Tinjauan Hukum Tentang Tanggungjawab Perusahaan Jasa Muatan Dalam Proses Angkutan Barang Melalui Darat (Studi Pada Pt. Komol Transport).

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Arief, Isa, Hukum Perdata dan Hukum Dagang, Alumni, Bandung, 2003.

Hartini, Rahayu, Hukum Pengangkutan, Pengangkutan Darat Melalui Jalan Umum dan Kereta Api, Pengangkutan Laut Serta Pengangkutan Udara di Indonesia, UMM Press, Malang, 2007,

Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Pengangkutan Niaga, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008.

Nasution, Bahder Johan Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008.

Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, P.N. Balai Pustaka, Jakarta, 2003.

Purba, Hasim, Hukum Pengangkutan di Laut, Perspektif, Teori dan Praktek, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2005.

Purwosutjipto, H.M.N., Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid 3, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2001.

Soegijatna Tjakranegara, Hukum Pengangkutan Barang dan Penumpang, Rineka Cipta, Jakarta, 2005.

Soekardono, R., Hukum Dagang Indonesia, Bagian Pertama Hukum Pengangkutan di Darat, Penerbit Soeroeng, Jakarta, 2004.

Sofie, Yusuf, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut UUPK, Teori dan Praktek Penegakan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.

Syaiful, Watni dkk, Aspek Hukum Tanggungjawab Pengangkut Dalam Sistem Pengangkutan, BPHN Dep Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, 2004.

Uli, Sinta, Pengangkutan Suatu Tinjauan Hukum Multimoda Transport Angkutan Laut, Angkutan Darat dan Angkutan Udara, USU Press, Medan, 2006.

Usman, Sution Adji, dkk, Hukum Pengangkutan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2007.


(2)

Lain-lain :

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), PT. Pradnya Paramita, Cetakan Ketigapuluhsatu, Jakarta, 2001.

Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUH Dagang), PT. Pradnya Paramita, Cetakan Keduapuluh tujuh, Jakarta, 2002.

Ordonansi Pengangkutan Udara (Luchtvervoer Ordonantie, Stb, 1939-100).

Undang-undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya. Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1993 tentang Angkutan Jalan.

Keputusan Menteri KM 35 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan Dengan Kendaraan Umum.


(3)

BAB III

PELAKSANAAN PERJANJIAN PENGANGKUTAN BARANG OLEH PERUSAHAAN JASA MUATAN

ANGKUTAN DARAT

A. Pelaksanaan Perjanjian Pengangkutan Barang

Perjanjian pengangkutan yang dibuat secara sah mengikat kedua pihak, yaitu pengangkut dan pengirim. Antara kedua belah pihak tercipta hubungan kewajiban dan hak yang perlu direalisaikan melalui proses penyelenggaraan pengangkutan dan pembayaran biaya angkutan. 37 Proses penyelenggaraan pengangkutan melalui darat, meliputi tiga tahap, yaitu tahap pemuatan penumpang atau barang di terminal pemberangkatan, tahap pelaksanaan angkutan, dan tahap penurunan dan pembongkaran penumpang atau barang diterminal tujuan.38

1. Tahap Pemuatan Barang Di Terminal Pemberangkatan

Pada tahap ini pengirim menyerahkan barang kepada PT. Komol Transport, pihak pengirim harus melunasi biaya angkutan yang telah disepakati dan PT. Komol Transport menerbitkan surat pengangkutan sebagai bukti bahwa telah terjadinya perjanjian pengangkutan. Dokumen angkutan ini disebut dengan surat angkutan barang. Agar pengirim juga memegang sekedar pembuktian, baiknya ia minta turunan (duplikat) dari surat angkutan dengan disahkan oleh pengangkut/nahkoda atau pengirim minta sepucuk tanda penerima barang-barang dari pengangkut.39 Dalam surat angkutan yang harus menyebutkan antara lain :

37 Hasil wawancara dengan Karyawan PT. Komol Transport, tanggal 15 Mei 2013. 38 Achmad Ichsan, Op. cit., hal. 432.

39 R. Soekardono, Op. cit., hal. 27


(4)

a. keterangan-keterangan mengenai barang yang akan dikirim seperti jumlah, cara pengepakan, volume, berat brutonya dan lain sebagainya;

b. nama stasiun tempat pengiriman dan tujuan; c. nama dan alamat pengiriman;

d. nama dan alamat penerima;

e. tempat dan tanggal surat angkutan;

f. penyebutan surat-surat yang diperlukan dalam angkutan itu.

Setelah pengirim menyerahkan barang ke PT. Komol Transport, barang tersebut ditimbang dahulu dan kemudian pengangkut memasukkan barang ke gudang setelah itu barang dimasukkan dalam truk. Setelah pemuatan selesai, supir menyiapkan kendaraan untuk keberangkatan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Setiap kendaraan bermotor yang beroperasi di jalan raya harus memenuhi ketentuan Pasal 48 ayat (1)

UULLAJ. Menurut Pasal 48 ayat (1) tersebut, ”setiap kendaraan bermotor yang dioperasikan di jalan harus memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan”. Dalam ayat

(2) persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas : a. susunan;

b. perlengkapan; c. ukuran; d. karoseri;

e. rancangan teknis kendaraan sesuai dengan peruntuknya; f. pemuatan;

g. penggunaan

h. penggandengan kendaraan bermotor; dan i. penempelan kendaraan bermotor.

2. Tahap Pelaksanaan Angkutan


(5)

Dalam tahap ini PT. Komol Transport menyelenggarakan angkutan, kegiatan memindahkan barang dari tempat pemberangkatan ke tempat tujuan dengan menggunakan alat pengangkut sesuai dengan perjanjian pengangkutan. Untuk kelancaran dan keselamatan pengangkutan, dalam Pasal 77 ayat (1) UULLAJ: ”Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib memiliki Surat Izin

Mengemudi sesuai dengan jenis kendaraan bermotor yang dikemudikan”. Dalam Pasal 90 ayat (1) UULLAJ, ”Setiap perusahaan Angkutan Umum wajib mematuhi dan

memberlakukan ketentuan mengenai waktu kerja, waktu istirahat, dan pergantian Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan”. Dalam Pasal 162 ayat (1) UULLAJ, Kendaraan bermotor yang mengangkut

barang khusus wajib :

a. memenuhi persyaratan keselamatan sesuai dengan sifat dan bentuk barang yang diangkut;

b. diberi tanda tertentu sesuai dengan barang yang diangkut; c. memarkir kendaraan di tempat yang di tempat yang ditetapkan;

d. membongkar dan memuat barang di tempat yang ditetapkan dan dengan menggunakan alat sesuai dengan sifat dan bentuk barang yang diangkut;

e. beroperasi pada waktu yang tidak mengganggu keamanan, keselamatan, kelancaran, dan ketertiban lalu lintas dan angkutan jalan; dan

f. mendapat rekomendasi dari instansi terkait. 3. Tahap Penurunan atau Pembongkaran Barang

Setelah kendaraan bermotor atau truk tiba, barang-barang tersebut langsung diantar ke tempat tujuan atau di tempat yang disepakati seperti tertera pada surat angkutan. Sesudah barang diterima, dilakukan pengecekan terhadap barang yang diangkut tersebut. Apabila barang diantar ke tempat tujuan dan penerimanya tidak ada di tempat, maka barang yang diangkut tersebut disimpan di dalam gudang PT. Komol


(6)

Transport yang berada di kota tersebut. Namun, bila penerima tidak mengambil atau menghubungi pihak pengangkut dalam hal ini PT. Komol Transport selama 15 hari, maka pihak pengangkut mengembalikan barang tersebut ke pengirim dalam hal ini toko yang bersangkutan dengan ongkos pengembalian dibebankan oleh pihak pengirim dan PT. Komol Transport tidak bertanggung jawab lagi atas barang tersebut.40 Dalam Pasal

195 ayat (2) UULLAJ, ”Perusahaan angkutan umum memungut biaya tambahan atas barang yang disimpan dan tidak diambil sesuai dengan kesepakatan”.41 Selanjutnya

dalam Pasal 196 UULLAJ disebutkan, ”Jika barang angkutan tidak diambil oleh pengirim atau penerima sesuai dengan batas waktu yang telah disepakati, perusahaan angkutan umum berhak memusnahkan barang yang sifatnya berbahaya atau mengganggu dalam penyimpanannya sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan”.42

B. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Ketentuan Undang-undang No. 22 Tahun 2009

1. Pengangkut

Menurut Pasal 124 ayat (1) UU No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, terdapat beberapa kewajiban yang harus dipenuhi pengemudi kendaraan bermotor umum, yaitu:

1. Mengangkut Penumpang yang membayar sesuai dengan tarif yang telah ditetapkan; 2. Memindahkan penumpang dalam perjalanan ke Kendaraan lain yang sejenis dalam trayek yang sama tanpa dipungut biaya tambahan jika Kendaraan mogok, rusak, kecelakaan, atau atas perintah petugas;

40 Hasil wawancara dengan karyawan PT. Komol Transport, tanggal 15 Mei 2013

41 Pasal 195 ayat (2) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

42 Pasal 196 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.


(7)

3. Menggunakan lajur Jalan yang telah ditentukan atau menggunakan lajur paling kiri, kecuali saat akan mendahului atau mengubah arah;

4. Memberhentikan kendaraan selama menaikkan dan/atau menurunkan Penumpang; 5. Menutup pintu selama Kendaraan berjalan; dan

6. Mematuhi batas kecepatan paling tinggi untuk angkutan umum.

Selain itu di dalam UU No. 22 tahun 2009 terdapat beberapa kewajiban yang harus dipenuhi oleh perusahaan angkutan umum, yaitu:

1. Menyerahkan tiket penumpang (Pasal 167 UU No. 22 Tahun 2009);

2. Menyerahkan tanda bukti pembayaran pengangkutan untuk angkutan tidak dalam trayek (Pasal 167 UU No. 22 Tahun 2009);

3. Menyerahkan tanda pengenal bagasi kepada Penumpang (Pasal 167 UU No. 22 Tahun 2009);

4. Menyerahkan manifes kepada pengemudi Penumpang (Pasal 167 UU No. 22 Tahun 2009);

5. Perusahaan Angkutan Umum wajib mengangkut orang dan/atau barang setelah disepakati perjanjian angkutan dan/atau dilakukan pembayaran biaya angkutan oleh Penumpang dan/atau pengirim barang (Pasal 186 UU No. 22 tahun 2009);

6. Perusahaan Angkutan Umum wajib mengembalikan biaya angkutan yang telah dibayar oleh Penumpang dan/atau pengirim barang jika terjadi pembatalan pemberangkatan (Pasal 187 UU No. 22 tahun 2009);

7. Perusahaan Angkutan Umum wajib mengganti kerugian yang diderita oleh Penumpang atau pengirim barang karena lalai dalam melaksanakan pelayanan angkutan (Pasal 188 UU No. 22 tahun 2009);

8. Perusahaan Angkutan Umum wajib mengasuransikan tanggung jawabnya (Pasal 189 UU No. 22 tahun 2009);


(8)

Di samping kewajiban yang dibebankan kepada pengangkut, terdapat beberapa hak-hak dari pihak pengangkut berdasarkan UU No. 22 Tahun 2009, yaitu:

1. Perusahaan angkutan umum berhak untuk menahan barang yang diangkut jika pengirim atau penerima tidak memenuhi kewajiban dalam batas waktu yang ditetapkan sesuai dengan perjanjian angkutan (Pasal 195 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009).

