Apoptosis Plasenta Pada Preeklampsia

(1)

APOPTOSIS PLASENTA

PADA PREEKLAMPSIA

OLEH:

JOHNY MARPAUNG

DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN


(2)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

Preeklampsia adalah penyakit yang terjadi pada masa kehamilan yang ditandai dengan reaksi inflamasi sistemik yang menyeluruh pada ibu, terkait dengan disfungsi sel endotel. Preeklampsia merupakan salah satu penyebab utama morbiditas clan mortalitas maternal clan perinatal, yang mengenai 5% sampai 7% dari semua kehamilan, namun etiologi clan patogenesis belum difahami sepenuhnya. Faktor plasenta difahami berhubungan untuk terjadinya preeklampsia clan teori belakangan ini menyatakan bahwa perpindahan debris plasenta melalui sirkulasi ibu merupakan kejadian utama dalam perkembangan sindrom ini. Satu sumber potensial debris adalah pergantian lapisan epitel plasenta, sincitiotrofoblas, melalui apoptosis. Tingkat apoptosis dianggap meningkat pada preeklampsia sebagai akibat dari stres oksidatif ptasenta yang sering'meskipun tidak secara umum, meningkat pada kondisi ini.'2

Selama awal kehamilan, subpopulasi sel trofoblas, trofoblas ekstravilius, bermigrasi dari piasenta yang sedang berkembang ke dalam dinding rahim. Sel-sel ini menginvasi baik di antara maupun di bawah lumen arteri spiral, yang bertanggung jawab atas penyediaan darah maternal untuk plasenta definitif. Walaupun mekanismenya belum diketahui sekarang ini, namun keberadaan sel-sel trofoblas ekstravilus berhubungan dengan kehilangan otot halus di sekitar arteri spiralis. Akibatnya, pembuluh membesar clan kehilangan vasoreaktivitasnya. Biasanya, proses ini menjalar ke dalam bagian dalam miometrium. Pada preeklampsia, kejadian ini lebih terbatas clan akibatnya sebagian vasoreaktivitas tetap dipertahankan. Konversi defisiensi arteri ini merupakan dasar yang rasional untuk cedera tipe iskemia-reperfusi pada plasenta. Penjelasan tentang mekanisme pengaturan pertumbuhan plasenta bisa memberikan isyarat penting dalam pemahaman tentang kontrol pertumbuhan fetus. Sedangkan pertumbuhan plasenta memang kompleks clan dipengaruhi oleh banyak faktor clan tergantung pada keseimbangan yang tepat antara proliferasi, diferensiasi clan kematian sel.',3

Apoptosis adalah serangkaian kejadian yang melibatkan aktivasi banyak gen clan sintesa berbagai protein. Peristiwa ini ada dilaporkan pada plasenta dengan kehamilan normal clan meningkat pada kehamilan yang terkomplikasi oleh faktor pertumbuhan janin. Apoptosis berbeda dari nekrosis di mana yang disebut pertama adalah bentuk aktif kematian sel tergantung pada mesin internal sel clan yang disebut terakhir adalah kematian tak sengaja yang disebabkan faktor-faktor di luar se1.4,5.6


(3)

Apoptosis adalah bentuk kematian sel fisiologik yang sudah terprogram serta penting dalam mengontrol populasi sel. Apoptosis ditandai oleh kondensasi clan fragmentasi nukleus, blebbing membran clan konclensasi sitoplasma dengan mempertahankan keutuhan organela clan ini terlibat baik dalam situasi fisiologik maupun situasi patologik, seperti perkembangan tulang belakang, pengelupasan endometrium selama haid, atresia folikular ovarium clan berbagai bentuk penyakit kanker clan kekebalan. Hingga saat ini, tidak banyak informasi tentang kejadian clan peranan potensial apoptosis selama perkembangan plasenta. Apoptosis ditemukan pada plasenta selama kehamilan, dengan peningkatan frekuensi selama trimester ketiga clan juga pada plasenta fetus yang mengalami keterbatasan pertumbuhan.3,a,5

Mekanisme molekuler apoptosis pada manusia memang kompleks clan melibatkan banyak molekul pemberi sinyal. Mekanisme ini meliputi ligan ekstrasel dimediasi oleh kekebalan clan reseptor seperti ligan Fas clan reseptor Fas, serta sinyal kematian endogen seperti famili gen Bcl-2, yang bergabung untuk mengaktifkan pelaksana pusat, rangkaian caspase. Famili gen Bcl-2, yang diisolasi dari limfoma sel-B, mensupresi apoptosis clan terlibat dalam onkogenesis. Famili ini meliputi anggota pemicu-apoptosis (Bax) dan anggota penghambat-pemicu-apoptosis (Bcl-2 clan Bcl-x). Pada kehamilan manusia, Bcl-2 diimmunolokalisasi pada sincitiotrofoblas viluskhorionik, yang tetap ada dari trimester pertama hingga ketiga kehamilan dan berkurang seiring berkembangnya kehamilan, yang menunjukkan adanya efek penuaan normal pada plasenta. Tidak diketahui apakah regulator apoptosis terekspresikan secara berbeda pada plasenta wanita penderita preeklampsia.4,5

TUJUAN PENULISAN

Adapun tujuan dari penulisan minireferat ini adalah untuk menambah referensi tentang mekanisme apoptosis yang terjadi pada plasenta penderita preeklamsia.


(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PREEKLAMSIA

Preeklampsia adalah komplikasi kehamilan dengan konsekuensi serius bagi ibu dan bayi. Penyakit ini didiagnosa dengan hipertensi (>140/90 mmHg) dan proteinuria pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu dengan kondisi sebelumnya tekanan darah normal dan tidak ada proteinuria. Penyakit ini didiagnosa berdasarkan tanda-tanda disfungsi endotel maternal yang tersebar luas. Pada kehamilan normal, sebagian sel-sel batang citotrofoblas plasenta menghentikan aktivitas perubahan yang tidak sesuai yang menyebabkan invasi ke rahim dan pembuluh darahnya. Proses ini menyebabkan melekatnya konseptus pada dinding rahim dan memulai aliran darah ibu ke plasenta. Preeklampsia berhubungan dengan perubahan citotrofoblas abnormal, invasi dangkal dan penurunan aliran darah ke plasenta. 1 °2.5,6,',s

Decker dan Sibai mengajukan 4 hipotesa sabagai konsep etiologi dan patogenesa preeklampsia , yaitu 9:

1. Iskemia plasenta

Pada preeklampsia perubahan arteri spiralis terbatas hanya pada lapisan desidua dan arteri spiralis yang mengalami perubahan hanya lebih kurang 35-50%. Akibatnya perfusi darah ke plasenta berkurang dan terjadi iskemik plasenta.

2. Maladaptasi imun

Maladaptasi imun menyebabkan dangkalnya invasi arteri spiralis oleh sel-sel sitotrofoblas endovaskuler dan disfungsi endotel yang diperantarai oleh peningkatan pelepasan sitokin desidual, enzim proteolitik dan radikal bebas.

3. Genetik imprinting

Timbulnya preeklampsia-eklampsia didasarkan pada gen resesif tunggal atau gen dominan dengan penetrasi yang tidak sempurna. Penetrasi mungkin tergantung genotif janin.

4. Perbandingan Very Low Density Lipoprotein (VLDL) dan Toxicity Preventing Activity (TxPA)

Vial ini Terjadi akibat kompensasi dengan meningkatnya kebutuhan energi selama hamil dengan memproses asam lemak nonesterifikasi. Pada wanita dengan kadar albumin yang rendah, pengangkutan kelebihan asam lemak nonesterifikasi dari jaringan lemak ke dalam hepar menurunkan aktifitas antitoksik albumin sampai pada titik dimana toksisitas VLDL menjadi terekspresikan. Jika kada VLDL melebihi TxPA maka efek toksik dari VLDL akan muncul dan menyebabkan disfungsi endotel.


(5)

2.2. PLASENTA PADA KEHAMILAN

Tipe plasenta manusia adalah plasenta tipe hemokhorial dan terdiri dari villus fetal yang bercabang banyak yang terendam pada darah ibu dan bersirkulasi di dalam ruang antar-villus. Permukaan jaringan plasenta fetus dan darah ibu adalah sincitiotrophoblas, suatu sincitium multinukleasi yang memanjang pada villus secara keseluruhan. Jaringan ini tidak hanya berperan terhadap plasentasi dan sintesa hormon tetapi juga bertindak sebagai endotelium untuk ruang antar villus. Selama perkembangan manusia terutama setelah awal mulainya genom embrio, sel-sel apoptotik dapat diamati. 1,s

Kerusakan dari villus dapat mengakibatkan perpindahan fragmen-fragmen sincitiotrofoblas, yang meningkat pada preeklampsia, atau pelepasan produk fetal lainnya, seperti DNA, atau dimethylarginine asimetris. Karena okasi sincitiotrofoblas, produk ini akan dilepaskan langsung ke dalam sirkulasi ibu dan oleh sebab itu dapat menyebabkan aktivasi sel-sel endotel periferal ibu. Saat ini, ada anggapan bahwa aktivasi ini mendasari manifestasi Mink sindrom, yang sering disebut tiga serangkai, yaitu hipertensi, proteinuria dan edema periferal'.

1 Syncytial fusion 2 Differentiation 3 Apoptosis 4 Syncytial knot

1 Syncytia! fusion 2 Differentiation 3 Apoptosis 4 Syncytia! knots

Schematic representation of trophoblast turnover. (A) Normal pregnancy: The final event of ,ytotrophoblast differentiation, syncytial fusion, results in incorporation of fresh organelles and other ~ellular material into the syncytium (1). Within the multinucleated syncytiotrophoblast differentiation 2) and subsequently late apoptosis (3) take place. Finally, the late apoptotic material is packed into protrusions of the apical plasma membrane, syncytial knots. These knots are released into the maternal circulation as tightly sealed corpuscles (4). (B) Pre-eclampsia: Enhanced proliferation and syncytial fusion (1) may overwhelm the capacity of the syncytiotrophoblast in terms of differentiation (,2) and apoptotic release (3). This may result in a necrotic breakdown of specific sites of the syncytiotrophoblast. If at these sites apoptosis has not yet started, pure necrosis can be observed; if however apoptosis has already lead to first cleavage of proteins, apoptotic material will be necrotically released (aponecrosis). At the same time the syncytiotrophoblast tries to counter balance for the increased input by increasing the release of apoptotic syncytiai knots (4).


(6)

Representative images of chorionic villi from term placentas derived from a normal pregnancy (A) and a pregnancy complicated by late-onset pre-eclampsia (B). In both images staining was performed using a primary antibody against placentalprotein 13 (PP13), which is present in the apical membrane of the syncytiotrophoblast. In (A) the normal villous brush border can be seen, which is stained for PP13. In (B) the alterations of the brush border membrane are obvious. Protrusions on the cellular level can be seen (arrows) that may be released into the maternal circulation. Magnification x900. Dikutip dari 10

Selama masa preimplantasi terjadi perubahan nyata pada tingkat transkripsi. Selama oogenesis kadarnya tinggi kemudian kadarnya menurun hingga ke keadaan awal pada saat pembelahan pada tahap 4 dan 8 sel . Dengan dimulainya pembentukan genom embrio, ekspresi RNA kembali meningkat hingga mencapai tingkat maksimum pada tahap blastocyst. Ini terbukti untuk beberapa gen yang mencapai puncaknya pada waktu yang berbeda-beda selama perkembangannya. Tingkat transkripsi yang mengalami penurunan, diikuti fertitisasi clan sebelum terjadinya genom embrio berperan dalam pengaturan apoptosis, seperti protein famili Bcl-2. Gen pro-apoptosis seperti RB1 clan Bax mencapai tingkat maksimum setelah pemadatan pada saat sel-sel apoptotik pertama mulai bisa terdeteksi. ' 1

Simpul-simpul sincitial adalah tempat-tempat penghancuran material apoptosis tahap lanjut clan oleh sebab itu diterima sebagai struktur yang berkorelasi dengan badan-badan apoptotik sel yang mengalami mononukleasi. Pada sel yang mpngalami mononukleasi apoptosis tahap lanjut menghasilkan pembentukan badan apoptotik, fragmen sel yang mengandung fragmen nukleus yang lebih kecil. Dalam sistem yang mengalami multinukleasi seperti sincitiotrofoblas `badan-badan apoptotik' jauh lebih besar clan tidak mengandung fragmen-fragmen nukleus tunggal melainkan nukleus apoptotik tahap lanjut yang ganda. Simpu-simpul sincitial ini bersama-sama dengan nukleus apoptotik bisa dikenali sebagai fragmenfragmen sincitium. Di dalam sincitium yang mengalami multinukleasi terbentuk simpul-simpul sincitial yang mengandung beberapa nukleus apoptosis tahap lanjut yang bisa menunjukkan pembentukan badan-badan apoptotik yang ditemukan di dalam sel-sel mononukleasi apoptotik tahaplanjut.',"

Simpul-simpul sincitial akhirnya dilepaskan clan diteruskan ke membran sincitiotrofoblas apikal. Simpul-simpul ini memasuki afiran darah ibu sebagai struktur-struktur bersegel membran yang tidak melepaskan isinya. Simpulsimpul sincitial yang mengalami multinukleasi bisa terdeteksi di dalam darah vena rahim wanita hamil yang sehat clan juga di dasar kapiler paru ibu. Simpul-simpul tersebut dicerna di dalam sistem kapiller pertama di balik plasenta, yaitu paru clan dengan demikian jumlahnya


(7)

jelas berkurang hingga mencapai kadar yang hampir tidak bisa terdeteksi di dalam darah periferal."

