PERANAN KEPOLISIAN DALAM PENANGULANGAN JUDI SABUNG AYAM DI MASYARAKAT ADAT BALI (Study Kasus di Polsek Seputih Banyak dan Polsek Palas)

(1)

ABSTRAK

PERANAN KEPOLISIAN DALAM PENANGULANGAN JUDI SABUNG AYAM DI MASYARAKAT ADAT BALI

(Study Kasus di Polsek Seputih Banyak dan Polsek Palas)

Oleh MADE PUJANA

Perjudian adalah suatu bentuk masalah sosial. Perjudian menjadi ancaman yang nyata terhadap norma-norma sosial sehingga bisa mengancam berlangsungnya ketertiban sosial. Dengan demikian perjudian dapat menjadi penghambat pembangunan nasional yang beraspek materiel-spiritual. Oleh karena itu perjudian harus ditanggulangi dengan cara yang rasional. Salah satu usaha yang rasional tersebut adalah dengan pendekatan kebijakan penegakan hukum pidana. Permasalahan yang dihadapi yaitu bagaimana peranan Kepolisian Sektor dalam upaya penanggulangan judi sabung ayam di masyarakat adat Bali, serta Apakah yang menjadi kendala dalam upaya penanggulangan judi sabung ayam di masyarakat adat Bali.

Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini, adalah menggunakan pendekatan masalah yuridis normatif dan yuridis empiris dengan Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat adat Bali Palas dan masyarakat adat Bali Seputih Banyak. Dengan memakai metode purposive sampling. Pada penulisan skripsi ini, data primer diolah secara analisis deskritif-kualitatif dan kemudian data sekunder dianalisis dengan metode induktif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran nilai-niiai sakral prosesi keagamaan tajen tabuh rah menjadi bentuk perjudian sabung ayam oieh para penjudi. Pergeseran niiai-nilai sakral oieh para penjudi, yang berbentuk perjudian sabung ayam, telah menjadi lahan oknum polisi untuk mengutip uang sehingga menjadi hubungan patron klien antara oknum polisi dengan penyelenggara perjudian sabung ayam.

Faktor penghambat dalam penegakan hukum judi sabung ayam di masyarakat adat Bali adalah faktor hukum yaitu tidak adanya pembedaan yang tegas antara sabung ayam yang menjadi kegiatan adat dan sabung ayam yang bukan merupakan kegiatan adat (judi). Kemudian faktor penegakan hukum yaitu terdapat hubungan patronklien antara kepolisian dengan penyelenggara tajen, selanjutnya faktor masyarakat yaitu kesadaran masyarakat yang minim terhadap penegakan hukum, sabung ayam yang susah untuk ditinggalkan karena masih dipengaruhi oleh kebiasaan adat masyarakat Bali, serta faktor kebudayaan yaitu sabung ayam merupakan suatu


(2)

kebiasaan adat Bali yang sulit dipisahkan dalam kehidupan masyarakat adat dan sudah mendarah daging. Kebudayaan sangat dijunjung tinggi di masyarakat adat Bali, hal inilah yang menyebabkan sabung ayam (tajen) masih tumbuh subur dan sulit untuk diberantas.


(3)

(4)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fenomena perjudian bukanlah hal yang baru dalam kehidupan masyarakat, sejak dulu sampai sekarang praktik perjudian sudah ada. Kejahatan ini banyak hal yang mempengaruhi diantaranya unsur-unsur ekonomi dan sosial memiliki peranan atas perkembangan perjudian.

Pada hakikatnya perjudian bertentangan dengan agama, kesusilaan dan moral Pancasila, serta membahayakan bagi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Namun pada kenyataannya, justru perjudian berkembang pesat dan semakin marak dilakukan, baik secara sembunyi-sembunyi ataupun secara transparan dengan cara sederhana ataupun secara modern.

Secara kriminologi, tindak pidana perjudian dapat dikatakan sebagai kejahatan tanpa adanya korban (crime without victim), karena yang menderita dari tindak pidana perjudian tersebut adalah pelaku itu sendiri. Apabila dicermati lebih dalam, tindak pidana perjudian tidak hanya mengakibatkan pelaku perjudian yang menjadi korban, tetapi orang lain juga akan menjadi korban. Perjudian akan mempengaruhi keadaan sosial ekonomi, sehingga dapat menjadi pemicu bentuk kejahatan yang lain.

Berdasarkan sumber situs online Komisi Kepolisian Indonesia tahun 2008 kejahatan konvensional merupakan kejahatan dengan isu paling mendasar dan sering terjadi di tengah masyarakat, memiliki lingkup lokal dan meresahkan masyarakat. Penindakan terhadap kejahatan ini dirasakan langsung oleh masyarakat, bentuk kejahatan tersebut diantaranya perjudian, pencurian kekerasan/pemberatan, pencurian kendaraan bermotor, penganiayaan, pembunuhan,


(5)

perkosaan, penipuan, penggelapan, pembakaran, pengrusakan, pemalsuan, penculikan, dan pemerasan, termasuk premanisme dan kejahatan jalanan yang perlu penanganan secara intensif, terutama yang terjadi di lokasi obyek vital, yang dapat berimplikasi pada kerugian ekonomi dan kepercayaan internasional. Selanjutnya dari jenis kejahatan yang marak terjadi, ditentukan kejahatan yang menjadi prioritas akselerasi utama adalah perjudian. (http://www.komisikepolisianindonesia.com/main.php?page=ruu&id=179 diakses pada tanggal 18/11/2011 jam 20:02 WIB)

Perjudian di Indonesia telah menjadi sebuah kejahatan besar yang terorganisir, canggih dan bersifat lintas batas negara. Penindakan terhadap berbagai bentuk perjudian akan tetap dilaksanakan secara konsisten tanpa pandang bulu, sekaligus merupakan bukti dari keseriusan Polri untuk memberantas perjudian. Selain bentuk perjudian yang telah dikenal beroperasi di sejumlah tempat di Indonesia yang membutuhkan adanya ruang dan waktu, namun saat ini muncul perjudian dalam bentuk baru yang menggunakan perkembangan teknologi informasi atau internet. Oleh karenanya, selain mencegah dan memberantas perjudian konvensional yang telah ada, perjudian bentuk baru melalui internet harus dicegah dan diberantas. Hal tersebut dapat terlihat pada saat ini, dimana banyak keluarga berantakan dan anak menjadi kurang perhatian (broken home), masyarakat banyak yang menjadi miskin akibat perjudian, serta tingkat kejahatan menjadi meningkat.

Perjudian di Indonesia merupakan suatu tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian yang menyangkut perubahan-perubahan mengenai ancaman pidana maupun denda. Undang-undang tersebut memuat perubahan tentang ketentuan dasar yang ada dalam Pasal 542 KUHP mengenai jenis delik (dari pelanggaran


(6)

menjadi kejahatan) serta ancaman pidana dari 1 (satu) bulan menjadi 4 (empat) tahun (Pasal 542 ayat (1)) dan 3 (tiga) bulan menjadi 6 (enam) tahun (Pasal 542 ayat (2)).

Perjudian ditinjau dari kepentingan nasional mempunyai pengaruh yang negatif dan merugikan moral serta mental masyarakat. Pemerintah harus mengambil kebijakan dan tindakan untuk memberantas perjudian di Indonesia.

Mengacu pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974, maka jiwa dan maksud pemberantasan judi adalah penertiban, penghapusan sama sekali dari seluruh wilayah Indonesia. Meskipun ancaman hukuman diperberat dan jenis delik diubah, tetapi masalah pemberantasan perjudian masih sulit untuk dilaksanakan secara tegas dan konsisten. Terdapat beberapa wacana untuk mengatasi perjudian, diantaranya adalah melakukan lokalisasi perjudian atau membuat peraturan daerah anti judi pada masing-masing daerah, tetapi yang sebenarnya harus dilakukan adalah melaksanakan undang-undang secara konsisten dan melakukan langkah kongkrit untuk memberantas perjudian.

Tindak pidana perjudian termasuk penyakit masyarakat dan pemberantasannya sudah menjadi tuntutan masyarakat Indonesia yang mayoritas religius. Pemberantasan judi tersebut tidak hanya diserahkan kepada pemerintah dan aparat penegak hukum saja, tetapi harus ada dukungan sepenuhnya dari masyarakat. Dukungan tersebut sangat diperlukan karena tanpa dukungan dan kesadaran masyarakat untuk memberantas perjudian, maka tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum menjadi kurang maksimal.

Beranekaragam bentuk dan jenis perjudian seperti, judi togel, judi dengan mengunakan kartu remi, judi dengan menggunakan dadu, judi sabung ayam, dan masih banyak lagi bentuk dan jenis perjudian lainya. Namun yang akan dibahas lebih lanjut dalam skripsi ini adalah perjudian


(7)

sabung ayam di masyarakat adat Bali. Dalam penyebutan adat Bali I Ketut Seregig mengutip pendapat Hidjazie mengatakan sebagai berikut:

“Adat Bali secara kontekstual bermakna suatu kebiasaan yang berlaku dikalangan masyarakat Bali, demikian pula bila ada penyebutan adat Jawa, adat Batak, ataupun adat Lampung. Dalam masyarakat adat Bali hukum adalah segala produk hukum yang dibuat oleh pemerintah, sedangkan adat adalah cara atau kebiasaan yang berlaku pada suatu desa tertentu atau kelompok tertentu yang ditetapkan bersama untuk kepentingan bersama suatu desa adat atau banjar adat. (I Ketut Seregig, 2010:23)

Sabung ayam di dalam masyarakat adat Bali, memiliki makna religius. Makna religius tersebut adalah sebagai persembahan korban suci yang ditunjukan bagi Bhuta dan Kala, yaitu makluk-makluk halus yang jahat dan makluk-makluk-makluk-makluk halus yang berwujud dewa-dewa yang bersifat merusak. Upacara penyembahan melalui upacara suci ini disebut caru atau mecaru . Upacara mecaru ini biasanya berupa tumpahnya darah yang bertaburan di tanah akibat dari suatu pertarungan atau penyembelihan hewan korban yang disebut dengan tabuh rah atau lebuh getih. Salah satu cara agar terjadi tumpahnya darah adalah dengan melakukan sabung ayam. Dengan demikian upacara korban suci kepada Bhuta Kala memerlukan pengorbanan hewan, selain ayam sebagai hewan korban, hewan-hewan lain adalah bebek, babi dan kerbau. Hal itu tergantung dari beberapa besar dan pentingnya upacara tersebut.

