Evaluasi Usaha Peternakan Ulat Tepung (Tenebrio Molitor) Di Desa Cisalada, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor
EVALUASI USAHA PETERNAKAN ULAT TEPUNG
(Tenebrio molitor) DI DESA CISALADA, KECAMATAN
CIGOMBONG, KABUPATEN BOGOR
ADI GUNA WIRATA
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudulEvaluasi Usaha
Peternakan Ulat tepung (Tenebrio molitor) di Desa Cisalada, Kecamatan
Cigombong, Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, April 2015
Adi Guna Wirata
NIM D14100104
ABSTRAK
ADI GUNA WIRATA. Evaluasi Usaha Peternakan Ulat tepung (Tenebrio
molitor) di Desa Cisalada, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor.Dibimbing
oleh YUNI CAHYA ENDRAWATI dan HOTNIDA C.H SIREGAR.
Budidayaulat hongkong atau ulat tepung (Tenebrio molitor) sangat
prospektif, namun keberhasilannya dipengaruhi oleh faktor internal dan
eksternal.Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi peternakan ulat tepung yang
gagal di Desa Cisalada, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor.Penelitian
dilakukan dari September sampai November 2014.Data mencakup faktor internal
dan eksternal yang digunakan untuk analisisIFE-EFE.Posisi peternakan
diidentifikasi dengan analisis IE.Strategi yang tepat untuk usaha diformulasi
melalui analisis SWOT.
Hasil evaluasimenunjukkan bahwa faktor kegagalan usaha disebabkan oleh
faktor kelemahan, terutama modal dan manajemen budidaya.Usaha sebelum gagal
berada pada posisi tumbuh dan membangun (kuadran II).Strategi yang disarankan
adalah mempertahankan kualitas dan menambah daya jual, memperluas jangkauan
pemasaran, memperkuat kelompok, meningkatkan kemampuan negosiasi,
mengembangkan kemitraan, meningkatkan efisiensi teknis usaha dan
mengembangkan produk ikutan ulat tepung
Kata kunci: analisis IE, analisis IFE-EFE, analisis SWOT, ulat tepung
ABSTRACT
ADI GUNA WIRATA. Evaluation of Mealworm Farm Business InCisalada
Village, Cigombong Sub-district, Bogor. Supervised by YUNI CAHYA
ENDRAWATI and HOTNIDA C.H SIREGAR.
Mealworm (Tenebrio molitor) breeding is a promising business, butthe
success of this business still affected by internal and external factors. The purpose
of this research was to evaluate a failure mealworm business in Cisalada village,
Cigombong sub-district, Bogor. The research was conducted from Septemberto
November 2014. Data include were internal and external factors for IFE-EFE
analysis. IE analysiswas used to identify business position while SWOT
analysisformulated alternative strategies for this business.
The failure caused by business weakness, especially in lack of capital and
rearing management. Before the failure, this business was in growth and build
position(quadrant II). Suggested strategies were to maintain mealworm quality
and marketability, market improve, strengthen the group, negotiation skills
improve, build partnership, technical efficiency improve, and develop mealworm
byproduct.
Key words: IE analysis, IFE-EFE analysis, mealworm, SWOT analysis.
EVALUASI USAHA PETERNAKAN ULAT TEPUNG
(Tenebrio molitor) DI DESA CISALADA, KECAMATAN
CIGOMBONG, KABUPATEN BOGOR
ADI GUNA WIRATA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Peternakan
pada
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA
Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala
karena atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul
Evaluasi Usaha Peternakan Ulat Tepung (Tenebrio molitor) di Desa Cisalada,
Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor ini dapat diselesaikan dengan baik.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
memberikan bantuan, khususnya kepada Ir Hotnida C. H Siregar, MSi selaku
dosen pembimbing kedua, Yuni Cahya Endrawati, SPt MSi selaku dosen
pembimbing pertamadan Ir Sri Rahayu MSi selaku dosen penguji.Ucapan terima
kasih juga Penulis ucapkan kepada Bapak Wagiman, Bapak Dadang Rahmat, dan
Bapak Mulyadi atas kerjasamanya sebagai responden.Ucapan terima kasih pada
kedua orang tua Penulis yaitu Wir Tanius dan Rahfimasari atas doa serta
dukungan yang telah diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih pada
keluarga besar IPTP 47, yang senantiasa berbagi ilmu dan semangat selama
kegiatan perkuliahan di Fakultas Peternakan, khususnya kepada Gesta, Alul,
Hengki, Alja, dan Sahid. Ucapan terima kasih tak lupaditujukan kepada Catur
Dewi, Azel, Budi, dan teman-teman dari kontrakan D 37.
Bogor, April 2015
Adi Guna Wirata
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR LAMPIRAN
ix
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan
2
Ruang Lingkup Penelitian
2
METODE
2
Waktu dan Tempat Penelitian
2
Materi
2
Prosedur
2
HASIL DAN PEMBAHASAN
6
Gambaran Umum Kelompok Peternak Ulat Tepung Cigombong
6
Analisis Matrik IFE (Internal Factor Evaluation) dan EFE (External Factor
Evaluation)
7
Analisis Matrik I-E (Internal – Eksternal)
12
Analisis Matrik SWOT
13
SIMPULAN DAN SARAN
17
DAFTAR PUSTAKA
18
LAMPIRAN
20
RIWAYAT HIDUP
21
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
Contohmatrik IFE-EFE
Contohmatrik IE
Contohmatrik SWOT
Matrik I-E peternakan ulat tepung Cigombong
Matrik SWOT
3
5
6
12
14
DAFTAR LAMPIRAN
1 Rak kandang dan kotak ulat tepung
2 Kotak ulat tepung
3 Dedak gandum
20
20
20
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ulat tepung (Tenebrio molitor) termasuk dalam kategori pakan premium
(Haryanto 2013) yang mengandung protein tinggiyaitu sekitar 48% (Aguilar et al.
2002) dan sangat potensial dalam ekstraksi protein (Gibson 2009). Budidayaulat
hongkongatau ulat tepung (Tenebrio molitor) sangat prospektif karena hanya
membutuhkan modal kecil, tidak membutuhkan lahan yang luas, dapat
menghasilkan keuntungan berlipat, dan peluang pasar yang bagus (Haryanto
2013). Serangga ini biasa digunakan sebagai pakan ikan, burung, hewan amfibi,
reptil, kura-kura, dan mamalia-mamalia kecil seperti landak (Ghaly 2009). Ulat
tepung dapat berkembang biak dalam jumlah banyak dalam waktu yang singkat
yaitu 275 telur dalam 22 sampai 137 hari (Oonincx 2010).Produktifitas ulat
tepung lebih dipengaruhi oleh kondisi dalam ruang pemeliharaan daripada
lingungan luar, sehingga budidaya dapat dilakukan sepanjang tahun.Kelebihan
yang telah diuraikan tersebut tidak mutlak menjamin keberhasilan peternakan,
karena faktor internal dan eksternal dapat mempengaruhi jalannya sebuah usaha
(David 2006).
Faktor yang dapat dikendalikan oleh usaha adalah faktor internal,
sedangkan faktor yang tidak dapat dikendalikan namun dapat diantisipasi
tergolong dalam faktor eksternal (David 2006).Semua bentuk usaha harus
tanggapterhadap perubahan-perubahan yang terjadi baik di dalam maupun di luar
lingkungan
sehingga
dapat
mengantisipasi
dan
melakukan
penyesuaian.Perkembangan teknologi, kondisi sosial dan ekonomi, kualitas
pegawai, kondisi pasar, dan manajemen usahamerupakan sebagian faktor-faktor
yang perlu diantisipasi (Damayanti 2013).Menurut David (2006), faktor internal
dan eksternal yang jika tidak ditangani dengan baik dapat menimbulkan kerugian
bahkan kegagalan, seperti yang dialami oleh peternakanulat tepung di Kecamatan
Cigombong, Kabupaten Bogor.
Peternakan ulat tepungCigombong dimulai pada tahun 2011 yang
dijalankan oleh sebuah kelompok peternak yang menurut survey pasar merupakan
produsen utama di wilayah Bogor.Pada tahun 2014 peternakan ulat tepung
Cigombong harusterhenti karena berbagai faktor yang terjadi pada usaha
peternakan tersebut.Kelompok peternak yang sebelumnya beranggotakan 20
orang sekarang hanya menyisakan 1 orang yang masih menjalankan usaha
tersebut.Evaluasi untuk mengetahui penyebab kegagalan usaha tersebut, sehingga
dapat disusun strategi yang dapat dijadikan acuan untuk melanjutkan dan
memperbaiki usaha kembali.
Evaluasi yang biasa dilakukan meliputi identifikasi faktor internal dan
eksternal, identifikasi dari kedua faktor tersebut digunakan dalam analisis IFEEFE untuk mengetahui kemampuan usaha dalam memanfaatkan dan mengatasi
kedua faktor tersebut.Hasil analisis IFE-EFE digunakan dalam analisis IE untuk
menentukan posisi usaha dan strategi utama yang dianjurkan pada posisi
tersebut.Strategi hasil IE dijabarkan lebih detail melalui analisis SWOT dengan
mempertimbangkan faktor internal dan eksternal usaha (David 2006).
2
Ketiga analisis tersebut dapat diterapkan pada kelompok ternak ulat tepung
Cigombong.Usaha ini telah berhenti, namun tidak menutup kemungkinan untuk
dapat bangkit dan memulai kembali (Damayanti 2013).Hasil analisis IFE-EFE, IE,
dan SWOT diharapkan dapat dimanfaatkan oleh kelompok sebagai acuan untuk
memulai usaha kembali.Selain itu, hasil studi ini juga dapat dimanfaatkan oleh
peternak ulat tepung lainnya.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor internal dan
eksternal usaha, mengetahui posisi usaha ternak ulat tepung Cigombong sebelum
kegagalan, dan menyusun strategi yang dapat digunakan serta mengevaluasi
faktor penyebab kegagalan usaha tersebut.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalahmengevaluasi peternakan ulat tepung di
Kecamatan Cigombong dengan analisis IFE-EFE, IE, dan SWOT serta
memberikan solusi untuk mengatasi masalah dalam peternakan tersebut.
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Cisalada Kecamatan Cigombong
Kabupaten Bogor Jawa Barat.Penelitian berlangsung dari September sampai
November 2014.
Materi
Responden dalam penelitian ini adalah ketua kelompok usaha peternakan
Cigombong dan 2orang anggota kelompoknya.Materi yang digunakan meliputi
kuisoner, kamera untuk dokumentasi, dan alat tulis.
Prosedur
Pemilihan Responden
Responden dipilih secara proposif sampling, yang terdiri dari ketua
kelompok usaha peternakan Cigombong dan dua anggota kelompok yang
mewakili anggota kelompok lainnya
3
Jenis dan Sumber Data
Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data primer dan
sekunder.Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari responden dengan
cara observasi, wawancara dengan menggunakan kuisoner, sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya (Afrillita 2013). Data sekunder diperoleh dari penelusuran studi
pustaka, data dari BMG, dan sumber lain yang valid, yang berhubungan dengan
penulisan proposal ini.
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis IFE-EFE, IE, SWOT,
dan deskriptif, kemudian data tersebutdisajikan dalam bentuk uraian dan tabulasi
angka berdasarkan hasil wawancara maupun data sekunder.
Analisis Matrik IFE (Internal Factor Evaluation) dan EFE (Eksternal Factor
Evaluation)
Matrik
diisi
berdasarkan
informasi
yang
diperoleh
dari
3responden.Berdasarkan informasi tersebut, diperoleh nilai rating, bobot, dan
skor.Nilai ratingdiperoleh dari seberapa besar pengaruh suatu faktor terhadap
keberhasilan usaha kelompok ternak ulat tepung Cigombong. Nilai bobot
diperolehdari tingkat kepentingan relatif dari faktor-faktor yang dimiliki usaha
kelompok ternak tersebut.
Nilai skor merupakan hasil perkalian dari nilai rating dengan bobot.Nilai
skor yang ada di faktor internal dan eksternal masing-masing akan dijumlahkan
sehingga diperoleh total skor IFE dan total skor EFE (David 2006).Contoh matrik
IFE-EFE dapat dilihat di Gambar 1.
Gambar 1Contoh matrik IFE-EFE
4
Analisis faktor internal berkaitan dengan kekuatan dan kelemahan usaha
kelompok ternak ulat hongkong Cigombong.David (2006) menyatakan bahwa alat
perumusan strategi ini mengevaluasi kekuatan dan kelemahan utama dalam
berbagai bidang fungsional suatu usaha.Analisis faktor eksternal berkaitan dengan
peluang dan ancaman dari usaha kelompok ternak tersebut.Analisis faktor
eksternal meringkas dan mengevaluasi informasi ekonomi, sosial, demografi,
lingkungan, teknologi dan persaingan.
Nilai rating faktor kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancamanberasal dari
rata-rata hasil wawancara yang diperoleh dari ketiga responden.Faktor kekuatan
berskala antara 3.00-4.00, sedangkan faktor kelemahan berskala antara 1.002.00.Nilai rating faktor peluang dan ancaman berskala antara 1.00-4.00.Nilai
rating digunakan untuk mendapatkan nilai skor (David 2006).
Nilai bobot faktor kekuatan,kelemahan, ancaman, dan peluang berasal dari
jumlah nilai bobot masing-masingfaktordari ketiga responden dibagi dengan
jumlah keseluruhan nilai bobot faktor yang diperoleh.Penjumlahan nilai bobot
dari faktor internal dengan faktor eksternal dipisah.Hasil penjumlahan bobot baik
dari faktor internal maupun faktor eksternal dapat dipastikan adalah 1.00.
Kolom skor diisi dengan mengalikan nilai rating dengan nilai bobot dari
setiap faktor yang ada.Nilai skor yang diperoleh baik pada faktor internal dan
faktor eksternal masing-masing akandijumlahkan, sehingga diperoleh nilai total
skor IFE dan nilai total skor EFE. Nilai total skor IFEdan IFE berkisar antara 1.00
sebagai titik terendah dan 4.00 sebagai titik tertinggi. Skor total IFE di bawah 2.50
berarti usaha lemah secara internal sedangkan skor di atas 2.50 berarti posisi
internal kuat.Skor total EFE di bawah 2.50 mengindikasikan bahwa suatu usaha
kurang mampu memanfaatkan peluang yang ada atau menghindari ancaman yang
muncul.Skor total EFE di atas 2.50 menandakan bahwa usaha mampu menarik
keuntungan dari peluang yang ada dan meminimalkan ancaman (David 2006).