2.3. MEKANISME APOTOSIS

Proses apoptosis sendiri dilaporkan pertama sekali lebih dari tiga puluh tahun yang lalu. Akan tetapi, penggunaan istilah apoptosis dalam penelitian plasenta manusia baru dimulai dua puluh tahun yang lalu ketika Sakuragi et al. menggunakan pelabelan ujung torehan in situ DNA yang terfragmentasi untuk mendeteksi apoptosis pada trofoblas manusia. Baru dalam sepuluh tahun terakhir dicapai kemajuan besar di bidang apoptosis plasenta. Khususnya trofoblas villus diteliti secara luas sejak meningkatnya bukti yang menunjukkan bahwa pada trofoblas villus - serupa dengan sistem lainnya - proses apoptosis terkait erat dengan proses diferensiasi.'°

Apoptosis yang merupakan suatu proses aktif dengan sel superfluous atau disfungsional dieliminasi untuk menjaga fungsi jaringan normal. Tergantung pada stimulasi, apoptosis dapat difahami melalui satu atau dua jalur yang diketahui; secara instrinsik dengan jalur mitokondria clan secara ekstrinsik melalui jalur yang dimediasi reseptor yang mati, atau melalui respon stimulasi eksogen seperti sitokin. Apoptosis ditemukan pada plasenta selama kehamilan, dengan peningkatan frekuensi selama trimester ketiga clan juga pada plasenta fetus yang mengalami keterbatasan pertumbuhan.'o,",'2,'3

Aktivasi rangkaian kejadian apoptosis terjadi akibat dari interaksi yang kompleks dari kejadian-kejadian molekuler, yang meliputi pembentukan rantai-silang Fas (CD 95), protein reseptor-permukaan sel dari famili reseptor-faktor nekrosis tumor (TNF), dengan ligan-nya (FasL). Ada dua bentuk FasL: bentuk yang terkait-membran (mFasL), dan bentuk yang mudah larut (sFasL) yang merupakan hasil dari pemecahan mFasL oleh metalloproteinase. Walaupun kedua bentuk ini bisa memicu apoptosis, namun relatif pentingnya kedua ligan ini masih belum jelas. Fas juga ada dalam bentuk terikat pada membran dengan bentuk yang mudah larut, bentuk ini merupakan produk penyambungan berselang-seling, yang menghilangkan domain trans-membran dan bisa memodulasi peranan protein Fas dengan panjang sepenuhnya. Walaupun Fas maupun FasL diekspresikan pada trofoblas selama kehamilan, namun peranannya dalam apoptosis dipertanyakan belakangan ini.'°,",'2

Berikut ini adalah mekanisme apoptosis pada perkembangan dan diferensiasi trofoblas.'°

1. Jalur ekstrinsik : karakteristik terhadap famili reseptor kematian TNF Tergantung pada stimulasi dimana apoptosis dapat diinisiasi oleh satu atau dua jalur yang dikenal; mitokondria atau jalur intrinsik dan mediasi


(8)

reseptor kematian atau jalur ekstrinsik. Jika kematian disebabkan oleh jalur ekstrinsik, apoptosis diinisiasi oleh anggota Tumor Necrosis Factor (TNF) famili reseptor kematian yang merupakan bagian dari superfamili dari Tumor Necrosis Factor-Resecoptor (TNF-R) dan memiliki daerah C-terminal dengan asam amino kira-kira 80 buah yang dikenal dengan Death Domain (DD). Saat ini sudah ada delapan anggota famili telah diidentifikasi termasuk Fas ((CD95/APO-1), TNF-R1 (CD120a), DR-3 (APO-3/WSL-1lTRAMP/LARD), TRAIL-R1 4), TRAILR2 (DR-5/TRICK2), DR-6, EDAR dan NGFR. Di antara semua famili, Fas, TNFR1 dan TRAIL-R1/TRAIL-R2 yang telah dipelajari secara luas.

2. Jalur intrinsik : karakteristik jalur mitokondria dan perannya dalam apoptosis yang diinduksi oleh reseptor kematian.

Berbeda dengan jalur ekstrinsik, yang tergantung terhadap reseptor kematian sel, pada jalur intrinsik, signal apoptosis dimulai oleh mitokondria. Dalam responnya terhadap tekanan sel seperti kerusakan DNA atau penurunan faktor pertumbuhan, jalur mitokondria dapat diaktifkan oleh p53, protein tumor suppressor yang dapat mengaktifkan jalur pro-apoptosis Bcl-2. Akan tetapi, jalur intrinsik dan ekstrinsik tidak sepenuhnya otonom, karena p53 sendiri dapat mengatur reseptor kematian sel tertentu dan jalur mitokondria dapat bertindak memperkuat signal yang merangsang jalur kematian sel yang menunjukkan persilangan dapat terjadi antara kedua jalur.

Selain mengaktifkan efektor capsase, capase-8 dapat juga berupa Bid, sejenis Bcl-2 proapoptotik, yang berakibat translokasi Bid yang bercabang (tBid) ke mitokondria dan pengaktigan jalur intrinsi. Secara menetap, agen pro-apoptotis anggota Bcl-2 seperti Bax dan Bak meningkatkan permeabilitas membran mitokondria luar dengan metode kontroversial untuk melepaskan sitokrome-c, apoptosis-inducing factor (AIF), dan faktor pro-apoptosis lainnya. Sebagai hasilnya, sitokrom-c mengikat adaptor protein, apoptotic protease activating factor-1 (APAF-1) yang bersama dengan ATP atau dATP, merekrut dan mengaktivasikan 'initiator' caspase-9, membentuk sebuah kompleks makromolukelur yang disebut apoptosome.

Dalam hal pengumpulan, caspase-9 mendimerisasi dan diaktivasi oleh mekanisme allosterik yang sama dengan cara 'initiator' caspase-8 dan caspase-10 diaktifkan pada DISC. Sebagai umpan baliknya, pengaktifan caspase-9 akan mengaktifkan `effektor' caspase-3, caspase-6 dan caspase-7, titik dimana mitokondria dan jalur kematian reseptor tumpang tindih.

Sebagai `effektor' caspase-3, caspase-6 dan caspase-7 membelah menjadi beberapa varietas protein sel vital, termasuk enzym yang memperbaiki DNA, nuklear lamin dan


(9)

proteinsitoskeletal yang dapat menjelaskan karakteristik apoptosis seperti kondensasi inti sel dan pengkerutan sel. Sebagai tambahan, inhibitor dari caspaseactivated deoxyribonuclease (ICAD) juga merupakan pembelahan dari caspase effektor, yang melepaskan caspase-activated deoxyribonuclease (CAD) ke pembelahan genom DNA non spesifik menjadi kurang lebih 200 fragmen dasar berpasangan yang mengakhiri proses apoptosis.


(10)

BAB III

APOPTOSIS PLASENTA PADA PREEKLAMPSIA

Preeklampsia yang terjadi pada 5% - 7% kehamilan dan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas perinatal dan maternal di seluruh dunia. Kondisi ini merupakan keadaan spesifik pada kehamilan dengan adanya gambaran klinik dari hipertensi, proteinuria, dan perbedaan manifestasi. Riset yang intensif untuk mengetahui patofisiologi yang mengarah pada konsekuensi preeklamsia masih tetap sukar dipahami. Sebagian besar menerima konsep bahwa maladaptasi imun terhadap allograft janin menyebabkan plasentasi defektif. Selama Kehamilan dengan preeklamsia, invasi citotrofoblas ke miometrium merupakan tempat dangkal remodeling pada arteri spiralis uterus inkomplit abnormal. 3anyak pembuluh darah tersumbat oleh aterosis, dengan suatu akumulasi pada ;c)id-laden makrofag dan suatu sel mononuklear perivaskular. Penyebab pasti 3dalah iskemik uteroplasenta. Suatu faktor sirkulasi toksik yang tidak dapat .1jelaskan, dilepas oleh plasenta yang iskemik masuk ke dalam sirkulasi ~7aternal dan merusak endotel vaskular dan hal ini yang bertanggung jawab -erhadap penyakit klinis yang dikarakteristikkan oleh fungsi endotelial tak sesuai. =aktor sirkulasi bisa menjadi suatu protein upregulasi spesifik, debris seluler atau JNA fetus bebas.',2,'3,'4,'5

a,iin dan plasenta dipertimbangkan sebagai suatu semi-allograf terhadap sistem -,in dari ibu clan menghasilkan respon imun yang bersifat menolak. Dari awal • e,iamilan ada sebagian besar makrofag influks clan limfosit di dalam sel desidua P:_--g menghubungkan antara maternal-janin, dengan demikian sel darah putih --ningkat sampai 40% dari se1 yang dijumpai di desidua selama kehamilan. ::- ah satu teori yang paling dapat diterima adalah antigen yang melekat pada or..KOSit, memiliki daya imunitas tersendiri terhadap kelainan antigen antara ibu - janin. Ekspresi HLA-G dijumpai menjadi defektif dalam sitotrofoblas pada :.=senta preeklampsia. Selain itu, jumlah serum dari larutan HLA-G1 yang - : -ogen yang mengatur T sel clan aktivitas sel pembunuh alami berkurang dengan cara apoptosis yang terjadi pada pasien preeklampsia. Mekanisme pasti dimana HLA-G sebagai penyebab apoptosis sel belum dketahui. 'o,11

Antigen tersebut keluar dari 1 sel menuju sel-sel lain dalam tubuh dengan sisi yang berlawanan secara tiba-tiba. Antigen T sel reaktif secara cepat dapat membunuh sel-sel lain ketika masuk ke jalur tersebut. Pada permukaan protein 45k Da adalah salah satu bagian dari TNF mencetuskan sel-sel apoptosis ketika mengikat dari ligan FasL. Beberapa bagian dari angka kejadian, ketika dilakukan oleh sistem Fas-FasL yang melindungi fetus dari sistem imun maternal. Sel -.,ofoblas pada trimester pertama tumbuh mengungkapkan adanya Fas dengan :epat, ketika antigen Fas terletak pada sel desidua, yang merupakan bagian dari


(11)

eukosit maternal. Ketika trofoblas mendesak FasL untuk mengaktifkan sel ^nfosit in vitro yang mempengaruhi sel limfosit apoptOSls.10,11,13

Ada kasus preeklampsia, sel desidua menunjukkan ekspresi yang rendah dari =--• igen Fas clan ekspresi yang rendah terlihat pada sel trofoblas. Selanjutnya, _-gkat serum antigen Fas yang terlarut, dielevasi dari sirkulasi maternal. Sistem =as. sebagai hasil produk dari antigen Fas tidak dapat menstimulasi apoptosis, ; samping itu, dari apoptosis melalui ikatan persaingan dari antigen Fas. 5-c- anjutnya, penurunan tingkat Fas pada sirkulasi maternal, dengan adanya --_--rsoresi yang lebih rendah dari Fas clan Fasl menyebabkan pengurangan :,-e~ghilang apoptosis pada sistem desidual limfosit maternal. Sebagai :a -paknya terjadi peninggian apoptosis clan trofoblas pada bagian plasenta fetal ,zcagai contoh pada dinding uterus wanita yang preeklampsia menunjukkan ;.r.-- nggian makrofag ketika makrofag menginvasi trofoblas telah berakhir pada ar-= spiralis oleh TNFa, clan apoptosis tengah. TNFa dapat ditemukan dalam -czrsentrasi yang tinggi dalam plasma, cairan amnion, clan jaringan plasenta a aasien preeklampsia.'3,'4,'5

Apoptosis yang menginvasi trofoblas telah berakhir pada arteri wr-; s oertujuan untuk mengurangi aktivitas sitotrofoblas sehingga arteri spiralis ~ aringan miometrium masih adekuat, yang dikuasai oleh susunan dari -- anterior dengan tekanan yang tinggi. Pada penelitian perbandingan iaringan perlengketan uterus-vilus berasal dari preeklampsia dan pasien kontrol, contoh diambil dari kejadian apoptosis ketika kehamilan normal menunjukkan angka yang rendah dari sel apoptosis. Selain itu, contoh dari pasien preeklampsia menunjukkan angka rendah dari ekspresi salah satu protein pro apoptosis Bcl-2. Peningkatan apoptosis selama penurunan ekspresi dan Bcl-2 juga ditemukan pada sel miokard. Aktivasi apoptosis yang berlebihan pada plasenta wanita preeklampsia menghambat invasi trofoblas ke arteri spiralis dengan peningkatan apoptosis trofoblas.'2,'3,'4

Beberapa mekanisme, disamping apoptosis telah dilakukan untuk membatasi wasi ekstravilus pada plasental bed. Hal ini mencakup pengurangan ekspresi jari berbagai protein antara lain integrin a1/p1, matriks metaloprotein, molekul adhesi sel vaskuler, faktor pertumbuhan endotelial vaskular dan faktor ; ertumbuhan epidermal pengikat heparin. Suatu reduksi dalam ekspresi ~=rhadap protein diperlukan pada difrensiasi trofoblas ekstravilus sepanjang jalur -vasif sesuai dengan penglihatan bahwa sel-sel memasuki cascade apoptosis :engan down-regulasi terhadap tingkat transkripsi proteinnya.'3

: =-KUnder iskemia plasenta menyebabkan defek plasenta sehingga menjadi :-asyarat pada kasus preeklampsia. Jaringan trofoblas manusia mengekspos - -oksia in vitro menghambat peningkatan apoptosis. Proses ini dihubungkan :=^gan peningkatan ekspresi dari pro-apoptosis protein dan mengurangi =• 45cresi Bcl-2. Peningkatan apoptosis dan pengaturan