Korban suci merupakan salah satu persyaratan pengorbanan yang penting dalam upacara mecaru, sebab dengan tumpahnya darah hewan di atas tanah maka pengorbanan itu akan diterima oleh Sang Bhuta Kala.

Upacara korban suci yang menggunakan ayam sebagai hewan korban dilakukan dengan mengadakan sabung ayam (tajen). Pertarungan ayam itu akan diterima apabila hasil dari pertarungan ayam tersebut ada ayam yang mati dan mengeluarkan darah, dan apabila


(8)

pertarungan tersebut adalah seri maka harus diulang hingga ada yang mati dan keluar darah yang bertaburan di tanah.

Namun dalam pertarungan ayam tersebut terdapat unsur untung-untungan antara ayam yang akan menang atau ayam yang akan kalah. Unsur untung-untungan ini yang menyebabkan sabung ayam semakin menarik untuk dilihat dan dipertaruhkan. Sabung ayam yang tadinya bermakna religius akhirnya menjadi ajang pertaruhan uang. Pertaruhan uang inilah yang menyebabkan sabung ayam menjadi salah satu bentuk perjudian.

Apabila pertarungan ayam tanpa diikuti dengan pertaruhan uang maka sabung ayam hanyalah suatu permainan saja. Sehingga bila dikaitkan dengan kebudayaan masyarakat Bali maka sabung ayam adalah suatu bentuk permainan yang menjadi ritual upacara sebagai sarana pengorbanan kepada Bhuta Kala.

Upacara tabuh rah yang dilaksanakan oleh masyarakat adat Bali dalam upacara keagamaan dilatar belakangi oleh adanya prasasti maupun lontar-lontar yang ditemukan di Bali yaitu:

1. Dalam Prasasti Bali Kuno yakni Prasasti Sukawana Al yang berangka tahun Caka 804 ada terdapat kata Blindarah. Dr. R. Goris mengartikan kata Bindarah yakni korban darah untuk berbagai tindakan keagamaan.

2. Dalam prasasti Batur Abang A. Yang berangka tahun Caka 933 yang menyebutkan,“Mwang yan pakarya, masanga kunang wgila ya manawunga makantang tlung parahatan ithaninya tan pamwita, tan pawwata ring nayaka saksi”. Yang maksudnya, “Lagi pula mengadakan upacara-upacara misalnya tawur kesanga, patutlah mengadakan sabung ayam, tiga angkatan (saet) di desanya, tidaklah minta izin, tidaklah memberitahukan kepada pemerintah”.

3. Dalam Prasasti Batuan yang berangka tahun Caka 944 ada kalimat sebagai berikut,“Kunang yang menawung ing pangudwan makantang tlung marahatan tan pamwinta ring nayaka sanksi mwang sawung tungur, tan knana minta pamli”. Yang maksudnya, “Adapun bila mengadu ayam ditempat suci dilakukan tiga angkatan (saet) tidak meminta izin kepada pemerintah dan juga kepada pengawas sabungan, tidak dikenakan pajak”.

4. Dalam lontar Ciwa Tatwa Purana disebutkan sebagai berikut, “Mwah ri tileming kesanga, hulun magawe yoga, teka wenang wang ing madhya magawe tawur kasowang an den hana paranging sata wenang nyepi sadina ika labian sang kala daca bumi, yanora samangkana rug ikang wang ing madhya pada”. Yang maksudnya, “Lagi pada tilem kesanga aku (Dewa Ciwa) mengadakan yoga, berkewajibanlah orang di bumi ini membuat persembahan


(9)

masing-masing, lalu adakan pertarungan ayam dan nyepi sehari, ketika itu beri hidangan sang Kala Dacasbumi, jika tidak rusaklah manusia di Bumi”.

5. Dalam lontar Sundari Gama disebutkan, “Bahwa dalam rangkaian melakukan tawur atau bhutayadnya disertai dengan tetabuhan”.

(Pidada Kniten, 2005:1)

Jika ditinjau dari lontar dan prasasti-prasasti jelas adanya korban darah yang dipergunakan dalam upacara agama. Dengan adanya kaitan antara permainan sabung ayam dengan kekuatan supranatural dan ajang pertaruhan uang. Maka permainan sabung ayam yang tadinya bermakna religius, akhirnya bertambah menjadi tradisi perjudian sabung ayam di masyarakat Bali. Sedangkan di dalam tradisi perjudian sabung ayam itu sendiri biasanya terdapat uang kutipan. Uang kutipan tersebut diambil dari total kemenangan uang taruhan untuk diberikan kepada penyelenggara dan pemilik tempat. (Pidada Kniten, 2005:3)

Menurut hukum positif, sabung ayam adalah pelanggaran hukum sesuai dengan Pasal 303 ayat (3) KUHP, yaitu :

“Yang dikatakan main judi yaitu tiap-tiap permainan, yang mendasarkan pengharapan buat menang pada umumnya bergantung pada untung-untungan saja, dan juga kalau pengharapan itu jadi bertambah besar karena kepintaran dan kebiasaan pemain. Yang juga terhitung termasuk main judi ialah pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain, yang tidak diadakan oleh mereka yang turut berlomba atau bermain itu, demikian juga pertaruhan yang lain.”

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Tugas pokok Kepolisian memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Sebagai aparat penegak hukum, Polri wajib melakukan penindakan pelanggaran hukum di seluruh Indonesia. Termasuk perjudian sabung ayam di masyarakat Bali karena perjudian sabung ayam adalah pelanggaran hukum.


(10)

Namun dalam perjudian sabung ayam di masyarakat adat Bali polisi menghadapi dilema antara mengutamakan kepentingan masyarakat adat atau melakukan penegakan hukum. Mengutamakan kepentingan masyarakat adat berarti membiarkan sabung ayam (tajen) tetap berlangsung. Dengan demikian berarti memelihara tatanan sistem masyarakat, pola hubungan dan kebiasaan yang berjalan lancar demi mencapai tujuan masyarakat. Sedangkan melakukan tindakan hukum berarti pelaku atau penyelenggara sabung ayam harus ditangkap. Dengan melakukan tindakan hukum berarti Polri telah melakukan salah satu fungsinya yaitu sebagai kontrol sosial.

Berdasarkan uraian pemikiran-pemikiran pada latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penulisan skripsi dengan judul : “Peranan Kepolisian Dalam Penanggulangan Judi Sabung Ayam di Masyarakat Adat Bali”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka permasalahan yang akan dibahas dan dikemukakan dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Bagaimana peranan Polsek Seputih Banyak dan Polsek Palas dalam upaya penanggulangan judi sabung ayam di masyarakat adat Bali ?

2. Apakah yang menjadi faktor penghambat dalam upaya penanggulangan judi sabung ayam di masyarakat adat Bali khususnya wilayah hukum Polsek Seputih Banyak dan Polsek Palas?

2. Ruang Lingkup

Berdasarkan uraian permasalahan di atas, maka ruang lingkup bahasan dalam penelitian ini pada peranan Kepolisian terhadap penanggulangan judi sabung ayam di masyarakat adat Bali, lokasi


(11)

penelitian di wilayah hukum Polsek Seputih Banyak Kabupaten Lampung Tengah dan wilayah hukum Polsek Palas Kabupaten Lampung Selatan. Pada kegiatan upacara adat Bali yang berupa upacara tabuh rah yang identik dengan judi sabung ayam (tajen).

C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang akan dibahas, maka tujuan penelitian dari skripsi antara lain:

a. Untuk mengetahui peranan Polsek Seputih Banyak dan Polsek Palas dalam penangulangan judi sabung ayam di masyarakat adat Bali di wilayah hukumnya.

b. Untuk mengetahui faktor penghambat dalam upaya penanggulangan judi sabung ayam di masyarakat adat Bali.

2. Kegunaan Penelitian a. Teoristis

Secara teoristis kegunaan penelitian ini adalah untuk memberikan pemikiran sekaligus pengembangan ilmu hukum pidana terhadap penanggulangan judi sabung ayam di masyarakat adat Bali dengan lebih terperinci dan juga mengetahui faktor penghambat dalam melakukan penanggulangan judi sabung ayam di masyarakat adat Bali.

b. Praktis

Secara praktis kegunaan penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah diharapkan dapat berguna dan menambah wawasan bagi penulis untuk mengembangkan dan menerapkan ilmu hukum yang telah didapat, serta dapat memberikan informasi yang berguna bagi


(12)

pihak-pihak lain yang terkait khusunya dalam masalah penegakan hukum terhadap perjudian sabung ayam dimasyarakat adat Bali.

D. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah kerangka yang sebenarnya yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan indikasi atau kesimpulan terhadap demensi-demensi sosial yang dianggap relefan untuk penelitian oleh seorang peneliti. (Soerjono Soekanto, 1986:23)

Sebenarnya masalah kejahatan ini berawal mula dari masyarakat itu sendiri, karena masyarakat yang memberikan kesempatan melakukan kejahatan. Jadi untuk mencari asal mula terjadinya kejahatan adalah di masyarakat.

Menurut Soerjono Soekanto (1982:62) bahwa peran itu mengandung tiga hal yaitu:

a. Peran juga meliputi norma-norma yang dihubungkan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat yang membimbing seseorang dalam kehidupan masyarakat.

b. Peran merupakan suatu konsep prilaku atau yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.

c. Peran dapat dikatakan sebagai prilaku individu yang penting sebagai struktur sosial masyarakat.

Menurut Soerjono Soekanto Ilmu hukum pidana berfungsi memberi keterangan terhadap hukum pidana yang berlaku sebagai;

a. Gejala masyarakat, gejala kejahatan “penjahat” dan mereka yang ada kaitan dengan kejahatan.


(13)

c. Reaksi masyarakat terhadap kejahatan, baik secara resmi oleh penguasa maupun tidak resmi oleh masyarakat.

(Soerjono Soekanto, 1986:36)

Upaya penanggulangan tindak pidana perjudian yang digunakan penulis adalah dengan mengunakan teori kebijakan kriminal atau politik kriminal yang perananya sangat penting. Kebijakan kriminal adalah kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan terhadap tindak pidana perjudian. Kebijakan kriminal tidak terlepas dari kebijakan sosial (social policy) yang terdiri dari kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan untuk perlindungan masyarakat(social defence policy).

