Sengketa pemilihan walikota dan wakil Walikota Tangerang 2013: masalah dan penyelesaian

(1)

SENGKETA PEMILIHAN WALIKOTA DAN WAKIL

WALIKOTA TANGERANG 2013: Masalah dan Penyelesaian

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana sosial (S. Sos)

Oleh:

Sopian Hadi Permana 1110112000012

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

v ABSTRAK

Skripsi ini membahas mengenai sengketa yang terjadi pada tahap pencalonan Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tangerang 2013. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apa yang melatar belakangi KPUD Kota Tangerang tidak meloloskan pasangan Arief R Wismansyah-Sachrudin dan pasangan Ahmad Marju Kodri-Gatot Suprijanto, bagaimana peran Wahidin Halim sebagai Walikota Tangerang dalam sengketa tersebut, dan Bagaimana proses penyelesaiannya. Kerangka teoritis dan konseptual yang digunakan dalam skripsi adalah konsep dan regulasi Pemilihan Kepala Daerah, sengketa Pemilihan Kepala Daerah, dan teori dilema dan pilihan rasional politisi. Dalam penelitian skripsi ini menggunakan metodologi kualitatif. Penelitian dilakukan di wilayah Kota Tangerang selatan secara bertahap sejak bulan Maret sampai Desember 2014. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan wawancara dan studi dokumentasi.

Berdasarkan studi lapangan dalam bentuk wawancara dan studi dokumentasi seperti dokumen KPUD, artikel, berita, dan foto-foto peneliti menemukan bahwa Pasangan Arief-Sachrudin dinyatakan tidak lolos sebagai pasangan calon pada Pilwalkot karena Sachrudin tidak melampirkan surat pengunduran diri sebagai Camat Pinang yang disetujui oleh atasannya yaitu Wahidin Halim.Sedangkan pasangan AMK-Gatot dinyatakan tidak lolos karena jumlah partai pengusungnya kurang setelah partai Hanura melakukan perpindahan dukungan kepada pasangan HMZ-Iskandar. Keputusan KPUD tersebut adalah penyebab terjadinya sengketa pada Pilwalkot Tangerang 2013, hal tersebut karena KPUD telah salah menafsirkan regulasi sehingga keputusan yang dikeluarkan tidak memiliki kekuatan hukum dan keputusan tersebut sarat akan kepentingan.

Peran WH sebagai Walikota Tangerang dalam sengketa yang terjadi cukup besar, karena dengan WH tidak memberikan izin kepada Sachrudin telah menyebabkan pasangan Arief-Sachrudin tidak lolos. Hal tersebut dilakukan WH untuk memuluskan pencalonan adiknya yaitu Abdul Syukur. Proses penyelesaian sengketa yang terjadi dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dimana kedua pasangan calon yang dinyatakan tidak lolos kemudian melapor ke DKPP terkait keputusan tersebut dan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh KPUD Kota Tangerang. DKPP dalam putusannya memberhentikan sementara KPUD Kota Tangerang karena terbukti melanggar kode etik, menginstruksikan KPUD Banten mengambil alih tugas KPUD Kota Tangerang dan mengembalikan hak konstitusional pasangan Arief-Sachrudin dan AMK Gatot sebagai kandidat Pilwalkot Tangerang 2013.


(7)

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji serta syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, nikmat sehat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skiripsi ini. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Rasullullah Muhammad SAW, yang telah berjasa besar membentuk peradaban Islam dan dunia, pembawa jalan kebenaran hingga akhir zaman. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana sosial (S.Sos) di FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Syukur alhamdulillah dengan keyakinan dan usaha serta atas segala petunjuk dan kemudahan yang diberikan Allah SWT kepada penulis akhirnya Skripsi ini dapat terselesaikan.

Dalam proses penyelesaian Skripsi ini tentunya tidak terlepas dari bimbingan, peranan, dan bantuan serta doa dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan ungkapan terima kasih kepada :

1. Kepada Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr, Bahtiar Effendy, M.A.

2. Kepada Ketua Program Studi Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Ali Munhanif, Ph.D.,

3. Kepada Sekretaris Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah yang sekaligus menjadi Dosen pembimbing skripsi, Bapak M. Zaki Mubarak, M. Si,. Terima kasih telah meluangkan waktu, membimbing, memberi nasehat, masukan dan motivasi tanpa henti sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

4. Seluruh Dosen dan staf pengajar pada Program Studi Ilmu Politik di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terimakasih atas pengorbanan waktu dan ilmu yang diberikan kepada penulis. Semoga Allah SWT mencatat semuanya sebagai amal ibadah yang tidak akan terputus hingga akhir zaman.

5. Kepada Bapakku Abdul Jalal M dan Ibuku Rodiah yang tidak henti-hentinya memberikan cinta dan kasih sayang serta doa dan semangat


(8)

vii

kepadaku. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan, kesehatan dan umur panjang kepada mereka.

6. Kepada Kakaku Nurjanah, Abangku Ade Wahyu Hidayat dan adikku Noeroel Hikmah yang selalu memberikan support dan semangat.

7. Kawan-kawan seperjuangan Ilmu Politik angkatan 2010, ade mulyawan, Ramdhani, Astlusani, Imam Utomo, Ichwan, Abdurahman Abudan, Angga, Aris Setiyawan, Maulana, Masrizal, Novian Dwi Cahyo, Sandi Lasmana, Yosep Saepullah. Terimakasih semangat dan motivasinya. 8. Kawan-kawan seperjuangan dan sahabat-sahabatku tercinta, Faisal Husen,

Fadil Arrosyad, Hari Dona Finanda, Aisyah, Adis Puji Astuti, M. Indra Giri, Erwin Saputra, Fathi Andini, Ferdian Ramadhani, Miftahul Choir, Dewi Pratiwi dan Rifai Tobri.

9. Kawan seperjuangan dalam menyusun skripsi, Dinar Annisa Susanti. Akhirnya selesai juga skripsi ini mba setelah perjuangan panjang.

10. Fanny Fatwati Putri yang selalu menjadi penyemangat dalam penyusunan skripsi ini. Terimakasih untuk doa, semangat dan kebahagiaannya. Aku menyayangimu.

11. Kanda dan Yunda tercinta keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam. Yunda Yeni Safitri, Yunda Chitra Dea Gemala, Yunda Elva Farhi Qolbina, Kanda M. Yan Anwar, Kanda Ahmad Fanani, Kanda Kholil dll. 12. Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fisip Cabang

Ciputat. Irfan Zharfandy, Gerry Novandika, Alfrad Rusyd, Ahmad Fatoni, Afina, Aulia Akbar, Rizki Ahmad, Rahmat Syahputra, Dara Amalia, Atina, Hijri Prakarsa, Afdal Fitrah, Bayu Nanda Permana, Alfira, Mutiarani Zahara, Fadli Noor, Fajar Fachrian, Tadzkira, Robiyatul Adawiyah, Aldo, Hervi, Dhoni dan seluruh kader HMI Komfisip.

13. Kawan sekaligus guru Spiritual Kanda Satyawan Pari Kresno, Terimakasih wan atas konsultasinya selama ini.

14. Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Kota Tangerang Selatan. 15. Kelompok KKN Permata UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2013.


(9)

viii

16. Kawan-kawan LEPPAMI yang menjadi teman Mendaki disaat penulis membutuhkan penyegaran.

17. Lisanul Fikri dan Sri Handayani, terimakasih selalu meluangkan waktunya untuk mendengarkan curhatan dan terimakasih sudah membantu perjuanganku.

18. Kepada Kanda Sanusi Ketua KPUD Kota Tangerang 2013-2018 yang telah membantu dan memudahkan proses pencarian data Skripsi ini

19. Bapak Sachrudin Wakil Walikota Tangerang, Bapak Safril Elain mantan Ketua KPUD Kota Tangerang, Bapak Arief Fadilah Sekjen DPC Hanura Kota Tangerang, Bapak Dasep Ketua Teamsus Pasangan Arief-Sahcrudin dan Bapak Syahrul Effendi Kasubag Tekpem KPUD Kota Tangerang yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk menjadi narasumber dalam penyusunan skripsi ini

18. Seluruh pihak yang turut memberikan dukungannya yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah ikut serta memberikan semangat sehingga Skripsi ini dapat terselesaikan.

Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini tidak mungkin dapat dilaksanakan tanpa bantuan, petunjuk, bimbingan, dan saran dari berbagai pihak. Semoga Allah SWT melimpahkan karunia serta anugrah-Nya atas segala bantuan yang telah diberikan, Amin. Karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan pikiran bagi para pembaca sekalian.

Jakarta, 19 Desember 2014


(10)

ix DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

LEMBAR PERYATAAN BEBAS PLAGIARISME ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Peryataan Masalah ... 1

B. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

C. Tinjauan Pustaka ... 11

D. Metode Penelitian ... 13

E. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II KERANGKA TEORITIS & KONSEPTUAL A. Pemilihan Kepala Daerah ... 19

1. Asas Pemilihan Kepala Daerah ... 24

2. Asas dan Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah .. 24

3. Persyaratan Bakal Calon dan Pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ... 25

B. Sengketa Pemilihan Kepala Daerah dan Proses Penyelesaian ... 29

1. Sengketa Pemilihan Kepala Daerah ... 29

2. Penyelesaian Sengketa Pemilihan Kepala Daerah ... 33

C. Dilema Politisi dan Pilihan Rasional Politisi ... 42

BAB III GAMBARAN UMUM KOTA TANGERANG & PELAKSANAAN PILWALKOT TANGERANG 2013 A. Gambaran Umum Kota Tangerang ... 44

1. Kondisi Geografis ... 45

2. Kondisi Ekonomi ... 46


(11)

x

B. Dinamika Sosial Politik Kota Tangerang ... 48

1. Pemilu 2004 ... 49

2. Pilkada 2008 ... 50

3. Pemilu 2009 ... 54

C. Tahapan & Jadwal Penyelenggaraan Pilwalkot Tangerang 2013 ... 55

1. Tahapan Persiapan ... 55

2. Tahapan Pelaksanaan ... 56

BAB IV SENGKETA PILWALKOT TANGERANG 2013 A. Latar Belakang Sengketa Pilwalkot Tangerang 2013 ... 65