2. Perusahaan angkutan umum berhak memungut biaya tambahan atas barang yang disimpan dan tidak diambil sesuai dengan kesepakatan (Pasal 195 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2009).

3. Perusahaan angkutan umum berhak menjual barang yang diangkut secara lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jika pengirim atau penerima tidak memenuhi kewajiban (Pasal 195 ayat (3) UU No. 22 Tahun 2009). 4. Jika barang angkutan tidak diambil oleh pengirim atau penerima sesuai dengan

batas waktu yang telah disepakati, perusahaan angkutan umum berhak memusnahkan barang yang sifatnya berbahaya atau mengganggu dalam penyimpanannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 196 UU No. 22 Tahun 2009).

2. Penumpang

Adapun yang menjadi kewajiban utama pihak penumpang dalam perjanjian pengangkutan adalah membayar biaya pengangkutan. Setelah membayar biaya pengangkutan kepada pihak pengangkut maka secara otomatis pihak penumpang berhak atas pelayanan pengangkutan dari pihak pengangkut.43 Adapun yang menjadi kewajiban utama pihak pengirim dalam perjanjian pengangkutan adalah membayar biaya pengangkutan (Pasal 491 KUHD), selain itu pihak pengirim berkewajiban untuk

43 Ibid, hal. 60.


(9)

memberitahukan tentang sifat, macam, dan harga barang yang akan diangkut (Pasal 469, 470 ayat (2), 479 ayat (1) KUHD), menyerahkan surat-surat yang diperlukan untuk pengangkutan barang tersebut (Pasal 478 ayat (1) KUHD).

Sedangkan hak-hak yang dimiliki oleh pihak pengirim barang antara lain menerima barang dengan selamat di tempat yang dituju, menerima barang pada saat yang sesuai dengan yang ditunjuk oleh perjanjian pengangkutan, dan berhak atas pelayanan pengangkutan barangnya.

C. Tanggungjawab Pengangkut Dalam Hal Terjadi Kecelakaan

Abdulkadir Muhammad, dalam bukunya Hukum Pengangkutan Niaga membagi tanggung jawab para pihak dalam perjanjian pengangkutan ke dalam 4 (empat) bagian yaitu tanggung jawab para pihak dalam pengangkutan kereta api, tanggung jawab para pihak dalam pengangkutan darat, tanggung jawab para pihak dalam pengangkutan perairan, dan tanggung jawab para pihak dalam pengangkutan udara.44 Dan dalam bab ini yang akan dibahas adalah tanggung jawab para pihak dalam pengangkutan darat.

Tanggung jawab pada hakikatnya terdiri dari dua aspek, yaitu tanggung jawab yang bersifat kewajiban yang harus dilaksanakan sebaik-baiknya (responsibility) dan tanggung jawab ganti rugi (liability). Perusahaan pengangkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang, pengirim atau pihak ketiga karena kelalaiannya dalam melaksanakan pelayanan pengangkutan. Selama pelaksanaan pengangkutan, keselamatan penumpang atau barang yang diangkut pada dasarnya berada dalam tanggung jawab perusahaan pengangkutan umum.

Kecelakaan Lalu Lintas dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan(“UU LLAJ”) digolongkan menjadi 3, yakni (lihat Pasal 229):

44 Abdulkadir Muhammad, op.cit, hlm. 37.


(10)

a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan, merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan Kendaraan dan/atau barang,

b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang, merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.

c. Kecelakaan Lalu Lintas berat, merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.

Secara umum mengenai kewajiban dan tanggung jawab Pengemudi, Pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan ini diatur dalam Pasal 234 ayat (1) UU LLAJ yang berbunyi:

“Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/ atau Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang dan/

atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian Pengemudi.”

Namun, ketentuan tersebut di atas tidak berlaku jika:

a. Adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan Pengemudi;

b. Disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan/ atau

c. Disebabkan gerakan orang dan/ atau hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan.

Pihak yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas wajib mengganti kerugian yang besarannya ditentukan berdasarkan putusan pengadilan. Kewajiban mengganti kerugian ini dapat dilakukan di luar pengadilan jika terjadi kesepakatan damai di antara para pihak yang terlibat (Pasal 236 UU LLAJ).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa bentuk pertanggungjawaban atas kecelakaan lalu lintas yang hanya mengakibatkan kerugian materi tanpa korban jiwa adalah dalam bentuk penggantian kerugian.


(11)

Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum dapat menurunkan penumpang dan/atau barang yang diangkut pada tempat pemberhentian terdekat jika Penumpang dan/atau barang yang diangkut dapat membahayakan keamanan dan keselamatan angkutan (Pasal 190 UU No. 22 Tahun 2009).

Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan oleh segala perbuatan orang yang dipekerjakan dalam kegiatan penyelenggaraan angkutan. Selain itu Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang yang meninggal dunia atau luka akibat penyelenggaraan angkutan, kecuali disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau karena kesalahan Penumpang (Pasal 191 dan Pasal 192 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009).

Selain sanksi penggantian kerugian, perusahaan angkutan umum yang bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengirim barang karena barang musnah, hilang, atau rusak akibat penyelenggaraan angkutan dapat diberikan sanksi berupa (Pasal 199 ayat [1] UU LLAJ):

a. peringatan tertulis; b. denda administratif; c. pembekuan izin; dan/atau d. pencabutan izin.

Oleh karena itu, sudah sepatutnya apabila kepada perusahaan pengangkutan umum dibebankan tanggung jawab terhadap setiap kerugian yang diderita oleh penumpang atau pengirim, yang timbul karena pengangkutan yang dilakukannya. (Pasal 234 UU No. 22 Tahun 2009).


(12)

BAB IV

TANGGUNGJAWAB PENGANGKUT DALAM PROSES ANGKUTAN BARANG

MELALUI ANGKUTAN DARAT

A. Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Proses Pengangkutan Barang

Untuk menyelenggarakan pengangkutan, lebih dahulu harus ada perjanjian antara pengangkut dengan pengirim. Perjanjian pengangkutan adalah persetujuan dengan mana pengangkut mengikat diri untuk menyelenggarakan pengangkutan penumpang dan atau barang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat dan pengirim mengikat diri untuk membayar angkutan.45 Perjanjian pengangkutan selalu digunakan secara lisan tetapi didukung oleh dokumen pengangkutan yang membuktikan bahwa perjanjian sudah terjadi.

Dalam melaksanakan perjanjian pengangkutan, hubungan kerja antara pengirim dengan pengangkut tidak harus terus-menerus, tetapi hanya kadang kala, kalau pengirim membutuhkan pengangkutan untuk mengirim barang. Hubungan semacam ini

disebut ”pelayanan berkala” sebab pelayanan itu tidak bersifat tetap, hanya kadang kala

saja, bila pengirim membutuhkan pengangkutan, perjanjian berkala ini diatur dalam Pasal 1601 KUH Perdata.

Dalam undang-undang ditentukan bahwa pengangkutan baru diselenggarakan setelah biaya angkutan dibayar lebih dahulu. Tetapi disamping ketentuan undang-undang juga berlaku kebiasaan masyarakat yang dapat membayar biaya angkutan kemudian. Perjanjian pengangkutan biasanya meliputi kegiatan pengangkutan dalam arti luas yaitu kegiatan memuat, membawa dan menurunkan/membongkar barang. Pengangkutan dalam arti luas ini erat hubungannya dengan tanggungjawab pengangkut apabila terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian. Artinya tanggungjawab


(13)

pengangkut mulai berjalan sejak penumpang atau barang dimuat ke dalam alat pengangkut sampai barang dibongkar dari alat pengangkut atau diserahkan kepada penerima.

Tanggungjawab dapat diketahui dari kewajiban yang telah ditetapkan dalam perjanjian atau undang-undang. Kewajiban pengangkut adalah menyelenggarakan pengangkut. Kewajiban ini mengikat sejak penumpang atau pengirim melunasi biaya pengangkutan.

Apabila penumpang mengalami kecelakaan ketika naik alat pengangkut atau selama diangkut atau ketika turun dari alat pengangkut, maka pengangkut bertanggungjawab membayar segala kerugian yang timbul akibat kecelakan yang terjadi itu. Demikian juga halnya pada pengangkutan barang, pengangkut bertanggungjawab atas segala kerugian yang timbul akibat peristiwa yang terjadi dalam proses pengangkutan sejak pembuatan sampai pembongkaran barang di tempat tujuan.

Tetapi tanggungjawab pengangkut ini dibatasi oleh undang-undang. Dalam undang-undang ditentukan bahwa pengangkut ini bertanggungjawab terhadap segala kerugian yang timbul akibat kesalahannya, kecuali :

a. Keadaan memaksa (force majeure). b. Cacat barang itu sendiri.

c. Kesalahan/kelalaian pengirim atau pemilik barang

Menurut R. Soekardono bahwa perjanjian pengangkutan itu adalah sebuah perjanjian timbal balik, pada mana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan ke tempat tujuan tertentu, pihak lainnya (pengirim) berkewajiban untuk membayar biaya tertentu untuk pengangkutan. 46

45 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hal. 35

46 R. Soekardono, Hukum Dagang Indonesia Bagian Pertama Hukum Pengangkutan di Darat, Soerang, Jakarta, 2001, hal. 10.


(14)

Sedangkan menurut Purwosutjipto berpendapat bahwa perjanjian pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkutan dengan pengirim. Dimana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang atau orang dari satu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pihak pengirim mengingatkan diri untuk membayar uang angkutan. 47 Kemudian ada kelompok yang menyatakan bahwa perjanjian pengangkutan adalah suatu perjanjian untuk melakukan beberapa pekerjaan.48

Purwosutjipto berpendapat bahwa perjanjian pengangkutan merupakan perjanjian campuran, karena mempunyai unsur :

1. Pelayanan berkala pemborongan pekerjaan adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu, si pemborong mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan.

2. Unsur penyimpanan, adalah ketetapan dalam Pasal 468 ayat 1 KUHD yang

berbunyi : ”Perjanjian pengangkutan mewajibkan kelompok pengangkut untuk menjaga keselamatan barang yang diangkutnya, mulai saat diterimanya hingga saat

diserahkannya barang tersebut”.

3. Unsur pemberian kuasa, hal ini dapat kita lihat dalam Pasal 371 ayat 1 KUHD

yang berbunyi : ”Nahkoda diwajibkan selama dalam perjalanan menjaga kepentingan para pemilik muatan, mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan

untuk itu dan jika perlu untuk itu menghadap ke muka hakim”.

