Konsep Diabetes Mellitus DM Tipe 2

11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan membahas hal-hal mengenai konsep DM, neuropati sensori pada DM tipe 2, dan konsep senam kaki diabetes.

2.1 Konsep Diabetes Mellitus DM Tipe 2

Pada subbab ini akan membahas hal-hal mengenai konsep DM tipe 2 yang terdiri dari definisi, kriteria diagnostik, patofisiologi, komplikasi, penatalaksanaan, serta pembahasan konsep neuropati perifer sensori pada DM tipe 2.

2.1.1 Definisi

Diabetes mellitus DM tipe 2 merupakan penyakit metabolik kronis yang ditandai dengan kondisi hiperglikemia akibat penurunan efisiensi kerja insulin yang dihasilkan oleh sel beta pankreas Kishore, 2014. Penurunan efisiensi kerja insulin yang dialami oleh penderita DM tipe 2 ini merupakan kombinasi dari resistensi insulin, penurunan sekresi insulin, dan peningkatan sekresi glukagon Khardori, 2014.

2.1.2 Kriteria Diagnostik

Kriteria diagnostik DM tipe 2 yaitu memenuhi salah satu dari tiga kondisi berikut: 1 kadar glukosa plasma saat puasa ≥126 mgdL 7.0 mmolL; 2 kadar glukosa plasma 2 jam setelah makan post prandial [PP] ≥200 mgdL 11.1 mmolL selama uji toleransi glukosa dengan pemberian 75 g glukosa per oral Oral Glucose Tolerance Test, OGTT; atau 3 kadar glukosa plasma sewaktu ≥200 mgdL 11.1 mmolL dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemik. Menjadikan kadar hemoglobin A1c HbA1c ≥6,5 sebagai kriteria diagnostik primer atau opsional masih menjadi kontroversi. Jika hiperglikemia tegas tidak ada, pemeriksaan sebaiknya diulang dan diagnosis DM ditetapkan jika seseorang memenuhi dua dari tiga kriteria diagnostik di atas. Pada kasus dimana dua hasil tidak koheren satu sama lain, pengulangan uji pada hasil abnormal diperlukan dan jika hasil dari uji tersebut tetap memenuhi kriteria maka diagnosis DM dapat ditegakkan McPhee Ganong, 2010; WHO, 2006; ADA, 2014. Batas normal dari kadar glukosa plasma saat puasa adalah 100 mgdL, kadar glukosa plasma 2 jam PP saat OGTT adalah 140 mgdL, dan HbA1c adalah 5,7. Seseorang dengan hasil uji di atas batas normal namun belum memenuhi kriteria diagnostik DM disebut sebagai kondisi prediabetes. Prediabetes dapat disebut gangguan toleransi glukosa Impaired Glucose Tolerance, IGT atau gangguan toleransi glukosa puasa Impaired Fasting Glucose, IFG sesuai dengan hasil abnormal dari uji yang dilakukan. IGT jika kadar glukosa plasma 2 jam PP saat OGTT 140-199 mgdL, dan IFG jika kadar glukosa plasma puasa 100-125 mgdL McPhee Ganong, 2010; WHO, 2006; ADA, 2014.