1. Perpindahan Dukungan Partai Hanura & Tidak Lolosnya Pasangan AMK-Gatot Sebagai Kandidat Pilwalkot 2013 ... 66

2. Tidak Lolosnya Pasangan Arief-Sachrudin Sebagai Kandidat Pada Pilwalkot 2013 ... 69

3. Netralitas dan Lemahnya Pemahaman KPUD Terhadap Regulasi ... 72

4. Respon Pasangan Arief-Sachrudin dan AMK-Gatot ... 78

B. Peran Wahidin Halim dalam Sengketa Pilwalkot Kota Tangerang 2013 ... 80

1. Usaha Wahidin Halim Menjegal Pasangan Arief-Sachrudin ... 1

2. Posisi Dilematis dan Netralitas Wahidin Halim ... 84

C. Proses Penyelesain Sengketa Pilwalkot Tangerang 2013 ... 86

1. Arief-Sachrudin Melapor ke Panwaslu dan Menggugat ke PTUN ... 86

2. Pasangan Arief-Sachrudin dan AMK-Gatot Melapor ke DKPP ... 88

3. Sidang Pelanggaran Kode Etik KPUD Kota Tangerang oleh DKPP ... 90

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 94

B. Saran ... 98

DAFTAR PUSTAKA ... xii LAMPIRAN


(12)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel III.I. Luas Wilayah Menurut Kecamatan di Kota Tangerang ... 46 Tabel III.II. Kependudukan Kota Tangerang ... 48 Tabel III.III. Perolehan Kursi Partai Politik di DPRD

Kota Tangerang Tahun 2004 ... 49 Tabel III.IV. Perolehan Suara Pilkada Kota Tangerang 2008 ... 52 Tabel III.V. Perolehan Kursi Partai Politik di DPRD

Kota Tangerang 2009 ... 54 Tabel III.VI. Hasil Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara

Pilwalkot Tangerang 2013... 62

Tabel III.VII. Hasil Perolehan Suara Pilwalkot Tangerang 2013


(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah

Sejak gelombang reformasi bergulir, tuntutan akan terlaksananya proses demokratisasi yang lebih baik dan terlaksananya otonomi daerah terdengar disana-sini. Ini menjadi euforia yang wajar, mengingat pemerintahan sebelumnya yang dipimpin oleh rezim otoritarian telah menciderai proses berdemokrasi dan sangat memonopoli Pemerintahan Daerah. Undang-Undang No. 22 tahun 1999 yang mengatur tentang Pemerintah Daerah, telah membawa angin segar bagi terlaksananya otonomi daerah dan proses demokrasi yang lebih bermutu di Indonesia. 1 Perubahan format Pemerintah Daerah setelah berlakunya undang-undang tersebut telah mengakhiri pengaruh Pemerintah Pusat yang begitu dominan terhadap Pemerintah Daerah.

Sejalan dengan semangat desentralisasi, pada tanggal 15 Oktober 2004 disahkan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang merupakan perubahan atas UU No. 22 tahun 1999.2 Dengan demikian, terjadi perubahan terhadap sistem pemilihan Kepala Daerah di Indonesia yang pada awalnya Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan melalui sistem perwakilan (dipilih oleh DPRD) berubah menjadi sistem pemilihan langsung (dipilih langsung oleh rakyat). Pilkada langsung sebagai implementasi

1

Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah (Jakarta: Grasindo, 2005), h. 67.

2

Mohammad Fajrul Falaakh, Legislasi Daerah dan Demokrasi, 8th ed. (Jakarta: Komunitas Indonesia untuk Demokrasi, 2012), h. 40.


(14)

2

UU No. 32 tahun 2004 pertama kali diselenggarakan di Kabupaten Kutai Kartanegara pada tanggal 1 Juni 2005.3

Mekanisme pendaftaran calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam sistem Pilkada langsung menggunakan jalur partai politik. Dimana setiap pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang ingin berkontestasi dalam Pilkada langsung harus diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik. Namun pada tahun 2007 seorang calon Gubernur dari NTB melakukan uji materi UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur persyaratan pencalonan Kepala Daerah yang hanya lewat partai politik.4

Permohonan pengujian yang dilakukan oleh Lalu Ranggalawe (anggota DPRD kabupaten Lombok Tengah) tersebut telah memberikan secercah harapan bagi masyarakat dalam pelaksanaan Pilkada kedepan yang lebih demokratis setelah MK mengabulkan adanya calon independen atau perseorangan dalam proses pencalonan Kepala Daerah.5 Keputusan tersebut kemudian dikuatkan dengan keluarnya UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004.6

Dengan dikeluarkannya Undang-Undang tersebut tentunya telah menambah angin segar bagi perjalanan Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia

3

Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia (Jakarta:LEMLIT-UIN Jakarta, 2011), h. 117.

4 Teuku Kemal Fasya, ”TantanganDemokrasi Calon Independen”, artikel diakses pada

21 Januari 2014 dari http://megapolitan.kompas.com/read/2012/03/29/02044581/Tantangan. Demokrasi.Calon.Independen

5

Yasir Fatahillah, “Calon Independen dalam Pilkada”, artikel diakses pada 21 Januari 2014 dari http://gagasanhukum.wordpress.com/2009/01/15/calon-independen-dalam-pilkada/

6

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Menata Kembali Pengaturan Pemilukada (Jakarta: Perludem, 2011), h. V.


(15)

3

kearah yang lebih demokratis. Selama ini banyak putra-putri terbaik yang gagal maju sebagai calon Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah akibat tidak adanya dukungan dari partai politik dan keterbatasan finansial. Namun, setelah adanya keputusan tersebut banyak calon dari independen atau perseorangan yang ikut berkontestasi dalam Pilkada. Walaupun memang tidak banyak dari calon perseorangan yang terpilih menjadi Kepala Daerah.7

Pilkada secara langsung merupakan sebuah bentuk pembangunan demokrasi di Indonesia kearah yang lebih baik. Banyak kalangan yang berpendapat dengan berubahnya sistem Pilkada menjadi pemilihan langsung, akan lebih mendekati makna demokrasi yang dimaksud dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945.8 Pilkada secara langsung telah menjadi bagian yang tidak dapat terpisahkan dalam pembangunan demokrasi di Indonesia. Hal itu karena, Pilkada langsung merupakan sebuah bentuk konsolidasi demokrasi di tingkat lokal yang diyakini menjadi bagian yang sangat penting dalam mewujudkan konsolidasi tingkat nasional secara lebih kokoh dan demokratis.9

Walaupun sistem Pilkada langsung merupakan bentuk peningkatan kadar demokratisasi dan transparansi, serta dapat terpilihnya figur-figur yang mampu menyelenggarakan Pemerintahan Daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi pada pelaksanaan Pilkada langsung sejak

7

Diakses pada 21 Januari 2014 dari http://www.antaranews.com/print/71463/ artikel diakses pada 21 Januari 2014.

8

Khazanah Peradaban Hukum dan Konstitusi (konstitusi Press), Demokrasi lokal: Evaluasi Pemilukada DI Indonesia (Jakarta: Konpress, 2012), h. 7.

9

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Menata Kembali Pengaturan Pemilukada, h. IV.


(16)

4

Juni 2005 hingga pertengahan tahun 2013 yang sudah dilaksanakan sebanyak 1.026 pilkada (Provinsi 63, Kabupaten 776, dan Kota 187) terdapat banyak

problem-problem dalam proses pelaksanaannya.10

Selama hampir satu dekade pelaksanaan Pilkada secara langsung di Indonesia terdapat banyak sekali permasalahan yang muncul, antara lain: daftar pemilih yang tidak akurat, penyelenggara yang tidak adil dan netral, politisisasi birokrasi, biaya pelaksanaan yang sangat besar, praktik politik uang, pelanggaran kampanye (curi strart kampanye, pelaporan dana kampanye dan kampanye diluar jadwal, serta black campaign), proses pencalonan yang bermasalah, masalah pemungutan dan penghitungan suara, penetapan calon terpilih, tingkat partisispasi yang rendah dan tindak kekerasan. Permasalahan yang ada ini melahirkan ketidakpuasan yang berujung pada pengajuan keberatan atas keputusan yang dikeluarkan oleh penyelenggara Pilkada dan hasil Pilkada ke pengadilan dengan alasan yang beragam.

Berdasarkan data rekapitulasi perkara PHPUD yang dimuat oleh MK sejak tahun 2008 sampai tahun 2013 terdapat 719 gugatan Pilkada ke MK. Dari total tersebut sebanyak 14 gugatan ditarik kembali, 1 dinyatakan gugur, 106 tidak diterima, 318 ditolak, dan hanya 54 yang diterima.11 Sejak tahun 2005 sampai dengan pertengahan tahun 2013 ini, tercatat terjadi kekerasan dalam Pemilihan

10

Diakses pada 26 Agustus 2014 dari Web Resmi Direktorat Jendral Otda Kemendagri RI http://otda.kemendagri.go.id/

11

Diakses pada 27 Agustus 2014 dari Web Resmi Mahkamah Konstitusi http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.RekapPHPUD


(17)

5

Kepala Daerah langsung di 104 lokasi. Dari total 104 lokasi terjadi 585 insiden kekerasan dan 58 persen telah menyebabkan rusaknya sarana fisik.12

Beberapa daerah yang mengalami konflik atau sengketa pada pelaksanaan Pilkada langsung diantaranya Kabupaten Gowa (2010), Kabupaten Ilaga (2011), Provinsi Aceh (2012), Kota Jaya Pura (2010), Kabupaten Lamongan (2010), Kota Tangerang Selatan (2010), Kabupaten Buton (2011) dan yang baru-baru ini terjadi adalah Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tangerang (2013).13 Sengketa yang terjadi pada Pilwalkot Tangerang tahun 2013 silam diawali dengan gugurnya dua pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Tangerang 2013 (Arief R Wismansyah-Sachrudin dan Ahmad Marju Kodri-Gatot) oleh KPUD Kota Tangerang. Sengketa yang terjadi pada pelaksanaan Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tangerang tersebut telah menyita perhatian banyak orang.