Kemudian pada ayat 3 berbunyi : ”Dalam keadaan yang mendesak ia

diperbolehkan menjual barang muatan atau sebahagian dari itu atau guna membiayai

47 H.M.N. Purwosutjipto, Op.Cit, hal. 13. 48 Rahayu Hartini, Op.Cit, hal. 409.


(15)

pengeluaran-pengeluaran yang telah dilakukan guna kepentingan muatan tersebut,

meminjam uang dengan mempertaruhkan muatan sebagai jaminan”. 49

Selanjutnya, dalam setiap perjanjian, sudah tentu harus ada pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu. Karena tanpa adanya pihak-pihak tersebut maka perjanjian tidak akan lahir. Untuk terjadinya perjanjian pengangkutan harus ada persetujuan kehendak antara pengangkut dengan pengirim (pemilik barang).

Sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwa perjanjian pengangkutan adalah suatu perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim barang, dimana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan sebagaimana yang telah diperjanjikan sebelumnya.

Dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa pihak-pihak dalam perjanjian pengangkutan adalah pengangkut dan pengirim. Pengangkut adalah orang yang mengikatkan dirinya untuk menyelenggarakan pengangkutan. Sedangkan pengirim adalah orang yang mengikatkan dirinya untuk membayar uang angkutan sebagai imbalan jasa yang dilakukan oleh pihak pengangkut dalam melaksanakan pengangkutan tersebut.

Pengirim pada suatu perjanjian pengangkutan tidak hanya orang perorang saja, tetapi dapat juga merupakan suatu badan yang bergerak dalam bidang pengiriman

barang, dimana badan seperti ini disebut dengan ”ekspeditur”. Ekspeditur adalah suatu

badan yang pekerjaannya menyuruh orang lain untuk menyelenggarakan pengangkutan barang baik melalui darat, laut maupun udara. 50

Perjanjian yang dibuat antara ekspeditur dan pengirim disebut dengan perjanjian ekspedisi, sedangkan perjanjian antara ekspeditur atas nama pengirim dengan pengangkut disebut perjanjian pengangkutan. Kemudian dalam perjanjian

49 H.M.N. Purwosutjipto, Op.Cit, hal. 9. 50 Ibid, hal. 12.


(16)

pengangkutan ini adakalanya penerima bertindak sebagai pihak ketiga yang berkepentingan untuk itu, misal : seseorang yang mau pindah ke tempat lain, maka yang bersangkutan tadi perlu mengadakan perjanjian pengangkutan dengan pihak yang berkecimpung dibidang pengangkutan untuk mengangkut barang-barangnya ke tempat yang dituju tadi. Disini pemilik barang tersebut selain bertindak sebagai penerima, juga bertindak sebagai pengirim.

Sedangkan kewajiban si pengirim barang adalah membayar uang angkutan sebesar yang telah diperjanjikan dalam surat muatan. Dan pembayaran uang angkutan ini juga dapat dilakukan oleh si penerima apabila belum dibayar oleh si pengirim. Ini dapat diketahui si penerima dalam surat muatan yang diterimanya, karena dalam surat muatan dicantumkan apakah uang angkutan sudah dibayar atau belum. Jika uang angkutan belum dibayar pengirim maka penerima berkewajiban untuk membayarnya sebagaimana yang ditentukan dalam surat muatan.

Jadi dalam hal ini pihak penerima dapat menjadi pihak yang berkepentingan dalam perjanjian pengangkutan setelah ia menyatakan kehendaknya untuk menerima barang dan si penerima barang tersebut berkewajiban untuk membayar uang angkutan barang itu. Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang juga diatur mengenai hak dan kewajiban serta tanggungjawab dari pada pengangkut atau penyelenggara.

Hak pengangkut atau penyelenggara pengangkutan yang ada dalam KUHD adalah :

1. Mendapatkan pembayaran atas prestasi yang dilakukan.

2. Pengangkut berhak atas suatu penggantian kerugian yang diderita karena surat-surat yang diperlukan untuk pengangkutan tersebut tidak diserahkan kepadanya sebagaimana mestinya (Pasal 478 ayat 1 KUHD).

3. Pengangkut berhak menerima penggantian kerugian yang dideritanya karena pengirim telah memberikan keterangan yang salah atau tidak lengkap tentang


(17)

macam atau sifat barang tersebut kecuali ia tahu atau sepatutnya mengetahui akan sifat atau macam-macam barang tersebut (Pasal 479 ayat 1 KUHD).

Selain adanya hak pada si pengangkut atau penyelenggara, pengangkut juga mempunyai kewajiban dan tanggungjawab yang diatur dalam KUHD. Dimana kewajiban dan tanggungjawab pengangkut atau penyelenggara pengangkutan itu adalah :

1. Pengangkut wajib menjaga keselamatan barang yang diangkut mulai dari saat diterimanya hingga saat diserahkannya barang tersebut (Pasal 468 ayat 1 KUHD). 2. Pengangkut wajib mengganti kerugian yang disebabkan karena barang-barang

tersebut seluruhnya atau sebagian tidak dapat diserahkan atau barang tersebut rusak kecuali apabila si pengangkut dapat membuktikan bahwa tidak diserahkannya barang atau kerusakan tersebut disebabkan oleh suatu malapetaka yang tidak dapat dicegah ataupun dihindarkan atau memang cacat tersebut adalah bawaan dari barang itu atau karena kesalahan dari si pengirim (Pasal 468 ayat 2 KUHD).

3. Pengangkut wajib bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan karena keterlambatan penyerahan barang yang dikirimkan kecuali apabila si pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan malapetaka yang tidak dapat dicegah ataupun dihindarkan (Pasal 477 KUHD).

Sedangkan dalam Undang-undang No. 22 Tahun 2009 juga ditemukan hak dan kewajiban pihak pengangkut, dimana kewajiban pengangkut antara lain :

1. Pengusaha angkutan umum wajib mengangkut orang dan/atau barang, setelah disepakati perjanjian pengangkutan dan/atau dilakukan pembayaran biaya angkutan oleh penumpang dan/atau pengirim barang (Pasal 43 UU No. 14 Tahun 1992). 2. Pengusaha angkutan umum wajib mengembalikan biaya angkutan yang telah

dibayar oleh penumpang dan/atau pengirim barang, jika terjadi pembatalan keberangkatan kendaraan umum (Pasal 44 No. 22 Tahun 2009).


(18)

3. Pengusaha angkutan umum bertanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang, pengirim barang atau pihak ketiga, karena kelalaian dalam melaksanakan pelayanan angkutan (Pasal 45 UU No. 22 Tahun 2009).

Sedangkan mengenai hak si pengangkut juga dapat dilihat dalam UU No. 22 Tahun 2009 yaitu :

1. Pengusaha angkutan umum dapat mengenakan tambahan biaya penyimpanan barang kepada pengirim dan/atau penerima barang yang tidak mengambil barangnya di tempat tujuan dan dalam waktu yang telah disepakati (Pasal 48 ayat 1 UU No. 22 Tahun 2009).

2. Pengirim dan/atau penerima barang hanya dapat mengambil barang setelah biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilunasi (Pasal 48 ayat 2 UU No. 22 Tahun 2009).

3. Barang yang tidak diambil sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 lebih dari waktu tertentu, dinyatakan sebagai barang tak bertuan dan dapat dijual secara lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 48 ayat 3 UU No. 22 Tahun 2009).

Karena perjanjian pengangkutan pada umumnya terjadi secara lisan dan dibuktikan dengan karcis penumpang, maka ketentuan-ketentuan tersebut tertulis pada karcis penumpang. Angkutan penumpang diselenggarakan oleh beberapa perusahaan angkutan umum, baik badan usaha milik negara maupun milik swasta. Ketentuan-ketentuan yang tertulis pada karcis penumpang yang mereka terbitkan juga bervariasi namun pada pokoknya berisi kewajiban dan hak-hak yang sama.

Berikut ini disajikan ketentuan-ketentuan yang tertulis pada tiket penumpang yang biasanya diterbitkan oleh perusahaan angkutan umum trayek antar kota antar propinsi yaitu :


(19)

a. Penumpang wajib memiliki karcis yang sah atas namanya sendiri sesuai dengan tanggal keberangkatan.

b. Calon penumpang diwajibkan melapor satu jam sebelum keberangkatan dengan menunjukkan karcis yang sudah dibeli lengkap dengan nomor kenderaan dan nomor tempat duduk.

c. Apabila calon penumpang sama sekali tidak melapor atau laporan dilakukan setelah keberangkatan, maka dianggap telah melakukan perjalanan.

d. Karcis yang dibeli atas nama yang melakukan perjalanan dinyatakan tidak berlaku apabila dipergunakan oleh orang lain atau identitas pada karcis sudah rusak/kabur akibat coretan karena karcis ini dapat digunakan pada pengrusakan klaim apabila terjadi musibah.

e. Pembatalan/penangguhan perjalanan dilakukan 5 (lima) jam sebelum pemberangkatan dengan pemotongan 25% dari karcis.

f. Para penumpang diminta untuk memelihara kebersihan, ketertiban dan keamanan sebelum maupun selama perjalanan serta diharapkan dapat memberi teguran kepada awak bus apabila dalam mengemudikan kendaraannya dapat membahayakan keselamatan dan keamanan penumpang.

g. Para penumpang wajib menjaga keamanan dan keselamatan barang bawaan dan tidak dibenarkan membawa barang larangan, mudah terbakar/meledak, berbau yang mengakibatkan mabuk dan hewan jenis apapun.

h. Barang bawaan yang beratnya hingga 10 kg tidak dipungut biaya, sedangkan barang bawaan yang beratnya lebih dari 10 kg dianggap sebagai barang bagasi yang dikenai biaya.

i. Barang bawaan penumpang menjadi tanggungjawab pemiliknya apabila terjadi kerusakan, tertukar ataupun hilang.


(20)

j. Dalam upaya menjaga dan meningkatkan pelayanan kepada pemakai jasa, kami menyediakan daftar isian dan kotak saran, silahkan diisi dengan identitas yang lengkap dan jelas apabila diperlukan.

k. Sesuai dengan aturan kesehatan, dimohon tidak merokok dalam kendaraan ber-AC yang sedang dihidupkan.

Selain dari beberapa ketentuan yang disebutkan di atas, juga ada ketentuan-ketentuan lain, yaitu :

a. Apabila pada jam keberangkatan mobil pengangkut rusak mendadak dan tidak dapat diperbaiki, maka pengangkutan dibatalkan dan biaya angkutan dikembalikan penuh atau penumpang secepatnya diberitahu untuk dipindahkan ke mobil yang lain yang sejenis.

b. Apabila pengangkutan memperoleh gangguan perjalanan diluar dugaan, yang bukan kesalahan penumpang, atau bukan kerusakan mobil, maka biaya angkutan dikembalikan seluruhnya atau sebagian sesuai dengan jenis gangguan tersebut. 51

Sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwa kewajiban pengangkut adalah melaksanakan pengangkutan barang mulai dari tempat pemuatan barang sampai ke tempat tujuan dengan selamat dan tepat pada waktunya.

Apabila dalam hal tersebut di atas terdapat kekurangan jumlah barang, terlambat datangnya barang, tidak ada penyerahan barang (musnah), terdapat kerusakan pada barang yang terjadi selama pelaksanaan pengangkutan. Maka inilah yang menjadi tanggungjawab pihak pengangkut.

