PENGARUH KONSELING TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PASIEN SEKSIO SESAREA Di RSU PKU Muhammadiyah Delanggu Klaten

(1)

i

Di RSU PKU Muhammadiyah Delanggu Klaten

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Kedokteran Keluarga

Minat Utama Pendidikan Profesi Kesehatan

Oleh

Slamet Setyo Budi Utomo S54 090 7020

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN KELUARGA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA


(2)

ii

PENGARUH KONSELING TERHADAP TINGKAT

KECEMASAN PASIEN SEKSIO SESAREA

Di RSU PKU Muhammadiyah Delanggu Klaten

Disusun Oleh : Slamet Setyo Budi Utomo

NIM . S 54 090 7020

Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Pembimbing

Tim Pembimbing:

Jabatan Nama Tanda-Tangan Tanggal

Pembimbing I Prof. Dr. dr. H. Aris Sudyanto, Sp.KJ ... ... NIP. : 130 543 191

Pembimbing II Dr. Nunuk Suryani, M.Pd. ... ... NIP. : 131 918 507

Mengetahui

Ketua Program Studi Kedokteran Keluarga

Prof. Dr. dr. Didik Tamtomo, PAK., MM., MKK. NIP. : 130 543 994


(3)

iii Oleh

Slamet Setyo Budi Utomo NIM . S 54 090 7020

Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Penguji Pada Tanggal : Januari 2009

Jabatan Nama Tanda Tangan

Ketua : Prof. Dr. dr. Didik Tamtomo, M.Kes.,MM.,PAK ...

Sekretaris : Prof. Dr. dr. Ambar Mudigdo, Sp.PA ...

Anggota : 1. Dr. Nunuk Suryani, M.Pd. ...

2. Prof. Dr. dr. Aris Sudyanto, Sp.KJ ...

Surakarta, Januari 2008 Mengetahui:

Direktur PPs UNS. Ketua Program Studi Kedokteran Keluarga

Prof. Drs. Suranto., M.Sc., Ph.D. Prof. Dr. dr. Didik Tamtomo, PAK, MM, MKK. NIP. : 131 472 192 NIP. : 130 543 994


(4)

iv Yang bertanda tangan di bawah ini, saya : Nama : Slamet Setyo Budi Utomo

NIM : S54 090 7020

Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa tesis berjudul PENGARUH KONSELING TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PASIEN SEKSIO SESAREA Di RSU PKU MUHAMMADIYAH DELANGGU KLATEN adalah betul-betul karya saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan dilanjutkan dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.

Surakarta, 01 Desember 2008 Yang membuat pernyataan


(5)

v

dengan rahmat dan hidayah-Nya Tesis ini akhirnya dapat diselesaikan, untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister Kedokteran Keluarga.

Hambatan dan kendala yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian penulisan Tesis ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk itu atas segala bentuk bantuan, disampaikan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Rektor, Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret, yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk menempuh pendidikan Pasca Sarjana (S2);

2. Ketua Program Studi Magister Kedokteran Keluarga Universitas Sebelas Maret, yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk mengikuti Pendidikan Profesi Kesehatan;

3. Segenap dosen Program Studi Magister Kedokteran Keluarga Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret yang telah membekali ilmu pengetahuan yang sangat berarti bagi peneliti;

4. Bapak Prof. Dr. H. Aris Sudyanto, dr., Sp.KJ. selaku Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan;

5. Ibu Dr. Nunuk Suryani, M.Pd. selaku Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan;

6. Ketua, Sekretasis dan Anggota Tim Penguji Tesis, yang telah menguji dan memberikan masukan serta revisi tesis;

7. Direktur RSU PKU Muhammadiyah Delanggu, Bapak dr. Muhamad Ma’mun Sukri, yang telah memberikan ijin dan kesempatan dalam pengambilan data; 8. Bapak dr. Lilik Prasetyo, Sp.OG. RSU PKU Muhammadiyah Delanggu, yang

telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan terhadap proses penelitian; 9. Rekan-rekan Kebidanan RSU PKU Muhammadiyah Delanggu, yang telah

membatu dan memberikan masukan atas pengambilan data;

10. Rekan-rekan seangkatan yang telah memberikan dorongan dan sumbang saran atas tersusunnya tesis;


(6)

vi

kaidah serta ahklak dalam kehidupan, hingga penulis dapat melanjutkan pendidikan;

12. Istriku tercinta, Nurwati Utomo dan anak-anakku tersayang, Rendra Perwira Aditama, Bima Achmad B. Nurutama dan Nurul Hidayah Utomo, yang dengan tulus dan ihklas memberikan dorongan semangat hingga terselesainya tesis ini; 13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga atas bantuan dan kebaikan semua pihak, senantiasa memperoleh balasan kemulyaan dalam berkah dan rahmat Allah SWT. serta selalu teriring dalam kesucsesan.

Walaupun disadari dalam tesis ini masih ada kekurangan, namun diharapkan Tesis ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan ilmu kedokteran keluarga.

Surakarta, 01 Desember 2008 Penulis


(7)

vii

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

PERNYATAAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

ABSTRAK ... xii

ABSTRACT ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah... 4

C. Tujuan Penelitian... 4

D. Manfaat Penelitian... 5

E. Keaslian Penelitian... 5

BAB II KAJIAN TEORI A. Tinjauan Teori ... 6

1. Konseling... 6

2. Kecemasan ... 23

3. Seksio Sesarea ... 40

B. Kerangka Pikir... 51

C. Hipotesis ... 54

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian... 55

B. Jenis Penelitian ... 55

C. Populasi dan Sampel Penelitian ... 55


(8)

viii

G. Pengolahan Data ... 61

H. Analisis Data ... 62

I. Jadwal Kegiatan... 63

BAB IV HASIL, ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data Hasil Penelitian... 65

B. Hasil Analisa Data... 84

C. Kesimpulan Hasil Analisa ... 89

D. Pembahasan ... 90

E. Keterbatasan ... 99

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 101

B. Implikasi ... 102

C. Saran ... 103

DAFTAR PUSTAKA ... 107


(9)

ix

1. Jadwal kegiatan penelitian ... 64

2. Distribusi responden menurut tempat tinggal (Kabupaten). ... 66

3. Distribusi responden menurut wilayah tempat tinggal ... 66

4. Distribusi data tingkat pendidikan responden ... 68

5. Distribusi data usia responden ... 69

6. Distribusi data kehamilan responden ... 70

7. Distribusi data faktor penyulit seksio sesarea ... 72

8. Distribusi kecemasan responden sebelum dan sesudah operasi... 76

9. Distribusi perubahan kecemasan responden ... 76

10. Distribusi kecemasan menurut tingkat pendidikan ... 78

11. Distribusi kecemasan menurut kelompok usia ... 79

12. Distribusi kecemasan menurut usia, objek, pre-post operasi ... 79

13. Distribusi kecemasan menurut jumlah persalinan ... 80

14. Distribusi kecemasan menurut faktor penyebab kelompok kontrol... 81

15. Distribusi kecemasan menurut faktor penyebab kelompok perlakuan. 81 16. Hasil Uji Normalisasi ... 84


(10)

x

Halaman

1. Patofisiologi Sindrom Kecemasan (Maslim). ... 31

2. Kerangka Pikir Penelitian. ... 54

3. Grafik distribusi wilayah tempat tinggal responden... 67

4. Grafik tingkat pendidikan responden ... .... 68

5. Grafik distribusi usia responden ... 69

6. Grafik kehamilan responden ... 71

7. Grafik distribusi faktor penyulit seksio sesarea ... 72

8. Grafik distribusi kecemasan pre operasi ... 73

9. Grafik distribusi kecemasan post operasi ... 74

10. Grafik kecemasan responden sebelum dan sesudah operasi ... 76

11. Grafik perubahan kecemasan responden ... 77

12. Grafik kecemasan menurut tingkat pendidikan ... 78

13. Grafik kecemasan menurut kelompok usia ... 79

14. Grafik kecemasan menurut kali persalinan ... 80

15. Grafik kecemasan menurut kelompok kontrol ... 82

16. Grafik kecemasan menurut penyebab operasi kelompok perlakuan. 82 17. Grafik kecemasan menurut penyebab operasi... 83


(11)

xi

1. Petunjuk pengisian kuesioner ... 110

2. Kuesioner L-MMPI ... 111

3. Kuesioner T-MAS ... 112

4. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Konseling ... 114

5. Data koresponden ... 121

6. Hasil koding data koresponden. ... 124

7. Hasil analisa data dengan SPSS. ... 127

8. Surat Permohonan Ijin Penelitian ... 156 9. Surat Keterangan Penelitian RSU PKU Muhammadiyah Delanggu 157


(12)

xii

Seksio Sesarea, di Rumah Sakit Umum PKU Muhammadiyah Delanggu Klaten. Tesis Program Studi Magister Kedokteran Keluarga, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta 2008.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui adanya pengaruh konseling terhadap tingkat kecemasan pasien sebelum dan sesudah operasi seksio sesarea.

Metode penelitian ini adalah metode analitik dengan pendekatan Randomized Controlled Trial (RCT), lokasi penelitian di RSU PKU Muhammadiyah Delanggu Klaten. Populasi penelitian adalah pasien inpartum yang dirawat di RSU PKU Muhammadiyah Delanggu, dari bulan September 2008 sampai dengan Oktober 2008, subyek penelitian sebanyak 70 orang dari seluruh populasi penelitian, dengan alat uji T-MAS (Taylor Manifest Anxienty Scale) dan uji hipotesa analisis Uji t (t-Test) dan Analisis Varians satu jalan (One-Way ANOVA).

Hasil pengujian hipotesis dengan Uji t adalah sebelum operasi t hitung 2,850 dengan signifikasi 0,006 lebih kecil taraf alpha 0,05 maka t hitung signifikan. Dan pada sesudah operasi t hitung 2,480 dengan signifikasi 0,016 < 0,05 maka t hitung signifikan.

Hasil analisis dengan Varians datu jalan (one way anova), untuk mengetahui pengaruh tingkat pendidikan, usia, jumlah persalinan, dan faktor penyulit terhadap kecemasan yang diberi konseling didapatkan bahwa yang mempunyai pengaruh terhadap tingkat kecemasan hanya tingkat pendidikan yakni harga F hitung 4,641 dengan harga signifikansi 0,039 < 0,05.

Kesimpulan, Konseling berpengaruh signifikan terhadap tingkat kecemasan pada pasien sebelum operasi seksio sesarea dengan harga t hitung sebesar 2,850 dengan harga signifikasi 0,006 < 0,05. Dan Konseling berpengaruh signifikan terhadap tingkat kecemasan sesudah operasi seksio sesarea dengan t hitung 2,480 dengan harga signifikasi 0,016 < 0,05.

Saran, sesuai hasil penelitian ini: pada pasien seksio sesarea agar dilakukan konseling kususnya pada pasien berpendidikan rendah (< 9 tahun) oleh tenaga kesehatan atau tim konselor yang mempunyai kompetensi tentang konseling (ketrampilan komunikasi interpersonal, tehnik bimbingan dan penguasaan pengetahuan klinik).


(13)

xiii

sesaria at Muhammadiyah Hospital Delanggu Klaten Regency. A Thesis for Master Program Family Medicine, Posy Graduate Program, Sebelas Maret University, Surakarta 2008.

This study aim is to detects counselling influence existence towards patient anxiety level before and postoperative seksio sesaria.

This study analytic method with approaches Randomized Control Trial (RCT), this study location at Muhammadiyah Hospital Delanggu Klaten Regency. The population patient inpartum that cared at Muhammadiyah Hospital Delanggu Klaten Regency, from September until October 2008. The subject as much as 70 person from entire the study populations by means of test research T-MAS (Taylor Manifest Anxienty Scale) and test hipotesa test-T and test one way anova.

