi perwakilan yang lebih banyak meletakkan kuasa untuk menentukan rekruitmen politik di tangan segelintir orang di DPRD (oligarkis).

Kedua, dari sisi kompetensi politik. Pemilukada langsung memungkinkan munculnya secara lebih lebar preferensi kandidat-kandidat berkompetensi dalam ruang yang lebih terbuka dibandingkan ketertutupan yang sering terjadi dalam demokrasi perwakilan. Pemilukada langsung bisa memberikan

sejumlah harapan pada upaya pembalikan “syndrome” dalam demokrasi perwakilan yang ditandai dengan model kompetensi yang tidak fair, seperti; praktik politik uang (money politics).

Ketiga, sistem pemilihan langsung akan memberi peluang bagi warga untuk mengaktualisasi hak-hak politiknya secara lebih baik tanpa harus direduksi oleh kepentingan-kepentingan elite politik seperti yang kasat mata muncul dalam sistem demokrasi perwakilan. Setidaknya, melalui konsep demokrasi langsung, warga di aras lokal akan mendapatkan kesempatan untuk


(30)

memperoleh semacam pendidikan politik, training kepemimpinan politik dan sekaligus mempunyai posisi yang setara untuk terlibat dalam pengambilan keputusan politik.

Keempat, pemilukada langsung memperbesar harapan untuk mendapatkan figur pemimpin yang aspiratif, kompeten dan legitimate. Karena, melalui pemilukada langsung, kepala daerah yang terpilih akan lebih berorientasi pada warga dibandingkan pada segelintir elite di DPRD. Dengan demikian, Pemilukada mempunyai sejumlah manfaat, berkaitan dengan peningkatan kualitas tanggung jawab pemerintah daerah pada warganya yang pada akhirnya akan mendekatkan kepala daerah dengan masyarakat.

Kelima, kepala daerah yang terpilih melalui pemilukada langsung akan memiliki legitimasi politik yang kuat sehingga akan terbangun perimbangan kekuatan (check and balance) di daerah antara kepala daerah dengan DPRD. Perimbangan kekuatan ini akan meminimalisasi penyalahgunaan kekuasaan seperti yang muncul dalam format politik yang monolitik.11

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, dalam pasal 56 sampai dengan pasal 119 berisi prosedur dan mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam rangka mempersiapkan pemilihan Kepala Daerah secara langsung antara lain:

a. Mekanisme dan prosedur pemilihan. Mekanisme ini meliputi seluruh tahapan pemilihan mulai dari penjaringan bakal calon, pencalonan dan

11


(31)

pemilihannya. Keterlibatan lembaga legislatif dan masyarakat dalam setiap tahapan tersebut diatur jelas dan tegas.

b. Peranan DPRD dalam pemilihan Kepala Daerah. Dominasi peranan DPRD dalam Pemilukada seperti saat ini, tentu saja akan mengalami degradasi. Peranan DPRD tidak mengurangi fungsinya sebagai lembaga legislatif di daerah.

c. Mekanisme pertanggungjawaban Kepala Daerah. Perubahan sistem pemilihan Kepala Daerah akan mempengaruhi mekanisme pertanggungjawaban kepala daerah.

d. Hubungan Kepala Daerah dengan DPRD. Pemilihan Kepala Daerah secara langsung akan berpotensi menimbulkan resistensi terhadap hubungan antara Kepala Daerah dan DPRD.

e. Hubungan pelaksana pemilihan Kepala Daerah dengan pemilihan Presiden, anggota DPR, DPRD dan DPD. Dalam satu tahun, di suatu Kabupaten/ Kota, mungkin terjadi tiga kali pemilihan, yaitu Pemilu (presiden, DPR, DPRD), pemilihan Gubernur dan Pemilihan Bupati/ Walikota.

2.2.2 Pelaksanaan Pemilukada

Proses pelaksanaan Pemilukada diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah khususnya pada pasal 65 dan 66,

dimana dalam pasal 65 ayat (4) dikemukakan bahwa “masa persiapan Pemilukada diatur oleh KPUD dengan berpedoman pada Peraturan Daerah”.


(32)

Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilaksanakan melalui masa persiapan, dan tahap pelaksanaan. Pelaksanaan dalam tahap tersebut meliputi beberapa tahapan, yakni; a. Penetapan daftar pemilih; b. Pendaftaran dan Penetapan calon kepala daerah/wakil kepala daerah; c. Kampanye; d. Pemungutan suara; e. Penghitungan suara; dan f. Penetapan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah terpilih, pengesahan, dan pelantikan.

2.2.3 Penetapan dan Pengumuman Dafar Pemilih Tetap

Daftar Pemilih Tetap (DPT) adalah daftar masyarakat yang telah memiliki hak untuk memilih dan telah tercatat sebagai calon pemilih dalam pesta demokrasi pada suatu daerah. Hal ini diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 12 Tahun 2010 tentang “Pedoman Tata Cara Pemutakhiran Data dan Daftar Pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala

Daerah dan Wakil Kepala Daerah” Pasal 3 dikemukakan bahwa “Warga Negara Republik Indonesia yang pada hari dan tanggal pemungutan suara Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih dan/atau sudah/pernah kawin mempunyai hak

memilih”. Dimana pemilih seperti juga tercantum pada pasal 4 ayat (2) harus memenuhi syarat:

a. Nyata-nyata tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya.

b. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; dan


(33)

c. Berdomisili di daerah pemilihan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sebelum disahkannya daftar pemilih sementara yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk atau dokumen kependudukan dari instansi yang berwenang.

Pemutakhiran data pemilih diatur dalam pasal 8 ayat (1) yang berbunyi “KPU

Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota paling lama 6 (enam) bulan sebelum hari dan tanggal pemungutan suara memberitahukan kepada Pemerintah Daerah untuk menyampaikan data kependudukan kepada KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota yang akan digunakan dalam Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terinci untuk tiap desa/kelurahan atau sebutan nama lainnya.

2.3 Tinjauan Tentang Partisipasi Politik 2.3.1 Pengertian Partisipasi

Partisipasi merupakan komponen penting dalam pembangkitan kemandirian dan proses pemberdayaan. Pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi, sosial dan transformasi budaya.