Analisis Matrik IE (Internal External Matrix)
Matrik IE merupakan hasil penggabungan antara matrik EFE dan matrik
IFE.Matrik IE didasarkan pada total nilai IFE yang diberi bobot pada sumbu-x
dan total nilai EFE yang diberi bobot pada sumbu-y.Berdasarkan total nilai yang
dibobot dari setiap divisi, dapat disusun Matrik IE.Sumbu-x Matrik IE, yaitu total
nilai IFE dibobot dari 1.00 sampai 1.99 menunjukkan posisi internal yang lemah,
nilai 2.00 sampai 2.99 dianggap sedang, dan nilai 3.00 sampai 4.00 dianggap kuat,
sedangkan pada sumbu-y total nilai EFE yang diberi bobot dari 1.00 sampai 1.99
dianggap rendah, nilai 2.00 sampai 2.99 dianggap sedang, dan nilai 3.00 sampai
4.00 dianggap tinggi.
Matrik IE dibagi menjadi 3 bagian utama yang mempunyai dampak dan
strategi yang berbeda.Divisi dalam sel I, II, atau IV disebut tumbuh dan
membangun.Strategi intensif (penetrasi pasar, pengembangan pasar
ataupengembangan produk) atau integratif (integrasi ke belakang, integrasi
kedepan, integrasi horizontal) merupakan strategi yang tepat untuk divisidivisiini.Divisi yang masuk dalam sel III, V, atau VII paling baik dikelola dengan
strategi pertahankan dan pelihara.Strategi yang dilakukan adalah strategi penetrasi
pasar dan pengembangan produk.Divisi yang masuk dalam sel VI, VIII, atau IX
paling baik dikelola dengan strategi panen atau divestasi.Berikut adalah contoh
gambar matrik IE.
5
Gambar 2 Contoh tabel matrik IE
Analisis SWOT
Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk
merumuskan strategi pengembangan suatu usaha atau perusahaan.Menurut
Rangkuty (2006), hal-hal yang ditentukan dalam analisis SWOT adalah kekuatan
(strength), peluang (opportunity), kelemahan (weakness), dan ancaman (threats).
Setelah keempat faktor tersebut ditentukan, maka hasilnya dicantumkan ke dalam
sel yang ada di diagram matrik SWOT.Sel kekuatan (strength) diisi dengan
kekuatan usaha kelompok ternak ulat tepung.Sel peluang (opportunity) diisi
dengan hal-hal yang dapat menjadi peluang bagi usaha ternak ulat tepung.Sel
kelemahan (weakness) diisi dengan hal-hal yang menjadi kelemahan usaha ulat
tepung.Sel ancaman (threat) diisi dengan hal-hal yang dapat menjadi ancaman
bagi usaha ternak ulat tepung.
Kemungkinan alternatif strategi usaha ternak ulat tepungdirumuskan
berdasarkan pertimbangan kombinasi empat peluang faktor strategi yang terdiri
dari strategi SO, ST, WO, dan WT.Strategi SO (Strength-Opportunity) dibuat
berdasarkan satu jalan pikiran, dimana seluruh kekuatan ternak ulat tepung
digunakan agar peluang usaha dapat ditingkatkan (Santosa 2013).Strategi ST
(Strength-Threat) dimana ancaman usaha dihindari dengan cara kekuatan usaha
digunakan. Strategi WO (Weakness-Opportunity) dibuat dengan cara peluang
yang ada dimanfaatkan agar kelemahan usaha dapat diatasi. Strategi WT
(Weakness-Threat) didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan ditujukan
agar kelemahan yang ada dapat diminimalisir serta ancaman dapat dihindari.
Setelah faktor internal, faktor eksternal dan strategi SO, ST, WO, dan WT
ditentukan hasilnya dimasukkan ke dalam diagram matrik SWOT.Berikut adalah
contohmatrik SWOT.
6
Gambar 3 Contoh matrik SWOT
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Kelompok Peternak Ulat Tepung Cigombong
Peternakan ulat tepung yang diamati berada di Desa Cisalada Kecamatan
Cigombong.Kecamatan Cigombong berada 600m dari permukaan laut,terletak di
bagian selatan Bogor, dan termasuk daerah beriklim sangat basah.Data dari BMG
tahun 2013 menyebutkan bahwa daerah ini bercurah hujan sekitar 3000 sampai
5000 mm tahun-1 dengan rata-rata 3 500 mm tahun-1.Bulan basah terjadi dari
Oktober sampai Juni.Jumlah hari hujan rata-rata tahunan adalah 245 hari.Suhu
udara daerah ini berkisar antara 21.8 sampai 30.04oC dengan rata-rata suhu tahun-1
25.7oC.Kelembaban daerah ini berkisar 65% sampai 96%.
Peternakan ulat tepung Cigombong dimulai sekitar Oktober 2011.Peternak
mempelajari budidaya ulat tepung secara otodidak dan memulai usahanya dari
0.25 kg bibit yang dibeli dari sebuah toko pakan burung di Ciawi.Pembibitan terus
dilakukan dan pada masa panen satu kilogram bibit mampu menghasilkan 15 kg
ulat tepung siap jual.Produktivitas ini belum optimal, karena menurut Haryanto
(2013) satu kilogram ulat hongkong dapat menghasilkan 33.1 kg ulat siap jual.
Pada Desember 2011, jumlah ulat tepung yang diternakkan mencapai 200
kg yang dipelihara pada satu rak berukuran 2 m x 3 m yang terdiri atas 10
tingkat.Setiap tingkat berisi wadah pemeliharaan berupa kotak kardus besar
berukuran 60x50x20 cm yang bagian dalamnya dilapisi aluminium dan kotak
kardus kecil berukuran 50x50x20 cm. Kotak besar mampu menampung 3kg ulat
tepung, sedangkan kotak kecil mampu menampung 1kg ulat tepung.Peternak
mampu memanen 50 kg ulat tepung setiap bulan pada waktu itu.Menurut
Haryanto (2013) sistem perkandangan ini sudah baik, karena kandang yang baik
adalah kandang yang tertutup dan aman dari serangan hama.Tujuan pelapisan
wadah pemeliharaan dengan alumunium adalah agar tidak mudah ditembus hama.
Bangunan tempat budidaya terbuat dari tembok, sehingga kokoh dan terlindung
dan aman dari luar.
7
Permintaan pasar ternyata melebihi kapasitas produksi peternak, sehingga
peternak membentuk kelompok untuk dapat memenuhi permintaan pasar
tersebut.Pada Desember 2011 dibentuk kelompok peternak ulat tepung
Cigombong yang beranggota 20 orang dari masyarakat sekitar
Cigombong.Peternak awal bertindak sebagai ketua kelompok.Anggota kelompok
bergabung ke dalam kelompok atas inisiatif sendiri.
Anggota kelompok hanya mengurus tentang budidaya, sedangkan
pembibitan dilakukan oleh ketua kelompok.Anggota hanya boleh menjual hasil
produksi berupa larva berukuran sekitar 2.5 cm kepada ketua kelompok.
Anggota kelompok memproduksi ulat tepung yang kemudian dijual seharga Rp30
000 kg-1 pada ketua kelompok.Anggota hanya boleh membeli bibit dan media dari
ketua kelompok saja.Harga bibit (larva berumur 15 hari) Rp30000 kg-1 dan media
Rp4 000 kg-1.Ketua berperan sebagai penyedia bibit dan pengumpul, sedangkan
anggota berperan sebagai produsen larva siap jualdalam pola kerjasama.
Kelompok ini mampu memproduksi 600 kgulat tepung minggu-1.Hasil
produksi dipasarkan ke daerah Bogor dan sekitarnya.Kelompok ini bahkan pernah
memasarkan ke Jakarta ketika panen mencapai 1 ton.Prospek usaha budidaya ulat
tepung sangat baik, terbukti dari permintaan pasar yang belum dapat dipenuhi
oleh kelompok.
Ketua kelompok sendiri hingga Oktober 2013 telah mencapai kapasitas
budidaya 5 rak kandang yang mampu menampung 1 000 kotak pemeliharaan yang
menghasilkan 250 kg ulat tepung siap jual minggu-1. Ulat tepung yang dihasilkan
dipasarkan ke toko pakan burung di daerah Ciawi, Cicurug, dan Ciampea. Ulat
tepung dijual dengan harga Rp40 000 kg-1 sehingga peternak memperoleh
pendapatan mingguan sekitar 10 juta rupiah atau 40 juta rupiah bulan-1. Peternak
dibantu oleh 3 orang pegawai yang masing – masing diberi upah 1.5 juta rupiah
bulan-1 dalam proses produksi.
Prospek usaha ulat tepung yang tinggi, ternyata tidak menjamin
kelangsungan kelompok ini. BulanNovember 2013, tingkat kematian larva di
kelompok ternak Cigombong sangat tinggi.Menurut ketua kelompok peternak, itu
adalah awal dari kemunduran usaha mereka.Suhu yang rendah karena hujan terusmenerus membuat ulat tepung tidak mampu bertahan, sehingga banyak yang
mati.Akhirnya, pada Februari 2014 kelompok peternak ulat tepung Cigombong
mengalami kegagalan dan usaha kelompok tidak dilanjutkan lagi.
Analisis Matrik IFE (Internal Factor Evaluation) dan
EFE (External Factor Evaluation)
Analisis matrik IFE dan EFE menganalisis keadaan kelompok sewaktu
masih berjalan.Kelompok ternak ulat tepung Cigombong memiliki beberapa
faktor yang merupakan kekuatan dan kelemahan, yang dikaterogikan dalam faktor
internal (David 2006).Faktor yang menjadi kekuatan utama menurut responden
adalah kualitasulat tepung terjamin (skor 0.239),penjualan ke pasar mudah (skor
0.219), kontinuitas produksi (skor 0.199), dan komunikasi yang intensif di antara
anggota kelompok (skor 0.199) seperti yang disajikan pada Tabel 1. Semakin
tinggi nilai skor suatu faktor kekuatan, maka semakin penting dan besar pengaruh
faktor tersebut terhadap keberhasilan suatu usaha kelompok (Ginting 2006).
8
Kualitas ulat tepung yang dihasilkan kelompok terjamin (kekuatan 1) dapat
dilihat dari penampilan ulat tepung yang berwarna lebih terang, berukuran lebih
besar (dibanding hasil peternak lain pada umur yang sama), dan lebih lincah
(Haryanto 2013). Penjualan ke pasar mudah (kekuatan 2) karena kelompok ini
tidak memiliki saingan di daerah Bogor.Sebelum kelompok ini dibentuk, toko
pakan burung memperoleh ulat tepung dari Bandung.Kemudahan penjualan ke
pasar juga disebabkan lokasi usaha yang tidak jauh dari lokasi pemasaran
(kekuatan 5).Kontinuitas produksi (kekuatan 3) menjadi kekuatan utama karena
kelompok mampu memenuhipermintaan secara konsisten (Asba 2006).Curah
hujan yang tinggi menyebabkan kelembaban daerah Cigombong naik dan suhunya
rendah (Setiawan 2011)sehingga dapat menurunkan produktivitas ulat tepung,
namun karena usaha ini berbentuk kelompok (kekuatan 8), permintaan pasar tetap
dapat dipenuhi.Komunikasi yang intensif dalam anggota kelompok (kekuatan 4)
menimbulkan pertukaran informasi baik mengenai tehnik budidaya yang baik dan
solusi terhadap suatu masalah budidaya. Pertukaran informasi ini selain
menambah pengetahuan anggota kelompok juga menjadikan kelompok lebih
kuat(Gusliza 2013).
Kekuatan usaha adalah hal-hal yang menjadikan suatu usaha unggul
daripada pesaing atau usaha lainnya.Kelemahan usaha adalah sesuatu yang dapat
menurunkan nilai suatu usaha sehingga menimbulkan hal-hal yang tidak
diinginkan seperti kerugian (Rangkuty 2006).
Kelemahan utama kelompok ini di antaranya adalah terkendala di
pengiriman jarak jauh (skor 0.035),harga tergantung pasar (skor 0.045),dan
inbreeding (skor 0.045).Semakin rendah nilai skor suatu faktor kelemahan, maka
semakin penting dan besar pengaruh faktor tersebut terhadap kegagalan (David
2006).
Pengiriman jarak jauh(kelemahan 1) menjadi kelemahan utama karena
peternak berencana melakukan ekspansi pemasaran keluar provinsi setelah
memenuhi permintaan pasar Bogor.Pengiriman jarak jauh memerlukan
penanganan khusus karena ulat tepung mudah stress dan mati karena sensitif
terhadap perubahan suhu dan kelembaban (Favero 2013). Peternak belum
menemukan bentuk pengemasan yang aman agar tingkat kematian saat
pengiriman rendah.Harga ditentukan oleh pasar (kelemahan 2) biasanya
mengindikasikan bahwa toko pakan memiliki pemasok ulat tepung lainnya
(Daljono 2005).Pernyataan ini bertentangan dengan faktor kekuatan nomor 2,
yaitu penjualan ke pasar mudah yang mengindikasikan suplai lebih rendah dari
permintaan.Kedua faktor yang bertentangan ini menunjukkan bahwa posisi
peternak yang lemah dalam penentuan harga.Posisi penentuan harga dapat
ditentukan oleh kemampuan bernegosiasi (Evelina 2013).
Peternak mempelajari teknik budidaya ulat tepung secara otodidak.Peternak
belum mengetahui teknik pembibitan yang benar sehingga terjadi inbreeding
(kelemahan 3).Inbreeding di peternakan ini berdampak juga pada penurunan
produktivitas (kelemahan 5). Menurut Suryo (1997), inbreeding adalah
perkawinan dua individu yang memiliki hubungan keluargadekat. Inbreeding
mengarah pada penurunan kemampuan untuk menghasilkan keturunan yang baik,
yang berarti kehilangan sifat unggul dari tetuanya seperti penurunan fertilitas dan
resistensi terhadap penyakit tertentu, sehingga daya hidup menurun.Inbreeding
yang terjadi mengindikasikan bahwa SOP pembibitan tidak ada dalam usaha
9
ternak ulat hongkong kelompok ini (kelemahan 7). SOP sangat dibutuhkan dalam
manajemen usaha yang baik (Handoko 2013), terutama apabila SDM belum
berpengalaman (kelemahan 12). Produktivitas yang rendah (kelemahan 5)
terjadikarena cuaca daerah Cigombong yang tidak mendukung.Cuaca daerah
Cigombong yang dingin dan lembab mengakibatkan siklus hidup ulat tepung
bertambah panjang bahkan mortalitas tinggi (Borror et al. 1982).
Total skor bobot yang diperoleh dari matrik IFE sebesar 2.407menunjukkan
bahwa kondisi kelompok lemah secara internal (David 2006).Hal ini
mengindikasikan bahwa kelemahan yang dimiliki belum dapat diatasi oleh
kekuatan.Hasil analisis matrik IFE dan EFE dipaparkan di dalam Tabel 1.
