Sintesis Dan Karakterisasi Biphasic Calcium Phosphate Berpori Dari Cangkang Telur Ayam Dengan Porogen Na-Alginat.

SINTESIS DAN KARAKTERISASI BIPHASIC CALCIUM
PHOSPHATE BERPORI DARI CANGKANG TELUR
AYAM DENGAN POROGEN Na-ALGINAT

JAYANTI DWI HAMDILA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Sintesis dan
Karakterisasi Biphasic Calcium Phosphate berpori dari Cangkang Telur Ayam
dengan Porogen Na-Alginat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
Jayanti Dwi Hamdila
NIM G751130081

RINGKASAN
JAYANTI DWI HAMDILA. Sintesis dan Karakterisasi Biphasic Calcium
Phosphate Berpori dari Cangkang Telur Ayam dengan Porogen Na-alginat.
Dibimbing oleh KIAGUS DAHLAN dan SITI NIKMATIN.
Biphasic calcium phosphate (BCP) berpori merupakan biomaterial berbasis
kalsium fosfat berbentuk scaffold yang diaplikasikan sebagai material implantasi
tulang. BCP berpori memanfaatkan cangkang telur ayam sebagai sumber kalsium
dan Na-alginat sebagai porogen dengan teknik freeze drying. Tujuan dari
penelitian adalah mengetahui Na -alginat dapat digunakan sebagai porogen dalam
sintesis BCP berpori dengan variasi komposisi BCP dan Na-alginat 80:20, 70:30
dan 60:40 dan pengaruh variasi komposisi BCP dan Na-alginat terhadap
kristalinitas, gugus fungsi dan morfologi BCP berpori.
Penelitian diawali dengan sintesis BCP menggunakan teknik mekanik yakni
penggabungan hidroksiapatit dan β-TCP. Persentase hidroksiapatit dan β-TCP
dalam sintesis BCP adalah 70:30 (B1) dan 60:40 (B2). Hasil sintesis BCP berupa

bubuk berwarna putih. Bubuk BCP kemudian dibentuk menjadi BCP berpori
dengan variasi BCP dan Na-alginat yakni 80:20, 70:30 dan 60:40. Sintesis BCP
berpori diawali dengan membuat suspensi BCP dan Na-alginat dan dilanjutkan
pembentukkan gel dengan crosslink agent berupa CaCl2. Suspensi BCP/Naalginat dicetak menggunakan multiwell plate 48-well dan pembentukan scaffold
menggunakan instrumen freeze drying sehingga diperoleh BCP berpori. BCP
berpori dikarakterisasi kristalinitas menggunakan XRD, gugus fungsi
menggunakan FTIR dan morfologi menggunakan µ-CT scan dan SEM.
Hasil karakterisasi XRD scaffold B1/Na-alginat dan B2/Na-alginat
menunjukkan fasa yang terbentuk didominasi oleh fasa hidroksiapatit dan β-TCP.
Penggunaan Na-alginat berdampak pada penurunan derajat kristalinitas dengan
nilai terendah pada komposisi 70:30 sebesar 47.2% untuk B1/Na-alginat dan
38.1% untuk B2/Na-alginat. Pengaruh Na-alginat juga ditandai dengan munculnya
gugus fungsi C=O di kisaran bilangan gelombang 1627 cm-1 dan COO- dibilangan
gelombang 1419.7 cm-1. Gugus fungsi P=O dan P-O juga ditemui di kisaran
bilangan gelombang 1049.28 cm-1 dan 570.93 cm-1 yang menunjukkan daerah
sidik jari BCP. Data µ-CT scan yang didukung oleh hasil SEM menunjukkan
bahwa sebaran ukuran pori scaffold B1/Na-alginat terkecil dijumpai pada
komposisi 70:30 sebesar 237.28 µm dan diikuti oleh porositas sebesar 65.39%.
Scaffold B2/Na-alginat memperoleh nilai sebaran ukuran pori terkecil sebesar
218.96 µm dengan porositas 58.8% pada komposisi 60:40. Penggunaan Na-alginat

sebagai porogen tidak berdampak pada besarnya ukuran pori dan porositas seiring
penambahan komposisi.
Kata kunci: BCP, freeze drying, gugus fungsi, kristalinitas, morfologi, Na-alginat.

SUMMARY
JAYANTI DWI HAMDILA. Synthesis and characterization of eggshells-based
porous Biphasic Calcium Phosphate with sodium alginate porogens. Supervised
by KIAGUS DAHLAN and SITI NIKMATIN.
Porous biphasic calcium phosphates (BCP) is a calcium phosphates-based
biomaterial in form of scaffold which is applied as bone grafting material. Porous
BCP was synthesized by using chicken eggshells as calcium source and sodium
alginate as porogens by freeze drying process. Aim of the research was to observe
the use of sodium alginate as porogens in porous BCP synthesis with the various
composition of BCP/sodium alginate were 80/20, 70/30 and 60/40. Moreover, this
research aimed to observe the effects of various composition BCP/sodium Naalginate to the crystallinity, functional groups and morfology of samples.
The research was started by synthesizing of BCP mechanically with mixing
hydroxyapatite (HA) and β-Tricalcium Phosphate (β-TCP) with various
percentage of HA/ β-TCP were 70/30 (B1) and 60/40 (B2). Synthesis of BCP
resulted white powder BCP in which fabricated porous BCP with various
composition of BCP/sodium alginate were 80/20, 70/30 and 60/40. Synthesis of

porous BCP started with forming suspension of BCP and sodium alginate
continued with forming gel by using CaCl2 crosslink agent. BCP/sodium alginate
was molded in multiwell plate 48-well and formed scaffold by using freeze drying
method and obtained porous BCP. Then, porous BCP was characterized by using
XRD to identify the crystallinity, FTIR for observing the functional groups while
micrograph and pore size was analyzed by using SEM µ-CT scan.
The XRD result of B1/sodium alginate and B2/sodium alginate showed that
formed phases were dominated by hydroxyapatite and β-TCP. The use of sodium
alginate tends to decrease crystallinity with the lowest percentage are 47.2% for
composition B1/sodium alginate 70/30 and 38.1% for B2/sodium alginate. The
effect of sodium alginate added shown by the presence of C=O functional groups
in range of 1627 cm-1 wavenumber and COO- in 1419.7 cm-1 wavenumber.
Functional groups of P=O and P-O wass also found in 1049.28 cm-1 and
570.93 cm-1 which is the characteristics of BCP. The µ-CT scan data supported by
SEM results showed that pore sizes distribution of B1/sodium alginate have the
smallest pore sizes distribution are B1/sodium alginate 70/30 in amount of
237.28 µm with 65.39% porosity. B2/sodium alginate have the smallest pore sizes
distribution of 218.96 µm with 58.8% of porosity for B2/sodium alginate 60/40.
The use of sodium alginate as porogens and variation composition added did not
influence pore sizes and porosity.