Hypothesis testing result with test-T before operation t count 2.850 with signifikasi 0.006 smaller than standard alpha 0,05 so t count significant. and in postoperative t count 2.480 with signifikansi 0,016 < 0,05 so t count significant.

Analysis result with one way anova, to detect education level influence, age, completely puerperal and factor heavy on hand towards anxiety that given counselling is got that has influence towards only education level that is f count 4.641 at the price of signifikansi 0,039, 0,05 conclusion, influential counselling significant towards anxiety level in patient before operation seksio sesaria at the price of t counts as big as 2.850 at the price of signifikansi 0,006 < 0,05 and influential counselling significant towards post operative anxiety level seksio sesaria with t counts 2.480 at the price of signifikansi 0.016 < 0,05.

Influential education level significant towards anxiety level in patient counselling with F counts 4.461 at the price of significant 0,039 < 0,05, while age level, pregnancy total, factor heavy on hand not influence significant towards anxiety level at the price of significant bigger 0,05.

Suggestion, appropriate this study result: in patient seksio sesarea so that done counselling especially in low educated patient (<9 year) by health team or team konselor that has competence about counselling (communication craft interpersonal, technics guidance and clinic erudition mastery).

_____________________________________________________________________ Key word : Counselling, Anxiety, Seksio Sesarea


(14)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Seksio sesarea (caesarean delivery) adalah satu cara melahirkan janin melalui sayatan dinding abdomen (laparatomi) dan dinding uterus (histerotomi).

Kaisar Numa Pompilius dari kerajaan Romawi pada abad kedelapan SM mengesahkan undang-undang yang mengijinkan tindakan seksio sesarea segera pada ibu-ibu hamil tua yang baru saja meninggal untuk menyelamatkan janin. Diduga dengan terbitnya undang-undang ini, istilah ”Caesarea Delivery” atau Caesarean Section” atau seksio sesarea mulai dipakai untuk persalinan operatif melalui luka sayatan dinding abdomen (perut) dan dinding uterus (rahim). (ACOG.,1999).

Di negara-negara sedang membangun, seksio sesarea adalah merupakan pilihan terakhir untuk menyelamatkan ibu dan janin pada saat kehamilan dan atau persalinan yang kritis. Seksio sesarea yang diputuskan mendadak, tanpa perawatan pre-operatif yang memadai, dan tanpa direncanakan sebelumnya disebut seksio sesarea emergensi (ACOG.,1999).

Dengan majunya perkembangan dimasyarakat akhir-akhir ini, seksio sesarea juga sudah dilakukan atas permintaan ibu atau keluarga tanpa indikasi obstetrik, atau dengan indikasi obstetrik sebelum timbul tanda-tanda persalinan, atau dengan indikasi obstetrik dengan perawatan pre-operatif yang baik. Seksio sesarea yang direncanakan dan sudah mendapat perawatan pre-operatif yang baik disebut seksio sesarea efektif.


(15)

Angka morbiditas (kesakitan), angka mortalitas (kematian) maternal (ibu) dan neonatal (bayi) pada seksio sesarea erat kaitannya dengan komplikasi kehamilan, komplikasi persalinan, dan indikasi seksio sesarea, juga erat kaitannya dengan ketersediaan sarana dan fasilitas, termasuk ketrampilan tim operator (White, S.M., Thorpe RG, Maine D., 1987).

Perlu disadari bahwa persalinan merupakan peristiwa alamiah tetapi banyak pendapat masyarakat terutama kaum wanita memandang secara subyektif sebagai proses yang menakutkan, tidak nyaman dan sangat menyakitkan sehingga banyak ibu-ibu yang merasa cemas, gelisah, takut menghadapi proses persalinan (Bobak-Jensen, 1993). tetapi persalinan pada manusia setiap saat dapat terjadi penyulit yang membahayakan ibu atau janin, sehingga memerlukan pengawasan, pertolongan dan pelayanan dengan fasilitas yang mamadai (Manuaba, 1998).

Kematian seorang ibu dalam proses persalinan atau akibat lain yang berhubungan dengan kehamilan merupakan suatu pengalaman yang menyedihkan, kadang meninggalkan trauma fisik maupun mental kepada ibu maupun keluarga. Beban emosional terjadi gangguan perasaan ringan sampai depresi postpartum atau psikosis (Sarwono P., 2002).

Perasaan cemas atau ketakutan yang dihadapi pasien dan keluarganya merupakan suatu hal yang tidak dapat dipungkiri, yang dimungkinkan dengan keterbatasan informasi, pengetahuan dan pemahaman masalah kesehatan disamping karena faktor lainnya. Hal tersebut diperlukan pemahaman melalui proses konseling kepada pasien maupun keluarganya.

Konseling adalah proses pemberian informasi objektif dan lengkap, dilakukan secara sistematik dengan paduan ketrampilan komunikasi interpersonal, tehnik


(16)

bimbingan dan penguasaan pengetahuan klinik, yang bertujuan untuk membantu seseorang mengenali kondisinya saat ini, masalah yang sedang dihadapi dan menentukan jalan keluar atau upaya untuk mengatasi masalah tersebut (Saifuddin, 2001).

Kecemasan dalam proses persalinan sering dianggap kurang penting bahkan kurang diperhatikan oleh dirinya sendiri, keluarga ataupun tenaga kesehatan. Dan bentuk perhatian hanya difokuskan pada keadaan patologis yang dapat mengancam keselamatan ibu dan bayi, padahal keadaan psikologis ibu bersalin merupakan hal yang penting dalam membantu proses persalinan. Dari hasil studi pendahuluan di RSU PKU Muhammadiyah Delanggu yang di dapat dari data primer diperoleh bahwa tahun 2007 terdapat kasus persalinan sebanyak 903 penderita yang terdiri dari: persalinan normal 10.41%, tindakan (stimulasi & Induksi) 35,88%, vakum ektraksi 9.41% dan seksio sesarea 44.30% sebagaimana dalam tabel 1. berikut ini:

Sesuai keterangan dari tenaga kesehatan bahwa kasus persalinan baik persalinan normal maupun persalinan dengan faktor penyulit yang dilakukan dengan tindakan : stimulasi dan induksi; vakum ekstrasi; maupun seksio sesarea,


(17)

pada ibu maupun keluarganya menunjukkan adanya gangguan perasaan atau perilaku yang mengarah pada kecemasan. seperti: terlihat wajah tegang, khawatir, tidak tenang, gelisah dan mudah kaget.

Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, maka penulis memilih judul dalam penelitian adalah Pengaruh Konseling Terhadap Tingkat Kecemasan Pasien Seksio Sesarea di Rumah Sakit Umum PKU Muhammadiyah Delanggu Klaten.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah disampaikan dalam latar belakang di atas maka masalah pokok yang dikaji dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1) Adakah pengaruh pemberian konseling terhadap tingkat kecemasan pasien sebelum dan sesudah seksio sesarea.

2) Adakah pengaruh konstribusi faktor : tingkat pendidikan, jumlah persalinan, usia, dan faktor penyulit terhadap tingkat kecemasan pasien seksio sesarea yang diberi konseling.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Memperoleh gambaran sebab akibat tingkat kecemasan terhadap pasien seksio sesarea di RSU. PKU Muhammadiyah Delanggu, Klaten.

2. Tujuan Khusus: Untuk mengetahui :

a. Pengaruh pemberian konseling sebelum dan sesudah operasi terhadap tingkat kecemasan pasien seksio sesarea;


(18)

b. Pengaruh kontribusi faktor; tingkat pendidikan, jumlah persalinan, usia, dan faktor penyulit terhadap tingkat kecemasan pasien seksio sesarea yang diberi konseling.

D. Manfaat Penelitian

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk membuktikan ada tidaknya pengaruh pemberian konseling pada pasien seksio sesarea sebelum dan sesudah melakukan operasi sesarea terhadap tingkat kecemasan.

Manfaat praktis penelitian ini diharapkan:

1. Dapat dimanfaatkan untuk penelitian yang berikutnya.

2. Dapat digunakan untuk memberikan masukan kepada Institusi Negeri maupun Swasta dilingkungan kesehatan seperti : Departemen Kesehatan, Institusi Pendidikan Kesehatan dan Tenaga Kesehatan serta masyarakat pada umumnya.

E. Keaslian Penelitian

Sejauh yang diketahui penulis sampai saat ini belum pernah ada penelitian mengenai Pengaruh Konseling Terhadap Tingkat Kecemasan Pasien Seksio Sesarea di RS PKU Muhammadiyah Delanggu, Klaten yang dilakukan dan dipublikasikan dalam forum ilmiah, sehingga gagasan penulis mengenai hal ini dapat dianggap suatu hal yang baru untuk diteliti.


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

A. Tinjauan Teori 1. Konseling

Konseling adalah proses pemberian informasi objektif dan lengkap, dilakukan secara sistematik dengan paduan ketrampilan komunikasi interpersonal, tehnik bimbingan dan penguasaan pengetahuan klinik, yang bertujuan untuk membantu seseorang mengenali kondisinya saat ini, masalah yang sedang dihadapi dan menentukan jalan keluar atau upaya untuk mengatasi masalah tersebut (Saifuddin, 2001).

Kurtz (1998), menyatakan bahwa komunikasi efektif justru tidak memerlukan waktu lama. Komunikasi efektif terbukti memerlukan lebih sedikit waktu karena dokter terampil mengenali kebutuhan pasien (tidak hanya ingin sembuh). Atas dasar kebutuhan pasien, dokter melakukan manajemen pengelolaan masalah kesehatan bersama pasien untuk tercapainya pengertian yang sama dan kesepakatan yang dibangun bersama pada setiap langkah penyelesaian masalah antara penyampai pesan dan penerima pesan.

Secara umum definisi komunikasi adalah sebuah proses penyampaian pikiran-pikiran atau informasi dari seseorang kepada orang lain melalui suatu cara tertentu, sehingga orang lain tersebut mengerti betul apa yang dimaksud oleh penyampai pikiran-pikiran atau informasi, (Koontz dan Weihrich 1988; Komarudin, 1994; Schermerhorn, Hunt dan Osborn, 1994).


(20)

Untuk mencapai tujuan komunikasi dalam melakukan konseling, adalah untuk mengarahkan proses penggalian riwayat penyakit lebih akurat dan lebih memberikan dukungan pada pasien, dengan demikian lebih efektif dan efisien bagi keduanya (Kurzt, 1998). Keberhasilan dalam konseling pada umumnya akan melahirkan kenyamanan dan kepuasan bagi kedua belah pihak, khususnya akan menciptakan terhadap kemampuan pemahaman, harapan, kepentingan, kecemasan dan kebutuhan pasien. Sehingga dalam konseling diperlukan berbagai pemahaman seperti pemanfaatan jenis komunikasi (lisan, tulisan/verbal, non-verbal), menjadi pendengar yang baik (active listener), adanya penghambat proses komunikasi (noise), pemilihan alat penyampaian pikiran atau infomasi yang tepat (channel), dan mengenal mengekspresikan perasaan dan emosi.

Dalam model proses komunikasi yang berfokus pada pengirim informasi (sender/source), saluran yang dipakai (channel), untuk menyampaikan informasi dan penerima informasi (receiver). Dalam model juga mengilustrasikan adanya penghambat informasi sampai ke penerima (noise), dan umpan baik (feedback) yang memfasilitasi kelancara komunikasi itu sendiri.

Komunikasi dapat efektif apabila pesan diterima dan dimengerti sebagaimana dimaksud oleh pengirim pesan, pesan ditindaklanjuti dengan sebuah perbuatan oleh penerima pesan dan tidak ada hambatan untuk hal itu (Hardjana, 2003).