Perlu diketahui pada proses pendaftaran Pilwalkot Kota Tangerang setidaknya ada lima bakal calon Walikota dan Wakil Walikota yang mendaftarkan diri ke KPUD Kota Tangerang. Mereka adalah H. Arief R. Wismansyah, Bsc. M.kes-Drs. H. Sachrudin (Demokrat, Gerindra, dan PKB), H. Abdul Syukur-Hilmi Fuad ST.M.Kom (Golkar dan PKS), TB Dedy Suwandi Gumelar-Ir. Suratno Abubakar, MM (PDI-P dan PAN), Dr. HM. Harry Mulya Zein M.Si-Iskandar S.Ag (PPP, PKNU dan Gerindra), dan Ir. H. Ahmad Marju Kodri-Drs.

12

Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri), Konflik dalam Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung: Problematika dan Penanganan (Kajian dan Diskusi Interaktif Strategi Antara)

(Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendagri, 2013), h. 7.

13

Veri Junaidi, Mahkamah Konstitusi Bukan Mahkamah Kalkulator, 2th ed. (Depok: Themis Books, 2013), h. 10-11.


(18)

6

Gatot Suprijanto (Hanura, PDP, PPRN, PKPI, PBR, PDS, PNI Marhaenisme, Partai Patriot dan 15 partai politik non parlemen lainnya).14

Selanjutnya pada pleno tahapan Pilwalkot Kota Tangerang, KPUD Kota Tangerang menetapkan hanya tiga pasangan yang lolos dan ditetapkan sebagai calon Walikota dan Wakil Walikota pada Pilwalkot Kota Tangerang. Ketiga pasangan calon tersebut adalah, Abdul Syukur-Hilmi Fuad, Dedi Gumelar-Suratno Abubakar, Harry Mulya Zein (HMZ)-Iskandar Zulkarnanen. Pasangan Arief R. Wismansyah-Sachrudin dinyatakan tidak lolos karena mereka terganjal masalah administratif yaitu tidak dilengkapinya surat pengunduran diri Sachrudin yang menjabat sebagai Camat Pinang, lantaran Walikota Tangerang Wahidin Halim tidak mengeluarkan surat persetujuan pengunduran dirinya. Sedangkan pasangan Ahmad Marju Kodri-Gatot dinyatakan tidak lolos karena tidak memenuhi syarat dukungan partai politik, yaitu partai pengusungnya kurang dari 15% total raihan suara pada Pileg 2009 setelah partai Hanura menarik dukungannya.15

Keputusan ini tentu sangat mengejutkan banyak pihak, salah satunya adalah pendukung pasangan bakal calon Arief R Wismansyah-Sachrudin. Setelah mendengar keputusan KPUD Kota Tangerang bahwa pasangan yang mereka usung tidak lolos, pada tanggal 25 Juli 2013 ribuan orang pendukung pasangan

14 Himah Komariah, “Pilkada Kota Tangerang: Aksi Pilih Kasih Sang Walikota”, artikel

diakses pada 06 Februari 2014 dari http://politik.kompasiana.com/2013/07/27/pilkada-kota-tangerang-aksi-pilih-kasih-sang-walikota-580220.html

15

Sumantri Handoyo, “Tiga Pasangan Calon Resmi Bersaing di Pemilukada Kota Tangerang”, artikel diakses pada 06 Februari 2014 dari http://www.metrotvnews.com /metronews/read/2013/07/25/5/170964/Tiga-Pasangan-Resmi-Bersaing-di-Pemilu-Kada-Kota-Tangerang


(19)

7

calon Walikota dan Wakil Walikota Tangerang, Arief R Wismansyah-Sachrudin melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor KPUD Kota Tangerang.16 Kemudian pada tanggal 29 Juli 2013, pendukung Arief R Wismansyah-Sahcrudin kembali menduduki kantor KPUD Kota Tangerang.17 Pada hari yang sama para pendukung Arief R Wismansyah-Sachrudin juga melakukan aksi di Kantor KPUD Banten.18

Selain itu, Arief R Wismansyah-Sachrudin dan juga Ahmad Marju Kodri-Gatot mengadukan KPUD Kota Tangerang ke DKPP atas dugaan pelanggaran kode etik. Pada sidang pelanggaran kode etik KPUD Kota Tangerang, DKPP mengabulkan seluruh pengaduan dan menjatuhkan sanksi kepada KPUD Kota Tangerang dan memutuskan agar KPUD Provinsi Banten mengambil alih tugas KPUD Kota Tangerang. Dilain sisi, DKPP memutuskan agar KPUD Provinsi Banten untuk mengembalikan hak atas Ahmad Marju Kodri-Gatot serta Arief R Wismansyah-Sachrudin untuk maju menjadi pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Tangerang 2013.19

Terlepas dari permasalahan yang ada, pada 31 Agustus 2013 proses pemungutan suara dilaksanakan. Pelaksanaan pemungutan suara Pilwalkot Kota

16

Amba Dini Sekarningrum, “Pendukung Arif-Sachrudin Demo KPUD Kota

Tangerang”, Artikel diakses pada 07 Februari 2014 dari http://jakarta.okezone.com/read 2013/07/25/501/ 842291/pendukung-arif-sachrudin-demo-kpud-kota-tangerang

17 Amba Dini Sekarningrum, “Demo Sunyi Pendukung Arief

-Sachrudin”, Artikel diakses

pada 12 Desember 2013 dari http://ekbis.sindonews.com/read/2013/07/29/31/766653/demo-sunyi-pendukung-arief-sachrudin

18

Artikel diakses pada 07 Februari 2014 dari http://www.beritasatu.com/nasional/ 128861-massa-pendukung-pasangan-ariefsachrudin-demo-di-kantor-kpu-banten.html

19

Laksono Hari Wiwoho, “KPU Banten Siap Ambil Alih Pelaksanaan Pilkada Tangerang”, artikel diakses pada 07 Februari 2014 dari http://megapolitan.kompas.com /read/2013/08/06/1921449/KPU.Banten.Siap.Ambil.Alih.Pelaksanaan.Pilkada.Tangerang


(20)

8

Tangerang di ikuti oleh 1.161.855 pemilih di 2.938 TPS.20 Berdasarkan rapat pleno penghitungan suara tingkat KPU, pasangan Arief R Wismansyah- Sachrudin memperoleh suara terbanyak dengan meraih 340.810 suara. Sementara, pasangan Harry Mulya Zein-Iskandar meraih 45.627 suara, pasangan Abdul Syukur-Hilmi Fuad meraih 187.003 suara, pasangan Deddy Gumelar-Suratno Abu Bakar memeroleh 121.375 suara, dan pasangan Ahmad Marju Kodri-Gatot Suprijanto memperoleh 15.060 suara.21

Akan tetapi sengketa yang terjadi pada tahap pencalonan Pilwalkot Kota Tangerang belum juga usai, sengketa harus berakhir di PTUN dan Mahkamah Konstitusi. Setalah proses pemungutan suara ada gugatan yang dilakukan oleh pasangan Harry Mulya Zein–Iskandar, Abdul Syukur–Hilmi Fuad, dan Dedi Gumelar-Suratno Abu Bakar ke PTUN terkait keputusan KPUD Provinsi Banten yang meloloskan pasangan Ahmad Marju Kodri-Gatot dan Arief-Sachrudin. Namun PTUN akhirnya menolak gugatan tersebut, karena putusan KPUD Provinsi Banten dianggap tidak merugikan penggugat secara nyata sebagai akibat adanya keputusan KPUD Provinsi Banten.22

Merasa tidak puas dengan keputusan PTUN, pasangan Harry Mulya Zein-Iskandar dan Abdul Syukur-Hilmi Fuad kemudian menggugat KPUD Provinsi

20

Laksono Hari Wiwoho, “KPU Banten Siap Ambil Alih Pelaksanaan Pilkada Tangerang”.

21

Eri Komar Sinaga, “PTUN Banten Tolak gugatan Miing”, artikel diakses pada 09 Februari 2014 dari http://www.tribunnews.com/metropolitan/2013/10/31/ptun-bantentolak-gugatan-miing-pilkada-tangerang-kini-di-tangan-mk

22

Amba Dini Sekarningrum, “PTUN Tolak Gugatan 3 Paslon di Pilkada Kota

Tangerang”, artikel diakses pada 09 Februari 2014 dari http://metro.sindonews.com/read /2013/10/31/31 /800517/ptun-tolak-gugatan-3-paslon-di-pilkada-kota-tangerang


(21)

9

Banten dan Kota Tangerang ke MK. Kemudian dalam putusan yang dikeluarkan pada 19 November 2013 MK mendiskualifikasi pasangan calon nomor urut empat, Ir. H. Ahmad Marju Kodri-Drs. Gatot Suprijanto sebagai pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Tangerang dan memerintahkan KPUD Provinsi Banten untuk menetapkan pasangan nomor urut lima Arief R Wismansyah-Sachrudin sebagai pasangan calon terpilih Walikota dan Wakil Walikota Tangerang 2013-2018.23

Berdasarkan pernyataan diatas mengenai sengketa yang terjadi pada tahap pencalonan Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tangerang 2013 saya tertarik melakukan penelitian mengenai sengketa yang terjadi pada tahapan penyelenggaraaan Pilwalkot di Kota Tangerang tersebut, adapun judul penelitian saya adalah “Sengketa Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tangerang 2013: Masalah dan Penyelesaian”.

B. Pertanyaan Penelitian

Penelitian skripsi ini secara umum ingin memberikan analisa terhadap sengketa yang terjadi pada tahap pencalonan Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tangerang 2013. Adapun untuk membatasi ruang lingkup penelitian ini, peneliti memiliki beberapa pertanyaan yang menjadi fokus peneliti dalam penelitian ini, yaitu:

23

Islahudin, ”pilkada Tangerang MK Menangkan Pasangan Arif-Sachrudin”, artikel

diakses pada 10 Februari 2014 dari http://www.merdeka.com/peristiwa/pilkada-tangerang-mk-menangkan-pasangan-arif-sachrudin.html


(22)

10

1. Apakah yang menyebabkan pasangan Arief R Wismansyah–Sachrudin dan Ahmad Marju Kodri-Gatot Suprijanto tidak lolos sebagai kandidat pada Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tangerang 2013 oleh KPUD Kota Tangerang?

2. Bagaimana Posisi Wahidin Halim sebagai Walikota Tangerang dalam sengketa Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tangerang 2013?

3. Bagaimana proses penyelesaian sengketa Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tangerang 2013?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui menyebabkan pasangan Arief R Wismansyah– Sachrudin dan Ahmad Marju Kodri-Gatot Suprijanto tidak lolos sebagai kandidat pada Pilwalkot Tangerang 2013 oleh KPUD Kota Tangerang? b. Untuk mengetahui Posisi Wahidin Halim sebagai Walikota Tangerang

dalam sengketa Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota 2013?

c. Untuk mengetahui proses penyelesaian sengketa Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tangerang 2013?