Suatu realitas, bahwa dalam mewujudkan berbagai kepentingan dan anggota masyarakat acapkali harus berbenturan dengan kepentingan dan kebijaksanaan Negara. Benturan ini boleh jadi mencakup segala


(34)

kepentingan seluruh anggota masyarakat, termasuk pula keinginan untuk berpartisipasi dalam masalah-masalah politik.12

Partisipasi adalah penentuan sikap dan keterlibatan hasrat setiap individu dalam situasi dan kondisi organisasinya, sehingga pada akhirnya mendorong individu tersebut berperan serta dalam pencapaian tujuan organisasi, serta ambil bagian dalam setiap pertanggungjawaban bersama.13 Hoofsteede (1971) yang dikutip oleh Khairudin (2000) mendefinisikan partisipasi sebagai “The taking part in one or more phases og the procces” atau mengambil bagian dalam suatu tahap atau lebih dari suatu proses. Sedangkan menurut Fithriadi, dkk. (1937) Partisipasi adalah pokok utama dalam pendekatan pembangunan yang terpusat pada masyarakat dan berkesinambungan serta merupakan proses interaktif yang berlanjut.14

Dari pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa partisipasi adalah suatu proses pengambil bagian dalam suatu tahapan atau kegiatan tertentu.

2.3.2 Pengertian Partisipasi Politik

Istilah partisipasi politik diterapkan kepada aktivitas orang dari semua tingkat sistem politik; pemilih (pemberi suara) berpartisipasi dengan memberikan suaranya; menteri luar negeri berpartisipasi dalam menetapkan kebijaksanaan luar negeri. Kadang-kadang istilah tersebut

12

Arifin Rahman, Sistem Politik Indonesia Dalam Perspektif Struktural Fungsional, SIC, Surabaya, 2002, hlm: 128.

13

Ibid, hlm: 128.

14


(35)

lebih diterapkan pada orientasi politik daripada aktivitas politik; warga Negara berpartisipasi dengan menaruh minat dalam politik.15 Analisis politik modern partisipasi politik merupakan suatu masalah yang penting, yang akhir-akhir ini banyak dipelajari terutama dalam hubungannya dengan negara-negara yang sedang berkembang.

Partisipasi politik yang meluas merupakan ciri khas modernisasi politik. Di dalam masyarakat tradisional, pemerintahan dan politik biasanya hanya merupakan urusan satu golongan elit yang kecil.16

Istilah “partisipasi politik” telah digunakan dalam pelbagai arti. Apakah

partisipasi politik itu hanya perilaku, atau mencakup pula sikap-sikap dan persepsi-persepsi yang merupakan syarat mutlak bagi perilaku partisipasi (umpanya: informasi politik, persepsi seseorang tentang relevansi politik bagi urusannya sendiri, suatu keyakinan bahwa orang dapat mempengaruhi keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan pemerintah)?17

Sebagai definisi umum dapat dikatakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pemimpin Negara dan, secara langsung atau tidak langsung, memengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, mengadakan hubungan

15

Ibid, hlm: 129.

16

Samuel P. Huntington dan John Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hlm: 1.

17


(36)

(contacting) atau lobbying dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, menjadi anggota partai atau salah satu gerakan sosial dengan direct actionnya, dan sebagainya.18

Aspek inti dari definisi partisipasi politik mencakup kegiatan-kegiatan akan tetapi tidak sikap-sikap. Sebagai kontras, sementara sarjana mendefinisikan partisipasi politik sebagai juga mencakup orientasi-orientasi para warganegara terhadap politik, serta perilaku politik mereka yang nyata. Partisipasi politik didefiniskan sebagai mencakup tidak hanya kegiatan yang oleh pelakunya sendiri dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah, akan tetapi juga kegiatan yang oleh orang lain di luar si pelaku dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. 19

John Stuart Mill dalam Miriam Budiardjo (1994) menyatakan bahwa partisipasi dalam kehidupan politik dapat menyebabkan pengembangan

kapasitas pribadi “tertinggi dan serasi” dalam rangka menuju jalan kebebasan dan pengembangan diri. Di negara-negara demokratis, pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik ialah bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat yang melaksanakannya melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat itu

18

Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hlm: 367

19


(37)

dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk pimpinan.20

Herbert McClosky seorang tokoh masalah partisipasi berpendapat:

“partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung dalam

proses pembentukan kebijakan umum” (the term”political participation” will refer to those voluntary activities by which members of a society share in the selection of rulers and, directly or indirectly, in the formation of public policy”).21

Samuel P.Huntington dan Joan M. Nelson dalam No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries memberi tafsiran yang lebih luas dengan memasukkan secara ekspilisit tindakan legal dan kekerasan.

“partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai

pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif (By political participation we mean activity by private citizens designed to influence government decision-making. Paticipation may be individual or collective, organized or spontaneous, sustained or sporadic, peacful or violent, legal or ilegal, effective or ineffective”)22

Norman H. Nie dan Sidney Verba dalam Handbook of Political Science dalam Miriam Budiardjo (1994):

“partisipasi politik adalah kegiatan pribadi warga yang legal yang sedikit

banyak langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat negara dan/ atau tindakan-tindakan yang diambil oleh mereka.(“By political participation we refer to those legal activities by private citizens which

20

Prof. Miriam Budiardjo, Demokrasi Di Indonesia Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila, PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994, Jakarta, hlm 184.

21

Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, op, cid., hlm: 367.

22


(38)

are more or less directly aimed at influencing the selection of governmental and/or the action they take”)23

Dari pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan warga negara dalam proses pemilihan pemimpin negara yang absah dan di dalamnya turut serta dalam penentuan kebijakan secara umum.

2.3.3 Jenis-jenis Partisipasi Politik

Partisipasi politik dapat terwujud dalam pelbagai bentuk. Studi-studi tentang partisipasi dapat menggunakan skema-skema klasifikasi yang agak berbeda-beda, namun kebanyakan riset belakangan ini membedakan jenis-jenis perilaku sebagai berikut24:

a. Kegiatan pemilihan mencakup suara, akan tetapi juga sumbangan-sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan dibagi seorang calon, atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan. Ikut dalam proses pemungutan suara adalah jauh lebih meluas dibandingkan dengan bentuk-bentuk partisipasi politik lain, termasuk kegiatan membedakannya dari jenis-jenis partisipasi lain, termasuk kegiatan kampanye lainnya. Namun demikian, ada suatu kumpulan kegiatan-kegiatan yang berkaitan satu sama lain yang difokuskan sekitar siklus pemilihan dan pemungutan

23

Prof. Miriam Budiardjo, Demokrasi Di Indonesia, op, cid., hlm 184.

