Analisis Pendapatan Usahatani Padi Sehat di Desa Ciburuy Kecamatan Cigombong Kabupaten Bogor

(1)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dunia sudah mengetahui bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 13 ribu pulau dan semuanya beriklim tropis. Iklim tersebut membuat Indonesia menjadi negara yang memiliki lahan subur sehingga sektor pertanian merupakan sektor yang pada umumnya menjadi sumber mata pencaharian masyarakat Indonesia yang berjumlah kurang lebih 240 juta jiwa. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2009), 74,68 persen dari keseluruhan luas lahan di Indonesia digunakan untuk pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian memiliki peranan penting bagi perekonomian masyarakat Indonesia. Sektor pertanian juga merupakan sektor yang dituntut untuk menghasilkan produk yang berkualitas dan bernilai ekonomis agar dapat bersaing dengan produk sejenis dalam perdagangan internasional.

Sejak masa kolonial hingga saat ini Indonesia tidak dapat lepas dari sektor pertanian. Sektor pertanian memiliki peran penting dan strategis dalam pembangunan nasional Indonesia, terutama dalam hal pengembangan sosial dan ekonomi masyarakat. Priyohutomo (2010) menyatakan bahwa pembangunan ekonomi Indonesia akan dipengaruhi oleh peran sektor pertanian, dimana sektor pertanian merupakan sektor unggulan dalam penyusunan strategi pembangunan nasional. Hal tersebut sejalan dengan prioritas pembangunan ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu II dimana salah satunya adalah Revitalisasi Pertanian dan Pedesaan. Pertanian Indonesia menyediakan lapangan pekerjaan bagi sekitar 44,3 persen penduduk Indonesia (BPS 2002). Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) dari hasil pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan atas dasar harga konstan 2000 adalah sebesar 284,6 triliun rupiah pada tahun 2008 dan 296,4 triliun rupiah pada tahun 2009 atau mengalami pertumbuhan sebesar 4,1 persen. Sedangkan peranan sektor pertanian terhadap PDB Indonesia tahun 2009 tumbuh dari 14,5 persen menjadi 15,3 persen sehingga sektor pertanian berada pada urutan kedua kontribusi PDB terbesar di Indonesia setelah sektor industri pengolahan1.

1

Balai Besar Pelatihan Pertanian Lembang. 2010. Kontribusi Sektor Pertanian Terhadap PDB.

http://www2.bbpp-lembang.info/index.php?option=com_content&view=article&id=515&Itemid=304. [Diakses tanggal 3Maret 2012]


(2)

2 Adapun subsektor pertanian Indonesia antara lain: subsektor pangan, subsektor hortikultura, subsektor perkebunan, subsektor peternakan, subsektor perikanan, dan subsektor kehutanan. Pada Tabel 1 digambarkan volume dan nilai ekspor-impor sektor pertanian pada tahun 2007 sampai dengan 2009.

Tabel 1. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Komoditi Pertanian Indonesia pada Tahun 2007-2009

Sub Sektor

Tahun 2007 Tahun 2008 Tahun 2009

Volume (ton)

Nilai (US$)

Volume (ton)

Nilai (US$)

Volume (ton)

Nilai (US$) Pangan 999.460 289.049 812.330 348.914 786.636 321.280 Hortikultura 393.895 254.537 524.485 433.920 447.609 379.739 Perkebunan 22.105.773 19.948.923 25.182.681 27.369.363 27.864.811 21.581.669 Peternakan 458.900 748.215 635.304 1.148.170 473.182 754.913 Sumber: Pusat Data dan Informasi Pertanian (2009)

Tabel 1 menunjukkan bahwa subsektor pangan merupakan penyumbang volume ekspor terbesar kedua setelah subsektor perkebunan. Akan tetapi, besarnya volume ekspor tersebut tidak sejalan dengan besarnya nilai ekspor. Nilai ekspor di subsektor pangan cenderung yang paling kecil di antara subsektor pertanian lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa produk-produk yang dihasilkan dari subsektor pangan merupakan produk tanpa nilai tambah yang optimal. Dengan volume produksi yang besar, subsektor pangan berpotensi sebagai penunjang kemajuan perekonomian bangsa.

Pangan merupakan kebutuhan pokok dan paling dasar manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, semua manusia di dunia berhak untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Beberapa aturan mengenai pemenuhan kebutuhan pangan tersebut antara lain terdapat pada kesepakatan antar-Negara-Negara di dunia dalam Human Right Declaration pada tahun 1984 di Paris, Perancis dan World Confrence on Human Right 1993 di Wina, Austria. Kedua aturan tersebut menyatakan bahwa setiap individu berhak untuk memperoleh pangan yang cukup. Secara tidak langsung, aturan tersebut mewajibkan setiap negara untuk menyediakan kebutuhan pangan setiap warga negaranya sesuai dengan kebutuhan. Peraturan mengenai hak warga negara di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pangannya tertuang dalam Undang-Undang


(3)

3 Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan yang bertujuan menyediakan pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi kepentingan kesehatan manusia, menciptakan perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab, dan mewujudkan tingkat kecukupan pangan dengan harga yang wajar sesuai dengan kebutuhan masyarakat2.

Selain karena produk yang dihasilkan oleh subsektor pangan merupakan kebutuhan primer bagi manusia, subsektor pangan merupakan subsektor yang paling strategis bila dilihat dari berbagai aspek. Aspek pertama, subsektor pangan berperan sebagai subsektor yang secara tidak langsung mengurangi kemiskinan. Peran ini dapat dilihat dari beberapa dimensi. Dimensi pertama adalah kontribusi subsektor pangan dalam kemiskinan Indonesia. Lebih dari 60 persen penduduk Indonesia bergantung pada pertanian pangan. Oleh karena itu, meningkatkan produktivitas subsektor pangan secara tidak langsung akan mengurangi tingkat kemiskinan. Dimensi kedua, kontribusi subsektor pangan dalam penyerapan tenaga kerja. Subsektor pangan merupakan subsektor yang paling dominan dalam penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Aspek kedua, subsektor pangan berperan sebagai subsektor yang secara tidak langsung mencegah kelaparan dan kekurangan gizi dengan cara meningkatkan produksi pangan dan memberikan kemudahan untuk memperoleh pangan. Aspek ketiga, subsektor pangan secara tidak langung berperan dalam menentukan kelestarian lingkungan hidup. Baik dan buruknya pengaruh ekstentifikasi subsektor pangan terhadap lingkungan hidup akan ditentukan oleh poin-poin yang dilakukan untuk mengembangkan subsektor pangan tersebut. Hal ini disebabkan karena produktivitas subsektor pangan memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap lingkungan3.

Peningkatan populasi tertinggi penduduk Indonesia terjadi pada tahun 1980, yaitu sebesar 23,72 persen dari 119.208.229 jiwa pada tahun 1971 menjadi 147.490.298 jiwa pada tahun 1980. Sepuluh tahun kemudian pada tahun 1990, populasi kembali meningkat sebesar 21,62 persen menjadi sebesar 179.378.946 jiwa. Penurunan laju pertumbuhan populasi menurun dengan signifikan dimulai

2

Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan. 3

Majalah Pangan. 2010. Roadmap Menuju Ketahanan Pangan: Peran serta Strategis Pembangunan Pertanian dan Pedesaan.

http://www.majalahpangan.com/2010/04/roadmap-menuju-ketahanan-pangan-peran-serta-strategis-pembangunan-pertanian-dan-pedesaan/. [Diakses tanggal 25 Mei 2011]


(4)

4 pada tahun 1995 dengan laju pertumbuhan hanya sebesar 8,57 persen menjadikan jumlah penduduk sebesar 194.754.808 jiwa. Laju pertumbuhan yang kecil terus berlanjut hingga tahun 2010. Dengan jumlah penduduk Indonesia sebesar 237.641.326 jiwa pada tahun 2010 menjadikan Indonesia sebagai negara dengan tingkat populasi terbesar keempat di dunia4. Tabel 2 menunjukkan perkembangan jumlah penduduk Indonesia.

Tabel 2. Perkembangan Jumlah Penduduk Indonesia Sesuai Sensus Penduduk Indonesia Tahun 1971-2010

Tahun Jumlah Penduduk (jiwa) Laju Pertumbuhan Penduduk (%)

1971 119.208.229

1980 147.490.298 23,72

1990 179.378.946 21,62

1995 194.754.808 8,57

2000 206.264.595 5,33

2005 218.868.791 6,70

2010* 237.641.326 8,57

Sumber: Badan Pusat Statistik (2010) Keterangan: *Proyeksi

Menurut Nafis (2011), negara-negara berkembang dengan peningkatan jumlah penduduk yang tinggi akan berdampak negatif pada sektor ekonomi, sosial, kesehatan, dan yang paling utama adalah pemenuhan kebutuhan akan pangan. Oleh karena itu, kebijakan yang terkait dengan pangan di Indonesia menjadi prioritas utama. Hal ini dapat dibuktikan dengan jumlah alokasi APBN tahun 2011 untuk belanja modal (dimana belanja modal difokuskan untuk pengadaan infrastruktur dasar pendukung pertumbuhan ekonomi dan sektor pertanian dalam rangka program ketahanan pangan) sebesar Rp121 triliun atau sebesar 9,84 persen dari total keseluruhan APBN tahun 20115. Jenis tanaman pangan yang dibudidayakan di Indonesia antara lain padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, dan ubi jalar.

4

CIA World Factbook. 2012. Indonesia.

https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/id.html. [Diakses tanggal 13 Maret 2012]

5

Getar Merdeka. 2011. Alokasi Belanja APBN 2011 Jadi Rp 1229,5 Triliun.

http://getarmerdeka.blogspot.com/2010/10/alokasi-belanja-apbn-2011-jadi-rp1229-5.html. [Diakses tanggal 26 mei 2011]


(5)

5 Padi merupakan komoditas yang paling banyak dibudidayakan di Indonesia karena beras yang merupakan produk utama dari komoditas padi adalah makanan pokok hampir seluruh masyarakat Indonesia. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3, luas panen padi merupakan yang terluas di antara luas panen komoditas padngan lainnya. Hal ini disebabkan karena beras merupakan sumber karbohidrat dan energi paling utama bagi penduduk Indonesia. CIA World Fact

Book (2006) menyatakan bahwa 99 persen penduduk Indonesia menggunakan beras sebagai sumber makanan pokok. Oleh karena itu dalam rangka memenuhi kebutuhan utama masyarakat Indonesia tersebut, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan pangan nasional difokuskan pada penyediaan komoditas beras dalam jumlah yang cukup bagi seluruh rakyat Indonesia. Selain karena kebutuhan beras sebagai kebutuhan pokok, menanam padi juga merupakan budaya masyarakat Indonesia sebagai negara beriklim tropis sehingga mendukung budidaya padi dari faktor alam, yaitu iklim dan cuaca. Dukungan faktor alam tersebut diakibatkan oleh posisi Indonesia yang secara geografis terletak di sepanjang garis khatulistiwa sehingga hampir semua lahan di semua daerah di Indonesia bisa ditanami padi. Itulah sebabnya komoditas padi merupakan komoditas pertanian yang paling penting di Indonesia. Tabel 3 menunjukkan luas panen, produktivitas, dan produksi berbagai jenis tanaman pangan Indonesia.