(12)

p53 juga ditemukan _=-::a contoh plasenta yang diambil dari wanita hamil yang mengalami : ----e-klampsia. Hipoksia merangsang apoptosis

melalui suatu mekanisme -.;-- batkan jalur mitokondria secara predominan, dimana ligan reseptor yang ----diasi oleh sitokin seperti TNFa atau ligan Fas. Pada jalur ini, sinyal kematian :s-_ ^nufasi melalui modulasi/kombinasi dari ekspresi apoptosis spesifik dari :o---^..s seperti P53 dan dari protein Bcl2 dalam jumlah besar. p53 memainkan ;c-a,an penting dari respon seluler pada kerusakan DNA, untuk memperbaiki = Apabila perbaikan DNA tidak memungkinkan, p53 dapat menyebabkan wccwsis. p53 adalah protein yang tidak stabil dalam waktu paruh yang pendek, rangsangan dari luar seperti hipoksia clan stress oksidatif dapat 7enstabilkannya. p53 memainkan peranan penting dalam hipoksia yang 7enentukan kematian sel dalam berbagai tipe sel, termasuk kardiosit, hepatosit, ::an sel saraf. p53 menunjukkan dorongan trofoblas yang dipaparkan oleh - ooksia. Sebagaimana biopsi plasenta yang diperoleh dari komplikasi kehamilan :=ngan preeklamsia clan retriksi pertumbuhan janin.'3,'4,'5

-i ooksia dapat menjadi satu-satunya penginduksi dari apoptosis plasenta. ;Raoikal bebas oksidatif sering ditemukan walaupun tidak secara umum :-.emukan meningkat dalam preeklamsiaa. Retensi vasoreaktif pada arteri-arteri ;;. alis disebabkan oleh plasentasi yang tidak sempurna yang dihasilkan oteh .*,',is' intermiten dari rungan intervilus, fluktuasi tekanan oksigen clan perfusi s,r,emik dari vilus yang jelek. Stress oksidatif dapat dihubungkan dengan ac,,;ngan apoptosis plasenta dari peningkatan sincitiotropoblas.','o,'3,

Walaupun masih belum jelas bagaimana apoptosis bisa terjadi secara regional di a-w sincitium, peningkatan prevalensi nukleus sincitial yang menunjukkan W^c an apoptosis ada dilaporkan pada plasenta dari kehamilan yang rplikasi oleh preeklampsia dibandingkan dengan kehamilan normal. Ini K n merupakan kejadian patologik primer atau, sebagai alternatif efek ^~cer dari perubahan oksigenasi plasental pada preeklampsia.'3,'3

,

,an-tingkatan tromboxan A2 meningkat dalam sirkulasi pada wanita hamil - preeklampsia clan pada vili plasenta. Peningkatan level tromboxan A2 --Fhubungkan dengan agregasi trombosit di mana dapat menghasilkan is dan infark pada plasenta. Tromboxan A2 biasanya ditemukan pada is dalam trofoblas waktu primer.

-s lebih lazim pada trofoblas dari kehamilan yang terkomplikasi oleh !,-sia dan IUGR, dibandingkan dengan keadaan yang diperoleh dari ~ra^ yang tak terkomplikasi. Dilaporkan bahwa peningkatan apoptosis ofoblas yang diamati pada kehamilan yang berkomplikasi sedemikian rupa -rungkin disebabkan oleh stres oksidatif plasenta, yang bisa dipicu oleh hipoksia. Dengan demikian, hipoksia trofoblas bisa menjadi penyebab preeklampsia


(13)

clan iJGR. Suatu mekanisme dimana hipoksia memediasi efek proapoptotik : anggap melibatkan pathway mitokondria. Levy et al. menunjukkan bahwa ^ coksia meningkatkan apoptosis dalam artian trofoblas mengurangi ekspresi Bci-2 sambil meningkatkan ekspresi p53 clan Bax serta mengaktifkan caspase. Sean itu, DiFederico et al. melaporkan bahwa citotrofolas ekstravillus apoptotik . a^g terdeteksi pada sampel preeklampsia negatif untuk ekspresi Bcl-2, yang T2nunjukkan bahwa penurunan ekspresi Bcl-2 bisa memicu apoptosis pada selse, trofoblas ekstravillus. Akan tetapi, sebagian besar laporan tersebut hanya -engkaji jalur apoptotik tertentu.5

5a ah satu pertanyaan yang tidak dapat dipecahkan dari

patogenesis pre-a ampsia adalah hubungan antara plasenta yang iskemik clan disfungsi sel ercotel. Kerusakan yang timbul dari endotelial iskemik adalah hal yang umum dar, juga gejala yang umum dari preklampsia. Salah satu dari teori yang Ocresentasikan oleh Redman clan Sargen adalah kerusakan endotelial iskemik discoabkan oleh mikrodeposisi dari partikel membran mikrovitus Ijotropoblas. Partikel-partikel ini dapat dideteksi pada plasma dikehamilan ial tetapi meningkat pada wanita dengan preeklampsia. Peningkatan rasi sincitiotropoblas pada preeklampsia dapat disebabkan oleh -gkatan apoptosis pada sincitium. Nukleus yang apoptosis ditemukan pada

sincitial clan kemungkinan memberikan peranan dalam pembentukan sincitial yang masuk kedalam sirkulasi ibu. Proses ini mendorong um dari plasenta-plasenta dengan kehamilan yang dikomplikasikan oleh ampsia. Saat sirkulasi maternal tidak dapat mengkompensasi terhadap ini, akan timbul kerusakan pada endotelial sistemik.',6,'°,'3

Perobahan apoptosis pada preeklampsia dijumpai tidak hanya pada plasenta ; uga pada sel endotelial. Apoptosis jaringan endotelial disebabkan oteh • .oKsik dari bagian sincitial yang eksesif yang disebabkan oleh kontriksi embuluh darah eferen atau dari efek yang dimediasi oleh radikal bebas. Efek -! terjadi melalui apoptosis endotelial yang dimediasi oleh p53, seperti yang ~ :umpai pada sistem lain. Hipotesa lain adalah bahwa peningkatan sekresi `NFa menginduksi aktivasi clan apoptosis jaringan endotelial. Pertimbangan lain --ada deportasi bagian mikrotropoblas yang menginduksi apoptosis adalah ; -,1±ngkatan level DNA bebas dalam sirkulasi pasien dengan preeklampsia. '3,14


(14)

BAB IV KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat diambil beberapa kesimpulan, diantaranya :

1, Preeklampsia adalah penyakit yang unik pada kehamilan manusia yang ditandai dengan reaksi inflamasi sistemik yang menyeluruh pada ibu clan tingkat apoptosis dianggap meningkat pada preeklampsia sebagai akibat dari stres oksidatif plasenta

2. Apoptosis adalah bentuk kematian sel fisiologik yang sudah terprogram dengan mempertahankan keutuhan organela clan ini terlibat baik dalam situasi fisiologik maupun situasi patologik.

3. Mekanisme molekuler apoptosis meliputi ligan ekstrasel dimediasi-kekebalan clan reseptor seperti ligan Fas clan reseptor Fas, serta sinyal kematian endogen seperti pemicu-apoptosis (Bax) clan anggota penghambat-apoptosis (Bcl-2 clan Bcl-x).

Hipoksia dapat menjadi satu-satunya penginduksi dari apoptosis plasenta. Radikal bebas oksidatif sering ditemukan walaupun tidak secara umum ditemukan meningkat pada preeklamsia. Hipoksia meningkatkan apoptosis dalam artian trofoblas mengurangi ekspresi Bcl-2 sambil meningkatkan ekspresi p53 clan Bax serta mengaktifkan caspase.

= Invasi abnormal pada arteri spiralis menyebabkan hipoksia pada plasenta yang memicu preeklampsia. Hal ini muncul sebagai akibat peningkatan apoptosis pada sistem endotelial karena peningkatan deportasi sincitiotrofoblas yang dimediasi oleh p53 dengan meningkatkan apoptosis -1lasenta.


(15)

DAFTAR PUSTAKA

1. Hung, Tai-Ho, et al.Hypoxia-Reoxygenation, A potent Inducer of Apoptotic Change in the Human Placenta and Possible Etiological Factor in Preeclampsia. Circ, Res, 2002;90;1274-82.

2. Raijmakers, Maarten T.M., Ralf Dechend dan Lucilla Poston. Oxidative Stress and Preeclampsia Rationale for Antioxidant Clinical Trials. Hypertension 2004;44;374-380;

3. GrusIin,Andree, Qing qiu, dan Benjamin K. Tsang. X-Linked Inhibitor of Apoptosis Protein Expression and the Regulation of Apoptosis During Human Placental Development. Biology Reproduction,64,1264-1272.2001.

DiFedrico, Elaine, Olga Genbacev dan Susan J. Fishe. Preeclampsia is Assosciated with Wodwspread Apoptosis of Placental Cytotrophpblasts with the Uterine Wall. American Journal of Pathology. Vol 155. 1.07.1999:293-301.

= Ishioka, Shin-Ichi. et al.Proteomic Analysis of Mechanisms of Hypoxia-Induced Apotosis in Throfoblast. Int, J.Med,sci,2007, 4.(1);36-44.

Allaire, Alexander, et al, Placental Apoptosis in Preeclampsia. PII S0029?844 (00) 895-4

Shennan, Andres H, Clinical review, Recent developments in obstetrics. 3MJ 2003;327:604-8.

`0"Jhitles Guy St.J. et al.lncreased Apoptosis in First Trimester Extravillous Trophoblasts from Pregnancies at Higher Risk of Developing ;:'reeclampsia. the American Journal of Pathology, Vol. 170, No. 6, June 2'J07.

Dekker GA, Sibai BM. Etiology and pathogenesis of preeclampsia: current ; ncepts. Am J Obstet Gynecol. 1998; 179(5):1359-75

Huppertz. Placental Villous Trophoblast: the Altered Balance Between P-c:iferation and Apoptosis Triggers Pre-eclampsia. J. Reproduktionsmed. cndokrino12006; 3 (2), 903-108

11. Jones, Blake A, Gregory J. Gores. Physiology and pathophysiology of apoptosis in epithelial cells of the liver, pancreas, and intestine


(16)

12. Straszewski-Chavez, Shawn L., Vikki M. Abrahams dan Gil Mor. Human Trophoblast apoptosis and survival. Endocrine Reviews. Published May 18, 2005 as doi:10.1210/er.2005-0003

13. Levy, Roni. The Role of Apoptosis in Preeclampsia. JMA1.2005.7.178-181. 14. Abraham, Vikki M, et al. First Trimester Tropfoblast Cell Secrete Fas Ligand Which Induces Immune Cell Apoptosis. Moleculer Human Reproductian.Vol 10.1.55-63.2004

15. Fujino, Toshlnori, et al. Apoptosis in Placentas From Human T-Lymphotrppic Virus Type I-Seropositive Pregnant Women: A Possible Defense l*chanism Against Transmission From Mother to Fetus. Obstet Gynecq)'~000;96:271-6.


(17)

KELENJAR PARATIROID

OLEH:

JOHNY MARPAUNG

STETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(18)

DAFTAR ISI

Hal :

DAFTAR ISI i

I. PENDAHULUAN 1

II ANATOMI DAN FISIOLOGI KELENJAR PARATIROID 2

a. Peran Hormon Paratiroid 4

b. Pengaturan Sekresi Paratiroid 5 c. Mekanisme Kerja Hormon Paratiroid 6 III PENGARUH PTH PADA ORGAN-ORGAN 6

a. Pengaruh PTH pada Tulang 6

1. Fase Cepat Absorbsi Kalsium dan Fosfat (Osteolisis) 6 2. Fase Lambat Absorbsi Tulang dan Pelepasan Kalsium

dan Fosfat --- Aktivasi Osteoklas. 8

b. Pengaruh PTH pada Ginjal 9

c. Pengaruh PTH pada Usus 9

INTEGRASI KERJA PTH, KALSITONIN DAN 10

KALSITROL HUBUNGAN ANTARA KALSIUM DAN HORMON 11

KALSIOTROPIK

VI KELAINAN FUNGSI PARATIROID 12

A. Hipoparatiroidism 12

1. Etiologi 12

2. Patofisiologi 15

3. Gambaran Minis 16

B. Hiperparatiroidism Primer 17

1. Etiologi 18

2. Patologi 19

3. Patofisiologi 21

4. Gambaran Minis 24

C. Hiperparatiroidism Seknnder Oleh Karena Gagal 25 Ginjal Kronik


(19)

KELENJAR PARATIROID I. PENDAHULUAN

Fungsi kelenjar paratiroid adalah untuk mensekresi hormon paratiroid (PTH) yang berfunbsi untuk menbontrol kalsium di dalam darah, jumlah kalsium tulang yang berguna untuk kekuatan dan kepadatan tulang. Kalsium adalah elemen utama yang menyebabkan otot untuk berkontraksi, juga berfungsi untuk proses pembekuan darah, sekresi, integritas membran, transpor membran plasma, reaksi enzim, pelepasan hormon clan neurotransmitter. Kalsiwn sangGt penting untuk hantaran normal elektrik sepanjang serabut saraf.2,3,s.s

Selama bertahun-tahun telah diketahui bahwa meningkatnya aktivitas kelenjar paratiroid dapat menyebabkan timbulnya absorbsi garam-garam kalsium yang cepat dari tulang, dengan akibat timbulnya hiperkalsemia dalam cairan ekstraseIular; sebaliknya, keadaan hipofungsi kelenjar paratiroid menimbulkan hipokalsemia, yang seringkali menimbulkan tetani. Juga, hormon paratiroid berguna dalam metabolisme fosfat serta. dalam metabolisme kalsium. 1'7''3

D;,ngan mengetahui fungsi utama dari kalsium membantu untuk menjelaskan -nengapa orang bisa merasakan sensasi nyeri pada jari tangannya atau kram pada =:ot-otot lengannya bila kadar kalsiwn terlalu rendah. Sebaliknya terlalu -.:-:gginya kadar kalsium dapat menyebabkan seseorang sistem sarafnya tertekan :.-.:.-nban), rnudah tidur, mudah tersinggung dan bahkan penurunan daya

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui fungsi kelenjar paratiroid dalam mensekresi hormon paratiroid yang berfungsi mengontrol kadar kalsium darah dan kelainan sekresinya serta efek-efek yang ditimbulkan.