24


(39)

suara dan dengan jelas dapat dibedakan dari bentuk-bentuk utama lainnya dari tindakan politik.

b. Lobbying mencakup upaya-upaya perorangan atau kelompok untuk menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin-pemimpin politik dengan maksud mempengaruhi keputusan-keputusan mereka mengenai persoalan-persoalan yang menyangkut sejumlah besar orang. c. Kegiatan organisasi menyangkut partisipasi sebagai anggota atau pejabat

dalam suatu organisasi yang tujuannya utama dan eksplisit adalah mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.

d. Mencari koneksi (contacting) merupakan tindakan perorangan yang ditujukan terhadap pejabat-pejabat pemerintah dan biasanya dengan maksud memperoleh manfaat bagi hanya satu orang atau segelintir orang. e. Tindak kekerasan (violence) juga dapat merupakan satu bentuk partisipasi politik, dan untuk keperluasan analisa ada manfaatnya untuk mendefinisikannya sebagai satu kategori tersendiri, artinya sebagai upaya untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah dengan jalan menimbulkan kerugian fisik terhadap orang-orang atau harta benda.

Rousseau menyatakan bahwa “Hanya melalui partisipasi seluruh warga

negara dalam kehidupan politik secara langsung dan bekelanjutan negara dapat terikat ke dalam tujuan kebaikan sebagai kehendak bersama.”


(40)

Partisipasi masyarakat sangat diperlukan dalam sistem Pemilu. Partisipasi masyarakat dapat dilakukan dalam bentuk sosialisasi Pemilu, perhitungan cepat hasil pemilu (quick count), dengan ketentuan25:

1. Tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu

2. Tidak mengganggu proses penyelenggaraan pemilu

3. Bertujuan meningkatakan partisipasi politik masyarakat secara laus 4. Mendorong terwujudnya suasana yang kondusif bagi penyelenggaraan

pemilu yang aman, damai, tertib dan lancar.

Berbagai bentuk partisipasi politik tersebut dapat dilihat dari berbagai kegiatan warga negara yang mencakup antara lain:

a. Terbentuknya organisasi-organisasi politik maupun organisasi masyarakat sebagai bagian dari kegiatan sosial, sekaligus sebagai penyalur aspirasi rakyat yang ikut menentukan kebijakan negara.

b. Lahirnya lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebagai kontrol sosial maupun pemberi masukan terhadap kebijakan pemerintah.

c. Pelaksanaan pemilu yang memberi kesempatan kepada warga negara untuk dipilih atau memilih, misalnya kampanye menjadi pemilih aktif, menjadi anggota DPR, menjadi calon presiden yang dipilih langsung dan sebagainya.

25


(41)

d. Munculnya kelompok-kelompok kontemporer yang memberi warna pada sistem input dan output kepada pemerintah, misalnya melalui unjuk rasa, petisi, protes, demonstrasi, dan sebagainya.

2.3.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi

Terdapat banyak hal yang mempengaruhi partisipasi seseorang dalam suatu kegiatan tertentu. Menurut Myron Weiner paling tidak ada 5 faktor yang menyebabkan timbulnya gerakan ke arah partisipasi lebih luas dalam proses politik ini26:

a.Modernisasi. Modernisasi di segala bidang berimplikasi pada komersialisasi pertanian, industrialisasi, meningkatnya arus urbanisasi, peningkatan tingkat pendidikan, meluasnya peran media massa dan media komunikasi. Kemajuan itu berakibat pada meningkatnya partisipasi warga negara, terutama di perkotaan, untuk turut serta dalam kekuasaan politik. Mereka ini misalnya kaum buruh, para, pedagang dan para profesional.

b. Terjadinya perubahan-perubahan struktur kelas esensial. Dalam hal ini adalah munculnya kelas menengah dan pekerja baru yang semakin meluas dalam era industrialisasi. Kemunculan mereka tentu saja dibarengi tuntutan-tuntutan baru pada gilirannya akan mempengaruhi kebijakan- kebijakan pemerintah.

26


(42)

c. Pengaruh kaum intelektual dan meningkatnya komunikasi massa. Ide-ide nasionalisme, liberalisme, dan egaliterisme membangkitkan tuntutan- tuntutan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.

d. Adanya konflik di antara pemimpin-pemimpin politik. Pemimpin politik yang saling memperebutkan kekuasaan, seringkali untuk mencapai kemenangan dilakukan dengan cara mencari dukungan massa. Dalam konteks ini seringkali terjadi partisipasi yang dimobilisasikan.

e. Adanya keterlibatan pemerintah yang semakin meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan kebudayaan. Meluasnya ruang lingkup aktivitas pemerintah ini seringkali merangsang tumbuhnya tuntutan yang terorganisasi untuk ikut serta dalam mempengaruhi perbuatan keputusan politik. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari perbuatan pemerintah dalam segala bidang kehidupan.

2.4 Tinjauan Tentang Pendidikan 2.4.1 Pengertian Pendidikan

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, mendefinisikan Pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.


(43)

Pendidikan bagi kehidupan umat manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan sama sekali mustahil suatu kelompok manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan aspirasi (cita-cita) untuk maju, sejahtera dan bahagia menurut konsep pandangan hidup mereka.27

Semakin tinggi cita-cita manusia semakin menuntut kepada peningkatan mutu pendidikan sebagai sarana mencapai cita-cita tersebut. Akan tetapi dibalik itu, karena didorong oleh tuntutan hidup (rising demands) yang meningkat pula. Itulah sebabnya pendidikan beserta lembaga-lembaganya harus menjadi cermin dari cita-cita kelompok manusia di satu pihak dan pada waktu bersamaan, pendidikan sekaligus menjadi lembaga yang mampu mengubah dan meningkatkan cita-cita hidup kelompok manusia sehingga tidak terbelakang dan statis.28

Adapun dalam proses pendidikan tersebut tercermin29:

a. Adanya obyek, yaitu peserta didik yang dituntut perkembangan lahir batinnya serta pengetahuan dan keterampilan.

b. Adanya tujuan, yaitu mendewasakan pikiran peserta didik sehingga mampu melakukan fungsinya dengan baik.

c. Adanya cara atau metode tertentu yang digunakan dalam mencapai tujuan pendidikan.

27

Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan, PT. Rineka Cipta, 2008, Jakarta, cet ke-5, hlm 2.

28

ibid, hlm. 3

29


(44)

Dalam catatan sejarah setiap sistem politik telah mengembangkan atau menyesuaikan lembaga-lembaga pendidikan generasi muda guna mempertahankan kelangsungan hidup dan meningkatkan kualitas bangsa.