Soedarto mengungkapkan tiga arti kebijakan kriminal, yaitu :

1. Dalam arti sempit, keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum berupa pidana.

2. Dalam arti luas, keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi.

3. Sedang dalam arti yang paling luas ia merupakan keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat (Soedarto, 2006:113)

Penegakan hukum adalah dari keseluruhan aktivitas kehidupan yang pada hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai prilaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama dalam suatu peraturan yang berlaku, baik secara tertulis yang tertuang dalam suatu produk perundang-undangan dimaksudkan dalam rangka mengatur tata kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara agar lebih tertib dan berkepastian hukum.

Indra Darmawan, menyatakan Peran terbagi dalam tiga bentuk yaitu:


(14)

b. Peran faktual. c. Peran ideal.

(Indra Darmawan, 2004 : 25)

Tindak pidana yang ada dan dilakukan di masyarakat beraneka ragam, perjudian sabung ayam (tajen) salah satu bentuk tindak pidana yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini. Dengan perhatian utama pada peranan Kepolisian dalam menangulangi perjudian sabung ayam di masyarakat adat Bali.

Soerjono Soekanto, berpendapat bahwa faktor-faktor dalam penegakan hukum dipengaruhi oleh :

1. Faktor hukum sendiri atau peraturan itu sendiri. 2. Faktor penegak hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung. 4. Faktor masyarakat.

5. Faktor kebudayaan.

(Soerjono Soekanto, 2007:48)

Sabung ayam (tajen) adalah pertarungan dua ayam yang dipersenjatai taji di kakinya, tajen berasal dari kata taji yaitu sesuatu yang tajam atau benda yang tajam yang berada di kaki ayam. Taji juga bisa berarti pisau tajam yang diikat pada kaki ayam untuk diadu. Kata tajen ini sekarang di masyarakat Bali berarti perjudian sabung ayam.

Solidaritas sosial merupakan hal yang sangat menonjol dalam judi sabung ayam (tajen), wujud solidaritas kepada siapa seseorang harus bertaruh atau kepada siapa pula pantang bertaruh. Keberpihakan kelompok saat bertaruh dalam tajen adalah ungkapan solidaritas atau integrasi sosial dalam masyarakat.


(15)

Sedangkan permainan sabung ayam (tajen) itu sendiri berasal dari prosesi tabuh rah. Tabuh rah adalah salah satu runtutan upacara adat yang memiliki makna pengorbanan suci kepada Bhuta Khala yaitu makluk-makluk halus yang jahat dan makluk-makluk halus perwujudan dewa-dewa yang bersifat merusak. Dengan demikian tabuh rah merupakan salah satu runtutan dalam upacara adat, maka sabung ayam (tajen) adalah salah satu unsur kebudayaan masyarakat Bali.

2. Konseptual

Menurut pengertian (Soerjono Soekanto,1986:124) kerangka konseptual adalah suatu kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan anti-anti yang berkaitan dengan istilah yang ingin diteliti, baik dalam penelitian normatif maupun empiris.

Hal ini dilakukan, dimaksudkan agar tidak terjadi kesalah pahaman dalam melakukan penelitian. Maka disini akan dijelaskan tentang pengertian pokok yang dijadikan konsep dalam penelitian, sehinga akan memberikan batasan yang tetap dalam penafsiran terhadap beberapa istilah.

Istilah-istilah yang dimaksud adalah :

1. Pengertian Peranan adalah bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan. (Poerwadarminta.1995:87)

2. Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia)

3. Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka


(16)

tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketentraman, yang potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainya yang dapat meresahkan masyarakat. (Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia)

4. Penanggulangan penyakit masyarakat adalah serangkaian upaya untuk mengantisipasi pengemisan, dan pergelandangan, pelacuran, perjudian, penyalahgunaan obat dan narkotika, pemabukan, perdagangan manusia, penghisapan/praktik lintah darat, dan pungutan liar. (Penjelasan pasal 15 huruf c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia)

5. Judi adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapatkan untung tergantung pada mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya, yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya. (Penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian)

6. Hukum adat Bali adalah hukum adat yang diberlakukan bagi orang-orang Bali yang beragama Hindu (I Ketut Seregig, 2010: 102)

7. Upacara adat Bali adalah serangkaian kegiatan ritual keagamaan masyarakat adat yang dilakukan oleh masyarakat adat Bali yang beragama Hindu.

8. Tabuh rah adalah salah satu runtutan upacara adat tawuran darah yaitu pembayaran dengan darah atau dengan cara menaburkan darah pada tempat-tempat tertentu yang memiliki makna pengorbanan suci kepada Bhuta Khala yaitu makluk-makluk halus yang


(17)

jahat dan makluk-makluk halus perwujudan dewa-dewa yang bersifat merusak. (Pidada Kniten, 2005:5)

9. Sabung ayam (Tajen) adalah pertarungan dua ayam yang dipersenjatai taji dikakinya, tajen bersal dari kata taji yaitu sesuatu yang tajam atau benda yang tajam yang berada di kaki ayam. Taji juga bisa berarti pisau tajam yang diikat pada kaki ayam untuk diadu. 10. Kebijakan kriminal adalah kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan

kejahatan. Kebijakan kriminal tidak terlepas dari kebijakan sosial yang terdiri dari kesejahteraan sosial dan kebijakan untuk perlindungan masyarakat. (Sudarto, 2006:113)

E. Sistematika Penulisan

Agar pembaca dapat dengan mudah memahami isi dalam penulisan skripsi ini dan dapat mencapai tujuan yang diharapkan, maka skripsi ini disusun dalam 5 (lima) Bab dengan sistematika penulisan adalah sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Pada bab ini menguraikan tentang latar belakang pemilihan judul yang akan diangkat dalam penulisan skripsi. Kemudian permasalahan-permasalahan yang dianggap penting disertai pembatasan ruang lingkup penelitian. Selanjutnya juga membuat tujuan dan kegunaan penelitian yang dilengkapi dengan kerangka teori dan konseptual serta sistematika penulisan.


(18)

Bab ini berisikan tinjauan pustaka yang merupakan pengaturan dalam suatu pembahasan tentang pokok permasalahan mengenai pengertian perjudian, upacara tabuh rah dan judi sabung ayam (tajen) di masyarakat adat Bali, serta peranan Kepolisian terhadap penangulangan perjudian sabung ayam (tajen) di masyarakat adat Bali yang merupakan prosesi dari reruntutan upacara tabuh rah yang identik dengan perjudian.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang metode yang akan digunakan dalam penelitian berupa langkah-langkah yang dapat digunakan dalam melakukan pendekatan masalah, penguraian, tentang sumber data, jenis data serta prosedur analisis data yang telah didapat.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini pembahasan pokok-pokok permasalahan yang ada dalam skripsi serta menguraikan pembahasan dan memberikan masukan serta penjelasan tentang perjudian sabung ayam (tajen) di masyarakat adat Bali.

V. PENUTUP

Merupakan bab penutup dari penulisan skripsi yang secara singkat berisikan hasil pembahasan dari penelitian yang telah dilakukan dan kesimpulan serta saran-saran yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.


(19)

(20)

A. Pengertian Perjudian, Pandangan Masyarakat Tentang Perjudian, Macam-macam Perjudian dan Unsur-unsur Tindak Pidana Perjudian

1. Pengertian Perjudian

Pada hakikatnya perjudian adalah bertentangan dengan agama, kesusilaan dan moral Pancasila serta membahayakan masyarakat, bangsa dan negara dan ditinjau dari kepentingan nasional. Perjudian mempunyai dampak yang negatif merugikan moral dan mental masyarakat terutama generasi muda. Di satu pihak judi adalah merupakan masalah sosial yang sulit di tanggulangi dan timbulnya judi tersebut sudah ada sejak adanya peradaban manusia.

Judi atau permainan “judi” atau “perjudian” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “Permainan dengan memakai uang sebagai taruhan”. Kemudian Berjudi ialah “Mempertaruhkan sejumlah uang atau harta dalam permainan tebakan berdasarkan kebetulan, dengan tujuan mendapatkan sejumlah uang atau harta yang lebih besar dari pada jumlah uang atau harta semula”. (Poerwadarminta, 1995: 419).

Perjudian menurut Kartini Kartono adalah: “Pertaruhan dengan sengaja, yaitu mempertaruhkan satu nilai atau sesuatu yang dianggap bernilai dengan menyadari adanya risiko dan harapan-harapan tertentu pada peristiwa-peristiwa, permainan pertandingan, perlombaan dan kejadian-kejadian yang tidak/belum pasti hasilnya. (Kartini Kartono, 2005: 56).

Sedangkan perjudian menurut KUHP dalam Pasal 303 ayat (3) yang dirubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian disebutkan bahwa:


(21)

“Yang disebut permainan judi, adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapatkan untung tergantung pada mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya, yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya.”

2. Pandangan Masyarakat Tentang Perjudian

Berbagai kepentingan saling berbenturan dapat dimaklumi bahwa kepentingan-kepentingan itu tidak selalu bersamaan adanya. Semakin kompleks suatu masyarakat, akan semakin besar pula keaneka ragaman maupun perbedaan yang dapat dijumpai pada kepentingan-kepentingan anggota masyarakat. Masalah-masalah sosial merupakan perkembangan dari hubungan sosial antara individu-individu, antara individu dengan kelompok, atau hubungan antar manusia dalam suatu kelompok masyarakat. Hubungan sosial yang dimaksud merupakan sekitar lingkungan daripada ukuran nilai-nilai, kebiasaan, adat istiadat dan ideologi yang hidup dalam setiap masyarakat manusia. (Rizani Puspawidjaja, 2008: 5)

Kasus judi ataupun perjudian dari hari ke hari semakin marak. Masalah judi ataupun perjudian merupakan masalah klasik yang menjadi kebiasaan yang salah bagi umat manusia. Sejalan dengan perkembangan kehidupan masyarakat, ilmu pengetahuan, teknologi dan globalisasi maka tingkat dan modus kriminalitas juga mengalami perubahan baik kualitas maupun kuantitasnya. Pada hakikatnya judi maupun perjudian jelas-jelas bertentangan dengan agama, kesusilaan, dan moral Pancasila, serta membahayakan bagi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.

