KEKUASAAN KEPALA DAERAH ERA OTONOMI DAN

KEKUASAAN KEPALA DAERAH ERA OTONOMI DAN PILKADA LANGSUNG MENURUT UU NOMOR 32 TAHUN 2004 1)

Oleh: DR. H. Awang Faroek Ishak 2)

A. Eksistensi Kepala Daerah Era Otonomi Daerah

Kepala Daerah adalah posisi sentral dan strategis dalam sistem Pemerintahan Daerah. Begitu strategisnya kedudukan dan peran Kepala Daerah dalam sistem Pemerintahan Daerah, sehingga seorang Kepala Daerah harus menerapkan pola kegiatan yang dinamik, aktif, kreatif, serta komunikatif, menerapkan pola kekuasaan yang tepat maupun pola perilaku kepemimpinan yang sesuai tuntutan kebutuhan yang dipengaruhi oleh latar belakang individual masing-masing Kepala Daerah. Dengan pola kepemimpinan yang efektif, Kepala Daerah diharapkan dapat menerapkan dan menyesuaikan dengan paradigma baru otonomi daerah, ditengah-tengah lingkungan strategis yang terus berubah seperti reinventing government, sharing of power, akuntabilitas serta good and clean governance. Jadi, korelasi positif sangat diperlukan dalam hubungan Kepala Daerah dalam berbagai eksistensinya, dengan otonomi daerah yang dipengaruhi oleh lingkungan yang strategis.

Dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah, seorang Kepala Daerah tidak hanya memiliki hak, tetapi juga sejumlah kewajiban di dalamnya (Awang, 2003). Artinya, seorang Kepala dalam implementasi pola kepemimpinannya, seharusnya tidak hanya berorientasi pada tuntutan untuk memperoleh hak dan kewenangan yang sebesar-besarnya, tanpa menghiraukan makna otonomi daerah itu sendiri yang lahir dari suatu kebutuhan akan efisiensi dan efektivitas manajemen penyelenggaraan pemerintahan, yang bertujuan untuk memberikan pelayanan yang lebih baik dan berkualitas kepada masyarakat.

Paradigma baru otonomi daerah haruslah diterjemahkan oleh Kepala Daerah sebagai upaya untuk mengatur kewenangan pemerintahan, sehingga serasi dan fokus pada tuntutan kebutuhan masyarakat, karena otonomi daerah bukanlah tujuan melainkan suatu instrumen untuk mencapai tujuan (James W. Fesler, 1990, AF. Leemans, 1970). Karenanya, instrumen tersebut harus digunakan secara arif oleh Kepala Daerah tanpa harus menimbulkan konflik antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, atau antar provinsi dan kabupaten/kota, karena jika demikian makna otonomi daerah menjadi kabur dan tidak mencapai sasarannya (Kaloh, 2003).

Otonomi daerah harus didefinisikan sebagai otonomi bagi rakyat daerah dan bukan otonomi "daerah" dalam pengertian suatu wilayah (territorial) tertentu di tingkat lokal. Kalaupun implementasi otonomi daerah diarahkan sebagai

1) 
Makalah
disampaikan
pada
Seminar
Kongres
ke
II
Persatuan
Alumni
GMNI
yang
bertema
 “Memperkokoh
Negara
Pancasila”
di
Surabaya
Tanggal
26
Nopember
2010


2) 
Gubernur
Propinsi
Kalimantan
Timur
/
Alumni
GMNI
 2) 
Gubernur
Propinsi
Kalimantan
Timur
/
Alumni
GMNI


Eforia reformasi yang menggulirkan dinamika perubahan, dimana wacana demokratisasi dan transparansi terus tumbuh dan berkembang secara cepat, ternyata ikut menumbuhkan kesadaran masyarakat, khususnya masyarakat di daerah untuk menuntut hak dan kewenangan daerah, dan ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis dan otonom (Kaloh, 2003). Berbagai perkembangan dan perubahan yang sangat cepat dan drastis, berupa tuntutan dan harapan untuk memperoleh kemandirian, perlu direspons dengan cepat dan tepat pula oleh seorang Kepala Daerah. Untuk itu, seorang Kepala Daerah perlu mengenal persoalan-persoalan pokok mendasar yang dihadapi oleh masyarakat di daerahnya masing-masing dan berupaya memecahkan masalah-masalah inti yang ada dan bukan hanya gejalanya, karena jika hanya menyelesaikan gejalanya saja, permasalahan itu akan selalu berulang dan terus berulang di kemudian hari.

Jadi, setiap Kepala Daerah yang memimpin organisasi Pemerintahan Daerah perlu memahami bahwa otonomi daerah adalah suatu instrumen politik dan instrumen administrasi (manajemen) yang digunakan untuk mengoptimalkan sumber-sumber daya lokal, sehingga dapat dimanfaatkan sebesar-besamya demi kemajuan masyarakat di daerah terutama menghadapi tantangan global, mendorong pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat dan mengembangkan demokratisasi.

B. Persyaratan Menjadi Kepala Daerah

Pada dasarnya, setiap organisasi menetapkan berbagai persyaratan bagi calon pemimpin sebuah organisasi. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat untuk memimpin suatu organisasi, diperlukan orang-orang yang mempunyai kelebihan fisik, intelektual, maupun mental rohaniah agar dapat membawa setiap unsur organisasi tersebut ke pencapaian tujuan. Apalagi, bagi organisasi pemerintahan di mana keputusan seorang pemimpin mempunyai konsekuensi yang besar dan mengandung resiko yang berdampak luas, terutama jika pemimpin tersebut gagal dalam mengatur dan mengurus organisasi. Dengan demikian, sangat diperlukan pemimpin dan kepemimpinan yang memiliki kualitas dan kapasitas memadai.

