Pembahasan Ketahanan Budaya Masyarakat Lokal Di Wilayah Perbatasan Indonesia - Malaysia

21 bersumber dari kesamaan asal budaya maupun geografis. Healey, 2006: 4. Hubungan yang sifatnya penyesuaian tanpa menghilangkan identitas, jati diri individu tersebut, sebagai bentuk dari adaptasi. Dalam melakukan penyesuaian dengan lingkungan sekitarnya, masyarakat tidak sampai merubah inti budaya di Pulau Sebatik. Hal ini menurut Fredrik Barth:1969 bahwa, hubungan yang terjadi antar budaya tidak selalu merubah identitas budaya tersebut, meskipun dalam melakukan hubungan tersebut terjadi interaksi, pembauran, kontak dan pertukaran informasi, antara budaya yang satu dengan budaya lainnya.

4. Pembahasan

Ketahanan nasional di daerah perbatasan memiliki peran yang sangat penting. Wilayah perbatasan berbatasan langsung dengan negara-negara tetangga. Hal tersebut menjadi sangat rentan bagi wilayah perbatasan terhadap masuknya berbagai pengaruh negatif baik dari segi politik, sosial, ekonomi, budaya, dan ideologi yang tentunya dapat mengganggu pertahanan dan keamanan negara. Pulau Sebatik merupakan satu dari sekian banyak pulau terdepan di wilayah Indonesia. Secara administratif pulau ini terletak diantara dua negara. Bagian utara dikelola oleh Negara Bagian Sabah Malaysia sedangkan di bagian selatan dikelola oleh Provinsi Kalimantan Timur. Pulau ini merupakan pintu masuk ke Indonesia melalui Malaysia. Interaksi yang terjadi pada masyarakat perbatasan yang bersifat lintas negara diasumsikan bahwa masyarakat tersebut telah mengadopsi budaya negara tetangga yaitu Malaysia. Hal ini dapat dilihat pada peredaran mata uang dan 22 pendistribusian barang-barang pokok kehidupan sehari-hari yang didominasi oleh produk-produk Malaysia. Meskipun dalam aktivitas keseharian masyarakat di Pulau Sebatik sangat bergantung pada Tawau, tetapi dari segi teritorial, Pulau Sebatik merupakan bagian dari wilayah Indonesia. Kajian-kajian dan catatan- catatan lepas dari para pelaku perjalanan ke Pulau Sebatik pun menyatakan bahwa penduduk Pulau Sebatik masih terikat kepada Indonesia. Hanya saja, kebutuhan pokok yang didistribusikan dari Tawau-Malaysia dengan relatif mudah daripada kebutuhan pokok yang didistribusikan dari wilayah Indonesia. Hal ini dikhawatirkan akan menggangu ketahanan budaya masyarakat di Pulau Sebatik. Selain jarak yang relatif dekat dengan Kota Tawau, masyarakat di Kecamatan Sebatik, yaitu di Desa Pancang mengembangkan mata pencaharian sebagai nelayan. Lingkungan alam yang berhadapan dengan laut memungkinkan terjadinya adaptasi masyarakat di Desa Pancang untuk memilih mata pencaharaian sebagai nelayan. Nelayan di desa ini adalah nelayan tradisional yang bercirikan menggunakan teknologi sederhana dan kurang mutakhir. Sebagai nelayan, mobilitas mereka cukup tinggi mengarungi lautan hingga ke tengah laut, ke arah selatan Selat Makasar dan ke arah utara Laut Sulu. Mobilitas yang tinggi tersebut, mengakibatkan para nelayan Pulau Sebatik melakukan pertukaran komoditasnya di Kota Tawau Malaysia. Suku bangsa yang menghuni daerah Kalimantan Timur terdiri dari dua kelompok secara garis besarnya, yaitu suku bangsa melayu melayu muda dan kelompok suku bangsa Dayak melayu tua. Kelompok suku bangsa melayu tinggal di daerah pesisir pantai dan daerah sepanjang tepi sungai. Suku bangsa 23 yang termasuk dalam kelompok suku bangsa ini antara lain suku bangsa Bulungan, Tidung, Berau, Bayau, dan Kutai. Suku bangsa melayu yang datang belakangan meliputi suku bangsa Banjar dan Bugis. Nelayan di Desa Pancang didominasi oleh etnis Bugis. Secara kronologis, tidak ada catatan pasti mengenai masuknya etnis Bugis ke wilayah Pulau Sebatik, khususnya ke Desa Pancang. Namun dapat diperkirakan bahwa etnis Bugis yang ada di Pulau ini sudah memasuki generasi ketiga. Pelras 1996:24 menyatakan bahwa etnis Bugis merupakan etnis dengan budaya agraris yang memiliki kemampuan beradaptasi yang tinggi terhadap lingkungannya. Etnis Bugis pun memiliki mobilitas yang tinggi dan mampu menyebar ke berbagai tempat di wilayah Nusantara dengan menggunakan modal transportasi perairan. Mereka berusaha untuk menemukan lahan yang dapat dijadikan sumber mata pencahariannya. Etnis Bugis yang datang ke Pulau Sebatik pada umumnya adalah mereka yang datang dan berusaha membuka lahan untuk pertanian atau perkebunan, sesuai dengan karakteristik agrarisnya. Berkaitan dengan kondisi geografis Pulau Sebatik yang dekat dengan perairan laut, maka sangat terbuka bagi etnis Bugis untuk mengembangkan mata pencaharian lain, yaitu menjadi nelayan. Hidup sebagai nelayan telah dilakukan turun temurun antar generasi berkaitan kondisi ekologis setempat yakni laut. Pada awalnya nelayan di desa Pancang semata-mata hanya menangkap ikan untuk memenuhi kebutuhan subsistensi namun faktor ekonomi politik yang digulirkan dari Kota Tawau menjadikan nelayan di desa Pancang sebagai pelaku pasar perikanan. 