Kemudahan masyarakat untuk memperoleh informasi dari dunia luar dengan memanfaatkan kemajuan fasilitas teknologi informasi dan sebagai dampak langsung globalisasi dalam era reformasi maka pengaruh buruk terhadap sesuatu hal secara langsung akan dirasakan oleh


(22)

masyarakat, apalagi bagi masyarakat yang taraf pendidikan dan ekonominya menengah ke bawah. Sebagai dampaknya jalan pintas untuk memperoleh sesuatu bukan hal yang diharapkan, termasuk judi dan perjudian.

Secara psikologis, manusia Indonesia memang tidak boleh dikatakan pemalas, tapi memang agak sedikit manja dan lebih suka dengan berbagai kemudahan dan mimpi-mimpi yang mendorong perjudian semakin subur. Dari sisi mental, mereka yang terlibat dengan permainan judi ataupun perjudian, mereka akan kehilangan etos dan semangat kerja sebab mereka menggantungkan harapan akan menjadi kaya dengan berjudi.

Semua akibat-akibat yang ditimbulkan karena judi, jika dibandingkan dengan hasil yang dicapai, tidak ada manfaatnya lagi, atau dengan kata lain merehabilitasi masyarakat yang disebabkan oleh pengaruh atau akibat-akibat negatif dari perjudian, biaya yang lebih besar/berat dari pada dana (hasil yang diperoleh).

Mereka ada yang beranggapan pula bahwa tidak ada orang kaya dari judi. Demikianlah pandangan atau penilaian masyarakat yang menolak adanya judi dan dititik beratkan pada akibat-akibat negatifnya, disamping karena judi merupakan pantangan yang tidak boleh dilakukan dan harus dijauhi.

3. Macam-Macam Perjudian

Pada masa sekarang, banyak bentuk permainan yang sulit dan menuntut ketekunan serta keterampilan dijadikan alat judi. Misalnya pertandingan-pertandingan atletik, badminton, tinju, gulat dan sepak bola. Juga pacuan-pacuan misalnya : pacuan kuda, anjing balap, biri-biri dan karapan sapi. Permainan dan pacuan-pacuan tersebut semula bersifat kreatif dalam bentuk


(23)

asumsi yang menyenangkan untuk menghibur diri sebagai pelepas ketegangan sesudah bekerja. Di kemudian hari ditambahkan elemen pertaruhan guna memberikan insentif kepada para pemain untuk memenangkan pertandingan. Di samping itu dimaksudkan pula untuk mendapatkan keuntungan komersial bagi orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu.

Dalam penjelasan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, Pasal 1 ayat (1), disebutkan beberapa macam perjudian yaitu:

Bentuk dan jenis perjudian yang dimaksud Pasal ini meliputi: 1. Perjudian di Kasino, antara lain terdiri dari :

a. Roulette; b. Blackjack; c. Bacarat; d. Creps; e. Keno; f. Tombala;

g. Super Ping-Pong; h. Lotto Fair; i. Satan; j. Paykyu;

k. Slot Machine (Jackpot); l. Ji Si Kie;

m. Big Six Wheel; n. Chuc a Cluck;

o. Lempar paser/bulu ayam pada sasaran atau papan; p. Yang berputar (Paseran);

q. Pachinko; r. Poker; s. Twenty One; t. Hwa-Hwe; u. Kiu-Kiu.

2. Perjudian di tempat-tempat keramaian, antara lain terdiri dari perjudian dengan: a. Lempar paser atau bulu ayam pada papan atau sasaran yang tidak bergerak; b. Lempar gelang;

c. Lempat uang (coin); d. Koin;


(24)

e. Pancingan;

f. Menebak sasaran yang tidak berputar; g. Lempar bola;

h. Adu ayam; i. Adu kerbau;

j. Adu kambing atau domba; k. Pacu kuda;

l. Kerapan sapi; m. Pacu anjing; n. Hailai;

o. Mayong/Macak.

3. Perjudian yang dikaitkan dengan alasan-alasan lain antara lain perjudian yang dikaitkan dengan kebiasaan-kebiasaan:

a. Adu ayam; b. Adu sapi; c. Adu kerbau; d. Pacu kuda; e. Karapan sapi;

f. Adu domba atau kambing; g. Adu burung merpati;

Dalam penjelasan di atas, dikatakan bahwa bentuk perjudian yang terdapat dalam angka 3, seperti adu ayam, karapan sapi dan sebagainya itu tidak termasuk perjudian apabila kebiasaan-kebiasaan yang bersangkutan berkaitan dengan upacara keagamaan dan sepanjang kebiasaan-kebiasaan itu tidak merupakan perjudian.

Ketentuan Pasal ini mencakup pula bentuk dan jenis perjudian yang mungkin timbul dimasa yang akan datang sepanjang termasuk katagori perjudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 303 ayat (3) KUHP.

4. Unsur-Unsur Tindak Pidana Perjudian

Istilah delik merupakan kata serapan dari bahasa Belanda, yaitu Delict, yang berarti tindak pidana. Sama halnya dengan Strafbaarfeit diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi


(25)

tindak pidana. Dalam praktik bahasa sehari-hari istilah yang sering dipakai untuk menyatakan suatu perbuatan yang melanggar hukum, biasanya secara singkat disebut sebagai tindak pidana.

Penggunaan istilah delik, pada umunya digunakan dalam konteks yang berkaitan dengan artian teknis yuridis. Misalnya, delik formil, delik materiil, delik aduan, rumusan delik, dan sebagainya. Sebenarnya dapat saja digunakan istilah tindak pidana formil, tindak pidana materiil, tindak pidana aduan atau rumusan tindak pidana, namun bagi orang hukum penggunaan demikian dianggap janggal atau kurang afdol bagi mereka yang berkecimpung dibidang hukum. Dengan demikian telah jelas bahwa istilah delik apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti tindak pidana. (Tri Andrisman, 2009: 1)

Tindak pidana perjudian atau turut serta berjudi pada mulanya telah dilarang di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 542 KUHP, yang kemudian berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (4) dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, telah diubah sebutannya menjadi ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 303 bis KUHP, dan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1 dari Undang-undang yang sama, telah dipandang sebagai kejahatan.

Sesuai dengan terjemahan rumusan yang asli dalam bahasa Belanda, ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 542 KUHP yang kemudian menjadi ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 303 bis KUHP yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya satu bulan atau dengan pidana denda setinggi-tingginya tiga ratus rupiah;

1. Barang siapa memakai kesempatan yang terbuka untuk berjudi yang sifatnya bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 303;


(26)

2. Barang siapa turut serta berjudi diatas atau ditepi jalan umum atau suatu tempat yang terbuka untuk umum, kecuali jika penyelenggaraan perjudian itu telah diizinkan oleh kekuasaan yang berwenang memberi izin seperti itu.

(2) Jika pada waktu melakukan pelanggaran itu belum lewat waktu dua tahun sejak orang yang bersalah dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan salah satu pelanggaran-pelanggaran tersebut, maka ia dapat dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya tiga bulan atau dengan pidana denda setinggi-tingginya lima ratus rupiah.

Sesuai dengan yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, maka ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 303 bis KUHP berbunyi sebagai berikut:

(1) Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun atau dengan pidana denda setinggi-tingginya sepuluh juta rupiah:

1. Barang siapa memakai kesempatan yang terbuka untuk berjudi yang sifatnya bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 303;

2. Barang siapa turut serta berjudi diatas atau ditepi jalan umum atau disuatu tempat yang terbuka untuk umum, kecuali jika penyelenggaraan perjudian itu telah diizinkan oleh kekuasaan yang berwenang memberi izin seperti itu.

(2) Jika pada waktu melakukan pelanggaran itu belum lewat waktu dua tahun sejak orang yang bersalah dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena melakukan salah satu kejahatan-kejahatan tersebut, maka ia dapat dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya enam tahun atau dengan pidana denda setinggi-tingginya lima belas juta rupiah.

Tindak pidana yang dimaksudkan di dalam ketentuan pidana yang diatur Pasal 303 bis ayat (1) angka 1 KUHP terdiri atas Unsur-unsur objektif:

1. barang siapa;

2. memakai kesempatan yang terbuka untuk berjudi;

3. yang sifatnya bertentangan dengan salah satu dari ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 303 KUHP.


(27)

Unsur objektif pertama barang siapa itu menunjukan orang yang apabila ia terbukti memenuhi unsur-unsur selebihnya dari tindak pidana yang dimaksudkan di dalam ketentuan pidana yang diatur Pasal 303 bis ayat (1) angka 1 KUHP, maka ia dapat disebut pelaku dari tindak pidana tersebut.

Unsur objektif kedua memakai kesempatan yang terbuka untuk berjudi itu merupakan perbuatan yang dilarang di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 303 bis ayat (1) angka 1 KUHP.

Disini yang dimaksud dengan memakai kesempatan yang terbuka untuk berjudi bukan setiap pemakaian kesempatan yang terbuka ada orang yang memberikan kesempatan untuk berjudi, misalnya dengan berjualan di tempat dimana kesempatan untuk berjudi itu telah diberikan oleh seseorang, melainkan hanya pemakaian kesempatan dengan berjudi atau main judi.

Perlu diketahui bahwa tidak setiap pemakaian kesempatan yang terbuka untuk memperoleh keuntungan, yang digantungkan pada faktor kebetulan itu dapat dipandang sebagai pemakaian kesempatan yang terbuka dengan berjudi, karena di negara kita orang perlu membuat perbedaan antara perjudian atau main judi dengan ikut lotre atau main lotre. (P.A.F. Lamintang, 2009:309)

B. Pengertian Adat, Hukum Adat dan Hukum Adat Bali

1. Pengertian Adat

Dalam buku berjudul hukum adat Indonesia yang ditulis I Gede AB Wiranata dijelaskan mengenai ragam dan batasan pengertian adat, yaitu;

a. Adat sebagai aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazin diturut atau dilakukan sejak dahulu kala.