Komunikasi dalam proses konseling juga merupakan bimbingan yang berkaitan dengan hak klien untuk memperoleh informasi, memahami kondisi


(21)

yang dihadapi untuk menentukan pilihan, indikator mutu pelayanan dan memberikan rasa puas. Berdasarkan tahapan pemberian informasi, konseling dibagi menjadi: konseling awal, konseling khusus atau pemantapan, dan konseling kunjungan ulang.

Di dalam proses komunikasi, sikap profesional sangat penting untuk membangun rasa nyaman, aman, percaya pada dokter, yang merupakan landasan bagi berlangsungnya komunikasi secara efektif (Silverman, 1998). Sikap profesional ini hendaknya dijalin terus-menerus sejak awal konsultasi, selama proses konsultasi berlangsung dan diakhir konsultasi.

Sebagaimana yang tercantum dalam Konsil Kedokteran Indonesia (2006), di dalam proses komunikasi ada dua sesi yang sangat penting yaitu sesi pengumpulan informasi yang didalamnya terdapat proses anamnesis dan sesi penyampaian informasi. Model proses komunikasi pada sesi penggalian informasi telah dikembangkan oleh Van Dalen (2005) dan digambarkan dalam sebuah model yang sangat sederhana dan aplikatif, sebagai berikut:

1 3

2 3

 Kotak 1 : Pasien memimpin pembicaraan melalui pernyataan terbuka yang dikemukakan oleh dokter (Patient takes the lead through open ended question by the doktor).

 Kotak 2 : Dokter memimpin pembicaraan melalui pertanyaan tertutup / terstruktur yang telah disusunnya sendiri ( Doctors takes the lead through closed question by the doctor).

 Kotak 3 : Kesepakatan apa yang harus dan akan dilakukan berdasarkan negosiasi kedua belah pihak (Negotiating agenda by both).


(22)

Sesi penggalian informasi terdiri dari:

a. Mengenali alasan kedatangan pasien, belum tentu keluhan utama secara medis (Silverman, 1998). inilah disebut dalam kotak pertama model Van Dalen (2005). Pasien menceriterakan keluhan atau apa yang dirasakan sesuai sudut pandangnya (illness perspective). Pasien berada pada posisi sebagai orang yang paling tahu tentang dirinya karena mengalaminya sendiri.

Sesi ini akan berhasil bila dokter mampu menjadi pendengar yang aktif (active listerner). Pendengar yang aktif adalah fasilitator yang baik sehingga pasien dapat mengungkapkan kepentingan, harapan, kecemasannya secara terbuka dan jujur. Hal ini akan membantu dokter dalam menggali riwayat kesehatannya yang merupakan data-data penting untuk menegakkan diagnosis.

b. Penggalian riwayat penyakit (Van Thiel, 2000), penggalian riwayat penyakit (anamnesis) dapat dilakukan melalui pertanyaan-pertanyaan terbuka dahulu, yang kemudian diikuti pertanyaan tertutup yang membutuhkan jawaban “ya” atau “tidak”. Inilah yang dimaksud dalam kotak kedua dalam model Van Dalen (2005). Dokter sebagai seorang yang ahli, akan menggali riwayat kesehatan pasien sesuai kepentingan medis (disease perspective).

Selama proses ini, fasilitasi terus dilakukan agar pasien mengungkapkan keluhannya dengan terbuka, serta proses negosiasi saat dokter hendak melakukan komunikasi satu arah maupun rencana tindakan medis.


(23)

Bagaimana pusing tersebut anda rasakan, dapat diceriterakan lebih jauh?

Menurut anda pusing tersebut reda bila anda melakukan sesuatu, meminum obat tertentu, atau bagaimana menurut anda?

Sedangkan pertanyaan tertutup yang merupakan inti dari anamnesis: Eksplorasi terhadap riwayat penyakit: dahulu, keluarga dan sekarang. Contoh menggunakan pedoman Macleod’s clinical examination seperti disebutkan dalam Kurtz (1998). yakni:

o Dimana dirasakan ? (site)

o Sampai di bagian tubuh mana hal tersebut dirasakan ?

(radiation)

o Bagaimana karakteristik dari nyerinya, berdenyut-denyut ?

Hilang timbul ? Nyeri terus menerus ? (character)

o Nyeri? Amat nyeri? Sampai tidak dapat melakukan kegiatan

mengajar? (severity)

o Berapa lama nyeri berlangsung? Sebentar? Berjam-jam?

Berhari-hari? (duration)

o Setiap waktu tertentu nyeri tersebut dirasakan? Berulang-ulang?

Tidak tentu? (Frequency)

o Apa yang membuatnya reda? Apa yang membuatnya kumat?

Saat istirahat? Ketika kerja? Sewaktu minum obat tertentu? (aggravating and relieving factor)

o Apakah keluhan lain yang menyertainya? (associated


(24)

Sesi Penyampaian Informasi:

Setelah sesi sebelumnya dilakukan dengan akurat, maka dokter dapat melanjutkan kepada sesi memberikan penjelasan. Secara ringkas ada 6 (enam) hal yang penting diperhatikan agar efektif dalam berkomunikasi dengan pasien, yaitu:

a. Materi Informasi apa yang disampaikan:

1) Tujuan anamnesis dan pemeriksaan fisik (kemungkinan rasa tidak nyaman / sakit saat pemeriksaan).

2) Kondisi saat ini dan berbagai kemungkinan diagnosis.

3) Berbagai tindakan medis yang akan dilakukan untuk menentukan diagnosis, termasuk manfaat, resiko, serta kemungkinan efek samping / komplikasi.

4) Hasil dan interpretasi dari tindakan medis yang telah dilakukan untuk menegakkan diagnosis.

5) Diagnosis, jenis atau tipe suatu penyakit

6) Pilihan tindakan medis untuk tujuan terapi (kekurangan dan kelebihan masing-masing cara)

7) Prognosis.

8) Dukungan (support) yang tersedia.

b. Siapa yang diberi informasi:

1) Pasien, apabila dia menghendaki dan kondisinya memungkinkan. 2) Keluarganya atau orang lain yang ditunjuk oleh pasien.


(25)

3) Keluarganya atau pihak lain yang menjadi wali / pengampu dan bertanggung jawab atas pasien kalau kondisi pasien tidak memungkinkan untuk berkomunikasi sendiri secara langsung.

c. Berapa banyak atau sejauh mana:

1) Untuk pasien: sebanyak yang pasien kehendaki, yang dokter merasa perlu untuk disampaikan, dengan memerhatikan kesiapan mental pasien.

2) Untuk keluarga: sebanyak yang pasien / keluarga kehendaki dan sebanyak yang dokter perlukan agar dapat menentukan tindakan selanjutnya.

d. Kapan menyampaikan informasi: 1) Segera diinformasikan

2) Jika kondisi dan situasinya memungkinkan. e. Di mana menyampaikannya:

1) Di ruang praktik dokter / ruang pemeriksaan pasien 2) Di bangsal, ruangan tempat pasien dirawat

3) di ruang diskusi

4) Di tempat lain yang pantas, atas persetujuan bersama (pasien, keluarga dan dokter)

f. Bagaimana menyampaikannya:

1) Informasi penting sebaiknya disampaikan secara langsung, tidak melalui telepon, juga tidak dalam bentuk tulisan yang dikirimkan melalui pos, faksimile, sms, internet.


(26)

2) Persiapan meliputi:

o materi yang akan disampaikan (bila diagnosa, tindakan medis,

prognosis sudah disepakati oleh tim)

o ruangan yang nyaman, memperhatikan privasi, tidak terganggu

orang lalu lalang, suara gaduh dari tv/radio atau telepon.

o waktu yang cukup

o mengetahui orang yang akan hadir (sebaiknya pasien ditemani

oleh keluarga/orang yang ditunjuk; bila hanya keluarga yang hadir sebaiknya lebih dari satu orang)

3) Jajaki sejauh mana pengertian / keluarga tentang hal yang akan dibicarakan.

4) Tanyakan kepada pasien / keluarga, sejauhmana informasi yang diinginkan dan amati kesiapan pasien / keluarga menerima informasi yang akan diberikan.


(27)

Langkah-langkah komunikasi

Ada empat langkah yang terangkum dalam satu kata untuk melakukan komunikasi yaitu SAJI (Poernomo, leda SS, Program Family Health Nutrition, Depkes RI, 1999). yakni : S = Salam, A = Ajak Bicara, J = Jelaskan, I = Ingatkan. Dengan penjelasan sebagai berikut:

Salam; Beri salam, sapa dia, tunjukkan bahwa Anda bersedia meluangkan waktu untuk berbicara dengannya.

Ajak Bicara: Usahakan berkomunikasi secara dua arah, jangan bicara sendiri. Dorong agar pasien mau dan dapat mengemukakan pikiran dan perasaannya. Tunjukkan bahwa dokter menghargai pendapatnya, dapat memahami kecemasannya, serta mengerti perasaannya. Dokter dapat menggunakan pertanyaan terbuka maupun tertutup dalam usaha mengenali informasi.

Jelaskan: Beri penjelasan mengenai hal-hal yang menjadi perhatiannya, yang ingin diketahuinya, dan yang akan dijalani / dihadapinya agar ia tidak terjebak oleh pikirannya sendiri, Luruskan persepsi yang keliru. Berikan penjelasan mengenai penyakit, terapi atau apapun secara jelas dan detil.

Ingatkan: Percakapan yang dokter lakukan bersama pasien mungkin memasukkan berbagai materi secara luas, yang tidak mudah diingatkan kembali. di bagian akhir percakapan ingatkan dia untuk hal-hal yang masih belum jelas bagi kedua belah pihak serta mengulang kembali akan pesan-pesan kesehatan yang penting.

Secara garis besar, kemampuan konseling untuk melaksanakan komunikasi positif secara efektif merupakan syarat seorang konselor, ciri konselor yang efektif adalah:


(28)

a. Mampu menciptakan suasana nyaman dan aman bagi klien; b. Menimbulkan rasa saling percaya diantara klien dan konselor; c. Mampu mengenali hambatan sosio-kultur setempat

d. Mampu menyampaikan informasi objektif, lengkap dan jelas (bahasa yang mudah dimengerti)

e. Mau mendengar aktif dan bertanya efektif dan sopan;

f. Memahami dan mampu menjelaskan berbagai aspek kesehatan reproduksi;

g. Mampu mengenali keinginan klien dan keterbatasan penolong; h. Membuat klien bertanya, berbicara dan mengeluarkan pendapat; i. Menghormati hak klien, membantu dan memperhatikan.

Walaupun petugas pelayanan kesehatan belum mengikuti pelatihan ketrampilan konseling, bukan berarti wahwa proses ini tidak dapat dilakukan, karena masalah penting didalam konseling selain tehnik komunikasi dan pemberian informasi juga isi dari informasi yang akan disampaikan. Semua petugas dan staf klinik dapat mengerti tentang pengetahuan dan tindakan klinik dalam kesehatan maternal dan berbagai resiko atau komplikasi yang mungkin timbul.

Perlu diingat bahwa klien memilih dan membuat keputusan tentang pilihan penatalaksanaan klinik yang diyakini sesuai dengan masalah kesehatan yang mereka hadapi, kemudian dinyatakan dalam persetujuan tertulis yang disepakati oleh kedua belah pihak, akan lebih mantap untuk menjalankan pengobatan atau tindakan klinik yang akan dijalankan serta menghindarkan rasa tidak puas atau masalah hukum dikemudian hari.