Sebagai pemimpin, Kepala Daerah adalah orang yang bergerak lebih awal, mempelopori, mengarahkan pikiran dan pendapat anggota organisasi, membimbing, menuntun, menggerakan orang lain melalui pengaruhnya, menetapkan tujuan organisasi, memotivasi anggota organisasi agar sesuai dengan tujuan organisasi dan harus dapat mempengaruhi sekaligus melakukan pengawasan atas pikiran, perasaan dan tingkah laku anggota kelompok yang Sebagai pemimpin, Kepala Daerah adalah orang yang bergerak lebih awal, mempelopori, mengarahkan pikiran dan pendapat anggota organisasi, membimbing, menuntun, menggerakan orang lain melalui pengaruhnya, menetapkan tujuan organisasi, memotivasi anggota organisasi agar sesuai dengan tujuan organisasi dan harus dapat mempengaruhi sekaligus melakukan pengawasan atas pikiran, perasaan dan tingkah laku anggota kelompok yang

Kepala Daerah diisyaratkan memiliki sikap dasar dan sifat-sifat kepemimpinan, teknik kepemimpinan dan gaya kepemimpinan yang sesuai kondisi lingkungan organisasi, pengikut serta situasi dan kondisi yang melingkupi organisasi yang dipimpinnya (Pamudji, 1985) serta ditopang pula oleh kekuasaan (power) yang tepat (Yuki, 1989).

Sebagai seorang pemimpin, Kepala Daerah diisyaratkan untuk memiliki sifat-sifat tertentu. Mitchell (1978), mengemukakan sifat-sifat tertentu, seperti: kepribadian (personality), kemampuan (ability) dan kesanggupan (capability) untuk merealisir ide-ide menjadi serangkaian kegiatan (activity). Setiap pemimpin perlu menyadari bahwa kepemimpinnya merupakan proses antar hubungan atau interaksi antara pemimpin, bawahan, dan situasi (Stogdill, 1974).

Akibatnya, tidaklah mudah mencari sosok pemimpin, terlebih pemimpin sejati dengan karakter unggul yang melekat di dalam dirinya. Seperti yang dikemukakan Zainal Soedjais dalam Awang Faroek (2008), terdapat lima unsur karakter kepemimpinan yang unggul, yaitu meliputi: karakter, kredibilitas, nilai, keteladanan, dan kemampuan memberikan dan menjadi bagian dari harapan.

Keunggulan pertama adalah karakter. Pemimpin tersebut adalah produk terunggul di lingkungannya. Di sini, kita dapat mempergunakan teori Rosabeth Modd-Kanter yang mengedepankan individu dengan karakter keunggulan, yakni individu yang memiliki Triple-C: Concept atau kemampuan membuat konsep akan masa depan, Competence atau kompetensi, dan Connectedness alias kekuatan jaringan yang dimiliki. Gagasan ini, seperti kata Riant Nugroho (2003), di-Indonesiakan oleh Prof. Dr. Gunawan Sumodiningrat (2001) sebagai KKN, atau Konsep, Kompetensi dan Networking-bukan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Keunggulan kedua adalah kredibilitas. Di negara-negara barat, syarat utama untuk menjadi seorang pemimpin, seperti penelitian James & Posner (1997), adalah kredibilitas. Steven M. Bomstein dan Anthony F. Sands (1996), menyebutkan lima inti (SC) kredibilitas, yaitu: Conviction, Character, Courage, Composure, Competence. Conviction adalah keyakinan dan komitmen. Character adalah integritas, kejujuran, respek, dan kepercayaan yang konsisten. Courage adalah keberanian, kemauan untuk bertanggung jawab atas keyakinannya. Bahkan, kalau perlu berani mengubah diri. Composure adalah ketenangan batin, suatu kemampuan untuk memberikan reaksi dan emosi yang tepat dan konsisten, khususnya dalam menghadapi suatu krisis. Competence adalah keahlian, keterampilan, dan profesionalitas.

Keunggulan ketiga adalah nilai. Tugas pemimpin adalah memberikan value atau nilai bagi organisasi yang dipimpinnya. Memimpin adalah melakukan value creation sepanjang waktu. Warren Bennis (2000), menekankan bahwa pemimpin adalah makes different. Ia harus membuat organisasinya berbeda dengan sebelum ia pimpin. Nilai atau value ini adalah kemampuan membuat visi masa depan yang benar dan akurat, kemampuan menata misi yang sesuai dengan kondisi riil yang dihadapi, menatanya dalam strategi, lalu menjabarkan serta Keunggulan ketiga adalah nilai. Tugas pemimpin adalah memberikan value atau nilai bagi organisasi yang dipimpinnya. Memimpin adalah melakukan value creation sepanjang waktu. Warren Bennis (2000), menekankan bahwa pemimpin adalah makes different. Ia harus membuat organisasinya berbeda dengan sebelum ia pimpin. Nilai atau value ini adalah kemampuan membuat visi masa depan yang benar dan akurat, kemampuan menata misi yang sesuai dengan kondisi riil yang dihadapi, menatanya dalam strategi, lalu menjabarkan serta

Keunggulan keempat adalah keteladanan. Tokoh pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara, mengajarkan ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, dan tut wuri handayani. Kendati ketiganya berbeda semantik, yakni di depan memberikan contoh, di tengah memberikan inspirasi dan di belakang mendorong. Pada prinsipnya, kesemuanya itu bermuara pada satu hal: keteladanan. Di negara-negara Barat pun, prasyarat keteladanan ini merupakan faktor krusial. Arie de Geus (1996) misalnya, secara khusus pernah membuat kajian tentang perusahaan-perusahaan kelas dunia yang sukses, mampu bertahan dan terus berkembang, dan kemudian menjadi acuan bagi yang lain. Ia menemukan, bahwa perusahaan-perusahaan itu memiliki satu kesamaan, yakni pemimpin yang memiliki keteladanan. Keteladanan adalah simbol pertama dari kedewasaan, karena keteladanan memerlukan toleransi, kerendahan hati, dan kesabaran. Pemimpin hakikatnya adalah pamong, bukan pangreh.

Keunggulan kelima adalah harapan. Jadi, pemimpin harus memberikan harapan. Manusia terkadang berhadapan dengan masalah yang teramat berat untuk diatasi dan merasa putus asa. Pemimpin yang memberi harapan adalah pemimpin yang membuka mata pengikutnya akan tantangan masa depan dan bagaimana cara mengatasinya.

Dengan demikian, Kepala Daerah sebagai pemimpin organisasi administrasi daerah harus memiliki kualitas kepemimpinan, yaitu implementasi dasar-dasar kepemimpinan pada umumnya (sifat, gaya, teknik, perilaku, dan kekuasaan atau power) dalam ruang lingkup sistem pemerintah Indonesia (Pamudji, 1989).