(28)

c. Adat sebagai cukai menurut peraturan yang berlaku (di pelabuhan).

d. Adat sebagai wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas budaya, norma, hukum, dan aturan-aturan yang satu dengan lainya berkaitan menjadi suatu sistem. ( I Gede AB Wiranata, 2005:4)

2. Pengertian Hukum Adat

Berikut ini beberapa kejelasan yang dimaksud dengan hukum adat oleh para ahli yaitu:

a) Menurut Cornelis van Vollenhoven hukum adat adalah himpunan peraturan tentang prilaku yang berlaku bagi orang pribumi dan Timur Asing pada satu pihak mempunyai sanksi (karena bersifat hukum), dan pada pihak lain berada dalam keadaan tidak dikondifikasikan (karena adat)

b) Menurut Soerjono Soekanto hukum adat pada hakikatnya merupakan hukum kebiasaan, artinya kebiasaan-kebiasaan yang mempunyai akibat hukum (sein-sollen).

c) Menurut Soekanto hukum adat adalah kompleks adat-adat yang kebanyakan dikitabkan, tidak dikondifikasikan dan bersifat paksaan memiliki sanksi (dari hukum itu)

d) Menurut kesimpulan hasil “Seminar Hukum Adat dan Pembangunan Hukum Nasional” hukum adat diartikan sebagai hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang disana-sini mengandung unsur agama.

(C. Dewi Wulan Sari, 2010:23)

3. Pengertian Hukum Adat Bali

Hukum adat Bali adalah hukum adat yang diberlakukan bagi orang-orang Bali yang beragama Hindu. Pemahaman ini membawa dampak stategis bagi perkembangan hukum adat Bali sebagai kontribusi nilai keadilan hukum bagi umat Hindu Indonesia.

Penggunaan kata adat oleh umat Hindu Bali sudah mengakar dalam kehidupan sehari-hari, adat sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Hindu Bali, oleh karena itu adat dianggap sesuatu yang memiliki nilai sakral.

Bagi masyarakat Hindu Bali, hukum adalah undang-undang atau peraturan yang dibuat oleh pemerintah, sedangkan adat dianggap sebagai aturan yang dibuat oleh masyarakat yang wujudnya berupa awing-awing atau perarem-pararem. Kata adat dalam lingkungan masyarakat


(29)

Hindu Bali sering dijadikan sebagai bentuk penegasan perilaku masyarakat, peraturan, dan lembaga.

Pandangan masyarakat Bali, pengertian kata Bali berdasarkan penggunaan dan penempatan katanya dalam suatu kalimat, dapat diinterprestasikan ke dalam dua pengertian. Di mana masing-masing membawa konsekuensi dalam penerapan hukum itu sendiri di lingkungan masyarakat Bali.

Pertama, apabila kata Bali diartikan sebagai orang, maka dalam pelaksanaan hukum adat Bali penekananya terletak pada subjek hukumnya yaitu, orang Bali dan wilayah diberlakukanya hukum adat tersebut bukan saja di daerah Bali saja, tetapi juga seluruh nusantara, karena orang-orang Bali saat ini sudah menyebar di seluruh nusantara.

Kedua, apabila Bali diartikan sebagai tempat atau lokasi, maka konsekuensi penerapan hukum adat Bali penekananya ada pada wilayah hukumnya, dalam hal ini adalah daerah Bali.

Dalam pelaksanaan hukum adat Bali akan menemui hambatan, karena dalam pengertianya masih dapat perbedaan. Walaupun belum ada penegasan secara pasti mengenai sasaran yang akan dituju dalam pelaksanaan hukum adat Bali, apakah berorientasi pada subjek atau wilayah hukumnya. Terhadap hal tersebut masyarakat Hindu Bali tidak mempersoalkanya. (I Ketut Seregig, 2010: 102).


(30)

1. Pengertian Tabuh Rah

Kata tabuh rah merupakan kata majemuk yakni rangkaian dua buah kata yang berasal dari kata tabuh dan rah. Secara etimologis kata tabuh rah berasal dari kata tawur adalah nawur. Dalam bahasa-bahasa yang ada di Indonesia berlaku hukum perubahan bunyi antara lain aturan perubahan bunyi RGH, RDL, PBW.

Katatawurkemudian menjadi tabur dari “W” menjadi “B”. Contoh lain watumenjadibatu,wani menjadibani, wetismenjadibetis, wangunanmenjadibangunan,baba menjadibapa.

Selanjutnya kata tabur mengalami perubahan bunyi menjadi tabuh menikuti hukum perubahan bunyi RGH yaitu “R” berubah menjadi “H”. Sebagai contoh bubur menjadi bubuh, natar menjadinatahdansanggarmenjadisanggah.

Menurut aturan perubahan bunyi RDL maka kata “Darah” berubah menjadi Rarah, karena “D” berubah bunyi menjadi “R”. Dalam hukum bahasa-bahasa Indonesia ada dikatakan bahwa bunyi “R” dan “H” dapat hilang atau aus. Lalu dari katadarah menjadirarah, rarahmenjadiraahdan akhirnya menjadirah.

Dengan uraian secara etimologis ini maka kata tabuh rah berarti tawur darah yaitu pembayaran dengan darah atau dengan cara menaburkan darah pada tempat-tempat tertentu. (Pidada Kniten, 2005:4)

Tabuh rah atau taburan darah binatang korban yang dilaksanakan dalam rangkaian upacara agama (yadnya). Dalam lontar Siwa Tattwa Purana maupun dalam lontar Yadnya Prakerti dinyatakan upacara tabuh rah boleh dilangsungkan sebagai kelengkapan saat upacara mecaru atau Bhuta Yadnya pada hari tilem.


(31)

Upacara yadnya dalam agama Hindu memang ada proses menaburkan lima warna zat cair yang disebut matatabuhan atau matabuh. Ada berwarna putih dengan tuak, berwarna kuning dengan arak, berwarna hitam dengan berem, berwarna merah dengan taburan darah binatang dan ada dengan warna brumbun dengan mencampur empat warna tersebut.

Matabuh dengan lima zat cair adalah simbol untuk mengingatkan agar umat manusia menjaga keseimbangan, lima zat cair yang berada dalam Bhuwana Alit. jika lima zat cair itu berfungsi dengan baik maka orang pun akan hidup sehat dan bertenaga untuk modal mengabdi dalam hidupnya ini.

Lima zat cair yang disimbolkan adalah darah merah, darah putih, kelenjar perut yang berwarna kuning, kelenjar empedu warnanya hitam dan air itu sendiri simbol semua warna atau brumbun. Air itu bening berwarna netral, perpaduan fungsi lima zat cair dalam tubuh inilah yang akan membuat hidup sehat.

Matabuh dengan warna merah dengan darah inilah yang dimanipulasi dengan menyabung ayam dalam bentuk tajen lengkap dengan berjudinya. Menaburkan darah ayam ini hanyalah alasan, tetapi yang dipentingkan adalah judiannya. Ini mungkin pada zaman kerajaan dahulu juga sangat marak dilakukan oleh masyarakat.

Pada saat itu raja sebagai penguasa mengeluarkan pembatasan dalam bentuk Prasasti Batur Abang tahun Caka 933 dan Prasasti Batuan tahun Caka 944. Prasasti tersebut hanya boleh menyabung ayam tiga pasang pertarungan untuk upacara tabuh rah bukan judian tajen.

Upacara yadnya ketentuan menyabung ayam dalam tabuh rah tidak mutlak. Sabungan ayam yang disebut perang sata itu dapat diganti dengan sarana lain. Misalnya dengan mengadu telor, tingkih


(32)

atau kelapa gading. Itu hanyalah pilihan, pada zaman Kaliyoga ini sebaiknya perang sata itu diganti dengan salah satu sarana pengganti tersebut.

Dasar- dasar penggunaan tabuh rah tercantum di dalam Prasasti Bali Kuna adalah sebagai berikut:

1. Prasasti Sukawana Al 804 Caka. 2. Prasasti Batur Abang A 933 Caka. 3. Prasasti Batuan 944 Caka.

Pelaksanaan Tabuh Rah yaitu:

1. Diadakan pada tempat dan saat- saat upacara berlangsung oleh Sang Yajamana.

2. Pada waktu perang satha disertakan toh dedamping yang maknanya sebagai pernyataan atau perwujudan dari keikhlasan Sang Yajamana beryadnya, dan bukan bermotif judi.

2. Pengertian Sabung Ayam (tajen)

Tajen merupakan sebuah tradisi sabung ayam di Bali yang dilakukan dengan memasang taji, yaitu sebuah pisau kecil yang dipasang di kaki dua ayam jantan yang diadu sebagai senjata untuk membunuh lawan. Tajen biasanya dilakukan di pura-pura, arena sabung ayam atau bahkan tempat-tempat wisata yang memang menyediakan arena sabung ayam (tajen) sebagai obyek wisata.

Tajen (sabung ayam) dengan kedok tabuh rah itu suatu perbuatan dosa dan melanggar hukum negara. Kitab suci Rgweda X.34.13, Rgweda X.34.10, Rgweda X.34.3, dengan tegas melarang orang berjudi. Berjudi itu dapat menyengsarakan keluarga. Kerjakanlah sawah ladang dan cukupkan dan puaskanlah penghasilan itu, demikian antara lain isi Mantra weda tersebut.


(33)

Manawa Dharmasastra IX, Sloka 221 s.d. 228 menegaskan tentang pelarangan orang berjudi dan minuman keras yang disebutkan sebagai pencurian tersamar. Dalam kitab Manawa Dharmasastra tersebut ada dua istilah yang disebutkan yaitu Dyuta artinya judian dan Samahwaya artinya pertaruhan. Kalau bermain dengan benda mati seperti dengan uang disebut berjudi. Kalau menggunakan benda hidup sebagai taruhan berjudi seperti ternak disebutSamahwaya.

Dalam Sloka 221 kitab Manawa Dharmasastra tersebut di atas disebutkan: hendaknya perjudian dan bertaruh supaya benar-benar dilarang di wilayah pemerintahan, karena kedua hal itu sebagai penyebab hancurnya negara dan merosotnya generasi muda. Dalam Sloka 222 disebutkan perjudian dan pertaruhan menimbulkan pencurian karena itu pemerintah (raja) harus melarang kedua kegiatan itu.

Sloka 224 menyebutkan hendaknya pemerintah (raja) memberikan hukuman badan pada mereka yang berjudi. Sloka 225 menyebutkan judi dan pertaruhan, orang-orang kejam dan penjual minuman keras harus segera dijauhkan dari wilayah kerajaan (negara). Sloka 226 menegaskan bahwa berjudi dan bertaruh itu sebagai pencuri tersamar.