Keywords: BCP, crystallinity, freeze drying, functional groups, morfology,
sodium alginate.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

SINTESIS DAN KARAKTERISASI BIPHASIC CALCIUM PHOSPHATE
BERPORI DARI CANGKANG TELUR AYAM DENGAN POROGEN
Na-ALGINAT

JAYANTI DWI HAMDILA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biofisika

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Charlena, M.Si

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2014 sampai Maret 2015 dengan
judul Sintesis dan Karakterisasi Biphasic Calcium Phosphate berpori dari
Cangkang Telur Ayam dengan Porogen Na-Alginat. Penulis mengucapkan terima
kasih pada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian karya ilmiah ini.
Ucapan teima kasih disampaikan kepada:

1. Dr. Kiagus Dahlan dan Dr. Siti Nikmatin, M.Si sebagai komisi
pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis.
2. Dr. Charlena M.Si sebagai penguji luar komis yang telah memberikan
saran dan perbaikan kepada penulis.
3. Dr. Mersi Kurniati selaku ketua program studi Biofisika yang telah
memberikan saran dan perbaikan kepada penulis.
4. Dr. Akhirudin Maddu, M,Si selaku ketua departemen fisika yang telah
banyak membantu selama penulis terdaftar sebagai mahasiswa
pascasarjana program studi Biofisika.
5. Bapak Firman, Junaedi dan Ibu Wahyu yang telah membantu administrasi
selama penulis berada di departemen fisika.
6. Mama Yusmiati, Ayah Janahar J, uda Janius G, Mbak Ade, adik
Hardaniyus S dan Yurisqal A atas doa dan kasih sayangnya selama penulis
studi.
7. Fitri A, Marliani, Liza M, Mamah Eli AS dan Nur Aisyah N selaku
anggota penelitian biomaterial dan teman seperjuangan atas doa dan
dukungannya selama penelitian.
8. Keluarga besar Biofisika angkatan 2013, ibu S. Nurma, Alfi A, Dina K,
Selfi, Papah Beny S, Ade K, Johan I, Firman AK, La Isa, M dahrul, Agus I,
Aminah B, Yeni P, dan Nya DM yang telah memberikan arti tersendiri di

hati penulis.
Akhir kata, penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak
yang membutuhkan ilmu serta penerapan pembelajaran, khusunya bagi program
studi Biofisika, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2015
Jayanti Dwi Hamdila

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
4
4
4
5

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan
Alat
Prosedur Penelitian


5
5
5
5
6

HASIL DAN PEMBAHASAN
Sintesis BCP Berpori
Analisis Kristalinitas Scaffold BCP/Na-Alginat
Analisis Gugus Fungsi Scaffold BCP/Na-Alginat
Analisis Porositas dan Morfologi Scaffold BCP/Na-Alginat

8
8
11
14
16

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Saran

18
18
18

DAFTAR PUSTAKA

19

LAMPIRAN

21

RIWAYAT HIDUP

28

DAFTAR TABEL
1 Data hasil sintesis HA, (a) Data sintesis ke-1, (b) Data sintesis ke-2,
(c) Data sintesis ke-3 dan (d) Data sintesis ke-4
2 Data hasil sintesis β-TCP, (a) Data sintesis ke-1 dan
(b) Data sintesis ke-2
3 Data hasil sintesis BCP, 70:30 dan 60:40
4 Scaffold BCP/Na-alginat
5 Parameter kisi B1/Na-alginat
6 Parameter kisi B2/Na-alginat

9
10
10
11
12
14

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Scaffold BCP/Na-alginat
Hasil XRD scaffold B1/Na-alginat
Hasil XRD scaffold B2/Na-alginat
Spektrum infra merah scaffold B1/Na-alginat
Spektrum infra merah scaffold B2/Na-alginat
Pola distribusi ukuran pori B1/Na-alginat
Hasil Sem scaffold B1/Na-alginat
Pola distribusi ukuran pori B2/Na-alginat
Hasil SEM scaffold B2/Na-lginat

11
12
13
15
16
17
17
17
18

DAFTAR LAMPIRAN
1 Diagram Alir Penelitian
2 Data Joint Commite on Powder Diffraction Standards (JCPDS)
Hidroksiapatit
3 Data Joint Commite on Powder Diffraction Standards (JCPDS) β-TCP
4 Perbesaran SEM scaffold B1/Na-Aginat
5 Perbesaran SEM scaffold B2/Na-Alginat

21
22
23
24
26

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan teknologi di bidang kesehatan khususnya orthopedi (tulang)
tidak terlepas dari peranan biomaterial. Penggunaan biomaterial bertujuan
memperbaiki, memulihkan, mengganti jaringan yang rusak atau sebagai interface
dengan lingkungan fisiologis. Biomaterial telah diaplikasikan sebagai material
implantasi tulang seiring meningkatnya kasus penyakit tulang seperti kanker
tulang, periodontitis, patah tulang dan lain-lain. Beberapa kasus penyakit tulang
yang disebabkan oleh fraktur menggunakan gips atau pelat penyangga tulang
sebagai solusi terbaik namun tidak efektif, karena harus dilakukan operasi ulang
untuk melepaskan material tersebut dari dalam tubuh. Oleh karena itu, biomaterial
sebagai material implantasi tulang harus memiliki sifat bioaktif, biodegradabel,
biokompatibel (Rohaida et al. 2009) dan nontoksik sehingga efektif dalam
persembuhan tulang.
Sifat material implantasi tulang didukung oleh material penyusun yang
menyerupai tulang. Adapun material penyusun tulang didominasi oleh matriks
ekstraselular yakni kolagen tipe I yang termineralisasi oleh mineral apatit yakni
hidroksiapatit (Seeman dan Delmas 2006). Hidroksiapatit dan kolagen
membentuk material komposit yang mempengaruhi fleksibilitas dan kekuatan
tulang. Selain itu, tulang juga memiliki sel - sel tulang yang digunakan dalam
proses pertumbuhan dan persembuhan tulang yakni, osteoblas, osteosit dan
osteoklas yang dapat ditemui di permukaan tulang (Arnett 2014). Dalam proses
persembuhan tulang, hidroksiapatit dan sel-sel tulang bekerjasama membentuk
jaringan baru sehingga defek akibat fraktur terhubung kembali.
Beberapa peneliti seperti Tian dan Tian (2001) dan Dasgupta et al. (2004),
telah mengembangkan biomaterial hidroksiapatit sebagai material implantasi
tulang. Hidroksiapatit termasuk dalam kelompok kalsium fosfat yang memiliki
sifat bioaktif dan osteokonduktif sehingga dapat merangsang pertumbuhan
jaringan tulang baru. Berbeda dengan jenis kalsium fosfat lainnya, hidroksiapatit
sangat kuat dan padat sehingga cenderung sulit terdegradasi dalam medium cair.
Hal ini mengakibatkan proses persembuhan tulang membutuhkan waktu yang
lebih lama. Adapun kalsium fosfat yang memiliki laju degradasi lebih cepat
dibandingkan oleh hidroksiapatit yaitu β-tricalcium phosphate (β-TCP
(Ca3(PO4)2)) (Kim et al. 2012). β-TCP dianggap sebagai penyeimbang antara
kecepatan pembentukan jaringan tulang baru dengan laju degradasi material
implantasi tulang sehingga proses terapi penyakit tulang dapat dilakukan dengan
efektif. Keunggulan β-TCP akan sifat biodegradabelnya menjadi solusi terbaik
terhadap hidroksiapatit sebagai material implantasi tulang. Penggabungan
hidroksiapatit dan β-TCP akan membentuk sebuah material yang tidak hanya
bioaktif dan osteokonduktif tetapi juga biodegradabel (Cho et al. 2010). Dengan
demikian, penggabungan hidroksiapatit dan β-TCP akan membentuk sebuah
material baru yang disebut biphasic calcium phosphate (BCP) (Castellani et al.
2009).
Rasio komposisi hidroksiapatit dan β-TCP sangat berpengaruh terhadap
Sifat fisis dan biologi BCP. Shuai et al. (2012) berpendapat bahwa seiring