No.
Tabel 1 Analisis matrik IFE-EFE
Faktor
Rating
Bobot
Skor
A. Internal
A.1 Kekuatan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Kualitas ulat tepung yang
dipasarkan terjamin
Penjualan ke pasar mudah
Kontinuitas produksi
Komunikasi yang intensif di
antara anggota kelompok
Lokasi tempat dilakukannya
usaha strategis untuk
penjualan
Modal untuk memulai usaha
ini cukup murah
Harga produk bersaing
Memiliki kelompok peternak
Adanya pembukuan atau
pencatatan laporan keuangan
A.2 Kelemahan
Terkendala dalam pengiriman
jarak jauh
Harga tergantung pasar
Inbreeding
Modal peternak terbatas
Produktivitas rendah
Tidak menjual produk ulat
tepung lainnya, hanya ulat
tepung saja
Tidak ada SOP
Lahan bukan milik sendiri
Lokasi kurang strategis untuk
budidaya
Media hanya dapat diperoleh
4.00
0.060
0.239
4.00
4.00
4.00
0.055
0.050
0.050
0.219
0.199
0.199
3.30
0.060
0.197
3.63
0.050
0.181
3.63
4.00
3.00
0.050
0.040
0.035
0.181
0.159
0.104
1.00
0.035
0.035
1.00
1.00
1.00
1.00
1.58
0.045
0.045
0.050
0.050
0.035
0.045
0.045
0.050
0.050
0.055
1.58
1.00
1.25
0.035
0.060
0.055
0.055
0.060
0.068
1.58
0.050
0.079
10
11
12
dari satu agen saja
Pegawai belum berpengalaman
Promosi masih minim
Jumlah
Eksternal
B
B.1 Peluang
Dukungan dari masyarakat
1
sekitar
2
Banyaknya permintaan dari
pasar
3
Skala usaha masih dapat
dikembangkan
4
Paradigma ulat tepung sebagai
pakan berprotein tinggi
5
Pengembangan variasi produk
(media, frass)
6
Pelaku usaha masihsedikit
7
Perkembangan dalam bidang
teknologi informasi
1
2
3
4
5
6
7
B.2 Ancaman
Curah hujan tinggi di daerah
Cigombong yang berdampak
buruk pada ulat tepung
Serangan hama
Naiknya harga media
Fluktuasi harga ulat tepung
tergantung ketersediaannya di
pasar
Saingan peternak ulat tepung
dari luar daerah
Persaingan untuk memperoleh
pakan dengan petani
Semakin banyaknya pakan
komersil burung
Jumlah
2.00
2.00
0.090
0.100
Rating
0.045
0.050
1
Bobot
2.407
Skor
4.00
0.076
0.303
3.63
0.083
0.303
2.88
0.076
0.218
2.28
0.061
0.138
1.81
0.076
0.137
2.28
1.58
0.053
0.045
0.121
0.072
4.00
0.091
0.364
4.00
3.63
2.88
0.091
0.083
0.076
0.364
0.303
0.218
2.88
0.068
0.196
2.88
0.061
0.174
2.28
0.061
0.138
1
3.048
Faktor eksternal di usaha kelompok ini terdiri atas 7 faktor peluang dan 7
faktor ancaman. Menurut Wibowo (2009), analisis eksternal mencakup peluang
dan ancaman dari suatu usaha.Peluang usaha bisa diperoleh dengan cara
mengandalkan suatu potensi usaha seperti waktu dan kondisi yang ada. Ancaman
usaha merupakan pengganggu utama bagi posisi perusahaan atau hal - hal yang
ingin dihindari oleh perusahaan.
Tabel 1menunjukkan peluang utama dari usaha ini adalah dukungan dari
masyarakat sekitar (skor 0.303).Menurut Herdiyanti (2013), dukungan masyarakat
sekitar (peluang 1) terhadap suatu usaha penting dalam kelancaran usaha. Sebuah
11
usaha tidak akan berjalan dengan baik apabila ditentang oleh masyarakat.
Masyarakat kecamatan Cigombong menunjukkan respon positif terhadap usaha
ternak ulat tepung dengan bergabung dalamkelompok ternak ulat tepung.Menurut
ketua kelompok ternak, permintaan ulat tepung yang tinggi dari pasar (peluang 2)
dan pelaku usaha yang masih sedikit (peluang 6) menjadi daya tarikterhadap
masyarakat untuk berkecimpung dalam usaha ternak ini.Bertambahnya jumlah
peternak berpeluang untuk meningkatkan popularitas ulat tepung di masyarakat,
yang mana hal ini dapat menjadi promosi (peluang 7) dan membuka peluang
untukmemperbesar skala usaha (peluang 3).
Ancaman utama padakelompokini adalah curah hujan yang tinggi (skor
0.364) dan mengakibatkan usaha ini terhenti pada Februari 2014.Data BMG
menunjukkan bahwa rata-rata curah hujan bulanan daerah Cigombong dari
November 2013 sampai Januari 2014 tinggi, yaitu 400 mm. Curah hujan rata-rata
tahun 2013 sendiri sangat tinggi yaitu 3481 mm, dibandingkan tahun 2011 dan
2012 yang lebih rendah yaitu 2327 mm dan 2702 mm atau 195 mm bulan -1 dan
225 mm bulan-1. Curah hujan yang tinggi dari November2013 sampai Januari
2014 membuat suhu udara di daerah Cigombong menjadi rendah (< 25 oC),
sehingga memperlambat pertumbuhan ulat tepung, bahkan mematikannya (Lang
2009). Menurut Borror et al. (1982), ulat tepung mampu bertahan hidup pada
rentang suhu 25 sampai 27 oC dengan suhu optimal untuk pertumbuhan 26 oC.
Kelompok peternak berusaha mengatasi hal ini dengan menutup rak kandang ulat
tepung menggunakan plastik, denganharapan dapat meningkatkan suhu kandang,
namuncara tersebut tidak berhasil. Bahkan, populasi ulat tepung di beberapa
anggota lebih dulu habis daripada populasi milik ketua kelompok.Keadaan suhu
ruang yang rendah dapat diatasi dengan memasang lampu-lampu penghangat agar
kondisi kandang tetap ideal bagi ulat tepung (Haryanto 2013).
Faktor ancaman selanjutnya adalah serangan hama (skor 0.364). Hama yang
menyerang peternakan ulat tepung adalah semut, tikus, dan cicak.Namun, dalam
penelitian ini hama yang paling sulit diatasi adalah ulat kandang. Ulat kandang
dapat menjadi lebih dominan karena kondisi suhu dan kelembaban lebih
mendukung pertumbuhan ulat kandang dibandingkan ulat tepung.Ulat kandang
mampu bertahan hidup pada rentang suhu 20 sampai 38oC (Rueda dan Axtell
1996) dan pada kelembaban 0-100% (Salin 1998),sementara menurut Borror
(1982) ulat tepung hanya mampu berkembangbiak secara optimal antara suhu 25
sampai 27oC dan pada kelembaban 20-90%. Suhu melebihi atau kurang dari
rentang tersebut akan mengakibatkan aktivitas biologis ulat tepung melambat,
sehingga ulat kandangpada kondisi ini memenangkan persaingan perolehan
makanan dengan ulat tepung.Hal ini membuat produktivitas ulat tepung menurun.
Ulat kandang sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk menambah keuntungan,
karena biasa digunakan untuk pakan ikan dan burung samaseperti halnya ulat
tepung (Salin 1998).
Tempat atau bangunan peternakan ulat tepung diusahakan terbuat secara
permanen atau terbuat dari tembok sekelilingnya. Hal ini berujuan agar terhindar
dari tikus atau hama semut(Haryanto 2013).Ulat kandang dapat diatasi dengan
menutup kotak media pembesaran dengan daun waru gombong yang sudah
kering.Tujuannya adalah untuk mengalihkan sasaran ulat kandang agar tidak
merusak pertumbuhan ulat tepung. Selain itu, kaki-kaki rangka kandang sebaiknya
diberi oli atau obat serangga agar hamatidak menjalar ke kandang.
12
Ancaman utama ketigapada usaha ternak ini adalah kenaikan harga media
(skor 0.303).Harga media dedak gandum yang digunakan para peternak ulat
tepung Cigombong naik dua kali lipat dari Rp2 000 menjadi Rp4 000kg-1.Menurut
ketua kelompok, hal ini sangat memberatkan mereka dan membuat biaya produksi
menjadi semakin mahal, sementara perubahan harga ulat tepung ditentukan oleh
ketersediannya di pasar (ancaman 4).
Total skor bobot yang diperoleh dari matrik EFE sebesar 3.048menunjukkan
bahwa kondisi usaha kelompok ternak ulat tepung Cigombong kuat secara
eksternal (David 2006) atau mampu merespon secara baik terhadap peluang dan
ancaman dalam usaha.Usaha ini dapat dikatakan mampu menarik keuntungan dari
peluang dan menghindari ancaman.Jika dihubungkan dengan total skor bobot IFE
yang bernilai 2.407, hal ini menunjukkan bahwa usaha kelompok ternak
Cigombong rentan atau tidak memiliki kekuatan internal yang mampu mengatasi
atau memanfaatkan perubahan eksternal.
Analisis Matrik I-E (Internal – Eksternal)
Total skor IFE2.407berarti usaha berada di posisi sedang, sedangkan total
skor EFE 3.048 berarti usaha berada di posisi kuatdalam matrik I-E.Dilihat dari
matrik I-E kombinasi tersebut berada di kuadran ke II, yaitu tumbuh dan
membangun (Growth & Build), seperti yang disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4 Matrik I-E peternakan ulat tepung Cigombong
Usaha ternak berada di posisi ini karena nilai skor IFE yang diperoleh masih
berada pada posisi sedang.Usaha ini dapatmencapai kuadran I apabila peternak
memperbaiki kondisi internal usaha, terutama kendala dalam pengiriman jarak
jauh, harga yang tergantung pasar dan inbreeding.Sebaiknya, untuk melindungi
ulat tepung dalam perjalanan jarak jauh, alat transportasi dilengkapi dengan
13
pengatur suhu, namun peternak Cigombong belum bisa mengadakan hal tersebut
karena keterbatasan biaya.Harga yang tergantung pasar dapat diatasi dengan
meningkatkan kemampuan negosiasi harga dari peternak (Evelina
2013).Kelompok ini sebenarnya bisa mengatur harga karena mereka adalah satusatunya produsen ulat tepung di kawasan Bogor. Ketua kelompok ternak
melakukan pencampuran bibit dengan bibit dari luar daerah untuk mengatasi
inbreeding, namun cara ini tetap tidak efektif. Inbreeding dapat dicegah dengan
memisahkan pupa dari tiap wadah ke wadah yang baru, sehingga ketika pupa
berkembang menjadi kumbang dia akanmengawini kumbang lain dari wadah yang
berbeda.
Strategi yang dapat digunakan adalah strategi integratif (integrasi ke
belakang, integrasi ke depan dan integrasi horizontal) atau strategi intensif
(penetrasi pasar, pengembangan pasar dan pengembangan produk).Menurut David
(2006), integrasi ke depan adalah meningkatkan kendali usaha terhadap pasar.
Integrasi ke depan yang dapat dilakukan adalah menentukan harga ulat tepung,
namun kelompok ternak ini belum melakukannya karena kemampuan negosiasi
yang rendah.Integrasi ke belakang adalah meningkatkan kendali atas pemasok
(David 2006).Menurut ketua kelompok ternak, ketika terjadi kekurangan produksi,
ulat tepung dipasok dari Bandung.Kualitas ulat tepung yang dihasilkan pemasok
harus diperhatikan.Peternak harus menyeleksi pemasok agar ulat tepung yang
dijual bermutu baik.Integrasi horizontal adalah meningkatkan efisiensi usaha agar
dapat mengalahkan pesaing (David 2006).Efisiensi terbagi atas efisiensi ekonomis
dan efisiensi teknis (Darwanto 2010).Secara ekonomis, usaha ini tidak memiliki
kendala.Peternak ulat tepung tidak memiliki saingan di Bogorsehingga mampu
menghasilkan 40 juta rupiahbulan-1.Namun, untuk teknis masih belum maksimal
karena produktivitas yang rendah dan terjadinya inbreeding.Untuk mencapai
efisiensi teknis, produktivitas rendah dan inbreeding harus dapat diatasi.
Penetrasi pasar adalah peningkatan daya jual ke pasar (David 2006).Ketua
kelompok ternak ulat tepung Cigombong memiliki tiga orang pegawai.Menurut
ketua kelompok ternak, ketiga pegawai ini bekerja dengan baik, namun jumlah
pegawai dapat ditambah untuk meningkatkan tenaga penjualan.Pengembangan
pasar adalah mengenalkan produk ke wilayah baru (David 2006).Menurut
kelompok ini permintaan ulat tepung sudah tinggi, oleh karena itu tiduk
diperlukan adanya promosi.Namun, sebaiknya promosi tetap dilakukan untuk
memperluas jangkauan pemasaran.Pengembangan produk adalah upaya
peningkatan penjualan dengan memperbaiki atau memodifikasi produk (David
2006).Pengembangan yang dapat dilakukan adalah dengan menjual frass (kulit
ulat tepung) yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk.Ketua kelompok ternak ulat
tepung sudah merencanakan hal ini, namun terkendala dalam hal modal.
Analisis Matrik SWOT
Strategi yang diperoleh dari hasil posisi analisis I-E dapat dikembangkan
menjadi strategi yang lebih spesifik, yang mempertimbangkan faktor-faktor
internal dan eksternal usaha.Penyusunan strategi ini lebih dikenal sebagai analisis
SWOT (David 2006). Analisis SWOT pada penelitian ini menghasilkan 2 strategi
SO, 3 strategi ST, 4 strategi WO, dan 3 strategi WT.Strategi dari hasil analisis
14
SWOT pada usaha peternakan ulat tepung Cigombong ditampilkan pada Gambar
5.