2. Manfaat Penelitian Manfaat Akademis

a. Memperkaya studi tentang politik lokal terutama mengenai Pemilihan Kepala Daerah.


(23)

11

b. Memberikan gambaran mengenai sengketa yang terjadi pada Pilwakot Kota Tangerang pada tahun 2013.

Manfaat Praktis

a. Memberikan kontribusi literatur keilmuan serta menjadikan penelitian ini sebagai literatur dalam bidang Ilmu Politik.

b. Menambah informasi bagi penelitian skripsi yang serupa di waktu yang akan datang.

D. Tinjauan Pustaka (Literatur Riview)

Dalam penelitian yang telah dilakukan, telah terdapat penelitian terdahulu yang mengkaji mengenai mengenai pelanggaran, permasalahan, dan sengketa atau konflik yang terjadi pada pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah langsung di Indonesia. Ada beberapa penelitian yang berhasil ditemukan sebagai perbandingan dalam melakukan penelitian skripsi ini, yaitu:

Pertama, Tesis hasil penelitian dari Radian Syam Mahasiswa Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 2005 dengan judul “Sengketa Hasil Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Studi Kasus Sengketa Hasil Pilkada Di Kabupaten Melawi, Provinsi Kalimantan Barat.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Radia Syam peneliti menemukan perbedaan dengan penelitian ini. Dimana dalam penelitian tersebut lebih terfokus kepada kendala yang dihadapi oleh MA dalam hal terjadinya sengketa terhadap penetapan hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dan penerapan penyelesaian sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah


(24)

12

secara langsung pada kasus sengketa hasil Pilkada di Kabupaten Melawi, Provinsi Kalimantan Barat. Sedangkan penelitian yang peneliti lakukan lebih terfokus kepada sengketa yang terjadi pada tahap pencalonan Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Kota Tangerang 2013 serta bagimana proses penyelesaiannya.

Kedua, Skripsi hasil penelitian dari Mishbah Jamal Al-Islamy Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang ditulis pada tahun 2013 dengan judul “Politisasi Birokrasi: Studi Politisasi Birokrasi pada Pemilihan Umum Kepala Daerah Tangerang Selatan, Banten Tahun 2010-2011”. Peneliti menemukan perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Mishbah dengan yang peneliti lakukan, dimana penelitian tersebut terfokus pada politisasi Birokrasi yang dilakukan oleh salah satu pasangan calon pada pelaksanaan Pilkada Kota Tangerang Selatan, dimana permasalahan atau pelanggaran tersebut menyebabkan sengketa di MK dan membuat pelaksanaan Pilkada harus diulang. Sedangkan Penelitian yang peneliti lakukan terfokus pada peran Walikota dan penyelenggara Pilwalkot pada sengketa Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Kota Tangerang 2013.

Ketiga, skripsi hasil penelitian dari Halim Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang ditulis pada tahun 2013 dengan judul “Konflik Pemilihan Umum Kepala Daerah

Kabupaten Bangkalan Jawa Timur (Studi Kasus Pembatalan Pasangan calon Imam Bukhori Kholil-Zainal Alim Dalam Pemilukada 2013)”. Dalam penelitian tersebut, peneliti menemukan perbedaan dengan yang peneliti lakukan. Dimana penelitian tersebut mengenai konflik yang terjadi pada pelaksanaan Pilkada yang


(25)

13

disebabkan oleh pembatalan salah satu pasangan calon pada H-6 pemungutan suara Pilkada Bangkalan 2012. Penelitiannya terfokus pada konflik yang melibatkan pasangan Calon Imam Bukhori Kholil-Zainal Alim, DPC PPD, KPUD bangkalan, dan PTUN.

Sedangkan penelitian yang peneliti lakukan terfokus pada sengketa tahap pencalonan Pilwalkot Tangerang 2013 yang disebabkan oleh netralitas KPUD Kota Tangerang dalam penetapan pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Tangerang 2013, lemahnya pemaham KPUD Tangerang tentang regulasi, peran Wahidin Halim sebagai Walikota Tangerang dalam sengketa dan bagaimana proses penyelesaian sengketanya.

E. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan Penelitian

Metode penelitian yang digunakan peneliti dalam mengkaji permasalahan ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Lexy Moleong, metode penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian, misalnya perilaku, persepsi motivasi, tindakan secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata dan bahasa, yang pada suatu kontak khusus yang alamiah. 24

Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif karena penelitian yang akan peneliti lakukan lebih cenderung memahami fenomena dan mengeksplorasi

24

Lexy Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, 23th ed. (Bandung: Rosda Karya, 2007), h. 4-6.


(26)

14

sedetail mungkin sengketa yang terjadi pada tahap pencalonan Walikota dan Wakil Walikota Tangerang 2013 serta proses penyelesaiannya.

2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di wilayah administrasi Kota Tangerang, sedangkan untuk waktu penelitian dilakukan secara bertahap mulai dari bulan Maret sampai dengan bulan Desember 2014.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam proses pengumpulan data penulis menggunakan 2 buah teknik pengumpulan data, yaitu:

a. Studi Dokumentasi

Peneliti mengumpulkan dokumentasi yang digunakan sebagai literatur penelitian berupa: buku, jurnal, dokumen hasil penelitian, artikel, foto-foto, video, dan segala macam benda yang dapat memberikan keterangan yang tertulis ataupun tidak. Dokumetasi diperlukan untuk mempermudah peneliti menemukan jawaban dari permasalahan tersebut dan juga peneliti dapat menjelaskan secara detail dan jelas terkait dengan sengketa yang terjadi pada tahap pencalonan pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tangerang 2013.

b. Wawancara

Wawancara adalah percakapan langsung dan tatap muka dengan maksud dan tujuan tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh kedua pihak, yaitu pencari


(27)

15

informasi (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan sumber informasi (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.25 Selain itu wawancara didefinisikan juga sebagai sebuah proses interaksi dan komunikasi verbal dengan tujuan untuk mendapatkan sebuah informasi yang di inginkan.26 Wawancara juga merupakan metode tepat untuk pengumpulan data tentang subjek kontemporer yang belum dikaji secara ekstensif dan tidak banyak literatur yang membahasnya.27

Peneliti melakukan wawancara kepada mantan Ketua KPUD Kota Tangerang (Safril Elain), Kasubag Tekpem KPUD Kota Tangerang (Syahrul Effendi), Wakil Walikota Tangerang terpilih (Sachrudin), Ketua Tim Sukses Pasangan Arief-Sachrduin (Dasep), dan Sekjen DPC Hanura Kota Tangerang (Arief Fadillah).

4. Sumber dan Jenis Data

Sumber data diperoleh dari dokumen-dokumen yang peneliti masukan serta hasil dari wawancara yang akan dilakukan oleh peneliti. Sebelum digunakan dalam proses analisis, data dikelompokan terlebih dahulu sesuai dengan jenis dan karakteristik yang menyertainya. Berdasarkan sumber pengambilannya, data dibedakan atas dua macam, yaitu data primer dan data sekunder.

25

Iin Tri Rahayu dan Tristiadi Ardi Ardani, Obsevasi & Wawancara, h. 63.

26

Nurul Zurihah, Metode Penulisan Sosial dan Pendidikan: Teori dan Aplikasi (Jakarta: PT. Bumi Perkasa, 2007), h. 197.

27

Lisa Harrison, Metodologi Penelitian Politik (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), h. 104.


(28)

16

Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung dilapangan dari sumber asli oleh orang yang melakukan penelitian.28 Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah ada.29

5. Teknik Analisis Data

Setelah data dikumpulkan, selanjutnya yang dipelukan adalah kegiatan pengolahan data (data prcessing). Pengolahan data mencakup kegiatan menyunting dan mengklasifikasikan data. Menyunting data merupakan kegiatan memeriksa dan yang terkumpul, termasuk kelengkapan dan keperluannya untuk penelitian. Sedangkan mengklasifikasikan atau mengelompokan data berguna untuk memfokuskan spesifikasi dalam penelitian. Tahap pengelolaan data ini kemudian dilanjutkan dengan menganalisis dan menginterpretasikan data. Analisis data merujuk kepada kegiatan pengorganisasian data ke dalam susunan-susunan tertentu dalam rangka interpretasi data untuk menjawab pertanyaan penelitian.30

Data yang sudah diperoleh kemudian diolah dan dijelaskan menggunakan teknik analisis deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang diupayakan untuk mencandera atau mengamati permasalahan secara sistematis dan akurat mengenai fakta dan sifat objek tertentu.31 Dengan menggunakan teknik

28

Pupuh Fathurahman, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), 146.

29

Pupuh Fathurahman, Metode Penelitian Pendidikan, h.147.

30

Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial: Dasar-Dasar dan Aplikasi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 33-34.

31


(29)

17

analisis ini penulis berharap mampu memberikan gambaran suatau fenomena atau permasalahan yang terjadi secara sistematis, faktual, aktual, akurat, dan jelas berdasarkan data yang diperoleh mengenai problematika yang terjadi pada pelaksanaan Pemilukada langsung di Indonesia khususnya pada penyelenggaraan Pemilukada kota Tangerang 2013.

Adapun sebagai pedoman penelitian karya ilmiah ini, peneliti

menggunakan buku pedoman “Panduan Penyusunan Proposal dan Penulisan Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Negeri Jakarta.

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini penulis membaginya menjadi 5 Bab, yaitu:

Bab I : Pendahuluan, pada bab ini penulis menjelaskan permasalahan yang melatar belakangi pembahasan dan perumusan masalah serta manfaat dan tujuan dari penulisan itu sendiri. Selain itu pada bab ini akan dipaparkan juga mengenai tinjauan pustaka dan metodologi penelitian skripsi ini.

Bab II : Kerangka teoretis dan konseptual, pada bab ini menjelaskan mengenai teori dan konsep yang digunakan dalam pendekatan yang menjelaskan pokok permasalahan skripsi ini, yaitu sengketa Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Kota Tangerang 2013: masalah dan penyelesaian. Adapun kerangka teoritis dan konseptual yang digunakan adalah Konsep Pemilihan Kepala Daerah,


(30)

18

Penyelesaian Sengketa Pemilihan Kepala Daerah, dan Teroi Dilema dan Pilihan Rasional Politisi.