2
peningkatan komposisi β-TCP sampai 30% dapat meningkatkan nilai fracture
toughness dan compressive strenght namun menurun ketika komposisi β-TCP
ditingkatkan kembali. Hasilnya, sifat mekanik optimum BCP dengan rasio
komposisi hidroksiapatit dan β-TCP yakni 70:30. Peningkatan jumlah komposisi
β-TCP dalam BCP berpengaruh terhadap tingkat kelarutan yang berdampak pada
laju degradasi BCP sebagai material implantasi tulang. Rasio komposisi terbaik
hidroksiapatit dan β-TCP berkaitan dengan laju degradasi yakni 60:40 (Zhang et
al. 2013). Dengan demikian, sifat mekanik dan biologi terbaik dalam BCP
terdapat pada rasio komposisi hidroksiapatit dan β-TCP 70:30 dan 60:40.
Dewasa ini, bahan implan tulang yang telah digunakan mengandung BCP
yakni TricOs TS dan Collagraft. Secara komersial, kedua bahan implan ini terlalu
mahal sehingga tidak semua pasien berpenyakit tulang dapat menggunakan bahan
implan tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan bahan alternatif dalam memproduksi
BCP yang memiliki karakteristik bahan yang sama namun jauh lebih ekonomis.
Keberhasilan BCP alternatif terletak pada sumber kalsium yang dapat diperoleh
dari bahan geologi, sintetik ataupun alami. Kalsium yang bersumber dari geologi
memerlukan metode pelelehan (melting) dengan suhu di atas 2000°C untuk
mendapatkan CaO dan sulit terserap dalam aliran darah (Huston 2005). Secara
komersial, sumber kalsium sintetik yakni Ca(OH)2 atau CaCO3 memerlukan biaya
tinggi dan jumlah yang sangat terbatas. Adapun, bahan alami yang dapat
digunakan sebagai sumber kalsium antara lain, tulang sapi dan cangkang kerang.
Tulang sapi dianggap dapat digunakan sebagai sumber kalsium karena
kandungannya yang sama dengan tulang manusia, namun tulang sapi
membutuhkan suhu tinggi dalam sintesisnya sehingga tidak efektif dalam
penggunaanya. Sama halnya dengan tulang sapi, cangkang kerang juga
membutuhkan suhu tinggi untuk menjadi sumber kalsium. Selain itu, tempat
tinggal kerang yang tercemari oleh logam berat menjadikan cangkang kerang
mengandung senyawa beracun sehingga tidak baik apabila digunakan sebagai
bahan implan tulang. Seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Pankew et al.
(2010) dan Balazsi et al. (2007), memanfaatkan limbah rumah tangga yaitu
cangkang telur sebagai sumber kalsium. Menurut data Badan Pusat Statistik
(2013), limbah cangkang telur di Indonesia mencapai 113.994,6 ton. Cangkang
telur diketahui mengandung CaCO3 sebesar 94%, kalsium fosfat 1%, bahan
organik 4% dan MgCO3 1% yang dapat diubah menjadi CaO (Riverra et al. 1999;
Huston 2005). CaCO3 pada cangkang telur bertransformasi menjadi CaO pada
suhu 700-1000°C sehingga tidak perlu menggunakan suhu tinggi seperti tulang
sapi dan cangkang kerang untuk mendapatkan sumber kalsium (Pankew et al.
2010). Berdasarkan pernyataan di atas, limbah cangkang telur ayam memiliki
potensi sebagai sumber kalsium dalam sintesis BCP.
Keberhasilan dalam produksi BCP tidak hanya dari pemilihan sumber
kalsium tetapi juga pemilihan metode pembuatannya. Pada umumnya sintesis
BCP dapat dilakukan dengan metode termal, padatan atau presipitasi. Metode
termal diketahui memiliki kelemahan yakni komposisi HA dan β-TCP yang
diperoleh tidak sesuai dengan komposisi yang ditetapkan seperti metode lainnya
(Sunarso et al. 2013). Adapun, BCP yang dihasilkan dari metode padatan
memiliki komposisi HA dan β-TCP sesuai dengan keinginan namun homogenitas
rendah (Kim et al. 2012). Kelemahan-kelemahan tersebut telah mendorong
aplikasi metode presipitasi yang lebih luas karena menawarkan berbagai

3
keunggulan. Metode presipitasi adalah suatu proses penggabungan bahan
berbentuk padatan atau serbuk dengan bantuan medium cair. Manfaat
penggunaan metode presipitasi dalam sintesis BCP diantaranya mendapatkan
hasil yang komposisi bahan penyusunnya tetap, kemurnian dan homogenitas
yang tinggi (Nilen dan Richter 2007; Lee et al. 2013).
BCP sebagai bahan implan tulang yang baik harus memiliki sifat
osteoinduktif (Ameera et al. 2011). Hal ini didukung oleh ukuran pori, porositas
dan interkoneksi pori. Pengoptimalan makroporositas merupakan tantangan serius
dalam pengembangan teknologi bahan implan tulang khususnya BCP. Porositas
yang tinggi dan luasnya pori meningkatkan pertumbuhan tulang karena
memungkinkan osteoblas dan mesenchymal cells untuk migrasi dan proliferasi
seperti pada sirkulasi darah. Hulbert et al. (1970) menjelaskan bahwa ukuran
minimum pori untuk bahan implan tulang adalah sekitar 100 µm, tetapi penelitian
selanjutnya menunjukkan bahwa osteogenesis pada implan jauh lebih baik dengan
ukuran pori di atas 300 µm (Kuboki et al. 2002). Besarnya ukuran pori
(makropori) mendukung berlangsungnya osteogenesis karena memungkinkan
sirkulasi darah dan oksigen menjadi lebih tinggi, sementara pori yang lebih kecil
(mikropori) akan berdampak pada pengerasan osteochondral, meskipun
pertumbuhan tulang juga dipengaruhi oleh bahan implan dan geometri pori- pori .
Sehingga, ukuran makropori dan mikropori pada bahan implan tulang sangat
mempengaruhi kualitas bahan implan tulang tersebut.
Penggunaan porogen diharapkan dapat meningkatkan porositas dan ukuran
pori BCP. Beberapa penelitian telah menggunakan porogen berbahan sintetik
maupun alami. Bahan sintetik yang sering digunakan sebagai porogen adalah
polyurethane. Polyurethane merupakan bahan polimer yang memiliki ciri gugus
fungsi urethane dalam rantai utama polimer. Sifat mekanik polyurethane
dipengaruhi oleh rasio komponen penyusunnya, sehingga polyurethane bersifat
lentur ataupun kaku. Berdasarkan sifat mekaniknya, polyurethane banyak
diaplikasikan dalam bidang konstruksi dan industri otomotif (Santos et al. 2012).
Perlakuan termal terhadap polyurethane menunjukkan bahwa polyurethane dapat
terdekomposisi pada suhu 400-500 °C tetapi masih ada senyawa urethane yang
terjebak di dalam bahan implan. Selain itu, polyurethane memiliki bentuk dan
ukuran pori yang seragam sehingga dapat diaplikasikan sebagai porogen namun
harganya yang mahal menjadikan polyurethane tidak ekonomis. Oleh karena itu,
polyurethane sebaiknya tidak digunakan sebagai porogen. Selanjutnya, bahan
alami yang biasa digunakan sebagai porogen yakni Na-alginat. Na-alginat adalah
biopolimer berbasis alga coklat yang memiliki sifat biodegradabel, tidak toksik,
dapat berionisasi pada konsentrasi rendah (Tardei et al. 2013). Sifat fisis yang
dimiliki Na-alginat antara lain padatan, berwarna putih hingga kecoklatan yang
disebabkan oleh bahan bakunya, tidak berbau dan berasa. Larutan Na-alginat juga
memiliki viskositas yang tinggi sehingga dapat diaplikasikan sebagai emulsifier
agent. Sifat kimia Na-alginat dapat dipengaruhi oleh ukuran pH dan adanya
pengikat logam, serta adanya garam monovalen dan kation polivalen. Na-alginat
yang larut dalam air akan membentuk gel pada larutan karena adanya ion kalsium
dan kation polivalen lainnya. Semakin tinggi konsentrasi Na-alginat dan derajat
polimerisasinya, semakin kuat gel yang terbentuk. Kekuatan gel dapat dikontrol
atau diatur sehingga dihasilkan gel yang lunak atau lembut, yang elastis, yang
keras ataupun yang kaku. Selain itu, Na-alginat juga memiliki nilai ekonomis