Tabel 3. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Berbagai Jenis Tanaman Pangan Indonesia Tahun 2010

Jenis Tanaman Pangan

Luas Panen (ha)

Produktivitas (ku/ha)

Produksi (ton)

Padi 12.147.637 50,15 66.411.469

Jagung 4.137.676 44,36 18.327.636

Kedelai 660.823 13,48 907.301

Kacang Tanah 620.563 12,56 779.228

Kacang Hijau 258.157 11,30 291.705

Ubi Kayu 1.183.047 202,17 23.918.118

Ubi Jalar 181.073 113,27 2.051.046


(6)

6 Pulau Jawa merupakan pulau dengan produktivitas padi terbesar di Indonesia. Dari tahun ke tahun, jumlah produktivitas padi dari luar Pulau Jawa pun masih lebih kecil dibandingkan dengan jumlah produktivitas di Pulau Jawa sendiri. Data tersebut mengindikasikan bahwa Pulau Jawa merupakan pulau yang secara teknis (cuaca dan iklim serta kesuburan lahan) mendukung pembudidayaan padi. Di Pulau Jawa sendiri, dari keenam provinsi yang ada di Pulau Jawa, Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi yang paling tinggi produksi padinya. Tabel 4 menunjukkan produksi padi di Indonesia menurut pulau/provinsi.

Tabel 4. Perkembangan Produksi Padi di Indonesia Menurut Pulau/Provinsi Tahun 2009-2011

Pulau/Provinsi

Tahun (ton GKG)

2009 2010 2011*

Sumatera 14.696.457 15.200.446 15.407.591

Jawa 34.880.131 36.375.384 36.431.936

D.K.I. Jakarta 11.013 11.164 11.321

Jawa Barat 11.322.681 11.737.683 11.436.334

Banten 1.849.007 2.048.047 1.953.505

Jawa Tengah 9.600.415 10.110.830 10.607.094

D.I. Yogyakarta 837.930 823.887 826.752

Jawa Timur 11.259.085 11.643.773 11.596.930

Bali & Nusa Tenggara 3.356.898 3.176.928 3.419.200

Kalimantan 4.392.112 4.422.961 4.520.406

Sulawesi 6.801.668 6.960.376 7.244.213

Maluku & Papua 2 71.624 2 75.374 2 83.978

Jumlah Luar Jawa 29.518.759 30.036.085 30.875.388

Total 64.398.890 66.411.469 67.307.324

Sumber: Pusat Data dan Informasi Pertanian (2012) Keterangan: *Proyeksi

Selanjutnya, sentra produksi padi di Indonesia terdapat pada Provinsi Jawa Barat. Luas tanam dan luas panen padi di Provinsi Jawa Barat merupakan yang paling besar di Indonesia. Terdapat beberapa kabupaten/kota yang penduduknya membudidayakan padi di Jawa Barat, antara lain: Bogor, Sukabumi, Bandung,


(7)

7 Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan, Cirebon, Majalengka, Sumedang, Indramayu, Subang, Purwakarta, Karawang, Bekasi, Depok, Cimahi, dan Banjar6. Produktivitas padi sawah dan ladang di Kabupaten Bogor adalah sebesar 538.777 ton pada tahun 2010. Tabel 5 menunjukkan luas tanam dan luas panen tanaman padi di Indonesia menurut pulau/provinsi.

Tabel 5. Luas Tanam dan Luas Panen Tanaman Padi di Indonesia Menurut Pulau/Provinsi Tahun 2010

Pulau/Provinsi Luas Tanam (Hektar) Luas Panen (Hektar)

Sumatera 3.423.928 3.330.613

Jawa 5.729.538 6.093.603

D.K.I. Jakarta 1.853 1.974

Jawa Barat 1.876.377 1.950.203

Banten 1.656.841 1.725.034

Jawa Tengah 142.105 145.424

D.I. Yogyakarta 1.680.176 1.904.830

Jawa Timur 372.186 366.138

Bali & Nusa Tenggara 634.107 718.781

Kalimantan 1.338.904 1.269.655

Sulawesi 1.305.385 1.399.139

Maluku & Papua 65.263 71.785

Jumlah Luar Jawa 6.767.587 6.789.973

Total 12.497.125 12.883.576

Sumber: Pusat Data dan Informasi Pertanian (2012)

Terdapat dua sistem budidaya padi, yaitu dengan cara konvensional (anorganik) dan organik. Sistem budidaya padi dengan cara konvensional yaitu sistem penanaman dengan menggunakan bahan-bahan kimia dalam proses budidayanya, contohnya menggunakan pupuk dan pestisida kimia. Sistem budidaya dengan cara konvensional sudah menjadi kebiasaan para petani. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan zaman, sistem budidaya padi dengan cara

6

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. 2009. Luas Tanam Padi Sawah dan Padi Ladang Provinsi Jawa Barat. http://www.diperta.jabarprov.go.id/index.php/subMenu/909. [Diakses tanggal 21 November 2011]


(8)

8 organik mulai diterapkan. Penerapan sistem tersebut disebabkan oleh perubahan gaya hidup masyarakat yang lebih mengutamakan kesehatan dan kelestarian

lingkungan hidup. Gaya hidup sehat masyarakat dunia dengan slogan “Back to Nature” merupakan tren baru pada abad 21 sehingga segala sesuatu yang dikonsumsi mulai diusahakan berbahan dasar organik.

Meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesehatan dan kelestarian lingkungan menyebabkan masyarakat lebih selektif dalam memilih pangan yang aman bagi kesehatan dan ramah lingkungan. Permintaan akan pangan berbahan organik, terutama beras organik pun semakin meningkat. Para petani dan pemerintah daerah pun mulai menyadari adanya peluang pasar organik yang besar dan menguntungkan sehingga beberapa pemerintah daerah yang salah satunya adalah Pemerintah Kabupaten Bogor mulai menyusun berbagai program terkait produksi pangan berbahan dasar organik, salah satunya adalah Program Peningkatan Produktivitas Beras Nasional dengan memanfaatkan local spesific. Hal ini maksudnya adalah mengintensifkan lahan sawah yang semakin sempit di Kabupaten dan Kota Bogor untuk produksi beras organik sehingga berdaya saing lebih7.

Terdapat sebelas dari 40 kecamatan di Kabupaten Bogor yang memiliki potensi pengembangan usahatani padi sawah organik. Sebagaimana yang ditunjukkan dalam Lampiran 1, di beberapa kecamatan ada beberapa desa yang di setiap desanya memiliki beberapa kelompok tani padi sawah organik. Kelompok-kelompok tani tersebut merupakan objek program Pemerintah Kabupaten Bogor dalam mendukung pengembangan potensi padi organik. Sampai saat ini desa-desa di Kabupaten Bogor belum ada yang tercatat berhasil menerapkan sistem budidaya padi murni organik, tetapi masih semi organik. Istilah padi yang dibudidayakan secara semi organik tersebut dinamakan padi sehat. Oleh karena itu, dalam masa transisi dari sistem budidaya anorganik ke organik, produk beras yang dihasilkan dari sistem budidaya padi semi organik dinamakan beras sehat.

Kelompok Tani Silih Asih yang berlokasi di Desa Ciburuy merupakan kelompok tani yang memiliki lahan pertanian padi sehat paling luas dari 26

7

Pemerintah Kota Bogor. 2011. Kota Bogor Rintis Beras Sehat Melalui Pengembangan Sawah Organik. http://kotabogor.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=7218. [Diakses tanggal 21 November 2011]


(9)

9 kelompok tani yang menjadi objek program pengembangan potensi padi organik Kabupaten Bogor. Kelompok Tani Saung Kuring juga merupakan kelompok tani yang berlokasi di Desa Ciburuy dan membudidayakan padi sehat. Oleh karena itu, data tersebut secara tidak langsung menginformasikan bahwa Desa Ciburuy merupakan sentra produksi padi sehat di Kabupaten Bogor sehingga dijadikan teladan bagi desa-desa bahkan kecamatan lain di Kabupaten Bogor dalam pengembangan potensi padi organik.

1.2 Perumusan Masalah

Pihak Departemen Pertanian dan Kehutanan Pemerintah Kabupaten Bogor menyatakan bahwa budidaya padi secara murni organik masih belum berkembang di Kabupaten Bogor. Hal ini disebabkan karena adanya risiko yang dihadapi petani dalam proses transisi dari budidaya padi secara konvensional (anorganik) menjadi organik. Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten Bogor, khususnya Dinas Pertanian dan Kehutanan akan sangat mendukung apabila ada petani atau sekelompok petani yang ingin mengembangkan budidaya padi secara organik. Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong diklaim Departemen Pertanian dan Kehutanan Pemerintah Kabupaten Bogor sebagai produsen padi sehat yang paling berkembang di Kabupaten Bogor. Padi sehat merupakan padi yang dibudidayakan dengan sistem budidaya semi organik, yaitu mengkombinasikan input-input berbahan dasar kimia dan berbahan dasar organik dalam proses budidayanya.

Gapoktan Silih Asih merupakan satu-satunya gapoktan yang menaungi para petani, baik padi sehat maupun usahatani lainnya di Desa Ciburuy. Sistem budidaya padi sehat sudah mulai diterapkan sejak tahun 2001 yang didukung oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan Pemerintah Kabupaten Bogor dan lembaga lain seperti Lembaga Pertanian Sehat (LPS) yang berada di bawah naungan Dompet Dhuafa. Beberapa program dan kebijakan terkait permodalan, kemitraan, penyediaan input-input produksi, dan sebagainya yang bertujuan untuk mendukung kegiatan usahatani padi sehat telah disusun oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan Pemerintah Kabupaten Bogor. Beras SAE (Sehat, Aman, dan Enak) dan Si Gemar yang merupakan produk dari usahatani padi sehat sudah cukup populer di Kabupaten Bogor. Akan tetapi, data Demografi Desa Ciburuy bulan November tahun 2011 menunjukkan bahwa dari 1.416 penduduk desa yang


(10)

10 berprofesi sebagai petani, tercatat hanya 52 orang (3,67 persen) diantaranya yang aktif melakukan usahatani padi sehat dan rata-rata menggarap lahan seluas 0,34 hektar dengan ukuran usahatani antara 0,1 sampai dengan satu hektar. Hal ini tentu menimbulkan beberapa pertanyaan, di antaranya:

1. Mengapa jumlah petani padi sehat di Desa Ciburuy masih relatif sedikit? Faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan para petani tidak mengembangkan kegiatan usahatani padi sehat di Desa Ciburuy? Apakah usahatani padi sehat di Desa Ciburuy merugikan dan tidak efisien dari segi biaya bagi petani?

2. Apakah terdapat perbedaan pendapatan dan efisiensi biaya yang signifikan antarpetani padi sehat berdasarkan ukuran usahatani?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis keragaan usahatani padi sehat ukuran usahatani luas dan sempit di Desa Ciburuy.

2. Menganalisis pendapatan dan efisiensi biaya usahatani padi sehat ukuran usahatani luas dan sempit di Desa Ciburuy.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi beberapa pihak. Bagi para petani, penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperdalam pengetahuan para petani tentang kegiatan usahatani yang mereka lakukan sehingga menghasilkan pertimbangan keputusan yang bijaksana dan tepat dalam rangka meningkatkan produksi dan pendapatan. Meningkatnya pendapatan usahatani padi sehat secara tidak langsung akan meningkatkan kesejahteraan petani itu sendiri. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan sebagai media informasi tentang masalah-masalah potensial yang dihadapi petani dalam usahatani padi sehat sehingga dapat mengeluarkan kebijakan dan program yang tepat untuk mendukung petani dalam hal permodalan, kemitraan, dan penyediaan input-input produksi yang tepat guna bagi petani. Bagi investor, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bagian referensi untuk memproyeksikan kondisi investasinya dalam beras sehat bahkan murni organik di masa depan. Bagi pembaca, penelitian ini


(11)

11 diharapkan sebagai penambah wawasan tentang padi sehat serta permasalahan dalam budidayanya. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi untuk pengembangan penelitian mengenai usahatani padi anorganik, sehat, maupun organik. Bagi penulis, penelitian ini sebagai implementasi ilmu yang telah didapatkan di bangku kuliah untuk menganalisis dan memecahkan permasalahan yang ditemukan sesuai dengan bidang ilmu.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Komoditas yang diteliti pada penelitian ini adalah komoditas padi yang dibudidayakan secara semi organik atau yang dikenal dengan padi sehat. Substansi penelitian ini dibatasi hanya pada analisis pendapatan dan efisiensi biaya (penerimaan yang dihasilkan setiap biaya yang dikeluarkan) usahatani padi sehat pada musim tanam 2010/2011. Responden petani padi sehat yang termasuk dalam penelitian ini berlokasi di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor.