24 Kondisi yang dialami para nelayan di Desa Pancang ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat yang lebih layak dengan memberi perhatian utama pada tercukupinya kebutuhan dasar. Kenyataan ini apabila dihadapkan pada nasionalisme nelayan akan membangun ketahanan budaya di kalangan mereka sendiri. Ketahanan budaya yang kuat akan mewujudkan kondisi dinamis bangsa yang tanggap, ulet, dan tangguh dalam menghadapi dan mengatasi segala bentuk perubahan yang berlangsung baik pada tatanan nasional, regional, maupun global. Ketahanan budaya terutama di wilayah perbatasan yang semakin kokoh merupakan bagian tak terpisahkan dari tujuan pembangunan nasional yang akan dicapai meskipun sistem nilai dalam kehidupan manusia, seperti perilaku budaya yang menghormati semua bangsa, memahami manusia dengan budaya lain serta menghargai adanya perbedaan budaya masih belum berjalan dengan baik. Konsep kepala adat dalam tulisan ini adalah seseorang yang berpengaruh dan diakui sebagai pemimpin oleh seluruh masyarakat adatnya, akan tetapi kepala adat tersebut tidak memiliki atau mempunyai jabatan resmi dalam pemerintahan desa. Eksistensi manajemen kepemimpinan kepala adat merupakan pencerminan upaya masyarakat dalam menggali, melestarikan dan mengembangkan budaya adat melalui penerapan adat istiadat dan hukum adat pada kehidupan masyarakat adatnya. Sebagaimana harapan pemerintah bahwa untuk menuju suatu masyarakat yang adil dan makmur peran manajemen kepemimpinan kepala adat mempunyai pengaruh sangat penting khususnya pada sektor pembangunan desa, hal ini dikarenakan bahwa lembaga kepala adat merupakan salah-satu lembaga sosial 25 yang berada dan berkedudukan di desa yang merupakan suatu wadah untuk mempertemukan keinginan antara pemerintah dan masyarakat. Partisipasi seorang kepala adat baik dalam urusan kemasyarakatan serta kegiatan yang berhubungan dengan pembangunan desa di daerah perbatasan memiliki peran yang sangat penting, hal ini terbukti dari selalu dilibatkannya kepala adat dalam setiap kegiatan yang akan dilakukan baik oleh camat selaku pemimpin wilayah di kecamatan, maupun kepala desa selaku pemimpin yang ada di desa. Keterlibatan kepala adat dalam setiap urusan kemasyarakatan oleh pemimpin formal baik camat maupun kepala desa didasari oleh beberapa hal sebagai berikut: 1 Adanya rasa saling menghormati antara camat dan kepala desa dengan kepala adat; 2 Adanya ketaatan masyarakat terhadap nilai-nilai adat yang masih kental, sehingga peran kepala adat sangat dijunjung tinggi; 3 Adanya kesadaran para pimpinan formal bahwa mereka adalah merupakan bagian dari masyarakat adat yang harus taat dan menjunjung tinggi nilai-nilai sosial budaya yang ada pada masyarakatnya; 4 Adanya kewajiban untuk menghormati dan selalu mendengarkan petuah- petuah serta bimbingan-bimbingan yang akan diberikan oleh kepala adat kepada masyarakat adatnya, baik demi keharmonisan hubungan sesama masyarakatnya terlebih lagi berbagai macam kegiatan yang berhubungan dengan tugas-tugas pemerintah desa khususnya dalam penyelenggaraan roda pemerintahan yang ada di desa Data primer diolah, 2010. 26 Peran manajemen kepemimpinan kepala adat ini, terutama sekali akan terlihat jelas ketika: 1 terjadinya masalah-masalah ataupun konflik-konflik sosial yang ada pada masyarakat baik yang bersifat pidana maupun perdata. Biasanya masalah-masalah ini akan diserahkan oleh masyarakat adatnya kepada kepala adat untuk memberikan suatu solusi pemecahan terhadap sengketa yang ada; 2 Dalam pelaksanaan suatu hajatan yang melibatkan seluruh masyarakat desa seperti ritual adat dan keagamaan, kegiatan perayaan 17 Agustus 1945, serta perayaan yang bersifat nasional; 3 serta dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pembangunan fisik desa, khususnya di wilayah perbatasan.

5. Kesimpulan