Bab III : Pada bab ini peneliti menjelaskan mengenai gambaran umum, dinamika sosial-politik di Kota Tangerang dan penyelenggaraan Pilwalkot Tangerang 2013.

Bab IV : Pada bab ini merupakan bagian yang berisi tentang permasalahan yang peneliti angkat. Peneliti menjelaskan mengenai penyebab pasangan Arief R Wismansyah–Sachrudin dan Ahmad Marju Kodri-Gatot Suprijanto tidak lolos verifikasi oleh KPUD Kota Tangerang, peran Wahidin Halim sebagai Walikota Tangerang dalam sengketa Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Kota Tangerang 2013 dan bagaimana proses penyelesaian sengketa yang terjadi.

Bab V : Pada bab ini peneliti menyimpulkan pembahasan mengenai skripsi ini sekaligus menjadi penutup pada pokok permasalahan sengketa Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Kota Tangerang 2013 dan selanjutnya di bab penutup ini terdapat juga saran yang berkaitan dengan permasalahan yang terjadi agar memperoleh sebuah solusi untuk meminimalisir atau mencegah permasalahan tersebut terjadi lagi.


(31)

19

BAB II

KERANGKA TEORETIS & KONSEPTUAL

A. Pemilihan Kepala Daerah

Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa "kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar", ini berarti rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Perwujudan kedaulatan rakyat tersebut dilaksanakan melalui Pemilu secara langsung.1

Secara sederhana, pemilihan umum didefinisikan sebagai sarana atau suatu cara untuk menentukan orang-orang yang akan mewakili rakyat dalam menjalankan pemerintahan. Pemilihan umum didefinisikan juga sebagai sebuah kesempatan ketika warga memilih pejabatnya dan memutuskan apa yang mereka ingin pemerintah lakukan untuk mereka.2 Selanjutnya, dalam UU No. 8 Tahun 2012:

“Pemilihan umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.3

1

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

2

Diakses pada 30 Mei 2014 dari http://sospol.pendidikanriau.com/2009/12/definisi-pemilihan-umum-secara.html.

3


(32)

20

Sedangkan menurut Dr. Indria Samego, Pemilihan Pmum disebut sebagai

”Political Market”. Jadi, Pemilihan Umum adalah pasar politik tempat individu ataupun masyarakat berinteraksi untuk melakukan kontrak sosial antara peserta pemilu dengan pemilih setelah terlebih dahulu melakukan serangkaian aktivitas politik yang meliputi: kampanye, propaganda, iklan politik melalui media cetak, audio maupun audio visual serta media lainnya seperti spanduk, pamflet, selebaran bahkan komunikasi antar pribadi yang berbentuk face to face atau lobby

yang berisi penyampaian pesan mengenai program, platfrom, asas, ideologi serta janji-janji politik lainnya untuk meyakinkan para pemilih sehingga pada pencoblosan dapat menentukan pilihannya terhadap salah satu partai politik yang menjadi peserta Pemilihan Umum untuk mewakili dalam badan legislatif ataupun eksekutif.4

Di Indonesia Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah melalui Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah selanjutnya disebut Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur atau Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Walikota untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemilihan tersebut

4


(33)

21

dilakukan oleh penduduk daerah setempat yang telah memenuhi syarat. 5 Sedangkan dalam PP 49 Tahun 2008:

“Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang selanjutnya disebut pemilihan adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah”.6

Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia merupakan kelanjutkan atas dikeluarkannya ketetapan MPR No.XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah, dilanjutkan dengan UU Otonomi Daerah No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999, serta UU No. 32 Tahun 2004.7 Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999, Pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD melalui pemilihan secara bersamaan, dimana calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah ditetapkan oleh DPRD melalui tahap pencalonan dan pemilihan.8 Dalam peraturan ini jelas bahwa pengesahan dan pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara prosedural kewenangannya berada ditangan anggota DPRD.

Kewenangan yang sangat luas tersebut tidaklah diimbangi oleh keterampilan untuk mengartikulasi dan mengagresikan aspirasi masyarakat daerah secara optimal, hal ini terbukti dengan banyaknya praktik politik uang, politik

ansich, dukungan irasional partai politik, dan adanya campur tangan elit pejabat

5

KPU Provinsi Banten, “Buku Peraturan tentang Pemilukada” (Serang: T.tp, 2011), h. 04.

6

Peraturan Pemerintah No. 49 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

7

Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia (Jakarta: LEMLIT-UIN Jakarta, 2011), h. 117.

8


(34)

22

dalam pelaksanaan Pilkada.9 Selain itu adanya tuntutan dari masyarakat yang menginginkan Kepala Daerah dipilih secara langsung, karena masyarakat yakin bahwa pemimpin yang terpilih nanti adalah pemimpin yang arif dan bijak serta mampu membawa masyarakat daerah menuju perbaikan dan kemakmuran turut mendorong lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 yang merubah sistem Pilkada menjadi sistem pemilihan langsung.

Dasar hukum secara umum bagi pelaksanaan Pilkada secara langsung yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 adalah adanya amandemen UUD 1945 yang telah mengubah bab IV tentang pemerintah daerah dan perubahan UU No. 4 Tahun 1999 menjadi UU No. 22 Tahun 2003 yang didalamnya tidak disebutkan lagi kewenangan DPRD untuk memilih Kepala Daerah. Pilkada Langsung juga dijiwai oleh pasal 1 ayat 2 UUD 1945 dan Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 yang berbunyi “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis”.10

Pilihan untuk memaknai UUD 1945 dengan memilih mekanisme pemilihan secara langsung sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 merupakan pilihan yang sangat tepat dalam mengelola masa transisi Indonesia dari era otoritarian ke era demokratisasi yang sesungguhnya.11 Kehadiran UU tersebut tentunya membuka peluang untuk mewujudkan aspirasi daerah, yaitu keinginan untuk memiliki pemimpin lokal yang disepakati oleh rakyat melalui

9

Prof. Drs. HAW. Wijaya, Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), h. 120-121.

10

Prof. Drs. HAW. Wijaya, Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia, h. 121.

11

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Menata Kembali Pengaturan Pemilukada (Jakarta: Perludem, 2011), h. V.


(35)

23

proses Pilkada secara langsung.12 Pilkada langsung atas implementasi dari UU No. 22 Tahun 2004 pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005 di Kabupaten Kutai Kartanegara.13

Seiring berjalannya waktu, Pilkada langsung semakin baik kualitasnya setelah Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materi UU No. 32 tahun 2004 yang mengatur persyaratan pencalonan Kepala Daerah hanya lewat parpol oleh seorang calon Gubernur dari NTB Pada tahun 2007.14 MK mengabulkan adanya calon independen dalam proses pencalonan Kepala Daerah. Hal itu tertuang dalam Keputusan MK No. 5/PUU-V/2007 yang menggugurkan Pasal 56, 59, dan 60 UU No. 32/2004 yang memuluskan calon independen maju dalam Pilkada dengan acuan Pilkada Aceh.15 Keputusan MK itu kemudian dilegalisasi ke dalam UU No. 12 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon independen yang didukung oleh sejumlah orang.

Dalam perjalanannya, telah terjadi beberapa kali perubahan mengenai istilah Pemilihan Kepala Daerah. Pertama Pilkada, lalu Pemilukada, kemudian Pilgub/Pilbup/Pilwalkot. Ketiganya terasa sama, tapi sebetulnya berbeda. Pertama, Pemilihan Kepala Daerah merupakan bagian dari Otonomi Daerah yang ditetapkan dalam UU No. 32 Tahun 2004, maka istilahnya Pilkada. Akan tetapi, dalam UU No. 22 Tahun 2007 dijelaskan Pemilihan Kepala Daerah merupakan

12 Irtanto, Dinamika Politik Lokal Era Otonomi Daerah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 71.

13

Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia, h. 117.

14

Teuku Kemal Fasya,”Tantangan Demokrasi Calon Independen”, artikel diakses pada 10 Februari 2014 dari http://megapolitan.kompas.com/read/2012/03/29/02044581/Tantangan. Demokrasi.Calon.Independen


(36)

24

bagian dari rezim Pemilu, sehingga istilah Pilkada diubah menjadi Pemilukada. Selanjutnya pada 2011 di sahkan UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu, dalam Undang - Undang ini tidak lagi disebut sebagai Pemilukada melainkan Pilgub/Pilbup/Pilwalkot.16

1. Asas Pemilihan Kepala Daerah

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang diusung oleh partai politik maupun melalui jalur perseorangan (Independen) dipilih dalam satu pasangan calon, pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas,rahasia, jujur, dan adil.17

2. Asas dan Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah

Penyelenggara Pilkada adalah lembaga yang menyelenggarakan Pilkada untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Walikota secara demokratis yang terdiri dari KPU, KPU Provinsi/ KIP Aceh dan KPU Kabupaten/Kota/KIP Kabupaten/Kota Aceh. Kemudian untuk membantu KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan Pilkada di tingkat Kecamatan, Kelurahan/Desa, dan di TPS dibentuklah PPK, PPS, dan KPPS yang merupakan panitia yang bersifat sementara. Selanjutnya, Bawaslu membentuk Panwaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten Kota sebagai

16 M. Iqbal, “Dulu Pilkada, Lalu Pemilukada, Sekarang Pilgub”,

artikel diakses pada 15 Februari 2014 dari http://news.detik.com/read/2012/07/10/093845/1961693/10/dulu-pilkada-lalu-pemilukada-kini-pilgub.

17


(37)

25

panitia yang bersifat sementara untuk mengawasi penyelenggaraan Pilkada di wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota.18

Penyelenggara Pilkada berpedoman pada asas: mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, efektivitas.19 Sedangkan untuk menjaga kemandirian, integritas, dan kredibilitas anggota penyelenggara Pemilu/Pilkada, ada Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Kode Etik adalah satu kesatuan landasan norma moral, etis dan filosofis yang menjadi pedoman bagi perilaku penyelenggara Pemilu/Pilkada yang diwajibkan, dilarang, patut atau tidak patut dilakukan dalam semua tindakan dan ucapan.20 Kode Etik tersebut bersifat mengikat dan setiap Penyelenggara Pilkada wajib mematuhinya, Penegakan pelanggaran Kode Etik dilaksanakan oleh DKPP.21

3. Persyaratan Bakal Calon dan Pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

a. Persyaratan Pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang yang memenuhi persyaratan sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang dan dilaksanakan secara

18

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu.