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (direvisi terbatas menjadi Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008) menetapkan bahwa untuk menjadi Kepala Daerah perlu memenuhi 16 persyaratan, yaitu:

a. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

b. Setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah.

c. Berpendidikan sekurang-sekurangnya sekolah lanjutan tingkat atas dan/atau sederajat.

d. Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.

e. Sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter.

f. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih.

g. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

h. Mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya.

i. Menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan. j. Tidak sedang memiliki tanggungan utang seeara perseorangan dan/atau

secara badan hukum yang menjadi tanggungjawabnya yang merugikan keuangan negara.

k. Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

l. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela. m. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi yang belum mempunyai

NPWP wajib mempunyai bukti pembayaran pajak. n. Menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat

pendidikan dan pekerjaan serta ke1uarga kandung, suami atau istri. o. Belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah

selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sarna. p. Tidak dalam status sebagai penjabat kepala daerah. Dengan adanya sejumlah persyaratan tersebut, dapat dikemukan bahwa figur

Kepala Daerah yang ideal adalah seorang yang berkualitas, menerapkan kepemimpinan yang tepat di lingkungan organisasi administrasi daerah, ditopang pula oleh seperangkat sifat-sifat kepemimpinan yang baik, latar belakang individual yang dipayungi oleh sikap dasar, yaitu taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, setia dan taat kepada Pancasila dan UUD 1945, serta setia dan taat kepada negara dan pemerintah.

C. Kekuasaan Kepala Daerah

Berbeda dengan undang-undang sebelumnya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, maka hadirnya Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999, juga Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, tidak mengenal lagi Kepala Daerah sebagai Wakil Pemerintah Pusat, kecuali bagi Gubernur. Meskipun gubernur masih bertindak sebagai Wakil Pemerintah Pusat, namun ia tidak lagi memiliki tugas dan wewenang yang sangat luas. Jika memperhatikan maksud butir (g) bagian Penjelasan Umum mengenai Dasar Pemikiran, tugas dan wewenang Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat, antara lain meliputi: a. Melaksanakan tugas-tugas pemerintahan tertentu yang dilimpahkan

b. Menyelenggarakan otonomi daerah yang bersifat lintas daerah kabupaten/kota,

c. Melaksanakan kewenangan otonomi daerah yang belum dapat dilaksanakan oleh daerah kabupaten/kota, d. Menjaga adanya hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Khususnya pada butir (d) tersebut, lebih tepat dikatakan sebagai bentuk tugas dan wewenang melainkan sebagai suatu bentuk kewajiban, yaitu kewajiban untuk menjaga dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Gubernur berkewajiban untuk melakukan hal tersebut, oleh c. Melaksanakan kewenangan otonomi daerah yang belum dapat dilaksanakan oleh daerah kabupaten/kota, d. Menjaga adanya hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Khususnya pada butir (d) tersebut, lebih tepat dikatakan sebagai bentuk tugas dan wewenang melainkan sebagai suatu bentuk kewajiban, yaitu kewajiban untuk menjaga dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Gubernur berkewajiban untuk melakukan hal tersebut, oleh

Bertindak atas nama Wakil Pemerintah Pusat, gubernur juga berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan Pemerintah Daerah, dan melakukan pengawasan pelaksanaan administrasi kepegawaian dan karier pegawai di wilayahnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Adapun wilayah administrasi yang dimaksud merupakan wilayah administrasi yang mencakup kewenangan di bidang pemerintahan yang dilimpahkan oleh Pemerintah Pusat.

Pembinaan yang dimaksud diatas, merupakan pembinaan yang lebih ditekankan pada memfasilitasi dalam upaya pemberdayaan daerah otonom. Sedangkan pengawasan yang dimaksud, lebih ditekankan pada pengawasan represif untuk lebih memberi kebebasan kepada daerah otonom dalam mengambil keputusan serta memberikan peran kepada DPRD dalam mewujudkan fungsinya sebagai badan pengawas terhadap pelaksanaan otonomi daerah. Jelasnya, pengawasan dan pembinaan yang dilakukan oleh gubernur, tidak mengurangi arti kebebasan daerah otonom yang bersangkutan – daerah kabupaten/kota – untuk membuat keputusan yang berhubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah. Tetapi, maksud kebebasan tersebut bukanlah bebas tanpa batas. Oleh karena apabila suatu peraturan atau keputusan daerah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (in stridj net de wet) yang lebih tinggi tingkatannya atau dengan kepentingan umum (in stridj met het algemeen belang), peraturan atau keputusan daerah tersebut dapat ditangguhkan guna keperluan proses selanjutnya atau dibatalkan. Bentuk penangguhan (schorsing) dan pembatalan (vernietiging) inilah yang menjadi bagian dari pengawasan represif di atas (Sayuti, 2004).

Sungguhpun undang-undang ini hanya menempatkan gubernur sebagai pemilik kedudukan rangkap, tetapi menurut Bagir Manan (2002), hal itu sebenarnya masih dianggap tidak perlu. Alasan ketidakperluan tersebut, menurutnya:

Pengalaman selama ini, menunjukkan bahwa gubernur, bupati, walikota menjalankan fungsi rangkap lebih menonjolkan diri sebagai wakil pusat (dekonsentrasi) daripada sebagai pimpinan daerah otonom. Di negeri Belanda, gubernur disebut commisaris van de Koning adalah wakil mahkota. Tetapi yang menjalankan pemerintahan (yang bertanggung Jawab) adalah gedputerdee staten, bukan gubernur. Yang menarik, dalam praktiknya, gubernur lebih menampakkan diri sebagai unsur otonomi, walaupun secara hukum mewakili mahkota.