2.1.3 Patofisiologi

Ketika perbedaan kebutuhan dan ketersediaan insulin meningkat namun sel beta pankreas tidak mampu mengkompensasi peningkatan tersebut, hal ini menyebabkan kondisi hiperglikemia pada diabetesi. Ketidakseimbangan kebutuhan dan ketersediaan insulin dapat diakibatkan oleh resistensi insulin atau defek sel beta pankreas. Resistensi terhadap insulin oleh jaringan peka-insulin terutama hati, otot, dan lemak menyebabkan gangguan penggunaan dan penyimpanan glukosa sehingga sel beta harus meningkatkan sekresi insulin. Efek toksik akibat penumpukan protein di retikulum endoplasma menyebabkan penurunan kerja sel beta sehingga tidak mampu mengkompensasi peningkatan kebutuhan insulin lebih lanjut atau disebut dengan kondisi kelelahan sel beta. Sedangkan pada kondisi dimana proses awal dimulai dari defek sel beta pankreas, hiperinsulinemia terjadi lebih dulu dan menginduksi timbulnya resistensi insulin. Peningkatan kadar insulin plasma menekan reseptor insulin hingga menyebabkan resistensi terhadap insulin. Hal ini kemudian menyebabkan kondisi kelelahan sel beta McPhee Ganong, 2010; Guyton, 2007: 1024-1025. Penurunan penggunaan glukosa oleh sel menyebabkan menurunnya aktivitas pusat kenyang di hipotalamus sehingga diabetesi cenderung untuk lebih sering merasa lapar polifagia. Glukosa difiltrasi dengan bebas seperti air oleh glomerulus ginjal. Pada kondisi hiperglikemia terjadi peningkatan filtrasi glukosa, namun akan direabsorpsi kembali oleh ginjal. Ketika ambang ginjal untuk mereabsorpsi glukosa terlewati, terjadi peningkatan kadar glukosa pada urin glukosuria yang menyebabkan diuresis osmotik dan bermanifestasi sebagai poliuria, termasuk nokturia. Peningkatan kehilangan air melalui mekanisme ini, menstimulasi rasa haus dan menyebabkan polidipsia. Polifagia, poliuria, dan polifagia merupakan tiga gejala yang umumnya dirasakan oleh diabetesi McPhee Ganong, 2010, Kishore, 2014.

2.1.4 Komplikasi

Komplikasi DM tipe 2 diakibatkan oleh hiperglikemia dengan kontrol yang kurang adekuat. Kondisi hiperglikemia ini menyebabkan komplikasi jangka pendek dan jangka panjang. Komplikasi jangka pendek mencakup hipoglikemia, ketoasidosis diabetik, dan sindrom hiperosmolar hiperglikemia nonketotik yang dapat mengarah pada koma hiperosmolar. Sedangkan komplikasi jangka panjang dapat berupa komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular McPhee Ganong, 2010. Komplikasi makrovaskular mencakup angina pektoris, infark miokard, stroke, dan penyakit arterial perifer. Sedangkan komplikasi mikrovaskular yang paling umum terjadi adalah retinopati, nefropati, dan neuropati Kishore, 2014. Komplikasi makrovaskular terjadi dimulai dari aterosklerosis pembuluh darah besar. Terdapat beberapa faktor risiko penyakit kardiovaskular berkaitan dengan kondisi DM, yaitu: 1 hipertensi; 2 perubahan konsentrasi lipoprotein yang mencakup hipertrigliseridemia; 3 perubahan komposisi lipoprotein yang berkontribusi pada resistensi insulin dan interaksi abnormal dengan makrofag; 4 protein glikosilasi salah satunya pada antitrombin III yang menyebabkan gangguan inhibisi kaskade koagulasi; 5 albuminuria; 6 gangguan fungsi endotel; dan 7 trombosis Resnick, Lindsay, Howard, 2004. Mekanisme hipertensi pada diabetes belum diketahui secara pasti, namun resistensi insulin dan kondisi hiperinsulinemia tampak memiliki pengaruh terhadap kondisi ini. Insulin berperan sebagai vasodilator perifer melalui alur endothelial bergantung-nitric oxide NO. Insulin juga meningkatkan retensi natrium di ginjal serta meningkatkan kadar kalsium dan sebaliknya menurunkan kadar magnesium interseluler Resnick, Lindsay, Howard, 2004. Hipertrigliseridemia juga disebabkan oleh insufisiensi insulin. Insulin menyebabkan peningkatan pembentukan very low densed lipoprotein VLDL yang berperan dalam transportasi trigliserida ke sel adiposa. Proses ini dibalikkan oleh efek glukagon yang merangsang lipolisis. Sekresi basal insulin 0,25-1 unitjam dapat mencegah lipolisis berlebihan, namun pada kondisi kelelahan sel beta dan sekresi insulin sangat rendah, insulin tidak mampu menekan kerja glukagon sehingga terjadi penurunan transportasi trigliserida ke sel adiposa dan peningkatan lipolisis. Peningkatan trigliserida dan asam lemak bebas pada plasma meningkatkan pembentukan low density lipoprotein LDL melalui alur katabolisme VLDL serta penurunan produksi high-density lipoprotein HDL yang berperan dalam pembersihan VLDL dan trigliserida sehingga meningkatkan risiko pembentukan aterosklerosis McPhee Ganong, 2010. Komplikasi mikrovaskular terjadi baik akibat aterosklerosis maupun hiperglikemia. Aterosklerosis yang terjadi pada makrovaskular berdampak pada vaskularisasi organ-organ tubuh termasuk jantung, otak, dan ekstremitas bawah. Di lain pihak, hiperglikemia menyebabkan peningkatan transportasi glukosa ke intrasel endotel. Endotel merupakan salah satu sel yang tidak dapat menurunkan atau menekan respon terhadap stimulus transportasi glukosa ke intrasel sehingga menyebabkan hiperglikemia intraseluler. Hiperglikemia intraseluler endotel berdampak pada penurunan aktivitas vasodilator dan peningkatan aktivitas faktor- faktor vasokonstriksi yang menyebabkan abnormalitas aliran darah dan peningkatan tekanan intrakapiler yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Hilangnya endotel pada mikrovaskuler baik akibat siklus sel apoptosis maupun kondisi di atas nekrosis kemudian menginduksi produksi matriks ekstraseluler berlebih oleh faktor-faktor pertumbuhan seperti Transforming Growth Factor- β TGF-β serta pengendapan protein plasma yang bocor menyebabkan oklusi pembuluh darah. Hiperglikemia juga menurunkan faktor-faktor tropik seperti neurotropik yang berperan dalam regenerasi sel. Seluruh kondisi di atas mengarah pada edema, iskemia, dan hipoksia-diinduksi neurovaskularisasi pada retina; glumerulosklerosis pada ginjal; dan degenerasi aksonal multifokal pada saraf perifer Hofmann Brownlee, 2004.