19

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011.

20 KPUD Kab. Gunung Kidul, “Kode Etik Penyelenggara Pemilu”,

diakses pada 9 Juni 2014 dari www.kpu-gunungkidulkab.go.id.

21

Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pedoman Beracara Kode etik Penyelenggara Pemilihan Umum.


(38)

26

demokratis. Persyaratan pencalonan melalui partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% dari jumlah kursi DPRD atau 15% dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilihan Umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. Selanjutnya partai politik hanya bisa mengusung 1 calon Kepala Daerah atau Wakil Kepala daerah.22 Selain itu partai politik tidak dibenarkan melakukan penarikan dukungan seperti yang diatur dalam Peraturan KPU:

“Partai politik atau gabungan partai politik yang sudah mengajukan bakal pasangan calon dan sudah menandatangani kesepakatan pengajuan bakal pasangan calon, tidak dibenarkan menarik dukungan kepada bakal pasangan calon yang bersangkutan, dengan ketentuan apabila partai politik atau gabungan partai politik tetap menarik dukungan terhadap bakal pasangan calon yang bersangkutan, partai politik atau gabungan partai politik tersebut dianggap tetap mendukung bakal pasangan calon yang telah diajukan”.23

Sedangkan peryaratan pencalonan melalu jalur perseorangan untuk calon Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota dapat dilakukan dengan syarat dukungan dengan ketentuan: Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5%, 250.000-500.000 jiwa 5%, 250.000-500.000-1.000.000 jiwa 4%, dan 1.000.000 jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3% (tiga persen).24

22

Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

23

Peraturan KPU Nomor 09 Tahun 2012 Tentang Pedeoman Teknis Pencalonan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

24


(39)

27

1) Persyaratan Calon Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah dan Pendaftaran Bakal Calon yang di Usung oleh Partai Politik.

Persyaratan yang harus dipenuhi atau dimiliki oleh Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah warga Negara Republik Indonesia serta:25

a) “Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

b) Setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, UUD Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17Agustus 1945, dan kepada NKRI.

c) Berpendidikan sekurang-kurangnya SMA atau sederajat.

d) Berusia sekurang-kurangnya 25 tahun bagi calon bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota.

e) Sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter.

f) Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

g) Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

h) Mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di Daerahnya. i) Menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan.

j) Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara. k) Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.

l) Memiliki (NPWP) atau bagi yang belum mempunyai NPWP wajib mempunyai bukti pembayaran pajak.

m) Menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat pendidikan dan pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau istri.

n) Belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.

o) Tidak dalam status sebagai penjabat kepala daerah dan mengundurkan diri sejak pendaftaran bagi kepala daerah atau wakil yang masih menduduki jabatannya”.

Selanjutnya pada saat mendaftarkan diri, calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang melalui Partai politik atau gabungan partai politik wajib menyerahkan:26

a) Surat pencalonan yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik.

b) Kesepakatan tertulis antar partai politik yang bergabung untuk mencalonkan pasangan calon.

25

Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2010 tentang Pedoman Teknis dan Tata Cara Pencalonan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

26


(40)

28

c) Surat pernyataan tidak akan menarik pencalonan atas pasangan yang dicalonkan yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik atau gabungan.

d) Surat pernyataan kesediaan yang bersangkutan sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah secara berpasangan.

e) Surat pernyataan tidak akan mengundurkan diri sebagai pasangan calon.

f) Surat pernyataan kesanggupan mengundurkan diri dari jabatan apabila terpilih sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

g) Surat pernyataan tidak aktif dari jabatannya bagi pimpinan DPRD.

h) Surat pemberitahuan kepada pimpinan bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD yang mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.

i) Visi, misi, dan program dari pasangan calon secara tertulis”.

2) Persyaratan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang Menjabat Sebagai PNS

Bagi seorang PNS (pegawai negeri sipil) yang ingin mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah berdasarkan UU No. 12 Tahun 2008 dijelaskan bahwa mereka harus membuat Surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan PNS. Hal ini dijelaskan juga didalam PKPU, dimana bagi setiap calon Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah yang berasal dari PNS, TNI dan anggota Kepolisian wajib melampirkan surat pernyataan pengunduran diri sejak pendaftaran dari jabatannya dalam surat pencalonannya. Surat yang dimaksud adalah adalah surat pernyataan yang bersangkutan tidak aktif dalam jabatan struktural atau jabatan fungsional yang disampaikan kepada atasan langsungnya untuk diketahui.27

Sedangkan dalam peraturan BKN Nomor 10 Tahun 2005 dijelaskan bahwa PNS yang akan didaftarkan menjadi calon Kepala Daerah atau calon wakil Kepala Daerah wajib mengajukan surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri. Surat pernyataan yang dimaksud diatas dibuat dalam rangkap 2,

27


(41)

29

masing diberi materai dan disampaikan kepada atasan langsung dengan ketentuan : pertama, 1 surat pernyataan dikembalikan kepada PNS yang bersangkutan setelah diberi tandatangan atasan langsung dan stempel dinas. Kedua, 1 surat pernyataan diteruskan kepada pejabat yang berwenang sesuai peraturan perundang-undangan melalui saluran hierarki, sebagai bahan penetapan keputusan pemberhentian dari jabatan PNS.28

Pejabat yang berwenang tersebut setelah menerima surat pernyataan PNS yang bersangkutan, menetapkan keputusan pemberhentian dari jabatan negeri yang dibuat menurut contoh dalam lampiran II peraturan kepala BKN. Pemberhentian dari jabatan PNS tersebut berlaku mulai tanggal PNS yang bersangkutan ditetapkan oleh KPUD sabagai calon Kepala daerah atau calon Wakil Kepala Daerah.29

B.Sengketa Pemilihan Kepala Daerah dan Proses Penyelesaian

1. Sengketa Pemilihan Kepala Daerah

Pemilihan Kepala Daerah sebagai bagian dari sistem demokrasi adalah sebuah keniscayaan. Karena melalui Pilkada tidak hanya menjamin berlangsungnya proses sirkulasi dan regenerasi kekuasaan di tingkat daerah. Akan tetapi partisipasi dan representasi atas kepentingan rakyat terhadap terpenuhinya pemerintahan yang baik, akan senantiasa terwujud. Kepentingan rakyat sebagai bagian dari hak-hak konstitusional yang harus selalu dijamin, dilindungi dan

28

Peraturan kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 10 Tahun 2005 Tentang Pegawai Negeri Sipil yang menjadi Calon Kepala daerah/calon wakil Kepala Daerah.

29


(42)

30

dijunjung tinggi. Oleh sebab itu sistem Pilkada yang dibangun, hendaknya dikreasikan dengan tujuan dan maksud tersebut. Selain itu, setiap penyelenggaraan Pilkada diharapkan mampu berjalan secara jujur dan adil (free and fair election) serta transparan. Namun tidak bisa pungkiri, bahwa dalam setiap penyelenggaraan Pilkada sering kali muncul permasalahan atau sengketa.30

Dalam tahapan penyelenggaraan Pilkada terdapat beberapa masalah hukum yang berpotensi muncul, misalnya pelanggaran pidana dan administrasi. Pelanggaran pidana adalah perbuatan yang melanggar ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang dikategorikan sebagai tindak pidana. Sementara pelanggaran administrasi adalah semua pelanggaran kecuali pelanggaran pidana sebagaimana yang ditetepkan dalam Undang-Undang tersebut. Sedangkan pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara Pilkada adalah bentuk pelanggaran kode etik penyelenggara.31

Sengketa menurut KBBI diartikan sebagai sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, perbantahan, pertikaian, perselisihan, atau perkara di pengadilan.32 Sengketa adalah perbenturan dua kepentingan, antara kepentingan dan kewajiban hukum, atau antara kewajiban hukum dengan kewajiban hukum.33 Sengketa Pilkada dapat diartikan sebagai sebuah perselisihan antara peserta Pilkada dengan penyelenggara Pilkada, penyelenggara Pilkada dengan warga

30

Yulianto dan Veri Junaidi, Pelanggaran Pemilu 2009 dan Tata cara Penyelesaiannya

(Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, 2009), h. 3.

31

Veri Junaidi, Mahkamah Konstitusi Bukan Mahkamah Kalkulator, 2th ed. (Depok: Themis Books, 2013), h. 87

32

Diakses pada 30 Mei 2014 dari http://bahasa.cs.ui.ac.id/kbbi/ .php?keyword= sengketa&varbidang=all&vardialek=all&varragam=all&varkelas=all&submit=tabe

33Tri Cahyo Wibowo, “Sengketa Pemilukada”, artikel diakses pada 15 Februari dari


(43)

31

Negara yang memiliki hak pilih yang diakibatkan dikeluarkannya keputusan atau tindakan yang dilakukan oleh penyelenggara Pilkada.34

Ketentuan mengenai sengketa Pilkada diatur dalam pasal 66 ayat (4c) UU No. 12 tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, didalam Undang-undang tersebut hanya menyebutkan bahwa salah satu tugas dan kewenangan Panwaslu adalah untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi pada pelaksanaan Pilkada. Namun tidak dijelaskan definisi atau pengertian tentang sengketa Pilkada itu sendiri.35

Permasalahan dan pelanggaran yang terjadi dalam pelaksanaan Pilkada yang kemudian menyebabkan sengketa diantaranya adalah: 1. Daftar Pemilih tidak akurat, 2. Proses pencalonan yang bermasalah (munculnya dualisme pencalonan dalam tubuh partai politik, berpindah-pindahnya dukungan patai politik dan KPU tidak netral dalam menetapkan pasangan calon), 3. Pemasalahan pada masa kampanye (Money politics, pemanfaatan fasilitas negara dan pemobilisasian birokrasi, kampanye negatif/ terselubung/ di luar waktu yang telah ditetapkan dan curi start), 4. Manipulasi dalam penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan, 5. Penyelenggara Pilkada tidak adil dan netral (keberpihakan anggota KPUD dan Panwaslu kepada salah satu pasangan calon, kewenangan KPUD yang besar dalam menentukan pasangan calon, tidak adanya

34

Topo Santoso, dkk, Penegakan Hukum Pemilu Praktik Pemilu 2004, Kajian Pemilu 2009-2014 (Jakarta: Perludem, 2006), h. 96.