(12)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pertanian Pangan Organik dan Budidaya Padi Organik

Teknologi pertanian yang semakin mutakhir dan dapat diperbaharui (renewable) menimbulkan perubahan yang signifikan dalam kegiatan usahatani, khususnya tanaman pangan. Menurut Andoko (2002), peran serta teknologi pertanian dalam kegiatan usahatani menjadikan pertanian tradisional berubah menjadi pertanian modern. Perubahan yang ditimbulkan dalam pertanian modern dapat berupa perubahan yang positif dan negatif. Perubahan yang positif dari pertanian modern adalah yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas tanaman dengan berbagai cara, antara lain penggunaan benih/bibit unggul, penggunaan pupuk kimia yang menyebabkan lahan menjadi subur, dan pembasmian hama dan penyakit tanaman menggunakan pertisida kimia.

Selain perubahan positif, pertanian modern juga menyebabkan perubahan negatif dalam jangka panjang. Dampak negatif dari penggunaan benih/bibit unggul berkaitan dengan keanekaragaman hayati, yaitu tersingkirnya bahkan punahnya jenis tanaman lain akibat penanaman dan pengembangan hanya varietas-varietas yang menguntungkan secara ekonomis. Selanjutnya, dampak negatif penggunaan pupuk kimia secara berkesinambungan adalah perusakan tanah dalam jangka panjang, yaitu struktur tanah yang secara alami gembur menjadi sangat keras. Dampak negatif selanjutnya adalah penggunaan pestisida kimia. Penggunaan pestisida kimia yang awalnya bertujuan hanya untuk membasmi hama ternyata turut membasmi organisme yang bukan menjadi target penyemprotannya, yaitu organisme yang berjasa menguraikan serasah dedaunan menjadi tanah yang kaya bahan organik sehingga membuat tanah tetap subur dan gembur. Selain itu, penggunaan pestisida kimia dalam proses budidaya tanaman pangan dapat menyebabkan keracunan bagi manusia yang mengkonsumsinya. Keracunan tersebut dapat berupa timbulnya penyakit kanker, stroke, bahkan kebutaan baik bagi orang yang mengonsumsi tanaman hasil semprotan pestisida kimia maupun petani yang terlibat langsung dalam kegiatan penyemprotan dengan pestisida kimia.

Oleh karena adanya dampak negatif akibat penggunaan bibit unggul, pupuk, dan pestisida kimia, manusia pun berusaha mengembangkan teknik


(13)

13 budidaya yang aman, baik untuk lingkungan maupun manusia sebagai konsumen produk tanaman pangan. Teknik budidaya tersebut kemudian dikembangkan dengan cara organik (pertanian organik), yaitu teknik budidaya yang menggunakan input-input yang berbahan dasar organik. Input-input yang digunakan dalam teknik budidaya organik misalnya benih varietas lokal yang relatif masih alami, pupuk organik (seperti kandang, kompos, dan lain-lain), serta pestisida nabati. Oleh karena itu, produk pangan yang dibudidayakan secara organik terbebas dari residu zat berbahaya.

Pertanian pangan organik merupakan suatu sistem budidaya tanaman yang bertujuan untuk mendaur ulang hara secara alami yang berasal dari limbah tanaman (pupuk kompos), ternak (pupuk kandang), dan limbah lainnya yang mampu meningkatkan kesuburan dan memperbaiki struktur tanah (Sutanto 2002). Mekanisme sistem budidaya organik adalah mentransfer unsur hara dari sisa tanaman, kompos, dan pupuk kandang ke dalam tanah melalui proses mineralisasi. Dengan kata lain, unsur hara didaur ulang melalui beberapa tahapan sehingga menghasilkan bentuk senyawa organik yang dapat diserap oleh tanaman. Oleh karena itu, terdapat perbedaan yang signifikan antara sistem budidaya organik dengan sistem budidaya konvensional (anorganik). Mekanisme sistem budidaya konvensional adalah memberikan unsur hara secara cepat dan langsung dalam bentuk larutan sehingga segera diserap dalam takaran dan waktu pemberian yang sesuai dengan kebutuhan tanaman tanpa melalui beberapa tahapan.

Kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan sistem budidaya organik antara lain bentuk bahan yang susah untuk diperoleh (bulkiness), takaran bahan organik yang harus dalam jumlah banyak, dan persaingan dengan kepentingan lain di luar bidang pertanian untuk memperoleh bahan-bahan organik dalam jumlah yang cukup sehingga menyebabkan biaya yang lebih tinggi untuk memperoleh input-input organik daripada input-input kimia. Oleh karena itu, pertanian organik belum dapat diterapkan secara murni. Diperlukan masa transisi dalam perubahan dari sistem budidaya konvensional menjadi sistem budidaya organik. Hal-hal yang dilakukan dalam masa transisi tersebut misalnya adalah tetap menggunakan pupuk kimia pada tahap awal penerapan sistem budidaya organik, terutama pada tanah yang miskin unsur hara. Seiring dengan berjalannya


(14)

14 waktu dan proses pembangunan kesuburan tanah melalui penggunaan pupuk organik yang berkesinambungan, secara perlahan penggunaan pupuk kimia berkadar hara tinggi dapat dikurangi dan digantikan dengan pupuk organik. Perpaduan budidaya organik dan konvensional disebut dengan Sistem Gizi Tanaman Terpadu/SGTT (Integrated Plant Nutrient System/INPS) atau dapat juga disebut sebagai Pengelolaan Gizi/Nutrisi Terpadu. Sistem ini sudah mulai dikembangkan oleh badan dunia FAO (Food Association Organization) dan diterapkan di beberapa negara di kawasan Asia dan Pasifik.

Salah satu komoditas dalam tanaman pangan yang telah banyak dibudidayakan secara organik di Indonesia adalah tanaman padi. Menurut Andoko (2002) tidak terdapat banyak perbedaan dalam membudidayakan padi secara organik maupun konvensional. Perbedaannya hanya terdapat pada pemilihan varietas dan penggunaan pupuk dasar. Varietas benih/bibit yang digunakan dalam budidaya padi secara organik adalah benih/bibit non-hibrida. Tujuan penggunaan benih/.bibit non-hibirda adalah untuk mempertahankan keanekaragaman hayati. Selain itu, varietas benih/bibit non-hibrida memungkinkan untuk ditanam secara organik karena varietas benih/bibit non-hibrida dapat hidup dan berproduksi optimal pada kondisi yang alami sedangkan benih/bibit hibrida dikondisikan untuk dibudidayakan secara anorganik, antara lain harus menggunakan pupuk kimia dan harus menggunakan pestisida kimia dalam pemberantasan hama dan penyakit.

Langkah-langkah budidaya padi secara organik antara lain adalah sebagai berikut (Andoko 2002):

1. Pemilihan Varietas

Padi hibrida kurang cocok untuk ditanam secara organik karena diperoleh melalui proses pemuliaan di laboratorium. Walaupun merupakan varietas unggul tahan hama dan penyakit tertentu, padi hibrida pada umumnya hanya dapat tumbuh dan berproduksi optimal bila disertai dengan aplikasi pupuk kimia dalam jumlah banyak. Varietas padi yang cocok ditanam secara organik hanyalah jenis atau varietas alami, antara lain rojolele, mentik, pandan, dan lestari.


(15)

15 Pembenihan merupakan salah satu tahap dalam budidaya padi karena umumnya ditanam dengan menggunakan benih yang sudah disemaikan terlebih dahulu di tempat lain. Dalam penyeleksian benih, perlu diperhatikan kualitas benih. Spesifikasi benih yang bermutu adalah jenis yang murni, bernas, kering, sehat, bebas dari penyakit, dan bebas dari campuran biji rerumputan yang tidak dikehendaki. Penggunaan benih yang ideal pada setiap hektar tanah yang akan ditanami 30 kg.

3. Penyiapan Lahan

Penyiapan lahan pada dasarnya adalah pengolahan tanah sawah hingga siap untuk ditanami. Prinsip pengolahan tanah adalah pemecahan bongkahan-bongkahan tanah sawah sedemikian rupa hingga menjadi lumpur lunak dan sangat halus. Selain kehalusan tanah, ketersediaan air yang cukup harus diperhatikan. Pembajakan sawah dapat menggunakan traktor atau cara tradisional dengan tenaga hewan (biasanya memanfaatkan kerbau). Pembajakan sawah dengan kedua cara tersebut memiliki tujuan yang sama, yaitu pembalikan tanah. Akan tetapi, menurut pengalaman padi organik, cara pembajakan tradisional memberikan hasil yang lebih baik.

4. Penanaman

Syarat bibit yang baik untuk dipindahkan ke lahan penanaman adalah memiliki tinggi sekitar 25 cm, memiliki 5 sampai dengan 6 helai daun, batang bawah besar dan keras, bebas dari hama dan penyakit, serta berjenis varietas seragam. Umur bibit berpengaruh terhadap produktivitas. Umur terbaik varietas genjah (100 sampai dengan 115 hari) untuk dipindahkan adalah 18 sampai dengan 21 hari, varietas sedang (sekitar 130 hari) adalah 21 sampai dengan 25 hari, dan varietas dalam (sekitar 150 hari) adalah 30 sampai dengan 45 hari. Jarak tanam di lahan pun mempengaruhi tinggi rendahnya produktivitas padi. Penentuan jarak tanam sendiri dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu sifat varietas dan kesuburan tanah. Bila varietas memiliki sifat merumpun tinggi maka jarak tanamnya harus lebih lebar dari padi yang memiliki sifat merumpun rendah. Sementara bila tanah sawah lebih subur, jarak tanam harus lebih lebar dibandingkan dengan tanah sawah kurang subur.


(16)

16 5. Penyulaman

Penyulaman merupakan penggantian bibit yang tidak tumbuh, rusak, dan mati dengan bibit baru. Penyulaman sebaiknya dilakukan maksimal dua minggu setelah tanam untuk mencegah pertumbuhan padi yang tidak serentak.

6. Pengolahan Tanah Ringan

Pengolahan tanh ringan biasanya dilakkukan sekitar dua puluh hari setelah tanam. Tujuan pengolahan tanah ringan adalah menukar udara, yaitu memasukkan oksigen ke dalam tanah dan menguapkan gas-gas yang terbentuk dalam keadaan anaerobik di dalam tanah.

7. Penyiangan

Penyiangan pertama dilakukan seminggu setelah pengolahan lahan ringan. Tujuan penyiangan adalah memberantas tanaman liar atau tanaman pengganggu (gulma) yang masih tumbuh seiring pertumbuhan padi. Pertumbuhan tanaman tersebut menyebabkan timbulnya persaingan dengan tanaman padi dalam memperoleh zat hara dari tanah. Penyiangan dilakukan dengan cara mencabut gulma dan membuangnya ke luar areal sawah atau dipendam dalam lumpur sawah sedalam-dalamnya. Dalam satu musim tanam, dilakukan tiga kali penyiangan, yaitu pada saat tanaman berumur empat minggu, 35 hari, dan 55 hari.