Kebiasaan buruk itu segera akan mengganggu dan mempengaruhi penduduk yang baik-baik. Sloka 227 menegaskan bahwa judi itu selalu sebagai sumber permusuhan, karena itu orang yang baik hendaknya menjauhi judian itu meskipun hanya untuk hiburan belaka. Judian sabung ayam (tajen) juga melakukan penyiksaan binatang untuk pemuasan hawa nafsu belaka. Menyiksa binatang seperti itu pun juga dosa sebagaimana dinyatakan dalam kutipan Sloka di atas.

D. Polisi, Tugas dan Wewenang Kepolisian


(34)

Ditinjau dari etimologi istilah Polisi di beberapa negara memiliki ketidak samaan, seperti di Yunani istilah polisi dengan sebutan politeia,di Inggris police juga dikenal istilahcanstable, di Jerman polizie, di Amerika dikenal dengan sheriff, di Belanda politie di Jepang dengan istilah kobandanchuzaisho.

Jauh sebelum istilah polisi lahir sebagai organ, kata “polisi” telah dikenal dalam bahasa Yunani, yaitu politeia digunakan sebagai title buku pertama Plato, yakni politeia yang mengandung makna suatu negara yang ideal sekali sesuai dengan cita-citanya, sutau negara yang bebas dari pemimpin negara yang rakus dan jahat, tempat keadilan dijunjung tinggi. (Azhari, 1995:19)

Dilihat dari sisi historis “polisi” di Indonesia tampaknya mengikuti dan mengunakan istilah politie di Belanda. Hal ini sebagai akibat dan pengaruh dari bangunan sistem hukum Belanda yang banyak dianut di negra Indonesia.

Menurut Van Vollenhoven dalam bukunya politie Overzee sebagaimana dikutip oleh Momo Kelana istilah politiemengandung arti sebagai organ dan fungsi, yakni sebgai organ pemerintah dengan tugas mengawasi, jika perlu menggunakan paksaan upaya yang diperintah menjalankan dan tidak melakukan larangan-larangan perintah. (Momo Kelana, 1984:18)

Menurut Charles Reith mengatakan polisi sebagai tiap-tiap usaha untuk memperbaiki atau menerbitkan tata susunan kehidupan masyarakat. Lebih lanjut Momo Kelana mengatakan bahwa istilah polisi mempunyai dua arti, yakni dalam arti formal yang mencakup penjelasan tentang organisasi dan kedudukan suatu instansi kepolisian, dan kedua dalam arti materiil, yakni memberikan jawaban-jawaban terhadap persoalan-persoalan tugas dan wewenang dalam rangka menghadapi bahaya atau gangguan keamanan dan ketertiban, baik dalam rangka kewenangan


(35)

kepolisian umum melalui ketentuan-ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. (Momo Kelana, 1972:22)

Sesuai dengan Kamus Umum Bahasa Indonesia (Purwodarminto, 1986) bahwa Polisi diartikan:

1) Sebagai badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum (seperti penangkapan orang yang melanggar undang-undang),

2) Anggota dari badan pemerintahan tersebut diatas (pegawai negara yang bertugas menjaga keamanan).

Berdasarkan pengertian dari Kamus Umum Bahasa Indonesia tersebut ditegaskan, bahwa kepolisian sebagai badan pemerintah yang diberi tugas memelihara keamanan dan ketertiban umum. Dengan demikian arti polisi tetap ditonjolkan sebagai badan atau lembaga yang harus menjalankan fungsi pemerintahan, dan sebagai sebutan anggota dari lembaga. (Sadjijono, 2009:4)

2. Tugas Kepolisian

a. Tugas Pokok Kepolisian

Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Tugas pokok Polri yakni: memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Menurut pendapat R. Abdussalam, mengemukakan bahwa keamanan dan ketertiban adalah keadaan bebas dari kerusakan dan kehancuran yang mengancam keseluruhan atau perorangan dan memberikan rasa bebas dari ketakutan atau kekhawatiran, sehingga ada kepastian dan rasa


(36)

kepastian dari jaminan segala kepentingan atau suatu keadaan bebas dari pelangaran norma-norma hukum. (R. Abdussalam, 1997:22)

Penyelenggaraan tugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat tersebut dicapai melalui tugas preventif dan tugas represif. Tugas preventif dilaksananakan dengan konsep dan pola pembinaan dalam wujud pemberian pengayoman, perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat, agar masyarakat merasa aman, tertib, dan tentram. Tugas di bidang represif adalah mengadakan penyidikan atas kejahatan dan pelanggaran menurut ketentuan dalam undang-undang. (Sadjijono, 2009:111)

b. Tugas Pembinaan

Dalam penyelenggaraan kepolisian memiliki tugas pembinaan, yaitu tugas dalam rangka memberi bimbingan tehnis maupun taktis dalam menjalankan fungsi kepolisian. Tugas pembinaan ini diberikan kepada lembaga-lembaga atau masyarakat potensial yang berdasarkan undang-undang diberikan tugas dan tanggungjawab menjalankan fungsi kepolisian, yang dalam istilah lain alat-alat kepolisian khusus.

Sesuai dengan Pasal 1 Keputusan Presiden Nomor 372 Tahun 1962, yang dimaksud alat-alat kepolisian khusus adalah alat atau badan sipil pemerintah yang oleh atau atas kuasa undang-undang diberikan wewenang untuk melakukan tugas kepolisian dibidang masing-masing.

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, menyebutkan bahwa, pengemban fungsi kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh:


(37)

b. Penyidik pegaai negri sipil; dan/atau c. Bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.

3. Wewenang Kepolisian

Wewenang kepolisian ini hanya difokuskan pada wewenang kepolisian yang diperoleh secara atributif, yaitu wewenang yang diperoleh dan diatur dalam peraturan peundang-undangan. Sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, meliputi:

Pasal 15 ayat (1) :

a. menerima laporan dan/atau pengaduan;

b. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;

c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;

d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;

e. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian; f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka

pencegahan;

g. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;

h. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; i. mencari keterangan dan barang bukti;

j. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;

k. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;

l. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;

m. menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu. Pasal 15 ayat (2)

a. memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya;

b. menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor; c. memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;

d. menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;

e. memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam;

f. memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan;


(38)

g. memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;

h. melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional;

i. melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;

j. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional; k. melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.


(39)

E. Pengertian Peran dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Dalam Penegakan Hukum

1. Pengertian Peran

Sebelum membahas peranan kepolisian terlebih dahulu akan dikemukakan pengertian peran dalam pengertian sosiologis adalah prilaku atau tugas yang diharapkan dilaksanakan seseorang berdasarkan kedudukan atau status yang dimilikinya.

Menurut Soerjono Soekanto bahwa peran itu mengandung tiga hal yaitu:

a. Peran juga meliputi norma-norma yang dihubungkan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat yang membimbing seseorang dalam kehidupan masyarakat.

b. Peran merupakan suatu konsep prilaku atau yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.

c. Peran dapat dikatakan sebagai prilaku individu yang penting sebagai struktur sosial masyarakat.

(Soerjono Soekanto, 1982:62)

Polisi memiliki peran sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Pemaknaan akan peran pelindung, pengayom dan pelayan bisa beragam dari berbagai tinjauan. Pemaknaan perlindungan, adalah anggota Polri yang memiliki kemampuan memberikan perlindungan bagi masyarakat sehingga terhindar dari rasa takut, bebas dari ancaman atau bahaya serta memberikan ketentraman dan kedamaian. Pemaknaan pengayoman, adalah anggota Polri yang memiliki kemampuan memberikan bimbingan, petunjuk, arahan, dorongan, ajakan, pesan dan nasehat yang dirasakan bermanfaat bagi warga masyarakat guna terciptanya rasa aman dan tentram. Pemaknaan pelayanan, adalah anggota polri yang dalam setiap langkah pengabdianya dilakukan secara bermoral, beretika, sopan, ramah dan profesional.


(40)

a. Peran normatif, adalah peran sebagai norma atau aturan-aturan yang harus diterapkan oleh seseorang agar menjadi aturan yang berlaku di dalam masyarakat yang dihubungkan dengan posisi atau status seseorang/instansi.

b. Peran faktual, adalah peran yang meliputi kejadian nyata dari prilaku seseorang/individu yang dijadikan contoh oleh masyarakat.

c. Peran ideal, adalah status yang diberikan pada individu oleh masyarakat karena prilaku yang penting yang diterapkan dalam masyarakat.

(Indra Darmawan, 2004 : 25)

Bentuk peran normatif Kepolisian berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia dinyatakan bahwa: Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Dalam Penegakan Hukum

Penegakan hukum adalah dari keseluruhan aktivitas kehidupan yang pada hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai prilaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama dalam suatu peraturan yang berlaku, baik secara tertulis yang tertuang dalam suatu produk perundang-undangan dimaksudkan dalam rangka mengatur tata kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara agar lebih tertib dan berkepastian hukum.

Soerjono Soekanto, berpendapat bahwa faktor-faktor penegakan hukum dipengaruhi oleh :

1. Faktor hukum sendiri atau peraturan itu sendiri. Contoh, tidak diketahuinya asas-asas berlakunya undang-undang, belum adanya peraturan pelaksana yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undang serta ketidak jelasan arti kata-kata di dalam undang-undang yang mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta penerapanya. 2. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.


(41)

dengan siapa dia berinteraksi, tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi, kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat suatu proyeksi.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Contohnya, dapat dianut jalan pikiran sebagai berikut : yang tidak ada, diadakan yang baru betul; yang rusak atau salah, diperbaiki atau dibetulkan; yang kurang ditambah; serta yang macet, dilancarkan. 4. Faktor masyarakat, yakni faktor lingkungan dimana hukum tersebut diterapkan.