(29)

Disamping akronim SAJI (Poernomo,1999), Gellen dan Leitenmair

(1987), memberikan satu akronim yang dapat dijadikan panduan bagi petugas klinik untuk melakukan konseling. Akronim tersebut adalah GATHER yang

merupakan singkatan dari:

a. G-Greet, memberikan salam, mengenalkan diri dan membuka komunikasi;

b. A-Ask atau Assess, Menanyakan keluahan / kebutuhan pasien dan menilai apakah keluahan / keinginan yang disampaikan memang sesuai dengan kondisi yang dihadapi.

c. T-Tell, eritahukan bahwa persoalan pokok yang dihadapi oleh pasien adalah seperti yang tercermin dari hasil tukar informasi dan harus dicarikan upaya penyelesaian masalah tersebut;

d. H-Help, Bantu pasien untuk memahami masalah utamanya dan masalah itu yang harus diselesaikan. Jalaskan beberapa cara yang dapat menyelesaikan masalah tersebut, termasuk keuntungan dan keterbatasan dari masing-masing cara tersebut. Minta pasien untuk memutuskan cara terbaik bagi dirinya.

e. E-Explain, Jelaskan bahwa cara terpilih telah diberikan / dianjurkan dan hasil yang diharapkan mungkin segera terlihat atau diobservasi beberapa saat hingga menampakkan hasil yang diharapkan. Jelaskan pula siapa dan dimana pertolongan lanjutan atau darurat dapat diperoleh.

f. R-Refer dan Return visit, Rujuk apabila fasilitas ini tidak dapat memberikan pelayanan yang sesuai atau buat jadwal kunjungan ulang apabila pelayanan terpilih telah diberikan.


(30)

Prinsip-prinsip umum dalam konseling seperti yang dikutip dalam Burnet Indonesia (2005), adalah sebagai berikut:

1) Mendengarkan, ini berarti konselor harus diam beberapa saat dan biarkan percakapan mengalir sehingga klien lebih banyak berbicara dibanding konselor.

2) Menanyakan dengan pertanyaan yang efektif, ini merupakan suatu cara agar klien bisa melihat masalah dari sudut pandang yang berbeda dan membantu konselor untuk memahami situasi. Mengajukan pertanyaan dalam konseling bukan seperti menginterogasi. Ada tiga bentuk pertanyaan mengarahkan: pertanyaan terbuka, pertanyaan tertutup dan pertanyaan mengarahkan.

a. Pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yang membutuhkan jawaban berupa penjelasan atau uraian dan biasanya tidak dalam satu atau dua kata. Contoh: Jelaskan apa yang mengganggu perasaan anda.

b. Pertanyaan tertutup adalah pertanyaan yang membutuhkan jawaban berupa kepastian dan biasanya singkat dalam satu atau dua kata. Dengan pertanyaan tertutup klien tidak mendapatkan kesempatan untuk berpikir tentang apa yang mereka katakan. Jawaban yang singkat mengakibatkan konselor makin banyak mengajukan pertanyaan selanjutnya. Contoh: apakah anda pernah melakukan operasi seksio sesarea?.

c. Pertanyaan mengarahkan adalah pertanyaan yang telah mengarahkan jawaban yang diberikan, contoh: anda selalu kontrol selama kehamilan?


(31)

Didalam konseling bentuk pertanyaan yang sering digunakan adalah pertanyaan terbuka, karena dengan bentuk pertanyaan ini klien akan memberi lebih banyak informasi, sedangkan pertanyaan tertutup lebih terbatas, sedangkan pertanyaan mengarahkan sebaiknya jangan dipakai dalam konseling karena lebih bersifat menghakimi dan jawaban yang diberikan klien biasanya yang diinginkan konselor. Pertanyaan terbuka umumnya dimulai dengan pertanyaan “Apa”, “Dimana”, “Bagaimana”, “Kapan”. Pertanyaan ini mengundang klien untuk melanjutkan pembicaraan dan memutuskan apa tujuan mereka ingin berbicara.

3) Memberikan informasi yang tepat, dalam hal ini sebaiknya konselor mengakui dengan jujur apabila ada sesuatu hal yang belum dipahami dan mencoba mencari informasi yang benar, daripada mengabaikan pertanyaan itu atau memberikan informasi yang salah.

4) Menjaga kepercayaan klien, konselor harus menjaga kerahasiaan informasi tentang klien. Bila tidak, klien merasa dirinya tidak dihargai atau dihormati, dan akan merasa membuat kesalahan karena mencari pertolongan atau berbagi rasa dengan konselor.

5) Menjawab pertanyaaan yang kadang sulit dijawab, tidak selalu konselor dapat memberikan jawaban yang benar. Bila dapat memastikan bahwa jawaban yang diberikan adalah benar, anda boleh menjawabnya, tetapi bila ragu-ragu akan lebih baik bila anda melakukan konsultasi kepada yang lebih memahami. Anda juga mencoba mencari jawabannya sendiri tanpa merujuk klien.


(32)

6) Menghadapi perasaan tidak nyaman dan ketakutan, dalam beberapa situasi, konselor kadang-kadang merasa membutuhkan pertolongan untuk mengatasi perasaannya dalam menghadapi klien. Bila konselor melakukan konseling pada klien, ia harus melihat raksi pada dirinya sendiri. Sebagai contoh: seorang konselor menunda menyampaikan hasil keputusan medis, karena takut tidak mampu menghadapi reaksi klien. Bila konselor merasa tidak sabar atau marah, ini adalah tanda bahwa konslor mengalami masalah dalam dirinya dan ini akan sangat tidak membantu klien, maka konslor harus mencari orang lain atau konselor lain untuk membantu anda memahami kebutuhan dan ketakutan klien. 7) Memilih tempat konsling yang cocok, di manapun konslor memberikan

konsling, hendaknya selalu memperhatikan hal-hal seperti kenyamanan, aman dari gangguan fisik (bising, sempit, gelap), bersifat pribadi, ada alat peraga, menyesuaikan keadaan ekonomi dan nilai budaya.

8) Menjalin hubungan, konselor harus menciptakan suasana yang membuat klien merasa santai, tidak takut, merasa aman dan bebas mengungkapkan perasaan dan pertanyaan yang ada dalam hatinya untuk didiskusikan. Hal ini bisa dicapai dengan jalan;

a. Konselor harus memperkenalkan diri (bisa menjabat tangan, merangkul, atau menepuk pundak klien)

b. Konselor membuat aturan permainan sebelum percakapan dimulai, misalnya: soal waktu, kerahasiaan, maksud/tujuan percakapan.

c. Konselor bisa berbasa-basi sejenak, misalnya: menanyakan tentang keluarga, anak dan lain sebagainya.


(33)

d. Memulai pertanyaan inti seperti berikut: apa yang membuat anda datang ke sini?, apa yang ingin anda sampaikan atau bahas.

Selama proses ini konselor harus bisa mendengarkan keluhan klien dengan penuh perhatian, menghargai klien sebagai sesama manusia, tidak menilai ataupun menghakimi, memberi dorongan agar klien dapat berbicara terbuka, dan menunjukkan ekspresi wajah atau tubuh yang mengungkapkan minat dan kepedulian.

9) Eksplorasi, konselor berusaha mengetahui secara mendalam tentang perasaan klien, situasi klien dan alasannya datang untuk meminta bantuan. Untuk mencapai suasana tersebut dapat digunakan cara-cara berikut:

a. Menggunakan pertanyaan terbuka, misalnya: bagaimana ibu tahu kalau ibu akan dioperasi?

b. Beritahu pemahaman kepada klien tentang apa yang dirasakan dan yang disampaikan dengan menggunakan bahasa yang sederhana. c. Ulangi dan perjelas apa yang diungkapkan oleh klien supaya

pembicaraan lebih terarah. Misalnya: jadi ibu ingin melakukan operasi untuk melindungi bayi agar tetap sehat.

d. Bantu klien untuk memahami perasaannya sendiri, misalnya: Oh ya, jadi ibu belum tahu persiapan operasi harus persiapan apa?

10) Pemahaman, konselor membantu klien mengidentifikasi masalah dan penyebab masalah, serta membantu klien merancang alternatif pemecahan masalah. Secara sepintas mengidentifikasi masalah hal yang mudah, konselor harus hati-hati dan jangan sampai terjebak karena


(34)

kadang-kadang suatu masalah sangat sulit dan rumit dari yang diduga. Langkah awal, konselor harus mengetahui apakah benar ada maslah yang dirasakan oleh klien. Biarkan klien yang menceriterakan dan merumuskan, baru konselor melanjutkan menggali untuk mengetahui apakah masalah ada pada klien sendiri atau orang lain (yang terkait dengan klien). Gali kemungkinan adanya masalah lain. Cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut:

a. Pusatkan pembicaraan pada masalah yang paling utama.

b. Gunakan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat terbuka untuk menggali informasi dan mendorong klien untuk mengungkapkan riwayat masa lalunya.

c. Ungkapkan pemahaman anda tentang perasaan klien. d. Rangkum semua yang sudah didiskusikan.

11) Perencanaan kegiatan, dalam langkah ini klien membuat rencana untuk mengatasi masalahnya. Konselor membantu klien untuk mengetahui dan memahami pilihannya. Konselor juga dapat menggali lebih banyak dari klien beberapa pilihan yang meungkin belum dipertimbangkan oleh klien. Klien dibantu oleh konselor dapat mencapai tujuan ini dengan cara: a. Menentukan prioritas masalah yang hendak diatasi terlebih dahulu. b. Konselor menyakinkan kesiapan klien lebih dahulu sebelum

melaksanakan keputusannya.

c. Merencanakan beberapa alternatif pemecahan masalah, mendiskusikan keuntungan dan kendala dari setiap pemecahan masalah.


(35)

d. Konselor memberitahukan fakta-fakta yang relevan.

e. Konselor mendorong klien untuk mengambil keputusan sendiri. Apabila klien ragu-ragu, fasilitasi hal-hal yang klien butuhkan.

f. Membuat rencana yang dapat dijalankan sesuai kemampuan klien. g. Meninjau dan membahas setiap bagian rencana bersama-sama, bila

klien tidak yakin, buatlah penyesuaian.

12) Langkah-langkah kegiatan konseling: Model Penolong yang Trampil Model penolong yang trampil dapat digunakan dalam setiap konseling karena dalam model ini konselor bersama dengan klien akan membahas langkah-langkah dari pengenalan permasalahan klien hingga realisasi pemecahan masalah. Model ini terdiri atas tiga tahap utama yaitu: Tahap 1 : Apa yang sedang terjadi pada klien; Tahap 2 : Solusi apa yang berarti bagi klien; dan Tahap 3 : Bagaimana klien bisamendapatkan apa yang ia butuhkan atau kehendaki. Selanjutnya keseluruhan tahap ini akan mengarah pada bagaimana mewujudkannya dalam kenyataan.

Dalam proses konseling bila konselor bersama klien belum dapat mengenali dengan rinci permasalahan yang dihadapi klien kemungkinan besar pada tahap-tahap berikutnya akan mengalami kesulitan. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau konselor mengajak klien melihat kembali ke tahap awal dan bersama menggali lebih dalam lagi informasi yang mempunyai kaitan dengan permasalahan klien. Bila dalam tahap perwujudan penyelesaian masalah klien ternyata semua strategi dan komitmen yang telah dilakukan tidak menyelesaikan permasalahan klien ini bukan berarti bahwa konseling


(36)

gagal, akan tetapi konseling belum sampai pada penyelesaian masalah klien dengan tuntas.

Hal ini bisa disebabkan karena dalam perjalanan penyelesaian masalah klien terjadi hal-hal baru sehingga keadaan berubah atau terjadinya masalah baru yang tidak pernah terpikirkan selama perjalanan penyelesaian maslah klien. Konselor dalam hal ini bersama-sama mendefinisikan kembali bagaimana permasalahan sebenarnya sehingga jelas arah strategi penyelesaiannya.