Tetapi, seperti diuraikan di atas, – yakni adanya bentuk tugas dan wewenang yang harus dilakukan oleh gubernur – penempatan gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat masih dianggap perlu. Alasan tersebut ditambah lagi akibat yang ditemukan dalam implementasinya beberapa tahun belakangan ini. Oleh karena bupati/walikota hanya mempunyai hubungan pertanggungjawaban atas Tetapi, seperti diuraikan di atas, – yakni adanya bentuk tugas dan wewenang yang harus dilakukan oleh gubernur – penempatan gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat masih dianggap perlu. Alasan tersebut ditambah lagi akibat yang ditemukan dalam implementasinya beberapa tahun belakangan ini. Oleh karena bupati/walikota hanya mempunyai hubungan pertanggungjawaban atas

Berkedudukan sebagai Kepala Daerah provinsi atau Kepala Daerah kabupaten/kota, Kepala Daerah juga memiliki beberapa tugas dan wewenang yang pada intinya berkisar pada wewenang penyelenggaraan Pemerintahan Daerah atau eksekutif, seperti halnya mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, mengangkat Kepala Dinas dari PNS yang memenuhi syarat atas usul Sekretaris Daerah, menetapkan keputusan untuk melaksanakan Perda dan atas kuasa peraturan perundang-undangan lain yang berlaku, dan sebagainya.

Melihat berbagai tugas dan wewenang Kepala Daerah di atas, jelaslah kalau undang-undang ini berupaya menempatkan Kepala Daerah sebagai lembaga eksekutif sebagaimana maksud konsep pemisahan kekuasaan (separation of power). Terdapat dua indikasi untuk itu, yaitu:

Pertama, Kepala Daerah bertugas dan berwenang menjalankan produk-produk yang dibuat oleh lembaga legislatif, seperti halnya maksud butir a dan f diatas. Kedua, Kepala Daerah menjalankan tugas dan wewenang yang bersifat administratif, seperti halnya maksud butir c, d, e dan g di atas. Indikasi tersebut semakin jelas dengan melihat ketentuan Pasal 1 huruf b, Pasal 14 dan Pasal 30, yang menempatkan Kepala Daerah sebagai pemerintah dalam arti sempit atau sebagai eksekutif daerah saja. Khususnya mengenai tugas dan wewenang menurut ketentuan butir b di atas, di mana ketentuan ini berhubungan dengan kedudukan dan hubungan keperdataan yang dilakukan daerah. Oleh karena daerah adalah subyek hukum (publiek rechtspersoon) yang dapat melakukan atau terkena perikatan keperdataan (Manan, 2002).

Upaya menuju pada konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) memang terlihat jelas dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, paling tidak pemisahan dalam arti formal. Dengan mengembalikan Kepala Daerah secara lebih terfokus pada fungsinya sebagai pelaksana produk legislatif dan fungsi administratif, maka diharapkan Kepala Daerah dan DPRD memiliki kedudukan yang sama sejajar dalam struktur Pemerintahan Daerah, di mana DPRD berkedudukan sebagai lembaga atau badan legislatif daerah dan kepala daerah berkedudukan sebagai lembaga atau badan eksekutif daerah.

Akan tetapi, jika dipandang dari sisi tugas dan wewenang yang dimiliki oleh keduanya, maka ungkapan sama dirasa tidaklah tepat untuk digunakan. Yang lebih tepat digunakan adalah ungkapan seimbang, karena seimbang tidaklah Akan tetapi, jika dipandang dari sisi tugas dan wewenang yang dimiliki oleh keduanya, maka ungkapan sama dirasa tidaklah tepat untuk digunakan. Yang lebih tepat digunakan adalah ungkapan seimbang, karena seimbang tidaklah

Seorang Kepala Eksekutif mempunyai tugas dan kewenangan tidak hanya untuk membuat kebijaksanaan, tetapi juga mengimplementasikannya dan mengadakan evaluasi terhadap kebijaksanaan tersebut. Sementara itu, DPRD hanyalah membentuk kebijaksanaan publik, dan bahkan hampir sama sekali tidak terlibat dalam implemantasi kebijaksanaan tersebut.

Seorang Kepala Eksekutif mempunyai tanggung jawab dalam bidang sosial, ekonomi dan keuangan serta politik, karena memang dipilih untuk itu, sementara seorang anggota DPR/DPRD hanyalah memiliki tanggung jawab dalam bidang politik saja.

Seorang Kepala Eksekutif harus memiliki kapasitas yang sangat tinggi untuk memobilisasi semua sumber daya yang ada di lingkungannya. Dia harus menggerakkan semua stafnya untuk terlibat secara maksimal, dan harus pula kreatif mendorong kegiatan ekonomi dan bisnis di daerahnya.

Tugas-tugas seperti itu tidak merupakan hal-hal yang rutin yang dilakukan oleh DPRD. DPRD harus menyiapkan suasana politik lokal yang kondusif bagi masyarakat di daerahnya.

Dengan demikian, meskipun antara DPRD dan Kepala Daerah memiliki kedudukan yang sejajar dalam struktur pemerintahan daerah, tetapi keduanya memiliki tugas dan wewenang – demikian juga hak – yang seimbang. Oleh karena itu, dalam hal tertentu, boleh jadi kepala daerah memiliki hak yang tidak sama atau lebih besar daripada DPRD. Misalnya, Kepala Daerah mendapatkan insentif atau gaji yang lebih besar daripada DPRD berdasarkan sistem penggajian (reward system). tentunya seimbang pula dengan tugas dan tanggungjawabnya yang juga lebih besar daripada DPRD. Bahkan, dapat dipandang tidak memiliki rasa kepantasan dan keadilan (ex aequo et bono), jika DPRD menuntut gaji atau pendapatan yang lebih tinggi atau sama dengan yang didapat oleh Kepala Daerah.

D. Hubungan Kepala Daerah dengan DPRD

Terdapat beberapa dasar pemikiran yang melatarbelakangi mengapa kepemimpinan Kepala Daerah menjadi penting dan menarik untuk ditelaah dan dipelajari. Sepanjang sejarah, sejak masa pemerintah kolonial Hindia Belanda, masa pendudukan Jepang, masa Proklamasi Kemerdekaan, masa Orde Baru dan era Reformasi dewasa ini, kedudukan dan peranan Kepala Daerah (gubernur, bupati/walikota) telah menunjukan eksistensinya, baik sebagai pemimpin organisasi pemerintahan yang mengayomi, melindungi dan melayani masyarakat maupun dalam memimpin administrasi pemerintahan (Kaloh, 2003).