II. ANATOMI DAN FISIOLOGI KELENJAR PARATIItOID

Kelenjar paratiroid adalah kelcnjar kCCil dl1Cl SIStcm CndOkCin. PVdil 111Af1USltl secara normal ada empat buah kelenjar paratiroid dengan berat tiap kelenjar 2540 mg, yang terletak tepat dibelakang kelenjar tiroid, satu kelenjar di belakang setiap kutub atas dan kutub bawah kelenjar tiroid. Setiap kelenjar berbentuk seperti sebutir beras dengan ukuran kira-kira panjang 6 mm, lebar 3 mm, dan tebal 2 mm dan penarnpakan makroskopiknya kuning mengkilap (mustard yellow).z°5°s°'°1°",i3

Keempat kelenjar paratiroid dibentuk dari kantong brankial ke-3 dan ke-4, yang berarti dibentuk secara dini pada embriogenesis bersama dengan organ-organ lain di leher. Dua kelenjar paratiroid bagian bawah dibentuk dari kantong brankial ke3 yang juga membentuk kelenjar thymus yang penting untuk perkembangan sistem immun, dua kelenjar tiroid bagian


(20)

atas dibentuk dari kantong brankial ke4 yang juga membentuk kelenjar tiroid. Walaupun keempat kelenjar paratiroid sangat kecil, tetapi sangat vaskuler, mengandung sel utama (chief cell) dengan ukuran 6-8 micron, mengandung granul honnon paratiroid, sel oksifil lebih besar dari sel utama, ukuran 12 micron, tidak mempunyai granul sekretori.2'S,6°9,12,13

?engangkatan setengah bagian kelenjar paratiroid biasanya hanya menyebabkan • '-dikit kelainan fisiologis. Namun bila yang terangkat 3/4 bagian kelenjar maka -:asanya menyebabkan timbulnya hipoparatiroid sementara, karena sisa jaringan =.::atiroid yang sedikit saja biasanya mampu untuk melakukan semua fungsi dari njar.2,5,12,i3

---,-,s'kelenjar paratiroid adalah mensekresi hormon paratiroid (PTH) untuk -__~-~ontrol kadar kalsium darah selama 24 jam. Dengan fungsi sebagai filter %.:: tn; ar paratiroid mendeteksi jumlah kalsium yang terdapat dalam darah dan bereaksi untuk membuat hormon paratiroid berlebih atau berkurang. Bila kadar kalsium dalam darah terlalu rendah sel-sel paratiroid sensitif untuk membuat hormon paratiroid yang lebih besar. Sekali hormon paratiroid dilepaskan kedalam darah, akan bersirkulasi dan bekerja pada banyak tempat untuk meningkatkan jumlah kalsium, seperti memindahkan kalsium dari tulang. Bila kadar kalsium darah terlalu tinggi, sel-sel paratiroid membuat hormon paratiroid lebih sedikit atau tidak membuat hormon, mekanisme umpan balik ini berjalan secara menetap untuk menjaga kadar kalsium dan horrnon paratiroid dalam range yang sangat sempit. Hormon paratiroid adalah pengatur endokrin yang paling penting terhadap konsentrasi kalsium dan fosfat pada cairan ekstraseluler. Hormon ini disekresi dari sel-sel kelenjar paratiroid dan sel target utamanya terletak pada tulang dan g1nja1.2'3'S'8,9,11,12,13

Seperti sebagian besar hormon protein lainnya, PTH pertama kali dibentuk di ribosom sebagai suatu preprohormon, suatu rantai polipeptida yang mengandung 115 asam amino, setelah menjalani proses intraseluler didalam retikulum endoplasma dan aparatus golgi lalu dibungkus dalam granul-granul sekretorik Jidalam sitoplasma sel dimana hormon akhirnya disekresikan sebagai protein :nier yang terdiri atas 84 asam amino dengan berat moleku19500 dalton.3°9°'1°'2°'3

Upper Parathyroids

Lower Parathyroids

Gambar 1. Anatomi kelenjar paratiroidl a. Peran Hormon Paratiroid (PTH)

Dalam keadaan normal PTH mencegah kalsium serum jatuh di bawah konsentrasi fisiologis dengan menstimulasi pergerakan kalsium dari usus dan tubulus ginjal serta tulang ke dalam darah. Hormon paratiroid berpengaruh secara langsung terhadap ginjal dan tulang, sedangkan pada


(21)

usus secara tidak langsung melalui mediasi vitamin D. IIormon ini merangsang konversi vitamin ll tidak aktif, 25-hydroxycholecalci{erol (25 OI-I D3) menjadi vitamin D aktif, 1,25-dihydroxycholecalciferol (1,25 (OH)2D3 di ginjal melalui la-hydroxylase di mitokondria tubulus ginjal. Vitamin D aktif inilah yang merangsang absorbsi kalsium di usus.3'"''2''3

Hormon paratiroid juga mencegah kadar fosfat serum diatas konsentrasi fisiologis yang normal dengan meningkatkan eksresi fosfat di tubulus ginjal. Pengaturan ini penting karena fosfat, seperti kalsium, juga dilepaskan ke dalam darah oleh resorbsi tulang yang diinduksi PTH.3'9''2''3 Jadi hormon paratiroid (PTH) dalam melakukan fungsinya dengan merangsang paling sedikit tiga proses :3'g'"''2

1. Mobilisasi kalsium dari tulang, walaupun mekanisme ini masih belum jelas, pengaruh yang nyata dari PTH adalah untuk merangsang ostcoklas mereabsorbsi mineral tulang, melepaskan kalsium kedalam darah.

2. Meningkatkan absorbsi kalsium pada usus kecil, PTH memudahkan absorbsi kalsium dari usus halus yang akan secara nyata meningkatkan kadar kalsium darah. Hormon paratiroid merangsang proses ini tidak secara langsung dengan merangsang produksi bentuk aktif vitamin D di ginjal (1,25-dihidroksikalsiferol). Vitamin D menginduksi sintesis protein yang mengikat kalsium (calsiiun-binding protein) di sel-sel epitel usus halus yang memudahkan absorbsi yang efisien kalsium ke dalam darah.

3. Menekan hilangnya kalsium melalui urin, sebagai tambahan untuk merangsang aliran kalsium ke dalam darah dari tulang dan usus, PTH menghambat ekskresi kalsium melalui urin, dengan demikian menjaga kadar kalsium dalam darah. Efek ini diperantarai dengan merangsang reabsorbsi kalsium di tubulus ginjal. Efek yang lain dari PTH pada ginjal adalah merangsang hilangnya ion fosfat rnelalui urin.

b. Pengaturan Sekresi Paratiroid

Penurunan konsentrasi ion kalsium yang paling sedikitpun dalam cairan ekstraselular akan menyebabkan kelenjar paratiroid meningkatkan kecepatan sekresinya dalam waktu beberapa menit. Bila penurunan konsentrasi kalsium menetap, kelenjar akan menjadi hipertropi. Contohnya, kelenjar paratiroid menjadi sangat membesar pada penyakit rickets, di mana kadar kalsium biasanya hanya tertekan sedikit, kelenjar juga sangat membesar selama laktasi karena kalsium digunakan untuk pembentukan air susu ibu.3°g°r2,r3

Sebaliknya, setiap keadaan yang meningkatkan konsentrasi ion kalsium di atas nilai normal akan menyebabkan berkurangnya aktivitas dan ukuran kelenjar paratiroid. Beberapa keadaan tersebut meliputi:


(22)

1. Jumlah kalsium yang berlebihan dalam diet. 2. Meningkatnya vitamin D dalam diet.

3. Absorbsi tulang yang disebabkan oleh faktor-faktor yang berbeda dengan hormon paratiroid (seperti absorbsi tulang yang disebabkan oleh tidak digunakannya tulang).r2°13

LOW cosac

0d n

Ecl, ase of parath;€;cs~ hcrm-I-nI

C+e~:re,~:;~d !~~: ~ ~f ~il I~I! LI !I

Gambar 2. Mekanisme pengaturan hormon paratiroid 3 c. Mekanisme Kerja Mormon Paradroid

Hormon paratiroid berikatan dengan protein reseptor membran pada target sel. Interaksi hormon-reseptor memulai rentetan khusus, aktivasi adenilat siklase --+ peningkatan cAMP intra sel - peningkatan kalsium intra sel --> fosforilasi protein spesifik intra sel oleh kinase -> aktivasi enzim atau protein intra sel yang akhirnya menghantar aksi biologik hormon.'2°13 III. PENGARUH PTH PADA ORGAN-ORGAN a. Pengaruh PTH Pada Tulangl2'13'la

Hormon paratiroid kelihatannya mempunyai dua efek pada tulang dalam menimbulkan absorbsi kalsium dan fosfat. Yang pertama merupakan suatu tahap cepat yang dimulai dalam waktu beberapa menit dan meningkat secara progresif dalam beberapa jam. Tahap yang kedua adalah tahap yang lebih lambat, membutuhkan waktu beberapa hari atau bahkan beberapa minggu untuk menjadi berkembang penuh, fase ini disebabkan oleh adanya proses proliferasi osteoklas, yang diikuti dengan sangat meningkatnya reabsorbsi osteoklastik pada tulang sendiri, jadi bukan hanya absorbsi gararn fosfat halsium dari tulang.

Fase Cepat Absarbsi Kalsium dan Fosfat (Osteclisis)

Bila disuntikkan sejunilah besar honnon paratiroid, maka dalarn waktu beberapa menit konsentrasi ion kalsium dalam darah mulai meningkat, jauh sebelum setiap sel tulang yang baru dapat terbentuk. Dari penelitian histologis dan fisiologis telah dapat ditunjukkan bahwa PTH dapat menyebabkan pemindahan garam-garam tulang dari dua tempat di dalam tulang, dari matriks :ulang di sekitar osteosit yang terletak di dalam tulangnya sendiri dan di sekitar ,:~s:,-~oblas yang terletak di sepanjang


(23)

permukaan tulang. Namun tidak jelas azv.hah osteoblas atau osteosit yang berfungsi menyebabkan absorbsi garam: = tulang itu, sebab kedua macam sel ini bersifat osteoblastik dan secara berkaitan dengan pengendapan tulang serta proses kalsifikasinya. Akan s;ni~i . penelitian belakangan ini menunjukkan bahwa osteoblas dan osteosi membentuk suatu sistem sel yang saling berhubungan satu sama lain, yang menyebar di seluruh tulang dan semua permukaan tulang kecuali sebagian permukaan kecil yang berdekatan dengan osteoklas. Prosesus-prosesus yang panjang, tipis menyebar dari satu osteosit ke osteosit yang lain di seluruh struktur tulang, dan prosesus ini juga berhubungan dengan osteosit dan osteoblas yang terletak di permukaan tulang. Sistem yang luas ini disebut sistem membran osteositik, dan sistem ini diyakini merupakan suatu membran yang memisahkan tulang dengan cairan ekstraselular.

Diantara membran osteositik dan tulang ada sedikit cairan yang secara sederhana disebut cairan tulang. Penelitian memberikan pendapat bahwa membran osteositik memompa ion kalsium dari cairan tulang ke dalam cairan ekstraselular, menciptakan suatu konsentrasi ion kalsium di dalam cairan tubuh hanya sepertiga dari konsentrasi kalsium di dalam cairan ekstraselular.

Bila pompa osteositik ini sangat aktif, maka konsentrasi kalsium dalam cairan tulang menjadi sangat aktif, konsentrasi kalsium cairan tulang turun bahkan jauh lebih rendah dan garam fosfat kalsium selanjutnya diabsorbsi dari tulang. Efek ini disebut sebagai osteolisis, dan proses ini berlangsung tanpa proses absorbsi matriks gelatin dan fibrosa tulang. Bila pompa ini menjadi tidak aktif, konsentrasi kalsium dalam cairan tulang naik lebih tinggi, dan garam-garam fosfat kalsium selanjutnya diendapkan lagi dalam matriks tulang.

Peran hormon paratiroid dalam proses ini adalah bahwa membran sel osteoblas dan osteosit memiliki protein reseptor untuk mengikat PTH. Kelihatannya PTH dapat mengaktifkan pompa kalsium dengan kua.t, • ehingga menyebabkan pemindahan garam-garam kalsium fosfat dengan cepat dari kristal tulang amorf yang terletak dekat dengan sel.

Hormon paratiroid diyakini merangsang pompa ini dengan meningkatkan --ermeabilitas kalsium pada sisi cairan tulang dari membran osteositik, sehingga mempermudah difusi ion kalsium ke dalam membran sel cairan tulang. Selanjutnya pompa kalsium di sisi lain dari membran sel memindahkan ion kalsium yang tersisa tadi kedalam cairan ekstraselular.

2. hase Lambat Absorbsi Tulang dan Pelepasan Kalsium dan Fosfat - Aktivasi Osteoklas

Merupakan efek PTH yang lebih banyak diketahui dan penjelasannya lebih baik adalah dengan aktivasi PTH terhadap osteoklas. Penurunan intake dan/atau absorbsi yang lebih rendah yang menyebabkan kadar ion


(24)

kalsium serum yang rendah merangsang sekresi PTH untuk memobilisasi kalsium dari tulang dengan stimulasi langsung terhadap aktivitas osteoklas.

Diketahui bahwa tulang adalah organ yang sangat aktif, proses dirnana tulang terus mengalami resorbsi, pembentukan dan mineralisasi disebut remodelling tulang yang melibatkan aktivitas osteoklas (resorbsi) dan osteoblas (pembentukan tulang). Resorbsi osteoklas dapat menyebabkan rangsangan pada osteoblas untuk mernperbaiki keadaan tulang. Juga diyakini bahwa aktivasi osteoblas dan osteosit mengirimkan suatu sinyal ke osteoklas sehingga menyebabkan osteoklas memulai kcrjanya yaitu melahap tulang dalam waktu berminggu-minggu atau berbulan-bulan.