2. Kecemasan

Kecemasan adalah suatu pengalaman emosional yang bersifat universal, akrab dengan kehidupan manusia dari zaman dahulu sampai sekarang, dari bayi sampai usia lanjut. Merupakan hal wajar apabila seseorang merasa cemas ketika menghadapi tekanan masalah, tetapi rasa cemas yang berlebihan bisa menyebabkan seseorang merasa sakit (Infokes, 2000)

Kecemasan umumnya dilukiskan sebagai kekawatiran, kegelisahan, rasa tidak tenang, was-was, yang biasanya dihubungkan dengan suatu ancaman bahaya baik dari dalam maupun dari luar individu. Kecemasan perlu dibedakan dari takut (fear) yang berhubungan dengan keadaan bahaya yang nyata atau kongkret yang datang dari luar, dan asalnya dapat diketahui, jelas atau bukan bersifat konflik. Sedangkan kecemasan adalah respon terhadap suatu ancaman yang sumbernya tidak diketahui, internal, samar-samar, atau konfliktual. Perbedaan antara dimana ketakutan dan kecemasan timbul secara tidak sengaja.


(37)

Menurut Freud kecemasan berhubungan dengan obyek yang diresapi dan tidak disadari, sedangkan pada ketakutan berhubungan dengan obyek yang diketahui dan ekternal. Perbedaannya kadang-kadang sulit dibedakan karena ketakutan mungkin juga disebabkan oleh obyek internal, tidak disadari, dan depresi yang dialihkan kepada obyek lain di dunia luar.

Menurut rumusan psikoanalitik pasca Freud, pemisahan ketakutan dan kecemasan adalah dapat diterima secara psikologis, dimana perbedaan psikologis utama antara kedua respon emosional tersebut adalah sifat akut pada ketakutan dan kronis pada kecemasan. Kecemasn memperingatkan adanya ancaman ekternal dan internal, dan memiliki kualitas dalam menyelamatkan hidup. Pada tingkat yang lebih rendah kecemasan memperingatkan ancaman cedera pada tubuh, rasa takut, keputusasaan, kemungkinan hukuman, atau frustasi dari kebutuhan sosial atau tubuh, perpisahan dari orang yang dicintai, gangguan pada keberhasilan atau status seseorang, dan akhirnya ancaman pada kesatuan atau kebutuhan seseorang.

Kecemasan segera mengarahkan seseorang untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk mencegah ancaman atau meringankan akibatnya (Kaplan, 1994). Kecemasan merupakan emosi dasar manusia disamping gembira, sedih, marah, yang biasanya diikuti dengan perubahan-perubahan somatik, fisiologik, otonomik, biokimia, dan perilaku yang spesifik (Prawirohusodo, 1991).

Kadar kecemasan tertentu diperlukan dalam penampilan hidup manusia, yaitu untuk memacu individu mengatasi masalah demi kelangsungan hidup


(38)

manusia dalam lingkungan yang serba berubah-ubah. Jenis kecemasan ini disebut kecemasan normal. Apabila kecemasan makin berat intensitasnya sehingga individu tidak mampu mengendalikan atau meramalkan situasi atau lingkungannya, timbul sindroma klinik yang mengganggu kesehatan, kegiatan sehari-hari dan kesejahteraan hidup. Kecemasan ini disebut kecemasan patologik (Gelder, 1991; Prawirohusodo, 1991; Hunt, 1992).

Teori tentang gangguan kecemasan (Kaplan, 1994) adalah sebagai berikut:

a. Teori psikologis 1) Teori Psikoanalitik

Kecemasan adalah suatu sinyal kepada ego bahwa suatu dorongan yang tidak dapat diterima menekan untuk mendapatkan perwakilan dan pelepasan sadar.

2) Teori Perilaku

Kecemasan adalah suatu respon yang dibiaskan terhadap stimuli lingkungan spesifik.

3) Teori Eksistensial

Kecemasan adalah respon seseorang terhadap kehampaan eksistensi, dimana tidak terdapat stimulus yang dapat diidentifikasikan secara spesifik untuk suatu perasaan kecemasan yang kronis. Konsep inti dari teori ini seseorang menjadi menyadari adanya kehampaan yang menonjol di dalam dirinya, perasaan yang lebih mengganggu dari pada penerimaan kematian.


(39)

b. Teori Biologis

Teori biologis dikembangkan dari penelitian praklinis dengan model kecemasan pada binatang, peneliti pasien yang faktor biologisnya dipastikan, berkembangnya pengetahuan tentang neorologi dasar, dan kerja obat psikoterapik, macam-macam kecemasan adalah sebagai berikut:

1) Fobia Sosial

Fobia Sosial juga disebut gangguan kecemasan sosial, ditandai dengan ketakutan yang berlebihan terhadap penghinaan dan rasa memalukan di berbagai lingkungan sosial, seperti berbicara di depan publik. Tipe umum fobia sosial seringkali suatu keadaan yang kronis dan menimbulkan ketidakberdayaan yang ditandai oleh penghindaran fobik terhadap sebagaian besar situasi sosial.

2) Agorafobia

Agorafobia adalah ketakutan berada sendirian di tempat-tempat publik. Agorafobia mungkin merupakan fobia yang paling mengganggu kemampuan seseorang dalam lingkungan sosial di rumah atau di dalam situasi kerja di kantor. Pasien agorafobia secara kaku menghindari situasi dimana akan sulit untuk mendapatkan bantuan. Mereka lebih suka disertai oleh sesorang teman atau anggota keluarga di tempat-tempat tertentu seperti di jalan raya, toko yang sibuk, ruang tertutup, misalnya terowongan, elevator, jembatan, dll).


(40)

3) Gangguan Panik

Gangguan panik adalah gangguan yang ditandai dengan terjadinya serangan panik yang spontan dan tidak diperkirakan. Serangan panik adalah periode kecemasan atau ketakutan yang kuat dan relatif singkat (biasanya kurang dari satu tahun), yang disertai oleh gejala somatik tertentu seperti palpitasi dan takipnea. Serangan panik pertama seringkali sama sekali spontan, walaupun serangan panik kadang-kadang terjadi setelah luapan kegembiraan, kelelahan fisik, aktivitas seksual, atau trauma emosional sedang.

4) Kecemasan Normal

Sensasi kecemasan sering dialami oleh hampir semua manusia. Perasaan tersebut ditandai oleh rasa ketakutan yang difus, tidak menyenangkan, dan samar-samar serta seringkali disertai gejala otonomik, seperti nyeri kepala, berkeringat, kekakuan pada dada, dan gangguan lambung ringan. Kecemasan segera mengarahkan seseorang untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk mencegah ancaman atau meringankan akibatnya. Contoh menangkis ancaman di dalam kehidupan sehari-hari adalah belajar giat untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian. Jadi kecemasan menyadarkan seseorang untuk melakukan tindakan tertentu yang mencegah bahaya.

Pengukuran Tingkat Kecemasan

Tingkat kecemasan dapat diukur dengan menggunakan, Hamilton Rate Scale for Anxiety (HRS-A), Anxiety Scale dari Datex, Manifes Anxiety Scale


(41)

dari Taylor, dan Test Anxiety Quesionere dari Jarason, (Anwar, 1980), sebagai berikut;

a. Hamillton Rate Scale For Anxiety (Tingkat Kecemasan)

Tingkat kecemasan dapat diukur dan dinilai dengan alat ukur yang berupa kuesioner yaitu HRS For A (Hamillton Rating Scale For Anxiety) yang telah dievaluasi reliabilitasnya dan validitasnya dapat dipercaya. HRS-A bukan sebagai alat ukur diagnostik, melainkan untuk mengukur intensitas kecemasan. Dimana terdapat 14 item pertanyaan yang disesuaikan dengan tingkat keparahannya, bila jumlah skor minimum hasil HRS-A = 18 maka disebut kecemasan ringan, skor minimum = 25 menderita kecemasan sedang dan bila lebih dari 30 maka disebut kecemasan berat (Moses, 2000).

b. Manifes Anxiety Scale dari Taylor

Manifes Anxiety Scale dari Taylor (T-MAS), diciptakan dan dikembangkan oleh Taylor pada tahun 1953, di Universitas Nortwestern. Pada mulanya aitem-aitem T-MAS diambil dari mimpi, dari aitem 200 aitem mimpi, 60 aitem mimpi dipilih oleh Taylor dengan seleksi para ahli psikologi klinis, akhirnya hanya 50 aitem yang digunakan untuk mengungkapkan kecemasan, reliabilitas kuesioner ini telah diuji oleh Taylor dengan menggunakan test-retest untuk tenggang waktu 3 minggu. Indeks reliabilitas yang didapatkan ialah 89. Djuni Utari (1978) dan Sri Hartati Yaman (1979), telah menerjemahkan T-MAS ke dalam bentuk bahasa Indonesia.


(42)

Kecemasan menurut T-MAS dibagi menjadi dua golongan, yaitu seseorang dikatakan cemas menurut Taylor apabila jawaban ya yang diperoleh setelah menjawab pertanyaan tersebut lebih dari atau sama dengan 22, apabila responden menjawab ya lebih kecil dari 22 maka dikatakan tidak cemas. dan apabila menjawab ya lebih dari atau sama dengan 23 dinyatakan cemas. Pertanyaan ini diterangkan dalam T-MAS yaitu Taylor Manifestasi Scale yang merupakan instrumen yang digunakan untuk mengetahui keadaan kecemasan seseorang yang terdiri dari 50 pertanyaan. Test ini merupakan test kecemasan standar dan dapat diterima secara internasional. Sebagaimana juga telah dilakukan validitas 50 pertanyaan oleh Ino Wicaksono, 1993 dalam penelitian kecemasan pada wartawan PWI Cabang Yogyakarta. dan keuntungan dari pertanyaan tersebut adalah waktu pemeriksaan yang relatif cepat dan penilaiannya dilakukan oleh responden sendiri.

Dampak dari Kecemasan

Prevalensi kecemasan sangat bervariasi pada berbagai macam populasi, diperkirakan 2-4% penduduk pernah mengalami kecemasan (Sims, 1993). Predisposisi terjadinya kecemasan adalah multifaktorial, sesuai dengan pandangan bahwa manusia mahluk biopsikososial-spiritual (Hawari, 1992). Kecemasan dapat mempengaruhi kesehatan tubuh meliputi:

a. Akibat buruk terhadap aktifitas tubuh.

Istri yang cemas, yang bersumber pada gejala psikis dapat mempengaruhi kesehatan tubuhnya. Akibat buruk yang dapat terjadi terhadap aktivitas tubuh yang tidak efisien dalam tiap bertindak dan


(43)

mengganggu aspek kehidupan lain adalah (Murtagh, 1998): terkurasnya tenaga, pengendalian seksual, susah tidur, nafsu makan berkurang, dan tidak ada semangat hidup.

b. Gejala psikis dan somatik

Manifestasi klinis kecemasan dapat berupa gejala psikis dan somatik. Gejala psikis, misalnya : ketegangan, ketakutan, insomnia, gangguan intelektual, emosi dan sikap. Sedangkan gejala somatik dikelompokan menjadi:

1) Gejala ketegangan motorik: rasa gemetar, otot tegang atau kaku atau pegel linu, tidak dapat diam, dan mudah lelah.

2) Gejala hiperaktivitas otonomik: nafas pendek atau nafas terasa berat, jantung berdebar-debar, berkeringat atau telapak tangan basah dingin, mulut kering, kepala pusing atau rasa melayang, mual, mencret atau perut rasa tidak enak, muka rasa panas atau badan menggigil, buang air kecil lebih sering, sukar menelan atau rasa tersumbat di tenggorokan.

3) Gejala kewaspadaan berlebih dan penangkapan berkurang seperti: perasaan menjadi peka, mudah terkejut atau kaget, sulit konsentrasi atau pikiran menjadi kosong, sukar masuk masuk tidur atau sukar mempertahankan tidur dan mudah tersinggung.