2.1.5 Penatalaksanaan

Berdasarkan American Association of Clinical Endocrinologists AACE 2015, prinsip algoritma penatalaksanaan DM tipe 2 terdiri dari optimalisasi gaya hidup dengan tidak mengesampingkan terapi farmakologis, kontrol glikemia, kontrol berat badan, penatalaksanaan hipoglikemia, serta pentingnya mempertimbangkan terapi yang akan diberikan dengan kondisi pasien. Gaya hidup dan kontrol berat badan berperan penting dalam kontrol glikemia, namun diabetesi perlu membatasi penurunan berat badan berhubungan dengan risiko mengalami hipoglikemia. Bentuk gaya hidup dan kontrol berat badan yang mendukung kontrol glikemia adalah diet dan latihan fisik.

2.1.6 Konsep Neuropati Perifer Sensori NPS pada DM Tipe 2

Pada subbab ini akan membahas hal-hal mengenai konsep NPS pada DM tipe 2 yang meliputi definisi, etiologi, faktor-faktor risiko, patofisiologi, gejala, penatalaksanaan, komplikasi, dan penilaian NPS.

a. Definisi

Dokumen yang terkait

Studi Potensi Interaksi Obat Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Rawat Jalan di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh

15 165 69

Penilaian MPV dan Agregasi Trombosit pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2

5 103 86

Penilaian MPV dan Agregasi Trombosit pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2

5 89 86

Efektifitas Edukasi Diabetes Terpadu untuk Meningkatkan Efikasi Diri Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2

17 128 175

Perbandingan Mean Platelet Volume ( MPV ) Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Yang Terkontrol Dan Tidak Terkontrol

3 95 95

Karakteristik Pasien Katarak Akibat Diabetes Melitus Tipe 2 di Poliklinik Mata RSUP Haji Adam Malik Medan Pada tahun 2012

3 65 62

Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Dengan Komplikasi Hipertensi Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Langsa Tahun 2011

4 87 60

HUBUNGAN LAMANYA MENDERITA DIABETES MELITUS DENGAN TERJADINYA DIABETIC PERIPHERAL NEUROPATHY (DPN) PADA PASIEN Hubungan Lamanya Menderita Diabetes Melitus Dengan Terjadinya Diabetic Peripheral Neuropathy (Dpn) Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Di Grha

0 3 11

HUBUNGAN LAMANYA MENDERITA DIABETES MELITUS DENGAN TERJADINYA DIABETIC PERIPHERAL NEUROPATHY (DPN) PADA Hubungan Lamanya Menderita Diabetes Melitus Dengan Terjadinya Diabetic Peripheral Neuropathy (Dpn) Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Di Grha Diabet

0 4 12

PENGARUH SENAM KAKI DIABETIK TERHADAP NYERI KAKI PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS DELANGGU.

0 1 9