Aktivasi sistem osteoklastik terjadi dalam dua tahap, yaitu aktivasi yang berlangsung dengan segera dari osteoklas yang sudah terbentuk dan pembentukan osteoklas baru. Kelebihan hormon paratiroid selama beberapa hari biasanya menyebabkan sistem osteoklastik berkembang dengan baik, karena pengaruh rangsangan PTH yang kuat, pertumbuhan ini berlanjut terus selama berbulan-bulan. Resorbsi osteoklastik setelah beberapa bulan menyebabkan lemahnya tulang dan menyebabkan rangsangan sekunder pada osteoblas yang mencoba memperbaiki keadaan tulang. Oleh karena itu, efek yang terakhir dari hormon paratiroid sebenarnya adalah untuk meningkatkan aktivitas osteoblastik dan osteoklastik, Dengan demikian pemberian atau sekresi hormon paratiroid yang diperlama, dalam beberapa bulan atau beberapa tahun dapat menyebabkan absorbsi seluruh tulang yang sangat nyata dengan disertai pembentukan rongga-rongga yang besar yang terisi dengan osteoklas besar.

Namun harus diketahui bahwa untuk terjadinya proses remodelling tulang yang baik, disamping hormon paratiroid juga tampak pengaruh hormon estrogen dan vitamin D aktif. Sehingga untuk tercapainya kekuatan tulang dibutuhkan keseimbangan antara kekuatan osteoblastik dan osteoklastik.l2°13°16

b. Pengaruh PTH Pada Ginjal

Hormon paratiroid bekerja pada ginjal dengan jalan:

l. Meningkatkan reabsorbsi tubulus ginjal terhadap kalsium.

2. Meningkatkan eksresi fosfat dengan menghambat reabsorbsinya di tubulus proksimal.

Kedua hal tersebut mempunyai beberapa pengaruh tidak langsung yang penting untuk homeostasis kalsium ekstraselular. Fosfaturia yang diinduksi oleh PTH menyebabkan peningkatan pelepasan fosfat dari tulung, yang terjadi selama mobilisasi kalsium dari tulang, sehingga tidak menyebabkan hiperfosfatemia. ?eningkatan fosfat serum akan berikatan


(25)

dengan kalsium dan oleh karenanya ~rlawanan dengan efek fisiologis PTH untuk meningkatkan ion kalslum.3'i2,13

c Pengaruh PTH pada Usus

u ormon paratiroid tidak mempunyai pengaruh langsung terhadap absorbsi kalsium di usus, tetapi secara tidak langsung dengan mengubah vitamin D tidak aktif (25-hidroksikolekalsiferol) menjadi vitamin D aktif (1,25~ ~droksikolekalsiferol) di dalam tubulus proksimal ginjal.3°11°IZ°13°I7 9

Kolekalsiferol (Vitamin D;) 25. Hidrosiklalekalsiferol I Ginjal , Aktivasi

1,25-Dihidroksikolekalsiferol Hormon Paratiroid

Protein ATPase yang Fostatase Pengikat dirang,sang Alkali

KaLsium KaLsium

! Pengh ~mbatan

Absoibsi Kalsium dsri usus Konsentrasi ion kaLsium plasma

IJ,Imbar 3. Pengaktifan vitamin D3 untuk membentuk

1,25dihidroksikolekalsiferol dan peran hormon paratiroid.l2'13

7, . P~-TEGRASI KERJA PTH, KALSITONIN, DAN KALSTTROL

~,_:~zmnya PTH dan kalsitonin mengatur masuk dan keluarnya kalsium ke dalam x.--:ukaan membran sel tulang dan lumen tubulus ginjal. Kalsitrol (1,25__-"-olaikolekalsiferol) terutama bekerja untuk menjaga sistem transpor selular . _ :.= di usus. Dengan demikian kalsiotropik hormon, khususnya PTH dan kalsitrol

berhubungan, dimana produksi kalsitrol di ginjal tergantung pada konsentrasi dalam darah, dan kemampuan PTH rneningkatkan kalsium plasma tergantung _:stom transpor kalsium yang dipertahankan oleh kalsitrol.3°r2

V. HUBUNGAN ANTARA KALSIUM DAN HORMON KALSIOTROPIK Dalam menjaga kadar kalsium plasma, melibatkan hormon-hormon kalsiotropik yaitu hormon paratiroid, kalsitonin, clan kalsitrol. Dalam keadaan fisiologis, terjadi fluktuasi yang kecil pada kalsium plasma. Penurunan kalsium plasma meningkatkan sekresi PTH dan penurunan sekresi kalsitonin (CT). Perubahan sekresi hormon ini berperan untuk


(26)

meningkatkan resorbsi kalsium tulang, penurunan eksresi kalsium di ginjal dan meningkatkan absorbsi kalsium di usus melalui stimulasi PTH terhadap kalsitrol. Sebagai konsekuensi proses ini, kalsium plasma meningkat diatas kadar fisiologis, kemudian menghambat sekresi pTH dan merangsang sekresi kalsitonin. Perubahan pada konsentrasi hormon 2lasma, menurunkan resorbsi tulang, meningkatkan eksresi kalsium di ginjal, dan _nenurunkan absorbsi kalsiurn di usus, mengakibatkan kalsium plasma jatuh di :,awah kadar fisiologis. Rangkaian proses ini kemungkinan terjadi dalam ~:illiseconds, agar kalsium plasma terjaga dalam kadar fisiologis dengan =-~rubahan yang minimal. 3,12,13

Tabel. Aksi Hormon yang Mengatur Kadar Kalsiuml2

TUL.ANG GINJAL USUS

Meningkatkan Meningkatkan Tidak ada reabsorbsi kalsium

d

kalsium;

k langsung

fosfat reabsorbsi fosfat, pI'g meningkatkan

k i

vitamin D tidak aktif menjadi aktif

Menurunkan Menurunkan Tidak ada

!L1..Z-IT O \ LN(CT) reabsorbsi kalsium d

kalsium dan fosfat langsung fosfat

Menjaga sistem Menurunkan Meningkatkan LkL~IT ROL

Tw :-D) transpor ionkalsium absorbsi kalsium dan fosfat

VI. KELAINAN FUNGSI PARATIROID A. HIPOPARATIROIDISM

Adalah suatu keadaan penurunan sekresi atau aktivitas hormon paratiroid (PTH). Hal ini berperan untuk menurunkan kadar kalsium darah (hipokalsemia) dan meningkatkan kadar fosfat darah (hiperfosfatemia). Simptom dapat berubah mulai dari yang paling ringan (rasa nyeri di tangan, jari jari, dan sekitar mulut) hingga bentuk yang lebih berat seperti kram otot yang bisa menyebabkan tetani (kram otot yang berat diseluruh tubuh), dan kejang.'°'I,ia,i3

Insufisiensi kelenjar paratiroid sangat jarang, tetapi hal iru dapat terjadi pada beberapa keadaan. Penyebab yang paling sering dari hipoparatiroidism adalah hilangnya jaringan paratiroid yang aktif setelah pembedahan kelenjar tiroid dan paratiroid. Lebih jarang lagi adalah adanya defek sejak lahir (kongenital) yang mana sejak lahir tanpa kelenjar paratiroid. Kadang-kadang, penyebab spesifik dari hipoparatiroid tidak dapat ditentukan.''"''2


(27)

Terdapat tiga kategori dari hipoparatiroid yaitu : - Defisiensi sekresi hormon paratiroid - Ketidakmampuan untuk membuat bentuk aktif PTH - Ketidakmampuan ginjal dan tulang untuk merespon PTH

Defisiensi Sekresi Hormon Paratiroid

Tipe hipoparatiroid ini adalah yang paling mudah dimengerti. Seorang 7asien mengeluhkan keadaan ini dengan terla:u sedikitnya (atau tidak adanva) j aringan paratiroid, dengan demikian diproduksi PTH yang : :adekuat. Ada dua penyebab utama dari problem ini, yaitu pasca bedah idiopatik.

a. Pasca Bedah

Mekanisme yang pertama (paling sering) dimana produksi hormon paratiroid yang inadekuat dikarenakan pengangkatan kelenjar

12

paratiroid pada waktu pembedahan. Operasi yang khusus dihubungkan dengan masalah ini adalah operasi untuk rnengangkat kelenjar paratiroid pada keadaan hiperparatiroidism. Tujuan dad operasi ini adalah untuk mengangkat kelenjar paratiroid yang memproduksi secara berlebihan PTH, namun (sekitar 1%-2%), kadang-kadang terlalu banyak jaringan paratiroid yang diangkat. Kedua, operasi yang dihubungkan dengan hipoparatiroidism postoperative adalah total tiroidektomi. Operasi ini dilakukan untuk sejumlah alasan, tetapi karena sangat dekatnya hubungan tiroid dan paratiroid (termasuk suplai darah yang sama), kelenjar paratiroid dapat mengalami kerusakan atau diangkat. Keadaan ini sangat jarang dan terjadi kurang dari 1% pada operasi tiroid. Pada banyak pasien, sekresi PTH yang inadekuat ini hanya semer.tara setelah pembedahan kelenjar tiroid atau paratiroid, jadi diagnosa ini tidak dapat dibuat segera setelah pembedahan.

b. Idiopatik

Defisiensi sekresi PTH tanpa penyebab yang jelas (seperti trauma bedah) disebut hipoparatiroidism idiopatik. Penyakit ini jarang dan dapat dibagi menjadi kongenital atau didapat.

1. Kongenital

Pasien dengan kategori ini lahir tanpa jaringan paratiroid. Sebagian besar pasien dengan hipoparatiroidism kongenital tidak mempunyai riwayat keluarga dengan penyakit ini. Pasien seperti ini mungkin mempunyai satu dari sejumlah penyebab kongenital. Pola yang diturunkan sesuai dengan jenis dari abnormarlitas genetik yang menyebabkan penyakit tersebut. Anak-anak pada keluarga yang memiliki resiko SO% untuk penyakit ini adalah pada defek gen dominan sedangkan pada yang defek gen resesif l:urang dari 25%. Pola penurunan secara sex-linked menunjukkan adanya suatu defek genetik pada X kromosom. Bentuk yang diturunkan cenderung timbul dari gen yang abnormal pada salah satu hal berikut : 1. Bentuk abnormal yang mengkode PTH atau reseptornya.


(28)

2. Mencegah hantaran normal signal sel dari reseptor PTH ke nukleus. 3. Mencegah perkembangan kelenjar yang normal sebelum lahir.

Hipoparatiroidism yang muncul selama beberapa bulan pertama kehidupan dapat menjadi permanen atau sementara. Penyebabnya biasanya tidak diketahui dan bila spontan terjadi. Jika tidak, hal tersebut biasanya muncul pada usia 24 bulan. Kemudian, ibu yang mempunyai kelenjar paratiroid overaktif menyebabkan kadar kalsium yang tinggi. Kelebihan ion kalsium tersebut dapat masuk kepada bayi dan menekan fungsi kelenjar paratiroid bayi. Jika penekanan kelenjar tidak terlepas segera setelah lahir, kadar kalsium yang rendah dapat menjadi suatu problem sementara untuk bayi. Hal ini tidak menyebahkan disfungsi kelenjar paratiroid yang permanen pada anak.

2. Acquired (Didapat)

Bentuk penyakit ini timbul secara khusus karena sistem immun membentuk antibodi yang melawan jaringan paratiroid sebagai usaha untuk menolak apa yang terlihat sebagai jaringan asing, banyak terjadi pada transplantasi organ. Penyakit ini dapat mempengaruhi hanya kelenjar paratiroid atau dapat menjadi bagian dari suatu sindrom yang melibatkan banyak organ. Suatu antibodi yang mengikat sensor kalsium pada kelenjar paratiroid t:lah ditemukan pada darah pasien dengan autoimmun hipoparatiroidism. Hal tersebut dianggap sebagai ikatan yang menipu kelenjar paratiroid yang percaya bahwa kadar ion kalsium .:arah adalah tinggi. Sebagai respon terhadap sinyal ini, paratiroid -erhenti membuat PTH.

Ketidakmampuan Untuk Membuat Bentuk Aktif PTH

Kedaan ini diambil hanya untuk kepentingan penyempurnaan. Terdapat hanya pada beberapa kasus dari sindrom ini yang pernah dilaporkan, tetapi satu hal yang dapat terlihat bahwa jika hormon dihasilkan sebenarnya suatu hormon yang tidak sempurna, tidak akan mempunyai kekuatan biologik yang sama seperti bentuk normalnya.

Hormon Paratiroid Resisten (Pseudo Hipoparatiroidism)

Penyakit ini juga sangat jarang. Seperti semua pasien dengan hipoparatiroidism, penyakit ini ditandai dengan hipokalsemia (sangat rendahnya kadar kalsiurn), hiperfosfatemia (terlalu tingginya kadar fosfat), tetapi keadaan ini berbeda dengan kenyataan bahwa kelenjar menghasilkan PTH tetapi tulang dan ginjalnya tidak respon. Olehkarenanya, hal ini jarang, dimana individu mempunyai PTH yang berlebih tetapi organ-organnya tidak bekerja sesuai dengan keadaan tersebut, jadi mereka kelihatan seperti hipoparatiroid namun sebenarnya tidak, karena itu disebut pseudo-hipoparatiroid.