2.4.2 Tingkat Pendidikan

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional, pasal 14 menyebutkan “Jenjang pendidikan formal terdiri atas

pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi”. Sedangkan dalam pasal satu (1) angka (10) menyebutkan bahwa

“pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan diluar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang”

Sedangkan menurut Sudjarwo dan Basrowi tingkat pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan.

Tingkat pendidikan dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:

1. Formal, pendidikan formal dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu:

- Jenjang pendidikan dasar (SD/ MI/ SMP/ MTS) atau yang sederajat yang dibuktikan dengan ijazah.

- Jenjang pendidikan menengah (SMA/MA, SMK) atau yang sederajat yang dibuktikan dengan ijazah.

- jenjang pendidikan tinggi (diploma, sarjana, magister, spesialis dan doktor) atau yang sederajat yang dibuktikan dengan ijazah..


(45)

2. Non-Formal: lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.

3. Informal: dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.30

Dengan demikian dapat disimpulkan, Sistem Pendidikan Nasional yang diterapkan di Indonesia meliputi tiga jenjang pendidikan formal yang diselenggarakan oleh pemerintah secara sistematis dan berkelanjutan.

2.4.3 Faktor-faktor Pendidikan

Ada enam faktor dalam aktivitas pendidikan yang dapat membentuk pola interaksi atau saling mempengaruhi namun faktor integratirnya terutama terletak pada pendidik dengan segala kemampuan dan keterbatasannya. Keenam faktor pendidikan tersebut meliputi31:

a. Faktor Tujuan

Dalam praktek pendidikan, baik dilingkungan keluarga, disekolah maupun di masyarakat luas, banyak sekali tujuan pendidikan yang diinginkan oleh pendidik agar dapat dicapai (dimiliki) oleh peserta didiknya. Menurut Langevel dalam bukunya Beknopte Teoritische Pedagogik dibedakan adanya macam-macam tujuan sebagai berikut: 1. Tujuan umum

2. Tujuan tak sempurna (tak lengkap) 3. Tujuan sementara

4. Tujuan perantara 5. Tujuan insidental 30

Sudjarwo dan Basrowi. Pranata dan Sistem Pendidikan, Jenggala Pustaka Utama, Kediri, 2008, hlm: 35-36.

31


(46)

b. Faktor Pendidik

Pendidik dibedakan menjadi dua kategori: 1) Pendidik menurut kodrat, yaitu orangtua, dan 2) Pendidik menurut jabatan, ialah guru.

c. Faktor Peserta Didik

Dalam pendidikan tradisional, peserta didik dipandang sebagai organisme yang pasif, hanya menerima informasi dari orang dewasa. Kini dengan cepatnya perubahan sosial, dan berkat penemuan tekhnologi, maka komunikasi antar manusia berkembang amat cepat. Secara teoritis peserta didik bisa berkembang secara optimal dalam arti mampu berkembang kreatif optimal.

d. Faktor Isi/ Materi Pendidikan

Segala sesuatu oleh pendidik langsung diberikan kepada peserta didik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.

e. Faktor Metode Pendidikan

Peristiwa pendidikan ditandai dengan adanya interaksi edukatif. Agar interaksi ini dapat berlangsung secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuan, maka disamping dibutuhkan pemilihan bahan/ materi pendidikan yang tepat, perlu dipilih metode yang tepat pula.

f. Faktor Situasi Lingkungan

Situasi lingkungan mempengaruhi proses dan hasil pendidikan. Situasi lingkungan ini meliputi lingkungan fisis, lingkungan teknis dan lingkungan sosio-kultural. Dalam hal-hal dimana situasi lingkungan ini berpengaruh secara negatif terhadap pendidikan, maka lingkungan itu menjadi pembatas pendidikan.


(47)

2.4.4 Fungsi dan Tujuan Pendidikan

Fungsi pendidikan dalam arti mikro (sempit) ialah membantu (secara sadar) perkembangan secara jasmani dan rohani peserta didik. Fungsi pendidikan secara makro (luas) ialah sebagai alat: a.Pengembangan pribadi; b.Pengembangan warga negara; c.Pengembangan kebudayaan; d. Pengembangan bangsa. 32

Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa:

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Kesimpulan yang dapat diambil dari definisi diatas adalah bahwa fungsi diselenggarakannya Pendidikan Nasional adalah guna mencapai tujuan-tujuan pemberdayaan dan pengembangan pengetahuan seluruh Warga Negara Indonesia.

2.5 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Partisipasi Politik

Gabriel A. Almond mengungkapkan bahwa apa yang dicapai dibidang pendidikan nampaknya mempunyai pengaruh demografis terpenting terhadap sikap politik.

32


(48)

Pendidikan dan status merupakan faktor terpenting dalam proses partisipasi atau dengan perkataan lain orang yang pendapatannya tinggi, yang berpendidikan baik, dan yang berstatus sosial tinggi, cenderung untuk lebih banyak berpartisipasi daripada orang yang pendapatan serta pedidikannya rendah.33

Tabel 2.1 Karakteristik Sosial Berhubungan dengan Partisipasi dalam Voting

Kategori Partisipasi lebih tinggi Partisipasi lebih rendah

Pendapatan Pendapatan tinggi Pendapatan rendah

Pendidikan Pendidikan tinggi Pendidikan rendah

Pekerjaan Orang bisnis Karyawan kantor Pegawai pemerintah

Petani pedagang (commercial crop farmers)

Buruh tambang

Buruh kasar

Pembantu rumah tangga

Karyawan dinas-dinas pelayanan Petani kecil

Ras Kulit Putih Kulit hitam

Jenis kelamin Pria Wanita

Umur Setengah baya (35-55) Tua (55 ke atas)

Muda (dibawah 35)

Sumber: Miriam Budiardjo, 2008: 378

Masa revolusi industri telah mulai membuka pemikiran masyarakat hampir di seluruh negara bagian termasuk Indonesia mengenai pentingnya pendidikan. Faktor pendidikan mulai digalakkan disebabkan oleh pemikiran masyarakat mengenai perubahan tenaga manusia yang akan digantikan dengan mesin-mesin yang lebih cepat dan efisien dalam pengerjaan produk dan sebagainya. Tidak hanya karena ketakutan akan digantikannya tenaga manusia dengan mesin, dari bagan di atas terlihat bahwa salah satu faktor

33


(49)

penentu berjalannya proses demokrasi adalah faktor pendidikan, dimana seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa pendidikan yang tinggi akan menghasilkan masyarakat yang aktif serta memiliki pengetahuan yang luas mengenai mekanisme politik demokrasi.