8. Pemasukan dan Pengeluaran Air

Teknik penggenangan sawah dilakukan dengan menyesuaikan ketinggian air dengan fase pertumbuhan tanaman. Pada fase awal pertumbuhan, sawah harus digenangi air setinggi 2 sampai dengan 5 cm dari permukaan tanah selama 15 hari. Pada fase pembentukan anakan, ketinggian air perlu ditingkatkan dan dipertahankan antara 3 sampai dengan 5 cm. Pada masa bunting, ketinggian genangan air ditingkatkan kembali sampai sekitar 10 cm karena pada masa ini air sangat dibutuhkan dalam jumlah banyak. Pada fase pembungaan, ketinggian air dipertahankan antara 5 sampai dengan 10 cm. Bila mulai tampak keluar bunga, sawah perlu dikeringkan selama 4 sampai dengan 7 hari agar pembungaan berlangsung secara serentak. Pada saat bunga


(17)

17 muncul serentak, air segera dimasukkan kemballi dengan ketinggian tetap 5 sampai dengan 10 cm.

Sedangkan pengeringan sawah dilakukan hanya pada fase sebelum bunting selama 4 sampai dengan 5 hari dan fase pemasakan biji hingga saat padi dipanen. Tujuan utama pengeringan sawah adalah untuk memperbaiki aerasi tanah, memacu pertumbuhan anakan, meningkatkan suhu dalam tanah, meningkatkan perombakan bahan organik oleh jasad renik, mencegah terjadinya busuk akar, serta mengurangi populasi berbagai hama.

9. Pemupukan

Kegiatan pemupukan dibagi ke dalam dua jenis, yaitu pemupukan dasar dan pemupukan susulan. Pemupukan dasar dilakukan bersamaan dengan kegiatan pembajakan kedua. Jenis pupuk organik yang digunakan sebagai pupuk dasar berupa pupuk kandang atau kompos matang sebanyak 5 ton /ha. Pemupukan susulan pada budidaya padi secara organik dilakukan tiga kali selama satu musim tanam. Pemupukan susulan tahap I dilakukan saat tanaman berumur sekitar 15 hari dengan menggunakan jenis pupuk kandang matang sebanyak 1 ton/ha atau kompos fermentasi sebanyak 05 ton/ha. Pemupukan susulan tahap II dilakukan seminggu sekali saat tanaman berumur 25 sampai dengan 60 hari dengan menggunakan jenis pupuk organik cair buatan sendiri dengan unsur N yang tinggi sebanyak 1 liter pupuk dilarutkan dalam 17 liter air. Pemupukan susulan tahap III dilakukan seminggu sekali saat tanaman memasuki fase generatif atau pembentukan buah, yaitu setelah tanaman berumur 60 hari dengan menggunakan pupuk organik cair buatan sendiri dengan unsur P dan K tinggi sebanyak 2 sampai dengan 3 sendok makan pupuk P organik dicampurkan dalam 15 liter pupuk K organik.

10. Pemberantasan Hama dan penyakit

Pemberantasan hama dan penyakit padi organik perlu dilakukan secara terpadu antara teknik budidaya, biologis, fisik (perangkap atau umpan), dan kimia (pestisida organik/nabati).

Selanjutnya, jenis-jenis gulma, hama, dan penyakit yang biasa menyerang tanaman padi, baik yang anorganik maupun organik adalah sebagai berikut (Andoko 2002):


(18)

18 1. Jajagoan (Echinochloa crus-galli), merupakan sejenis rumput berbatang bulat, sering dijumpai pada tanaman padi di lahan basah, dan mampu menghasilkan biji dengan pertumbuhan yang sangat baik (terutama bila tanah banyak mengandung unsur Nitrogen). Saat masih muda, rumput ini seruppa dengan tanaman padi sehingga sulit dibedakan. Pada tanaman padi di bawah umur 60 hari, jajagoan menjadi gulma yang sangat serius.

2. Sunduk gangsir (Digtaria ciliaris), merupakan sejenis rumput berbatang bulat, sering dijumpai pada tanaman padi di lahan agak kering , dan mampu bertahan hidup dalam kondisi agak ekstrim.

3. Teki (Cyperus rotundus), merupakan sejenis rumput berbatang segitiga dan berumbi, memperbanyak hanya menggunakan batang bawah (umbi) walaupun menghasilkan biji, mampu tumbuh dan berkembang dalam berbagai kondisi tanah dan lingkungan, dan umbinya mampu bertahan hidup walaupun di areal persawahan yang tergenang atau kekeringan dalam waktu lama.

4. Eceng, merupakan tanaman berdaun lebar dan bersifat annual, sering dijumpai pada tanaman padi sawah, memperbanyak dengan biji, dan hidup di berbagai tempat basah atau genangan air.

Pembudidayaan padi secara organik tidak terlepas dari serangan hama dan penyakit. Hama-hama tersebut tergolong hama penting karena serangannya dapat merugikan petani. Jenis hama-hama tersebut antara lain adalah sebagai berikut: 1. Wereng, merupakan serangga kecil yang pada saat dewasa menghisap cairan

pada pangkal batang dan buir padi yang masih lunak sehingga padi yang terserang menjadi layu, menguning, dan akhirnya mati. Jenis-jenis wereng yang menyerang padi antara lain: wereng cokelat (Nilaparvata lugens), wereng hijau (Nephotettix virescens), wereng zig-zag (Deltocephalus dorsalis), dan wereng putih (Cofana spectra).

2. Walang sangit (Leptocorisa oratorius), merupakan bertubuh ramping dengan tungkai dan antena memanjang dan menghisap setiap bulir padi, baik yang baru berisi maupun lama berkali-kali sehingga warnanya menjadi kecokelatan dan hampa.

3. Penggerek batang, menyerang padi pada saat masih muda dengan tanda daun termuda mengering dan mudah dicabut (sundep), dan menyerang padi pada


(19)

19 saat berada pada fase berbunga dengan tanda batang terpotong sehingga malai menjadi kering (beluk). Jenis-jenis penggerek batang yang menyerang padi antara lain: penggerek batang bergaris (Chilo supressalis), penggerek batang kuning (Tryporyza incertulas), dan penggerek batang merah jambu (Sesamia inferens).

4. Ganjur (Orseolia oryzae), merupakan serangga berbentuk nyamuk berwarna kemerahan yang memakan bagian padi di antara dasar titik timbuj dan pucuk tanaman sehingga seludang daun di sekelilingnya menjadi tumbuh berongga. 5. Tikus (Rattus argentiventer), merupakan binatang bersifat jera hama, yaitu

tidak akan memangsa umpan beracun lagi bila pernah memangsanya dan menyerang tanaman padi mulai dari yang masih di persemaian, stadia vegetatif, maupun setelah membentuk biji.

Sedangkan jenis-jenis penyakit yang sering menyerang padi antara lain sebagai berikut:

1. Bercak cokelat, disebabkan oleh cendawan Helmintosporium oryzae yang mengakibatkan kehilangan hasil sampai 50 persen dan kualitas bijinya rendah. Gejala serangannya antara lain timbul bercak-bercak cokelat seperti biji wijen pada daun atau gabah.

2. Blast, disebabkan oleh cendawan Pyricularia oryzae yang dipicu oleh penggunaan pupuk N terlalu tinggi dengan curah hujan dan kelembaban yang tinggi. Gejala serangannya antara lain muncul bercak berbentuk seperti mata pada daun padi.

3. Tungro, disebabkan oleh virus tungro yang dibawa oleh hama wereng yang mengakibatkan padi menjadi kerdil dan daun bewarna kuning atau jingga.

2.2 Kajian Analisis Pendapatan Usahatani Komoditas Padi

Penelitian Anshori (2010) menggunakan analisis usahatani yang terdiri dari biaya, pendapatan, dan efisiensi pendapatan usahatani padi ketan putih dan non ketan. Secara umum kegiatan usahatani padi ketan putih dan usahatani padi non ketan mulai dari kegiatan pengolahan tanah hingga panen keduanya hampir sama, namun perbedaan terletak pada kegiatan budidaya yang lebih banyak pada usahatani padi ketan putih, seperti kegiatan pemberian pupuk dan pestisida yang lebih sering dilakukan daripada usahatani padi non ketan. Hasil penelitian


(20)

20 menunjukkan bahwa usahatani padi ketan putih dan non ketan menguntungkan bagi petani dan efisiensi dari segi pendapatan.

Fatullah (2010) membandingkan antara analisis usahatani padi konvensional dan padi sehat dengan menggunakan analisis usahatani yang terdiri dari biaya, pendapatan, dan efisiensi pendapatan usahatani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan dalam proses budidaya padi sehat lebih banyak daripada padi konvensional, yaitu terdapat kegiatan tambahan seperti kegiatan persiapan benih, pembuatan pupuk kompos, pembuatan pestisida nabati, dan pembuatan pupuk cair. Jika dilihat dari segi keuntungan, maka keuntungan usahatani padi sehat lebih besar daripada keuntungan usahatani padi konvensional, sedangkan jika dilihat dari segi efisiensi pendapatan, maka usahatani padi konvensional lebih efisien daripada usahatani padi sehat. Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa usahatani padi sehat menghasilkan keuntungan bagi petaninya. Sementara menurut Lubis (2009), usahatani padi sehat memiliki risiko yang bersumber dari risiko produksi dan risiko harga. Berdasarkan hasil analisis, risiko produksi pada usahatani padi sehat memiliki dampak besar walaupun probabilitas terjadinya risiko kecil, sedangkan risiko penerimaan memiliki dampak yang kecil tetapi probabilitas terjadinya risiko besar. Hal ini menunjukkan bahwa petani padi sehat sering menghadapi risiko penerimaan yang dapat menurunkan tingkat pendapatan walaupun dampaknya kecil.

Mulyaningsih (2010) membandingkan kegiatan usahatani padi SRI dan konvensional dengan menggunakan analisis usahatani yang terdiri dari biaya, pendapatan, dan efisiensi usahatani. Untuk analisis efisiensi usahatani, selain menggunakan nilai B/C juga menggunakan nilai return to family labour dan

return to land. Tidak hanya itu penelitian tersebut juga menambahkan analisis risiko tenaga kerja (standar deviasi). Usahatani padi SRI dalam kegiatan teknis budidayanya memiliki pekerjaan yang lebih banyak dan intensif daripada kegiatan pada usahatani padi konvensional, kegiatan yang hanya dilakukan oleh petani padi SRI adalah adanya kegiatan seleksi benih, pembuatan kompos, dan pengaturan air secara berselang. Berdasarkan analisis penggunaan input dan biaya usahatani, penggunaan input pada usahatani SRI yang paling besar yaitu pada penggunaan


(21)

21 tenaga kerja dan pengadaan kompos. Sedangkan pada usahatani padi konvensional input paling besar dicurahkan untuk tenaga kerja, pengadaan pestisida, dan pupuk. Sehingga biaya input tersebut memiliki proporsi yang cukup besar pada biaya total kedua usahatani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik usahatani padi SRI dan konvensional menguntungkan bagi petani dengan perbandingan usahatani padi SRI memberikan keuntungan lebih besar bagi petaninya daripada petani padi konvensional. Selain itu, bila ditinjau dari segi efisiensi pendapatan, baik usahatani padi SRI dan konvensional efisien dengan perbandingan usahatani padi SRI lebih efisien daripada padi konvensional.

Nafis (2011) menggunakan analisis pendapatan usahatani dan R/C Rasio untuk melihat efisiensi usahatani padi organik. Usahatani padi organik dibagi dalam dua kelompok responden, yaitu usahatani padi organik tersertifikasi dan usahatani padi organik non-sertifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usahatani padi organik menguntungkan bagi petani dengan perbandingan keuntungan yang diterima oleh petani padi organik tersertifikasi lebih besar daripada petani padi organik non-sertifikasi. Selain itu, bila ditinjau dari segi efisiensi pendapatan, usahatani padi organik efisien dengan perbandingan pendapatan usahatani padi organik tersertifikasi lebih efisien daripada pendapatan usahatani padi organik non-sertifikasi.

