ITTO Training Proceedings, Muara Bulian 4
th
-6
th
May 2006
51
Persiapan Areal Penanaman Sebelum  dilakukan  kegiatan  penanaman,  sebaiknya  dilakukan  “sanitasi”  terhadap
lahan.  Kegiatan ini bertujuan untuk menghilangkan sumber infeksi yaitu kemungkinan adanya serangga dan patogen.  Teknik yang bisa digunakan adalah:
1. Memeriksa tunggul kayu yang tertinggal 2. Membersihkan ranting-ranting dan serasah yang menumpuk
3. Memusnahkan serangga dan pathogen yang ditemukan
Pemilihan dan pengujian benih Benih  adalah  asal  permulaan  rangkaian  pertanaman.    Dalam  pemilihan  benih  perlu
memperhatikan kesehatan, viabilitas dan kekuatan tumbuh.   Oleh karena itu sebelum menyemai  sebaiknya  dilakukan  pemilihan  dan  pengujian  kesehatan  benih  dengan
cara: a.  Pemerikasaan benih kering
Kriteria yang dilihat adalah:
v Adanya  kotoran  selain  benih,  dapat  berupa  kerikil,  kotoran  serangga,  tanah ataupun bagian tanaman
v Kemurniannya v Bagian dari mikroorganisme: spora, miselium, cendawan, lendir, dsb
v Adanya pewarnaan v Adanya perubahan bentuk: benih berkerut, ukuran tidak normal, dsb
b.  Pemeriksaan metoda inkubasi dengan kertas hisap Blotter method Benih  diinkubasikan  didalam  cawan  Petri  yang  telah  diberi  kertas  saring  lembab
selama 1 minggu.  Teknik ini untuk melihat adanya patogen pada benih. c.  Tes Pencucian
Test  ini  hanya  bisa  mendeteksi  spora-spora  yang  ada  di  permukaan  benih  dan memerlukan uji viabilitas spora.
d.  Pengujian gejala kecambah Benih dikecambahkan kemudian diamati pertumbuhan kecambahnya.
Persemaian Kegiatan  menyemai  juga  tidak  lepas  dari  usaha  pencegahan  hama  dan  penyakit.
Tahapan yang perlu dilakukan adalah: 1. Perlakuan  terhadap  media  semai,  sebaiknya  media  dijemur,  diberikan  perlakuan
pestisida; 2. Perlakuan  terhadap  benih,  misalnya  dengan  sterilisasi  permukaan  benih  dengan
klorok atau perendaman dengan pestisida; 3. Pengamatan terhadap perkecambahan benih;
4. Seleksi pemilihan kecambah; 5. Perlakuan pestisida terhadap kecambah yang akan dipindahkan ke polibag; dan
ITTO Training Proceedings, Muara Bulian 4
th
-6
th
May 2006
52 6. Pemberian  kondisi  yang  optimum  terhadap  bibit,  misalnya  naungan,  penyiraman,
pemupukan. Selain  serangga,  binatang  besar  dapat  juga  menjadi  hama,  misalnya  tikus,  bajing,
burung, babi dan rusa.  Bagian tanaman yang yang dirusak adalah:
1.  Daun-daunan 2.  Pucuk dan tunas pohon
3.  Kulit pohon 4.  Batang pohon
5.  Persemaian dan anakan 6.  Biji dan buah
Contoh Bentuk-bentuk Kerusakan a. Penggorok Daun
b. Pemakan Daun
ITTO Training Proceedings, Muara Bulian 4
th
-6
th
May 2006
53
c. Sebagai Sarang dan Makanan
d. Penyakit pada Benih e. Penyakit pada Persemaian
ITTO Training Proceedings, Muara Bulian 4
th
-6
th
May 2006
54
f. Kerusakan Batang
a.  Hama Tikus
Tikus  adalah  binatang  yang  merusak  biji-bijian  dan  mengerat  kulit  dari  anakan  dan tanaman  muda  sampai  mati.    Bagian  yang  dirusak  biasanya  dekat  dengan  tanah
terutama yang berada di dalam tutupan serasah.  Biji dalam persemaian atau tempat- tempat perkecambahan sering mendapat gangguan dari tikus.