Gambar 5 Matrik SWOT
Strategi SO yang pertama adalah mempertahankan kualitas dan menambah
daya jual dari sebelum gagal. Strategi ini mencakup strategi integrasi ke depan
dan penetrasi pasar. Dilihat dari sudut pandang strategi integrasi ke depan,
strategi ini dapat dilakukan dengan menjaga kualitas (S1) dan kontinuitas
produksi(S3) ulat tepung. Artinya, ulat tepung yang dipasarkan konsisten
berkualitas baik dan disiplin dalam waktu pemasaran.Kualitas ulat tepung dapat
15
dijaga dengan cara mencegah inbreedingyang merupakan masalah penyebab
penurunan produktivitas ulat tepung pada waktu yang lalu dan memasang alat
pengatur suhu agar tetap pada suhu yang optimal untuk perkembangbiakan ulat
tepung. Menurut Haryanto (2013), ciri ulat tepung yang bermutu baik adalah
kulitnya mengkilap, bergerak lincah, dan panjangnya lebih dari 2.5cm. Strategi
ini didukung oleh penjualan ke pasar yang mudah (S2) karena pelaku usaha masih
sedikit (O6).Banyaknya permintaan dari pasar (O2) dan dukungan dari
masyarakat sekitar (O1) membuka potensi usaha kelompok ternak ini untuk
memulai usaha baru dengan skala yang lebih besar.Pengembangan skala usaha
(O3) yang dapat dilakukan adalah pembesaran bangunan tempat budidaya dan
menambah jumlah rak kandang yang dimiliki agar mampu memproduksi ulat
tepung dalam skala yang lebih besar.Dilihat dari masa panen yang cepat dan
keuntungan yang berlipat, hal ini bukan tidak mungkin untuk dapat dilakukan
(Haryanto 2013).Dilihat dari sudut pandang penetrasi pasar, strategi ini didukung
oleh lokasi usaha yang strategis untuk penjualan (S5) karena terletak di antara
daerah Bogor dan Sukabumi sehingga memudahkan pemasaran.Promosi ke tokotoko pakan burung yang belum menjadi pelanggan di daerah pemasaran juga
harus ditingkatkan untuk menambah daya jual (O7).
Strategi SO yang kedua termasuk dalam pengembangan pasar, yaitu
memperluas jangkauan pemasaran. Dilihat dari kekuatan usaha ternak ulattepung
yang berkualitas (S1) dan kontinuitas produksi (S3) baik, modal yang cukup
murah (S6) untuk melakukan usaha, penjualan yang mudah (S2) serta harga ulat
tepung yang bersaing (S7), sangat memungkinkan kelompok ternak ini untuk
melakukan ekspansi ke daerah baru. Skala usaha harus ditingkatkan dari waktu
sebelum gagal untuk dapat memenuhi pasar di daerah baru.Menurut ketua
kelompok ternak, permintaan ulat tepung dari luar daerah Bogor cukup tinggi
(O2) dan pelaku usaha masih sedikit (O6) sehingga mendukung untuk
dilakukannya perluasan jangkauan pemasaran.Promosi untuk mengenalkan usaha
ulat tepung ke masyarakat yang lebih luas dapat dilakukan dengan caramemasang
iklan di media cetak, suara, dan internet (O7).
Strategi ST yang pertama termasuk dalam strategi integrasi ke depan yaitu
mempertahankan kualitas dan menambah daya jual yang lebih tinggi dari sebelum
gagal. Tingginya curah hujan daerah Cigombong (T1) dan serangan hama (T2)
dapat diatasi dengan membuat kandang yang nyaman dan optimal sebagai tempat
hidup ulat tepung, namun tidak nyaman bagi hama. Harga ulat tepung yang
bersaing (S7), modal yang cukup murah(S6),dan kontinuitas produksi (S3) dapat
dimanfaatkan untuk pengadaan fasilitas pengatur suhu dan pencegah hama.
Kenaikan harga ulat tepung pada musim panas dapat dimanfaatkan usaha
kelompok ternak Cigombong jika ancaman suhu rendah pada musim hujan dapat
diatasi.Persaingan dengan peternak lain dapat diatasi dengan cara menjaga
kualitas (S1) dan kontinuitas produksi ulat tepung.
Strategi ST yang kedua termasuk dalam strategi horizontal, yaitu
memperkuat kelompok.Komunikasi antar anggota kelompok sudah cukup baik,
namun intensitasnya perlu lebih ditingkatkan lagi.Cara yang dapat dilakukan
untuk memperkuat kelompok adalah mempertahankan pertemuan rutin dengan
seluruh anggota agar bisa berbagi ilmu, informasi, dan merencanakan inovasi
maupun hal lainnya terkait usaha peternakan ulat tepung.Transparansi diterapkan
agar menimbulkan kenyamanan bagi anggota kelompok (Gusliza 2013).Kuatnya
16
kelompok diharapkan dapat menjadi pondasi untuk menyokong kekuatan usaha
(S1,S2,S3,S4,S5,S6),sehingga dapat memenangkan persaingan dengan peternak
ulat tepung yang lain (T5).
Strategi ST yang ketiga termasuk dalam strategi pengembangan pasar yaitu
memperluas jangkauan pemasaran.Kontinuitas produksi (S3) ulat tepung bermutu
tinggi (S1) yang dihasilkan kelompok ternak (S8) ini dapat mengatasi masalah
pesaing (T5) ketika melakukan ekspansi ke daerah baru.Modal yang murah (S6)
untuk memulai usaha juga mendukung strategi ini untuk dilakukan.
Strategi WO yang pertama termasuk dalam strategi integrasi ke depan, yaitu
meningkatkan kemampuan bernegosiasi, khususnya dalam penentuan harga ulat
tepung di pasar (W2). Sebagai produsen utama ulat tepung di kawasan Bogor,
kelompok ini seharusnya dapat mengatur harga di daerah tersebut karena pelaku
usaha masih sedikit (O6) dan permintaan pasar tinggi (O2).Sebelum gagal,
penghasilan kelompok ini cukup besar.Seharusnya, dengan penghasilan yang
besar tersebut peternak tidak lagi berpikir secara tradisional karena adanya
perkembangan dalam bidang teknologi informasi (O7). Kemampuan negosiasi
dapat ditingkatkan dengan mengikuti pelatihan negosiasi, membaca bukutentang
cara bernegosiasi yang baik dan belajar dari orang yang ahli dalam bidang
negosiasi (Evelina 2013).
Strategi WO yang kedua termasuk ke dalam strategi integrasi ke belakang
yaitu mengembangkan kemitraan dengan beberapa agen untuk penyedia
media.Banyaknya permintaan ulat tepung dari pasar (O2) menuntut produktivitas
yang tinggi.Produktivitas sendiri sangat ditentukan oleh ketersediaan
media.Kelompok ini hanya memiliki satu mitra dalam hal media, yaitu Bogasari
(W10).Perkembangan teknologi informasi (O7) dapat dimanfaatkan kelompok
usaha ternak ini untuk memperoleh pemasok media lainnya atau media alternatif
(Deanie et al. 1999).Media alternatif yang dapat digunakan adalah onggok
(Haryanto 2013), yang harganya lebih murah yaitu Rp2 300 kg-1 dan
ketersediannya banyakdidaerah Bogor danSukabumi.
Strategi WO yang ketiga termasuk dalam penetrasi pasar dan
pengembangan pasar yaitu meningkatkan efisiensi teknis usaha.Strategi penetrasi
pasar membutuhkan peningkatan daya jual, sehingga produktivitas harus
ditingkatkan dari sebelum gagal (W5) melalui perbaikan efisiensi teknis
usaha.Perbaikan ini dapat diupayakan melalui pembuatan SOP (W7) yang sesuai
dengan lokasi usaha (W9). Pegawai (W11) sebaiknya dipilih orang yang
berpengalaman dalam menangani ulat tepung, sehingga mampu beradaptasi
dengan cepat dan mengetahui solusi jika terjadi masalah selama proses budidaya
dan ekspansi. Apabila strategi pengembangan pasar dilakukan, maka produktivitas
kelompok harus ditingkatkan melalui efisiensi teknis sejalan dengan strategi
penetrasi pasar.Strategi ini terkendala di pengiriman jarak jauh (W1), karena ulat
tepung rentan terhadap perubahan suhu dan kelembaban (Borror et al.
1982).Kendaraan yang memiliki pengatur suhu dan kelembabanperlu diadakan
untuk melindungi ulat tepung selama pengiriman(Lang 2009), sehingga kelompok
ternak dapat memperluas jangkauan pemasarannya.Perkembangan teknologi
informasi (O7) dapat dimanfaatkan untuk melakukan promosi (W12) sehingga
daya jual meningkat.
Strategi WO yang keempat termasuk dalam strategi pengembangan produk,
yaitu mengembangkan produk ikutan ulat tepung. Kelompok hanya menjual ulat
17
tepung saja (W6), meskipun peluang untuk menjual hasil ikutan ulat tepung (O5)
terbuka lebar.Produk ikutan dari ulat tepung yang dapat dimanfaatkan adalah sisa
ganti kulit dan kotoran.Limbah tersebut dapat digunakan untuk pakan ikan, juga
dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik(Budiutami 2012).Hasil survey pasar
menunjukkan bahwa harga limbah seribu enam ratus rupiah kilo -1.
Strategi WT yang pertama termasuk dalam strategi integrasi ke depan, yaitu
meningkatkan kemampuan negosiasi. Peningkatan kemampuan dalam
bernegosiasi diharapkan dapat memperkuat posisi peternak dalam tawar-menawar
harga dengan penyedia media (T3, T6, W10) maupun pelanggan (W2, T5),
sehingga dapat mencegah fluktuasi harga (T4), mengatasi pesaing (T5), dan
meningkatkan keuntunganbagi peternak.Kemampuan negosiasi dapat ditingkatkan
dengan belajar ke perguruan tinggi dan membaca artikel tentang negosiasi(Evelina
2013).
Strategi WT yang kedua termasuk dalam strategi horizontal, yaitu
mengembangkan kemitraan dalam bidang pendanaan.Peternak ulat tepung
Cigombong terkendala dalam hal modal (W4), kenaikan harga media (T3)
produktivitas yang rendah (W5),saingan dari luar daerah (T5),dan lahan yang
digunakan untuk budidaya masih terikat kontrak (W8). Hal-halini dapat diatasi
jika kelompok mengajukan permohonan bantuan dana pada pemerintah atau
meminjam dana dari bank atau instansi lain.Kemudahan dalam mendapatkan
pendanaan memerlukan bentuk dan struktur organisasi yang lebih solid, misalnya
dalam bentuk koperasi dan UMKM (Rahmatika 2011).
Strategi WT yang ketigamencakup integrasi ke belakang, penetrasi pasar,
dan pengembangan pasaryaitu meningkatkan efisiensi teknis usaha.Strategi
integrasi ke belakang juga disarankan dalam strategi WO ketiga, namun dalam
strategi WT lebih ditekankan pada peningkatan efisiensi usaha melalui
pengurangan biaya input. Hal ini dilakukan dengan mencari pemasok media baru,
untuk mengatasi monopoli pemasok (W10),dan menghindari kenaikan harga
media (T3). Penetrasi pasar juga dilaksanakan pada strategi WO ketiga, tetapi
strategi WT lebih menekankan pada memperkecil pengaruh lokasi yang bercurah
hujan tinggi (W9, T1) dan serangan hama (T2).Strategi ini dapat dijalankan
dengan cara membuat tipe kandang dengan mikroklimat yang optimal.
Pengembangan pasar dilakukan juga dalam strategi SO kedua, ST ketiga, dan
WO ketiga, namun pada strategi ini penekanan lebih dititikberatkanuntuk
meningkatkan efisiensi teknis dengan mengatasi kelemahan di bidang modal (W1,
W4), tehnik usaha (W5), dan promosi (W12)sehingga dapat menghindari fluktuasi
harga (T4), masalah mikroklimat (T1, T2), dan saingan (T5).Semua strategi ini
dapat dijalankan apabila peternak memutuskan untuk membangun usahanya
kembali.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Kelompok usaha ternak ulat tepung berada pada posisi tumbuh dan
membangun (kuadran II) sebelum gagal.Faktor kegagalan usaha disebabkan oleh
18
faktor kelemahan yang dimiliki, terutama modal dan teknis usaha.Strategi yang
disarankan adalah mempertahankan kualitas dan menambah daya jual,
memperluas jangkauan pemasaran, memperkuat kelompok, meningkatkan
kemampuan negosiasi, mengembangkan kemitraan, meningkatkan efisiensi teknis
usaha, dan mengembangkan produk ikutan ulat tepung.
Saran
Agar usaha kelompok ini dapat berjalan kembali, disarankan mendahulukan
strategi WO (mengatasi kelemahan agar dapat memanfaatkan peluang) dan WT
(mengatasi kelemahan dan menghindari ancaman).
DAFTAR PUSTAKA
Aguilar-Miranda ED, Lopez MG, Escamilla-Santana C, Delarosa BAP. 2002.
Characteristic of maize flour tortilla supplemented with ground Tenebrio
molitor larvae. Food Chem(1):192-195.
Afrillita N. 2013. Analsisis SWOT dalam menentukan strategi pemasaran sepeda
motor pada PT. Samekarindo Indah di Samarinda.J AdmBis(1):9-17.
Asba AR. 2006. Integrasi ekspor kopra Makassar di antara kontinuitas dan
diskontinuitas.Sos Hum(10):58-69.
Borror DJ, DeLong DM, Triplehorn CH. 1982. Pengenalan Pelajaran Serangga.
Edisi ke-6. Terjemahan: Partosoedjono, S. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada
University Press.
Budiutami A, Sari NK, Priyanto S. 2012. Optimasi proses ekstraksi kitin menjadi
kitosan dari limbah kulit ulat tepung (Tenebrio molitor).Teknol Kim
Indust(1):46-53.
Damayanti LP. 2013. Analisis kebangkrutan Eastman Kodak Corporation
[skripsi]. Jakarta (ID): Universitas Negeri Jakarta.
Darwanto. 2010. Analisis efisiensi usahatani padi di Jawa Tengah (Penerapan
Analisis Frontier).J Org Man(6):46-57.
Daljono.2005. Akuntansi Biaya Penentuan Harga Pokok dan Pengendalian.Edisi
ke-2 cetakan ke-2. Semarang (ID): Badan Penerbit Undip.
David FR. 2006. Manajemen Strategis, Edisi Sepuluh. Jakarta (ID): PT. Salemba
Empat.
Deanie F, Sandy R, Steve B. 1999. Internet Based Learning: An Introduction and
Framework for Higher Education and Business. Canada (CA): Kogan
Page Limited.
Despins JL, Turner EC, Pleifer DG, 1991.Evaluation of methods to protect
poultry house insulation from infestation by lesser mealworm
(Coleoptera: Tenebrionidae). J Stored Prod Res(28):189-194.
Evelina L.2013.Pentingnya keterampilan berkomunikasi dalam lobi dan
negosiasi.J Komunikol(1):48-57.
19
Favero K. 2013. Tenebrio molitor (Coleoptera: Tenebrionidae) as an alternative
host for parasitoid Trichospilus diatraeae (Hymnenoptera: Eulophidae).