Patofisiolgi terjadinya kecemasan dapat digambarkan sebagaimana dalam bagan Patofisiologi Sindrom Kecemasan (Maslim, 1991), berikut


(44)

Gambar 2.1. Bagan Patofisiologi Sindrom Kecemasan (Maslim,1991)

Menurut Maslim (1991), pada dasarnya hidup manusia selalu berhubungan dengan lingkungan hidupnya, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial budaya. Suatu kejadian di dalam lingkungan (live event) dipersepsikan oleh panca indera, diberi arti dan dikoordinasi respon terhadap kejadian tersebut oleh sistem syaraf pusat, proses tersebut melibatkan jalur korteks serebri-sistem limbic-SAR (Sistem Aktivasi Retikuler) hipotalamus yang memberikan impuls kepada kelenjar hipofisis untuk mengekskresikan mediator hormonal yang lain (Katekolamin).

c. Mengontrol Kecemasan

Untuk mengatasi kecemasan diperlukan kelompok kerja yang menangani penderita kecemasan, meliputi:

Peristiwa

(Live Event) Individu

Pola Hidup (Live Style)

Sistem Syaraf Pusat

(Kortek Serebri - Hipotalamus – Sistem Limbic –SAR)

Sindrom Kecemasan Kelenjar Adrenalin

Sistem Syaraf Otonom Simpatis &Parasimpatis


(45)

1) Pelayanan informasi yang berhubungan dengan gejala kecemasan; serangan panik, penyebab kecemasan, agorapobia, pengaruh sampingan dari depresi, ketergantungan obat dan alkohol, dan sebagainya.

2) Meditasi; yang berfungsi mengontrol emosi dan mencari ketenangan batin.

3) Mempelajari bagaimana bekerja dan berpikir untuk menghindari serangan panik dan kecemasan.

4) Konsultasi dengan dokter untuk dapat pengobatan yang tepat.

d. Terapi Kecemasan

Pada umumnya gangguan panik dan cemas adalah suatu gangguan kronis. Dengan terapi, sebagian besar pasien mengalami perbaikan dramatik pada gejala gangguan panik dan agorafobia. Dua terapi yang efektif adalah farmakoterapi dan terapi kognitif dan perilaku. Terapi keluarga dan kelompok dengan membantu pasien yang menderita dan keluarganya untuk menyesuaikan dengan kenyataan bahwa pasien menderita gangguan dan dengan psikososial yang telah dicetuskan oleh gangguan (Kaplan, 1994). Terapi kecemasan dengan, sebagai berikut: 1) Farmakologi

Terapi dengan pemakaian obat-obatan sangat efektif untuk menghilangkan kecemasan secara cepat, misalnya Benzodiazepine, Inhibitor monoamin oksidase, trisiklik, dan tetasiklik. Jika efektif, pengobatan farmakoterapi biasanya dilanjutkan selama 8 sampai 12 bulan. Sesuai data bahwa gangguan panik adalah suatu keadaan yang


(46)

kronis dan kemungkinan seumur hidup akan kambuh jika pengobatan dihentikan (Kaplan, 1994)

2) Kognitif dan perilaku

Terapi kognitif dan perilaku adalah terapi yang efektif untuk gangguan panik. Berbagai laporan menyimpulkan bahwa terapi kognitif dan perilaku dengan farmakologi adalah lebih efektif dibandingkan pendekatan terapi masing-masing (Kaplan, 1994).

Dua pusat utama terapi kognitif untuk gangguan panik adalah instruksi tentang kepercayaan salah satu pasien dan informasi tentang serangan panik. Instruksi tentang kepercayaan yang salah berpusat pada kecenderungan pasien untuk keliru menginterpertasikan sensasi tubuh yang ringan sebagai tanda untuk ancaman penjelasan bahwa serangan panik terjadi hanya terbatas dan tidak mengancam kehidupan.

Relaksasi adalah untuk memasukkan suatu rasa pengendalian pada pasien tentang tingkat kecemasan dan relaksasinya dengan teknik relaksasi otot dan membayangkan situasi yang menimbulkan relaksasi, pasien belajar teknik yang dapat membantu untuk melewati serangan panik.

Hiperventilasi bersamaan dengan serangan panik kemungkinan disertai dengan beberapa gejala, seperti rasa pening dan pingsan. Satu pendekatan langsung untuk mengendalikan panik adalah melatih pasien bagaimana mengendalikan dorongan untuk melakukan hiperventilasi dengan latihan pernafasan (Kaplan, 1994).


(47)

3) Terapi Psikososial Lain

Terapi keluarga dengan gangguan panik dan agorafobia mungkin terganggu selama perjalanan gangguan, sehingga terapi keluarga yang diarahkan untuk mendidik dan mendukung seringkali bermanfaat.

Psikoterapi berorientasi pada tilikan, terapi ini dapat bermanfaat dalam pengobatan gangguan panik dan agorafobia. Pengobatan memusatkan membantu pasien mengerti arti bahwa sadar dari kecemasan, simbilisme situasi yang dihindari, kebutuhan untuk merepresi impuls, dan tujuan sekunder dari gejala. Suatu pemecahan konflik infatil awal dan oedipal dihipotesiskan berhubung dengan resolusi stres sekarang (Kaplan, 1994)

e. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan 1) Tingkat Pendidikan

Pendidikan merupakan sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan sebagian orang mengaitkan pendidikan dengan pengajaran atau proses belajar mengajar. Pendidikan juga berlangsung secara formal maupun nonformal (Syah, 1991). Dalam Dictionary of Psychology pendidikan berarti tahapan kegiatan yang bersifat kelembagaan (sekolah) yang dapat dipergunakan untuk menyempurnakan


(48)

perkembangan individu dalam menguasai pengetahuan, kebiasaan, sikap dan sebagainya (Syah, 1991). Dengan demikian proses pendidikan akan berpengaruh terhadap pengetahuan sikap dan tingkah laku seseorang.

Kebiasaan seseorang dan pilihan gaya hidup seseorang sangat berpengaruh terhadap kesehatannya. Terdapat pengaruh yang kuat antara tingkat pendidikan dengan kesehatan. Dengan pendidikan yang lebih baik memungkinkan seseorang secara ekonomi lebih efisien dalam memanfatkan teknologi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan sehingga akan meningkatkan kesejahteraannya (Grossman, 1999; Folland, 2001). Dengan demikian jika seorang ibu memiliki pendidikan yang tinggi dia akan memelihara kesehatannya secara baik, sehingga biaya yang harus dikeluarkan untuk kesehatan lebih efisien karena kemungkinan terhindar dari resiko sakit akibat lalai menjaga kesehatannya.

Pendidikan bagi seorang individu merupakan pengaruh dinamis dalam perkembangan jasmani, jiwa, perasaan dan susila. Sehingga tingkat pendidikan yang berbeda akan memberikan jenis pengalaman serta nilai-nilai hidup yang berbeda pula. Masalah ini dianggap sebagai tekanan yang dapat menyebabkan krisis dan akan mengalami kecemasan (Damaraji, 2001).

WHO dalam penelitiannya menyatakan bahwa tingkat pendidikan menengah ke bawah cenderung mendapatkan kecemasan dari pada


(49)

tingkat pendidikan menengah keatas, hal ini dikarenakan responden yang berpendidikan menengah ke atas berpikir lebih objektif dan berwawasan luas, serta lebih mampu memikirkan penyelesaian terhadap masalahnya.

Spielberger cit Slameto (1995) membedakan kecemasan menjadi dua bagian; kecemasan sebagai suatu sifat (trait anxiety), yaitu kecenderungan pada diri seseorang untuk merasa terancam oleh sejumlah kondisi yang sebenarnya tidak berbahaya, dan kecemasan sebagai suatu keadaan (state enxiety), yaitu suatu keadaan atau kondisi emosional sementara pada diri seseorang yang ditandai dengan perasaan tegang dan kekhawatiran yang dihayati secara sadar serta bersifat subyektif, dan meningginya aktifitas sistem saraf otonom. Sebagai suatu keadaan, kecemasan biasanya berhubungan dengan situasi-situasi lingkungan yang khusus, misalnya menghadapi situasi tes.

2) Faktor Usia

Syaifudin (1998), menspesifikasikan umur ke dalam tiga kategori, yaitu kurang dari 20 tahun (tergolong muda), umur 20-30 tahun (tergolong menengah) dan lebih dari 30 tahun (tergolong tua). Dalam kurun reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman untuk kehamilan dan persalinan adalah usia 20-30 tahun, atau mengandung resiko yang rendah. Menurut Prawirohardjo (1997), mengemukakan bahwa kehamilan pertama sebaiknya pada usia 20-30 tahun, untuk


(50)

mencegah faktor predisposisi adanya kangker. Ada pula yang berpendapat faktor umur yang lebih muda akan lebih mudah menderita stres dari pada usia tua (Soewadi, 1987)

Hayles dan Feinlab (1980), menyatakan bahwa usia ikut menentukan kecemasan yaitu kecemasan sering terjadi pada golongan usia muda. Usia setengah tua menurut Roan (1979) merupakan masa bebas. dan Prawirohusada (1989), menyatakan bahwa banyak yang mempengaruhi timbulnya kecemasan pada diri seseorang karena penyebab gangguan jiwa pada umumnya bersifat multifaktorial.

3) Faktor Proses Persalinan

Kehamilan dan persalinan merupakan suatu masa kesetabilan dan ketegangan emosional, serta suatu masa yang membahagiakan. Hal utama yang mereka takutkan menjelang persalinan adalah rasa sakit saat melahirkan, berapa lama berlangsungnya, komplikasi penyulit seperti menggunakan vakum, operasi secsio caesaria, perdarahan, bayi cacat dan kematian.

Wanita hamil yang akan mengalami proses persalinan baik persalinan normal maupun dengan tindakan, pasti akan dihinggapi campuran perasaan, yaitu: rasa takut, ragu-ragu, gelisah, bahagia, dan cemas. Yang semuanya menjadi semakin intensif pada saat mendekati masa-masa kelahiran. Adapun penyebab kegelisahan tersebut adalah:


(51)

(a) Takut Mati

Peristiwa kelahiran adalah suatu fenomena fisiologis yang normal, namun tidak terlepas dari resiko dan bahaya kematian. Bahkan pada proses kelahiran normal sekalipun disertai kesakitan hebat. Peristiwa inilah yang menimbulkan ketakutan, khususnya takut mati, baik kematian dirinya sendiri maupun bayi yang akan dilahirkannya.

(b) Takut Riil atau Realistis

Setiap wanita hamil yang melahirkan bayinya merasakan takut, hal ini bisa disebabkan oleh perasaan takut kalau bayinya akan lahir dengan cacat atau lahir dengan kondisi yang patologis. Segala macam ketakutan menyebabkan rasa pesimistis, namun dibalik semua selalu ada harapan untuk bisa menimang dan membelai bayinya, perasaan positif ini dilandasi oleh pengetahuan intelektual. Pada umumnya persalinan dapat diterima baik oleh ibu, bahkan diimbangi dengan harapan akan memperoleh anak yang menjadi buah hatinya, menjadi pengikat cinta kehidupan rumah tangga. Tetapi disisi lain ada wanita yang menghadapi kehamilan dan persalinan dengan kecemasan. 4) Faktor penolong dan tempat persalinan

Ada beberapa pendapat yang dialami klien menurut Brice yaitu; perasaan terhadap dokter dan bidan sering mendua. Mereka dipercaya sekaligus dicurigai. Apakah mereka baik, bijaksana, membantu dan mau mengerti, atau apakah mereka kurang perasaan


(52)

atau kurang pengetahuan. Apakah rumah sakit sebagai tempat berlangsungnya kelahiran akan berfungsi sebagai tempat berlindung atau akan menjadi semacam ban jalan yang digunakan dimana wanita diproses melalui peralatan yang dikendalikan dari jarak jauh dalam suatu kawasan yang asing dan peralatan yang menggelisahkan, apakah wanita lain akan menjadi kawan atau mereka akan bersikap masa bodoh dan tidak bersahabat (Brice, 1996).