Pengangkut harus bertanggungjawab atas kerugian yang timbul dari akibat-akibat tersebut dan harus mengganti kerugian yang terjadi atas kerusakan pada barang-barang. 52

51 Hasil Wawancara dengan pihak pengangkut (PT. Komol Transport).


(21)

Tanggungjawab pengangkut dapat ditiadakan apabila ia dapat membuktikan bahwa kerugian itu timbul sebagai akibat dari cacat pada barang itu sendiri atau karena kesalahan dan kealpaan si pengirim dan keadaan memaksa.

Pengangkut dalam hal ini bukanlah supir yang menjalankan kendaraan tersebut, tetapi yang dimaksud adalah majikan. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 1367 KUH

Perdata yaitu : ”Seseorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri tetapi juga kerugian yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh orang-orang yang berada di bawah

pengawasannya”.

Jadi dalam hal ini majikan-majikan mereka yang bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkan oleh bawahan-bawahan mereka dalam melakukan pekerjaannya.

Oleh karena pengangkutan barang mempunyai resiko yang cukup besar, untuk itu perusahaan pengangkutan mengasuransikan tanggungjawabnya kepada pihak asuransi. Tanggungjawab tentang pelaksanaan perjanjian pengangkutan barang oleh perusahaan pengangkutan dimulai pada saat diterimanya barang oleh pengangkut sampai diserahkannya barang tersebut kepada si pemilik atau si penerima barang.

Selanjutnya, perjanjian pengangkutan yang dibuat secara sah mengikat kedua belah pihak, yaitu pihak pengangkut dan pengirim. Antara kedua belah pihak tersebut tercipta hubungan hak dan kewajiban yang perlu direalisasikan melalui proses penyelenggaraan pengangkutan. Proses penyelenggaraan pengangkutan merupakan rangkaian kegiatan pemuatan barang dari tempat pemuatan ke tempat tujuan. Pada angkutan darat dengan kendaraan bermotor tempat pemuatan dan pembongkaran barang disebut dengan terminal.

52 Rahayu Hartini, Op.Cit, hal. 415.


(22)

Proses penyelenggaraan pengangkutan melalui angkutan darat, meliputi beberapa tahap kegiatan, yaitu tahap pemuatan barang atau orang di terminal pemberangkatan, tahap pelaksanaan angkutan dan tahap penurunan dan pembongkaran barang atau orang di terminal tujuan.

1. Tahap Pemuatan di Terminal Pemberangkatan

Pada tahap ini penumpang yang sudah memiliki karcis/tiket dapat naik dan masuk ke dalam alat pengangkut yang telah disediakan oleh pengangkut berdasarkan peraturan dan tata tertib yang berlaku. Pada angkutan barang, pengirim menyerahkan barang kepada pengangkut untuk dimuat ke dalam alat pengangkut, dimana sebelumnya pihak pengirim harus melunasi biaya angkutan yang telah disepakati dan pihak pengangkut menerbitkan dokumen angkutan sebagai bukti bahwa telah terjadinya perjanjian pengangkutan. Dokumen angkutan ini disebut dengan surat angkutan barang. Setelah surat angkutan barang ditanda tangani oleh pengirim, maka barang dan surat angkutan barang diserahkan kepada pengangkut, pengangkut menerima barang lalu dicocokkan dengan surat angkutan barang tersebut. Bila sudah cocok maka surat angkutan barang tersebut distempel oleh pengangkut dihadapan pengirim dan ditulis tanggal terimanya barang tersebut. Pada saat surat angkutan barang distempel, barang-barang yang sudah diserahkan oleh pengirim dan diterima oleh pengangkut, menjadi tanggungjawab pihak pengangkut sampai barang itu diterima oleh pemilik ditempat tujuan.

Setelah pemuatan selesai, pengangkut atau supir menyiapkan kendaraan untuk keberangkatan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Setiap kendaraan bermotor yang beroperasi di jalan raya harus memenuhi ketentuan Pasal 12 ayat (1) Undang-undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya. Menurut Pasal 12 ayat (1) tersebut, bahwa setiap kendaraan yang dioperasikan dijalan raya harus


(23)

sesuai dengan peruntukkannya. Memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan serta sesuai dengan kelas jalan yang dilalui.

Agar kendaraan bermotor itu memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan, wajib diuji yang dibuktikan dengan tanda bukti lulus uji, dicantumkan daya angkut maksimum kendaraan bermotor. Dengan demikian, kendaraan bermotor yang disediakan oleh pengangkut selalu dalam keadaan memenuhi syarat keselamatan agar sampai di tempat tujuan dengan selamat.

2. Tahap Pelaksanaan Angkutan Melalui Jalan Raya

Pada tahap ini pengangkut menyelenggarakan angkutan, yaitu kegiatan memindahkan penumpang dan/atau barang dari tempat pemberangkatan ke tempat tujuan dengan menggunakan alat pengangkut sesuai dengan perjanjian pengangkutan.

Untuk kelancaran dan keselamatan pengangkutan, setiap pengemudi kendaraan bermotor wajib memiliki surat izin mengemudi (Pasal 18 Undang-undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya). Surat izin mengemudi merupakan tanda bukti kecakapan dan keabsahan pengemudi untuk mengemudikan kendaraan bermotor di jalan dan dapat pula digunakan sebagai identitas pengemudi. Untuk menjamin keselamatan lalu lintas dan angkutan dijalan, Pasal 20 ayat (1) Undang-undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya menentukan, perusahaan angkutan umum wajib mematuhi ketentuan mengenai waktu kerja dan waktu istirahat bagi pengemudi.

Pengaturan ini perlu, mengingat faktor kelelahan dan kejenuhan sangat berpengaruh terhadap kemampuan pengemudi dalam mengemudikan kendaraan bermotor secara wajar. Oleh karena itu, penggantian pengemudi setelah menempuh jarak dan waktu tertentu mutlak diperlukan untuk melindungi keselamatan pengemudi, penumpang, pemilik barang dan pengguna jalan lainnya.

Menurut Pasal 23 ayat (1) Undang-undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, pada waktu mengemudikan kendaraan bermotor di jalan, pengemudi kendaraan bermotor wajib :


(24)

a. Mampu mengemudikan kendaraan dengan wajar. b. Mengutamakan keselamatan pejalan kaki.

c. Menunjukkan surat bukti pendaftaran kendaraan bermotor, surat izin mengemudi dan tanda bukti lulus uji atau tanda bukti lain yang sah dalam hal dilakukan pemeriksaan.

d. Mematuhi semua ketentuan Undang-undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya.

e. Memakai sabuk pengaman bagi pengemudi kendaraan bermotor roda empat atau lebih.

Untuk keselamatan, keamanan dan ketertiban lalu lintas dan angkutan jalan, Pasal 16 memberikan wewenang kepada pejabat yang dituju undang-undang untuk melakukan pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan. Pemeriksaan tersebut meliputi :

a. Persyaratan teknis dan laik jalan. b. Tanda bukti lulus uji.

c. Tanda bukti pendaftaran/tanda coba kendaraan bermotor. d. Surat izin mengemudi.

Untuk kewenangan pejabat melakukan pemeriksaan tersebut diharapkan proses penyelenggaraan angkutan darat berlangsung dengan tertib, aman dan selamat tiba di tempat tujuan.

Selama proses angkutan berlangsung, pengangkutan mulai pengemudinya wajib melakukan penjagaan, pengawasan dan pemeliharaan terhadap penumpang dan/atau barang yang diangkut sampai tiba di tempat tujuan dengan selamat. Kewajiban ini dilakukan terhadap kemungkinan terjadi gangguan, pengacauan, keributan, penodongan yang datang dari luar atau dari dalam kendaraan. Bentuk penjagaan dan pengawasan dan pemeliharaan itu antara lain :

a. Menempatkan petugas keamanan didalam kendaraan jika di jalan yang dilalui rawan kejahatan.


(25)

b. Menutup pintu kendaraan setelah penumpang naik atau turun dari kendaraan. c. Mengunci pintu bagasi dengan baik.

d. Menutup barang dengan terpal, sehingga tidak mudah basah karena hujan atau tidak mudah dijarah oleh pencuri.

Selama proses angkutan berlangsung, pengemudi angkutan umum diberi wewenang oleh Pasal 47 Undang-undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya untuk menurunkan penumpang dan/atau barang yang diangkut di tempat pemberhentian terdekat, apabila ternyata penumpang dan/atau barang yang diangkut itu dapat membahayakan keamanan dan keselamatan angkutan. Wewenang ini digunakan dengan pertimbangan yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan kepatutan, antara lain :

a. Penumpang yang melakukan keributan atau pencurian dalam kendaraan, sehingga mengganggu atau merugikan penumpang lain, walaupun sudah diperingatkan secara patut.

b. Barang yang diangkut ternyata barang yang berbahaya bagi keselamatan angkutan, seperti mercon, bahan mudah terbakar.

c. Barang yang dapat mengganggu penumpang karena berbau busuk.

Apabila pengangkut (pengusaha angkutan umum) lalai dalam melaksanakan tugasnya selama proses angkutan berlangsung, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 45 Undang-undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, pengusaha angkutan bertanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang, pengirim barang atau pihak ketiga. Tanggungjawab terhadap pemilik barang dimulai sejak barang diterima dari pengirim sampai barang diserahkan kepada penerima ditempat tujuan yang telah disepakati. Namun, pengusaha angkutan umum tidak bertanggungjawab atas kerugian yang timbul apabila dia dapat membuktikan bahwa kerugian itu disebabkan oleh :

a. Peristiwa yang tidak dapat diduga terlebih dahulu (force majeur, Pasal 1244 KUH Perdata).


(26)

b. Cacat pada barang itu sendiri.

c. Kesalahan/kelalaian pengirim atau ekspeditur (Pasal 91 KUHD). 3 Tahap Penurunan/Pembongkaran Barang dan Penumpang Diterima di Tujuan

Setelah kendaraan bermotor tiba di terminal tujuan atau di tempat yang disepakati seperti tertea pada dokumen angkutan, penumpang turun dari kendaraan bermotor. Apabila terjadi kecelakaan yang mengakibatkan penumpang menderita luka atau meninggal dunia, maka PT. Asuransi Kerugian Jasa Raharja akan membayar santunan berdasarkan bukti kecelakaan dan tiket penumpang. Apabila timbul kerugian akibat kesalahan/kelalaian pengangkut dalam penyelenggaraan angkutan barang, pengangkut wajib menyelesaikan pembayaran ganti rugi.