Revista Colombiana de Entomologia(39):47-48.
Ghaly AE. 2009. Theyellow mealworm as a novel so
(Tenebrio molitor) DI DESA CISALADA, KECAMATAN
CIGOMBONG, KABUPATEN BOGOR
ADI GUNA WIRATA
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudulEvaluasi Usaha
Peternakan Ulat tepung (Tenebrio molitor) di Desa Cisalada, Kecamatan
Cigombong, Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, April 2015
Adi Guna Wirata
NIM D14100104
ABSTRAK
ADI GUNA WIRATA. Evaluasi Usaha Peternakan Ulat tepung (Tenebrio
molitor) di Desa Cisalada, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor.Dibimbing
oleh YUNI CAHYA ENDRAWATI dan HOTNIDA C.H SIREGAR.
Budidayaulat hongkong atau ulat tepung (Tenebrio molitor) sangat
prospektif, namun keberhasilannya dipengaruhi oleh faktor internal dan
eksternal.Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi peternakan ulat tepung yang
gagal di Desa Cisalada, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor.Penelitian
dilakukan dari September sampai November 2014.Data mencakup faktor internal
dan eksternal yang digunakan untuk analisisIFE-EFE.Posisi peternakan
diidentifikasi dengan analisis IE.Strategi yang tepat untuk usaha diformulasi
melalui analisis SWOT.
Hasil evaluasimenunjukkan bahwa faktor kegagalan usaha disebabkan oleh
faktor kelemahan, terutama modal dan manajemen budidaya.Usaha sebelum gagal
berada pada posisi tumbuh dan membangun (kuadran II).Strategi yang disarankan
adalah mempertahankan kualitas dan menambah daya jual, memperluas jangkauan
pemasaran, memperkuat kelompok, meningkatkan kemampuan negosiasi,
mengembangkan kemitraan, meningkatkan efisiensi teknis usaha dan
mengembangkan produk ikutan ulat tepung
Kata kunci: analisis IE, analisis IFE-EFE, analisis SWOT, ulat tepung
ABSTRACT
ADI GUNA WIRATA. Evaluation of Mealworm Farm Business InCisalada
Village, Cigombong Sub-district, Bogor. Supervised by YUNI CAHYA
ENDRAWATI and HOTNIDA C.H SIREGAR.
Mealworm (Tenebrio molitor) breeding is a promising business, butthe
success of this business still affected by internal and external factors. The purpose
of this research was to evaluate a failure mealworm business in Cisalada village,
Cigombong sub-district, Bogor. The research was conducted from Septemberto
November 2014. Data include were internal and external factors for IFE-EFE
analysis. IE analysiswas used to identify business position while SWOT
analysisformulated alternative strategies for this business.
The failure caused by business weakness, especially in lack of capital and
rearing management. Before the failure, this business was in growth and build
position(quadrant II). Suggested strategies were to maintain mealworm quality
and marketability, market improve, strengthen the group, negotiation skills
improve, build partnership, technical efficiency improve, and develop mealworm
byproduct.
Key words: IE analysis, IFE-EFE analysis, mealworm, SWOT analysis.
EVALUASI USAHA PETERNAKAN ULAT TEPUNG
(Tenebrio molitor) DI DESA CISALADA, KECAMATAN
CIGOMBONG, KABUPATEN BOGOR
ADI GUNA WIRATA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Peternakan
pada
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA
Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala
karena atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul
Evaluasi Usaha Peternakan Ulat Tepung (Tenebrio molitor) di Desa Cisalada,
Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor ini dapat diselesaikan dengan baik.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
memberikan bantuan, khususnya kepada Ir Hotnida C. H Siregar, MSi selaku
dosen pembimbing kedua, Yuni Cahya Endrawati, SPt MSi selaku dosen
pembimbing pertamadan Ir Sri Rahayu MSi selaku dosen penguji.Ucapan terima
kasih juga Penulis ucapkan kepada Bapak Wagiman, Bapak Dadang Rahmat, dan
Bapak Mulyadi atas kerjasamanya sebagai responden.Ucapan terima kasih pada
kedua orang tua Penulis yaitu Wir Tanius dan Rahfimasari atas doa serta
dukungan yang telah diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih pada
keluarga besar IPTP 47, yang senantiasa berbagi ilmu dan semangat selama
kegiatan perkuliahan di Fakultas Peternakan, khususnya kepada Gesta, Alul,
Hengki, Alja, dan Sahid. Ucapan terima kasih tak lupaditujukan kepada Catur
Dewi, Azel, Budi, dan teman-teman dari kontrakan D 37.
Bogor, April 2015
Adi Guna Wirata
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR LAMPIRAN
ix
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan
2
Ruang Lingkup Penelitian
2
METODE
2
Waktu dan Tempat Penelitian
2
Materi
2
Prosedur
2
HASIL DAN PEMBAHASAN
6
Gambaran Umum Kelompok Peternak Ulat Tepung Cigombong
6
Analisis Matrik IFE (Internal Factor Evaluation) dan EFE (External Factor
Evaluation)
7
Analisis Matrik I-E (Internal – Eksternal)
12
Analisis Matrik SWOT
13
SIMPULAN DAN SARAN
17
DAFTAR PUSTAKA
18
LAMPIRAN
20
RIWAYAT HIDUP
21
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
Contohmatrik IFE-EFE
Contohmatrik IE
Contohmatrik SWOT
Matrik I-E peternakan ulat tepung Cigombong
Matrik SWOT
3
5
6
12
14
DAFTAR LAMPIRAN
1 Rak kandang dan kotak ulat tepung
2 Kotak ulat tepung
3 Dedak gandum
20
20
20
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ulat tepung (Tenebrio molitor) termasuk dalam kategori pakan premium
(Haryanto 2013) yang mengandung protein tinggiyaitu sekitar 48% (Aguilar et al.
2002) dan sangat potensial dalam ekstraksi protein (Gibson 2009). Budidayaulat
hongkongatau ulat tepung (Tenebrio molitor) sangat prospektif karena hanya
membutuhkan modal kecil, tidak membutuhkan lahan yang luas, dapat
menghasilkan keuntungan berlipat, dan peluang pasar yang bagus (Haryanto
2013). Serangga ini biasa digunakan sebagai pakan ikan, burung, hewan amfibi,
reptil, kura-kura, dan mamalia-mamalia kecil seperti landak (Ghaly 2009). Ulat
tepung dapat berkembang biak dalam jumlah banyak dalam waktu yang singkat
yaitu 275 telur dalam 22 sampai 137 hari (Oonincx 2010).Produktifitas ulat
tepung lebih dipengaruhi oleh kondisi dalam ruang pemeliharaan daripada
lingungan luar, sehingga budidaya dapat dilakukan sepanjang tahun.Kelebihan
yang telah diuraikan tersebut tidak mutlak menjamin keberhasilan peternakan,
karena faktor internal dan eksternal dapat mempengaruhi jalannya sebuah usaha
(David 2006).
Faktor yang dapat dikendalikan oleh usaha adalah faktor internal,
sedangkan faktor yang tidak dapat dikendalikan namun dapat diantisipasi
tergolong dalam faktor eksternal (David 2006).Semua bentuk usaha harus
tanggapterhadap perubahan-perubahan yang terjadi baik di dalam maupun di luar
lingkungan
sehingga
dapat
mengantisipasi
dan
melakukan
penyesuaian.Perkembangan teknologi, kondisi sosial dan ekonomi, kualitas
pegawai, kondisi pasar, dan manajemen usahamerupakan sebagian faktor-faktor
yang perlu diantisipasi (Damayanti 2013).Menurut David (2006), faktor internal
dan eksternal yang jika tidak ditangani dengan baik dapat menimbulkan kerugian
bahkan kegagalan, seperti yang dialami oleh peternakanulat tepung di Kecamatan
Cigombong, Kabupaten Bogor.
Peternakan ulat tepungCigombong dimulai pada tahun 2011 yang
dijalankan oleh sebuah kelompok peternak yang menurut survey pasar merupakan
produsen utama di wilayah Bogor.Pada tahun 2014 peternakan ulat tepung
Cigombong harusterhenti karena berbagai faktor yang terjadi pada usaha
peternakan tersebut.Kelompok peternak yang sebelumnya beranggotakan 20
orang sekarang hanya menyisakan 1 orang yang masih menjalankan usaha
tersebut.Evaluasi untuk mengetahui penyebab kegagalan usaha tersebut, sehingga
dapat disusun strategi yang dapat dijadikan acuan untuk melanjutkan dan
memperbaiki usaha kembali.
Evaluasi yang biasa dilakukan meliputi identifikasi faktor internal dan
eksternal, identifikasi dari kedua faktor tersebut digunakan dalam analisis IFEEFE untuk mengetahui kemampuan usaha dalam memanfaatkan dan mengatasi
kedua faktor tersebut.Hasil analisis IFE-EFE digunakan dalam analisis IE untuk
menentukan posisi usaha dan strategi utama yang dianjurkan pada posisi
tersebut.Strategi hasil IE dijabarkan lebih detail melalui analisis SWOT dengan
mempertimbangkan faktor internal dan eksternal usaha (David 2006).
2
Ketiga analisis tersebut dapat diterapkan pada kelompok ternak ulat tepung
Cigombong.Usaha ini telah berhenti, namun tidak menutup kemungkinan untuk
dapat bangkit dan memulai kembali (Damayanti 2013).Hasil analisis IFE-EFE, IE,
dan SWOT diharapkan dapat dimanfaatkan oleh kelompok sebagai acuan untuk
memulai usaha kembali.Selain itu, hasil studi ini juga dapat dimanfaatkan oleh
peternak ulat tepung lainnya.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor internal dan
eksternal usaha, mengetahui posisi usaha ternak ulat tepung Cigombong sebelum
kegagalan, dan menyusun strategi yang dapat digunakan serta mengevaluasi
faktor penyebab kegagalan usaha tersebut.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalahmengevaluasi peternakan ulat tepung di
Kecamatan Cigombong dengan analisis IFE-EFE, IE, dan SWOT serta
memberikan solusi untuk mengatasi masalah dalam peternakan tersebut.
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Cisalada Kecamatan Cigombong
Kabupaten Bogor Jawa Barat.Penelitian berlangsung dari September sampai
November 2014.
Materi
Responden dalam penelitian ini adalah ketua kelompok usaha peternakan
Cigombong dan 2orang anggota kelompoknya.Materi yang digunakan meliputi
kuisoner, kamera untuk dokumentasi, dan alat tulis.
Prosedur
Pemilihan Responden
Responden dipilih secara proposif sampling, yang terdiri dari ketua
kelompok usaha peternakan Cigombong dan dua anggota kelompok yang
mewakili anggota kelompok lainnya
3
Jenis dan Sumber Data
Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data primer dan
sekunder.Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari responden dengan
cara observasi, wawancara dengan menggunakan kuisoner, sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya (Afrillita 2013). Data sekunder diperoleh dari penelusuran studi
pustaka, data dari BMG, dan sumber lain yang valid, yang berhubungan dengan
penulisan proposal ini.
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis IFE-EFE, IE, SWOT,
dan deskriptif, kemudian data tersebutdisajikan dalam bentuk uraian dan tabulasi
angka berdasarkan hasil wawancara maupun data sekunder.
Analisis Matrik IFE (Internal Factor Evaluation) dan EFE (Eksternal Factor
Evaluation)
Matrik
diisi
berdasarkan
informasi
yang
diperoleh
dari
3responden.Berdasarkan informasi tersebut, diperoleh nilai rating, bobot, dan
skor.Nilai ratingdiperoleh dari seberapa besar pengaruh suatu faktor terhadap
keberhasilan usaha kelompok ternak ulat tepung Cigombong. Nilai bobot
diperolehdari tingkat kepentingan relatif dari faktor-faktor yang dimiliki usaha
kelompok ternak tersebut.
Nilai skor merupakan hasil perkalian dari nilai rating dengan bobot.Nilai
skor yang ada di faktor internal dan eksternal masing-masing akan dijumlahkan
sehingga diperoleh total skor IFE dan total skor EFE (David 2006).Contoh matrik
IFE-EFE dapat dilihat di Gambar 1.
Gambar 1Contoh matrik IFE-EFE
4
Analisis faktor internal berkaitan dengan kekuatan dan kelemahan usaha
kelompok ternak ulat hongkong Cigombong.David (2006) menyatakan bahwa alat
perumusan strategi ini mengevaluasi kekuatan dan kelemahan utama dalam
berbagai bidang fungsional suatu usaha.Analisis faktor eksternal berkaitan dengan
peluang dan ancaman dari usaha kelompok ternak tersebut.Analisis faktor
eksternal meringkas dan mengevaluasi informasi ekonomi, sosial, demografi,
lingkungan, teknologi dan persaingan.
Nilai rating faktor kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancamanberasal dari
rata-rata hasil wawancara yang diperoleh dari ketiga responden.Faktor kekuatan
berskala antara 3.00-4.00, sedangkan faktor kelemahan berskala antara 1.002.00.Nilai rating faktor peluang dan ancaman berskala antara 1.00-4.00.Nilai
rating digunakan untuk mendapatkan nilai skor (David 2006).
Nilai bobot faktor kekuatan,kelemahan, ancaman, dan peluang berasal dari
jumlah nilai bobot masing-masingfaktordari ketiga responden dibagi dengan
jumlah keseluruhan nilai bobot faktor yang diperoleh.Penjumlahan nilai bobot
dari faktor internal dengan faktor eksternal dipisah.Hasil penjumlahan bobot baik
dari faktor internal maupun faktor eksternal dapat dipastikan adalah 1.00.
Kolom skor diisi dengan mengalikan nilai rating dengan nilai bobot dari
setiap faktor yang ada.Nilai skor yang diperoleh baik pada faktor internal dan
faktor eksternal masing-masing akandijumlahkan, sehingga diperoleh nilai total
skor IFE dan nilai total skor EFE. Nilai total skor IFEdan IFE berkisar antara 1.00
sebagai titik terendah dan 4.00 sebagai titik tertinggi. Skor total IFE di bawah 2.50
berarti usaha lemah secara internal sedangkan skor di atas 2.50 berarti posisi
internal kuat.Skor total EFE di bawah 2.50 mengindikasikan bahwa suatu usaha
kurang mampu memanfaatkan peluang yang ada atau menghindari ancaman yang
muncul.Skor total EFE di atas 2.50 menandakan bahwa usaha mampu menarik
keuntungan dari peluang yang ada dan meminimalkan ancaman (David 2006).