(29)

Konsekuensi patofisiologi dan biokimiawi dari pengangkatan kelenjar paratiroid dapat ditandai dengan, (1) penurunan resorbsi tulang; (2) penurunan eksresi fosfat renal, peningkatan serum fosfat, penurunan 1,25 (OH)2D3, dan penurunan absorbsi kalsium intestinal, (3)peningkatan

ehsresi kalsium pada ginjal terhadap tingginya konsentrasi kalsium serum. Dijumpai hipokalsemia dan sering terjadi hiperfosfatemia, jika asupan ,l:izt fosfat normal. Kalsium urin sering rendah terkecuali pada eukalsemia ::lah tercapai dengan terapi. Pada kasus terakhir, kalsium urin secara .:mum lebih tinggi dari sebelum berkembangnya hipoparatiroidism, dan ~r.:~g-kadang mencapai tingkat hiperkalsiuri.

3. Gambaran Minis 1,12,13 a. Manifestasi Neuromuskular

Secara umum, tingkat penurunan pada kalsium serum terlihat menjadi penentu utama untuk berkembangnya komplikasi neuromuskular dari hipokalsemia.. Meski demikian, komplikasi kebanyakan terlihat pada 1-2 hari setelah paratiroidektomi, ketika penurunan kalsium serum secara akut, dan pada nilai kalsium serum yang dianggap tinggi (seperti, 8 mg/dl; 2 mmoUL) daripada yang ditemukan pada pasien yang mengalami hipokalsemia berat ( 6 mg/dL; 1.5 mmol/L) selama periode yang lama. Segera setelah bedah leher pada regio glandula paratiroid, dan selama beberapa hari kedepan, adalah penting untuk mengobservasi pasien secara hati-hati terhadap perkembangan tandatanda klinis terjadinya tetani daripada tergantung pada kadar kalsium serum yang absolut.

Pembuluh saraf yang terpapar terhadap rendahnya konsentrasi kalsiurn menunjukkan penurunan batas ambang dari eksitasi, respon berulang terhadap stimulus tunggal, akomodasi yang berkurang, dan pada kasus yang ekstrim, aktivitas berlanjut. Seperti fungsi neural yang abnormal terjadi secara spontan pada kedua serabut saraf sensorik dan motorik pada keadaan hipokalsemia dan menyebabkan peningkatan manifestasi neuromuskular:

1. Parestesia : Kebas dan perasaan nyeri dapat terjadi pada daerah sekitar mulut, ujung jari dan terkadang pada kaki

2. Tetani : Sebuah serangan dari tetani biasanya dimulai dengan parestesia prodromal dan diikuti dengan spasme otot ekstremitas dan wajah.

3. Hiperventilasi : Hal ini disebabkan oleh karena bangkitnya tetani, pasien dapat mengalami hiperventilasi dan peningkatan jumlah sekret akibat epinefrin

4. Simptom adrenergik : Peningkatan sekresi epinefrin selanjutnya menyebabkan ansietas, takikardi, keringat dan pucat.

S. Kejang : Pasien dengan hipoparatiroid dapat mengalami kejang. Kejang lebih sering terjadi pada orang muda dengan penyakit ini dan terdiri dari 2 tipe : pertama adalah bentuk yang lebih umum dari tetani yang diikuti


(30)

dengan spasme tonik yang berkepanjangan; tipe yang lain adalah suatu typical epileptifvrm seizure (granclmal, jaksonian, focal, atau petit mal).

6. Tanda dari tetani laten: Tetani laten dapat dideteksi dengan beberapa tanda-tanda fisik yang spesifik secara relatif. Tanda Chvostek ditandai dengan mengetuk saraf fasial yang berada pada anterior lobus telinga, tepat dibawah lengkung zygomatikus atau diantara arkus zigomatikus dan ujung dari mulut.

7. Tanda ekstrapiramidal: Sindroma neurologik ekstrapiramidal, termasuk parkinson klasik, yang terjadi pada pasien dengan hipoparatiroidism kronik b. Manifestasi klinis yang lain:

1. Katarak lentikular posterior: Katarak matur yang sempurna pada hipoparatiroidism dan menyebabkan keburaman total dari lensa.

2. Manifestasi jantung: Terjadi interval QT yang memanjang yang dihubungkan dengan hipokalsemia.

3. Manifestasi dental: Abnormalitas pembentukan email, terlambat atau tidak adanya erupsi dental dan lemahnya pembentukan akar gigi, dengan pendek atau tumpulnya akar gigi menunjukkan bahwa hipokalsemia terjadi selama anak-anak.

-l. Sindroma malabsorbsi

HIPE RPARA~TIROIDISM PRIMER

EEpe:-r::..-atiroidosme primer merupakan suatu kelompok sindrom yang saling icrr.~pang tindih yang disebabkan oleh sekresi PTH yang berlebihan yang mdua- : ~dah terkontrol oleh satu atau lebih kelenjar paratiroid yang :'Z 1

Hiperkalsemia, penanda biokimia dari kelainan ini, gagal untuk 17

menghambat aktivitas kelenjar dengan cara yang normal. Kebanyakan pasien saat ini relatif asimptomatik (tidak bergejala) dan dapat dideteksi dengan melakukan pengukuran rutin kalsium serum. Simptom, bila ada, dapat sangat bervariasi dan samar-samar. Gambaran klasik seperti nefrolitiasis, osteitis fibrosa sistika, dan kalsifikasi jaringan lunak jarang ditemui pada saat ini.3'6'7'g,la

1. 1Ctiologi3'"g' '0'12

Penyebab hiperparatiroidism primer belum diketahui. Suatu faktor genetik mungkin terlibat karena beberapa keluarga telah digambarkan memiliki penyakit ini yang diturunkan sebagai suatu autosornal dominan. Sehubungan hal ini, suatu faktor dengan aktivitas mitogenik paratiroid telah dilaporkan terdapat dalam plasma pasien dengan penyakit genetik ini. Penyelidikan terhadap insidens karsinoma tiroid pada pasien yang menjalani irradiasi leher telah menunjukkan jumlah kasus hiperparatiroidism primer yang lebih besar dari yang diharapkan,


(31)

mengesankan faktor ini sebagai salah satu kemungkinan penyebab yang mendasari. Tetapi, sulit untuk rnenginterpretasikan penelitian seperti itu karena hanya terdapat sedikit informasi mengenai insiden umum dan perjalanan penyakit hiperparatiroidism primer.

I~fus kalsium pada pasien hiperparatiroidism dengan hiperkalsemia nn7an secara tidak lengkap dapat menekan PTH serum. Ini mengesankan ::cara kuat bahwa peningkatan sekresi hormon pada pasienpasien ini -:ahibatkan, setidaknya sebagian, oleh kesalahan titik penyetelan {set dalam kadar ion kalsium pada jaringan abnormal yang tertekan. in] telah dibuktikan secara langsung secara in vitro. Sel paratiorid _;~-:_olasi dari kelenjar yang hiperfungsi memerlukan konsentrasi kalsium _ -.--z lebih tinggi dalam medium untuk menurunkan sekresi PTH `=~.,:ingkan dengan yang dilakukan sel yang diperoleh dari kelenjar ;.:C,.--:....

2. Patologi"'°"2

a. Kelenjar Paratiroid

Secara histologi, kelenjar paratiorid abnonnal dari pasien dengan hiperparatiroidisme primer digambarkan sebagai hiperplastik, adenomatosa, atau maligna. Sayangnya, studi kontrol interpretasi histologik oleh patologis telah menunjukkan bahwa sulit atau tidak mungkin untuk membedakan antara adenoma dengan hiperplasia. Lebih lanjut lagi, jaringan paratiroid abnormal tetapi nonmaligna, dalam kasus-kasus yang jarang, memiliki banyak gambaran histologik dari jaringan maligna. Sehingga, untuk mengklasifikasi lesi paratiorid, secara umum penting untuk melihat gambaran patologik kasar yang diamati selama pembedahan. Ahli bedah menentukan jumlah, ukuran, dan tampilan kasar dari kelenjar abnormal yang ada. Patologis kemudian menentukan apakah spesimen biopsi merupakan jaringan paratiroid. Keterlibatan kelenjar-tunggal ("adenoma") terjadi pada sekitar SO% pasien dengan hiperparatiroidism dan keterlibatan l:elenjar yang multipel ("hiperplasia") padG sekitar 20%. Diagnosis dari karsinoma kelenjar yang sesungguhnya adalah berdasarkan pada suatu kombinasi tampilan kasar dari lcsi, gambaran histologik, dan terakhir, pada perilaku biologik jaringan abnormal. Kurang dari 2% l:elenjar yang hiperfungsi adalah ganas.

Hiperparatiroidism primer familial dan hiperparatiroidism yang dihubungkan dengan neoplasia :ndokrin multipel hampir selalu melibatkan kelenjar multipel. ::elenjar paratiroid abnormal biasanya beratnya 0,2-2 g (27-75 mg ,::alah normal) dan memiliki suatu ciri warna kuning-merah dan

-.a:npak "bulging" secara in situ. Kadang-kadang, kelenjar yang sangat '.-esar (> 10 g) dapat diamati. Keparahan dari manifestasi klinis, :t.-utama derajat hiperkalsemia, secara umum sepadan dengan s.:antitas dari jaringan yang hiperfungsi. Jenis sel predorninan dalam ~: -3nvakan kelenjar yang abnormal adalah sel utama (chief cell);

dapat berbentuk dalam lembaran atau pita atau dapat tampak ::~,n iolikel. Sel yang disebut water-clear cell dan sel oksifilik dapat bercampur, dan


(32)

dalam kasus yang jarang ini dapat menjadi predominan. Tidak ada keraguan bahwa set utama (chief cell) mensintesis dan mensekresi PTH. Fungsi water-clear cell dan set oksifilik belum diketahui.

b. Tulang

Secara maya, semua pasien dengan hiperparatiroidisme primer, analisis histomorfometrik dari biopsi tulang krista iliaka menunjukkan efek PTH berlebihan pada tulang. Efek ini tneliputi peningkatan resorpsi permukaan tulang, peningkatan jumlah osteoklas, osteolisis osteositik, dan dalam kasus sedang hingga berat, fibrosis sumsum tulang. Hanya penyakit yang telah sangat lanjut yang berkaitan dengan kista tulang klasik dan fraktur. Pasien-pasien ini memililci suatu defek mineralisasi yang digambarkan dengan sejumlah besar kolagen yang tidak dimineralisasi dan tulang yang disorganisasi (lebih banyak woven dibanding dengan lamelar).

c. Ginjal

Sekitar 20-30% pasien dengan nefrolitiasis, yang sering berkomplikasi menjadi pielonefritis. Nefrokalsinosis kasar atau kalsifikasi papilla renal adalah tidak biasa, tetapi pemeriksaan mikroskopik ginjal dengan pewarnaan kalsium khusus pada saat otopsi kadang-kadang menunjukkan kalsifikasi peritubular dan tubular.

d. Organ Lain:

Kalsifkasi organ lain seperti lambung, paru-paru, dan jantung serta pembuluh darah telah diamati pada pasien dengan krisis ::iperparatiroid (kalsium serum > 15 mg/dL; 3,75 mmol/L).

c. Otot:

opati secara relatif sering terjadi pada hiperparatiroidism primer.

3. Patofsiologis'6'7'IO,lz,13

Sebagaimana yang diperkirakan, pelepasan PTH yang tidak terkontrol secara menyeluruh dari jaringan paratiroid yang hiperfungsi menyebabkan terjadinya respon fisiologis pada organ target.

a. Hiperkalsemia

Karena kelebihan PTH merangsang transpor kalsium ke dalam darah dari usus dan lumen tubular sebagaimana juga dari tulang, usus dan ginjal tidak mampu untuk mengkoreksi hiperkalsernia. Sehingga, pasicn dengan hiperparatiroidism primer, berlawanan dengan penyakit hiperkalsemik (nonparatiroid) lainnya, kekurangan pada lini pertama pertahanan terhadap hiperkalsemia, yaitu, dengan peningkatan pelepasan kalsium renal dan usus. Pada awal perjalanan penyakit, bila nilai kalsium serum kurang dari 11,5 mg /dL (2,88 mmal/L) (kisaran normal 8,9-10,1 mg/dL [2,23-2,53 mmol/L]), kalsium urin dapat rnenjadi rendah secara relatif untuk derajat hiperkalsemianya. Ini hanya bila nilai kalsium serum lebih besar dari 12 mg/dL (3 mmol/L), saat mekanisme tubular renal untuk


(33)

reabsorbsi kalsium terlampaui, atau bila terdapat penurunan yang tidak berkaitan dengan kapasitas tubular renal untuk menyerap kalsium, sehingga mekanisme adaptif ginjal untuk mengkoreksi hiperkalsemia menjadi berfungsi dan berkembangnya hiperkalsiuria. Sayangnya, adaptasi kronik ini (hiperkalsiuria), bersamaan dengan perubahan lain dalam komposisi urin yang terjadi pada hiperparatiroidism primer (contoh, peningkatan pH akibat bikarbonat), berperan terhadap urolitiasis dan infeksi traktus urinarius yang sangat umum pada pasien-pasien ini.