Pada tahap selanjutnya, pendidikan demokrasi akan menghasilkan masyarakat yang mendukung sistem politik yang demokratis. Sistem politik demokrasi hanya akan langgeng apabila didukung oleh masyarakat demokratis, yaitu masyarakat yang berlandaskan pada nilai-nilai demokrasi serta berpartisipasi aktif mendukung kelangsungan pemerintahan demokrasi di negaranya. Pendidikan pada umumnya dan pendidikan demokrasi pada khususnya akan diberikan seluas-luasnya bagi seluruh warganya. Warga negara yang berpendidikan dan memiliki kesadaran politik tinggi diharapkan oleh negara demokrasi. Hal ini bertolak belakang dengan negara otoriter atau model diktator yang takut dan merasa terancam oleh warganya yang berpendidikan.

Sosialisasi nilai-nilai demokrasi melalui pendidikan adalah bagian dari sosialisasi politik itu sendiri. Sosialisasi politik mencakup pengertian yang luas sedangkan pendidikan demokrasi mengenai cakupan yang lebih sempit. Sesuai dengan makna pendidikan sebagai proses yang sadar dan terencana, sosialisasi nilai-nilai demokrasi dilkakukan secara terencana, terprogram, terorganisasi secara baik dan khususnya melalui pendidikan formal.


(50)

Pendidikan formal dalam hal ini sekolah, berperan penting dalam melaksanakan pendidikan demokrasi kepada generasi muda.34

Pendidikan mempunyai pengaruh yang majemuk terhadap kompetensi politik. Bukan saja individu dengan pendidikan lebih tinggi di sekolah mempelajari keterampilan yang relevan di bidang politik, tetapi ia pun lebih mungkin memasuki hubungan non-politik yang meningkatkan kadar kompetensi politiknya.35 Dengan demikian keanggotaan seseorang pada organisasi non-politik pun akan mempengaruhi partisipasi politik seseorang walaupun secara tidak langsung.

2.6 Kerangka Pikir

Fokus penelitian ini lebih kepada hubungan tingkat pendidikan terhadap partisipasi pemilih pada Pemilukada di Bandar Lampung, dalam hal ini hubungan tingkat pendidikan diukur melalui instrumen partisipasi pemilih yang diukur dari:

a. Kegiatan pemilihan

b. Lobbying (upaya menghubungi pejabat) c. Kegiatan organisasi

d. Mencari koneksi (contecting) e. Tindak kekerasan (violence)

34

Winarno, S.Pd., M.Si, Pardigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan Panduan Kuliah di Perguruan Tinggi, PT Bumi Aksara, 2009, Jakarta, hlm. 112.

35


(51)

Demokrasi sebagai konsep terbaik yang dimiliki oleh masyarakat dalam proses penyaluran aspirasi serta penyampaian pendapat mengenai pemilihan pemimpin bangsa semakin berkembang, hal ini terlihat dengan telah diaplikasikannya Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) sejak tahun 2005 demi terciptanya pemerintahan yang memiliki legitimasi dari rakyat.

Diberlakukannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang di dalamnya terdapat aturan mengenai pemilihan umum kepala daerah, maka dapat dikatakan bahwa saat ini kedaulatan negara benar-benar ada di tangan rakyat. Hak masyarakat dalam berpendapat disiarkan secara jelas melalui pesta demokrasi yang disebut Pemilihan Umum (Pemilu) atau di daerah disebut dengan Pemilukada.

Partisipasi masyarakat yang seluas-luasnya merupakan kondisi mutlak yang harus terjadi. Partisipasi masyarakat dapat menggambarkan sukses atau tidaknya Pemilukada yang berjalan pada masa tersebut. Hingga saat ini yang terjadi adalah, menurunnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pesta demokrasi di Indonesia khususnya kota Bandar Lampung, padahal jika dihitung dengan jari tangan, umur penerapan Pemilukada masih sangat dini untuk disia-siakan.

Tingkat pendidikan masyarakat akan menjadi variabel penting dalam mempengaruhi partisipasi masyarakat. Uraian sebelumnya dinyatakan bahwa tingkat pendidikan tertentu akan menghasilkan partisipasi politik dengan kadar tertentu pula. Jika pendidikan individu masyarakat tinggi, maka pengetahuan serta wawasannya terhadap suatu gejala politik akan semakin


(52)

luas, sehingga respon atas pemahaman terhadap gejala politik tersebut akan semakin aktif. Sebaliknya, jika tingkat pendidikan seseorang rendah, maka pemahaman serta wawasannya mengenai gejala politik dapat dikatakan sempit.

Diakhir kerangka pikir, dengan mengemukakan beberapa indikator, antara jumlah pemilih yang terdaftar dan partisipasi masyarakat, akan muncul 3 konklusi tentang partisipasi masyarakat yang dimaksud, yaitu tinggi, sedang dan rendah.

Bagan 2.1 Kerangka Pikir

X Y

Keterangan:

X= Variabel bebas, yaitu tingkat pendidikan pemilih

Y= partisipasi pemilih dalam pemilihan Walikota dan Wakil Walikota 2010 Partisipasi Politik dalam Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota di Bandar Lampung Tahun 2010:

1. Kegiatan pemilihan 2. Lobbying (upaya

menghubungi pejabat) 3. Kegiatan organisasi 4. Mencari koneksi

(contacting) 5. Tindak kekerasan

(violence)

Sumber: Samuel P Huntington dan Joan Nelson (1994: 16-18) Jenjang Pendidikan

a. Jenjang pendidikan dasar (SD/ MI, SMP/ MTS atau yang sederajat)

b. Jenjang pendidikan menengah (SMA/ MA, SMK, atau yang sejenis) c. Jenjang pendidikan

tinggi (diploma, sarjana, magister, spesialis dan doktor)

Sumber: Sudjarwo dan Basrowi, 2008: 35-36


(53)

Berdasarkan uraian diatas diharapkan penelitian ini dapat menganalisis untuk menuju pada suatu kesimpulan ada atau tidaknya hubungan tingkat pendidikan pemilih dalam pemilihan Walikota dan Wakil Walikota di Bandar Lampung pada tahun 2010.