b. Hama Babi Babi  adalah  binatang  yang  sering  merusak  biji,  buah,  akar-akar  pohon,  anakan  dan
tanaman  muda.    Perlu  diperhatikan  dalam  sistem  penanaman  tumpangsari  terutama yang  menggunakan  ubi  jalar  dan  singkong,  karena  tanaman  ini  menarik  datangnya
babi hutan. Pencegahan dan pengendalian yang dapat dilakukan ialah dengan :
1.  Mengatur  tempat  tumbuh,  sehingga  makanan  tidak  terlalu  banyak  atau  terlalu sedikit
ITTO Training Proceedings, Muara Bulian 4
th
-6
th
May 2006
55 2.  Membuat perangkap atau jerat
3.  Memberi umpan beracun 4.  Mengadakan perburuan
5.  Mengatur preadornyapemangsa 6.  Memberipembuat pagar, tetapi cara ini mahal
Penyakit Cendawan Akar Putih Penyakit  cendawan  akar  putih,  pohon  yang  terserang  oleh  cendawan  akar  ini  terlihat
pohon  menjadi  layu  dan  merana,    Apabila  serangan  sudah  lanjut  maka  pohon  akan mati.    Biasanya  penularan  melalui  tanah  dengan  cara  kontak  dengan  akar.
Pencegahan dan pengendaliannya dapat dilakukan dengan cara:
1. Menebang  pohon  yang  sakit,  membongkar  tunggak  dan  akarnya  kemudian
dimusnahkan dibakar di tempat itu juga 2.
Untuk  mencegah  penularan  dengan  membuat  selokan  isolasi  sedalam  1-1.5 m mengelilingi pohon yang sakit
3. Akar yang luka sebaiknya ditutupdioles dengan fungisida
4. Menggunakan fungisida pada bekas pohon yang diserang
DAFTAR PUSTAKA
Husaeni,  E.A.,  Kasno,  N.F.  Haneda  dan  O.  Rachmatsjah.  2006.  Pengantar  Hama Hutan  di  Indonesia:  Bio-ekologi  dan  Teknik  Pengendalian.  Departemen
manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Kalshoven,  L.G.E.  1981.  The  Pest  of  Crops  In  Indonesia.  PT.  Ichtiar  Baru  –  Van
Hoeve, Jakarta Neergaard, P. 1977. Seed Pathology.
ITTO Training Proceedings, Muara Bulian 4
th
-6
th
May 2006
40 MODULE PELATIHAN
KOMPOS
Oleh : Iskandar Z. Siregar dan Sri Wilarso Budi R
6
ITTO PROJECT PARTICIPATORY ESTABLISHMENT COLLABORATIVE
SUSTAINABLE FOREST MANAGEMENT IN DUSUN ARO, JAMBI
Serial Number : PD 21003 Rev. 3 F FACULTY OF FORESTRY IPB
2006
ITTO Training Proceedings, Muara Bulian 4
th
-6
th
May 2006
41
Module 6. Kompos
Pendahuluan
Keberhasilan  penanaman  dipengaruhi  oleh  banyak  faktor,  salah  satunya  adalah pemupukan.  Pupuk diberikan kepada tanaman dengan tujuan menambah unsur hara
yang  dibutuhkan.    Unsur  hara  yang  berada  dalam  tanah  dapat  dibagi  menjadi  dua golongan  berdasarkan  jumlah  yang  dibutuhkan  tanaman.    Unsur  hara  yang  banyak
dibutuhkan disebut unsur makro seperti nitrogen N, fosfor P, kalium K, sulfur S, kalsium  Ca  dan  magnesium  Mg.    Sedangkan  unsur  hara  yang  dibutuhkan  dalam
jumlah  sedikit  disebut  unsur  mikro  yang  meliputi  klor  Cl,  mangan  Mn,  besi  Fe, tembaga Cu, seng Zn, boron B dan molibdenum Mo.
Jenis pupuk yang dapat digunakan menurut asal pembuatannya adalah pupuk organik dan  pupuk  anorganikkimia.  Tanaman  yang  sedang  tumbuh  berbeda  kebutuhannya
dengan  tanaman  yang  sedang  berbunga  atau  berbuah.    Penggunaan  bahan-bahan kimia pupuk  an  organik,  pestisida, fungisida  untuk meningkatkan  produksi  pertanian
memang tidak bisa dipungkiri dan telah menunjukkan hasil yang nyata.  Namun dalam jangka  panjang  efek  negatif  yang  dihasilkannya  pun  tidak  kalah  penting  untuk
diperhatikan  terutama  kaitannya  dengan  masalah  kesehatan  manusia  dan lingkungannya.  Mengingat bahaya yang ditimbulkan oleh  pangan yang dihasilkan dari
penggunaan  bahan  kimia,  maka  masyarakat  di  berbagai  negara  terdorong  untuk menggunakan bahan-bahan organik sebagai pupuk.