Penelitian Anshori (2010), Fatullah (2010), Lubis (2009), Mulyaningsih (2010), dan Nafis (2011) memiliki beberapa persamaan dengan penelitian ini. Anshori (2010), Fatullah (2010), Lubis (2009), Mulyaningsih (2010), Nafis (2011), dan penelitian ini meneliti komoditas yang sama, yaitu padi. Akan tetapi, Anshori (2010) membandingkan antara spesies padi ketan putih dan non ketan, Fatullah (2010) membandingkan antara usahatani padi sehat dan konvensional, Lubis (2009) menganalisis risiko produksi dan penerimaan usahatani padi sehat, Mulyaningsih (2010) membandingkan antara padi dengan sistem usahatani SRI dan konvensional, Nafis (2011) membandingkan antara petani padi organik tersertifikasi dengan petani padi organik non-sertifikasi, sedangkan penelitian ini membandingkan usahatani padi sehat yang dilakukan oleh petani berukuran luas dan sempit. Anshori (2010), Fatullah (2010), Mulyaningsih (2010), Nafis (2011), dan penelitian ini menggunakan alat analisis yang sama dalam menganalisis


(22)

22 usahatani, yaitu terdiri dari biaya, pendapatan, dan efisiensi, dimana secara keseluruhan penelitian Anshori (2010), Fatullah (2010), Mulyaningsih (2010), dan Nafis (2011) menunjukkan bahwa usahatani padi menguntungkan bagi petani.

Penelitian Fatullah (2010), dan penelitian ini memiliki persamaan dalam lokasi penelitian, yaitu di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, dan objek penelitian, yaitu pendapatan usahatani padi sehat. Perbedaannya terdapat pada metode penelitian dimana Fatullah (2010) membandingkan antara sistem usahatani padi sehat dan konvensional, Lubis (2009) sedangkan penelitian ini membandingkan antara usahatani padi sehat berukuran luas dan usahatani padi sehat berukuran sempit. Selain itu, Fatullah (2010) mengambil sampel sebagai responden sebanyak 30 petani secara purposive (sengaja), yang terbagi menjadi 15 responden petani padi sehat dan 15 responden petani padi konvensional, sedangkan penelitian ini mengambil sampel sebagai responden sebanyak 35 petani secara simple random sampling (pengacakan sederhana), yang terbagi menjadi delapan responden petani padi sehat berukuran luas dan 27 responden petani padi sehat berukuran sempit. Perbedaan selanjutnya, Fatullah (2010) menggunakan data usahatani hanya pada satu musim tanam, yaitu musim tanam I periode musim tanam 2009, sedangkan penelitian ini menggunakan data usahatani tiga musim tanam selama periode musim tanam 2010/2011.

Perbedaan penelitian Anshori (2010), Mulyaningsih (2010), dan Nafis (2011) dengan penelitian dapat dilihat selain dari spesies padi yang diteliti juga dari lokasi penelitian. Anshori (2010) membandingkan usahatani padi ketan putih dan non ketan di Desa Jatimulya, Kecamatan Compreng, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat; Mulyaningsih (2010) membandingkan sistem usahatani sistem SRI dengan usahatani konvensional di Desa Cipeuyeum, Kecamatan Haurwangi, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat; Nafis (2011) membandingkan usahatani padi organik tersertifikasi dan non-sertifikasi di Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi jawa Barat; sedangkan penelitian ini meneliti usahatani padi sehat berdasarkan skala usahatani di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor.


(23)

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1 Teori Produksi

Produk total (TP) adalah jumlah total yang diproduksi selama periode waktu tertentu. Jika jumlah semua input kecuali satu faktor bernilai konstan, maka produksi total akan berubah menurut jumlah faktor variabel yang digunakan. Kemudian, jika produk total dibagi dengan jumlah unit faktor variabel yang digunakan untuk memproduksinya, maka akan dihasilkan produk rata-rata (AP). Produk marjinal (MP) adalah perubahan dalam produk total sebagai akibat penambahan penggunaan input variabel sebanyak satu unit. (Lipsey et al 1995). Gambar 1 akan menunjukkan kurva produksi total.

Keterangan:

TP = Produk total

AP = Produk rata-rata

MP = Marjinal produk

y = Output

x = Input

Gambar 1. Kurva Produk Total, Produk Rata-Rata, dan Produk Marjinal Sumber: Lipsey et al (1995) (dimodifikasi)

Gambar 1 menunjukkan bahwa kurva produk total pada saat penggunaan input sebesar 0 sampai dengan x1 akan meningkat dengan laju peningkatan yang meningkat, dimana penggunaan input sebesar x1 akan menyebabkan produktivitas rata-rata maksimum. Sementara itu, kurva produk total pada saat penggunaan

x1 x2

AP

MP y

x 0


(24)

24 input sebesar x1 sampai dengan x2 juga akan meningkat tetapi laju peningkatannya semakin menurun. Kemudian penggunaan input yang lebih besar dari x2 justru akan menyebabkan kurva produk total menurun sehingga produk marjinal bernilai negatif. Oleh karena itu, penggunaan input yang akan menghasilkan produksi optimum adalah sebesar antara x1 dan x2, dimana jumlah penggunaan input sebesar x2 akan menghasilkan produksi yang maksimum.

Menurut Hernanto (1996), usahatani terdiri dari beberapa bagian yang dalam hal ini sebagai input usahatani, antara lain:

1. Lahan, yaitu tanah usahatani yang di atasnya tumbuh tanaman. Jenis-jenisnya yaitu kolam, tambak, sawah,dan tegalan. Selain itu, terdapat juga tanaman setahun dan tahunan.

2. Bangunan yang berupa rumah petani, gudang dan kandang, lantai jemur, dan lain-lain.

3. Alat-alat pertanian seperti cangkul, parang, garpu, linggis, sprayer, traktor, pompa air, dan lain-lain.

4. Pencurahan kerja untuk mengolah tanah, menanam, memelihara, dan lain-lain. 5. Kegiatan petani yang menetapkan rencana usahataninya, mengawasi jalannya

usahatani, dan menikmati hasil usahataninya.

Suratiyah (2009) dan Hernanto (1996) memaparkan beberapa faktor yang berpengaruh dalam usahatani, antara lain adalah sebagai berikut:

1. Faktor Alam

Faktor alam dalam usahatani merupakan faktor penting, sehingga dalam batas tertentu petani sebagai pelaku usahatani harus menyesuaikan kegiatan usahataninya dengan kondisi alam. Hal ini disebabkan oleh karakteristik usaha pertanian yang sangat peka terhadap pengaruh alam. Faktor alam pun dibedakan menjadi dua, yaitu faktor lingkungan alam sekitarnya dan faktor tanah. Faktor alam sekitar yaitu iklim yang berkaitan dengan ketersediaan air, suhu, dan lain sebagainya. Iklim menjadi faktor penentu komoditas yang ditanam di suatu daerah, karena setiap komoditas pertanian memiliki spesifikasi yang berbeda untuk dapat tumbuh, salah satunya kecocokan dengan iklim di lokasi usahtani. Selain itu, iklim juga berpengaruh terhadap cara mengusahakan serta teknologi yang akan digunakan. Faktor alam yang lain


(25)

25 adalah tanah. Tanah juga merupakan faktor produksi yang penting karena tanah merupakan tempat tumbuhnya tanaman, ternak, dan usahatani keseluruhannya. Jenis-jenis tanah yang terkait dengan kesuburan, lokasi, luas, dan kemiringan akan mempengaruhi produktivitas tanaman. Tentu saja faktor tanah tidak terlepas dari pengaruh alam sekitarnya.

2. Faktor Tenaga Kerja

Tenaga kerja merupakan faktor penting dalam usahatani keluarga (family farms), khususnya tenaga kerja petani beserta anggota keluarganya. Rumah tangga tani yang umumnya sangat terbatas kemampuannya dari segi modal, peranan tenaga kerja keluarga sangat menentukan. Baik pada usahatani keluarga maupun perusahaan pertanian, peranan tenaga kerja belum sepenuhnya dapat diganti dengan teknologi yang menghemat tenaga. Hal ini dikarenakan selain mahal, juga ada hal-hal tertentu yang memang tenaga kerja manusia tidak dapat digantikan dengan teknologi.

3. Faktor Modal dan Peralatan

Tanah serta alam sekitarnya dan tenaga kerja adalah faktor produksi asli, sedangkan modal dan peralatan merupakan substitusi faktor produksi tanah dan tenaga kerja. Dengan modal dan peralatan, faktor produksi tanah dan tenaga kerja dapat memberikan manfaat yang jauh lebih baik bagi manusia. Selain itu, dengan modal dan peralatan, penggunaan tanah dan tenaga kerja dapat dihemat.

4. Faktor Manajemen

Faktor produksi usahatani pada dasarnya adalah tanah dan alam sekitarnya, tenaga kerja, modal, serta peralatan. Akan tetapi, harus ada yang mengatur penggunaan faktor-faktor produksi tersebut agar dapat bersinergi dengan baik sehingga mencapai tujuan usahatani. Manajemen sebenarnya melekat pada tenaga kerja, dan petani merupakan pihak yang berperan sebagai manajer. Untuk meraih keberhasilan usahatani sangat ditentukan oleh pengambilan keputusan yang berdasarkan pada tujuan-tujuan usahatani, permasalahan, serta kondisi yang jelas, fakta dan data yang aktual, serta analisis yang tepat dan akurat. Oleh karena itu, kemampuan, pengetahuan


(26)

26 keterampilan, dan pengalaman petani yang memadai sangat diperlukan dan sangat menentukan keberhasilan usahataninya.

3.1.2 Teori Penerimaan

Nicholson (1995) mendefinisikan penerimaan sebagai hasil penjualan keluaran (output) sejumlah tertentu dengan harga pasar per unit. Grafik penerimaan digambarkan dalam Gambar 2.

Keterangan:

TR = Penerimaan total

P = Harga pasar per unit

Q = Keluaran (output)

Gambar 2. Grafik Penerimaan Sumber: Nicholson (1995)

Gambar 2 menunjukkan bahwa jika produsen berhasil menjual output sebanyak Q1 dengan harga per satuannya sebesar P1, maka produsen tersebut akan memperoleh penerimaan sebesar luas daerah 0 P1 TR1 Q1. Hal ini diasumsikan dalam keadaan linear, yang artinya harga satuan output yang dijual tetap, sehingga semakin banyak jumlah hasil produksi yang dijual dengan harga jual tertentu, semakin besar penerimaan yang diperoleh produsen.

Penerimaan total usahatani dapat didefinisikan sebagai nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual (Soekartawi et al. 1986). Atau dengan kata lain, penerimaan usahatani merupakan seluruh pendapatan yang diperoleh dari usahatani selama satu periode (Suratiyah 2009). Pinjaman uang untuk keperluan usahatani tidak termasuk penerimaan

P

P1

Q1 Q

0

TR


(27)

27 usahatani. Sedangkan Hernanto (1996) menyatakan penerimaan usahatani merupakan penerimaan dari semua sumber usahatani yang meliputi jumlah penambahan inventaris, nilai penjualan hasil, dan nilai penggunaan rumah dan yang dikonsumsi.

Oleh karena itu, penerimaan usahatani dapat dibagi menjadi dua, yaitu penerimaan tunai dan penerimaan tidak tunai. Penerimaan tunai merupakan sejumlah nilai uang yang diterima petani atas penjualan hasil produk usahataninya, sedangkan penerimaan tidak tunai merupakan nilai hasil produk usahatani yang tidak dijual, tetapi dikonsumsi sendiri, disimpan sebagai persediaan atau aset petani, dan lain sebagainya sehingga tidak menghasilkan dalam bentuk uang. Jika penerimaan tunai dan penerimaan tidak tunai, maka akan didapatkan nilai penerimaan total usahatani.

Soeharjo dan patong (1973) membagi wujud penerimaan usahatani menjadi tiga hal, antara lain sebagai berikut:

1. Hasil penjualan tanaman, ternak, ikan, atau produk yang akan dijual.

2. Produk yang dikonsumsi petani dan keluarganya selama melakukan kegiatan. Seandainya konsumsi produk ini ditunda bisa ditunda sampai jangka waktu produksi selesai, maka bentuknya tidak berbeda dengan produk yang dijual maupun yang akan dijual.