Banyak pasien-pasien dengan hiperparatiroidism primer memiliki penurunan reabsorpsi tubular untuk fosfat, hiperfosfaturia, dan hipofosfatemia. Pada orang normal atau pada pasien dengan hilangnya kemampuan untuk mengubah 250HD3 menjadi 1,25(OH)ZD3, efek PTH terhadap tubulus renal membantu homeostasis mineral dengan merangsang produksi 1,25(OH)2D3 dan dengan membersihkan fosfat

darah yang dipindahkan dari tulang selama resorbsi kalsium. Namun, pada pasien dengan hiperparatiroidism primer, hiperkalsemia yang diperburuk dengan peningkatan produksi 1,25(OH)2D3 dan dengan suatu penurunan dalam jumlah fosfat serum yang tersedia untuk membentuk kompleks dengan ion kaslium serum.

b. Kalsium dalam Jaringan Lunak

Mekanisme lain dalam mengkoreksi hiperkalsemia diperlukan saat perkembangan penyakit. Ini umumnya menghasilkan suatu pertukaran antara penurunan kalsium serum dan berkembangnya penyakit organ. Suatu mekanisme seperti itu adalah deposisi (pengendapan) kalsium dalam jaringan lunak yang terjadi karena daya larut normal produk Ca 2+dan P04 3- dalam serum telah terlampaui.

c. Defisiensi Vitamin D

Mekanisme adaptif lainnya adalah berkembangnya defisiensi vitamin D, yang dapat membuat pasien menjadi hiperparatiroidism eukalsemik berat. Dalam keadaan ini, seorang pasien dengan cadangan vitamin D yang terbatas dapat mengalami defisiensi vitamin D karena peningkatan jangka panjang pengubahan 250HD3 menjadi 1,25(OH)2D3 yang disebabkan oleh

peningkatan kadar PTH yang bersirkulasi.

d. Peningkatan Degradasi PTII

Suatu mekanisme adaptif akhir dapat merupakan suatu peningkatan degradasi bentuk aktif secara boilogik PTH perifer yang diinduksi hiperkalsemia (contoh, dalam hati dan kemungkinan ginjal) dan dalam jarngan paratiorid itu sendiri. Bukti yang mendukung efek ion kalsium seperti itu terdapat pada manusia dan binatang. Sehingga, adalah mungkin bahwa kalsium plasma tidak hanya dapat mengatur sekresi PTH tetapi juga dapat menjadi penting dalam menentukan kuantitas relatif PTH aktif secara biologi dan fragmen hormon inaktif dalam sirkulasi. Salah satu


(34)

mekanisme adapatif yang dapat diharapkan untuk memainkan suatu peran penting dalam mengkoreksi hiperkalsemia

e. Asidosis Hiperkloremik

Pasien dengan hiperparatiroidism primer umumnya mengalami asidosis hiperkloremik ringan hingga sedang. Ini diakibatkan kelebihan PTH, yang menurunkan konsentrasi ion hidrogen urin dan meningkatkan ekskresi bikarbonat urin.

f. Peningkatan cAMP Urin

cAMP urin meningkat pada sebanyak 80% pasien dengan hiperparatiroidism primer. Ini sepertinya mencerminkan suatu peningkatan pada aktivitas adenil siklase sel renal yang distimulasi-PTH. Menariknya, beberapa studi menunj ukkan banwa respon fosfaturik clan cAMP terhadap pemberian PTH eksogen tampak pada pasi.en dengan hiperparatiroidism primer, yang mengesankan suatu keadaan refrakter atau "desensitisasi" dari satu atau lebih komponen selular yang bertanggung jawab untuk efek-efek ini.

g. dari hiperparatiroidism primer adalah meningkatkan sekresi CT. Tetapi bukti menunjukkan bahwa ini tidak terjadi pada kebanyakan pasien; dan pada beberapa pasien (khususnya wanita), cadangan CT nyatanya tampak menghilang.

Osteitis Fibrosa Sistika

Pasien dengan bukti radiologik osteitis fibrosa sistika sering mengalami peningkatan konsentrasi serum isoenzim tulang alkalin fosfatase. Enzim tulang ini dihasilkan oleh osteoblas dan kemungkinan merupakan salah satu dari beberapa enzim yang terlibat dalam mineralisasi tulang. Pasien-pasien ini juga mengekskresikan hidroksiprolin lebih besar jumlahnya dari normal dalam urinnya. Asam amino ini unik terhadap kolagen, yang merupakan protein struktural utama dalam tulang.

4. Gambaran Klinik7'g'IO'12 a. Simptom

Pasien dengan hiperparatiroidisme primer biasanya asimptomatik relatif atau memiliki simptom nonspesifik seperti kelemahan dan mudah lelah. Ketika simptom terjadi, mereka secara umum dapat diakibatkan oleh dua penyebab: (1) hiperkalsemia berkaitan dengan hiperkalsiuria atau (2) osteitis fibrosa sistika

1. Hiperkalsemia dan dihubungkan dengan Hiperkalsiuria: Simtom yang menyebabkan hiperkalsemia melibatkan sejumlah sistem : (1) sistem syaraf pusat : gangguan mental, hilang ingatan untuk kejadian yang baru, emosi yang labil, depresi, anosmia, somnolen, dan bahkan koma; (2) neuromuskular : kelemahan (terutama otot-otot proksimal); (3) rhematologi : nyeri sendi yang berhubungan dengan gout, deposisi kristal kalsium


(35)

pirofosfat intraartikular (pseudo gout), tendinitis kalsifikasi, dan khondrokalsinosis; (4) dermatologi : pruritus kemungkinan akibat kalsifikasi metastasis kedalam kulit; (5) gastrointestinal : anoreksia, nausea, muntah, dispepsia, dan konstipasi; dan (6) renal :poliuria, nokturia, kolik renal akibat lithiasis, nefrokalsinosis yang kadang-kadang menyebabkan gagal ginjal, dan simtom yang berkaitan dengan uremia. Sernua kelainan ini berkaitan dengan derajat peningkatan ion kalsium dalam cairan ekstraselular.

2. Osteitis fibrosa sistika

Penyakit tulang simtomatik (osteitis fibrosa sistika) sekarang jarang terjadi. Pasien mungkin mengeluh nyeri tulang yang difus atau, amat jarang sekali, dapat mengalami fraktur patologis akibat suatu kista tulang.

b. Tanda

Kebanyakan pasien tidak menunjukkan tanda-tanda kelainan. Tanda seperti ini biasanya muncul terbatas pada sistem neuromuskular atau pada sistem organ yang terdapat kalsifikasi jaringan lunak. Kelainan neurologis tidak spesifik dan rneliputi gangguan mental, depresi mental, psikosis, rekleks tendon hipoaktif, hiperekstensibilitas sendi, kehilangan sensor persepsi nyeri dan getar, kelemahan otot proksimal (terutama paha), pergerakan lidah yang abnormal (menyerupai fasikulasi), atrofi lidah, ataxia gait, dan kuku kuat (keras) abnormal.

C. HIPERPARATIROID SEKUNDER OLEH KARENA GAGAL GINJAL KRONIK

Suatu peningka.tan sekresi PTH yang adaptif dan tidak berkaiatan dengan penyakit intrinsik kelenjar paratiroid disebut hiperparatiroidism sekunder. Kelainan ini berkaitan dengan perangsangan kelenjar paratiroid yang lama oleh penurunan kronik kadar ion kalsium dalam darah. Beberapa kondisi yang menyebabkan hipokalsemia kronik dan dan hiperparatiroid sekunder. Tetapi, kecaali pada beberapa kasus ekstrim, gagal ginjal kronik merupakan satu-satunya dimana hiperparatiroidi sekunder menghasilkan manifestasi klinis bearnakna. Sehingga, bagian ini akan menekankan hiperparatiroid berkiatar.i dengan gagal ginjal kronik.7'8'l0''1''2

Menuriknya hiperparatiroidism dari gagal ginjal kronik dan dihubungkan dergan penyakit tulang , osteodistrofi ginjal, baru berkembang akhir-akhir MI. Sebelum adanya hemodialisis, sekuele dari kerusakan nefron yang progresif tidak diteliti secara serius,karena harapan hidup pasien dengan gagal ginjal kronik sangat singkat. Sejak pasien-pasien ini dipertahankan dengan dialisis dan transplantasi ginjal, masalah penatalaksanaan kronik harus dikenali dan dilaksanakan.7'"''2


(1)

mengesankan faktor ini sebagai salah satu kemungkinan penyebab yang mendasari. Tetapi, sulit untuk rnenginterpretasikan penelitian seperti itu karena hanya terdapat sedikit informasi mengenai insiden umum dan perjalanan penyakit hiperparatiroidism primer.

I~fus kalsium pada pasien hiperparatiroidism dengan hiperkalsemia nn7an secara tidak lengkap dapat menekan PTH serum. Ini mengesankan ::cara kuat bahwa peningkatan sekresi hormon pada pasienpasien ini -:ahibatkan, setidaknya sebagian, oleh kesalahan titik penyetelan {set dalam kadar ion kalsium pada jaringan abnormal yang tertekan. in] telah dibuktikan secara langsung secara in vitro. Sel paratiorid _;~-:_olasi dari kelenjar yang hiperfungsi memerlukan konsentrasi kalsium _ -.--z lebih tinggi dalam medium untuk menurunkan sekresi PTH `=~.,:ingkan dengan yang dilakukan sel yang diperoleh dari kelenjar ;.:C,.--:....

2. Patologi"'°"2

a. Kelenjar Paratiroid

Secara histologi, kelenjar paratiorid abnonnal dari pasien dengan hiperparatiroidisme primer digambarkan sebagai hiperplastik, adenomatosa, atau maligna. Sayangnya, studi kontrol interpretasi histologik oleh patologis telah menunjukkan bahwa sulit atau tidak mungkin untuk membedakan antara adenoma dengan hiperplasia. Lebih lanjut lagi, jaringan paratiroid abnormal tetapi nonmaligna, dalam kasus-kasus yang jarang, memiliki banyak gambaran histologik dari jaringan maligna. Sehingga, untuk mengklasifikasi lesi paratiorid, secara umum penting untuk melihat gambaran patologik kasar yang diamati selama pembedahan. Ahli bedah menentukan jumlah, ukuran, dan tampilan kasar dari kelenjar abnormal yang ada. Patologis kemudian menentukan apakah spesimen biopsi merupakan jaringan paratiroid. Keterlibatan kelenjar-tunggal ("adenoma") terjadi pada sekitar SO% pasien dengan hiperparatiroidism dan keterlibatan l:elenjar yang multipel ("hiperplasia") padG sekitar 20%. Diagnosis dari karsinoma kelenjar yang sesungguhnya adalah berdasarkan pada suatu kombinasi tampilan kasar dari lcsi, gambaran histologik, dan terakhir, pada perilaku biologik jaringan abnormal. Kurang dari 2% l:elenjar yang hiperfungsi adalah ganas.

Hiperparatiroidism primer familial dan hiperparatiroidism yang dihubungkan dengan neoplasia :ndokrin multipel hampir selalu melibatkan kelenjar multipel. ::elenjar paratiroid abnormal biasanya beratnya 0,2-2 g (27-75 mg ,::alah normal) dan memiliki suatu ciri warna kuning-merah dan

-.a:npak "bulging" secara in situ. Kadang-kadang, kelenjar yang sangat '.-esar (> 10 g) dapat diamati. Keparahan dari manifestasi klinis, :t.-utama derajat hiperkalsemia, secara umum sepadan dengan s.:antitas dari jaringan yang hiperfungsi. Jenis sel predorninan dalam ~: -3nvakan kelenjar yang abnormal adalah sel utama (chief cell);

dapat berbentuk dalam lembaran atau pita atau dapat tampak ::~,n iolikel. Sel yang disebut water-clear cell dan sel oksifilik dapat bercampur, dan


(2)

dalam kasus yang jarang ini dapat menjadi predominan. Tidak ada keraguan bahwa set utama (chief cell) mensintesis dan mensekresi PTH. Fungsi water-clear cell dan set oksifilik belum diketahui.

b. Tulang

Secara maya, semua pasien dengan hiperparatiroidisme primer, analisis histomorfometrik dari biopsi tulang krista iliaka menunjukkan efek PTH berlebihan pada tulang. Efek ini tneliputi peningkatan resorpsi permukaan tulang, peningkatan jumlah osteoklas, osteolisis osteositik, dan dalam kasus sedang hingga berat, fibrosis sumsum tulang. Hanya penyakit yang telah sangat lanjut yang berkaitan dengan kista tulang klasik dan fraktur. Pasien-pasien ini memililci suatu defek mineralisasi yang digambarkan dengan sejumlah besar kolagen yang tidak dimineralisasi dan tulang yang disorganisasi (lebih banyak woven dibanding dengan lamelar).

c. Ginjal

Sekitar 20-30% pasien dengan nefrolitiasis, yang sering berkomplikasi menjadi pielonefritis. Nefrokalsinosis kasar atau kalsifikasi papilla renal adalah tidak biasa, tetapi pemeriksaan mikroskopik ginjal dengan pewarnaan kalsium khusus pada saat otopsi kadang-kadang menunjukkan kalsifikasi peritubular dan tubular.

d. Organ Lain:

Kalsifkasi organ lain seperti lambung, paru-paru, dan jantung serta pembuluh darah telah diamati pada pasien dengan krisis ::iperparatiroid (kalsium serum > 15 mg/dL; 3,75 mmol/L).

c. Otot:

opati secara relatif sering terjadi pada hiperparatiroidism primer. 3. Patofsiologis'6'7'IO,lz,13

Sebagaimana yang diperkirakan, pelepasan PTH yang tidak terkontrol secara menyeluruh dari jaringan paratiroid yang hiperfungsi menyebabkan terjadinya respon fisiologis pada organ target.

a. Hiperkalsemia

Karena kelebihan PTH merangsang transpor kalsium ke dalam darah dari usus dan lumen tubular sebagaimana juga dari tulang, usus dan ginjal tidak mampu untuk mengkoreksi hiperkalsernia. Sehingga, pasicn dengan hiperparatiroidism primer, berlawanan dengan penyakit hiperkalsemik (nonparatiroid) lainnya, kekurangan pada lini pertama pertahanan terhadap hiperkalsemia, yaitu, dengan peningkatan pelepasan kalsium renal dan usus. Pada awal perjalanan penyakit, bila nilai kalsium serum kurang dari 11,5 mg /dL (2,88 mmal/L) (kisaran normal 8,9-10,1 mg/dL [2,23-2,53 mmol/L]), kalsium urin dapat rnenjadi rendah secara relatif untuk derajat hiperkalsemianya. Ini hanya bila nilai kalsium serum lebih besar dari 12 mg/dL (3 mmol/L), saat mekanisme tubular renal untuk


(3)

reabsorbsi kalsium terlampaui, atau bila terdapat penurunan yang tidak berkaitan dengan kapasitas tubular renal untuk menyerap kalsium, sehingga mekanisme adaptif ginjal untuk mengkoreksi hiperkalsemia menjadi berfungsi dan berkembangnya hiperkalsiuria. Sayangnya, adaptasi kronik ini (hiperkalsiuria), bersamaan dengan perubahan lain dalam komposisi urin yang terjadi pada hiperparatiroidism primer (contoh, peningkatan pH akibat bikarbonat), berperan terhadap urolitiasis dan infeksi traktus urinarius yang sangat umum pada pasien-pasien ini.