2.8 Hipotesis

Hipotesis adalah penjelasan tentatif (sementara) tentang tingkah laku, fenomena (gejala), atau kejadian yang akan terjadi; bisa juga mengenai kejadian yang sedang berjalan. Berdasarkan latar belakang masalah, rumusan masalah dan kerangka pemikiran, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Ho : tidak ada hubungan tingkat pendidikan pemilih dalam Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota tahun 2010 di Bandar Lampung.

Ha : ada hubungan tingkat pendidikan pemilih dalam Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota tahun 2010 di Bandar Lampung.


(54)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe penelitian survey dengan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif, merupakan model keputusan yang mempergunakan angka. Secara teori, peneliti kuantitatif menyisihkan dan menentukan ubahan-ubahan dan kategori-kategori variabel. Semua variabel tersebut terikat dalam bingkai hipotesis yang seringkali hadir lebih dahulu sebelum adanya data pada pendekatan kuantitatif, dalam hal pengamatan dilakukan melalui lensa yang sempit pada serangkaian variabel yang telah didesain sebelumnya.1

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif karena fokus dari penelitian ini adalah untuk mengetahui angka dari hubungan tingkat pendidikan terhadap partisipasi Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota (Pilwakot) yang terjadi di Bandar Lampung tahun 2010. Survey yang digunakan adalah untuk mengetahui ada tidaknya hubungan tingkat pendidikan pemilih dalam partisipasi pemilih pada Pilwakot yang terjadi di Kota Bandar Lampung pada tahun 2010. Survey dilakukan dengan mengambil sample dari suatu populasi, yaitu masyarakat kota Bandar Lampung yang telah terdaftar sebagai DPT

1

Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, PT Gelora Aksara Pratama, 2009, Yogyakarta, edisi kedua, hlm. 21.


(55)

sejak tahun 2010 dengan pengumpulan datanya menggunakan serangkaian pertanyaan tersusun dalam suatu daftar pertanyaan kuisioner.

3.2 Definisi Konseptual

Definisi konseptual merupakan batasan terhadap masalah-masalah variabel yang dijadikan pedoman dalam penelitian sehingga akan memudahkan dalam mengoperasionalkannya di lapangan. Untuk memahami dan memudahkan dalam menafsirkan banyak teori yang ada dalam penelitian ini, maka akan ditentukan beberapa definisi konseptual yang berhubungan dengan yang akan diteliti, antara lain:

a. Tingkat Pendidikan

Sudjarwo dan Basrowi menjelaskan Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan.2 b. Partisipasi Politik

Samuel P.Huntington dan Joan M. Nelson dalam No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries dalam Miriam Budiardjo (1994) :

“partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif (By

2


(56)

political participation we mean activity by private citizens designed to influence government decision-making. Paticipation may be individual or collective, organized or spontaneous, sustained or sporadic, peacful or violent, legal or ilegal, effective or ineffective”3

3.3 Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan petunjuk tentang bagaimana suatu variabel diukur. Dengan melihat definisi operasional suatu penelitian, maka seorang peneliti akan dapat mengetahui suatu variabel yang akan diteliti.

Tabel 3.1 Definisi Operasional

3

Prof. Miriam Budiardjo, Demokrasi Di Indonesia., op, cid, hlm: 184

Variabel Definisi Variabel Indikator Skala

1 2 3

Tingkat Pendidikan (X)

(Sudjarwo dan Basrowi, 2008: 35-36)

tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan.

1. Rendah: SD dan SMP atau yang sederajat 2. Sedang: SMA/ SMK

atau yang sederajat 3. Tinggi: akademi atau

perguruan tinggi atau yang sederajat.

Likert

Partisipasi Pemilih (Y)

( Samuel P.Huntington dan Joan M. Nelson, 1994: 15-16)

“partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif.

1. Kegiatan pemilihan

2. Lobbying (upaya

menghubungi pejabat) 3. Kegiatan organisasi 4. Mencari koneksi

(contacting) 5. Tindak kekerasan

(violence)


(57)

3.4 Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel 3.4.1 Populasi

Populasi adalah semua individu atau unit-unit yang menjadi target penelitian. Populasi dalam setiap penelitian harus disebutkan secara tersurat yaitu yang berkenaan dengan besarnya anggota populasi serta wilayah penelitian yang disebutkan secara tersurat yaitu yang berkenaan dengan besarnya anggota populasi serta wilayah penelitian yang dicakup. Tujuan diadakannya populasi ialah agar kita dapat menentukan besarnya anggota sampel yang diambil dari anggota populasi dan membatasi berlakunya daerah generalisasi.4

Populasi dalam penelitian ini adalah Masyarakat di Kelurahan Palapa Kecamatan Tanjung Karang Pusat Kota Bandar Lampung yang telah melakukan pemilihan sejak tahun 2004 atau minimal saat ini telah berumur 21 tahun, atau pada saat pemilihan Walikota dan Wakil Walikota telah memenuhi syarat untuk menjadi DPT. Populasi dalam penelitian ini berjumlah 3.171 DPT.

3.4.2 Sampel

Penelitian yang memiliki jumlah populasi yang besar tidak memungkinkan untuk meneliti seluruh populasi yang terdapat di lokasi penelitian. Oleh karena itu perlu dilakukan perhitungan-perhitungan hanya dalam bagian unit

populasi saja. keterangan diambil dari “wakil populasi”. Wakil populasi

4

Husaini Usman dan R. Purnomo Setiady Akbar, Pengantar Statistika, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2009, hlm: 181.


(58)

tersebut disebut sampel. Adapun rumus yang digunakan untuk menentukan sampel yaitu menggunakan penentuan sampel yang dikembangkan oleh Isaac dan Michael sebagai berikut:

Keterangan5:

λ2

dengan dk = 1, taraf kesalahan bisa 1%, 5%, 10% P = Q= 0,5. d= 0,005.

s = jumlah sampel

Berdasarkan rumus diatas, dengan taraf kesalahan 10% jumlah sampel dalam penelitian ini berjumlah 248 responden.

Sampel dalam penelitian ini adalah masyarakat Kelurahan Palapa Kecamatan Tanjung Karang Pusat Bandar Lampung sebanyak 248 responden yang telah berumur 17 tahun dan telah melakukan pemilihan umum minimal pada Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2010 di Bandar Lampung.

3.4.3 Teknik Pengambilan Sampel

Teknik sampling merupakan tehnik pengambilan sampel. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini awalnya ditentukan secara sengaja (Purposive Sampling) untuk menentukan

5

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung, 2008: Alfabeta, hlm: 87.