3. Kenaikan nilai inventaris, yaitu kenaikan nilai benda-benda inventaris yang dimiliki petani.

3.1.3 Teori Biaya

Biaya total (TC) adalah biaya total untuk menghasilkan tingkat output tertentu. Biaya total dibagi menjadi dua bagian, yaitu biaya tetap total (Total Fixed Cost=TFC) dan biaya variabel total (Total Variabel Cost=TVC). Biaya tetap adalah biaya yang tidak berubah meskipun output berubah. Sedangkan biaya variabel merupakan biaya yang berkaitan langsung dengan output, yaitu bertambah besar seiring peningkatan produksi, dan sebaliknya semakin berkurang seiring penurunan produksi. Klasifikasi biaya usahatani menjadi biaya tetap dan variabel tersebut dijelaskan dalam formulasi (Lipsey et al 1995):


(28)

28 keterangan:

TC = Biaya total

TFC = Biaya tetap

TVC = Biaya variabel

, , = Harga satuan input variabel , , , , = Jumlah penggunaan input variabel , ,

Formulasi tersebut menunjukkan bahwa biaya tetap nilainya tetap pada setiap periode produksi sedangkan biaya variabel nilainya ditentukan oleh jumlah penggunaan input variabel, dimana jumlah penggunaan dan harga input variabel tidak selalu sama di setiap periode produksi. Oleh karena itu, peningkatan dan penurunan biaya total dipengaruhi oleh peningkatan dan penurunan jumlah biaya variabel usahatani.

Menurut Soeharjo dan Patong (1973), pengeluaran usahatani secara umum meliputi biaya tetap dan biaya variabel; serta pengeluaran usahatani tunai dan yang diperhitungkan. Pengeluaran tunai adalah pengeluaran yang dibayarkan dengan uang, seperti biaya pembelian sarana produksi dan biaya untuk membayar tenaga kerja. Pengeluaran yang diperhitungkan digunakan untuk menghitung berapa sebenarnya pendapatan kerja petani bila bunga modal dan niai kerja keluarga diperhitungkan. Modal yang digunakan petani diperhitungkan sebagai modal pinjaman pinjaman meskipun modal tersebut milik petani sendiri. Kerja keluarga dinilai berdasarkan upah yang berlaku pada waktu anggota keluarga menyumbangkan kerja dan pada tempat mereka bekerja. Selain berwujud biaya tetap dan biaya variabel, pengeluaran juga mencakup penurunan nilai inventaris usahatani. Nilai inventaris berkurang karena hilang, rusak, atau karena penyusutan. Penyusutan terjadi karena pengaruh umur atau karena dipakai, contohnya gedung-gedung, traktor, bajak, cangkul, dan lain sebagainya.

Menurut Dillon et al. (1986), pengeluaran tunai usahatani didefinisikan sebagai jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani. Pengeluaran usahatani sering juga disebut sebagai biaya usahatani. Pengeluaran total usahatani didefinisikan sebagai nilai semua masukan yang habis terpakai atau dikeluarkan di dalam proses produksi, tetapi tidak termasuk tenaga kerja dalam keluarga petani. Bunga pinjaman dan pembayaran pinjaman pokok tidak termasuk pengeluaran usahatani. Sedangkan Hernanto (1996) menyatakan


(29)

29 pengeluaran usahatani adalah semua biaya operasional dengan tanpa memperhitungkan bunga dari modal usahatani dan nilai kerja pengelola usahatani yang meliputi pengeluaran tunai, penyusutan benda fisik, pengurangan nilai inventaris, dan nilai tenaga kerja yang tidak dibayar.

Soekartawi (2002) mengklasifikasikan biaya usahatani menjadi dua, yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap atau biaya variabel (varieble cost). Biaya tetap didefinisikan sebagai biaya yang relatif tetap jumlahnya dan terus dikeluarkan tanpa dipengaruhi oleh besar-kecilnya jumlah produksi, bahkan berjalan atau tidaknya usahatani. Sedangkan biaya tidak tetap atau biaya variabel didefinisikan sebagai biaya yang jumlahnya dipengaruhi oleh jumlah produksi. Biaya ini dapat berubah sesuai dengan jumlah produksi yang ingin dihasilkan. Selain itu, pengeluaran usahatani juga dapat diklasifikasikan sebagai pengeluaran tunai dan tidak tunai (pengeluaran yang diperhitungkan). Pengeluaran tunai merupakan pengeluaran yang dibayarkan dengan uang, sedangkan pengeluaran tidak tunai merupakan pengeluaran yang diperhitungkan secara tidak langsung karena tidak dilakukan secara verbal. Contoh pengeluaran tidak tunai atau pengeluaran yang diperhitungkan adalah penyusutan sarana produksi, gaji untuk tenaga kerja dalam keluarga petani, dan lain sebagainya.

3.1.4 Teori Pendapatan

Pendapatan disebut juga sebagai laba. Laba adalah selisih antara penerimaan dan biaya. Pendapatan dijelaskan dalam formulasi (Nicholson 1995):

keterangan:

= Pendapatan total

TR = Penerimaan total

TC = Biaya total

= Harga jual output per unit = Keluaran (output)

TFC = Biaya tetap

, , = Harga satuan input variabel , , , , = Jumlah penggunaan input variabel , ,

Formulasi tersebut menunjukkan bahwa pendapatan akan bernilai postitif (menguntungkan) jika penerimaan total lebih besar daripada biaya usahatani.


(30)

30 Sedangkan jika penerimaan total lebih kecil daripada biaya total usahatani, maka pendapatan usahatani akan bernilai negatif (merugikan). Peningkatan dan penurunan penerimaan total dipengaruhi oleh peningkatan dan penurunan jumlah output yang dijual dan harga satuannya, sedangkan peningkatan dan penurunan biaya total dipengaruhi oleh peningkatan dan penurunan jumlah penggunaan input variabel dan harga satuannya.

Soekartawi (2002) mendefinisikan usahatani sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien untuk memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Dikatakan efektif bila petani atau produsen dapat mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki dan/atau kuasai sebaik-baiknya, dan dikatakan efisien bila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan keluaran (output) yang melebihi masukan (input). Usahatani pada skala usaha yang luas umumnya bermodal besar, berteknologi tinggi, manajemennya modern, dan lebih bersifat komersial. Sedangkan usahatani skala kecil umumnya bermodal pas-pasan, teknologinya tradisional, lebih bersifat usahatani sederhana dan sifat usahanya subsisten, serta lebih berorientasi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sendiri dalam kehidupan sehari-hari.

Berusahatani sebagai suatu kegiatan untuk memperoleh produksi di lapangan pertanian pada akhirnya akan dinilai dari biaya yang dikeluarkan dan penerimaan yang diperoleh. Selisih keduanya merupakan pendapatan dari kegiatan usahataninya. Karena dalam kegiatan itu bertindak seorang petani yang berperan sebagai pengelola, sebagai pekerja, dan sebagai penanam modal pada usahanya sekaligus, maka pendapatan itu dapat digambarkan sebagai balas jasa dari kerjasama faktor-faktor produksi (Soeharjo dan Patong 1973). Pendapatan usahatani dapat juga disebut dengan pendapatan bersih usahatani. Hal ini karena pendapatan usahatani diperoleh dari selisih antara total penerimaan usahatani dengan total pengeluaran tunai usahatani. Dari pendapatan usahatani kemudian dapat diperoleh penghasilan bersih usahatani dengan cara mengurangkan pendapatan bersih usahatani dengan pengeluaran nontunai usahatani. Penghasilan bersih usahatani dapat juga disebut dengan keuntungan yang diperoleh petani atas usahataninya. Semakin besar penghasilan bersih usahatani berarti semakin baik


(31)

31 pelaksanaan teknis usahatani tersebut sehingga secara tidak langsung menghasilkan kesejahteraan bagi petani.

Analisis pendapatan mempunyai kegunaan bagi petani maupun bagi pemilik faktor produksi. Dua tujuan utama analisis pendapatan antara lain menggambarkan keadaan sekarang suatu kegiatan usaha dan mrnggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan atau tindakan. Bagi seorang petani, analisis pendapatan memberikan bantuan untuk mengukur apakah kegiatan usahanya pada saat ini berhasil atau tidak. Indikator kesuksesan suatu usahatani dapat dilihat dari kondisi pendapatan sebagai berikut (Soeharjo dan patong 1973): 1. Cukup untuk membayar semua pembelian sarana produksi, termasuk biaya

angkutan dan biaya administrasi yang mungkin melekat pada pembelian tersebut.

2. Cukup untuk membayar bunga modal yang ditanamkan, termasuk pembayaran sewa tanah dan pembayaran dana depresiasi modal.

3. Cukup untuk membayar upah tenaga kerja yang dibayar atau bentuk-bentuk upah lainnya untuk tenaga kerja yang tidak diupah.

Kegiatan usahatani bertujuan untuk mencari produksi di bidang pertanian yang pada akhirnya akan dinilai dengan uang untuk diperhitungkan dari nilai produksi setelah dikurangi atau memperhitungkan biaya yang telah dikeluarkan. Pendapatan usahatani yang didapatkan akan mendorong petani untuk dapat mengalokasikannya dalam berbagai kegunaan atau keperluan petani itu sendiri, misalnya biaya produksi periode selanjutnya, tabungan, dan pengeluaran lain untuk memenuhi kebutuhan keluarga (Hernanto 1996).

3.1.5 Teori Efisiensi Biaya Usahatani

Sejalan dengan bagaimana cara pendapatan usahatani didapatkan, maka salah satu ukuran efisiensi pendapatan usahatani adalah nilai rasio imbangan penerimaan dan biaya (Rasio R/C). Menurut Soekartawi (2002), R/C adalah singkatan dari Return Cost Ratio, atau dikenal sebagai perbandingan (nisbah) antara penerimaan dan biaya. Rasio R/C menunjukkan bahwa berapa satuan mata uang penerimaan yang dihasilkan setiap satu satuan mata uang yang digunakan untuk biaya produksi dalam usahatani. Oleh karena itu, semakin tinggi rasio R/C berarti semakin besar penerimaan yang dihasilkan setiap satu satuan pengeluaran


(32)

32 sehingga semakin efisien. Secara teoritis, dengan rasio R/C = 1, keuntungan usahatani berada pada titik impas, yaitu tidak mengalami baik keuntungan maupun kerugian.

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional

Setiap petani padi sehat di Desa Ciburuy telah diberikan suatu standar dalam membudidayakan padinya sehingga setiap produk beras dari padi yang dihasilkan telah disertifikasi oleh Departemen Kesehatan sebagai beras bebas residu pestisida kimia. Sertifikasi tersebut mengindikasikan bahwa produk beras dari Desa Ciburuy bukan merupakan beras konvensional biasa, tetapi beras yang memiliki nilai tambah dibandingkan beras-beras lain yang beredar di pasar. Oleh karena itu, menjadi suatu hal yang wajar apabila harga beras sehat yang dihasilkan dari Desa Ciburuy lebih mahal daripada beras konvensional. Akan tetapi, walaupun petani padi sehat di Desa Ciburuy diklaim sebagai produsen padi sehat yang paling berkembang di Kabupaten Bogor dan dengan semua keunggulan yang diperoleh akibat nilai tambah produknya, tidak semua petani di Desa Ciburuy merasakan kesejahteraan yang memadai. Hal ini tentu berhubungan terhadap pendapatan usahatani padi sehat yang dilakukan oleh para petani.