Contohnya, masyarakat tidak mengetahui akan adanya upaya-upaya hukum untuk melindungi kepentingan-kepentinganya; tidak berdaya untuk memanfaatkan upaya-upaya hukum karena faktor-faktor keuangan, psikis, sosial atau politik, dan lain sebagainya. 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, rasa yang didasarkan pada karsa

manusia di dalam pergaulan hidup. Contohnya, nilai ketertiban dan nilai ketentraman, nilai jasmaniah/kebendaan dan nilai rohaniah, nilai kelanggengan dan nilai kebaruan. (Soerjono Soekanto, 2007: 48)

Berdasarkan uraian tersebut maka kelima faktor yang telah disebutkan mempunyai pengaruh terhadap penegakan hukum. Mungkin pengaruhnya adalah positif dan mungkin juga negatif. Akan tetapi, di antara faktor tersebut, faktor penegak hukum menempati titik sentral. Hal ini disebabkan, oleh karena undang-undang disusun oleh penegak hukum, penerapanya dilaksanakan oleh penegak hukum dan penegak hukum dianggap sebagai golongan panutan hukum oleh masyarakat.


(42)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dan yurudis empiris.

1. Yuridis normatif dilakukan dengan cara mempelajari buku-buku, bahan-bahan bacaan literatur peraturan perundang-undangan yang menunjang dan berhubungan sebagai penelaahan hukum terhadap kaidah yang dianggap sesuai dengan penelitian hukum tertulis. Penelitian normatif dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis asas-asas hukum, dasar hukum dan konsep-konsep hukum.

2. Yuridis empiris yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mengadakan penelitian di lapangan terhadap pihak-pihak yang dianggap mengetahui permasalahan yang berhubungan dengan penelitian.

B. Sumber dan Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui dua sumber yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder.

1. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari objek penelitian lapangan yang berkaitan dengan permasalahan yang ada dalam penelitian ini yang dilakukan di Polsek Seputih Banyak dan Polsek Palas.

2. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan terhadap bahan-bahan hukum yang terdiri dari:


(43)

a. Bahan hukum primer yaitu antara lain meliputi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

b. Bahan hukum sekunder yaitu meliputi buku-buku, literatur dan karya ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan.

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, antara lain meliputi buku-buku, literatur, karya ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti, surat kabar, kamus besar bahasa Indonesia, kamus hukum dan ensiklopedia.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya dapat diduga (Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, 1989 : 152). Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat adat Bali Palas dan masyarakat adat Bali Seputih Banyak. Penentuan responden pada penulisan ini menggunakan metode pengambilan sample secara purposive sampling yang berarti bahwa dalam penentuan sample disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai dan dianggap telah mewakili populasi terhadap masalah yang akan diteliti. Sesuai dengan metode penentuan sample dari populasi yang akan diteliti secara hirarki sebagaimana tersebut diatas maka responden dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kepala Polsek Seputih Banyak : 1 orang 2. Tokoh adat Bali Seputih Banyak : 1 orang 3. Kepala Polsek Palas : 1 orang 4. Tokoh adat Bali Palas : 1 orang


(44)

Jumlah : 5 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur pengumpulan data

Prosedur pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Studi kepustakaan digunakan untuk memperoleh data sekunder, dilakukan melalui serangkaian kegiatan dengan cara membaca, mencatat, dan mengutif literatur-literatur, perundang-undangan, dokumen, dan pendapat para sarjana dan ahli hukum yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini.

b. Studi lapangan guna memperoleh data primer dilakukan dengan cara wawancara dengan responden yang telah direncanakan sebelumnya (Abdulkadir Muhammad, 2004 : 151)

2. Pengolahan Data

Data yang diperoleh akan dilakukan pengolahan melalui tahapan sebagai berikut:

a. Editing, yaitu data yang diperoleh dari penelitian diperiksa dan diteliti kembali mengenai kelengkapannya, kejelasannya dan kebenarannya sehingga terhindar dari kekurangan dan kesalahan.

b. Interprestasi, yaitu menghubungkan, membandingkan dan menguraikan data serta mendeskripsikannya dalam bentuk uraian untuk kemudian ditarik suatu kesimpulan.

c. Sistematisasi, yaitu penyusunan data secara sistematis sesuai dengan pokok permasalahan sehingga memudahkan analisis data.


(45)

Pada penulisan skripsi, analisis terhadap data sekunder dilakukan dengan cara menginventarisasi ketentuan peraturan yang berkaitan dengan penelitian ini untuk menemukan doktrin dari teori-teori yang erat hubunganya dengan kebiasaan sabung ayam (tajen) di masayarakat adat Bali yang berdalil upacara tabuh rah yang identik dengan perjudian.

Sedangkan terhadap data primer dilakukan analisis deskritif kualitatif, yaitu mendeskripsikan atau menggambarkan data dan fakta yang dihasilkan dari hasil penelitian dilapangan dengan suatu interpretasi, evaluasi dan pengetahuan umum. Selanjutnya data yang diperoleh dari penelitian baik data primer maupun data sekunder kemudian dianalisis dengan menggunakan metode induktif, yaitu suatu cara berfikir yang dilaksanakan pada fakta-fakta yang bersifat umum, yang kemudian dilanjutkan dengan pengambilan kesimpulan yang bersifat khusus.


(46)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Bertitik tolak dari seluruh pembahasan dan analisis yang telah diuraikan penulis pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Secara normatif Polisi memiliki peran sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat berdasarkan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri. Pada kenyataanya di lapangan dalam Penanggulangan judi sabung ayam di masyarakat adat Bali di wilayah Palas dan Seputih Banyak, polisi mengunakan peranan faktual yaitu dengan melakukan kebijakan dengan memberikan kebebasan kepada masyarakat adat untuk menjalankan kegiatan adat yang berupa upacara tabuh rah (tajen). Upacara tabuh rah (tajen) yang sebelumnya memiliki makna yang religius sekarang berubah menjadi ajang pertaruhan uang yang berupa perjudian sabung ayam, terhadap kegiatan tersebut timbul hubungan patronklien antara kepolisian dengan tokoh masyarakat adat Bali, hubungan patronklien itu berupa pemberian sejumlah uang kutipan dari hasil sabung ayam kepada oknum polisi yang datang ke lapangan yang dikenal dengan istilah pengecukan. Meskipun hal tersebut dilarang namun praktek perjudian sabung ayam tetap berlangsung sampai sekarang.


(47)

2. Faktor-faktor penghambat dalam penanggulangan judi sabung ayam di masyaraka adat Bali:

a. Faktor hukum yaitu tidak adanya pembedaan yang tegas antara sabung ayam yang menjadi kegiatan adat dan sabung ayam yang bukan merupakan kegiatan adat (judi).

b. Faktor penegakan hukum yaitu terdapat hubungan patronklien antara kepolisian dengan penyelenggara tajen.

c. Faktor masyarakat yaitu kesadaran masyarakat yang minim terhadap penegakan hukum, sabung ayam yang susah untuk ditinggalkan karena masih dipengaruhi oleh kebiasaan adat masyarakat Bali.

d. Faktor kebudayaan yaitu sabung ayam merupakan suatu kebiasaan adat Bali dan sudah mendarah daging. Kebudayaan sangat dijunjung tinggi di masyarakat adat Bali.

B. Saran

Setelah melakukan pembahasan dan penarikan kesimpulan dalam skripsi ini, maka saran-saran yang dapat disampaikan adalah :

1. Masyarakatr adat Bali diharapkan agar bisa menghilangkan unsur judi yang mengiringi upacara tabuh rah, agar tidak ada kesan seolah-olah agama Hindu itu mengajarkan judi. Maka sabung ayam untuk tabuh rah hendaknya diganti dengan menyembelih ayam kemudian menaburkan darah ayam atau menyajikan dalam bentuk caru.

2. Tokoh-tokoh adat Bali diharapkan dapat bekerja sama dalam menumpas perjudian sabung ayam sehingga tidak ada lagi praktek-praktek Pengecukan


(48)

dan hubungan patronklien antara Polisi dengan penyelenggara tajen. Sehingga judi tajen bisa bener-benar dihapuskan.

3. Kepada para Sulinggih (Pemuka Agama Hindu) kiranya dapat memberikan wejangan atau pemahaman terhadap bentuk pelaksanaan upacara tabuh rah yang seharusnya dilakukan. Sehingga tidak terjadi pergeseran makna dari upacara tabuh rah yang sebelumnya sakral/religius menjadi ajang pertaruhan uang.

4. Kepada penegak hukum (polisi) diharapkan lebih sigap dan bertindak aktif dalam menangani masalah perjudian sabung ayam di masyarakat adat Bali. Sehingga perjudian dalam bentuk apapun dapat diberantas sehingga hukum benar-benar dapat ditegakan.


(49)

DAFTAR PUSTAKA

Abdussalam, R. 1997. Penegakan hukum di Lapangan Oleh Polri. Dinas Hukum Polri. Jakarta.

Andrisman, Tri. 2009. Asas-asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

. 2009. Delik Khusus Dakam KUHP. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Azhari. 1995. Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis Normatif Terhadap Unsur-unsurnya. UI press. Jakarta.

Darmawan, Indra. 2004.Dinamika Sosiologi.Jakarta.

Hasibuan, Melayu S.P. 1994. Organisasi dan Manajemen. Rajawali Press. Jakarta.

Kartono, Kartini. 2005.Patologi Sosial. Grafindo Persada. Jakarta.

Kelana, Momo. 1972. Hukum Kepolisian (perkembangan di Indonesia) Suatu Studi Historis Komperatif. PTIK. Jakarta.

. 1984.Hukum Kepolisian. PTIK. Jakarta.

Keniten, Pidada. 2005.Tinjauan judi dan Tabuh Rah. Paramita. Surabaya.

Komite Kepolisian Indonesia. 2008. Lanjutan Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia.www.komisikepolisianindonesia.com

Lamintang, P.A.F. dan Theo Lamintang. 2009. Delik-delik Khusus kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan. Sinar Grafika. Jakarta.

Mertokusumo, Sudikno. 2005. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Liberty. Yogyakarta.

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Mustopawijaya. 2004. Dasar-Dasar Administrasi dan Kebijakan Publik. Renika Cipta. Jakarta.


(50)

Poerwadarminta.1995.Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. Purwodarminto, W.J.S. 1986. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka.

Jakarta.

Puspawidjaja, Rinjani. 2008. Dinamika Pembentukan kelompok Sosial Dalam Masyarakat Indonesia. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Sadjijono. 2010.Memahami Hukum kepolisian. LaksBang. Yogyakarta.

Seregig, I Ketut. 2007. Organisasi dan Hukum Adat Bali. Paradigma. Yogyakarta.