Karena banyaknya persalinan dewasa ini berlangsung di rumah sakit, maka ada kecemasan dengan berada di luar rumah. Dalam suatu tempat yang asing dan dalam tangan-tangan orang asing, rumah sakit adalah suatu tempat yang asing dan membingungkan bagi orang yang belum biasa. Pikiran tentang pakaian seragam dan keadaan darurat mungkin akan mengerikan, staff rumah sakit tidak dikenal, mungkin menunjukkan sikap resmi dan sering ada rasa ketakutan untuk tinggal sendiri (Brice, 1996). Pengaruh emosi setiap kehamilan dan persalinan mempunyai sifat-sifat tersendiri berhubungan dengan kondisi dan pengalaman yang berbeda.


(53)

3. Seksio Sesarea

Seksio sesarea (caesarean delivery) adalah satu cara melahirkan janin melalui sayatan dinding abdomen (laparatomi) dan dinding uterus (histerotomi).

Sebelum keputusan untuk melakukan seksio sesarea diambil, pertimbangan secara teliti indikasi dengan resiko yang mungkin terjadi (perdarahan, cedera saluran kemih/usus, infeksi). Pertimbangan tersebut harus berdasarkan penilaian prabedah secara lengkap, mengacu pada syarat-syarat pembedahan dan pembiusan. Ketentuan tersebut di atas dapat diturunkan apabila menghadapi kasus gawat darurat di mana kecepatan waktu untuk melakukan tindakan sangat mempengaruhi keluaran prosedur operatif. Persyaratan minimal tindakan operatif harus tetap dipenuhi sebelum seksio sesarea efektif, dilakukan kajian usia kehamilan berdasarkan haid terakhir, profil biofisik dan amniosentesis untuk menilai maturitas paru janin.

Indikasi seksio sesarea dilakukan atas pertimbangan :

a. Ibu : Disproporsi kepala panggul / CPD / FPD, Disfungsi uterus, Distosia jaringan lunak, Plasenta previa.

b. Anak: Janin besar, Gawat janin, Letak lintang.

c. Atas permintaan ibu sendiri atau permintaan suami atau keluarga. Prosedur Ketrampilan Klinik Seksio Sesarea, adalah sebagai berikut: a. Nasehat, Konseling Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent) b. Menetapkan indikasi seksio sesarea


(54)

d. Pencegahan infeksi dan persiapan pre-operasi

e. Tindakan Pembiusan atau regional anestesi (sub arachnoid block) f. Tindakan Operasi

g. Perawatan Pasca Bedah

h. Nasehat dan Konseling Pasca Operasi

Prosedur klinik seksio sesarea yang dilakukan di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Delanggu, sebagai berikut:

a. Konseling Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent)

Dalam melaksanakan suatu jenis tindakan medik seperti operasi dan pembiusan dan atau tindakan keperawatan maupun tindakan medik yang bersifat membahayakan akan hilangnya jiwa pasien, maka diperlukan penyampaian informasi secara jelas dan pasien dapat memahami, menerima dan mengetahui akan dampak positif maupun negatif serta maksud dan tujuan maupun manfaat yang dinyatakan dengan persetujuan dan atau kesepakatan terhadap rencana tindakan dengan menandatangani: surat persetujuan tindakan medik, dan surat persetujuan terhadap tindakan operasi atau tindakan medik / ICU. yang ditandatangani oleh pihak pasien dan atau keluarga pasien dan pihak rumah sakit. sebagaimana dalam lampiran 4 dan 5.

Setelah pasien dan keluarga memenuhi persyaratan sebagaimana yang dipersyaratkan, maka persiapan pasien dan keluarganya diberikan informasi secara melalui proses konseling tentang rencana dan proses tindakan medik, maksud dan tujuan tindakan serta permasalahan yang


(55)

masih ada pada pasien, sehingga pasien selanjutnya dipersiapkan untuk melakukan persiapan pre-operasi sebagai berikut:

1) Persiapan dan persyaratan informed consent

2) Persiapan keadaan pasien (pasang infur / tranfusi set, DC, Skeren, puasa, baju operasi, lavement 6 jam / 2 jam sebelum operasi dan persiapan lainnya sesuai jenis dan prosedur tindakan medik lainnya) 3) Pemeriksaan penunjang seperti : EKG, USG, Rongent, Laboratorium

(DR, Ur/Cr, CTBT, GDS, SGPT/SGOT, Golongan darah, HbSAg, Total Protein, Albumin, Urin Rutin dan pemeriksaan laiinya)

4) Menghubungi dokter operator, dokter anestesi dan TIM operasi lainnya

5) Pengukuran tanda vital / DJJ 6) Kelengkapan status

Dengan mengisi pada formulir ceklis pre-operasi tersebut, kemudian ditanda-tangani oleh petugas ruangan dan petugas kamar operasi, sebagaimana dalam lampiran 6. setelah pasien siap dan tim operasi siap selanjutnya pasien dikirimke kamar operasi untuk dilakukan tindakan sebagaimana yang direncanakan dan disepakati antara pasien / keluarganya dan pihak rumah sakit.

b. Persiapan Operasi: Pasien:

1) Premedikasi yang harus diberikan adalah atropin. Bagi orang dewasa, untuk bedah efektif diberikan 0,5 mg IM 45 menit sebelum


(56)

anestesia. Untuk bedah darurat, diberikan 0,25 mg IM dan 0,25 mg IV 5 menit sebelum anestesia dimulai.

2) Diperiksa ulang apakah sudah lengkap pemeriksaan yang diprlukan seperti darah rutin, untuk seksio sesarea emergensi cukup pemeriksaan Hb, Ht, Golongan darah.

3) Baju pasien diganti dengan baju khusus untuk dipakai ke ruang tunggu kamar operasi.

4) Pasang infus, Ringer Laktat atau larutan NaCl 0,9 %

5) Sebelum masuk ke kamar operasi diganti dengan baju/tutup badan untuk di kamar operasi

6) Baringkan pasien pada posisi tidur (pasang tensi meter / stetoskop pre cordial)

7) Dipasang folley kateter (lihat pedoman pemasangan folley kateter) Penolong:

1) Memakai baju khusus kamar operasi lengkap dengan topi masker dan sandal

2) Mempersiapkan alat-alat / instrumen operasi termasuk: alat penghisap darah / cairan, alat resusitasi bayi, oksigen dan sebagainya.

3) Menyiapkan obat-obatan yang diperlukan durante operasionum 4) Periksa ulang persediaan darah (bila diperlukan / pada kasus tertentu)

dan pemeriksaan / cocokan register darah. 5) Penolong cuci tangan (lihat pedoman)


(57)

7) Dipasang kain penutup 4-5 buah yang sesuai dengan kebutuhan. c. Tindakan Pembiusan (sesuai prosedur operasional):

Pasien yang dilaksanakan operasi seksio sesarea di RS PKU Muhammadiyah dengan menggunakan pembiusan dengan regional anestesi atau sub arachnoid block yang lakukan oleh dokter anestesi. d. Tindakan Operasi oleh Tim (sesuai prosedur operasional):

Setelah persiapan pasien dan tim siap, maka operasi seksio sesarea dilakukan oleh tim di kamar operasi.

e. Perawatan Pasca Bedah (sesuai prosedur operasional):

Perawatan pos operasi seksio sesarea dilakukan dengan pengawasan sebagaimana pengawasan kala IV (partograf) pada umumnya dan pengawasan pos operasi seksio sesarea khususnya, pengawasan kala IV pada persalinan, sebagai berikut:

1) Dua jam pertama setelah persalinan yang dilakukan di kamar observasi VK, yang merupakan waktu yang kritis bagi ibu dan bayi, keduanya baru saja mengalami perubahan fisik yakni ibu menjalani seksio sesarea dan bagi bayi sedang menyesuaikan diri dari perut ibu ke dunia luar dan petugas / bidan harus dapat memastikan bahwa keduanya dalam kondisi yang stabil dan dapat mengambil tindakan cepat, tepat untuk melakukan stabilisasi. dengan penanganan sebagai berikut:

a) Pemeriksaan fundus setiap 15 menit pada jam pertama, dan setiap 20-30 menit selama jam ke dua. Jika kontraksi tidak kuat, masase uterus sampai menjadi keras. Apabila uterus berkontraksi, otot


(58)

uterus akan menjepit pembuluh darah untuk menghentikan perdarahan. Hal ini dapat mengurangi kehilangan darah dan mencegah perdarahan pasca persalinan.

b) Periksa tekanan darah, nadi, kantung kemih, dan perdarahan setiap 15 menit pada jam pertama dan setiap 30 menit selama jam kedua. c) Anjurkan ibu untuk minum untuk mencegah dehidrasi, tawarkan

ibu makanan dan minuman yang disukai.

d) Bersihkan perineum ibu dan kenakan pakaian ibu yang bersih dan kering.

e) Biarkan ibu beristirahat, ia telah dan berikan posisi tidur yang nyaman.

f) Biarkan bayi berada pada ibu untuk meningkatkan hubungan ibu dan bayi, sebagai permulaan dengan menyusui bayinya.

g) Bayi sangat siap segera setelah kelahiran, hal ini sangat tepat untuk memulai memberikan ASI, menyusui juga akan membantu kontraksi uterus.

h) Ajari bu atau anggota keluarga tentang: bagaimana memeriksa fundus dan menimbulkan kontraksi, tanda-tanda bahaya bagi bayi dan ibu.

2) Pada pasien perawatan nifas, dilakukan ceklis pasien ke nifas dilakukan pemeriksaan : keadaan umum ibu, jumlah perdarahan, tekanan darah, nadi, kontraksi uterus, tidak ada tampon, cek haemoglobin, dan kelengkapan status, yang diperiksa oleh tenaga kamar tempat bersalin (VK) dan kepada petugas nifas. Pengawasan


(59)

pasca operasi seksio sesarea yang dilakukan di RS PKU Muhammadiyah Delanggu pada umumnya sebagaimana pengawasan kala IV post persalinan dan pengawasan khusus pada post operasi seksio sesarea, sebagai berikut :

a) Dua jam post operasi seksio sesarea, dilakukan observasi di ruang kamar bersalin (VK).

b) Hari ke 0 -

½

), dilakukan :

- Mobilisasi miring

- Diit tinggi kalori tinggi proteiin (TKTP).

- Pemberian Infus dan dower cateter (DC)

- Pemberian analgetik dan antibiotika injeksi. c) Hari

½ - I

, dilakukan:

- Mobilisasi duduk

- Diit TKTP

- Infur aff dan DC katub

- Analgetik dan antibiotik oral d) Hati I - II, dilakukan :

- Mobilisasi jalan

- Diit nasi

- Medikasi

- DS aff

e) Hari II – III pasien boleh pulang

3) Pada pasien yang sudah dinyatakan boleh pulang dilakukan pengecekan sebagai berikut:


(60)

a) Pengecekan kelengkapan pada ceklis pemulangan pasien yang dilakukan adalah : kelengkapan status; retur obat; hasil pemeriksaan penunjang seperti rongent, EKG, USG, Laborat, ST Scan; pendidikan kesehatan, obat pulang ke apotek / ruangan; medikasi, kartu kontrol dan administrasi, yang ditandatangani oleh perawat atau bidan yang bertugas.

b) Pengecekan pasien pulang juga dilakukan oleh petugas ruang kamar bersalin (VK) yakni: Pengecekan sudah atau belum tentang Retur; Obat Oral, Kassa dan betadhin; KIE VH; KIE Perawatan Luka; KIE DIIT; Keadaan Luka; Kartu Kontrol: dan Administrasi. Yang ditandatangi oleh petugas di Runag Kamar Bersalin (VK). f. Nasehat dan konseling Pasca Operasi (sesuai prosedur operasional):

Informasi yang disampaikan konselor pada pasien seksio sesarea setelah melakukan opersi, sebagai berkut:

1) Kepada keluarga pasien  Informasikan bahwa:

- Operasi telah selesai dan sampaikan jalannya operasi, kondisi ibu saat ini dan apa yang diharapkan minimal mencakup 24 jam paska operasi

- Waktu lahir, jenis kelamin, panjang badan, berat badan dan keadaan bayi

- Resiko fungsi reproduksi pasien dan kehamilan / persalinan yang akan datang.