Pendapatan usahatani dapat dikatakan suatu bentuk imbalan atas usahatani yang dilakukan oleh petani. Oleh karena itu, besar atau kecilnya nilai pendapatan suatu usahatani merupakan suatu ukuran kesuksesan suatu keragaan usahatani yang kemudian berkaitan dengan kesejahtaeraan petani selaku pemilik, pengelola, dan koordinator usahatani. Untuk menganalisis pendapatan usahatani padi sehat, hal yang perlu dilakukan terlebih dahulu adalah menganalisis bagaimana keragaan usahatani padi sehat yang dilakukan oleh para petani padi sehat. Hal ini tentu disesuaikan dengan standar yang diterapkan gapoktan dalam mebudidayakan padi sehat. Dari analisis keragaan usahatani tersebut akan dihasilkan beberapa informasi, antara lain struktur penerimaan dan pengeluaran usahatani. Struktur penerimaan dan pengeluaran usahatani tersebut kemudian dianalisis menurut klasifikasinya sehingga akan dihasilkan informasi pendapatan usahatani.

Hasil analisis pendapatan usahatani bisa saja menyimpulkan bahwa pendapatan usahatani kurang optimal. Pendapatan usahatani dapat dioptimalkan dengan menganalisis efisiensi pendapatan. Salah satu cara untuk menganalisis


(33)

33 efisiensi pendapatan adalah dengan melihat R/C rasio. Nilai ini menunjukkan jumlah penerimaan usahatani yang diperoleh setiap satu satuan pengeluaran yang dikeluarkan petani untuk usahatani sehingga dengan analisis lebih lanjut yang menggunakan nilai ini dapat menentukan efisiensi pendapatan suatu usahatani. Selain itu, nilai R/C rasio juga mengindikasikan nilai ekonomi (tingkat keuntungan) suatu usahatani, karena semakin tinggi nilai R/C rasio maka semakin besar keuntungan petani. Analisis nilai R/C rasio dilakukan dengan dua cara, yaitu menganalisis nilai R/C rasio ukuran usahatani luas dan menganalisis nilai R/C rasio ukuran usahatani sempit.

Setelah tingkat efisiensi diketahui, maka langkah selanjutnya adalah menganalisis hal-hal yang perlu dilakukan untuk mencapai atau meningkatkan efisiensi usahatani bila diketahui pendapatan usahatani tersebut tidak efisien. Dalam hal ini jelas perlu diketahui bagaimana keragaan usahatani yang baik sehingga akan kembali lagi kepada analisis keragaan usahatani setelah menemukan strategi pengembangan untuk meningkatkan efisiensi usahatani. Adapun bagan kerangka operasional dapat dilihat pada Gambar 3.


(34)

34

Gambar 3. Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Pendapatan Usahatani Padi Sehat di Desa Ciburuy Kecamatan Cigombong Kabupaten Bogor

Pendapatan usahatani

Analisis efisiensi biaya usahatani dengan menggunakan R/C rasio

Tidak efisien Efisien Analisis R/C rasio ukuran usahatani luas

Analisis R/C rasio ukuran usahatani sempit

Pengembangan usahatani

Efisien Tidak efisien Analisis keragaan usahatani padi

sehat di Desa Ciburuy


(35)

IV METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Desa Ciburuy merupakan sentra produksi beras sehat yang paling berkembang di Kabupaten Bogor sejak tahun 2001. Selain itu, Desa Ciburuy merupakan satu-satunya desa di Kabupaten Bogor yang telah mendapatkan sertifikasi beras sehat tanpa residu kimia dari Dinas Kesehatan sehingga peneliti menganggap bahwa petani di Desa Ciburuy merupakan petani yang berkompeten dalam hal budidaya padi sehat daripada petani padi sehat lain di lokasi yang berbeda. Pengumpulan dan analisis data di lokasi penelitian dilakukan selama tiga bulan, yaitu dimulai pada bulan Juli 2011 sampai dengan bulan September 2011.

4.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan sekunder baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan petani responden padi sehat yang tergabung dalam Gapoktan Silih Asih dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner) yang telah disediakan. Data kualitatif dan kuantitatif yang diperoleh dari hasil wawancara dengan petani responden menggunakan data usahatani yang dilakukan pada periode musim tanam 2010/2011.

Sedangkan data sekunder diperoleh dengan cara mempelajari buku-buku yang relevan dengan topik analisis pendapatan usahatani, studi literatur-literatur berupa hasil penelitian terdahulu yang terkait dengan komoditas padi organik dan sehat serta yang terkait dengan analisis pendapatan usahatani. Selain itu, data sekunder juga diperoleh dari artikel yang berasal dari media cetak dan elektronik (internet). Data-data sekunder yang bersifat kuantitatif juga diperoleh dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Pemerintah Kabupaten Bogor tentang potensi pengembangan padi sawah organik di Kabupaten Bogor pada tahun 2011, data Gapoktan Silih Asih tentang pengusahaan padi sehat, dan data dari jurnal ilmiah yang dipublikasi di internet.


(36)

36

4.3 Metode Pengambilan Responden

Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara langsung melalui kuesioner dengan petani responden padi sehat yang tergabung dalam Gapoktan Silih Asih. Penetapan responden dilakukan dengan metode simple random sampling (pengacakan sederhana) dari seluruh petani padi sehat yang tergabung dalam Gapoktan Silih Asih dan masih aktif berusahatani padi sehat saat masa penelitian di lokasi penelitian. Jumlah petani yang saat masa penelitian masih aktif berusahatani padi sehat adalah 52 orang dari lima kelompok tani yang tergabung dalam Gapoktan Silih Asih. Dari total 52 petani tersebut akan dipilih sebanyak 35 petani sebagai responden dengan metode simple random sampling

(pengacakan sederhana) untuk memperoleh keterangan-keterangan yang sesuai dengan kebutuhan penelitian.

4.4 Metode Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis secara kualitatif dilakukan untuk mendeskripsikan gambaran umum lokasi penelitian dan karakteristik petani responden padi sehat yang tergabung dalam Gapoktan Silih Asih. Sedangkan analisis secara kuantitatif dilakukan pada analisis penerimaan usahatani, penggunaan input usahatani beserta biayanya, pendapatan usahatani, dan analisis efisiensi pendapatan usahatani (R/C Rasio). Data primer yang telah diperoleh dari hasil wawancara dengan petani responden diolah dengan bantuan komputer, yaitu kalkulator dan program Microsoft Excel 2010. Hasil pengolahan data primer disajikan dalam bentuk tabel yang diinterpretasikan kemudian dilakukan pembahasan.

4.4.1 Analisis Usahatani

Analisis usahatani dilakukan dengan cara membandingkan kegiatan usahatani yang dilakukan oleh kelompok petani berukuran usahatani luas dengan kelompok petani yang berukuran usahatani sempit. Pengelompokan dilakukan dengan cara mengelompokkan ke-35 responden petani menjadi dua kelompok, yaitu kelompok petani berukuran usahatani luas dan kelompok petani berukuran usahatani sempit. Karena, rata-rata luas lahan yang digarap ke-35 responden petani adalah 0,34 hektar, maka petani yang termasuk ke dalam kelompok petani berukuran usahatani luas adalah petani yang menggarap lahan seluas lebih dari


(37)

37 0,34 hektar, sedangkan petani yang termasuk ke dalam kelompok petani berukuran usahatani sempit adalah petani yang menggarap lahan seluas kurang dari atau sama dengan 0,34 hektar.

Pengolahan dalam menganalisis usahatani dibedakan menjadi dua yaitu dengan cara kualitatif dan kuantitatif. Pengolahan data dengan cara kualitatif dilakukan untuk menggambarkan keragaan usahatani padi sehat, yaitu metode penanaman dan jenis-jenis input yang digunakan. Sedangkan pengolahan data dengan kuantitatif digunakan untuk menganalisis pendapatan dan efisiensi biaya usahatani dengan R/C Rasio, yaitu membandingkan jumlah penerimaan dan pengeluaran sehingga dari hasil R/C Rasio akan ditentukan tidak hanya efisiensi, tetapi juga tingkat keberhasilan keuntungan usahatani yang dijalankan. Oleh karena itu, data yang dibutuhkan dalam analisis kuantitatif adalah data tentang penerimaan, jenis dan jumlah input yang digunakan, serta pengeluarannya.

Analisis penerimaan usahatani digunakan untuk mengetahui jumlah penerimaan yang diperoleh dalam usahatani padi sehat. Soekartawi (2002) memformulasikan penerimaan usahatani sebagai perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual, atau dapat dituliskan sebagai berikut:

keterangan:

TR = Penerimaan total usahatani (Rp/tahun)

Y = Total hasil produksi yang diperoleh dalam suatu usahatani (kg/tahun) Py = Harga jual produk y per unit (Rp/kg).

Analisis biaya usahatani digunakan untuk mengetahui jumlah biaya-biaya yang dikeluarkan dalam usahatani padi sehat. Analisis biaya usahatani dibedakan menjadi dua, yaitu analisis biaya tunai dan biaya tidak tunai (pengeluaran yang diperhitungkan). Biaya tunai pada usahatani padi sehat antara lain biaya benih padi, pupuk pabrik, pestisida/obat-obatan, iuran pengairan, sewa alat pertanian (baik berupa traktor maupun kerbau), sewa lahan, pajak tanah, dan upah tenaga kerja luar keluarga. Sedangkan biaya tidak tunai padi sehat antara lain biaya pupuk organik (baik berupa kompos maupun kandang), upah tenaga kerja dalam keluarga, dan penyusutan alat-alat pertanian bagi petani yang memliki alat-alat pertanian.


(38)

38 Biaya tunai dan tidak tunai tersebut juga dibedakan juga menjadi dua bagian, yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Jumlah biaya tetap tidak dipengaruhi oleh jumlah produksi yang diperoleh, misalnya biaya pajak tanah dan penyusutan alat-alat pertanian, sedangkan jumlah biaya variabel sangat ditentukan oleh jumlah produksi, misalnya biaya benih padi, pupuk pabrik, pupuk organik (baik berupa kompos maupun kandang), pestisida/obat-obatan, iuran pengairan, sewa alat pertanian (baik berupa traktor maupun kerbau), sewa lahan, dan upah tenaga kerja baik luar keluarga maupun dalam keluarga. Penentuan biaya tetap dan biaya variabel suatu pengeluaran tergantung pada petani itu sendiri. Terdapat beberapa petani yang iuran pengairannya tetap (tidak tergantung pada jumlah produksi) tetapi ada juga beberapa petani yang iuran pengairannya sesuai dengan jumlah produksi yang dihasilkan pada suatu musim tanam.

Menurut Suratiyah (2002), perhitungan penyusutan alat-alat pertanian pada dasarnya bertolak pada harga pembelian sampai dengan alat tersebut dapat memberikan manfaat. Nilai penyusutan dapat dihitung berdasarkan metode garis lurus sebagai berikut:

Pengeluaran total (biaya total) merupakan jumlah dari biaya tetap dan biaya variabel sehingga dapat diformulasikan sebagai berikut (Soekartawi 2002):

keterangan:

TC = Pengeluaran total usahatani (Rp/tahun) TFC = Biaya tetap usahatani (Rp/tahun) TVC = Biaya variabel usahatani (Rp/tahun).

Analisis pendapatan usahatani digunakan untuk mengetahui tingkat pendapatan usahatani padi sehat. Pendapatan usahatani merupakan selisih antara semua penerimaan (revenue) dan biaya total, baik biaya total yang bersifat tunai maupun tidak tunai, sehingga dapat diformulasikan sebagai berikut (Soekartawi 2002):


(1)

97

Lampiran 2. Perhitungan Pendapatan Usahatani Padi Sehat

Kode Jenis Variabel Cara Perhitungan

A Penerimaan Tunai Harga gabah basah (Rp/kg) x Hasil panen yang dijual (kg)

B Penerimaan Tidak Tunai Harga gabah basah (Rp/kg) x Hasil panen yang dikonsumsi (kg)

C Penerimaan Total A + B

D Pengeluaran Tunai

Benih padi, Pupuk pabrik, Pestisida/Obat-obatan yang dibeli, Iuran pengairan, Sewa alat pertanian (baik berupa traktor maupun kerbau), Sewa lahan, Pajak tanah, dan Upah tenaga kerja luar keluarga

E Pengeluaran Tidak Tunai (yang Diperhitungkan)

Pupuk organik (baik berupa kompos, kandang, maupun yang diperoleh dari hibah pemerintah), Pestisida/Obat-obatan yang diperoleh dari hibah pemerintah, Upah tenaga kerja dalam keluarga, dan Penyusutan alat-alat pertanian bagi petani yang memliki alat-alat pertanian.