4
yang sangat tinggi. Berdasarkan sifat fisis dan kimianya, Na-alginat dapat
diaplikasikan sebagai porogen alternatif dalam pembuatan bahan implan berpori
(Matsuno et al. 2008; Zhao et al. 2012). Oleh karena itu, pemanfaatan Na-alginat
sebagai porogen merupakan langkah yang tepat dalam pembuatan bahan implan
tulang berpori.
Berdasarkan latar belakang tersebut, perolehan BCP berpori tidak hanya
dipengaruhi oleh metode yang digunakan, bahan baku dan porogen namun lebih
pada perbandingan komposisi penyusun yaitu HA dan β-TCP. Atas dasar
tersebut, dalam penelitian ini akan digunakan dua komposisi yang berbeda yaitu
70:30 dan 60:40. Perbandingan BCP dan porogen juga mempengaruhi besarnya
porositas dan ukuran pori sehingga dalam penelitian ini perbandingan BCP dan
porogen yang digunakan adalah 80:20, 80:30 dan 60:40. Berdasarkan penelitian
yang telah dilakukan oleh Cho et al. (2010) dan Victoria and Gnanam (2002),
bahwa perbandingan komposisi yang digunakan dapat mempengaruhi
karakteristik kristalinitas, fungsionalitas dan morfologi BCP berpori. Dengan
demikian, pada penelitian ini akan dilakukan beberapa analisis, yakni analisis
kristalinitas dengan menggunakan XRD (X-Ray Diffraction), analisis
fungsionalitas dengan menggunakan FTIR (Fourier Transform Infra-Red) dan
analisis morfologi dengan menggunakan µ-CT Scan dan SEM (Scanning
Electron Microscopy).
Perumusan Masalah
1.
2.

Bagaimana pengaruh Na-alginat sebagai porogen dalam sintesis scaffold
BCP/Na-alginat dengan variasi BCP dan Na-alginat sebesar 80:20, 70:30
dan 60:40?
Bagaimana pengaruh variasi komposisi BCP dan Na-alginat dengan
perbandingan 80:20, 70:30 dan 60:40 terhadap karakteristik scaffold
BCP/Na-alginat, yakni meliputi karakteristik kristalinitas, fungsionalitas dan
morfologi?
Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:
1.
Mengetahui pengaruh Na-alginat sebagai porogen dalam sintesis scaffold
BCP/Na-alginat.
2.
Mengetahui pengaruh variasi BCP dan Na-alginat terhadap kristalinitas,
gugus fungsi dan morfologi BCP berpori.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan menjadi landasan untuk pemanfaatan Na-alginat
sebagai porogen dalam sintesis BCP berpori berbasis cangkang telur ayam
sehingga dapat diaplikasikan sebagai bahan implan tulang.

5
Ruang Lingkup Penelitian
Adapun ruang lingkup penelitian ini adalah :
1.
Sampel uji berupa BCP dengan sumber CaO berasal dari cangkang telur
ayam.
2.
Perbandingan HA dan β-TCP dalam sintesis BCP adalah 70:30 dan 60:40.
3.
Metode yang digunakan dalam pembuatan BCP adalah teknik mekanik.
4.
Na-alginat digunakan sebagai porogen dalam pembuatan BCP berpori.
5.
Perbandingan BCP dan porogen yang digunakan dalam pembuatan BCP
berpori adalah 80:20, 70:30 dan 60:40.
6.
Karakterisasi XRD untuk analisis kristalinitas, FTIR untuk fungsionalitas,
µ-CT Scan untuk porositas dan SEM untuk morfologi.

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2014 sampai Maret 2015. Sintesis
sampel BCP alginat dilaksanakan di Laboratorium Material dan Biofisika
Departemen Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut
Pertanian Bogor. Adapun, karakterisasi kristalinitas (XRD) dilaksanakan di
Laboratorium Kimia Analisis Departemen Teknik Kimia dan pengujian µ-CT
scan di Laboratorium µ-CT Departemen Fisika Institut Teknologi Bandung, gugus
fungsi (FTIR) dilaksanakan di Laboratorium Kimia Organik Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Gadjah Mada (UGM) dan morfologi
(SEM) dilaksanakan di PPGL Bandung.
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan antara lain cangkang telur ayam (Bogor,
Indonesia), diamonium hydrogen phosphate ((NH4)2HPO4: 99.9%, Merck USA) ,
asam fosfat (H3PO4: 85%, Merck USA), natrium alginat (C6H7O6Na, CV. Setia
Guna Indonesia), akuabides dan kalsium klorida (CaCl2, Merck USA).

Alat
Alat yang akan digunakan pada penelitian adalah neraca analitik, crussible,
tabung Erlenmeyer, labu takar, selang suntik, corong, kertas saring, magnetic
stirrer, multiwell plate 48-well, mortar, pipet, pemanas, pinset, gunting, spatula,
sarung tangan karet, isolasi, furnace, tissue, alumunium foil, Freeze Dryer
(Snejider LY5FME), X-ray diffractometer (XRD: Bruker Advance D8), fourier
transform infrared spectrophotometrer (FTIR: Shimadzu Prestige DSR-8000),
porositas (µ-CT Scan: Sky Scan 1173) dan scanning electron microscope (SEM:
Jeol JSM - 360LA.

