BAB IV Sejarah Birokrasi di Indonesia
Sejarah perjalanan birokrasi di Indonesia tidak pernah terlepas dari pengaruh sistem politik yang berlangsung. Apapun sistem politik yang diterapkan
selama kurun waktu sejarah pemerintahan di Indonesia, birokrasi tetap memegang peran sentral dalam kehidupan masyarakat. Baik dalam sistem politik sentralistik
maupun sistem politik yang demokratis sekalipun, seperti yang diterapkan di negara-negara maju, keberadaan birokrasi sulit dijauhkan dari aktivitas-aktivitas
dan kepentingan-kepentingan politik pemerintah. Dengan kata lain, birokrasi menjadi sulit melepaskan diri dari jaring-jaring kepentingan politik praktis
1
. Begitupula dengan praktek korupsi di tubuh birokrasi Indonesia tidak tiba-tiba
muncul begitu saja. Namun praktek korupsi saat ini timbul melalui proses yang panjang sejak Era Kerajaan hingga lahirnya Republik Indonesia. Oleh karena itu
penting untuk melihat kesinambungan sejarah yang terjadi saat ini dengan catatan peristiwa di masa lampau.
A. Birokrasi Indonesia Pra Kemerdekaan
Birokrasi di Indonesia telah lama muncul sejak masa Pra-kolonial, yang menonjol pada masa Kerajaan Mataram sebelum abad ke-18. Raja Mataram pada
masa ini memiliki kekuasaan yang tidak terbatas, seperti raja-raja Jawa sebelumnya. Raja merupakan pusat mikrokosmos dan duduk di puncak hirarki
1
Dwiyanto, Agus. Dkk. 2006. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta:Gadjah Mada University Press. Hlm: 9.
status, yang dalam kedudukannya menjadi penghubung mediator antara manusia dengan Tuhan. Karena kedudukan ini maka Pemerintahan Raja dan semua
keputusannya tak dapat dibantah dan ia memiliki kekuasaan tak terbatas
2
. Namun di balik tidak terbatasnya kekuasaan, Raja pada praktiknya tidak
dapat bekerja sendiri. Ia memerlukan alat yang dapat menjadi penghubung dengan rakyat yang dipilih dan dapat dipercaya. Alat ini dapat disebut sebagai birokrasi.
Birokrasi kerajaan paling awal terdiri atas pangeran dan orang-orang kepercayaan yang diangkat dan diberi gelar untuk menunjukkan legitimasi sekaligus untuk
merealisasikan kekuasaannya. Namun pendelegasian kekuasaan ini tidaklah sama dengan bentuk birokrasi modern, karena di sini raja tetap melakukan kontrol yang
ketat
3
. Struktur masyarakat Jawa ketika itu, secara sosiologis, terbagi ke dalam dua
lapisan, yaitu golongan priyayi terdiri atas para pejabat tinggi pusat mulai dari keluarga raja, panglima perang, penasihat raja, dll, dan pejabat daerah mulai dari
bupatiadipati sampai kepala kampung. Sedangkan wong cilik adalah rakyat jelata yang tidak memiliki kekuasaan apa-apa, seperti petani, pedagang, tukang, orang
biasa, dll. Keistimewaan golongan priyayi yaitu mereka bebas melakukan apa pun yang mereka senangi termasuk penguasaan atas keluarga petani oleh pejabat
daerah sebagai kesatuan pajak pemberi upeti dan kerja bakti dan kesatuan militer wajib ikut tuannya dalam peperangan. Lalu hasilnya dikirimkan atau diberikan
langsung kepada pejabat pusat sebagai tanda pengabdiannya. Pola hubungan birokrasi ini digolongkan sebagai patrimonial karena raja merupakan tuan
terti nggi yang semua “kebijakannya” harus dipatuhi tanpa boleh ditentang oleh
pejabatnya dan antara strata jabatan atas sampai terendah juga mengharuskan
2
Sinambela, Lijan Poltak. 2010. Reformasi Pelayanan Publik Teori Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Hlm: 72.
3
Ibid. Hlm: 72-73.