Dalam memutar roda organisasi pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan, serta dalam menghadapi konflik, gejolak dan permasalahan pemerintahan di daerah, Kepala Daerah secara terus-menerus dihadapkan pada pelbagai tuntutan dan tantangan baik secara internal maupun eksternal, yang harus direspon dan diantisipasi, sekaligus merupakan ujian terhadap kapabilitas dan kompetensi Kepala Daerah tersebut.

Tak heran, landasan normatif penyelanggaraan Pemerintahan Daerah yang terus berubah dalam beberapa kurun waktu tertentu, sebagai akibat pengaruh perubahan politik pemerintahan, memberikan warna tersendiri dalam pola kegiatan, pola kekuasaan dan pola perilaku kepemimpinan Kepala Daerah. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, hingga Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sampai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, sebagai ketentuan normatif yang mengatur sistem penyelenggaraan pemerintahan di daerah, telah mengatur kedudukan, tugas, fungsi, kewajiban dan sejumlah persyaratan Kepala Daerah yang berlangsung di negeri ini.

Pengaturan dalam semua undang-undang tentang Pemerintahan Daerah membuat peranan Kepala Daerah sangat strategis, karena Kepala Daerah merupakan komponen signifikan bagi keberhasilan pembangunan nasional, sebab Pemerintahan Daerah merupakan subsistem dari pemerintahan nasional atau negara. Efektivitas pemerintahan negara tergantung pada efektivitas penyelenggaran pemerintahan di daerah. Keberhasilan kepemimpinan di daerah akan menentukan kesuksesan kepemimpinan nasional. Artinya, menurut Johanis Kaloh (2003), ketidakmampuan Kepala Daerah dalam menyukseskan program pembangunan daerah berimplikasi pada rendah atau berkurangnya kinerja dan efektivitas penyelenggaraan pembangunan nasional.

Dari tinjauan organisasi dan manajemen, Kepala Daerah merupakan figur sentral atau manajer yang menentukan efektivitas pencapaian tujuan organisasi Pemerintahan Daerah. Proses pemerintahan di daerah secara sinergis ditentukan oleh sejauh mana efektivitas peran yang dimainkan oleh Kepala Daerah. Dengan kata lain, arah dan tujuan organisasi Pemerintahan Daerah ditentukan oleh kemampuan, kompetensi dan kapabilitas Kepala Daerah bersangkutan dalam melaksanakan fungsi-fungsi administrasi (manajerial), kepemimpinan, pembinaan dan pelayanan, serta tugas-tugas lain yang menjadi kewajiban dan tanggungjawab Kepala Daerah.

Dalam pendekatan pelayanan, Kepala Daerah juga merupakan komponen strategis dalam mengupayakan terwujudnya pelayanan yang berkualitas, baik pelayanan internal dalam organisasi maupun pelayanan eksternal kepada masyarakat luas. Kepemimpinan Kepala Daerah, yang menerapkan pola dan strategis mendengarkan, merasakan, menanggapi dan mewujudkan keinginan, aspirasi, tuntutan dan kepentingan masyarakat dan tuntutan organisasi, merupakan kekuatan dalam upaya mewujudkan tujuan organisasi dan peningkatan kehidupan serta kesejahteraan masyarakat.

Sarundajang (1997) menegaskan, bahwa dalam konteks hubungan Kepala

Daerah dengan DPRD, guna perumusan dan implementasi kebijakan publik, peranan Kepala Daerah sangat strategis, bukan hanya untuk merumuskan dan mengambil inisiatif tetapi juga mempengaruhi keputusan yang dihasilkan. Kepala Daerah, sebagai puncak suatu piramida hierarki administratif, memiliki peranan dalam menjalankan keseluruhan peraturan daerah yang dibuat bagi Pemerintah Daerah yang lebih tinggi atau badan perwakilan daerah. Dengan demikian, ia mempunyai hak dan kewajiban untuk membuat keputusan yang diperlukan untuk menjalankan peraturan dari unit pemerintahan yang lebih tinggi.

Jika dilihat dari hierarki kepemimpinan pemerintah di Indonesia, Kepala Daerah (gubernur, bupati/walikota), berada di posisi kepemimpinan tingkat menengah. Di atasnya, terdapat kepemimpinan yang dijalankan oleh presiden beserta para pembantunya, dan di bawahnya lagi terdapat kepemimpinan yang dijalankan oleh camat dan kepala desa/lurah. Para pemimpin pemerintahan tersebut bertanggungjawab sepenuhnya atas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan

masing-masing, sekaligus mempertanggungjawabkan tugas yang diembannya itu kepada pejabat yang berwenang sesuai hierarki kepemimpinan. Bahkan, dalam sistem administrasi negara dan penyelenggaraan pembangunan nasional, kedudukan pemimpin pemerintahan sebagai pejabat yang berperan dalam pertyelenggaraan administrasi negara sangat penting dan menentukan, karena kepemimpinan itulah yang berperan sebagai motor, pelopor, kreator dan inovator pemikiran, perencanaan, perumusan, implementasi, evaluasi dan pengendalian berbagai kebijakan dalam rangka pencapaian tujuan nasional.

di

daerahnya

Salah satu karakteristik pemimpin pemerintahan khususnya Kepala Daerah, seperi kata J. Kaloh (2003) adalah tanggap terhadap kondisi politik, baik dalam organisasi pemerintahan maupun dalam masyarakat, serta memberikan jawaban atau tanggapan atas kritik, saran, dan mungkin juga pengawasan yang datang dari masyarakat, serta tanggap terhadap harapan dan kebutuhan masyarakat. Seorang pemimpin pemerintahan harus tanggap terhadap kondisi kelembagaan dalam arti memberikan perhatian serta tanggap terhadap bermacam kebutuhan operasional dalam organisasi pemerintahan demi kelangsungan kehidupan organisasi pemerintahan. Sejalan dengan itu, Tjokroamidjojo (1985) menyatakan, bahwa seorang pemimpin pemerintahan harus senantiasa memperhatikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat serta kebutuhan dan kepentingan organisasi pemerintahan.

Sebagaimana halnya pemimpin organisasi lainnya, Kepala Daerah juga dihadapkan pada berbagai keadaan dan tantangan dalam memimpin organisasi administrasi daerah. Kondisi dan tantangan yang dihadapi oleh Kepala Daerah antara lain bagaimana mewujudkan otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab sebagai suatu paradigma baru, yang didukung oleh kualitas sumber daya aparatur yang prima, sumber daya alam dan sumber daya keuangan, serta sarana prasarana yang memadai, yang mampu meningkatkan dan mengembangkan kemampuan dan kehidupan masyarakat melalui program dan strategi pelayanan dan pemberdayaan masyarakat.