35

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Menata Kembali Pengaturan Pemilukada, h. 93.


(44)

32

ruang bagi para bakal calon untuk menguji kebenaran hasil penelitian administrasi persyaratan calon, 6. Kandidat yang kalah tidak siap menerima kekalahannya.36

Dalam penyelenggaraan Pilkada setidaknya ada dua jenis Sengketa, yaitu Sengketa Pelaksanaan Pilkada dan Sengketa Hasil Pilkada.37Pertama, sengketa pelaksanaan Pilkada atau yang biasa dikenal dengan perselisihan administrasi Pilkada. Perselisihan administrasi Pilkada yaitu perselisihan yang timbul akibat dikeluarkannya keputusan atau tindakan yang dilakukan oleh penyelenggara Pilkada yang dianggap merugikan Warga negara yang memiliki hak memilih dan dipilih, partai peserta Pilkada, dan bakal calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, serta Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah yang terjadi dalam tahapan-tahapan Pilkada.38

Kedua, Sengketa hasil Pilkada. Sengketa hasil Pilkada adalah sengketa terhadap keputusan KPUD menyangkut hasil Pilkada. Sedangkan dalam UU No. 12 tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah sengketa hasil Pilkada adalah yang berkenaan dengan perselisihan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon. 39

36

Ramlan Surbakti, dkk, Penanganan Sengketa Pemilu (Jakarta: Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, 2011), h. 7.

37

Panwaslu Purwakarta, “Pelanggaran Pemilu dan Penanganannya” artikel diakses pada 24 April 2014 dari http://panwaslupurwakarta.blogspot.com/2012/09/bagaimana-anda-harus-melaporkan.html

38

Topo Santoso, dkk, Penegakan Hukum Pemilu Praktik Pemilu 2004, Kajian Pemilu 2009-2014.

39

Topo Santoso, dkk, Penegakan Hukum Pemilu Praktik Pemilu 2004, Kajian Pemilu 2009-2014.


(45)

33

2. Penyelesaian Sengketa Pemilihan Kepala Daerah

Suksesnya penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah tidak hanya ditentukan dari terlaksananya pemungutan suara dan terpilihnya Kepala Daerah, tetapi juga dilihat dari penyelesaian sengketa yang terjadi. Masalah penyelesaian sengketa Pilkada di Indonesia mulai ramai dibahas khususnya sejak diterapkannya sistem pemilihan langsung pada tahun 2005.40 Dalam penyelesaian sengketa Pemilu dan Pilkada, ada prinsip-prinsip penyelesaian sengketa yang diterapkan sebagai instrumen yang digunakan untuk menegakkan keadilan Pemulu dan Pilkada. Prinsip-prinsip tersebut diperlukan agar dapat mewujudkan paradigma keadilan Pemilu/Pilkada. Melalui mekanisme tersebut, hak pilih masyarakat dapat dikembalikan kepada kehendak semula.41

Menurut International Foundation For Electoral (IFES), tujuh standar penyelesaian sengketa yang efektif dalam menjamin integritas dan legitimasi Pemilu/Pilkada adalah: Pertama, Hak untuk memperoleh pemulihan pada keberatan dan sengketa pemilu. Kedua, Sebuah rezim standar dan prosedur pemilu yang didefinisikan secara jelas. Ketiga, Abiter yang tidak memihak dan memiliki pengetahuan. Keempat, Sebuah sistem peradilan yang mampu menyelesaikan putusan dengan cepat. Kelima, penentuan beban pembuktian dan standar bukti yang jelas. Keenam, Ketersediaan tindakan perbaikan yang berarti dan efektif.

Ketujuh, pendidikan yang efektif bagi para pemangku kepentingan.42

40

Ramlan Surbakti, dkk, Penanganan Sengketa Pemilu, h. 2.

41

Veri Junaidi, Mahkamah Konstitusi Bukan Mahkamah Kalkulator, h. 45.

42


(46)

34

Pelanggaran dan permasalahan hukum yang terjadi pada pelaksanaan Pilkada, baik yang menyebabkan sengketa ataupun tidak, diselesaikan dalam tahapan penyelenggaraan Pilkada. Masing-masing bentuk pelanggaran dan permasalahan hukum memiliki mekanisme penyelesaian dengan kelembagaan yang berbeda-beda.43

a. Panwaslu Kabupaten/Kota

Panwaslu Kabupaten/Kota pada pelaksanaan Pilkada memiliki beberapa tugas dan wewenang; Pertama, mengawasi tahapan penyelenggaraan Pilkada di Wilayah Kabupaten/Kota. Kedua, menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai Pilkada. Ketiga,

menyelesaikan temuan dan laporan sengketa penyelenggaraan Pemilu yang tidak mengandung unsur tindak pidana. Keempat, menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU Kabupaten/Kota untuk ditindaklanjuti. Kelima, meneruskan temuan dan laporan yang bukan menjadi kewenangannya kepada instansi yang berwenang. Keenam, menyampaikan laporan kepada Bawaslu sebagai dasar untuk mengeluarkan rekomendasi Bawaslu yang berkaitan dengan adanya dugaan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pilkada oleh Penyelenggara Pilkada di tingkat Kabupaten/Kota.44

Jadi, pelanggaran baik pidana maupun administrasi semua dilaporkan kepada Panwaslu. Panwaslu kemudian melakukan kajian untuk menentukan dugaan terjadinya pelanggaran Pilkada. Jika kemudian Panwaslu menemukan atau

43

Veri Junaidi, Mahkamah Konstitusi Bukan Mahkamah Kalkulator, h. 88.

44


(47)

35

menilai terjadi pelanggaran maka akan meneruskan penanganannya kepada lembaga yang berwenang. Mengenai pelanggaran pidana akan diselesaikan melalui mekanisme pidana, yaitu penyidikan dilakukan oleh pihak kepolisian, penentutan oleh kejaksaan dan pemeriksaan dilakukan di pengadilan.45

Laporan disampaikan kepada Panwaslu sesuai wilayah kerjanya selambat-lambatnya 7 hari sejak terjadinya pelanggaran. Panwaslu memutuskan untuk menindaklanjuti atau tidak menindaklanjuti laporan selambat-lambatnya 7 hari setelah laporan diterima. Dalam hal Panwaslu memerlukan keterangan tambahan dari pelapor untuk melengkapi laporan, keputusan tindak lanjut dilakukan paling lambat 14 hari setelah laporan diterima. Sedangkan untuk penyidikan terhadap laporan sengketa yang mengandung unsur tindak pidana dilakukan sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Penyidikan atas tindak pidana diselesaikan dalam waktu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.46

b. KPUD

KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota bertugas untuk menindaklanjuti dengan segera rekomendasi dari Bawaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota atas temuan dan laporan adanya dugaan pelanggaran dalam pelaksanaan Pilkada. Setelah itu, KPU Provinsi memberikan sanksi administratif atau menonaktifkan sementara anggota KPU Kabupaten/Kota, sekretaris KPU Provinsi, dan pegawai sekretariat KPU Provinsi yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan

45

Veri Junaidi, Mahkamah Konstitusi Bukan Mahkamah Kalkulator, h. 88.

46

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Menata Kembali Pengaturan Pemilukada. h. 71.


(48)

36

terganggunya tahapan penyelenggaraan Pilkada berdasarkan rekomendasi Bawaslu Provinsi atau ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan KPU Kabupaten/Kota memberikan sanksi atau menonaktifkan sementara PPK, anggota PPS, sekretaris KPU Kabupaten/Kota, dan pegawai sekretariat KPU Kabupaten/Kota.47

KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota berfungsi untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi akibat terjadinya pelanggaran administrasi dalam tahapan yang sedang berjalan. Jika pelanggaran tersebut menghasilkan keputusan KPUD yang menyebabkan kerugian bagi salah satu atau pasangan calon, keberatan dapat diajukan ke yang bersangkutan atau diselesaikan di PTUN.48 Selain itu, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota berkewajiban untuk melaksanakan keputusan yang dikeluarkan oleh DKPP.

c. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)

Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu adalah lembaga yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa yang disebabkan oleh ketidak netralan atau pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh penyelenggara Pilkada, DKPP merupakan salah satu dari beberapa lembaga yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa administratif. DKPP dibentuk untuk memeriksa dan memutuskan pengaduan atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu/Pilkada. Selain itu, DKPP dibentuk untuk

47

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011.

48 Achmad Ali, “

DKPP Memiliki Tugas dan Kewenangan Bersama-sama KPU dan

Bawaslu”, artikel diakses pada 05 maret 2014 dari http://www.lensaindonesia.com /2012/11/08/dkpp-memiliki-tugas-dan-kewenangaan-bersama-sama-kpu-dan-bawaslu.html


(49)

37

menjaga kemandirian, integritas, dan kredibilitas anggota Penyelenggara Pemilu/Pilkada. Tugas DKPP meliputi; Pertama, menerima pengaduan atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik oleh Penyelenggara Pemilu/Pilkada.

Kedua, melakukan penyelidikan dan verifikasi, serta pemeriksaan atas pengaduan atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik oleh Penyelenggara Pemilu/Pilkada. Ketiga, menetapkan putusan dan menyampaikan putusan kepada pihak-pihak terkait untuk ditindaklanjuti. Putusan DKPP ini bersifat final dan mengikat. 49

Dalam menjalankan tugasnya, DKPP memiliki beberapa kewenangan, diantaranya: untuk memanggil penyelenggara Pemilu yang diduga melakukan pelanggaran kode etik untuk memberikan penjelasan dan pembelaan, selanjutnya memanggil pelapor, saksi pihak-pihak yang terkait untuk dimintai keterangan termasuk dokumen atau bukti lain yang mendukung proses pelanggaran kemudian memberikan sangsi kepada penyelenggara Pemilu/Pilkada yang terbukti melanggar kode etik. Sebagai bentuk putusannya terdiri atas teguran tertulis, pemberhentian sementara dan pemberhentian tetap.50

Pengaduan atau laporan dugaan pelanggaraan Kode Etik disampaikan secara tertulis langsung melalui petugas penerima pengaduan atau melalui media elektronik. Setelah itu dilakukan penelitian kelengkapan administrasi Laporan oleh DKPP. Dalam hal hasil verifikasi materil DKPP menyampaikan pemberitahuan kepada pelapor dalam waktu paling lama tiga hari. Selanjutnya

49

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011.