S = λ2 . N. P. Q d2 (N-1) + λ2 . P. Q


(59)

kecamatan penelitian yang tepat berdasarkan data yang ada. Setelah ditentukan kecamatan, kemudian digunakan Sampling Random Sederhana (Simple Random Sampling). Ciri utama sampling ini ialah setiap unsur dari keseluruhan populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih. Caranya ialah dengan menggunakan undian, ordinal, table bilangan random, atau komputer. Keuntungannya adalah anggota sampel mudah dan cepat diperoleh. Kelemahannya ialah kadang-kadang tidak mendapatkan data yang lengkap dari populasinya.

Peneliti memilih Kecamatan Tanjung Karang Pusat karena daerah ini memiliki tingkat partisipasi paling rendah dari semua kecamatan yang ada di Bandar Lampung, yaitu hanya 48% DPT yang menggunakan hak pilih, atau sebanyak 28.101 yang tidak menggunakan hak pilih dari 54.531 DPT yang memiliki hak pilih (sumber: perolehan suara pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah tahun 2010 oleh KPU Provinsi Lampung), dari kelurahan yang ada di kecamatan Tanjung Karang Pusat dengan random sampling sederhana (diundi) terpilih kelurahan Palapa dengan 3.171 DPT.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Setelah data dilapangan berhasil dikumpulkan, maka tahap selanjutnya adalah dengan mengolah data yang ada tersebut. Adapun teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah:


(60)

1. Kuisioner

Data dikumpulkan dari responden dengan menggunakan kuisioner. Teknik ini dilakukan dengan cara menyebar daftar pertanyaan atau kusioner yang disediakan sebelumnya dengan maksud untuk mengumpulkan data dan informasi langsung dari responden yang bersangkutan. Adapun kuisioner yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner terstruktur. Kuisioner dalam penelitian ini, dimaksud untuk memperoleh data primer dan merupakan teknik utama dalam pengumpulan data.

Untuk mengolah data yang berbentuk kuisioner yang dituangkan dalam pernyatan-pernyataan, masing-masing pertanyaan diberikan alternatif jawaban berdasarkan metode likert.

Untuk keperluan analisis kuantatif, maka jawaban dapat diberi skor, misalnya6:

1. Sangat Setuju/selalu/sangat positif diberi skor 2. Setuju/sering/positif diberi skor

3. Ragu-ragu/kadang-kadang/netral diberi skor

4. Tidak setuju/hampir tidak pernah/sangat negatif diberi skor 5. Sangat tidak setuju/tidak pernah diberi skor

5 4 3 2 1

2. Dokumentasi

Tehnik yang digunakan dalam mendapatkan sumber data sekunder yang berhubungan dengan penelitian, berupa literatur yang berhubungan dengan keadaan kelurahan Palapa. Adapun dokumen yang digunakan untuk mengungkapkan data, diantaranya untuk memperoleh data

6


(61)

monografi Kelurahan Palapa Kecamatan Tanjung Karang Pusat Bandar Lampung.

3. Wawancara

Mengadakan tanya jawab secara langsung dengan masyarakat kelurahan Palapa yang menjadi populasi penelitian untuk memperoleh informasi yang akurat dan lengkap. Wawancara dilakukan dengan tetap berpedoman pada daftar kuisioner yang telah disusun.

3.6 Teknik Pengolahan Data

Data yang sudah diperoleh selanjutnya diolah melalui tahapan-tahapan berikut:

a. Editing

Data yang diperoleh diperiksa meliputi kelengkapan jawaban, dan mengedit data dengan tidak mengubah data aslinya guna menghindari kekeliruan atau kesalahan dalam penulisan, sehingga akan mendukung proses penelitian selanjutnya dan data yang didapat tetap original. Angket diberikan kepada seluruh responden yang berjumlah 248 orang, seluruh responden mengembalikan angket dalam keadaan tidak rusak, kelengkapan identitas pengisi yang jelas, jawaban yang lengkap, dan tulisan yang jelas.

b. Koding

Jawaban dari responden diklasifikasikan menurut jenis pernyataan untuk kemudian diberi kode dan dipindahkan dalam tabel kode. Dalam tahap ini peneliti mempelajari terlebih dahulu jawaban responden, mengkategorikan


(62)

jawaban dan memberikan kode untuk setiap pernyataan angket satu persatu sesuai dengan skala/angka-angka kode.

c. Data Entry

Peneliti mengelompokkan jawaban-jawaban yang serupa dari setiap item pernyataan di dalam angket dari 248 responden. Pada proses ini jawaban-jawaban dari pernyataan angket dimasukkan ke dalam tabel dan diubah menjadi skor angka dengan tujuan untuk menyederhanakan data tersebut agar mudah dipahami. Pada tahapan ini data dianggap sudah selesai diproses oleh karena itu harus segera disusun dalam suatu format yang sebelumnya sudah dirancang.

d. Interpretasi, yaitu tahap untuk untuk memberikan penafsiran atau penjabaran dari data yang ada pada tabel untuk dicari maknanya yang lebih luas dengan menghubungkan jawaban dari responden dengan hasil yang lain, serta dari dokumentasi yang ada sehingga dapat ditarik kesimpulan sebagai hasil penelitian.

3.7 Teknik Pengujian Instrumen

Validitas dan reliabilitas instrumen merupakan dua hal yang sangat penting dalam suatu penelitian ilmiah, karena kedua hal tersebut merupakan karakter utama yang menunjukkan apakah suatu alat ukur dapat dikatakan baik atau tidak. Validitas dan reliabilitas instrumen perlu diketahui sebelum digunakan dalam pengambilan data agar kesimpulan penelitian nantinya tidak keliru dan tidak memberikan gambaran yang jauh berbeda dari keadaan yang sebenarnya.