Banyak pasien-pasien dengan hiperparatiroidism primer memiliki penurunan reabsorpsi tubular untuk fosfat, hiperfosfaturia, dan hipofosfatemia. Pada orang normal atau pada pasien dengan hilangnya kemampuan untuk mengubah 250HD3 menjadi 1,25(OH)ZD3, efek PTH terhadap tubulus renal membantu homeostasis mineral dengan merangsang produksi 1,25(OH)2D3 dan dengan membersihkan fosfat

darah yang dipindahkan dari tulang selama resorbsi kalsium. Namun, pada pasien dengan hiperparatiroidism primer, hiperkalsemia yang diperburuk dengan peningkatan produksi 1,25(OH)2D3 dan dengan suatu penurunan dalam jumlah fosfat serum yang tersedia untuk membentuk kompleks dengan ion kaslium serum.

b. Kalsium dalam Jaringan Lunak

Mekanisme lain dalam mengkoreksi hiperkalsemia diperlukan saat perkembangan penyakit. Ini umumnya menghasilkan suatu pertukaran antara penurunan kalsium serum dan berkembangnya penyakit organ. Suatu mekanisme seperti itu adalah deposisi (pengendapan) kalsium dalam jaringan lunak yang terjadi karena daya larut normal produk Ca 2+dan P04 3- dalam serum telah terlampaui.

c. Defisiensi Vitamin D

Mekanisme adaptif lainnya adalah berkembangnya defisiensi vitamin D, yang dapat membuat pasien menjadi hiperparatiroidism eukalsemik berat. Dalam keadaan ini, seorang pasien dengan cadangan vitamin D yang terbatas dapat mengalami defisiensi vitamin D karena peningkatan jangka panjang pengubahan 250HD3 menjadi 1,25(OH)2D3 yang disebabkan oleh

peningkatan kadar PTH yang bersirkulasi. d. Peningkatan Degradasi PTII

Suatu mekanisme adaptif akhir dapat merupakan suatu peningkatan degradasi bentuk aktif secara boilogik PTH perifer yang diinduksi hiperkalsemia (contoh, dalam hati dan kemungkinan ginjal) dan dalam jarngan paratiorid itu sendiri. Bukti yang mendukung efek ion kalsium seperti itu terdapat pada manusia dan binatang. Sehingga, adalah mungkin bahwa kalsium plasma tidak hanya dapat mengatur sekresi PTH tetapi juga dapat menjadi penting dalam menentukan kuantitas relatif PTH aktif secara biologi dan fragmen hormon inaktif dalam sirkulasi. Salah satu


(4)

mekanisme adapatif yang dapat diharapkan untuk memainkan suatu peran penting dalam mengkoreksi hiperkalsemia

e. Asidosis Hiperkloremik

Pasien dengan hiperparatiroidism primer umumnya mengalami asidosis hiperkloremik ringan hingga sedang. Ini diakibatkan kelebihan PTH, yang menurunkan konsentrasi ion hidrogen urin dan meningkatkan ekskresi bikarbonat urin.

f. Peningkatan cAMP Urin

cAMP urin meningkat pada sebanyak 80% pasien dengan hiperparatiroidism primer. Ini sepertinya mencerminkan suatu peningkatan pada aktivitas adenil siklase sel renal yang distimulasi-PTH. Menariknya, beberapa studi menunj ukkan banwa respon fosfaturik clan cAMP terhadap pemberian PTH eksogen tampak pada pasi.en dengan hiperparatiroidism primer, yang mengesankan suatu keadaan refrakter atau "desensitisasi" dari satu atau lebih komponen selular yang bertanggung jawab untuk efek-efek ini.

g. dari hiperparatiroidism primer adalah meningkatkan sekresi CT. Tetapi bukti menunjukkan bahwa ini tidak terjadi pada kebanyakan pasien; dan pada beberapa pasien (khususnya wanita), cadangan CT nyatanya tampak menghilang.

Osteitis Fibrosa Sistika

Pasien dengan bukti radiologik osteitis fibrosa sistika sering mengalami peningkatan konsentrasi serum isoenzim tulang alkalin fosfatase. Enzim tulang ini dihasilkan oleh osteoblas dan kemungkinan merupakan salah satu dari beberapa enzim yang terlibat dalam mineralisasi tulang. Pasien-pasien ini juga mengekskresikan hidroksiprolin lebih besar jumlahnya dari normal dalam urinnya. Asam amino ini unik terhadap kolagen, yang merupakan protein struktural utama dalam tulang.

4. Gambaran Klinik7'g'IO'12 a. Simptom

Pasien dengan hiperparatiroidisme primer biasanya asimptomatik relatif atau memiliki simptom nonspesifik seperti kelemahan dan mudah lelah. Ketika simptom terjadi, mereka secara umum dapat diakibatkan oleh dua penyebab: (1) hiperkalsemia berkaitan dengan hiperkalsiuria atau (2) osteitis fibrosa sistika

1. Hiperkalsemia dan dihubungkan dengan Hiperkalsiuria: Simtom yang menyebabkan hiperkalsemia melibatkan sejumlah sistem : (1) sistem syaraf pusat : gangguan mental, hilang ingatan untuk kejadian yang baru, emosi yang labil, depresi, anosmia, somnolen, dan bahkan koma; (2) neuromuskular : kelemahan (terutama otot-otot proksimal); (3) rhematologi : nyeri sendi yang berhubungan dengan gout, deposisi kristal kalsium


(5)

pirofosfat intraartikular (pseudo gout), tendinitis kalsifikasi, dan khondrokalsinosis; (4) dermatologi : pruritus kemungkinan akibat kalsifikasi metastasis kedalam kulit; (5) gastrointestinal : anoreksia, nausea, muntah, dispepsia, dan konstipasi; dan (6) renal :poliuria, nokturia, kolik renal akibat lithiasis, nefrokalsinosis yang kadang-kadang menyebabkan gagal ginjal, dan simtom yang berkaitan dengan uremia. Sernua kelainan ini berkaitan dengan derajat peningkatan ion kalsium dalam cairan ekstraselular.

2. Osteitis fibrosa sistika

Penyakit tulang simtomatik (osteitis fibrosa sistika) sekarang jarang terjadi. Pasien mungkin mengeluh nyeri tulang yang difus atau, amat jarang sekali, dapat mengalami fraktur patologis akibat suatu kista tulang.

b. Tanda

Kebanyakan pasien tidak menunjukkan tanda-tanda kelainan. Tanda seperti ini biasanya muncul terbatas pada sistem neuromuskular atau pada sistem organ yang terdapat kalsifikasi jaringan lunak. Kelainan neurologis tidak spesifik dan rneliputi gangguan mental, depresi mental, psikosis, rekleks tendon hipoaktif, hiperekstensibilitas sendi, kehilangan sensor persepsi nyeri dan getar, kelemahan otot proksimal (terutama paha), pergerakan lidah yang abnormal (menyerupai fasikulasi), atrofi lidah, ataxia gait, dan kuku kuat (keras) abnormal.

C. HIPERPARATIROID SEKUNDER OLEH KARENA GAGAL GINJAL KRONIK

Suatu peningka.tan sekresi PTH yang adaptif dan tidak berkaiatan dengan penyakit intrinsik kelenjar paratiroid disebut hiperparatiroidism sekunder. Kelainan ini berkaitan dengan perangsangan kelenjar paratiroid yang lama oleh penurunan kronik kadar ion kalsium dalam darah. Beberapa kondisi yang menyebabkan hipokalsemia kronik dan dan hiperparatiroid sekunder. Tetapi, kecaali pada beberapa kasus ekstrim, gagal ginjal kronik merupakan satu-satunya dimana hiperparatiroidi sekunder menghasilkan manifestasi klinis bearnakna. Sehingga, bagian ini akan menekankan hiperparatiroid berkiatar.i dengan gagal ginjal kronik.7'8'l0''1''2

Menuriknya hiperparatiroidism dari gagal ginjal kronik dan dihubungkan dergan penyakit tulang , osteodistrofi ginjal, baru berkembang akhir-akhir MI. Sebelum adanya hemodialisis, sekuele dari kerusakan nefron yang progresif tidak diteliti secara serius,karena harapan hidup pasien dengan gagal ginjal kronik sangat singkat. Sejak pasien-pasien ini dipertahankan dengan dialisis dan transplantasi ginjal, masalah penatalaksanaan kronik harus dikenali dan dilaksanakan.7'"''2


(6)

DAFTAR PUSTAKA

1. Hypoporathyroidism. Endocrine Disorders & Endocrine Surgery. Http://www. Parathyroid. com. 2004

2. Functional Anatomy of the Thyroid and Parathyroid Glands Anatomy of the Thyroid and Parathyroid Glands endocrine Index. 1999, 1-2.

3.

~. Parathyroid Hormone. Http://www.parathvroid.com. 2003, 1-3.

-t. Parathyroid Cancer is very rate disease. Parathyroid Cancer. l-i ttp://www. parathyroid. com/parathyroid-cancer.htm.

Your Parahtyroid. Endocrine Disorder & Endocrine Surgery. Endocrine Web.com. 1997-2005, 1-2.

Parathyroid Patients resource. Http://www.parathyroid.com/dia,~;nosis.lltm. Parathyroids. My

Thyroid.com. 2005, 1-6.

Parathyroid Function, Normal and Abnormal. Http://www.endocrine web. com/hyperpara.

Parathyroid anatomy. Http://www..parathyroid.com/parathyroid-anatom .y

htm. -?%-perparathyroidism.

Http://www.endocrineweb.comlhXperpara.html ?arahtyroid Gland. Pathology Outlines-com. 2006, 1-9.

t: `.ID, Arnaud, CD. The Calciotropic Hormones & Metabolic Bone Disease. In. 3-~sic & Clinical Endocrinology. 4th Edition. Appleton & Large. USA. 1994, - =?7-306.

,.:,.:-,ton AC. Hormon Paratiroid, Kalsitonin, Metabolisme Kalsiwn dan Fosfat, ".-:".rmin D, Tulang dan Gigi. Dalam Buku Ajar Fisiolegi Kedokteran, Edisi 9, 79. Penerbit Buku Kedokteran EGC, tahun 1996: Hal 1241-63.

~_...: R. Struktur dan Metabolisme Tulang serta Hubungannya dengan _,~.~~-enesis Osteoporosis, dalam kwnpulan makalah First Indonesian Course on C-s:toporosis, Sukabumi, Maret 2000.

Sce. e: -f Leon, Fritz Marc A. Menopause and the Perimenopause Transition in C"-.-:-~i Gynecologic Enocrinology and Infertility Seventh Edition. Penerbit Lzpc~n:ott Williams and Wilkins, Baltimore, London, tahun 2005 : Ha1621-74.

L, Thomsen JS. Bone Structure and Function in Relation to Aging and of the 8`h Congress of Menopause, Sydney, Australia, edited by R-= 30. The Parthenom Publishing Group, New York, 1996: 126-36.

JC. The role of Vitamin D in the Pathogensis and Treatment of Cs:;.-ic;.)rosis. J. Rheumatol Suppl 1996: 45 : 15-$.


Dokumen yang terkait

Gambaran Histopatologi Arteri Spiralis Alas Plasenta pada Preeklampsia/Eklampsia dan Kehamilan Normotensif

0 22 7

KADAR TNF-aï€¬ï€ IL-6 DAN APOPTOSIS TROFOBLAST PLASENTA Pada Preeklampsia-Eklampsia dan non Preklampsia-Eklampsia - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 2 17

KADAR TNF-aï€¬ï€ IL-6 DAN APOPTOSIS TROFOBLAST PLASENTA Pada Preeklampsia-Eklampsia dan non Preklampsia-Eklampsia - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 5

KADAR TNF-aï€¬ï€ IL-6 DAN APOPTOSIS TROFOBLAST PLASENTA Pada Preeklampsia-Eklampsia dan non Preklampsia-Eklampsia - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 31

KADAR TNF-aï€¬ï€ IL-6 DAN APOPTOSIS TROFOBLAST PLASENTA Pada Preeklampsia-Eklampsia dan non Preklampsia-Eklampsia - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 1

KADAR TNF-aï€¬ï€ IL-6 DAN APOPTOSIS TROFOBLAST PLASENTA Pada Preeklampsia-Eklampsia dan non Preklampsia-Eklampsia - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 14

KADAR TNF-aï€¬ï€ IL-6 DAN APOPTOSIS TROFOBLAST PLASENTA Pada Preeklampsia-Eklampsia dan non Preklampsia-Eklampsia - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 12

KADAR TNF-aï€¬ï€ IL-6 DAN APOPTOSIS TROFOBLAST PLASENTA Pada Preeklampsia-Eklampsia dan non Preklampsia-Eklampsia - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 4

KADAR TNF-aï€¬ï€ IL-6 DAN APOPTOSIS TROFOBLAST PLASENTA Pada Preeklampsia-Eklampsia dan non Preklampsia-Eklampsia - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 1

KADAR TNF-aï€¬ï€ IL-6 DAN APOPTOSIS TROFOBLAST PLASENTA Pada Preeklampsia-Eklampsia dan non Preklampsia-Eklampsia - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 3