. 2010. Nilai keadilan Hukum Adat Bali. Paradigma. Yogyakarta.

Singarimbun, Masri dan sofyan Effendi. 2000.Metode Penelitian survey. LP3ES. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1976. Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia. Universitas Indonesia. Jakarta.

. 1982. Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat. Raja Gafindo Persada. Jakarta.

. 1986.Beberapa Aspek Penelitian Hukum. Rajawali. Jakarta. . 2007. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (Edisi 1) Cetakan Ketujuh.PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Sudarto. 2006.Kapita Selekta Hukum Pidana. PT. Alumni. Bandung.

Universitas Lampung. 2010. Format Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Wulansari, C Dewi. 2010. Hukum Adat Indonesia Suatau Pengantar. Aditama. Bandung.

UU. No. 1 Tahun 1946. tentangPeraturan Hukum Pidana. UU. No. 7 Tahun 1974. tentangPenertiban Perjudian. UU. No. 2 Tahun 2002. tentangKepolisian.


(51)

PERANAN KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN JUDI SABUNG AYAM DI

MASYARAKAT ADAT BALI (Study Kasus di Polsek

Seputih Banyak dan Polsek Palas)

(Skripsi)

Oleh MADE PUJANA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS

LAMPUNG BANDAR LAMPUNG


(52)

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang... 1

B. Permasalahan Dan Ruang Lingkup... 8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9

D. Kerangka Teori dan Konseptual ... 10

E. Sistematika Penulisan ... 16

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perjudian, Pandangan Masyarakat Tentang Perjudian, Macam-macam Perjudian dan Unsur-unsur Tindak Pidana Perjudian... 18

1. Pengertian Perjudian ... 18

2. Pandangan Masyarakat Tentang Perjudian... 19

3. Macam-Macam Perjudian... 21

4. Unsur-Unsur Tindak Pidana Perjudian ... 23

B. Pengertian Adat, Hukum Adat dan Hukum Adat Bali ... 26

1. Pengertian Adat ... 26

2. Pengertian Hukum Adat ... 27

3. Pengertian Hukum Adat Bali... 27

C. Pengertian Tabuh Rah dan Sabung Ayam (tajen)... 29

1. Pengertian Tabuh Rah... 29

2. Pengertian Sabung Ayam (tajen) ... 31

D. Pengertian Polisi, Tugas dan Wewenang Kepolisian ... 33

1. Pengertian Polisi ... 33

2. Tugas Kepolisian ... 35

3. Wewenang Kepolisian ... 36

E. Pengertian Peran dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Dalam Penegakan Hukum. ...38

1. Pengertian Peran. ... 38

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Dalam Penegakan Hukum... 39

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 41

B. Sumber dan Jenis Data... 41

C. Penentuan Populasi dan Jenis Sampel ... 42

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 43

E. Analisis Data... 44

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden... 45


(53)

1. Gambaran Kronologoi Sabung Ayam Mendatengan Odalan ... 47 2. Jenis-jenis Tajen ... 55

C. Peranan Kepolisian Dalam Penanggulangan Judi Sabung Ayam di Masyarakat Adat Bali ...57

D. Faktor Penghambat Dalam Penanggulangan Judi Sabung Ayam di Masyarat Adat Bali ...63

DAFTAR PUSTAKA V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 66 B. Saran ... 67


(54)

(55)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta semesta alam yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, hanya berkat rahmat dan ridha-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul“PerananKepolisian Dalam Penanggulangan Judi Sabung Ayam di Masyarakat Adat Bali”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas hukum Universitas Lampung.

Terselesaikannya skripsi ini merupakan ikhtiar penulis yang tak lepas dari bantuan, dukungan dan bimbingan berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada :

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung. 2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H., selaku Ketua jurusan Hukum Pidana dan Firganefi, S.H.,

M.H., selaku Sekretaris Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. 3. Bapak Safruddin, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Akademik Penulis.

4. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H., selaku Pembimbing I yang telah banyak memberi masukan, bimbingan, dan membantu penulis sehingga terselesainya skripsi ini.

5. Bapak Rinaldy Amrullah, S.H., M.H., selaku Pembimbing II yang juga telah banyak memberi masukan, bimbingan, dan membantu penulis hingga terselesainya skripsi ini. 6. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., selaku Pembahas I dan Ibu Rini Fathonah, S.H., M.H.,

selaku Pembahas II dalam skripsi ini yang telah banyak memberi saran, masukan serta kritik yang membangun untuk memperbaiki dan menyempurnakan skripsi ini.


(56)

7. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat.

8. Seluruh karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

9. Bapak Nurdin Syukri, S.H., selaku Kapolsek Seputih Banyak dan Bapak I Wayan Susul Agota Polsek Palas yang telah memberikan kesempatan dan waktu kepada penulis untuk melakukan penelitian.

10. Bapak I Made Swirta ketua adat Bali Seputih Banyak dan Bapak Ida Bagus Putu Santike Ketua adat Bali Palas yang telah membantu dan bersedia memberikan informasi dalam penelitian penulis.

11. Almamaterku tercinta

12. Keluarga besar Buk Wito yang selama ini sudah saya anggap sebagai keluarga sendiri dan selalu menberikan nasehat serta saran.

13. Seluruh pihak-pihak yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan skripsi ini, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Tiada gading yang tak retak demikian pepatah lama mengatakan, penulis menyadari meskipun telah berusaha semaksimal mungkin skripsi ini masih jauh dari sempurna dan banyak terdapat kesalahan serta kekurangan. Untuk itu dengan tangan terbuka penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun, serta penulis sangat mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya bagi pembaca pada umumnya.


(57)

Bandar Lampung,

Penulis,


(58)

(59)

PERANAN KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN JUDI SABUNG

AYAM DI MASYARAKAT ADAT BALI

Oleh

MADE PUJANA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(60)

Judul Skripsi : PERANAN KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN JUDI SABUNG AYAM DI MASYARAKAT ADAT BALI (Study Kasus di Polsek Seputih Banyak dan Polsek Palas) Nama Mahasiswa : Made Pujana

No. pokok Mahasiswa : 0812011053

Bagaian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Eko Raharjo, S.H., M.H. Rinaldy Amrullah, S.H., M.H NIP 196104061989031001 NIP 198011182008011008

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati M, S.H., M.H. NIP 196208171987032003


(61)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua :Eko Raharjo, S.H., M.H. ...

Sekretasis/anggota :Rinaldy Amerullah, S.H., M.H. ...

Penguji Utama :Tri Andrisman, S.H., M.H. ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Haryandi, S.H., M.S. NIP. 196211091987031003


(62)

(63)

MOTTO

Percayalah pada keajaiban, tapi jangan tergantung padanya. (H. Jackson Bown)

Jangan takut untuk mengambil satu langkah besar bila itu memang diperlukan, Anda takan bisa melompati jurang dengan lompatan kecil.

(Davit Lloyd George )

Hidup itu bukan untuk mencari harta, Tetapi

Hidup untuk Dharma (Made Pujana)


(64)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lampung Tengah, pada tanggal 07 Februari 1989, yang kemudian diberi nama Made Pujana. Penulis merupakan putra pertama dari dua saudara dari pasangan Wayan Madre dan Nyoman Mitri. Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di SDN 3 Mataram Udik pada tahun 2002, kemudian melanjutkan studinya di SMPN 1 Bandar Mataram lulus pada tahun 2005, kemudian penulis melanjutkan studinya di SMUN 1 Seputih Mataram lulus tahun 2008. Pada tahun 2008, penulis melanjutkan studinya pada Fakulta Hukum Universitas Lampung (FH Unila), semasa kuliah penulis mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa Hindu Indonesia (KMHDI), kemudian aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa Hindu Unila (UKM Hindu Unila) serta menjadi Anggota Himpunan Mahasiswa Pidana (Hima Pidana) dan juga pernah mengikuti pelatihan hukum klinis Badan Konsultasi dan Bantuan Hukum Unila (BKBH Unila). Penulis melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kabupaten Mesuji Lampung pada tahun 2011.


(1)

PERANAN KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN JUDI SABUNG

AYAM DI MASYARAKAT ADAT BALI

Oleh

MADE PUJANA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(2)

Judul Skripsi : PERANAN KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN JUDI SABUNG AYAM DI MASYARAKAT ADAT BALI (Study Kasus di Polsek Seputih Banyak dan Polsek Palas)

Nama Mahasiswa : Made Pujana

No. pokok Mahasiswa : 0812011053

Bagaian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Eko Raharjo, S.H., M.H. Rinaldy Amrullah, S.H., M.H

NIP 196104061989031001 NIP 198011182008011008

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati M, S.H., M.H.


(3)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua :Eko Raharjo, S.H., M.H. ...

Sekretasis/anggota :Rinaldy Amerullah, S.H., M.H. ...

Penguji Utama :Tri Andrisman, S.H., M.H. ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Haryandi, S.H., M.S.


(4)

(5)

MOTTO

Percayalah pada keajaiban, tapi jangan tergantung padanya. (H. Jackson Bown)

Jangan takut untuk mengambil satu langkah besar bila itu memang diperlukan, Anda takan bisa melompati jurang dengan lompatan kecil.

(Davit Lloyd George )

Hidup itu bukan untuk mencari harta, Tetapi

Hidup untuk Dharma (Made Pujana)


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lampung Tengah, pada tanggal 07 Februari 1989, yang

kemudian diberi nama Made Pujana. Penulis merupakan putra pertama dari

dua saudara dari pasangan Wayan Madre dan Nyoman Mitri. Penulis

menyelesaikan Sekolah Dasar di SDN 3 Mataram Udik pada tahun 2002,

kemudian melanjutkan studinya di SMPN 1 Bandar Mataram lulus pada tahun

2005, kemudian penulis melanjutkan studinya di SMUN 1 Seputih Mataram lulus tahun 2008.

Pada tahun 2008, penulis melanjutkan studinya pada Fakulta Hukum Universitas Lampung (FH

Unila), semasa kuliah penulis mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa Hindu Indonesia (KMHDI),

kemudian aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa Hindu Unila (UKM Hindu Unila) serta menjadi

Anggota Himpunan Mahasiswa Pidana (Hima Pidana) dan juga pernah mengikuti pelatihan

hukum klinis Badan Konsultasi dan Bantuan Hukum Unila (BKBH Unila). Penulis melakukan