Menyadari hal tersebut, Kepala Daerah sebagai pemimpin organisasi Menyadari hal tersebut, Kepala Daerah sebagai pemimpin organisasi

Paradigma baru tersebut, dengan sendirinya menuntut kegiatan nyata Kepala Daerah yang diarahkan pada kegiatan-kegiatan yang kreatif (creative), inovatif (innovative), perintisan (avant garde), orientasi pelayanan/masyarakat (people/customer-oriented), orientasi pelayanan dan pemberdayaan (service and empowerment-oriented). Konsep ini menuntut kualitas Kepala Daerah sebagai pemimpin organisasi Pemerintahan Daerah makin tinggi pula, di mana seorang pemimpin tidak cukup hanya mengandalkan intuisi semata, tetapi harus didukung oleh kemampuan intelektual dan keahlian yang memadai, ketajaman visi, serta kemampuan etika dan moral yang beradab. Mengingat beratnya tugas dan tanggung jawab Kepala Daerah, pejabat tersebut harus memenuhi persyaratan kualitas yang cukup berat (Riwukaho, 1988).

E. Pilkada Langsung Era Reformasi

Wacana reformasi sebenarnya sudah cukup lama dikenal. Namun dalam konteks Indonesia saat ini, wacana tentang reformasi baru membahana sekitar tahun 1998 lalu, menjelang lengser-nya mantan Presiden Soeharto, 21 Mei 1998.

Periode pasca lengser-nya Soeharto pada 1998 hingga sekarang, lazim disebut sebagai era reformasi. Periode reformasi menurut Sayuti (2004), yakni suatu periode pemerintahan yang bermaksud untuk memperbaiki dan/atau mengubah tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam berbagai dimensi ke arah yang lebih baik daripada sebelumnya. Pengertian reformasi itu sendiri, sebenarnya banyak mendapat tanggapan dari berbagai ahli. Warsito Utomo (2003) telah merangkum tanggapan-tanggapan tersebut, di antaranya:

Kahn (1981), memberikan pengertian reformasi sebagai suatu usaha untuk melakukan perubahan-perubahan pokok dalam suatu sistem birokrasi yang bertujuan mengubah struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau kebiasaan yang telah lama. Sedangkan Quah (1976), mendefinisikan reformasi sebagai suatu proses untuk mengubah proses dan prosedur birokrasi publik dan sikap serta tingkah laku birokrat untuk mencapai efektivitas birokrasi dan tujuan pembangunan nasional. Kemudian, Samonte (1979), mengartikan reformasi sebagai perubahan-perubahan atau inovasi-inovasi dalam penggunaan perencanaan dan adopsi untuk membuat sistem administrasi sebagai badan atau agen yang lebih efektif untuk perubahan sosial, sebagai instrument yang baik untuk membawa persamaan politik, sosial dan perubahan ekonomi, semuanya dalam proses akselerasi pembangunan bangsa (Utomo,2003).

Ditambah Warsito Utomo (2003) pada hakekatnya dari pandangan-pandangan tersebut dapat disimpulkan empat hal. Pertama, reformasi mengandung pertalian adanya inovasi dan transformasi. Kedua, kesuksesan reformasi membutuhkan Ditambah Warsito Utomo (2003) pada hakekatnya dari pandangan-pandangan tersebut dapat disimpulkan empat hal. Pertama, reformasi mengandung pertalian adanya inovasi dan transformasi. Kedua, kesuksesan reformasi membutuhkan

Pada era ini pula, terjadi perubahan fundamental dan fenomenal pada sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia, yakni bergulirnya mekanisme Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung sejak 1 Juni 2005 lalu. Singkatnya, Pilkada langsung ini dapat dikatakan merupakan buah dari reformasi yang diperjuangkan oleh segenap komponen bangsa. Sebelurnnya, reformasi juga telah membuahkan Pemilihan Presiden – Wakil Presiden RI secara langsung pada 2004. Melalui Pilkada langsung, harapan pemilihan langsung itu tidak hanya bergulir pada level nasional, tetapi juga kini dilakukan hingga level daerah di seluruh Indonesia.

Pemilihan Kepala Daerah langsung ini merupakan salah satu pilar paling fundamental dalam proses pembangunan demokrasi di Indonesia. Pijakan yuridisnya adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juncto Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, yang di dalamnya juga memuat sistem pemilihan Kepala Daerah secara langsung, sebagai revisi terhadap Undang-undang Nomor 22 tahun 1999. Hadirnya Undang-undang ini, dalam pandangan Wakil Ketua DPD RI Laode Ida, memberikan ruang partisipasi rakyat untuk menentukan sendiri pemimpin daerahnya secara lang sung, sekaligus menandai akhir dari sistem pemilihan pemimpin pada tingkat lokal yang selama ini menggunakan sistem perwakilan, yakni Kepala Daerah dipilih oleh anggota DPRD.

Tuntutan masyarakat untuk melaksanakan Pilkada langsung disebabkan karena pemilihan Kepala Daerah melalui sistem perwakilan sebelumnya, dianggap tidak demokratis, yakni hanya dipilih oleh puluhan anggota DPRD, (Laode,2006). Padahal, dalam proses rekrutmen pemimpin yang demokratis, setiap individu mempunyai hak yang otonom dalam menentukan pemimpinnya sendiri. Pemilihan Kepala Daerah dengan cara "menggadaikan" suara rakyat kepada anggota DPRD, selain dianggap tidak mempunyai legimitasi sosial secara kolektif (dukungan masyarakat mayoritas), proses pemilihannya pun senantiasa diwarnai praktik-praktik politik uang (money politics), dan pada akhimya menghasilkan para pemimpin bermental korup. Bahkan, menurut pengamat politik dan hukum tata Negara Universitas Andalas, Padang, Dr. Saldi Isra, bahwa publik sudah muak dengan Kepala Daerah yang lahir atas hasil rekayasa petualang-petualang politik. Mereka mendambakan Kepala Daerah hasil pilihannya sendiri. Kepala Daerah milik rakyat (Kompas, 2004).