6
Prosedur Penelitian
Adapun prosedur penelitian terdiri dari beberapa tahapan yakni kalsinasi
cangkang telur, sintesis serbuk Hidroksiapatit (HA), sintesis serbuk β-tricalcium
phosphate (β-TCP), sintesis serbuk biphasic calcium phosphate (BCP), sintesis
BCP berpori dengan porogen Na-alginat dan karakterisasi. Adapun prosedur
penelitian ini dijelaskan sebagai berikut:
Kalsinasi cangkang telur
Kalsinasi cangkang telur merupakan perlakuan termal terhadap cangkang
telur agar terjadi dekomposisi senyawa karbondioksida menjadi oksida. Proses
kalsinasi cangkang telur bertujuan untuk mendapatkan sumber kalsium.
Berdasarkan penelitian Balazsi et al (2008) dan Pankew et al (2010), cangkang
telur akan bertransformasi menjadi CaO pada suhu 700-1000 °C. Adapun, reaksi
kimia yang terjadi dalam proses kalsinasi sebagai berikut.
CaC 3 Ca
C 2
Penelitian ini menggunakan cangkang telur ayam ras sebagai sumber
kalsium. Langkah-langkah sebelum kalsinasi adalah mempreparasi cangkang telur
yang meliputi proses pengumpulan, pembersihan dan pengeringan. Proses
pembersihan cangkang telur merupakan upaya menghilangkan kotoran-kotoran
makro yang menempel pada cangkang dan melepaskan membran bagian
dalamnya. Selanjutnya, mengkalsinasi cangkang telur pada suhu 1000 ºC dengan
laju kenaikan suhu 5 ºC permenit dan waktu tahan selama 5 jam.
Sintesis Serbuk Hidroksiapatit (HA)
Sintesis hidroksiapatit menggunakan CaO hasil kalsinasi cangkang telur
ayam ras sebagai sumber kalsium (Dasgupta et al, 2004). Tahap awal dalam
sintesis hidroksiapatit yakni melarutkan CaO hasil kalsinasi dalam akuades 100
mL menjadi larutan kalsium hidroksida (Ca(OH)2) dan perolehan larutan fosfat
dengan melarutkan (NH4)2HPO4 ke dalam 100 mL akuades. Dengan
menggunakan teknik wise drop, mempresipitasi larutan kalsium hidroksida dan
larutan fosfat pada suhu ruang selama 90 menit dengan kecepatan 300 rpm dan
homogenisasi dengan stirring selama 60 menit dengan kecepatan 300 rpm.
Selanjutnya, dilakukan proses aging selama overnight (Bambang dkk. 2010).
Kemudian, menyaring hasil presipitasi dengan menggunakan kertas saring dan
alat vakum. Selanjutnya, proses pengeringan menggunakan furnace pada 110 °C
dengan penahanan selama 3 jam dan dilanjutkan proses sintering pada suhu
900 °C dengan waktu penahanan 5 jam. Setelah sintering selesai, menimbang dan
menghaluskan serbuk hidroksiapatit menggunakan mortal.
Sintesis serbuk β-Tri Calcium Phosphate (β-TCP)
Dalam sintesis β-TCP, sumber kalsium berasal dari CaO hasil kalsinasi
cangkang telur dan sumber fosfat adalah H3PO4. Proses pembuatannya hampir
sama dengan pembuatan hidroksiapatit, larutan kalsium hidroksida (Ca(OH)2)
bersumber dari pelarutan CaO ke dalam 100 mL akubides dan melarutkan H3PO4
ke dalam 100 mL akuabides menjadi larutan fosfat. Selanjutnya, mempresipitasi
larutan kalsium dan larutan fosfat selama 120 menit dengan kecepatan 300 rpm.
Kemudian, penyaringan menggunakan kertas saring dan mesin vakum.

7
Selanjutnya, melakukan proses sintering pada suhu 1000 °C selama 7 jam.
Setelah proses sintering selesai, menimbang dan menghaluskan dengan mortal
hasil sintering yakni serbuk β-TCP.
Sintesis serbuk Biphasic Calcium Phosphate (BCP)
Sintesis BCP menggunakan teknik mekanik (Nilen dan Richter, 2007; Lee
et al. 2013). Langkah awal adalah dengan menggabungkan HA dan β-TCP
dengan perbandingan 70:30 dan 60:40. Selanjutnya, melarutkan BCP dengan
akuabides sebanyak 100 mL dan menghomogenisasi selama 1 jam dengan
kecepatan 300 rpm. Kemudian, penyaringan larutan BCP menggunakan kertas
saring dan mesin vakum dan pengeringan menggunakan furnace pada suhu
110 °C selama 5 jam. Sampel yang diperoleh kemudian ditimbang dan
dihaluskan dengan mortal.
Sintesis BCP berpori dengan porogen Na-alginat
Sintesis BCP berpori menggunakan perbandingan BCP dan Na-alginat
sebesar 80:20, 70:30 dan 60:40. Tahap awal sintesis BCP berpori dengan porogen
Na-alginat (BCP/Na-alginat) adalah membuat suspensi BCP dalam 10 mL
akuades dan mengaduk menggunakan stirrer dengan kecepatan 300 rpm selama
30 menit. Kemudian, memasukkan serbuk Na-alginat ke dalam suspensi sesuai
komposisi BCP dan Na-alginat. Selanjutnya, memasukkan larutan CaCl2 0.03 M
sebanyak 2 mL ke dalam suspensi hingga terbentuk gel. BCP/Na-alginat yang
terbentuk dimasukkan ke dalam multiwell plate 48- well dan didiamkan selama 1
jam agar terjadi reaksi yang optimal. Proses quenching (pembekuan) gel BCP/Naalginat dilakukan di dalam freezer selama 18 jam, kemudian dilanjutkan dengan
proses pengeringan menggunakan freeze dryer.
Karakterisasi dengan XRD
Sampel HA, β-TCP, BCP, BCP/Na-alginat dan BCP/kolagen dikarakterisasi
menggunakan XRD untuk mengidentifikasi fasa kristal yang terbentuk,
menentukan parameter kisi, ukuran kristal dan derajat kristalinitas sampel. Sampel
dimasukkan holder pada difraktometer. Pengujian fasa dengan teknik XRD ini
dilakukan pada sudut 2θ pada rentang 10° sampai 80°. Hasil XRD dicocokkan
dengan data yang terdapat pada joint commite on powder diffraction standards
(JCPDS).
Karakterisasi dengan FTIR
Adapun langkah-langkah karakterisasi dengan FTIR adalah Sampel dengan
KBr dicampur hingga rata.Sampel dan KBr yang sudah dicampur dimasukkan ke
dalam cetakkan pellet. Dihubungkan dengan pompa vakum untuk meminimalkan
kadar air. Cetakan diletakkan pada pompa hidrolik kemudian diberi tekanan.
Pompa vakum dihidupkan selama 15 menit. Pelet yang sudah terbentuk
dilepaskan dan ditempatkan pada holder. Kemudian, pellet diidentifikasi gugus
fungsinya menggunakan spektrofotometer FTIR pada rentang bilangan gelombang
450 cm-1 sampai 4000 cm-1. Gugus fungsi yang teridentifikasi dibandingkan
dengan puncak serapan pada literatur.

8
Karakterisasi dengan Micro-CT Scan
Pemindaian dengan µ-CT Scan bertujuan untuk mengetahui porositas dan
distribusi ukuran pori dalam sampel berdasarkan analisis citra. Untuk melakukan
rekonstruksi citra dalam penelitian ini digunakan Software Nrecon dengan ukuran
pixel image 23,17 µm. Sedangkan untuk melakukan analisis distribusi ukuran pori
dilakukan dengan bantuan software OriginLab.
Karakterisasi dengan SEM
Analisis morfologi sampel BCP/Na-alginat yang dihasilkan dilakukan
dengan menggunakan Scanning Electron Microcopes (SEM). Sampel diletakkan
terlebih dahulu pada holder dan dilapisi dengan lapisan tipis berupa goldpoladium dengan ketebalan 200-400Å. Selanjutnya, sampel dipindai dengan
perbesaran 100×, 500×, 1000× dan 2000×.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Sintesis BCP Berpori
Kandungan karbonat, fosfat, bahan organik dan MgCO3 pada cangkang telur
ayam menyebabkan cangkang telur ayam tidak dapat digunakan langsung sebagai
sumber kalsium. Oleh karena itu, cangkang telur ayam diberi perlakuan termal
untuk menghilangkan senyawa-senyawa tersebut. Adapun perlakuan termal yang
dilakukan adalah kalsinasi di suhu 1000 °C. Senyawa fosfat, bahan organik dan
MgCO3 hilang akibat proses kalsinasi dengan suhu tinggi. Berdasarkan penelitian
Balazsi et al. (2007), cangkang telur mengalami karbonisasi di suhu 900 °C yang
ditandai oleh hitamnya cangkang telur ayam. Seiring kenaikan suhu, warna hitam
pada cangkang telur ayam berubah menjadi putih. Hal ini disebabkan oleh,
pelepasan CO2 pada cangkang telur ayam dan menghasilkan CaO seperti yang
ditunjukkan dalam persamaan reaksi berikut,
CaC 3 Ca
C 2
Tidak hanya itu, perubahan warna cangkang telur ayam juga menandakan
perubahan senyawa organik menjadi anorganik. Sehingga, proses kalsinasi
menghasilkan kalsium dalam bentuk senyawa CaO yang berwarna putih dan
berbentuk padatan (powder) sebagai sumber kalsium dalam sintesis BCP. BCP
tersusun dari HA dan β-TCP. Dalam sintesisnya, BCP menggunakan teknik
mekanik yang bertujuan agar perbandingan HA dan β-TCP tidak berubah. Bahan
dasar pembuatan HA dan β-TCP menggunakan CaO cangkang telur ayam hasil
kalsinasi. Adapun, HA diperoleh dari hasil presipitasi suspensi kalsium
(Ca(OH)2) dan larutan diamonium fosfat ((NH4)2HPO4) pada pH 6-9 dengan
teknik wise drop (Mekmene et al. 2009). Selama sintesis, terjadi reaksi kimia
antara suspensi kalsium dan larutan fosfat. Diketahui, kalsium mengikat fosfat dan
hidroksil sehingga membentuk senyawa Ca10(PO4)6(OH)2 atau hidroksiapatit
(HA). Tidak hanya itu, dalam reaksi ini juga terbentuk NH4OH yang berasal dari
amonium yang terdapat pada (NH4)2HPO4 sebagai sumber fosfat. Hal ini
dibuktikan oleh persamaan reaksi berikut,