(1)

101

c. Rendahnya partisipasi masyarakat berpendidikan tinggi di

Kelurahan Palapa Tanjung Karang Pusat lebih banyak disebabkan

oleh faktor internal, yaitu kekecewaan masyarakat terhadap

pemerintahan yang telah berlangsung yang menimbulkan sikap

apatis terhadap sistem penyelenggaran pemilihan kepala daerah.

d. Otonomi daerah yang terjadi di aras lokal masih terbatas pada

otonomi pemerintahan daerah yang di dominiasi oleh elite-elite di

daerah baik dalam lingkup birokrasi maupun partai politik, dan hal

ini berdampak pada munculnya sikap apatis masyarakat yang

diikuti oleh rendahnya partisipasi masyarakat pada proses


(2)

102

5.2 Saran

Dari kesimpulan yang telah diuraikan di atas, terdapat beberapa saran yang

ingin disampaikan yaitu:

a. Semangat demokratisasi di tingkat lokal harus ditingkatkan dengan cara

pembenahan sistem pemilihan kepala daerah sebagai wujud terlaksana

otonomi daerah yang sesungguhnya.

b. Bagi pihak penyelenggara pemilihan (KPU) dan partai politik, sangat penting

untuk membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya menggunakan hak

pilih pada Pemilihan Kepala Daerah, hal ini sangat berguna untuk

menyukseskan sistem Demokrasi dalam rangka penyelenggaraan otonomi

daerah.

c. Pemilihan Umum pada dasarnya adalah urusan kepercayaan masyarakat

terhadap pemerintah, oleh sebab itu diharapkan pemerintah dan partai

politik dapat meningkatkan derajat kepercayaan masyarakat terhadap

proses politik dan proses pemilihan kepala daerah secara langsung.

d. Masih banyak faktor lain diluar hubungan tingkat pendidikan yan terindikasi

mempengaruhi partisipasi pemilih. Sehingga diharapkan bagi peneliti


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, H. Rozali, 2009, Mewujudkan Pemilu yang Lebih Berkualitas (Pemilu Legislatif), Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Al-Iman, Abu Nashr Muhammad, 2004, Membongkar Dosa-Dosa Pemilu, Jakarta: Prisma Media.

Almond, A. Gabriel, 1984, Budaya Politik Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara, Jakarta: Bina Aksara.

Arikunto, Suharsimi, 2006, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: PT Rineka Cipta.

Budiardjo, Miriam, 1994, Demokrasi di Indonesia Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Budiardjo, Miriam, 2008, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama.

Huntington, P.Samuel dan John Nelson, 1994, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Jakarta: Rineka Cipta.

Idrus, Muhammad, 2009, Metode Penelitian Ilmu Sosial Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, Yogyakarta: PT Gelora Aksara Pratama. Ihsan, Fuad, 2008, Dasar-Dasar Kependidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Irawan, Prasetya, 2007, Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta: DIA FISIP UI.

Pamudji. S, 1994, Perbandingan Pemerintahan, Jakarta: Bumi Aksara.

Rahman, Arifin, 2002, Sistem Politik Indonesia dalam Perspektif Struktual Fungsional, Surabaya: SIC.


(4)

Sahdan, Gregorius, 2004, Jalan Transisi Demokrasi Pasca Soeharto, Yogyakarta: Pustaka Jogja Mandiri.

Sirozi. M, 2005, Politik Pendidikan Dinamika Hubungan Antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sudjarwo dan Basrowi, 2008, Pranata dan Sistem Pendidikan, Kediri: Jenggala Pustaka Utama.

Sugandi, Yogi Suprayogi, 2011, Administrasi Publik Konsep dan Perkembangan Ilmu di Indonesia, Yogyakarta: Graha Ilmu.

Sugiyono, 2008, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta.

Suharizal, 2012, Pemilukada Regulasi, Dinamika, dan Konsep Mendatang, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Surbakti, Ramlan, 1999, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Usman, Husaini dan R. Purnomo Setiady Akbar, 2009, Pengantar Statistika, Jakarta: PT Bumi Aksara.

Winarno, 2009, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan Panduan Kuliah di Perguruan Tinggi, Jakarta: PT Bumi Aksara.

Sumber Lain: Jurnal:

Yusdianto, Identifikasi Potensi Pelanggaran Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) dan Mekanisme PenyelesaiiannyaI. Jurnal Konstitusi Vol II nomor 2, November 2010.


(5)

Undang-undang/ Peraturan Pemerintah:

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daeran, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang “Sistem Pendidikan Nasional”

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang “Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah”

Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 12 Tahun 2010 tentang “Pedoman Tata Cara Pemutakhiran Data dan Daftar Pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah”

Website:


(6)

Dokumen yang terkait

Rekrutmen Calon Kepala Daerah: Studi Terhadap Rekrutmen Calon Walikota Dan Wakil Walikota Dari Partai Demokrat Dalam Rangka Pemilihan Kepala Daerah Kota Medan Tahun 2010

3 57 72

Sengketa pemilihan walikota dan wakil Walikota Tangerang 2013: masalah dan penyelesaian

1 11 122

OPINI MASYARAKAT TERHADAP ISU PUTRA DAERAH MENJELANG PILKADA (Studi Kasus Pada Pemilih Tetap Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Bandar Lampung Periode 2010-2015 di Kelurahan Kampung Baru Kecamatan Kedaton Bandar Lampung)

0 5 4

OPINI MASYARAKAT TERHADAP ISU PUTRA DAERAH MENJELANG PILKADA (Studi Kasus Pada Pemilih Tetap Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Bandar Lampung Periode 2010-2015 di Kelurahan Kampung Baru Kecamatan Kedaton Bandar Lampung)

0 5 4

OPINI MASYARAKAT TERHADAP ISU PUTRA DAERAH MENJELANG PILKADA (Studi Kasus Pada Pemilih Tetap Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Bandar Lampung Periode 2010-2015 di Kelurahan Kampung Baru Kecamatan Kedaton Bandar Lampung)

0 7 4

KARAKTERISTIK PERILAKU PEMILIH DALAM PEMILIHAN WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA BANDAR LAMPUNG 2015 (Studi Kasus Kelurahan Kampung Baru, Bandar Lampung)

1 12 79

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GOLPUT DALAM PEMILIHAN WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA BANDAR LAMPUNG TAHUN 2015(Studi Pada Kelurahan Kampung Baru Kecamatan Labuhan Ratu Kota Bandar Lampung)

1 18 119

EKSPLORASI PERILAKU PEMILIH MUDA PADA PEMILIHAN WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA SURAKARTA TAHUN 2015 Eksplorasi Perilaku Pemilih Muda Pada Pemilihan Walikota Dan Wakil Walikota Surakarta Tahun 2015 Melalui Pendekatan Konsep Trust And Distrust.

0 2 19

EKSPLORASI PERILAKU PEMILIH MUDA PADA PEMILIHAN WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA Eksplorasi Perilaku Pemilih Muda Pada Pemilihan Walikota Dan Wakil Walikota Surakarta Tahun 2015 Melalui Pendekatan Konsep Trust And Distrust.

0 2 15

PARTISIPASI POLITIK PEMILIH PEMULA DALAM PEMILIHAN WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA MAKASSAR TAHUN 2013

0 1 135