Di berbagai negara di dunia, terutama dalam praktik penyelenggaraan pemerintah lokal, domain Kepala Daerah sebenarnya dapat dipilih secara langsung oleh masyarakat, juga dipilih oleh dewan (council) atau bisa pula diangkat oleh Pemerintah Pusat (Karim, 2003). Dengan kata lain, paling tidak terdapat tiga variasi yang lazim dilaksanakan dalam mekanisme pemilihan

Kepala Daerah. Di banyak negara, mekanisme seperti itu jarang dijadikan topik- topik perdebatan, karena apa pun sistem yang dianut oleh mereka, sepanjang fungsi-fungsi dari pemerintahan di daerah (protective, public services, dan development) dapat dilaksanakan secara optimal dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas, maka sistem pengisian jabatan Kepala Daerah tersebut bukanlah menjadi isu utama (grand issue).

Namun, jauh berbeda dengan di Indonesia. Pemilihan Kepala Daerah langsung di negeri ini justru menjadi diskursus menarik dan menyedot banyak perhatian masyarakat dalam ruang publik (public sphere) saat ini. Pilkada secara langsung merupakan bentuk darii demokrasi lokal yang merupakan bagian dari subsistem politik suatu negara yang derajat pengaruhnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangat signifIkan. Terlebih lagi dalam koridor Pemerintahan Daerah (local government). Demokrasi lokal di Indonesia, merupakan peluang (opportunity) bagi Pemerintahan Daerah untuk mengembangkan hubungan yang sinergis dengan rakyatnya sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam menciptakan kehidupan politik yang lebih berkualitas. Oleh karena demokrasi mensyaratkan keterlibatan masyarakat secara mandiri dalam setiap proses pengambilan keputusan atas kebijakan pembangunan, maka syarat itu hanya dapat dipenuhi dengan memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk menentukan dan merumuskan sendiri kebutuhannya, termasuk dalam hal pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung. Wujud tertib politik demokratis secara sederhana dapat dirumuskan sebagai pemerintahan yang dibentuk oleh, dari dan untuk rakyat (putra, 1999).

Adapun untuk mengamati ada tidaknya demokrasi, diwujudkan dalam suatu pemerintahan negara (pemilu termasuk Pilkada langsung) sebagai arus balik demokrasi. Paling tidak, pendapat Robert Dahl (dalam Gaffar, 1996), bisa dijadikan dasar. Dahl mengistilahkannya dengan democratic political order. Prasyaratan yang harus dipenuhi dalam kerangka demokrasi secara empirik antara lain, pertama, akuntabilitas politik (political accountability), di mana dalam demokrasi, setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat mempertanggungjawabkan kebijakan yang hendak dan telah ditempuhnya. Artinya, ada kontrak sosial (social contract). Bahkan, tidak hanya itu. Ucapan, kata-kata (statement), juga harus dipertanggungjawabkan. Demikian pula halnya dengan perilaku dalam kehidupan yang pernah, sedang, bahkan akan dijalaninya, tidak hanya secara pribadi, tetapi juga menyangkut keluarganya. Kedua, rotasi kekuasaan (rotation of power). Bahwa dalam demokrasi, peluang akan terjadinya rotasi kekuasaan harus ada, dan dilakukan secara teratur dalam kondisi damai dan beradab. Ketiga, rekrutmen politik yang terbuka. Artinya, dalam rangka rotasi kekuasaan itu, setiap orang yang memenuhi syarat untuk mengisi suatu jabatan politik yang dipilih oleh rakyat, mempunyai peluang yang sama dalam melakukan kompetisi untuk mengisi jabatan tersebut (Yana, 2006).

ltulah sebabnya, pemilihan Kepala Daerah secara langsung (Pilkada langsung), dianggap merupakan suatu momentum besar dalam tata aturan dan sistem pemerintahan negeri ini pasca reformasi. Menurut catatan penulis,hingga Agustus 2008, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Daerah, telah melaksanakan 414

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung, meliputi pemilihan gubernur, bupati, maupun walikota di seluruh Indonesia.

Proses demokrasi lokal ini berjalan terus. Pada akhir 2008, seluruh Kepala Daerah diharapkan sudah terpilih langsung oleh konsitituennya. Kondisi ini, menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2008), secara otomatis akan mengubah peta politik Indonesia, dan mengubah dinamika politik nasional ke arah pemerintahan yang lebih akuntabel dan demokratis.

"Ini merupakan capaian sejarah yang fundamental dalam kehidupan berbangsa. Yang penting dicatat, semua pelaksana Pilkada dilakukan secara efektif, efisien, damai, dan tertib tanpa menimbulkan gejolak yang berarti," jelas Presiden Yudhoyono (www.presidensby.info. 2008). Jadi, sangatlah wajar jika capaian ini sangat disyukuri. Apalagi, jika melihat krisis politik, sosial, dan finansial global yang terjadi di berbagai penjuru dunia dewasa ini, di antaranya karena transisi demokrasi yang tidak berjalan dengan baik.

Ke depan, agar kehidupan demokrasi di Indonesia ini makin berkualitas, Presiden Yudhoyono (2008) mengharapkan, supaya seluruh komponen bangsa terus mengembangkan kehidupan demokrasi yang beretika dan taat pada aturan main. Tanpa etika, persaingan politik lewat pilkada langsung tersebut tidak akan berjalan secara sehat, bahkan dapat merusak sendi-sendi negara dan bangsa.

Penyelenggaraan Pilkada langsung selama ini, pada umumnya berjalan relatif baik, bisa dicapai karena adanya upaya yang terus-menerus dilakukan pemerintah dalam memperbaiki mekanisme pelaksanaannya, termasuk evaluasi menyeluruh terhadap berbagai kelemahan yang ada.

Mekanisme baru Pilkada langsung ini, seperti ditulis Republika (2005). adalah bertujuan untuk melahirkan pemimpin yang benar-benar menjadi impian rakyat kebanyakan, yaitu pemimpin yang kuat, jujur, bersih, dan dapat memberikan pelayanan secara prima (philosopher-king), dalam rangka menuju cita-citanya, hidup di bawah payung keadilan dan kemakmuran.