9
Ca( H) ( H)2 HP 4 H2
Ca10 (P 4 ) ( H)2 12 H 4 H
H2
Proses aging dalam sintesis HA sangat penting karena dapat meningkatkan
derajat kristalinitas dan sifat mekanik bahan (Suryadi 2011). Hasil sintesis
selanjutnya disintering pada suhu 900°C dengan laju kenaikan 5°C/menit dan
menghasilkan hidroksiapatit berupa padatan keras dan berwarna putih. Hasil
sintering pada penelitian ini, dilakukan pengulangan sebanyak 4 kali pengulangan
dengan rata-rata perolehan hidroksiapatit sebesar ± 4.7075 gram setiap sintesis
seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Data hasil sintesis HA, (a) Data sintesis ke-1, (b) Data sintesis ke-2, (c)
Data sintesis ke-3 dan (d) Data sintesis ke-4
Massa (gram)
Massa HA
Sampel
(gram)
CaO
(NH4)2HPO4
(a)
(b)
(c)
(d)
Rata-rata

2.83
2.83
2.83
2.83
2.83

3.97
3.97
3.97
3.97
3.97

4.58
4.86
4.67
4.72
4.7075

Beda halnya dengan HA, β-TCP disintesis dengan mempresipitasi
suspensi kalsium (Ca(OH)2) dengan larutan asam fosfat (H3PO4). Menurut Chang
(2013), β-TCP akan terbentuk dalam kondisi pH 5±0,1. Seperti persamaan reaksi
berikut, kalsium berikatan dengan fosfat dan hidroksil berikatan dengan H2O
sehingga menghasilkan tricalcium phosphate (TCP (Ca3(PO4)2)).
Ca( H)
P 4 H2
Ca (P 4 )
H2
Sintesis TCP tidak membutuhkan proses aging karena menghindari terikatnya
gugus OH pada kalsium fosfat tersebut. Selanjutnya, hasil sintesis disintering pada
suhu 1000°C untuk membentuk fasa β-TCP. Berdasarkan hasil sintering,
diperoleh β-TCP yang putih dan berbentuk padatan Adapun, β-TCP disintesis
sebanyak 2 kali pengulangan dan diperoleh β-TCP sebanyak ± 7.66 gram per
sintesis seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2 Data hasil sintesis β-TCP, (a) Data sintesis ke-1 dan (b) Data sintesis ke-2
Sampel

CaO (gram)

H3PO4 (ml)

Massa β-TCP
(gram)

(a)
(b)
Rata-Rata

4.83
4.83
4.83

4.58
4.58
4.58

7.64
7.69
7.66

HA dan β-TCP yang telah dihasilkan selanjutnya dipreparasi untuk sintesis
BCP. HA dan β-TCP ditimbang sesuai dengan perbandingan yakni 70:30 dan
60:40. Perbandingan HA dan β-TCP sangat penting karena mempengaruhi sifat
fisik dan kimia BCP. Bubuk HA dan β-TCP disatukan dan dihomogenisasi dengan
akuabides dan distrirer 300 rpm. Hasil sintesis BCP ditunjukkan pada Tabel 3.

10
Pada Tabel 3 ditunjukkan kode sampel yang bertujuan agar lebih mudah
dalam penamaan sampel. BCP dengan perbandingan 70:30 diberi kode B1 dan
60:40 diberi kode B2. Perolehan massa BCP setelah sintering masing-masing
mengalami pengurangan massa. Hal ini disebabkan oleh adanya BCP yang
melekat pada crussible dan kertas saring. H2O yang digunakan hilang seiring
kenaikan termal pada furnace. Secara fisik, tidak ada perbedaan antara B1 dan B2.
Hal ini dikarenakan oleh penyusun B1 dan B2 adalah sama, yang berbeda
hanyalah perbandingan komposisi penyusun. Menurut Victoria and Gnanam
(2002) dan Cho et al. (2011), perbandingan bahan penyusun BCP mempengaruhi
sifat bioaktif, degradabel dan biokompatibel BCP. Dengan demikian, BCP yang
diperoleh tidak hanya berwarna putih sesuai dengan material penyusunnya dan
berbentuk padatan secara fisik namun juga memiliki sifat yang bioaktif,
degradabel dan biokompatibel.
Tabel 3 Data hasl sintesis BCP, 70:30 dan 60:40
Massa (gram)
kode
BCP
H2O (ml)
sampel
HA
β-TCP
70:30
B1
7.0
3.0
100
60:40
B2
6.0
4.0
100

Massa BCP
(gram)
9.87
9.67

BCP yang telah diperoleh selanjutnya akan disintesis menjadi BCP berpori.
Pori BCP terbentuk akibat penggunaan porogen yakni Na-alginat. Na-alginat
diketahui berbasis alga coklat yang memiliki viskositas tinggi dan bersifat
biokompatibel. Tidak hanya itu, pori juga terbentuk akibat penggunaan teknik
freeze drying. Adapun, Na-alginat yang dilarutkan ke dalam air menghasilkan
larutan berviskositas tinggi namun BCP tidak dapat berikatan begitu saja pada Naalginat sehingga digunakan crosslink berupa CaCl2. Pada penelitian ini,
ditekankan pada variasi komposisi BCP dan Na-alginat yakni 80:20, 70:30 dan
60:40 dan pengkodean sampel yang ditunjukkan pada Tabel 4. Hasil komposit
BCP dan Na-alginat berupa scaffold dengan ukuran diameter 1 cm dan tinggi 1,7
cm akibat dari penggunaan multiwell plate sebagai cetakan seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 1.
Tabel 4 Scaffold BCP/Na-alginat
Kode Sampel
Perbandingan
Komposisi
B1/Na-alginat
B2/Na-alginat
80:20
B1A_82
B2A_82
70:30
B1A_73
B2A_73
60:40
B1A_64
B2A_64

11

Gambar 1 Scaffold BCP/Na-alginat
Pada penelitian ini, Na-alginat dengan viskositas tinggi dan penggunaan
crosslink akan membentuk matriks sedangkan BCP akan menempel pada matriks
dan berfungsi sebagai filler yang bertujuan untuk memperkuat komposit.
Penggunaan Na-alginat berdampak pada sifat mekanik scaffold yang elastis.
Scaffold BCP/Na-alginat memiliki permukaan yang berpori akibat freeze drying.
Dengan demikian, scaffold BCP/Na-alginat yang dihasilkan berbentuk silinder,
berpori dan bersifat elastis.
Analisis Kristalinitas Scaffold BCP/Na-Alginat
Penggunaan X-Ray Diffraction (XRD) dalam karakterisasi bahan bertujuan
untuk mengetahui fasa yang terbentuk, parameter kisi dan derajat kristalinitas.
Hasil karakterisasi scaffold BCP/alginat dengan XRD membentuk pola difraksi
yang ditunjukkan oleh Gambar 2 dan 3. Gambar 2 memperlihatkan pola difraksi
scaffold B1/alginat dengan variasi perbandingan komposisi B1 dan alginat, 80:20
(B1A_82), 70:30 (B1A_73) dan 60:40 (B1A_64). Tidak terkecuali pada Gambar 3
yang juga memperlihatkan pola difraksi scaffold B2/alginat dengan variasi 80:20
(B2A_82), 70:30 (B2A_73) dan 60:40 (B2A_64).