Di terminal tujuan barang dibongkar dari tempat penyimpanan atau dibongkar dari bagasi. Pihak pengangkut dapat memberitahukan kepada penerima agar mengambil barang kiriman dalam jangka waktu yang ditetapkan. Apabila penerima tidak mengambil barang tersebut di tempat penyimpanan, maka menurut Pasal 48 Undang-undang No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, pengirim/penerima dikenakan biaya penyimpanan barang dan wajib dilunasi ketika barang itu diambil. Apabila barang itu tidak diambil dan biaya penyimpanan tidak dilunasi, maka barang itu dinyatakan sebagai barang tak bertuan dan dapat dijual secara lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa kewajiban pengangkut adalah menyelenggarakan pengangkutan barang mulai dari tempat pemuatan sampai ke tempat tujuan dengan selamat. Kalau tidak selamat maka inilah yang menjadi tanggungjawab pengangkut. Bila penyelenggaraan pengangkutan tidak selamat, akan terjadi dua hal yaitu barangnya sampai di tempat tujuan tidak ada (musnah) atau ada tetapi rusak sebagian atau seluruhnya. Barang tidak ada, mungkin disebabkan karena terbakar, dicuri orang dan lain-lain. Barang rusak sebagian atau seluruhnya, meskipun barangnya


(27)

ada tetapi tidak dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Kalau barang muatan tidak ada atau ada tetapi rusak, menjadi tanggungjawab pengangkut, artinya pengangkut harus membayar ganti kerugian terhadap barang yang musnah atau rusak tersebut, kecuali kalau kerugian itu timbul dari beberapa macam sebab yaitu :

a. Keadaan memaksa (overmacht) b. Cacat pada barang itu sendiri.

c. Kesalahan atau kelalaian si pengirim atau ekspeditur (Pasal 91 KUHD)

Kesalahan pengirim juga dapat terjadi karena salah mengira atau salah menghitung jumlah barang kedalam bungkusan yang akan dikirim. Jadi kekurangan jumlah barang yang tidak sesuai dengan faktur barang adalah di luar tanggungjawab pengangkut.

Mengenai tanggungjawab pengangkut ini dapat dilihat dalam Pasal 468 ayat 3

KUHD yang berbunyi : ”Ia bertanggungjawab atas perbuatan dari mereka, yang

dipekerjakannya dan untuk segala benda yang dipakainya dalam menyelenggarakan pengangkutan tersebut”.

Dalam Undang-undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya juga terdapat ketentuan mengenai tanggungjawab pengangkut, dimana

seperti yang disebutkan dalam Pasal 43 yang berbunyi : ”Pengusaha angkutan umum

wajib mengangkut orang dan/atau barang. Setelah disepakati perjanjian pengangkutan dan/atau dilakukan pembayaran biaya angkutan oleh penumpang dan/atau pengirim

barang”.

Selanjutnya pada Pasal 45 ayat 1 Undang-undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya menyebutkan bahwa : ”Pengusaha angkutan umum bertanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang, pengirim barang

atau pihak ketiga, karena kelalaiannya dalam melaksankan pelayanan angkutan”.


(28)

Dalam ayat 3 menyatakan bahwa : ”Tanggungjawab pengusaha angkutan umum terhadap penumpang sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 di atas, dimulai sejak

diangkutnya penumpang sampai di tempat tujuan pengangkutan yang telah disepakati”. Selanjutnya pada ayat 4 menyebutkan : ”Tanggungjawab pengusaha angkutan umum terhadap pemilik barang sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, dimulai sejak diterimanya barang yang akan diangkut sampai diserahkannya barang kepada pengirim

dan/atau penerima barang”.

Kemudian pada Pasal 91 KUHD ditentukan bahwa : ”Pengangkut harus menanggung segala akibat yang menimbulkan kerugian yang terjadi pada barang-barang dagangan dan barang-barang-barang-barang lainnya setelah barang-barang-barang-barang itu mereka terima untuk diangkut, kecuali kerugian yang diakibatkan karena sesuatu cacat pada barang itu sendiri, karena keadaan memaksa atau karena kesalahan atau kealpaan pengirim”.

Seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa pihak pengangkut berkewajiban untuk mengangkut dan menyelenggarakan pengangkutan barang yang diserahkan kepadanya mulai tempat pemuatan barang sampai di tempat tujuan dengan selamat dan tepat waktunya.

Apabila dalam hal tersebut di atas terdapat kekurangan jumlah barang, terlambat datangnya barang, tidak ada penyerahan barang (musnah), terdapat kerusakan pada barang yang terjadi selama pelaksanaan pengangkutan. Maka inilah yang menjadi tanggungjawab pihak pengangkut.

Pengangkut harus bertanggungjawab atas kerugian yang timbul dari akibat-akibat tersebut dan harus mengganti kerugian yang terjadi atas kerusakan pada barang itu. 53

Tanggungjawab pengangkut dapat ditiadakan apabila ia dapat membuktikan bahwa kerugian itu timbul sebagai akibat dari cacat pada barang itu sendiri atau

53 Rahayu Hartini, Op.Cit, hal. 45.


(29)

kesalahan dan kealpaan si pengirim, keadaan memaksa sebagaimana ditentukan dalam Pasal 91 KUHD.

Dalam praktek dapat dilihat bahwa kerugian akibat dari kemusnahan atau kerusakan barang yang terjadi karena keadaan memaksa ada diluar tanggungjawab pihak pengangkut. Maksudnya, pengangkut tidak diharuskan untuk mengganti kerugian jika kerugian itu terjadi karena keadaan memaksa. Misalnya terjadinya kebakaran pada kendaraan tersebut. Maka dalam hal ini pihak yang memikul resiko terhadap rusaknya barang tersebut adalah pihak pengirim dan penerima barang kecuali pihak pengangkut tidak dapat membuktikan bahwa resiko itu terjadi diluar kekuasaannya.

Dalam hal kurang sempurnanya pembungkusan barang yang akan diangkut diketahui oleh pengangkut sebelum dimulai pelaksanaan pengangkutan, maka dalam hal ini seharusnya ia menolak atau mengingatkan kepada si pengirim bahwa pembungkusan barang kurang sempurna. Jika hal ini tidak dilakukan, maka barang tersebut dianggap utuh atau bersih. Maksudnya apabila terjadi kerusakan atas barang tersebut akan menjadi tanggungjawabnya, sebaliknya apabila hal demikian dilakukan, maka kerusakan atas barang tidak merupakan tanggungjawabnya.

Mengenai ketidak sempurnaan pelaksanaan pengangkutan barang tersebut, yang menjadi kewajiban pengangkut untuk mengganti kerugian, hanyalah yang diakibatkan langsung dari kesalahan atau kelalaian pengangkut.

Dalam hal ini berarti, jika kelalaian terjadi diluar kesalahannya maka pengangkut tidak diwajibkan untuk mengganti kerugian terhadap kerusakan barang tersebut. Kerugian akibat kemusnahan atau kerusakan yang terjadi karena cacat pada barang itu sendiri, maka yang mengganti rugi adalah pihak pengirim, sebab ia sendiri yang lalai melakukan kewajiban dalam perjanjian pengangkutan tersebut, sehingga timbul kerugian.


(30)

Cacat pada barang itu sendiri dimaksud karena sifat dari barang itu sendiri atau dengan kata lain kerusakan tersebut mengakibatkan tidak tahan lama barang tersebut dalam masa pengangkutan seperti buah-buahan, maka kerusakan itu terjadi karena buah-buahan terlalu masak menyebabkan pembusukan.

Kesalahan pengirim juga dapat terjadi karena atau slah menghitung jumlah barang yang dimasukkan kedalam bungkusan yang akan dikirim. Jadi kekurangan jumlah barang tidak sesuai dengan faktur barang adalah diluar tanggungjawab pihak pengangkut. Karena hal ini dapat dilihat pada ketentuan yang dikeluarkan perusahaan pengangkutan didalam surat muatan menyatakan : ”Bahwa kiriman yang tidak sesuai dengan faktur barang adalah tanggungjawab pengirim. Selain itu juga ada ketentuan

lain menyatakan : isi tidak diperiksa”. 54

Maksud kedua ketentuan tersebut pada dasarnya adalah sama, dimana isinya adalah bahwa setiap kerusakan dan kemusnahan yang terdapat dalam bungkusan adalah diluar tanggungjawab pihak pengangkut.

Dari uraian-uraian di atas, maka apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa kerugian itu terjadi diluar kesalahannya, maka risiko dan tanggungjawab dipikul pengirim maupun oleh pihak penerima sendiri.

Karena adanya tanggungjawab yang sangat besar pada perjanjian pengangkutan maka biasanya diusahakan adanya pembatasan tanggungjawab. Dan pembatasan tanggungjawab tersebut oleh undang-undang tidak dilarang, karena ketentuan seperti ini tidak bersifat memaksa asal tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Dimana biasanya ketentuan tanggungjawab itu dimuat pada surat muatan yang menyertai barang tersebut.

54 Ibid.


(31)

Walaupun ada kemungkinan bagi pengangkut untuk menjanjikan bahwa ia sama sekali tidak bertanggungjawab tetapi hal seperti itu jarang terjadi, sebab para pengirim akan memilih pengangkut yang mau bertanggungjawab. Dengan demikian, jika ada sama sekali tidak bertanggungjawab atas barang yang diangkut, akan mengakibatkan kehilangan langganannya, sehingga akan merugikan perusahaan sendiri.

B. Pembatasan Pertanggungjawaban Pengangkut

Masalah tanggungjawab akan senantiasa aktual dalam rangka perlindungan hukum bagi pemakai jasa angkutan dan pihak-pihak yang mungkin menderita kerugian sebagai akibat dari kegiatan pengangkutan dengan angkutan melalui jalan raya.

Dalam Pasal 1365 KUHPerdata bahwa barang siapa menimbulkan kerugian pada pihak lain karena perbuatannya yang melawan hukum wajib mengganti kerugian tersebut. Demikian juga halnya didalam pengangkutan, baik terhadap penumpang maupun terhadap pengirim atau penerima barang.

Sebagai pengangkut, perusahaan dalam mengadakan perjanjian dengan pihak lain (pengirim atau pemilik barang) ada beberapa hal yang bukan menjadi tanggungjawab pihak pengangkut, artinya apabila kemudian timbul kerugian yang bukan menjadi tanggungjawab ganti rugi tersebut.

Pengangkut dalam hal-hal tertentu dapat terbebas dari tanggungjawab atas keselamatan barang muatannya. Hal-hal yang membebaskan perusahaan pengangkut dari tanggungjawab ganti rugi yaitu :

a. Pengangkut bertanggungjawab tentang pelaksanaan pengangkutan barang yang diterima untuk dikirim sampai saat penyerahannya kepada penerima, kecuali : 1. Barang-barang yang dilarang oleh pemerintah untuk diangkut.

2. Barang yang dikirim tidak mentaati peraturan-peraturan perusahaan pengangkutan.


(32)

3. Tidak sempurnanya pengepakan barang oleh pemilik. 4. Cacat bawaan, kualitas atau sifat buruk dari barang.

b. Pertanggungjawaban perusahaan pengangkutan adalah mengenai barang kiriman hilang atau rusak. Kecuali jika hilang atau rusaknya bukan karena kesalahan perusahaan pengangkutan atau kerusakan pegawainya.

c. Sepanjang perusahaan pengangkutan masih mengadakan perjanjian asuransi maka kerusakan atau kehilangan barang yang disebabkan oleh keadaan memaksa atau overmacht seperti kendaraan terbakar, banjir dan tanah longsor, maka yang memberikan ganti rugi adalah PERUM A.K. JASA RAHARJA.