F Pengeluaran Total D + E G Pendapatan atas Biaya

Tunai C – D

H Pendapatan atas Biaya

Total C – F

I Pendapatan Tunai A – D


(2)

98


(3)

99

Lampiran 4. Hasil Uji Statistik Signifikansi Perbedaan Total Biaya Usahatani per Hektar Lahan antara Usahatani Padi Sehat Berukuran Luas dan Sempit pada Musim Tanam 2010/2011

T-Test

Group Statistics

Jenis N Mean Std. Deviation

Std. Error Mean Biaya Ukuran Usahatani Luas 10 3554286 4937464.436 1561363

Ukuran Usahatani Sempit 14 2627448 4174843.488 1115774

H0 :

μ

luas

=

μ

sempitH0 :

μ

luas

μ

sempit

Berdasarkan hasil uji-t di atas, diperoleh nilai-p (0.624) lebih besar dari nilai alpha sebesar 5%, maka terima H0, artinya total biaya usahatani padi sehat berukuran luas dan sempit tidak berbeda nyata.

Independent Samples Test

.630 .436 .497 22 .624 926838.10 1864197.5 -2939271 4792947 .483 17.398 .635 926838.10 1919064.0 -3114987 4968664 Equal v ariances

assumed Equal v ariances not assumed Biay a

F Sig.

Lev ene's Test f or Equality of Variances

t df Sig. (2-tailed)

Mean Dif f erence

St d. Error

Dif f erence Lower Upper 95% Conf idence

Interv al of t he Dif f erence t-t est f or Equalit y of Means


(4)

100

Lampiran 5. Total Biaya per Hektar Lahan Usahatani Padi Sehat Berukuran Luas dan Sempit di Desa Ciburuy pada Musim Tanam 2010/2011

Jenis Biaya

Ukuran Usahatani Luas Ukuran Usahatani Sempit

Jumlah (Rp/ha/tahun)

Persentase (%)

Jumlah (Rp/ha/tahun)

Persentase (%)

Biaya Tunai 27.685.933,93 77,89 28.408.942,89 77,23

Biaya Variabel 25.492.648,68 71,73 25.735.447,36 69,96

Benih yang dibeli 537.717,78 1,51 878.907,91 2,39

Pupuk kimia 1.118.541,67 3,15 1.799.661,79 4,88

Pupuk organik kemasan

yang dibeli - - 657.225,85 1,79

Pestisida yang dibeli 700.000,00 1,97 113.472,96 0,31 Pemanenan oleh tenaga kerja

luar keluarga 3.796.354,17 10,68 3.610.171,82 9,82

Upah tenaga kerja luar keluarga 4.058.238,10 11,42 3.608.927,93 9,81

Bagi hasil 15.281.796,96 43,00 15.067.079,10 40,96

Biaya Tetap 2.193.285,26 6,17 2.673.495,53 7,27

Pengairan 253.493,59 0,71 304.831,77 0,83

Alat pertanian yang disewa 1.819.791,67 5,12 2.229.593,32 6,06

Sewa lahan - - 139.070,44 0,38

Pajak lahan 120.000,00 0,34 - -

Biaya Tidak Tunai 7.856.924,60 22,11 8.375.325,65 22,77

Biaya Variabel 7.856.924,60 22,11 8.344.461,45 22,69

Benih yang dibuat sendiri dan

Hibah - - 112.708,35 0,31

Pupuk organik kandang dan

Kompos 6.595.138,89 18,56 4.648.181,16 12,64

Pupuk organik kemasan hibah - - 49.382,72 0,13

Pestisida hibah - - 1.851,85 0,01

Pemanenan oleh tenaga kerja

dalam keluarga - - 111.766,88 0,30

Upah tenaga kerja dalam

keluarga 1.261.785,71 3,55 3.420.570,49 9,30

Biaya Tetap - - 30.864,20 0,08

Penyusutan alat pertanian - - 30.864,20 0,08


(5)

RINGKASAN

JERIKHO ESVANDIARI SITUMEANG. Analisis Pendapatan Usahatani Padi Sehat di Desa Ciburuy Kecamatan Cigombong Kabupaten Bogor. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan ANNA FARIYANTI).

Sektor pertanian memiliki peranan penting bagi perekonomian masyarakat Indonesia. Pangan merupakan salah satu subsektor pertanian yang merupakan kebutuhan pokok dan paling dasar manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Padi merupakan komoditas yang paling banyak dibudidayakan di Indonesia karena beras yang merupakan produk utama dari komoditas padi adalah makanan pokok hampir seluruh masyarakat Indonesia. Terdapat dua sistem budidaya padi, yaitu dengan cara konvensional (anorganik) dan organik. Gaya

hidup sehat masyarakat dunia dengan slogan “Back to Nature” menyebabkan permintaan akan pangan berbahan organik, terutama beras organik pun semakin meningkat.

Desa Ciburuy merupakan sentra produksi padi sehat (semi organik) di Kabupaten Bogor. Sistem budidaya padi sehat sudah mulai diterapkan sejak tahun 2002. Akan tetapi, data Demografi Desa Ciburuy bulan November tahun 2011 dari 1.416 penduduk Desa Ciburuy yang berprofesi sebagai petani, tercatat hanya 52 orang (3,67 persen) di antaranya yang aktif melakukan usahatani padi sehat dan rata-rata menggarap lahan seluas 0,34 hektar dengan ukuran usahatani antara 0,1 sampai dengan satu hektar. Hal ini tentu menimbulkan beberapa pertanyaan, di antaranya mengapa jumlah petani padi sehat di Desa Ciburuy masih relatif sedikit? Faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan para petani tidak mengembangkan kegiatan usahatani padi sehat di Desa Ciburuy? Apakah usahatani padi sehat di Desa Ciburuy tidak menguntungkan dan tidak efisien dari segi biaya bagi petani? Apakah terdapat perbedaan pendapatan dan efisiensi biaya yang signifikan antarpetani padi sehat berdasarkan ukuran usahatani?

Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis keragaan usahatani padi sehat berukuran usahatani luas dan sempit di Desa Ciburuy serta menganalisis pendapatan dan efisiensi biaya usahatani padi sehat berukuran usahatani luas dan sempit di Desa Ciburuy.

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Petani yang menjadi responden adalah para petani yang tergabung dalam Gapoktan Silih Asih. Jumlah petani yang saat masa penelitian masih aktif berusahatani padi sehat adalah 52 orang dari lima kelompok tani yang tergabung dalam Gapoktan Silih Asih. Analisis usahatani dilakukan dengan cara membandingkan keragaan usahatani (penggunaan input dan output yang dihasilkan) yang dilakukan oleh kelompok petani berukuran usahatani luas dengan kelompok petani yang berukuran usahatani sempit serta menganalisis total biaya, penerimaan, pendapatan, dan efisiensi biaya usahatani dengan menggunakan R/C Rasio.

Usahatani padi sehat merupakan kombinasi antara penggunaan input produksi berbahan dasar kimia dan organik dalam kegiatan usahataninya. Usahatani ini dimulai sejak tahun 2001 memiliki pola tanam rata-rata monokultur dengan lima kali musim tanam dalam dua tahun. Berdasarkan analisis penggunaan


(6)

input dan biaya usahatani, penggunaan input produksi usahatani padi sehat berukuran luas lebih sedikit daripada yang berukuran sempit. Input produksi usahatani padi sehat berukuran luas yang penggunaannya di bawah standar adalah pupuk kimia, sedangkan input produksi usahatani padi sehat berukuran sempit yang penggunannya di bawah adalah pupuk organik. Kemudian produktivitas usahatani padi sehat berukuran luas lebih besar (15.497,92 kg/ha/tahun) daripada yang berukuran sempit (14.969,79 kg/ha/tahun) walaupun produktivitas usahatani padi sehat berukuran luas dan sempit masih di bawah standar produktivitas usahatani padi sehat.

. Analisis perbandingan total biaya usahatani menunjukkan bahwa total biaya yang dikeluarkan dan diperhitungkan petani padi sehat berukuran usahatani luas dan sempit pada musim tanam 2010/2011 tidak berbeda signifikan. Total biaya usahatani padi sehat berukuran usahatani luas pada musim tanam 2010/2011 rata-rata sebesar Rp35.542.858,53/ha/tahun. Sedangkan total usahatani padi sehat berukuran usahatani sempit pada musim tanam 2010/2011 rata-rata sebesar Rp36.784.268,54 per hektar per tahun.

Berdasarkan analisis pendapatan, pendapatan atas biaya tunai usahatani padi sehat berukuran luas lebih besar (Rp6.404.899,40) daripada petani berukuran sempit (Rp4.501.098,37). Sedangkan pendapatan atas biaya total usahatani menunjukkan bahwa kedua ukuran usahatani mengalami kerugian, yaitu petani berukuran usahatani luas mengalami kerugian sebesar Rp1.452.025,20 dan petani berukuran usahatani sempit mengalami kerugian sebesar Rp3.874.227,28 pada tahun 2010 sehingga secara keseluruhan usahatani padi sehat merugikan bagi petani.

Berdasarkan analisis efisiensi biaya, R/C Rasio usahatani padi sehat berukuran usahatani di atas dan sempit lebih kecil dari satu, dimana petani berukuran usahatani luas memiliki R/C Rasio senilai 0,96 dan petani berukuran usahatani sempit memiliki R/C Rasio senilai 0,89. Hal ini berarti setiap Rp1,00 biaya yang dikeluarkan justru menghasilkan penerimaan hanya sebesar Rp0,96 bagi petani padi sehat berukuran usahatani luas dan sebesar Rp0,89 bagi petani padi sehat sempit. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa usahatani padi sehat tidak efisien dari segi biaya.


Dokumen yang terkait

Analisis Sistem Usahatani Padi Sehat (Suatu Perbandingan, Kasus : Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat)

0 11 194

Kelembagan Berkelanjutan dalam Pertanian Organik (Studi Kasus Komunitas Petani Padi Sawah, Kampung Ciburuy,Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat)

6 103 177

Evaluasi kemitraan petani padi dengan lembaga pertanian sehat dompet dhuafa republika desa Ciburuy, kecamatan Cigombong kabupaten Bogor

0 4 216

Penataan kelembagaan pertanian dalam penerapan sistem pertanian padi sehat (studi di kampung Ciburuy, desa Ciburuy, kecamatan Cigombong, kabupaten Bogor)

1 22 173

Analisis Ekonomi Usahatani Padi Semi Organik dan Anorganik pada Petani Penggarap (Studi Kasus: Desa Ciburuy dan Desa Cisalada, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor)

1 8 217

Analisis efisiensi teknis, pendapatan dan peranan kelembagaan petani pada usahatani padi sehat (Kasus Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

1 15 282

Penerapan Teknologi Pertanian Padi Organik Di Kampung Ciburuy, Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor

0 6 107

Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Usahatani Padi Semiorganik di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong,Kabupaten Bogor

3 28 148

Penerapan LEISA pada Usahatani Padi Sehat dan Pengaruhnya terhadap Pendapatan Usahatani di Gapoktan Harapan Maju dan Gapokan Silih Asih, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat

0 10 98

Potensi Konsolidasi Pengelolaan Lahan Padi Sawah Di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor

0 8 54