12
HA
β-TCP
OKF

B1A_64

B1A_73

B1A_82

Gambar 2 Hasil XRD scaffold B1/Na-alginat
Pola difraksi yang didominasi oleh puncak – puncak dengan intensitas
tinggi pada Gambar 2 dan 3 menunjukkan puncak dari fasa yang terbentuk.
Puncak – puncak tersebut diindikasikan sebagai puncak fasa HA dan β-TCP
sebagai material penyusun BCP. Oleh karena itu, puncak – puncak tersebut
diidentifikasi dengan cara dicocokkan dengan data JCPDS (Joint Committee on
Powder Diffraction Standards) dengan JCPDS No. 09-0432 untuk HA dan
JCPDS No. 09-01 9 untuk β-TCP (Lampiran 2 dan 3). Hasilnya menunjukkan
bahwa fasa yang terbentuk pada scaffold BCP/alginat didominasi oleh fasa HA
dan β-TCP. Tidak hanya itu, ditemukan fasa OKF (okta kalsium fosfat) sebagai
pengotor. OKF termasuk dalam kelompok kalsium fosfat dan dianggap tidak
berbahaya apabila scaffold BCP/Na-alginat diaplikasikan sebagai material
implantasi tulang. Adapun puncak –puncak yang mengindikasikan Na-alginat
tidak teridentifikasi karena Na-alginat merupakan polimer organik yang memiliki
pola difraksi amorf. Dengan demikian, Hasil XRD memperlihatkan bahwa
penggunaan Na-alginat tidak mengubah fasa seiring peningkatan komposisi Naalginat.

13
HA
β-TCP
OKF

B2A_64

B2A_73

B2A_82

Gambar 3 Hasil XRD scaffold B2/Na-alginat
Hasil identifikasi fasa pada hasil XRD scaffold BCP/alginat dilanjutkan
dengan pengukuran parameter kisi HA dan β-TCP. Tujuannya adalah untuk
mengetahui keakurasian dari parameter kisi HA maupun β-TCP masing – masing
scaffold dan mengetahui adanya cacat kristal setiap fasa. Ferraz et al (2004)
menuliskan bahwa HA memiliki nilai a=b= 9.432 Å, c= 6.881Å dan berstruktur
heksagonal sedangkan β-TCP memiliki nilai a = b = 10.42 Å, c = 37.38 Å dan
berstruktur rhombohedral.
Tabel 5 dan 6 merupakan hasil perhitungan parameter kisi scaffold BCP/Naalginat. ilai akurasi parameter kisi HA dan β-TCP diperoleh dengan nilai di atas
90%. Hasilnya memaparkan bahwa tidak ada pengaruh penggunaan Na-alginat
terhadap nilai parameter kisi. Hal ini dikarenakan oleh penggunaan Na-alginat dan
teknik freeze drying tidak merusak kristal. Tidak hanya itu, nilai parameter kisi
masing – masing scaffold juga tidak berpengaruh terhadap besarnya ukuran pori
pada scaffold karena BCP yang struktur kristal merupakan filler sedangkan Naalginat merupakan matriks sebagai pembentuk pori. Dengan demikian, pemakaian
Na-alginat sebagai porogen tidak berpangaruh terhadap kecacatan dan bentuk
kristal scaffold BCP/Na-alginat.

14
Tabel 5 Parameter kisi B1/Na-alginat
B1/
Naalginat
B1A_82
B1A_73
B1A_64

Parameter Kisi
HA
a=b
(Å)

akurasi c
(%)
(Å)

9.38
9.43
9.63

99.65 6.85
99.9 6.92
97.76 7.03

TCP
akurasi
(%)

a=b
(Å)

99.826 10.4
99.47 10.8
97.946 10.1

akurasi
(%)

c
(Å)

akurasi
(%)

99.75
96.38
96.63

37.3
38.5
36.1

99.83
96.97
96.62

Penggunaan Na-alginat juga berdampak pada derajat kristalinitas masingmasing variasi. Scaffold B1A_82, B1A_73 dan B1A_64 memiliki derajat
kristalinitas senilai 80.4%, 47.2% dan 72.8%. Akan tetapi, scaffold B1A_73
memiliki nilai derajat kristalinitas yang paling rendah. Adapun, derajat
kristalinitas pada scaffold B2A_82, B2A_73 dan B2A_64 diperoleh 55.5%,
38.1% dan 68 %. Nilai derajat kristalinitas masing-masing komposisi tidak
berbanding lurus terhadap perbandingan komposisi. Hal ini diakibatkan adanya
pengaruh penggunaan Na-alginat sebagai porogen sebagaimana diketahui bahwa
Na-alginat merupakan polimer organik yang memiliki pola difraksi yang amorf.
Oleh sebab itu, penggunaan Na-alginat dapat menurunkan kristalinitas.
Berdasarkan nilai derajat kristalinitas perbandingan komposisi terbaik terdapat
pada perbandingan BCP : Na-alginat yakni 70:30. Hal ini berdampak pada sifat
biodegradabel scaffold BCP/Na-alginat apabila diaplikasikan sebagai material
implantasi tulang.
Tabel 6 Parameter kisi B2/Na-alginat
B2
/Naalginat
B2A_82
B2A_73
B2A_64

Parameter Kisi
HA

TCP

a=b
(Å)

akurasi
(%)

c
(Å)

akurasi
(%)

a=b
(Å)

9.47
9.39
9.43

99.39
99.78
99.84

6.93
6.96
6.9

99.39
98.92
99.75

10.37
10.73
10.17

akurasi
(%)
99.55
97.07
97.62

c
(Å)
37.02
38.45
36.16

akurasi
(%)
99.03
97.12
96.70

Analisis Gugus Fungsi Scaffold BCP/Na-Alginat
Penggunaan Na-alginat sebagai porogen tidak dapat terdeteksi dengan XRD
namun terdeteksi dengan pengujian FTIR. Analisis hasil pengujian FTIR berupa
gugus fungsi pada bilangan gelombang tertentu berdasarkan penyerapan infra
merah. Adapun, spektrum infra merah pada Gambar 4 dan 5 diperoleh dari
penyerapan radiasi infra merah yang menyebabkan perubahan energi pada
tingkatan vibrasi molekulnya.