Bila ditinjau dari Pasal 91 KUH Dagang, pengangkut terbebas dari tanggungjawab apabila kerugian diakibatkan oleh :

1. Cacat pada barang itu sendiri. 2. Karena keadaan memaksa

3. Karena kesalahan atau kealpaan si pengirim.

Dalam praktek, tanggungjawab perusahaan pengangkutan dalam menyelenggarakan pengangkutan barang, diberikan dalam hal :

1. Kehilangan atau kerusakan sebagian atau seluruhnya

Kehilangan barang baik sebagian atau keseluruhan, maka dapat dimintakan ganti rugi dengan syarat kekurangan atau kehilangan barang tersebut dapat diketahui oleh pengangkut bahwa kehilangan atau kerusakan barang itu karena kelalaian pengangkut, maka pihak pengangkut memberi ganti rugi sebesar sepuluh kali ongkos kirim, seperti yang tercantum dalam surat muatan.

2. Keterlambatan pengiriman

Dalam halnya keterlambatan pengiriman yang diakibatkan oleh suatu peristiwa yang tidak pasti, maka pengangkut tidak akan menanggung kerugian yang diderita oleh pengirim atau pemilik barang. Namun bila keterlambatan itu karena kelalaian


(33)

petugas, maka perusahaan pengangkutan harus memberi ganti rugi kepada pengirim atau pemilik barang, asalkan mereka dapat mengajukan tuntutan ganti rugi dan dapat dibuktikan langsung bahwa itu merupakan kelalaian petugas.

Dan ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh perusahaan pengangkutan seperti yang telah disebutkan di atas, adalah merupakan pembatasan tanggungjawab dari pihak-pihak pengangkut. Maka ketentuan tersebut mengikat kedua belah pihak baik pihak pengangkut maupun pihak pengirim atau pemilik barang.

Perusahaan pengangkutan bertanggungjawab terhadap barang sejak diterimanya barang dari si pengirim sampai barang itu diterima oleh penerima di tempat tujuan. Hal ini dilaksanakan oleh perusahaan pengangkutan selaku pengangkut dan untuk memberikan pelayanan yang baik kepada semua pelanggan. Walaupun perusahaan pengangkutan telah mengasuransikan tanggungjawabnya kepada pihak asuransi, bukan berarti perusahaan pengangkutan bebas dari segala tanggungjawabnya, namun dengan mengasuransikan tanggungjawabnya tujuannya adalah untuk mengurangi beban tanggungjawab selaku pengangkut, jika timbul kerugian yang besar yang diderita oleh si pengirim atau pemilik barang.

Pada prinsipnya pihak pengangkut bertanggungjawab terhadap kerugian yang diderita oleh pemilik barang, kecuali dapat dibuktikan bahwa :

1. Kerugian tersebut diluar kesalahan atau kelalaian pengangkut. 2. Kelalaian atau kealpaan pihak pengirim.

3. Apabila pengangkut terhalang karena suatu keadaan memaksa.

4. Pada waktu pemuatan, pemberangkatan atau pelaksanaan pengangkutan menimbulkan banyak kesukaran.

Selanjutnya, apabila dikaitkan dengan pertanggungjawaban perusahaan menurut Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dalam Pasal 97 ayat


(34)

(3) ditegaskan bahwa setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya.

Lebih lanjut dalam Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dijelaskan bahwa :

Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:

a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

b, telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;

c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya

kerugian tersebut.55

Dari uraian-uraian tersebut maka perusahaan pengangkutan akan terbebas dari tanggungjawab terhadap barang yang diangkutnya, bila merupakan kelalaian pengirim, keadaan memaksa dan pengangkutan yang menyalahi peraturan yang dikeluarkan perusahaan pengangkutan. Pembatasan tanggungjawab terjadi pada pembayaran ganti kerugian kepada pemilik barang, dimana pembayaran ganti rugi yang diberikan terhadap barang-barang yang rusak atau hilang hanya diganti sebesar sepuluh kali ongkos kirim.

Apabila dihubungkan dengan prinsip tanggungjawab pengangkut, maka perusahaan pengangkutan menganut prinsip tanggungjawab karena praduga yaitu pengangkut selalu bertanggungjawab atas setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya, tetapi jika pengangkut dapat membuktikan ia tidak bersalah, maka ia dibebaskan dari kerugian. Yang dimaksud tidak bersalah adalah

55 Pasal 97 ayat ayat (5) Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.


(35)

”tidak melakukan kelalaian, telah mengambil tindakan yang perlu untuk menghindari kerugian atau peristiwa yang menimbulkan kerugian”. 56

C. Pengaturan Ganti Rugi Yang Diberikan Pihak Pengangkutan Dalam Perjanjian Pengangkutan Barang

Dalam setiap kegiatan pengangkutan tidak terlepas dari berbagai masalah, terutama tentang resiko-resiko yang terjadi selama perjanjian pengangkutan yang disebabkan oleh kesalahan/kelalaian ataupun keadaan memaksa (force majeure) yang dialami oleh perusahaan pengangkut.

Setiap resiko-resiko yang terjadi akibat kesalahan/kelalaian pengangkut maka pihak pengangkut wajib mengganti rugi akibat kerugian yang diderita oleh pengirim barang, resiko akibat kesalahan/kelalaian pengangkut tersebut dimaksud yaitu barang rusak, barang hilang, terlambat pengiriman barang dan sebagainya.

Perusahaan pengangkutan akan menanggung ganti rugi sesuai perjanjian pengangkutan yang dilakukan oleh pihak pengangkut dengan pengirim barang dan kerugian itu disebabkan oleh kelalaian/kesalahan pengangkut, dengan itu pihak pengangkut harus cermat dalam pengepakan barang yang akan dikirim apabila tidak maka pengangkut bisa lepas dari tanggungjawab akibat kesalahan pengirim itu sendiri.

Dalam hal melaksanakan pengangkutan, pihak pengangkut akan melaksanakan usaha-usaha untuk menghindari terjadinya resiko dalam melaksanakan pengangkutan yakni :

a. Pihak pengangkut akan menaati peraturan hukum yang berlaku di wilayah yang dijalani, mendaftarkan perusahaan tersebut agar perusahaan pengangkutan tersebut menjadi perusahaan yang legal dan berbadan hukum

56 Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hal. 28.


(36)

(misalnya PT), menaati undang-undang angkutan darat, agar perusahaan pengangkutan tersebut terhindar dari berbagai masalah.

b. Perusahaan pengangkutan akan memilih barang-barang yang akan diangkutnya, denan ini pihak pengirim diharuskan memberitahukan isi barang yang diangkutnya untuk terhindar dari resiko dan agar perusahaan perusahaan pengangkutan bisa lebih berhati-hati, tetapi kendala yang terjadi pengirim jarang memberitahu isi barang tersebut dikarenakan takut akan biaya angkut lebih mahal, pengangkut tidak menerima barang-barang yang mudah meledak atau yang dapat membahayakan bagi pegawai (supir truk) yang akan mengangkut barang tersebut.

c. Pihak pengangkut juga melihat faktor intern yakni truk yang dipakai, supir dan hal lain dalam pengangkutan tersebut dan pihak pengangkut akan mengasuransikan truk yang dipakai serta pegawai, untuk menghindari resiko yang lebih besar lagi.

Dalam prakteknya, sebelum adanya klaim dari pengirim kepada pihak pengangkut, maka pelaksanaan ganti rugi belum bisa dilaksanakan. Pengajuan klaim ini merupakan tahap awal dari proses pelaksanaan ganti rugi. Setelah itu pengangkut akan melaksanakan ganti rugi tersebut sesuai dengan perjanjian yang disepakati, dimana perjanjian tersebut berguna untuk mengetahui bentuk ganti rugi yang diberikan kepada pengirim dimaksud, setelah itu pengirim mengambil langkah untuk mengajukan klaim atas kerusakan barangnya dengan melampirkan: 57

1. Foto copy KTP

57 Hasil wawancara dengan pihak pengangkut (PT. Komol Transport).


(37)

2. bukti pengiriman barang 3. jenis barang

Setelah itu pihak pengangkut akan melihat mengenai barang rusak atau hilangnya barangnya tersebut untuk menentukan jumlah ganti rugi, apabila barang tersebut hilang atau rusak akibat diluar kuasa manusia, misalnya bencana alam, kerusuhan dan lain sebagainya maka pihak pengangkut dibebaskan dari tanggungjawab pembayaran ganti rugi, tetapi apabila kerusakan atau hilangnya barang tersebut akibat kelalaian pengangkut, maka pihak pengangkut harus mengganti rugi atas kerugian yang diderita oleh pengirim atau pihak ketiga.

Dalam hal ganti rugi ini, pengangkut maupun pengirim barang terlebih dahulu menyepakati perjanjian pengangkutan tersebut agar tidak ada pihak yang dirugikan. Biasanya pengangkut akan mengganti rugi barang yang hilang dengan sepuluh kali lipat ongkos kirim atau pihak pengangkut mengasuransikan truk barang yang akan diangkut dimana hal tersebut sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak dan apabila pihak pengirim setuju dengan pengasuransian tersebut maka pihak pengangkut melakukan perjanjian dengan pihak asuransi.

Tenggang waktu ganti rugi yang ditentukan oleh pihak pengangkut adalah selama 3 (tiga) kali 24 (dua puluh empat) jam pada saat penerimaan barang, apabila tidak ada pengaduan atau tuntutan ganti rugi kepada pihak pengangkut, maka pihak pengangkut tidak bertanggungjawab atas pengaduan atas kerusakan barang tersebut. Pengaduan atas kerusakan atau kerugian yang diderita oleh pengirim tersebut harus dapat dibuktikan oleh pengirim bahwa kerusakan itu merupakan kesalahan pihak pengangkut itu sendiri.


(38)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Tanggungjawab tentang pelaksanaan perjanjian pengangkutan barang oleh perusahaan pengangkutan dimulai pada saat diterimanya barang oleh pengangkut sampai diserahkannya barang tersebut kepada si pemilik atau si penerima barang. Pengangkut bertanggungjawab atas kerugian yang timbul dari akibat-akibat yang menyebabkan barang-barang yang diangkutnya terjadi kerusakan atau musnah dan harus mengganti kerugian yang terjadi atas kerusakan pada barang itu. Tanggungjawab pengangkut dapat ditiadakan apabila ia dapat membuktikan bahwa kerugian itu timbul sebagai akibat dari cacat pada barang itu sendiri atau kesalahan dan kealpaan si pengirim, keadaan memaksa sebagaimana ditentukan dalam Pasal 91 KUHD.

Oleh karena pengangkutan barang mempunyai resiko yang cukup besar, untuk itu perusahaan pengangkutan mengasuransikan tanggungjawabnya kepada pihak asuransi.