50 Achmad Ali, “

DKPP Memiliki Tugas dan Kewenangan Bersama-sama KPU dan


(50)

38

DKPP menetapkan jadwal sidang dalam waktu paling lama dua hari sejak pengaduan atau laporan dicatat dalam buku registrasi perkara. Penetapan putusan dilakukan dalam rapat pleno DKPP paling lama tiga hari setelah sidang pemeriksaan dinyatakan selesai.51

d. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)

Mekanisme penyelesaian sengketa administrasi Pilkada yang terjadi antara penyelenggara Pilkada dengan peserta Pilkada diselesaikan melalui beberapa tahap. Tahap pertama adalah keberatan yang diajukan oleh peserta Pilkada yang merasa dirugikan atas dikeluarkannya keputusan KPUD, keberatan tersebut diajukan kepada KPUD yang mengelurakan keputusan tersebut. Tahap kedua dilakukan apabila peserta Pilkada yang merasa dirugikan tidak puas dapat mengajukan ke PTUN.52

Kenapa demikian? Karena pada pelaksanaan penyelenggaraan Pilkada di lapangan, sebelum memasuki tahap pemungutan suara dan penghitungan suara, telah dilakukan berbagai pentahapan, misalnya tahap pendaftaran pemilih, tahap pencalonanpeserta, tahap masa kampanye, dan sebagainya. Pada tahapan tersebut sudah ada keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara

(beschikking), yaitu keputusan Komisi Pemilihan Umum di tingkat Daerah.

Tata Usaha Negara adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah.

51

Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilu.

52


(51)

39

Pejabat TUN adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, KPUD adalah salah satu Pejabat TUN. Jadi, keputusan yang dikeluarkan oleh KPUD merupakan Keputusan TUN. Keputusan TUN merupakan suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.53

Jadi, sengketa administrasi Pilkada antara Penyelenggara Pilkada dengan Peserta Pilkada atas dikeluarkannya keputusan oleh Penyelenggara Pilkada adalah sengketa TUN, yaitu sengketa yang timbul dalam bidang TUN antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya keputusan TUN.54

Ruang lingkup kewenangan PTUN terhadap sengketa administratif yang berkaitan dengan pemilukada Pilkada pada hakekatnya hanya mencakup proses administratif pra pelaksanaan Pilkada, antara lain: Pertama, keputusan KPUD mengenai proses pendaftaran dan verifikasi bakal calon peserta Pilkada, termasuk

53

Dr. Titik Triwulan T., S.H, M.H dan Kombes Pol. Dr. H. Ismu Gunadi Widodo, Sh., C.N., M.M, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonessia (Jakarta: Kencana, 2011), h. 313.

54

Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.


(1)

xviii

Laporan Pertanggungjwaban dan Surat Keputusan:

Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Walikota Tangerang 2012. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Akhir Masa Jabatan (LKPJ AMJ)

Walikota Tangerang 2009-2013.

KPUD Kota Tangerang, Laporan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kota Tangerang 2004

KPUD Kota Tangerang, Laporan Penyelenggaraan Pemilu Walikota dan Wakil Walikota Kota Tangerang 2008

SK KPUD Kota Tangerang No. 27/kpts/KPU-Kota Tng/015.436421/III /2013 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pilwalkot Tangerang 2013.

SK KPUD Kota Tangerang No. 60/kpts/KPU-Kota Tng/015.436421/V/ 2013 tentang Penetapan Prosentase Persyaratan Bakal Pasangan Calon Dari Partai Politik Atau Gabungan dalam Pilwalkot Tangerang 2013.

SK KPUD Kota Tangerang No. 083/Kpts/KPU.Prov-015/Tahun 2013 tentang Perubahan Terhadap Keputusan KPUD Kota Tangerang tentang Penetapan Nomor Urut Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota Tangerang sebagai Peserta Pilwalkot 2013.

Putusan DKPP Nomor 83/DKPP-PKE-II/2013 tentang Pelanggaran Kode Etik KPUD Kota Tangerang.

Wawancara Langsung

Wawancara Langsung dengan Bapak Safril Elain (Mantan Komisioner KPUD Kota Tangerang) Pada Tanggal 12 Agustus 2013.

Wawancara Langsung dengan Bapak Arief Fadillah (Sekjen DPC Hanura Kota Tangerang pada tanggal 31 Agustus 2014.

Wawancara Langsung dengan Bapak Sachrudin (Wakil Walikota tangerang) pada tanggal 17 September 2014.

Wawancara Langsung dengan Bapak Syahrul Effendi (Kasubag Tekpem KPUD Kota Tangerang) pada 11 Agustus 2014.

Wawancara Langsung dengan Bapak Dasep (Ketua Team Sukses Arief-Sahcrudin) Pada Tanggal 23 Oktober 2013.


(2)

LAMPIRAN

KOMISI PEMILIHAN UMUM KOTA TANGERANG P E N G U M U M A N NOMOR : 272/KPU-Kota.015.436421/V/2013

TENTANG

PENGAMBILAN FORMULIR DAN PENDAFTARAN

PENCALONAN WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA TANGERANG YANG DIAJUKAN OLEH PARTAI POLITIK ATAU GABUNGAN PARTAI POLITIK DALAM PEMILU WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA

TANGERANG TAHUN 2013

Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 9 Tahun 2012 tentang Pedoman Teknis Pencalonan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah jo. Keputusan KPU Kota Tangerang Nomor: 60/KPTS/KPU-Kota Tng/015.436421/V/2013 tentang Penetapan Prosentase Persyaratan Pencalonan Bakal Pasangan Calon Dari Partai Politik Atau Gabungan Partai Politik Dalam Pemilihan Umum Walikota Dan Wakil Walikota Tangerang Tahun 2013, maka dengan ini diumumkan bahwa Pengambilan Formulir dan Pendaftaran untuk Bakal Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota Tangerang yang diajukan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik, akan dilaksanakan pada tanggal 31 Mei s/d 08 Juni 2013 bertempat di Kantor Komisi Pemilihan Umum Kota Tangerang dengan alokasi waktu: 1. Pengambilan Formulir dimulai Tanggal 31 Mei s/d 01 Juni 2013 (pada jam kerja 08.00

s/d 16.00 WIB) atau contoh formulir dapat diunduh (download) pada website KPU Kota Tangerang: www.kpu-tangerangkota.go.id;

2. Pendaftaran dimulai Tanggal 02 s/d 08 Juni 2013 pada jam 08.00 s/d 16.00 WIB., kecuali hari terakhir, tanggal 08 Juni 2013 pada Jam 08.00 s/d 24.00 WIB.

Pengajuan Bakal Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota Tangerang Tahun 2013 harus yang memenuhi syarat sebagai berikut :

A. PERSYARATAN UMUM 1. Warga Negara Republik Indonesia; 2. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

3. Setia pada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah;

4. Berpendidikan sekurang-kurangnya Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) atau Sederajat;

5. Berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun pada saat pendaftaran;

6. Sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari Tim Pemeriksa Kesehatan yang ditetapkan oleh KPU Kota Tangerang;

7. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;


(3)

8. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

9. Mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya;

10. Menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan;

11. Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara;

12. Tidak sedang dinyatakan Pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

13. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau bagi yang belum mempunyai NPWP wajib mempunyai bukti pembayaran Pajak;

14. Menyerahkan Daftar Riwayat Hidup lengkap yang memuat antara lain Riwayat Pendidikan dan Pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau isteri;

15. Belum pernah menjabat sebagai Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama; dan

16. Tidak dalam status sebagai Penjabat Kepala Daerah. B. PERSYARATAN DAN KETENTUAN KHUSUS

1. Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang mengajukan bakal pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota Tangerang, harus memperoleh paling sedikit 15% perolehan kursi dari 50 kursi pada DPRD Kota Tangerang Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun 2009, yaitu paling sedikit 8 (delapan) kursi;

2. Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang mengajukan bakal pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota Tangerang, harus memperoleh paling sedikit 15% Suara Sah pada Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun 2009 di Kota Tangerang, yaitu paling sedikit 104.910(Seratus Empat Ribu Sembilan Ratus Sepuluh) Suara Sah; 3. Dalam Pendaftaran Bakal Pasangan Calon, Partai Politik atau Gabungan Partai Politik

wajib menyerahkan surat pencalonan yang ditandatangani oleh Pimpinan Partai Politik atau para Pimpinan Partai Politik yang bergabung yaitu Ketua dan Sekretaris Partai Politik.

4. Surat pencalonan beserta lampirannya dibuat dalam rangkap 5 (lima) dimasukkan ke dalam map, dan ditulis dengan huruf kapital nama bakal pasangan calon serta Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang mencalonkan.

5. Dalam Pendaftaran Bakal Pasangan Calon, Partai Politik/Gabungan Partai Politik dan/atau Bakal Pasangan Calon wajib menyerahkan daftar nama tim kampanye dan rekening khusus dana kampanye.

6. Bakal Pasangan Calon harus hadir pada saat pendaftaran.

7.Pendaftaran Bakal Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota Tangerang Tahun 2013 tidak dipungut biaya.

Demikian Pengumuman ini dikeluarkan, untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Kantor KPU Kota Tangerang Jl. Nyi Mas Melati No. 16 Kota Tangerang.

Kota Tangerang, 29 Mei 2013

KOMISI PEMILIHAN UMUM KOTA TANGERANG

KETUA, Ttd.


(4)

DOKUMENTASI I


(5)

DOKUMENTASI II

Sidang Pelanggaran Kode Etik KPUD Kota Tangerang di Kantor DKPP

Sumber: www.aktual.com

Aksi Demonstrasi Pendukung Arief-Sachrudin

Sumber: www.tangerangnews.com Sumber:megapolitan.kompas.com Korban Aksi Demonstrasi Klarifikasi AMK kepada DPC Hanura


(6)

DOKUMENTASI II

Foto Dengan Bapak Safril Elain mantan Foto Dengan Bapak Arief Fadillah Sekjen Komisioner KPUD Kota Tangeran DPC Gerindra

Foto Dengan Bapak Dasep Ketua Foto Dengan Bapak H. Sachrudin Tim Sukses Pasangan Arief-Sachrudin Wakil Walikota tangerang Terpilih