Pupuk  organik  adalah  pupuk  yang  berasal  dari  pelapukan  sisa-sisa  mahluk  hidup seperti tanaman, hewan serta kotoran hewan.  Pupuk ini umumnya merupakan pupuk
lengkap  dengan  kandungan  unsur  makro  dan  mikro  walaupun  jumlahnya  sedikit. Adapun pupuk organik yang telah dikenal umum antara lain pupuk kandang, kompos,
humus, pupuk hijau dan pupuk burung atau guano. Pupuk Organik
Pupuk organik mempunyai karakteristik umum yaitu:
§  Kandungan  hara  rendah.    Kandungan  hara  pupuk  organik  pada  umumnya rendah  tetapi  bervariasi  tergantung  pada  jenis  bahan  dasarnya.    Kandungan
hara  yang  rendah  berarti  biaya  untuk  setiap  unit  unsur  hara  yang  digunakan relatif lebih mahal.
§  Ketersediaan  unsur  hara  lambat.  Hara  yang  berasal  dari  bahan  organik diperlukan untuk kegiatan mikroba tanah untuk dialihrupakan dari bentuk ikatan
kompleks  organik  yang  tidak  dapat  dimanfaatkan  tanaman  menjadi  bentuk senyawa organik dan anorganik sederhana yang dapat diserap oleh tanaman.
§  Menyediakan hara dalam jumlah terbatas.  Penyediaan hara yang berasal dari pupuk  organik  biasanya  terbatas  dan  tidak  cukup  dalam  menyediakan  hara
yang diperlukan tanaman. Menurut  Primantoro  2001  dan  Sutanto  2002  keuntungan  yang  diperoleh  dengan
memanfaatkan pupuk organik adalah sebagai berikut:
§  Pupuk  organik  berfungsi  sebagai  granulator  sehingga  dapat  memperbaiki struktur tanah.  Adanya bahan organik dapat mengikat butir-butir tanah menjadi
butiran  yang  lebih  besar  dan  remah  sehingga  tanah  menjadi  lebih  gembur. Pada  tanah  yang  bertekstur  pasiran,  bahan  organik  akan  meningkatkan
pengikatan antar-partikel.
ITTO Training Proceedings, Muara Bulian 4
th
-6
th
May 2006
42 §  Daya  serap  tanah  terhadap  air  dapat  meningkat  dengan  pemberian  pupuk
organik karena pupuk organik dapat mengikat air lebih banyak dan lebih lama. §  Pupuk organik dapat meningkatkan kondisi kehidupan di dalam tanah.   Jasad
renik dalam tanah sangat berperan dalam perubahan bahan organik.  Dengan adanya pupuk organik, jasad renik aktif mengurai bahan organik tersebut.  Hal
ini  karena  pupuk  organik  menjadi  energi  bagi  jasad  renik  tersebut  sehingga unsur  hara  dalam  tanah  dapat  diserap  tanaman.    Tanah  yanag  kaya  bahan
organik  akan  mempercepat  perbanyakan  fungi,  bakteri,  mikro  flora  dan  mikro fauna tanah.
§  Unsur  hara  di  dalam  pupuk  organik  merupakan  sumber  makanan  bagi tanaman.    Walaupun  dalam  jumlah  sedikit,  pupuk  organik  mengandung  unsur
yang lengkap dan menjadi sumber unsur hara N, P dan S. Kompos dan Pengomposan
Kompos  merupakan  hasil  pelapukan  dari  berbagai  bahan  yang  berasal  dari  mahluk hidup, seperti daun, cabang tanaman, kotoran hewan dan sampah.  Proses pembuatan
kompos  dapat  dipercepat  dengan  bantuan  manusia  dan  akhir-akhir  ini  kompos  lebih banayak digunakan dibandingkan dengan pupuk kandang karena kompos lebih mudah
membuatnya.    Kandungan  hara  dalam  kompos  sangat  bervariasi  tergantung  dari bahan  yang  dikomposkan,  cara  pengomposan  dan  cara  penyimpanannya.    Kompos
yang baik mempunyai butiran yang lebih halus dan berwarna coklat agak kehitaman. Pengomposan  bukanlah  suatu  ide  atau  hal  yang  baru.  Pengomposan  merupakan
suatu  proses  penguraian  mikrobiologis  alami  dari  bahan  buanganlimbah  atau  bagian dari  tumbuhan.  Saat  ini  proses  pengomposan  dari  berbagai  jenis  limbah  baik  padat
maupun  cair  telah  dikembangkan  hingga  limbah  organik  menghasilkan  suatu  produk akhir  yang  lebih  bernilai.    Teknologi  pengomposan  telah  berkembang  dengan  pesat,
terutama  oleh  mereka  yang  lebih  peduli  terhadap  pelestarian  lingkungan;  karena proses ini dipandang sebagai alternatif terbaik dalam pemanfaatan limbah.  Beberapa
faktor  penting  yang  harus  diperhatikan  dari  proses  pengomposan  adalah  faktor  CN ratio, kadar air, populasi mikroba dan porositas campuran.