2. Karena adanya tanggungjawab yang sangat besar pada perjanjian pengangkutan maka biasanya diusahakan adanya pembatasan tanggungjawab. Dan pembatasan tanggungjawab tersebut oleh undang-undang tidak dilarang, karena ketentuan seperti ini tidak bersifat memaksa asal tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Dimana biasanya ketentuan tanggungjawab itu dimuat pada surat muatan yang menyertai barang tersebut.

Pada prinsipnya pihak pengangkut bertanggungjawab terhadap kerugian yang diderita oleh pemilik barang, kecuali dapat dibuktikan bahwa :


(39)

a. Kerugian tersebut diluar kesalahan atau kelalaian pengangkut. b. Kelalaian atau kealpaan pihak pengirim.

c. Apabila pengangkut terhalang karena suatu keadaan memaksa.

d. Pada waktu pemuatan, pemberangkatan atau pelaksanaan pengangkutan menimbulkan banyak kesukaran.

3. Ganti rugi ini yang diberikan oleh pihak pengangkut dalam hal pengangkut wanprestasi terhadap perjanjian pengangkutan barang yakni dengan memberikan ganti rugi barang yang hilang dengan sepuluh kali lipat ongkos kirim atau pihak pengangkut mengasuransikan truk barang yang akan diangkut dimana hal tersebut sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak dan apabila pihak pengirim setuju dengan pengasuransian tersebut maka pihak pengangkut melakukan perjanjian dengan pihak asuransi. Tenggang waktu ganti rugi yang ditentukan oleh pihak pengangkut adalah selama 3 (tiga) kali 24 (dua puluh empat) jam pada saat penerimaan barang, apabila tidak ada pengaduan atau tuntutan ganti rugi kepada pihak pengangkut, maka pihak pengangkut tidak bertanggungjawab atas pengaduan atas kerusakan barang tersebut. Pengaduan atas kerusakan atau kerugian yang diderita oleh pengirim tersebut harus dapat dibuktikan oleh pengirim bahwa kerusakan itu merupakan kesalahan pihak pengangkut itu sendiri.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, kiranya dapat disampaikan beberapa saran sebagai berikut :

1. Melihat begitu pentingnya sektor pengangkutan darat dalam menunjang pembangunan nasional maka perlu kiranya dibuat suatu ketentuan hukum yang mengatur tentang pengangkutan darat pada umumnya dan pengangkutan barang pada khususnya.


(40)

2. Agar dalam pelaksanaan pengangkutan barang antara pengangkut dan pengirim didasarkan pada perjanjian pengangkutan yang tertulis, walaupun dalam undang-undang sudah dinyatakan bahwa dengan perjanjian secara lisan sudah sah. Ini berguna supaya segala hak dan kewajiban para pihak dapat dicantumkan dalam perjanjian tertulis tersebut, sehingga apabila terjadi wanprestasi oleh salah satu pihak maka akan lebih mudah diselesaikan.

3. Adanya pembatasan tanggungjawab dari pengangkut yang telah diatur dalam undang-undang dan peraturan yang dikeluarkan oleh perusahaan pengangkutan, diharapkan tidak menjadi alasan bagi perusahaan pengangkutan untuk melepaskan tanggungjawabnya begitu saja kepada pengguna jasa angkutan yang merasa dirugikan. Adanya pembatasan tanggungjawab tersebut dimaksud agar pengangkut dapat membuktikan terlebih dahulu bahwa kerugian yang diderita oleh si pengirim atau pemilik barang adalah akibat dari kelalaian dari pihak pengangkut.


(41)

BAB II

PIHAK-PIHAK YANG TERKAIT DALAM ANGKUTAN DARAT

A. Pengangkutan dan Pengaturan Hukumnya

Pengangkutan adalah berasal dari kata “angkut” yang berarti mengangkut dan membawa, sedangkan istilah pengangkutan dapat diartikan sebagai pembawa barang-barang atau orang-orang (penumpang). 7 Pengangkutan adalah perpindahan tempat, baik mengenai benda-benda maupun orang, karena perpindahan itu mutlak diperlukan untuk mencapai dan meninggikan manfaat serta efisien. 8 Sedangkan hukum pengangkutan adalah sebuah perjanjian timbale balik, yang mana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau orang ke tempat tujuan tertentu, sedangkan pihak lainnya, yaitu pengirim barang, penerima barang dan penumpang wajib menunaikan pembayaran biaya tertentu untuk pengangkutan tersebut.

Adapun arti hukum pengangkutan jika ditinjau dari segi keperdataan dapat diartikan sebagai keseluruhan peraturan-peraturannya, di dalam dan di luar kodifikasi yang berdasarkan atas dan bertujuan untuk mengatur hubungan-hubungan hukum yang terbit karena keperluan pemindahan barang-barang dan/atau orang-orang dari suatu tempat ke tempat lain untuk memenuhi perikatan-perikatan yang lahir dari perjanjian-perjanjian tertentu, termasuk perjanjian-perjanjian-perjanjian-perjanjian untuk memberikan perantaraan mendapatkan. 9

Menurut Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 35 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan dengan Kendaraan Umum, angkutan adalah

7 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, P.N. Balai Pustaka, Jakarta, 2003, hal. 970 8 Sinta Uli, Pengangkutan Suatu Tinjauan Hukum Multimoda Transport Angkutan Laut, Angkutan Darat

dan Angkutan Udara, USU Press, Medan, 2006, hal. 20.

9 Sution Usman Adji, Djoko Prakoso, dkk, Hukum Pengangkutan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 6.


(42)

perpindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan.

Keberadaan angkutan umum bertujuan untuk menyelenggarakan angkutan yang baik dan layak bagi masyarakat. Ukuran pelayanan yang baik dan layak antara lain mencakup pelayanan yang aman, nyaman, cepat dan biaya murah.

Dari pengertian-pengertian yang telah diuraikan tersebut dapat diperoleh suatu kesimpulan bahwa pada pokoknya pengangkutan merupakan perpindahan tempat, baik mengenai benda-enda maupun mengenai orang-orang, karena perpindahan itu mutlak diperlukan untuk mencapai dan meninggikan manfaat serta efisiensi.

Dalam buku III KUH Perdata berbagai bentuk perjanjian, dimana perjanjian tersebut memiliki nama tertentu seperti jual-beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, dan sebagainya. Berhubung karena adanya asas kebebasan untuk melakukan perjanjian, asal tidak bertentangan dengan undang-udang, kesusilaan dan ketertiban umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1337 dan Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata, Didalam praktek banyak digolongkan perjanjian yang diluar Buku III KUH Perdata, termasuk salah satu bentuk perjanjian pengangkutan, tetapi perjanjian pengangkutan ini tetap tunduk dalam KUH Perdata, hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 1319 KUH Perdata baik mempunyai nama khusus maupun yang tidak bernama tunduk kepada KUH Perdata.

Syarat sah perjanjian pengangkutan cukup memenuhi syarat sah perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dalam pembentukan perjajian pengangkutan ini tidak harus tertulis tetapi cukup dengan lisan, asal ada persetujuan kehendak atau konsensus sesuai dengan asas konsesualitas dalam KUH Perdata.

Dalam pengangkutan barang, maka terjadinya kesepakatan antara pengangkut dengan pengirim barang baik jenis, banyaknya barang serta ongkos kiri barang tersebut, maka saat itu perjanjian pengangkutan telah ada.


(43)

Dalam perkembangan dan kemajuan akan lalu lintas perdagangan dewasa ini, serta hubungan dari suatu daerah kedaerah lain khususnya wilayah Indonesia, maka akan meningkatlah hasrat untuk hubungan dalam dunia perdagangan, dengan akan meningkatnya akan hubungan dagang tersebut sangatlah memerlukan sarana pendukung untuk mempelancar akan hubungan dagang dengan menyediakan sarana angkutan darat atau pengangkutan yaitu seperti: truk, bus, dan lain-lain.

Pengangkutan ini mempunyai peran penting dalam kontrak perdagangan, hal ini dapat menentukan maju atau mundurnya suatu tingkat ekonomi masyarakat atau daerah tersebut. Pengangkutan mutlak dilakukan dalam menjalankan dunia perdagangan, dan akan menaikan akan manfaat dan efisiensi akan barang, menambah lapangan kerja dan meningkatkan hubungan konsumen dan produsen. Kegiatan akan pengangkutan tersebut tidak bisa dipisahkan dalam menjalankan aktifitas perdanganan.

“Pengangkutan adalah sebuah perjanjian timbal balik, pada masa mana pihak pengangkut mengikat diri untuk menyelenggarakan barang dan/ orang ketempat tujuan, sedangkan pihak lainnya (pengirim-penerima; pengirim atau penerima; penumpang) berkeharusan untuk menunaikan pembayaran biaya tertentu untuk pengangkutan tersebut”.10

Kemudian istilah pengangkutan menurut Abdulkadir Muhammad adalah meliputi tiga dimensi pokok yaitu: pengangkutan sebagai usaha (business); pengangkutan sebagai perjanjian (agreement); dan pengangkutan sebagai proses (process).11

Pengangkutan sebagai usaha (business) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : a) Berdasarkan perjanjian.

b) Kegiatan ekonomi dibidang jasa.

10 Ibid, hal. 6.


(44)

c) Berbentuk perusahaan.

d) Menggunakan alat pengangkutan mekanik.

Pengangkutan sebagai proses (process) yaitu: serangkaian perbuatan mulai dari pemuatan ke dalam alat angkut, kemudian dibawa menuju ke tempat ditentukan, dan pembongkaranatau penurunan ditempat tujuan. Sedangkan pengangkutan sebagai perjanjian (agreement), pada umumnya bersifat lisan tetapi selalu didukung oleh dokumen pengangkutan.

Kemudian Abdulkadir Muhammad mengatakan menglafikasikan asas-asas pengangkutan yang merupakan landasan filosofis menjadi dua, yaitu: 12

a) Asas yang bersifat publik; b) Asas yang bersifat perdata;

Asas yang bersifat publik merupakan landasan hukum pengangkutan yang berlaku bagi semua pihak yaitu pihak-pihak dalam pengangkutan, pihak ketiga yang berkepentingan dengan pengangkutan dan pihak pemerintah (penguasa), sedangkan asas yang bersifat perdata yaitu merupakan landasan hukum pengangkutan yang bersifat perdata yang berlaku dan berguna bagi pihak kedua belah pihak dalam pengangkutan niaga, yaitu pengangkut, dan penumpang atau pengirim barang.

Fungsi akan pengangkutan tersebut lebih lanjut H.M.N. Purwosutjipto mengatakan : “Memindahkan barang atau orang dari satu tempat ketempat lain dengan maksud untuk meningkatkan guna dan nilai”.13 Yang menjadi dasar sasaran dan fungsi dari pengangkutan adalah dengan dilakukannya pengangkutan itu maka barang yang diangkut itu akan meningkat daya guna dan nilai ekonomis dari barang tersebut, sedangkan bagi penumpang kegiatan pengangkutan tersebut mempunyai fungsi bukan 11 Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hal.

12-13

12 Ibid, hal. 16-17

13 H.M.N Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid 3, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2001. hal. 1


(45)

hanya dari kegiatan perdagangan saja, tetapi juga kebutuhan dan kegiatan masyarakat tersebut.