Analisis Matrik IE (Internal External Matrix)
Matrik IE merupakan hasil penggabungan antara matrik EFE dan matrik
IFE.Matrik IE didasarkan pada total nilai IFE yang diberi bobot pada sumbu-x
dan total nilai EFE yang diberi bobot pada sumbu-y.Berdasarkan total nilai yang
dibobot dari setiap divisi, dapat disusun Matrik IE.Sumbu-x Matrik IE, yaitu total
nilai IFE dibobot dari 1.00 sampai 1.99 menunjukkan posisi internal yang lemah,
nilai 2.00 sampai 2.99 dianggap sedang, dan nilai 3.00 sampai 4.00 dianggap kuat,
sedangkan pada sumbu-y total nilai EFE yang diberi bobot dari 1.00 sampai 1.99
dianggap rendah, nilai 2.00 sampai 2.99 dianggap sedang, dan nilai 3.00 sampai
4.00 dianggap tinggi.
Matrik IE dibagi menjadi 3 bagian utama yang mempunyai dampak dan
strategi yang berbeda.Divisi dalam sel I, II, atau IV disebut tumbuh dan
membangun.Strategi intensif (penetrasi pasar, pengembangan pasar
ataupengembangan produk) atau integratif (integrasi ke belakang, integrasi
kedepan, integrasi horizontal) merupakan strategi yang tepat untuk divisidivisiini.Divisi yang masuk dalam sel III, V, atau VII paling baik dikelola dengan
strategi pertahankan dan pelihara.Strategi yang dilakukan adalah strategi penetrasi
pasar dan pengembangan produk.Divisi yang masuk dalam sel VI, VIII, atau IX
paling baik dikelola dengan strategi panen atau divestasi.Berikut adalah contoh
gambar matrik IE.
5
Gambar 2 Contoh tabel matrik IE
Analisis SWOT
Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk
merumuskan strategi pengembangan suatu usaha atau perusahaan.Menurut
Rangkuty (2006), hal-hal yang ditentukan dalam analisis SWOT adalah kekuatan
(strength), peluang (opportunity), kelemahan (weakness), dan ancaman (threats).
Setelah keempat faktor tersebut ditentukan, maka hasilnya dicantumkan ke dalam
sel yang ada di diagram matrik SWOT.Sel kekuatan (strength) diisi dengan
kekuatan usaha kelompok ternak ulat tepung.Sel peluang (opportunity) diisi
dengan hal-hal yang dapat menjadi peluang bagi usaha ternak ulat tepung.Sel
kelemahan (weakness) diisi dengan hal-hal yang menjadi kelemahan usaha ulat
tepung.Sel ancaman (threat) diisi dengan hal-hal yang dapat menjadi ancaman
bagi usaha ternak ulat tepung.
Kemungkinan alternatif strategi usaha ternak ulat tepungdirumuskan
berdasarkan pertimbangan kombinasi empat peluang faktor strategi yang terdiri
dari strategi SO, ST, WO, dan WT.Strategi SO (Strength-Opportunity) dibuat
berdasarkan satu jalan pikiran, dimana seluruh kekuatan ternak ulat tepung
digunakan agar peluang usaha dapat ditingkatkan (Santosa 2013).Strategi ST
(Strength-Threat) dimana ancaman usaha dihindari dengan cara kekuatan usaha
digunakan. Strategi WO (Weakness-Opportunity) dibuat dengan cara peluang
yang ada dimanfaatkan agar kelemahan usaha dapat diatasi. Strategi WT
(Weakness-Threat) didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan ditujukan
agar kelemahan yang ada dapat diminimalisir serta ancaman dapat dihindari.
Setelah faktor internal, faktor eksternal dan strategi SO, ST, WO, dan WT
ditentukan hasilnya dimasukkan ke dalam diagram matrik SWOT.Berikut adalah
contohmatrik SWOT.
6
Gambar 3 Contoh matrik SWOT
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Kelompok Peternak Ulat Tepung Cigombong
Peternakan ulat tepung yang diamati berada di Desa Cisalada Kecamatan
Cigombong.Kecamatan Cigombong berada 600m dari permukaan laut,terletak di
bagian selatan Bogor, dan termasuk daerah beriklim sangat basah.Data dari BMG
tahun 2013 menyebutkan bahwa daerah ini bercurah hujan sekitar 3000 sampai
5000 mm tahun-1 dengan rata-rata 3 500 mm tahun-1.Bulan basah terjadi dari
Oktober sampai Juni.Jumlah hari hujan rata-rata tahunan adalah 245 hari.Suhu
udara daerah ini berkisar antara 21.8 sampai 30.04oC dengan rata-rata suhu tahun-1
25.7oC.Kelembaban daerah ini berkisar 65% sampai 96%.
Peternakan ulat tepung Cigombong dimulai sekitar Oktober 2011.Peternak
mempelajari budidaya ulat tepung secara otodidak dan memulai usahanya dari
0.25 kg bibit yang dibeli dari sebuah toko pakan burung di Ciawi.Pembibitan terus
dilakukan dan pada masa panen satu kilogram bibit mampu menghasilkan 15 kg
ulat tepung siap jual.Produktivitas ini belum optimal, karena menurut Haryanto
(2013) satu kilogram ulat hongkong dapat menghasilkan 33.1 kg ulat siap jual.
Pada Desember 2011, jumlah ulat tepung yang diternakkan mencapai 200
kg yang dipelihara pada satu rak berukuran 2 m x 3 m yang terdiri atas 10
tingkat.Setiap tingkat berisi wadah pemeliharaan berupa kotak kardus besar
berukuran 60x50x20 cm yang bagian dalamnya dilapisi aluminium dan kotak
kardus kecil berukuran 50x50x20 cm. Kotak besar mampu menampung 3kg ulat
tepung, sedangkan kotak kecil mampu menampung 1kg ulat tepung.Peternak
mampu memanen 50 kg ulat tepung setiap bulan pada waktu itu.Menurut
Haryanto (2013) sistem perkandangan ini sudah baik, karena kandang yang baik
adalah kandang yang tertutup dan aman dari serangan hama.Tujuan pelapisan
wadah pemeliharaan dengan alumunium adalah agar tidak mudah ditembus hama.
Bangunan tempat budidaya terbuat dari tembok, sehingga kokoh dan terlindung
dan aman dari luar.
7
Permintaan pasar ternyata melebihi kapasitas produksi peternak, sehingga
peternak membentuk kelompok untuk dapat memenuhi permintaan pasar
tersebut.Pada Desember 2011 dibentuk kelompok peternak ulat tepung
Cigombong yang beranggota 20 orang dari masyarakat sekitar
Cigombong.Peternak awal bertindak sebagai ketua kelompok.Anggota kelompok
bergabung ke dalam kelompok atas inisiatif sendiri.
Anggota kelompok hanya mengurus tentang budidaya, sedangkan
pembibitan dilakukan oleh ketua kelompok.Anggota hanya boleh menjual hasil
produksi berupa larva berukuran sekitar 2.5 cm kepada ketua kelompok.
Anggota kelompok memproduksi ulat tepung yang kemudian dijual seharga Rp30
000 kg-1 pada ketua kelompok.Anggota hanya boleh membeli bibit dan media dari
ketua kelompok saja.Harga bibit (larva berumur 15 hari) Rp30000 kg-1 dan media
Rp4 000 kg-1.Ketua berperan sebagai penyedia bibit dan pengumpul, sedangkan
anggota berperan sebagai produsen larva siap jualdalam pola kerjasama.
Kelompok ini mampu memproduksi 600 kgulat tepung minggu-1.Hasil
produksi dipasarkan ke daerah Bogor dan sekitarnya.Kelompok ini bahkan pernah
memasarkan ke Jakarta ketika panen mencapai 1 ton.Prospek usaha budidaya ulat
tepung sangat baik, terbukti dari permintaan pasar yang belum dapat dipenuhi
oleh kelompok.
Ketua kelompok sendiri hingga Oktober 2013 telah mencapai kapasitas
budidaya 5 rak kandang yang mampu menampung 1 000 kotak pemeliharaan yang
menghasilkan 250 kg ulat tepung siap jual minggu-1. Ulat tepung yang dihasilkan
dipasarkan ke toko pakan burung di daerah Ciawi, Cicurug, dan Ciampea. Ulat
tepung dijual dengan harga Rp40 000 kg-1 sehingga peternak memperoleh
pendapatan mingguan sekitar 10 juta rupiah atau 40 juta rupiah bulan-1. Peternak
dibantu oleh 3 orang pegawai yang masing – masing diberi upah 1.5 juta rupiah
bulan-1 dalam proses produksi.
Prospek usaha ulat tepung yang tinggi, ternyata tidak menjamin
kelangsungan kelompok ini. BulanNovember 2013, tingkat kematian larva di
kelompok ternak Cigombong sangat tinggi.Menurut ketua kelompok peternak, itu
adalah awal dari kemunduran usaha mereka.Suhu yang rendah karena hujan terusmenerus membuat ulat tepung tidak mampu bertahan, sehingga banyak yang
mati.Akhirnya, pada Februari 2014 kelompok peternak ulat tepung Cigombong
mengalami kegagalan dan usaha kelompok tidak dilanjutkan lagi.
Analisis Matrik IFE (Internal Factor Evaluation) dan
EFE (External Factor Evaluation)
Analisis matrik IFE dan EFE menganalisis keadaan kelompok sewaktu
masih berjalan.Kelompok ternak ulat tepung Cigombong memiliki beberapa
faktor yang merupakan kekuatan dan kelemahan, yang dikaterogikan dalam faktor
internal (David 2006).Faktor yang menjadi kekuatan utama menurut responden
adalah kualitasulat tepung terjamin (skor 0.239),penjualan ke pasar mudah (skor
0.219), kontinuitas produksi (skor 0.199), dan komunikasi yang intensif di antara
anggota kelompok (skor 0.199) seperti yang disajikan pada Tabel 1. Semakin
tinggi nilai skor suatu faktor kekuatan, maka semakin penting dan besar pengaruh
faktor tersebut terhadap keberhasilan suatu usaha kelompok (Ginting 2006).
8
Kualitas ulat tepung yang dihasilkan kelompok terjamin (kekuatan 1) dapat
dilihat dari penampilan ulat tepung yang berwarna lebih terang, berukuran lebih
besar (dibanding hasil peternak lain pada umur yang sama), dan lebih lincah
(Haryanto 2013). Penjualan ke pasar mudah (kekuatan 2) karena kelompok ini
tidak memiliki saingan di daerah Bogor.Sebelum kelompok ini dibentuk, toko
pakan burung memperoleh ulat tepung dari Bandung.Kemudahan penjualan ke
pasar juga disebabkan lokasi usaha yang tidak jauh dari lokasi pemasaran
(kekuatan 5).Kontinuitas produksi (kekuatan 3) menjadi kekuatan utama karena
kelompok mampu memenuhipermintaan secara konsisten (Asba 2006).Curah
hujan yang tinggi menyebabkan kelembaban daerah Cigombong naik dan suhunya
rendah (Setiawan 2011)sehingga dapat menurunkan produktivitas ulat tepung,
namun karena usaha ini berbentuk kelompok (kekuatan 8), permintaan pasar tetap
dapat dipenuhi.Komunikasi yang intensif dalam anggota kelompok (kekuatan 4)
menimbulkan pertukaran informasi baik mengenai tehnik budidaya yang baik dan
solusi terhadap suatu masalah budidaya. Pertukaran informasi ini selain
menambah pengetahuan anggota kelompok juga menjadikan kelompok lebih
kuat(Gusliza 2013).
Kekuatan usaha adalah hal-hal yang menjadikan suatu usaha unggul
daripada pesaing atau usaha lainnya.Kelemahan usaha adalah sesuatu yang dapat
menurunkan nilai suatu usaha sehingga menimbulkan hal-hal yang tidak
diinginkan seperti kerugian (Rangkuty 2006).
Kelemahan utama kelompok ini di antaranya adalah terkendala di
pengiriman jarak jauh (skor 0.035),harga tergantung pasar (skor 0.045),dan
inbreeding (skor 0.045).Semakin rendah nilai skor suatu faktor kelemahan, maka
semakin penting dan besar pengaruh faktor tersebut terhadap kegagalan (David
2006).
Pengiriman jarak jauh(kelemahan 1) menjadi kelemahan utama karena
peternak berencana melakukan ekspansi pemasaran keluar provinsi setelah
memenuhi permintaan pasar Bogor.Pengiriman jarak jauh memerlukan
penanganan khusus karena ulat tepung mudah stress dan mati karena sensitif
terhadap perubahan suhu dan kelembaban (Favero 2013). Peternak belum
menemukan bentuk pengemasan yang aman agar tingkat kematian saat
pengiriman rendah.Harga ditentukan oleh pasar (kelemahan 2) biasanya
mengindikasikan bahwa toko pakan memiliki pemasok ulat tepung lainnya
(Daljono 2005).Pernyataan ini bertentangan dengan faktor kekuatan nomor 2,
yaitu penjualan ke pasar mudah yang mengindikasikan suplai lebih rendah dari
permintaan.Kedua faktor yang bertentangan ini menunjukkan bahwa posisi
peternak yang lemah dalam penentuan harga.Posisi penentuan harga dapat
ditentukan oleh kemampuan bernegosiasi (Evelina 2013).
Peternak mempelajari teknik budidaya ulat tepung secara otodidak.Peternak
belum mengetahui teknik pembibitan yang benar sehingga terjadi inbreeding
(kelemahan 3).Inbreeding di peternakan ini berdampak juga pada penurunan
produktivitas (kelemahan 5). Menurut Suryo (1997), inbreeding adalah
perkawinan dua individu yang memiliki hubungan keluargadekat. Inbreeding
mengarah pada penurunan kemampuan untuk menghasilkan keturunan yang baik,
yang berarti kehilangan sifat unggul dari tetuanya seperti penurunan fertilitas dan
resistensi terhadap penyakit tertentu, sehingga daya hidup menurun.Inbreeding
yang terjadi mengindikasikan bahwa SOP pembibitan tidak ada dalam usaha
9
ternak ulat hongkong kelompok ini (kelemahan 7). SOP sangat dibutuhkan dalam
manajemen usaha yang baik (Handoko 2013), terutama apabila SDM belum
berpengalaman (kelemahan 12). Produktivitas yang rendah (kelemahan 5)
terjadikarena cuaca daerah Cigombong yang tidak mendukung.Cuaca daerah
Cigombong yang dingin dan lembab mengakibatkan siklus hidup ulat tepung
bertambah panjang bahkan mortalitas tinggi (Borror et al. 1982).
Total skor bobot yang diperoleh dari matrik IFE sebesar 2.407menunjukkan
bahwa kondisi kelompok lemah secara internal (David 2006).Hal ini
mengindikasikan bahwa kelemahan yang dimiliki belum dapat diatasi oleh
kekuatan.Hasil analisis matrik IFE dan EFE dipaparkan di dalam Tabel 1.