15

B1A_64

B1A_73

B1A_82
C-O

C=O

COO-

O-H

P=O

P-O

Gambar 4 Spektrum infra merah scaffold B1/Na-alginat
Hasil pengujian FTIR scaffold BCP/Na-alginat berupa gugus fungsi yang
diawali oleh gugus O-H pada bilangan gelombang 3917-3425 cm-1 (Eydivand et
al. 2014). Gugus O-H merupakan ikatan hidroksil yang teridentifikasi pada
masing-masing scaffold yang diakibatkan oleh penggunaan H2O pada setiap
sintesisnya dan interaksi scaffold dengan kelembaban udara sekitarnya.
Berdasarkan penelitian Katic et al. (2014) bahwa ikatan hidroksil juga terdapat
pada kisaran bilangan gelombang 630 cm-1. Bilangan gelombang tersebut
mengarahkan kepada material penyusun scaffold yakni BCP khususnya HA. Akan
tetapi, pada kisaran bilangan gelombang 630 cm-1 terjadi overlapping yang
disebabkan oleh penggabungan HA dan β-TCP sebagai material penyusun BCP
sehingga tidak teridentifikasinya gugus O-H pada bilangan gelombang tersebut.
Pada kisaran bilangan gelombang 2337.72 cm-1, ditemukan gugus C-O yang
diduga adanya residu organik pada scaffold. Kemunculan gugus C=O dan COOdi kisaran bilangan gelombang sekitar 1627 cm-1 dan 1419.61 cm-1 diduga berasal
dari Na-alginat (Zhao et al. 2012). Gugus karbonat (C=O) diindikasikan adanya
kandungan karbonat dalam scaffold yang berasal dari cangkang telur ayam
(CaCO3) dan Na-alginat. Selain itu, kedua gugus fungsi ini dianggap sebagai ciri
khas dari penggunaan Na-alginat yang termasuk dalam polimer organik.
Sebaliknya, BCP sebagai material penyusun scaffold BCP/Na-alginat
diilustrasikan dengan munculnya gugus fosfat di setiap spektrum. Webler et al.
(2014) dalam penelitiannya menyatakan bahwa ikatan fosfat dapat ditemui di
bilangan gelombang 472, 571, 601, 962, 1046 dan 1087 cm-1. Oleh karena itu, di

16
kisaran bilangan gelombang 1049.28 cm-1 dan 570.93 cm-1 dapat dipastikan
adanya gugus P=O dan P-O yang dianggap sebagai ciri khas dari jenis kalsium
fosfat tersebut (Rameshbabu dan Rao 2008).
Hasil analisa FTIR menunjukkan bahwa gugus fungsi masing-masing
scaffold adalah sama. Dengan demikian, variasi komposisi masing-masing
scaffold tidak berpengaruh terhadap pembentukkan gugus fungsi namun
berpengaruh terhadap presentase transmitansi seiring meningkatnya komposisi
Na-alginat.
B2A_64

B2A_73

B2A_82
C=O
O-H

C-O

P-O

COOP=O

Gambar 5 Spektrum infra merah B2/Na-alginat

Analisis Porositas dan Morfologi Scaffold BCP/Na-Alginat
Na-alginat sebagai porogen berdampak pada ukuran pori dan porositas
scaffold BCP/Na-alginat. Gambar 6 mewakili distribusi ukuran pori yang diukur
menggunakan instrumen µ-CT scan. Melalui analisis distribusi normal diperoleh
ukuran pori scaffold B1/Na-alginat (B1A_82) 271.63 µm, (B1A_73) 237.28 µm
dan (B1A_64) 287.83 µm dengan besar porositas (B1A_82) 72.28%, (B1A_73)
65.39% dan (B1A_64) 73.04%.

17
B1A_82

B1A_73

B1A_64

Gambar 6 Pola distribusi ukuran pori B1/Na-alginat
Kenaikan komposisi Na-alginat ternyata tidak berdampak pada besarnya
ukuran pori maupun porositas scaffold B1/Na-alginat. Akan tetapi, ukuran pori
telah memenuhi syarat sebagai bahan implan tulang dengan ukuran pori rata-rata
diantara 100-400 µm. Pola distribusi ukuran pori pada Gambar 6 memperlihatkan
bahwa lebarnya diagram menunjukkan ketidakseragaman ukuran pori. Dengan
demikian, scaffold B1/Na-alginat yang memiliki ketidakseragaman tinggi adalah
B1/Na-alginat (B1A_73). Hal ini didukung oleh penampakan morfologi pada
Gambar 7 berdasarkan hasil SEM dengan perbesaran 50× (Lampiran 4).
B1A_82

B1A_73

B1A_64

Gambar 7 Hasil SEM scaffold B1/Na-alginat
Gambar 8 memperlihatkan distribusi ukuran berdasarkan analisis distribusi
normal dengan perolehan ukuran pori scaffold B2/Na-alginat (B2A_82) 302.09
µm, (B2A_73) 325.29 µm dan (B2A_64) 218.96 µm dengan besar porositas
(B2A_82) 64.13%, (B2A_73) 69.53% dan (B2A_64) 58.80%.
B2A_82

B2A_73

Gambar 8 Diagram distribusi ukuran pori B2/Na-alginat

B2A_64

18
Seiring besarnya jumlah komposisi Na-alginat pada scaffold B2/Na-alginat tidak
berpengarh terhadap ukuran pori maupun porositas scaffold B2/Na-alginat. Akan
tetapi, ukuran pori scaffold B2/Na-alginat juga telah memenuhi syarat sebagai
material implantasi tulang. Keseragaman scaffold B2/Na-alginat dimiliki oleh
B1/Na-alginat (B2A_64). Hal ini didukung oleh penampakan morfologi pada
Gambar 9 berdasarkan hasil SEM 50× (Lampiran 5).
B2A_82

B2A_73

B2A_64

Gambar 9 Hasil SEM scaffold B2/Na-alginat

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Adapun yang dapat disimpulkan dari penelitian ini adalah:
1.
BCP berpori dapat disintesis menggunakan Na-alginat sebagai porogen
dengan teknik freeze drying.
2.
Berdasarkan hasil analisis XRD, penggunaan Na-alginat tidak
mempengaruhi pembentukan fasa, parameter kisi namun dapat menurunkan
derajat kristalinitas. Seiring penambahan Na-alginattidak berpengaruh
terhadap pembentukkan gugus fungsi namun berdampak pada pita serapan
yang semakin panjang pada gugus C=O dan COO-. Hasil µ-CT scan dan
SEM menunjukkan peningkatan komposisi Na-alginat tidak berpengaruh
terhadap perbesaran ukuran pori dan porositas scaffold BCP/Na-alginat.
Saran
Penelitian ini disarankan untuk melakukan pengujian in vitro dan in vivo
untuk menguji degradabilitas dan kompatibilitas scaffold BCP berpori berbasis
cangkang telur ayam dengan menggunakan porogen Na – alginat.

19

DAFTAR PUSTAKA
Ameera A, Abudalazez AMA, Ismail AR, Razak NHA, Masudi SM, Kasim SR,
Ahmad ZA. 2011. Synthesis and Characterization of Porous Biphasic
Calcium Phosphate Scaffold From Different Porogens For Posible Bone
Tissue Engineering Applications. Science of Sintering.43:183-192.
Balazsi C, Kover Z, Horvath E, Nemeth C, Kasztovszky Z, Kurunczi S, Weber F.
2007. Examination of Calcium-Phosphates Prepared drom Eggshell.
Materials Science Forum.537-538:105-112.
Cao H, Kuboyama N. 2010. A biodegradable porous composite scaffold of
PGA/β-TCP for bone tissue engineering. Bone.46(2):386-395
Castellani C, Zanoni G, Tangl S, Grienswen MV, Redl H. 2009. Biphasic Calcium
Phosphate Ceramics in Small Bone Defects: Potential Influence of Carrier
Substances and Bone Marrow on Bone Regeneration. Clinical Oral
Implants Research. 20:1367-1374.
Chang MC. 2013. Precipitation