Dengan melihat dari dasar sasaran dan fungsi pengangkutan, Soegijatna Tjakranegara mengatakan bahwa danya jasa diproduksi yang diperlukan masyarakat, maka akan memenuhi kepentingan pokok menimbulkan Please Utility dan Time Utility yang sangat bermanfaat.

a. Please Utility

Menimbulkan nilai dari suatu barang tetrtentu karena dapat dipindahkan, dari tempat dimana barang yang berkelebihan kurang diperlukan di tempat lain karena langka. Dalam perkataan lain, bahwa di daerah dimana barang itu dihasilkan dalam jumlah berkelebihan nilainya akan turun. Tetapi dengan dipindahkan, dikirim barang terse but kedaerah lain maka harga kebutuhan dapat disamaratakan.

b. Time Utility

Menimbulkan sebab karena barang-barang dapat diangkut atau dikirim dari suatu tempat ketempat lain atau barang yang sangat dibutuhkan menurut waktu dan kebutuhan. 14

Dalam pengangkutan kita bisa melihat siapa saja yang menjadi pihak yang terkait dalam perjanjian pengangkutan, menurut Hasim Purba dalam perjanjian pengangkutan barang pihak yang terkait terdiri dari:

1) Pihak pengangkut (penyedia jasa angkutan), yakni pihak yang berkewajiban memberikan pelayanan jasa angkutan, barang dan berhak atas penerimaan tarif angkutan sesuai yang telah diperjanjikan

2) Pihak pengguna barang (pengguna jasa angkutan) yakni pihak yang berkewajiban untuk membayar kewajiban tarif angkutan sesuai yang telah disepakati dan berhak memperoleh pelayanan jasa angkutan atas barang dikirimnya

3) Pihak penerima barang (pengguna jasa angkutan) yakni sama dengan pihak pengrim barang dalam hal ini penerima dan pengirim adalah merupakan subjek berbeda. Namun ada kalanya pihak pengirim barang juga sebagai pihak penerima barang yang diangkut ketempat tujuan. 15

Sedangkan dalam hal penumpang, maka pihak yang terkait adalah:

14 Soegijatna Tjakranegara, Hukum Pengangkutan Barang dan Penumpang, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hal. 1

15 Hasim Purba, Hukum Pengangkutan Di Laut, Perspektif Teori dan Praktek, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2005, hal. 3.


(46)

1) Pihak pengangkut (penyedia jasa angkutan) yakni pihak yang berkewajiban memberikan jasa pelayanan jasa angkutan penumpang dan berhak atas penerima pembayaran tarif (ongkos) angkutan sesuai yang ditetapkan. 2) Pihak penumpang (pengguna jasa angkutan) yakni pihak yang berhak

mendapatkan pelayanan jasa angkutan penumpang dan berkewajiban untuk membayar tarif (ongkos) angkutan sesuai yang ditetapkan. 16

Dalam peningkatan permintaan jasa angkutan oleh masyarakat harus diimbangi dengan sistem penyelenggaraan angkutan yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat secara terpadu. Adapun jenis-jenis pengangkutan dalam pengangkutan barang maupun penumpang yakni :

1. Pengangkutan Darat

Pengangkutan darat dapat dilakukan dengan beberapa jenis yaitu dengan kendaraan bermotor di jalan raya maupun kereta api. Adapun yang dapat diangkut melalui angkutan darat adalah barang dan orang, sedangkan sifatnya dari pengangkutan darat itu sendiri adalah fleksibel, luwes dan praktis serta tidak banyak formalitasnya.

Peraturan pengangkutan barang secara umum melalui darat ada diatur dalam buku I bab ke-5 bagian ke-3 KUH Dagang, mengatur secara umum tentang pengangkutan barang saja yang menegaskan tentang pengangkutan yang melalui darat dan nahkoda-nahkoda yang melayari sungai-sungai di pedalaman termasuk terusan dan danau.

Adapun peraturan-peraturan yang mengatur tentang pengangkutan melalui darat, antara lain:

1. Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tenatang lalu lintas dan angkutan jalan. Undang tersebut dilengkapi dengan beberapa peraturan pelaksana:

a. Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 1993 tentang Angkutan Jalan Umum; b. Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 1993 tentang Pemeriksaan dan

Kendaraan bermotor di jalan;

16 Ibid, hal. 4.


(1)

KATA PENGANTAR

Dengan segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kemurahan dan rahmatNya yang diberikan kepada penulis. Adapun judul skripsi yang penulis kemukakan : “TINJAUAN HUKUM TENTANG TANGGUNGJAWAB PERUSAHAAN JASA MUATAN DALAM PROSES ANGKUTAN BARANG MELALUI DARAT (STUDI PADA PT. KOMOL TRANSPORT)”.

Masalah tanggungjawab akan senantiasa aktual dalam rangka perlindungan hukum bagi pemakai jasa angkutan dan pihak-pihak yang mungkin menderita kerugian sebagai akibat dari kegiatan pengangkutan dengan angkutan melalui jalan raya. Apabila dihubungkan dengan prinsip tanggungjawab pengangkut, maka perusahaan pengangkutan menganut prinsip tanggungjawab karena praduga yaitu pengangkut selalu bertanggungjawab atas setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya, tetapi jika pengangkut dapat membuktikan ia tidak bersalah, maka ia dibebaskan dari kerugian.

Adapun skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi tugas-tugas dan melengkapi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, karena masih banyak hal-hal yang tidak dapat penulis telaah secara mendalam dan terperinci karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis yang masih jauh dari apa yang diharapkan.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan arahan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada :


(2)

1. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Ibu Rabiatul Syahriah, SH, M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Sinta Uli Pulungan, SH, M.S, selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, saran dan petunjuk kepada penulis.

7. Ibu Aflah, SH,M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah menyediakan waktu untuk memberikan saran dan petunjuk serta sabar dalam membimbing penulis selama penulisan skripsi ini.

8. Ibu Yefrizawati, SH, M.um selaku Dosem Pembimbing Akademik penulis yang telah membimbing, memberi saran dan arahan selama penulis menjalani


(3)

11.Yang teristimewa untuk kedua orang tua penulis yang tersayang, H. Mulyono, SP dan Hj. Nuraini yang telah mendedikasikan kasih saying, bimbingannya sejak penulis kecil hingga sekarang.

12.Buat abang Sigit Maulana, SP, kakak dr. Tuti Amelia dan Yulia Indriani, SH dan yang lain saudara-saudaraku y0ang tidak bisa disebut satu persatu, yang telah banyak membantu dan mendukung sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

13.Buat sahabat-sahabatku Ricky Andre Putra, Satrio Prastio, Josua, Rizky Radhian, Saddam Shauqi, Doli Pratama yang telah banyak meluangkan waktu selama pengerjaan skripsi ini dan memberi saran dalam menyelesaikan skripsi ini.

14.Buat teman-teman stambuk ’08, Hasan Haffif, Rizky Prabowo, Adyatma Murdhani, Erwan, senang bertemu kalian semua, dan teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga Allah SWT selalu memberikan kelimpahan kasih sayangNya dan karuniaNya agar dapat menjadi orang bermanfaat bagi penulis dan siapa saja yang memerlukannya.

Medan, Oktober 2013 Hormat Penulis


(4)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 3

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 4

D. Tinjauan Kepustakaan ... 5

E. Metode Penelitian ... 8

F. Keaslian Penulisan ... 9

G. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II PIHAK-PIHAK YANG TERKAIT DALAM ANGKUTAN DARAT ... 12

A. Pengangkutan Dan Pengaturan Hukumnya ... 12

B. Pihak-pihak Yang Terkait Dalam Angkutan Darat ... 22


(5)

B. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Ketentuan Undang-

undang No. 22 Tahun 2009 ... 31

C. Tanggungjawab Pengangkut Dalam Hal Terjadi Kecelakaan ... 34

BAB IV TANGGUNGJAWAB PENGANGKUT DALAM PROSES ANGKUTAN BARANG MELALUI ANGKUTAN DARAT ... 37

A. Tanggungjawab Pengangkut Dalam Proses Pengangkutan Barang ... 37

B. Pembatasan Pertanggungjawaban Pengangkut ... 56

C. Pengaturan Ganti Rugi yang Diberikan Pihak Pengangkut Dalam Perjanjian Pengangkutan Barang ... 60

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 63

A. Kesimpulan ... 63

B. Saran ... 64 DAFTAR PUSTAKA


(6)

ABSTRAK

Fikri Hamdani  Sinta Uli P. SH, M.Hum **)

Aflah, SH, M.Hum ***)

Peranan transportasi sangat penting dalam penyelanggaraan pengangkutan barang, khususnya transportasi angkutan jalan raya(darat), peranan pengangkutan tersebut bersifat mutlak untuk mempelancar arus perdagangan. Dalam objek perjanjian pengangkutan itu dimulai pada saat diserahkannya barang tersebut kepada pengangkut, maka penguasaan dan pengawasan atas barang tersebut ditanggung pengangkut. Namun dalam penyelenggaraan pengangkutan barang melalui darat atau kendaraan bermotor tidak selamanya didalam penyelenggaraan pengangkutan barang berjalan lancar, karena ada kalanya dalam penyelenggaraan pengangkutan barang ada hal tidak direncanakan atau ada resiko, seperti barang rusak, hilang, keterlambatan, ataupun terjadi keadaan memaksa(force majure) yang dapat membebaskan pengangkut dari tanggung jawab.

Permasalahan yang dikemukakan dalam skripsi ini adalah: mengenai tanggung jawab hukum pengangkut dalam menyelenggarakan pengangkutan barang ; pembatasan pertanggungjawaban pengangkut dalam pengangkutan barang dan pemberian ganti rugi yang diberikan oleh pihak pengangkut dalam hal pengangkut wanprestasi terhadap perjanjian pengangkutan barang tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research).

Kesimpulannya adalah : Tanggungjawab tentang pelaksanaan perjanjian pengangkutan barang oleh perusahaan pengangkutan dimulai pada saat diterimanya barang oleh pengangkut sampai diserahkannya barang tersebut kepada si pemilik atau si penerima barang. Pada prinsipnya pihak pengangkut bertanggungjawab terhadap kerugian yang diderita oleh pemilik barang, kecuali dapat dibuktikan bahwa : kerugian tersebut diluar kesalahan atau kelalaian pengangkut, kelalaian atau kealpaan pihak pengirim, apabila pengangkut terhalang karena suatu keadaan memaksa, pada waktu pemuatan, pemberangkatan atau pelaksanaan pengangkutan menimbulkan banyak kesukaran sebagaimana ditentukan dalam Pasal 91 KUHD. Ganti rugi yang diberikan oleh pengangkut yang wanprestasi yakni ganti rugi barang yang hilang dengan sepuluh kali lipat ongkos kirim dengan tnggang waktu klaim selama 3 kali 24 jam pada saat penerimaan barang, apabila tidak ada pengaduan atau tuntutan ganti rugi kepada pihak pengangkut, maka pihak pengangkut tidak bertanggungjawab atas pengaduan atas kerusakan barang tersebut.