No.
Tabel 1 Analisis matrik IFE-EFE
Faktor
Rating
Bobot
Skor
A. Internal
A.1 Kekuatan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Kualitas ulat tepung yang
dipasarkan terjamin
Penjualan ke pasar mudah
Kontinuitas produksi
Komunikasi yang intensif di
antara anggota kelompok
Lokasi tempat dilakukannya
usaha strategis untuk
penjualan
Modal untuk memulai usaha
ini cukup murah
Harga produk bersaing
Memiliki kelompok peternak
Adanya pembukuan atau
pencatatan laporan keuangan
A.2 Kelemahan
Terkendala dalam pengiriman
jarak jauh
Harga tergantung pasar
Inbreeding
Modal peternak terbatas
Produktivitas rendah
Tidak menjual produk ulat
tepung lainnya, hanya ulat
tepung saja
Tidak ada SOP
Lahan bukan milik sendiri
Lokasi kurang strategis untuk
budidaya
Media hanya dapat diperoleh
4.00
0.060
0.239
4.00
4.00
4.00
0.055
0.050
0.050
0.219
0.199
0.199
3.30
0.060
0.197
3.63
0.050
0.181
3.63
4.00
3.00
0.050
0.040
0.035
0.181
0.159
0.104
1.00
0.035
0.035
1.00
1.00
1.00
1.00
1.58
0.045
0.045
0.050
0.050
0.035
0.045
0.045
0.050
0.050
0.055
1.58
1.00
1.25
0.035
0.060
0.055
0.055
0.060
0.068
1.58
0.050
0.079
10
11
12
dari satu agen saja
Pegawai belum berpengalaman
Promosi masih minim
Jumlah
Eksternal
B
B.1 Peluang
Dukungan dari masyarakat
1
sekitar
2
Banyaknya permintaan dari
pasar
3
Skala usaha masih dapat
dikembangkan
4
Paradigma ulat tepung sebagai
pakan berprotein tinggi
5
Pengembangan variasi produk
(media, frass)
6
Pelaku usaha masihsedikit
7
Perkembangan dalam bidang
teknologi informasi
1
2
3
4
5
6
7
B.2 Ancaman
Curah hujan tinggi di daerah
Cigombong yang berdampak
buruk pada ulat tepung
Serangan hama
Naiknya harga media
Fluktuasi harga ulat tepung
tergantung ketersediaannya di
pasar
Saingan peternak ulat tepung
dari luar daerah
Persaingan untuk memperoleh
pakan dengan petani
Semakin banyaknya pakan
komersil burung
Jumlah
2.00
2.00
0.090
0.100
Rating
0.045
0.050
1
Bobot
2.407
Skor
4.00
0.076
0.303
3.63
0.083
0.303
2.88
0.076
0.218
2.28
0.061
0.138
1.81
0.076
0.137
2.28
1.58
0.053
0.045
0.121
0.072
4.00
0.091
0.364
4.00
3.63
2.88
0.091
0.083
0.076
0.364
0.303
0.218
2.88
0.068
0.196
2.88
0.061
0.174
2.28
0.061
0.138
1
3.048
Faktor eksternal di usaha kelompok ini terdiri atas 7 faktor peluang dan 7
faktor ancaman. Menurut Wibowo (2009), analisis eksternal mencakup peluang
dan ancaman dari suatu usaha.Peluang usaha bisa diperoleh dengan cara
mengandalkan suatu potensi usaha seperti waktu dan kondisi yang ada. Ancaman
usaha merupakan pengganggu utama bagi posisi perusahaan atau hal - hal yang
ingin dihindari oleh perusahaan.
Tabel 1menunjukkan peluang utama dari usaha ini adalah dukungan dari
masyarakat sekitar (skor 0.303).Menurut Herdiyanti (2013), dukungan masyarakat
sekitar (peluang 1) terhadap suatu usaha penting dalam kelancaran usaha. Sebuah
11
usaha tidak akan berjalan dengan baik apabila ditentang oleh masyarakat.
Masyarakat kecamatan Cigombong menunjukkan respon positif terhadap usaha
ternak ulat tepung dengan bergabung dalamkelompok ternak ulat tepung.Menurut
ketua kelompok ternak, permintaan ulat tepung yang tinggi dari pasar (peluang 2)
dan pelaku usaha yang masih sedikit (peluang 6) menjadi daya tarikterhadap
masyarakat untuk berkecimpung dalam usaha ternak ini.Bertambahnya jumlah
peternak berpeluang untuk meningkatkan popularitas ulat tepung di masyarakat,
yang mana hal ini dapat menjadi promosi (peluang 7) dan membuka peluang
untukmemperbesar skala usaha (peluang 3).
Ancaman utama padakelompokini adalah curah hujan yang tinggi (skor
0.364) dan mengakibatkan usaha ini terhenti pada Februari 2014.Data BMG
menunjukkan bahwa rata-rata curah hujan bulanan daerah Cigombong dari
November 2013 sampai Januari 2014 tinggi, yaitu 400 mm. Curah hujan rata-rata
tahun 2013 sendiri sangat tinggi yaitu 3481 mm, dibandingkan tahun 2011 dan
2012 yang lebih rendah yaitu 2327 mm dan 2702 mm atau 195 mm bulan -1 dan
225 mm bulan-1. Curah hujan yang tinggi dari November2013 sampai Januari
2014 membuat suhu udara di daerah Cigombong menjadi rendah (< 25 oC),
sehingga memperlambat pertumbuhan ulat tepung, bahkan mematikannya (Lang
2009). Menurut Borror et al. (1982), ulat tepung mampu bertahan hidup pada
rentang suhu 25 sampai 27 oC dengan suhu optimal untuk pertumbuhan 26 oC.
Kelompok peternak berusaha mengatasi hal ini dengan menutup rak kandang ulat
tepung menggunakan plastik, denganharapan dapat meningkatkan suhu kandang,
namuncara tersebut tidak berhasil. Bahkan, populasi ulat tepung di beberapa
anggota lebih dulu habis daripada populasi milik ketua kelompok.Keadaan suhu
ruang yang rendah dapat diatasi dengan memasang lampu-lampu penghangat agar
kondisi kandang tetap ideal bagi ulat tepung (Haryanto 2013).
Faktor ancaman selanjutnya adalah serangan hama (skor 0.364). Hama yang
menyerang peternakan ulat tepung adalah semut, tikus, dan cicak.Namun, dalam
penelitian ini hama yang paling sulit diatasi adalah ulat kandang. Ulat kandang
dapat menjadi lebih dominan karena kondisi suhu dan kelembaban lebih
mendukung pertumbuhan ulat kandang dibandingkan ulat tepung.Ulat kandang
mampu bertahan hidup pada rentang suhu 20 sampai 38oC (Rueda dan Axtell
1996) dan pada kelembaban 0-100% (Salin 1998),sementara menurut Borror
(1982) ulat tepung hanya mampu berkembangbiak secara optimal antara suhu 25
sampai 27oC dan pada kelembaban 20-90%. Suhu melebihi atau kurang dari
rentang tersebut akan mengakibatkan aktivitas biologis ulat tepung melambat,
sehingga ulat kandangpada kondisi ini memenangkan persaingan perolehan
makanan dengan ulat tepung.Hal ini membuat produktivitas ulat tepung menurun.
Ulat kandang sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk menambah keuntungan,
karena biasa digunakan untuk pakan ikan dan burung samaseperti halnya ulat
tepung (Salin 1998).
Tempat atau bangunan peternakan ulat tepung diusahakan terbuat secara
permanen atau terbuat dari tembok sekelilingnya. Hal ini berujuan agar terhindar
dari tikus atau hama semut(Haryanto 2013).Ulat kandang dapat diatasi dengan
menutup kotak media pembesaran dengan daun waru gombong yang sudah
kering.Tujuannya adalah untuk mengalihkan sasaran ulat kandang agar tidak
merusak pertumbuhan ulat tepung. Selain itu, kaki-kaki rangka kandang sebaiknya
diberi oli atau obat serangga agar hamatidak menjalar ke kandang.
12
Ancaman utama ketigapada usaha ternak ini adalah kenaikan harga media
(skor 0.303).Harga media dedak gandum yang digunakan para peternak ulat
tepung Cigombong naik dua kali lipat dari Rp2 000 menjadi Rp4 000kg-1.Menurut
ketua kelompok, hal ini sangat memberatkan mereka dan membuat biaya produksi
menjadi semakin mahal, sementara perubahan harga ulat tepung ditentukan oleh
ketersediannya di pasar (ancaman 4).
Total skor bobot yang diperoleh dari matrik EFE sebesar 3.048menunjukkan
bahwa kondisi usaha kelompok ternak ulat tepung Cigombong kuat secara
eksternal (David 2006) atau mampu merespon secara baik terhadap peluang dan
ancaman dalam usaha.Usaha ini dapat dikatakan mampu menarik keuntungan dari
peluang dan menghindari ancaman.Jika dihubungkan dengan total skor bobot IFE
yang bernilai 2.407, hal ini menunjukkan bahwa usaha kelompok ternak
Cigombong rentan atau tidak memiliki kekuatan internal yang mampu mengatasi
atau memanfaatkan perubahan eksternal.
Analisis Matrik I-E (Internal – Eksternal)
Total skor IFE2.407berarti usaha berada di posisi sedang, sedangkan total
skor EFE 3.048 berarti usaha berada di posisi kuatdalam matrik I-E.Dilihat dari
matrik I-E kombinasi tersebut berada di kuadran ke II, yaitu tumbuh dan
membangun (Growth & Build), seperti yang disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4 Matrik I-E peternakan ulat tepung Cigombong
Usaha ternak berada di posisi ini karena nilai skor IFE yang diperoleh masih
berada pada posisi sedang.Usaha ini dapatmencapai kuadran I apabila peternak
memperbaiki kondisi internal usaha, terutama kendala dalam pengiriman jarak
jauh, harga yang tergantung pasar dan inbreeding.Sebaiknya, untuk melindungi
ulat tepung dalam perjalanan jarak jauh, alat transportasi dilengkapi dengan
13
pengatur suhu, namun peternak Cigombong belum bisa mengadakan hal tersebut
karena keterbatasan biaya.Harga yang tergantung pasar dapat diatasi dengan
meningkatkan kemampuan negosiasi harga dari peternak (Evelina
2013).Kelompok ini sebenarnya bisa mengatur harga karena mereka adalah satusatunya produsen ulat tepung di kawasan Bogor. Ketua kelompok ternak
melakukan pencampuran bibit dengan bibit dari luar daerah untuk mengatasi
inbreeding, namun cara ini tetap tidak efektif. Inbreeding dapat dicegah dengan
memisahkan pupa dari tiap wadah ke wadah yang baru, sehingga ketika pupa
berkembang menjadi kumbang dia akanmengawini kumbang lain dari wadah yang
berbeda.
Strategi yang dapat digunakan adalah strategi integratif (integrasi ke
belakang, integrasi ke depan dan integrasi horizontal) atau strategi intensif
(penetrasi pasar, pengembangan pasar dan pengembangan produk).Menurut David
(2006), integrasi ke depan adalah meningkatkan kendali usaha terhadap pasar.
Integrasi ke depan yang dapat dilakukan adalah menentukan harga ulat tepung,
namun kelompok ternak ini belum melakukannya karena kemampuan negosiasi
yang rendah.Integrasi ke belakang adalah meningkatkan kendali atas pemasok
(David 2006).Menurut ketua kelompok ternak, ketika terjadi kekurangan produksi,
ulat tepung dipasok dari Bandung.Kualitas ulat tepung yang dihasilkan pemasok
harus diperhatikan.Peternak harus menyeleksi pemasok agar ulat tepung yang
dijual bermutu baik.Integrasi horizontal adalah meningkatkan efisiensi usaha agar
dapat mengalahkan pesaing (David 2006).Efisiensi terbagi atas efisiensi ekonomis
dan efisiensi teknis (Darwanto 2010).Secara ekonomis, usaha ini tidak memiliki
kendala.Peternak ulat tepung tidak memiliki saingan di Bogorsehingga mampu
menghasilkan 40 juta rupiahbulan-1.Namun, untuk teknis masih belum maksimal
karena produktivitas yang rendah dan terjadinya inbreeding.Untuk mencapai
efisiensi teknis, produktivitas rendah dan inbreeding harus dapat diatasi.
Penetrasi pasar adalah peningkatan daya jual ke pasar (David 2006).Ketua
kelompok ternak ulat tepung Cigombong memiliki tiga orang pegawai.Menurut
ketua kelompok ternak, ketiga pegawai ini bekerja dengan baik, namun jumlah
pegawai dapat ditambah untuk meningkatkan tenaga penjualan.Pengembangan
pasar adalah mengenalkan produk ke wilayah baru (David 2006).Menurut
kelompok ini permintaan ulat tepung sudah tinggi, oleh karena itu tiduk
diperlukan adanya promosi.Namun, sebaiknya promosi tetap dilakukan untuk
memperluas jangkauan pemasaran.Pengembangan produk adalah upaya
peningkatan penjualan dengan memperbaiki atau memodifikasi produk (David
2006).Pengembangan yang dapat dilakukan adalah dengan menjual frass (kulit
ulat tepung) yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk.Ketua kelompok ternak ulat
tepung sudah merencanakan hal ini, namun terkendala dalam hal modal.
Analisis Matrik SWOT
Strategi yang diperoleh dari hasil posisi analisis I-E dapat dikembangkan
menjadi strategi yang lebih spesifik, yang mempertimbangkan faktor-faktor
internal dan eksternal usaha.Penyusunan strategi ini lebih dikenal sebagai analisis
SWOT (David 2006). Analisis SWOT pada penelitian ini menghasilkan 2 strategi
SO, 3 strategi ST, 4 strategi WO, dan 3 strategi WT.Strategi dari hasil analisis
14
SWOT pada usaha peternakan ulat tepung Cigombong ditampilkan pada Gambar
5.