Sejatinya, dari perspektif politik dan pemerintahan, penyelenggara Pilkada langsung tersebut memang akan memberikan ruang bernapas yang lebih longgar bagi partisipasi otonom masyarakat (Mallarangeng, 2004). Pilkada langsung yang semestinya memiliki makna mendalam, amat berarti karena dapat menjadi ajang bagi penguatan civil society, yang menentukan Kepala Daerah tidak lagi menjadi urusan dominan aktor tunggal political society, dalam hal ini adalah partai politik dan lembaga legislatif (Utomo dkk, 2005; lrtanto, 2008).

Mubarok (2005) menjelaskan, secara teoritis, sistem Pilkada langsung dipersepsikan akan memberikan sejumlah keuntungan. Pertama, konkritisi demokrasi. Proses Pilkada akan memenuhi kaidah proses demokratisasi di dua level, yakni struktural dan kultural. Di level struktural, lebih beradab karena melibatkan partisipasi publik yang semakin meluas. Sementara di level kultural, proses Pilkada ditengarai akan memberikan keleluasaan bagi merembesnya nilai-nilai transparansi, independensi, dan kejujuran. Kedua, ada kemungkinan kekerasan terhadap proses dan kekerasan terhadap data terkurangi. Ketiga, terkuranginya premanisme politik uang (money politics). Dampak positif lainnya Mubarok (2005) menjelaskan, secara teoritis, sistem Pilkada langsung dipersepsikan akan memberikan sejumlah keuntungan. Pertama, konkritisi demokrasi. Proses Pilkada akan memenuhi kaidah proses demokratisasi di dua level, yakni struktural dan kultural. Di level struktural, lebih beradab karena melibatkan partisipasi publik yang semakin meluas. Sementara di level kultural, proses Pilkada ditengarai akan memberikan keleluasaan bagi merembesnya nilai-nilai transparansi, independensi, dan kejujuran. Kedua, ada kemungkinan kekerasan terhadap proses dan kekerasan terhadap data terkurangi. Ketiga, terkuranginya premanisme politik uang (money politics). Dampak positif lainnya

Pilkada langsung juga dianggap lebih demokratis, dengan dua pertimbangan. Pertama, Pilkada langsung memberikan kesempatan yang lebih luas untuk tampil atau terpilihnya Kepala Daerah yang sesuai dengan kehendak mayoritas masyarakat. Kedua, dengan Pilkada langsung, maka stabilitas pemerintahan lebih terjaga, berhubung Kepala Daerah yang terpilih tidak mudah dijatuhkan oleh DPRD (Huda, 2005).

F. Alasan Pilkada Langsung

Masyarakat berharap, memilih pemimpin dengan sistem pemilihan langsung tentunya untuk menjawab berbagai persoalan yang dihadapi dari produk pemilihan Kepala Daerah dengan sistem perwakilan. Artinya, Kepala Daerah terpilih - sebagai produk dari Pilkada langsung yang dihasilkan, kiranya bisa memberikan perubahan dalam pengelolaan pemerintahan di daerah yang mengarah pada praktik-praktik pemerintahan dengan tata kelola yang baik (good governance), dan diharapkan mampu mengatasi berbagai persoalan mendasar yang dihadapi masyarakat dalam hal pelayanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, akses pada sumber-sumber ekonomi, serta keamanan dan ketentraman hidup (La Ode, 2006) .

Pemilihan Kepala Daerah langsung, sesuai amanat UU Nomor 32 Tahun 2004 juncto UU Nomor 12 Tahun 2008, sangat berbeda dimensi praksisnya dengan pemilihan Kepala Daerah sebelumnya. Menurut Awang Faroek (2006), Pemilihan Kepala Daerah secara langsung diharapkan akan membawa banyak manfaat terhadap perkembangan demokrasi di tanah air, tatanan Pemerintahan Daerah, dan kinerja institusi yang ada di daerah. Hingga akan bisa menjawab tiga harapan mendasar yang dibutuhkan bangsa ini, yang dijabarkan berikut ini:

Pertama, menghidupkan demokrasi di aras lokal dimana diharapkan aspirasi dan kesejahteraan rakyat langsung tertangani dengan baik oleh Kepala Daerah terpilih. lni berbeda dengan pemilihan Kepala Daerah masa lalu di mana Kepala Daerah terpilih justru lebih loyal kepada partai politik.

Kedua, pengelolaan dari penataan Pemerintahan Daerah (local democratic govemance) semakin baik dan sejalan dengan aspirasi dan kepentingan rakyat banyak, yang berbeda dengan pemilihan Kepala Daerah masa lalu di mana keinginan rakyat mendapatkan pemerintahan yang bersih telah terdistorsi.

Ketiga, mendorong bekerjanya intuisi-intuisi lokal, sebab melalui pemilihan Kepala Daerah langsung diharapkan institusi politik lokal dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan harapan rakyat.

Namun disayangkan, tampaknya harapan itu terlampau besar, terlebih jika Namun disayangkan, tampaknya harapan itu terlampau besar, terlebih jika

Sementara itu, Sayuti Una (2004) menjelaskan, paling tidak terdapat tiga alasan mendasar kenapa pemilihan Kepala Daerah secara langsung merupakan suatu keharusan guna mencari solusi mencapai keseimbangan dalam distribusi kekuasaan Pemerintah Daerah, yakni alasan secara yuridis, empiris dan politis.

Pertama, alasan secara yuridis. Sebenarnya, UUD 1945 yang sudah diamandemen, punya keinginan kuat untuk melaksanakan pemilihan langsung terhadap pemegang jabatan lembaga-lembaga kekuasaan, khususnya yang bersentuhan langsung dengan konsep kedaulatan rakyat. Lembaga legislatif (DPR, DPD, DPRD) dan lembaga eksekutif (presiden dan wakil presiden), sudah dipilih langsung oleh rakyat dalam suatu pemilu. Karena itu, Kepala Daerah (gubernur, bupati/walikota), seyogyanya juga dipilih secara langsung oleh rakyat. Ekspektasi ini kemudian diakomodir dengan lahirnya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (direvisi menjadi UU Nomor 12 Tahun 2008), di mana salah satu bagiannya memuat pasal tentang pemilihan Kepala Daerah secara langsung.