(61)

 Jelaskan rencana perawatan dan perkiraan waktu pasien dapat dipulangkan

 Mintalah kepada untuk ikut mengawasi pasien khususnya terhadap resiko fungsi reproduksi berupa bekas operasi.

2) Kepada pasien (setelah sadar / dapat berkomunikasi)  Informasikan bahwa;

- Operasi telah selesai dan sampaikan jalannya operasi, kondisi ibu saat ini dan apa yang diharapkan minimal mencakup 24 jam paska operasi

- Waktu lahir, jenis kelamin, panjang badan, berat badan dan keadaan bayi

- Resiko fungsi reproduksi pasien dan kehamilan / persalinan yang akan datang sehingga diperlukan pemakaian alat kontrasepsi.

 Lakukan konseling dan rencanakan upaya-upaya pencegahan kehamilan (bila tidak dilakukan tubektomi). jelaskan hingga pasien memahami, menerima dan dapat memilih metode kontrasepsi yang sesuai.

 Jelaskan kembali resiko yang dihadapi oleh pasien, berikan cukup waktu untuk berdiskusi hingga diyakini bahwa pasien telah cukup mengerti dan faham.

 Jelaskan proses penyembuhan dan perawatan luka operasi sebelum dan sesudah pulang dari rumah sakit.


(62)

 Sampaikan larangan dan dukungan terhadap pemulihan kondisi kesehatan ibu, bayi dan bekas operasi terhadap pemeriksaan kontrol kesehatannya untuk berikutnya.

3) Informasi lain yang berkaitan dengan hal-hal operasi seksio sesarea:

Proses penyembuhan lukasetelah operasi seksio sesarea sampai dengan penyembuhan sempurna kurang lebih 2 sampai 10 minggu (Long B.C, 1996), sehingga perlu dianjurkan agar pasien tetap selalu menjaga atau mengindari dari jenis pekerjaan atau kegiatan yang berat-berat. Fase penyembuhan sebagai berikut:

(1) Fase pertama

Berlangsung sampai hari ke 3. Batang lekosit banyak yang rusak / rapuh. Sel-sel darah baru berkembang menjadi penyembuh dimana serabut-serabut bening digunakan sebagai kerangka.

(2) Fase kedua

Dari hari ke 3 sampai hari ke 14. Pengisian oleh kolagen, seluruh pinggiran sel epitel timbul sempurna dalam 1 minggu. Jaringan baru tumbuh dengan kuat dan kemerahan.

(3) Fase ketiga

Sekitar 2 sampai 10 minggu. Kolagen terus-menerus ditimbun, timbul jaringan-jaringan baru dan otot dapat digunakan kembali.

(4) Fase keempat


(63)

Intervensi untuk meningkatkan penyembuhan

(1) Meningkatkan intake makanan tinggi protein dan vitamin c. (2) Menghindari obat-obat anti radang seperti steroid.

(3) Pencegahan infeksi. (4) Kontrol kembali


(1)

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

35 35

20,51 18,29

7,310 6,728

,149 ,109

,149 ,109

-,070 -,063

,881 ,647

,420 ,797

N

Mean Std. Deviation Normal Parameters a,b

Absolute Positive Negative Most Extreme

Differences

Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed)

Kecemasan Pre Operasi

Kecemasan Post Operasi

Test distribution is Normal. a.

Calculated from data. b.

T-Test

Group Statistics

35 25,46 7,200 1,217

35 20,51 7,310 1,236

35 22,66 7,967 1,347

35 18,29 6,728 1,137

Pemberian Konseling Tanpa Konseling Konseling Tanpa Konseling Konseling Kecemasan

Pre Operasi Kecemasan Post Operasi

N Mean Std. Deviation

Std. Error Mean

Independent Samples Test

,165 ,686 2,850 68 ,006 4,943 1,734 1,482 8,4

2,850 67,98 ,006 4,943 1,734 1,482 8,4

1,014 ,317 2,480 68 ,016 4,371 1,763 ,854 7,9

2,480 66,15 ,016 4,371 1,763 ,852 7,9 Equal

variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Kecem

asan Pre Operasi

Kecem asan Post Operasi

F Sig.

Levene's Test for Equality of Variances

t df

Sig. (2-tail

ed)

Mean Differe nce

Std. Error Differe

nce

Low er

Upp er 95% Confidence

Interval of the Difference t-test for Equality of Means


(2)

Kecemasan Post Operasi

22 18,77 6,179 1,317 16,03 21,51 10 33

10 16,70 7,675 2,427 11,21 22,19 8 32

3 20,00 9,165 5,292 -2,77 42,77 10 28

35 18,29 6,728 1,137 15,97 20,60 8 33

Ke I Ke 2 Ke 3 Total

N Mean

Std. Deviation

Std. Error

Lower Bound

Upper Bound 95% Confidence Interval for Mean

Mini mum

Maxi mum

Test of Homogeneity of Variances Kecemasan Post Operasi

,314 2 32 ,733

Levene

Statistic df1 df2 Sig.

ANOVA Kecemasan Post Operasi

39,179 2 19,590 ,418 ,662

1499,964 32 46,874

1539,143 34

Between Groups Within Groups Total

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Means Plots

Ke 3 Ke 2

Ke I

Kehamilan

20

19

18

17

16

M

e

a

n

o

f

c

e

m

a

s

_

p

o


(3)

Oneway

Warnings

Post hoc tests are not performed for Kecemasan Post Operasi because there are fewer than three groups.

Descriptives Kecemasan Post Operasi

29 19,34 6,800 1,263 16,76 21,93 8 33

6 13,17 3,312 1,352 9,69 16,64 9 18

35 18,29 6,728 1,137 15,97 20,60 8 33

Pend. Rendah Pend. Tinggi Total

N Mean

Std. Deviation

Std. Error

Lower Bound

Upper Bound 95% Confidence Interval for Mean

Mini mum

Maxi mum

Test of Homogeneity of Variances Kecemasan Post Operasi

4,031 1 33 ,053

Levene

Statistic df1 df2 Sig.

ANOVA Kecemasan Post Operasi

189,758 1 189,758 4,641 ,039

1349,385 33 40,890

1539,143 34

Between Groups Within Groups Total

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Means Plots

Pend. Tinggi Pend. Rendah

Tk. Pendidikan 20

19 18 17 16 15 14 13

M

e

a

n

o

f

c

e

m

a

s

_

p

o


(4)

group has fewer than two cases.

Descriptives

Kecemasan Post Operasi

10 19,80 6,647 2,102 15,05 24,55 10 33

12 16,00 6,537 1,887 11,85 20,15 8 32

12 19,83 6,860 1,980 15,47 24,19 10 28

1 12,00 . . . . 12 12

35 18,29 6,728 1,137 15,97 20,60 8 33

Umur 20-25 Umur 26-30 Umur 31-35 Umur 36-40 Total

N Mean

Std. Deviation

Std. Error

Lower Bound

Upper Bound 95% Confidence Interval for Mean

Mini mum

Maxi mum

Test of Homogeneity of Variances

Kecemasan Post Operasi

,442a 2 31 ,647

Levene

Statistic df1 df2 Sig.

Groups with only one case are ignored in computing the test of homogeneity of variance for Kecemasan Post Operasi. a.

ANOVA

Kecemasan Post Operasi

153,876 3 51,292 1,148 ,345

1385,267 31 44,686

1539,143 34

Between Groups Within Groups Total

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Means Plots

Umur 36-40 Umur 31-35

Umur 26-30 Umur 20-25

Tingkat Usia/Umur

20

18

16

14

12

M

e

a

n

o

f

c

e

m

a

s

_

p

o


(5)

Oneway

Warnings

Post hoc tests are not performed for Kecemasan Post Operasi because at least one group has fewer than two cases.

Descriptives Kecemasan Post Operasi

8 20,38 8,417 2,976 13,34 27,41 8 32

4 19,75 7,890 3,945 7,20 32,30 13 28

7 15,57 4,894 1,850 11,05 20,10 10 24

3 15,33 4,509 2,603 4,13 26,53 11 20

10 18,40 7,691 2,432 12,90 23,90 9 33

2 19,50 3,536 2,500 -12,27 51,27 17 22

1 20,00 . . . . 20 20

35 18,29 6,728 1,137 15,97 20,60 8 33

PEB Gawat Jalan Induksi Gagal DKP Kel Letak Kala2 t' maju VE t'terpenuhi Total

N Mean

Std. Deviation

Std. Error

Lower Bound

Upper Bound 95% Confidence Interval for Mean

Mini mum

Maxi mum

Test of Homogeneity of Variances Kecemasan Post Operasi

1,437a 5 28 ,242

Levene

Statistic df1 df2 Sig.

Groups with only one case are ignored in computing the test of homogeneity of variance for Kecemasan Post Operasi. a.

ANOVA Kecemasan Post Operasi

127,237 6 21,206 ,421 ,859

1411,906 28 50,425

1539,143 34

Between Groups Within Groups Total

Sum of


(6)

VE t'terpenuhi Kala2 t'

maju Kel Letak DKP

Induksi Gagal Gawat

Jalan PEB

Faktor Penyulit

20

19

18

17

16

15

M

e

a

n

o

f

c

e

m

a

s

_

p

o


Dokumen yang terkait

Tingkat Kemandirian Ibu Post Seksio Sesarea dalam Merawat Diri dan Bayinya selama Early Postpartum di RSUP Adam Malik Medan

23 132 74

Ukuran Panggul Pada Pasien Pasca Seksio Sesarea Atas Indikasi Panggul Sempit

2 62 61

PENGARUH PENAMBAHAN VITAMIN B12 PADA SUPLEMENTASI BESI FOLAT TERHADAP KADAR HEMOGLOBIN PADA PASIEN PASCA SEKSIO SESAREA DI PKU DELANGGU KLATEN

3 11 68

PEMBINAAN PEMBUKUAN MODEL AKUNTANSI UNTUK KARYAWAN BAGIAN ADMINISTRASI PADA “ RSU PKU MUHAMMADIYAH DELANGGU” DI DELANGGU, KLATEN

0 3 6

PENGARUH GUIDE IMAGERY TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PADA PASIEN HEMODIALISA Pengaruh Guide Imagery Terhadap Tingkat Kecemasan Pasien Hemodialisa Di RS PKU Muhammadiyah Surakarta.

8 31 14

PENGARUH KECEMASAN PADAPASIENHEMODIALISA Pengaruh Guide Imagery Terhadap Tingkat Kecemasan Pasien Hemodialisa Di RS PKU Muhammadiyah Surakarta.

0 3 17

HUBUNGAN TINGKAT NYERI DENGAN TINGKAT KECEMASAN PADA PASIEN POST OPERASI SECTIO CAESAREA DI RSU PKU MUHAMMADIYAH GOMBONG

0 3 8

FAKTOR–FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA SEKSIO SESAREA PADA IBU BERSALIN DI RSU PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA TAHUN 2009

0 0 10

PENGARUH PEMBERIAN TERAPI RELAKSASI PROGRESIF TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI DI RSU PKU MUHAMMADIYAH BANTUL NASKAH PUBLIKASI - Pengaruh Pemberian Terapi Relaksasi Progresif terhadap Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi di RSU PKU Muhammadiy

0 0 15

HUBUNGAN TINGKAT KECEMASAN DENGAN ONSET LAKTASI PADA IBU NIFAS PASCA SEKSIO SESAREA DI RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

0 0 11