Gambar 5 Matrik SWOT
Strategi SO yang pertama adalah mempertahankan kualitas dan menambah
daya jual dari sebelum gagal. Strategi ini mencakup strategi integrasi ke depan
dan penetrasi pasar. Dilihat dari sudut pandang strategi integrasi ke depan,
strategi ini dapat dilakukan dengan menjaga kualitas (S1) dan kontinuitas
produksi(S3) ulat tepung. Artinya, ulat tepung yang dipasarkan konsisten
berkualitas baik dan disiplin dalam waktu pemasaran.Kualitas ulat tepung dapat
15
dijaga dengan cara mencegah inbreedingyang merupakan masalah penyebab
penurunan produktivitas ulat tepung pada waktu yang lalu dan memasang alat
pengatur suhu agar tetap pada suhu yang optimal untuk perkembangbiakan ulat
tepung. Menurut Haryanto (2013), ciri ulat tepung yang bermutu baik adalah
kulitnya mengkilap, bergerak lincah, dan panjangnya lebih dari 2.5cm. Strategi
ini didukung oleh penjualan ke pasar yang mudah (S2) karena pelaku usaha masih
sedikit (O6).Banyaknya permintaan dari pasar (O2) dan dukungan dari
masyarakat sekitar (O1) membuka potensi usaha kelompok ternak ini untuk
memulai usaha baru dengan skala yang lebih besar.Pengembangan skala usaha
(O3) yang dapat dilakukan adalah pembesaran bangunan tempat budidaya dan
menambah jumlah rak kandang yang dimiliki agar mampu memproduksi ulat
tepung dalam skala yang lebih besar.Dilihat dari masa panen yang cepat dan
keuntungan yang berlipat, hal ini bukan tidak mungkin untuk dapat dilakukan
(Haryanto 2013).Dilihat dari sudut pandang penetrasi pasar, strategi ini didukung
oleh lokasi usaha yang strategis untuk penjualan (S5) karena terletak di antara
daerah Bogor dan Sukabumi sehingga memudahkan pemasaran.Promosi ke tokotoko pakan burung yang belum menjadi pelanggan di daerah pemasaran juga
harus ditingkatkan untuk menambah daya jual (O7).
Strategi SO yang kedua termasuk dalam pengembangan pasar, yaitu
memperluas jangkauan pemasaran. Dilihat dari kekuatan usaha ternak ulattepung
yang berkualitas (S1) dan kontinuitas produksi (S3) baik, modal yang cukup
murah (S6) untuk melakukan usaha, penjualan yang mudah (S2) serta harga ulat
tepung yang bersaing (S7), sangat memungkinkan kelompok ternak ini untuk
melakukan ekspansi ke daerah baru. Skala usaha harus ditingkatkan dari waktu
sebelum gagal untuk dapat memenuhi pasar di daerah baru.Menurut ketua
kelompok ternak, permintaan ulat tepung dari luar daerah Bogor cukup tinggi
(O2) dan pelaku usaha masih sedikit (O6) sehingga mendukung untuk
dilakukannya perluasan jangkauan pemasaran.Promosi untuk mengenalkan usaha
ulat tepung ke masyarakat yang lebih luas dapat dilakukan dengan caramemasang
iklan di media cetak, suara, dan internet (O7).
Strategi ST yang pertama termasuk dalam strategi integrasi ke depan yaitu
mempertahankan kualitas dan menambah daya jual yang lebih tinggi dari sebelum
gagal. Tingginya curah hujan daerah Cigombong (T1) dan serangan hama (T2)
dapat diatasi dengan membuat kandang yang nyaman dan optimal sebagai tempat
hidup ulat tepung, namun tidak nyaman bagi hama. Harga ulat tepung yang
bersaing (S7), modal yang cukup murah(S6),dan kontinuitas produksi (S3) dapat
dimanfaatkan untuk pengadaan fasilitas pengatur suhu dan pencegah hama.
Kenaikan harga ulat tepung pada musim panas dapat dimanfaatkan usaha
kelompok ternak Cigombong jika ancaman suhu rendah pada musim hujan dapat
diatasi.Persaingan dengan peternak lain dapat diatasi dengan cara menjaga
kualitas (S1) dan kontinuitas produksi ulat tepung.
Strategi ST yang kedua termasuk dalam strategi horizontal, yaitu
memperkuat kelompok.Komunikasi antar anggota kelompok sudah cukup baik,
namun intensitasnya perlu lebih ditingkatkan lagi.Cara yang dapat dilakukan
untuk memperkuat kelompok adalah mempertahankan pertemuan rutin dengan
seluruh anggota agar bisa berbagi ilmu, informasi, dan merencanakan inovasi
maupun hal lainnya terkait usaha peternakan ulat tepung.Transparansi diterapkan
agar menimbulkan kenyamanan bagi anggota kelompok (Gusliza 2013).Kuatnya
16
kelompok diharapkan dapat menjadi pondasi untuk menyokong kekuatan usaha
(S1,S2,S3,S4,S5,S6),sehingga dapat memenangkan persaingan dengan peternak
ulat tepung yang lain (T5).
Strategi ST yang ketiga termasuk dalam strategi pengembangan pasar yaitu
memperluas jangkauan pemasaran.Kontinuitas produksi (S3) ulat tepung bermutu
tinggi (S1) yang dihasilkan kelompok ternak (S8) ini dapat mengatasi masalah
pesaing (T5) ketika melakukan ekspansi ke daerah baru.Modal yang murah (S6)
untuk memulai usaha juga mendukung strategi ini untuk dilakukan.
Strategi WO yang pertama termasuk dalam strategi integrasi ke depan, yaitu
meningkatkan kemampuan bernegosiasi, khususnya dalam penentuan harga ulat
tepung di pasar (W2). Sebagai produsen utama ulat tepung di kawasan Bogor,
kelompok ini seharusnya dapat mengatur harga di daerah tersebut karena pelaku
usaha masih sedikit (O6) dan permintaan pasar tinggi (O2).Sebelum gagal,
penghasilan kelompok ini cukup besar.Seharusnya, dengan penghasilan yang
besar tersebut peternak tidak lagi berpikir secara tradisional karena adanya
perkembangan dalam bidang teknologi informasi (O7). Kemampuan negosiasi
dapat ditingkatkan dengan mengikuti pelatihan negosiasi, membaca bukutentang
cara bernegosiasi yang baik dan belajar dari orang yang ahli dalam bidang
negosiasi (Evelina 2013).
Strategi WO yang kedua termasuk ke dalam strategi integrasi ke belakang
yaitu mengembangkan kemitraan dengan beberapa agen untuk penyedia
media.Banyaknya permintaan ulat tepung dari pasar (O2) menuntut produktivitas
yang tinggi.Produktivitas sendiri sangat ditentukan oleh ketersediaan
media.Kelompok ini hanya memiliki satu mitra dalam hal media, yaitu Bogasari
(W10).Perkembangan teknologi informasi (O7) dapat dimanfaatkan kelompok
usaha ternak ini untuk memperoleh pemasok media lainnya atau media alternatif
(Deanie et al. 1999).Media alternatif yang dapat digunakan adalah onggok
(Haryanto 2013), yang harganya lebih murah yaitu Rp2 300 kg-1 dan
ketersediannya banyakdidaerah Bogor danSukabumi.
Strategi WO yang ketiga termasuk dalam penetrasi pasar dan
pengembangan pasar yaitu meningkatkan efisiensi teknis usaha.Strategi penetrasi
pasar membutuhkan peningkatan daya jual, sehingga produktivitas harus
ditingkatkan dari sebelum gagal (W5) melalui perbaikan efisiensi teknis
usaha.Perbaikan ini dapat diupayakan melalui pembuatan SOP (W7) yang sesuai
dengan lokasi usaha (W9). Pegawai (W11) sebaiknya dipilih orang yang
berpengalaman dalam menangani ulat tepung, sehingga mampu beradaptasi
dengan cepat dan mengetahui solusi jika terjadi masalah selama proses budidaya
dan ekspansi. Apabila strategi pengembangan pasar dilakukan, maka produktivitas
kelompok harus ditingkatkan melalui efisiensi teknis sejalan dengan strategi
penetrasi pasar.Strategi ini terkendala di pengiriman jarak jauh (W1), karena ulat
tepung rentan terhadap perubahan suhu dan kelembaban (Borror et al.
1982).Kendaraan yang memiliki pengatur suhu dan kelembabanperlu diadakan
untuk melindungi ulat tepung selama pengiriman(Lang 2009), sehingga kelompok
ternak dapat memperluas jangkauan pemasarannya.Perkembangan teknologi
informasi (O7) dapat dimanfaatkan untuk melakukan promosi (W12) sehingga
daya jual meningkat.
Strategi WO yang keempat termasuk dalam strategi pengembangan produk,
yaitu mengembangkan produk ikutan ulat tepung. Kelompok hanya menjual ulat
17
tepung saja (W6), meskipun peluang untuk menjual hasil ikutan ulat tepung (O5)
terbuka lebar.Produk ikutan dari ulat tepung yang dapat dimanfaatkan adalah sisa
ganti kulit dan kotoran.Limbah tersebut dapat digunakan untuk pakan ikan, juga
dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik(Budiutami 2012).Hasil survey pasar
menunjukkan bahwa harga limbah seribu enam ratus rupiah kilo -1.
Strategi WT yang pertama termasuk dalam strategi integrasi ke depan, yaitu
meningkatkan kemampuan negosiasi. Peningkatan kemampuan dalam
bernegosiasi diharapkan dapat memperkuat posisi peternak dalam tawar-menawar
harga dengan penyedia media (T3, T6, W10) maupun pelanggan (W2, T5),
sehingga dapat mencegah fluktuasi harga (T4), mengatasi pesaing (T5), dan
meningkatkan keuntunganbagi peternak.Kemampuan negosiasi dapat ditingkatkan
dengan belajar ke perguruan tinggi dan membaca artikel tentang negosiasi(Evelina
2013).
Strategi WT yang kedua termasuk dalam strategi horizontal, yaitu
mengembangkan kemitraan dalam bidang pendanaan.Peternak ulat tepung
Cigombong terkendala dalam hal modal (W4), kenaikan harga media (T3)
produktivitas yang rendah (W5),saingan dari luar daerah (T5),dan lahan yang
digunakan untuk budidaya masih terikat kontrak (W8). Hal-halini dapat diatasi
jika kelompok mengajukan permohonan bantuan dana pada pemerintah atau
meminjam dana dari bank atau instansi lain.Kemudahan dalam mendapatkan
pendanaan memerlukan bentuk dan struktur organisasi yang lebih solid, misalnya
dalam bentuk koperasi dan UMKM (Rahmatika 2011).
Strategi WT yang ketigamencakup integrasi ke belakang, penetrasi pasar,
dan pengembangan pasaryaitu meningkatkan efisiensi teknis usaha.Strategi
integrasi ke belakang juga disarankan dalam strategi WO ketiga, namun dalam
strategi WT lebih ditekankan pada peningkatan efisiensi usaha melalui
pengurangan biaya input. Hal ini dilakukan dengan mencari pemasok media baru,
untuk mengatasi monopoli pemasok (W10),dan menghindari kenaikan harga
media (T3). Penetrasi pasar juga dilaksanakan pada strategi WO ketiga, tetapi
strategi WT lebih menekankan pada memperkecil pengaruh lokasi yang bercurah
hujan tinggi (W9, T1) dan serangan hama (T2).Strategi ini dapat dijalankan
dengan cara membuat tipe kandang dengan mikroklimat yang optimal.
Pengembangan pasar dilakukan juga dalam strategi SO kedua, ST ketiga, dan
WO ketiga, namun pada strategi ini penekanan lebih dititikberatkanuntuk
meningkatkan efisiensi teknis dengan mengatasi kelemahan di bidang modal (W1,
W4), tehnik usaha (W5), dan promosi (W12)sehingga dapat menghindari fluktuasi
harga (T4), masalah mikroklimat (T1, T2), dan saingan (T5).Semua strategi ini
dapat dijalankan apabila peternak memutuskan untuk membangun usahanya
kembali.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Kelompok usaha ternak ulat tepung berada pada posisi tumbuh dan
membangun (kuadran II) sebelum gagal.Faktor kegagalan usaha disebabkan oleh
18
faktor kelemahan yang dimiliki, terutama modal dan teknis usaha.Strategi yang
disarankan adalah mempertahankan kualitas dan menambah daya jual,
memperluas jangkauan pemasaran, memperkuat kelompok, meningkatkan
kemampuan negosiasi, mengembangkan kemitraan, meningkatkan efisiensi teknis
usaha, dan mengembangkan produk ikutan ulat tepung.
Saran
Agar usaha kelompok ini dapat berjalan kembali, disarankan mendahulukan
strategi WO (mengatasi kelemahan agar dapat memanfaatkan peluang) dan WT
(mengatasi kelemahan dan menghindari ancaman).
DAFTAR PUSTAKA
Aguilar-Miranda ED, Lopez MG, Escamilla-Santana C, Delarosa BAP. 2002.
Characteristic of maize flour tortilla supplemented with ground Tenebrio
molitor larvae. Food Chem(1):192-195.
Afrillita N. 2013. Analsisis SWOT dalam menentukan strategi pemasaran sepeda
motor pada PT. Samekarindo Indah di Samarinda.J AdmBis(1):9-17.
Asba AR. 2006. Integrasi ekspor kopra Makassar di antara kontinuitas dan
diskontinuitas.Sos Hum(10):58-69.
Borror DJ, DeLong DM, Triplehorn CH. 1982. Pengenalan Pelajaran Serangga.
Edisi ke-6. Terjemahan: Partosoedjono, S. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada
University Press.
Budiutami A, Sari NK, Priyanto S. 2012. Optimasi proses ekstraksi kitin menjadi
kitosan dari limbah kulit ulat tepung (Tenebrio molitor).Teknol Kim
Indust(1):46-53.
Damayanti LP. 2013. Analisis kebangkrutan Eastman Kodak Corporation
[skripsi]. Jakarta (ID): Universitas Negeri Jakarta.
Darwanto. 2010. Analisis efisiensi usahatani padi di Jawa Tengah (Penerapan
Analisis Frontier).J Org Man(6):46-57.
Daljono.2005. Akuntansi Biaya Penentuan Harga Pokok dan Pengendalian.Edisi
ke-2 cetakan ke-2. Semarang (ID): Badan Penerbit Undip.
David FR. 2006. Manajemen Strategis, Edisi Sepuluh. Jakarta (ID): PT. Salemba
Empat.
Deanie F, Sandy R, Steve B. 1999. Internet Based Learning: An Introduction and
Framework for Higher Education and Business. Canada (CA): Kogan
Page Limited.
Despins JL, Turner EC, Pleifer DG, 1991.Evaluation of methods to protect
poultry house insulation from infestation by lesser mealworm
(Coleoptera: Tenebrionidae). J Stored Prod Res(28):189-194.
Evelina L.2013.Pentingnya keterampilan berkomunikasi dalam lobi dan
negosiasi.J Komunikol(1):48-57.
19
Favero K. 2013. Tenebrio molitor (Coleoptera: Tenebrionidae) as an alternative
host for parasitoid Trichospilus diatraeae (Hymnenoptera: Eulophidae).
Revista Colombiana de Entomologia(39):47-48.
Ghaly AE. 2009. Theyellow mealworm as a novel so