Secara  tradisional  pengomposan  dapat  dilakukan  dengan  berbagai  cara.  Proses pengomposan  tradisional  di  Indonesia  umumnya  banyak  dilakukan  dalam  skala  kecil
individual.    Misalnya  terhadap  sampah  organik  atau  sampah  kebun  dengan  cara anaerobik.    Dengan  cara  menimbun  dalam  lubang  di  dalam  tanah  kemudian
menutupnya.    Ada  juga  yang  kadang  menambahkan  urea  sebagai  tambahan  sumber nitrogen  N.  Proses  tersebut  dilakukan  dengan  cara  gali  lubang  tutup  lubang.
Pengomposan  cara  lain,  juga  dalam  skala  kecil  terjadi  secara  alami  terhadap  pupuk kandang yang terus menumpuk di lantai kandang ternak penduduk dan baru dibongkar
setelah  menumpuk  sampai  ketebalan  tertentu.    Namun  kualitas  pupuk  kandang tersebut  masih  kurang  sempurna  dari  segi  keseragaman,  kestabilan,  bau,  tekstur,
kadar air, keberadaan bijian rumput yang belum membusuk dlsb. Skala produksi yang relatif  lebih  besar  dan  komersial  juga  telah  banyak  dilakukan,  dengan  pencampuran
serbuk  gergaji,  sekam  dan  kulit  padi,  daun  bambu  dlsb  dengan  kotoran  dari  pupuk kandang  menjadi  pupuk  kompos.  Cara  ini  yang  banyak  dipasarkan  di  tempat
pembibitan tanaman hias. Di beberapa kawasan real-estate juga ada yang melakukan sebagian  swa-kelola  dari  sampah  organiknya.  Terutama  berasal  dari  pertamanan
umum menjadi produk kompos. Beberapa industri perkebunan, misalnya kelapa sawit, juga mulai serius menangani cara pengomposan untuk mengatasi masalah limbah dari
tandan kosong.
ITTO Training Proceedings, Muara Bulian 4
th
-6
th
May 2006
43 Secara  umum,  gambaran  pengomposan  yang  berlangsung  di  Indonesia  selama  ini,
masih  bertumpu  pada  pemusnahan  sampah  bahan  organik  dan  masih  belum mensosialisasikan  secara  optimal  azas  manfaat  yang  bisa  diambil  dari  proses
pengomposan  tersebut.  Sebelum  era  pembangunan  masa  orde  baru,  proses pengomposan  di  daerah  pedesaan,  terutama  dari  sampah  pertanian,  masih  cukup
populer.  Popularitas  tersebut  semakin  memudar  sejalan  dengan  perkembangan industri  pertanian  yang  relatif  pesat,  terutama  dalam  penggunaan  pupuk  kimia  yang
disubsidi. Faktor yang Mempengaruhi dan Mengontrol Proses Pengomposan
Pada kondisi alami, limbah organik yang ada di permukaan tanah dengan temperatur permukaan  normal  dan  kondisi  aerob  akan  terdekomposisi  secara  lambat.    Proses
dekomposisi alami dapat dipercepat secara buatan dengan cara memperbaiki kondisi proses dekomposisi.  Kondisi dekomposisi optimum dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai optimal yang mengontrol proses pengomposan Sutanto, 2002
No. Parameter
Nilai optimum
1. Ukuran partikel bahan
25 – 40 mm 50 mm untuk aerasi alami dan timbunan panjang
2. Nisbah CN
20 - 40 3.
Kandungan lengas 50-60
4. Keasaman pH
5,0-8,0 5.
Suhu 55
o
C-60
o
C untuk 4-5 hari 6.
Aerasi Secara periodik timbunan di balik
7. Kehalusan bahan
Makin halus makin cepat terdekomposisi 8.
Ukuran timbunan Panjang bervariasi, tinggi 1,5 m dan lebar 2,5 m
9. Aktivator
Tahap  awal  mesofilik  fungi  selulopati,  bakteri penghasil  asam,  suhu  meningkat  40
o
C  bakteri termofilik,  aktinomisetes  dan  fungi,  suhu    70
o
C bakteri  termofilik,  suhu  udara  ambien  bakteri
mesofilik dan fungi Teknologi Mikroorganisme Efektif Teknologi EM
Perkembangan  bioteknologi  di  bidang  pertanian  sudah  bisa  dapat  mengatasi kekurangan  yang  dimiliki  proses  pengomposan  tradisional.    Salah  satu  modifikasi
teknik pengomposan yang telah dikemabangkan dan banyak digunakan saat ini adalah dengan  memanfaatkan  mikroorganisme  efektif  atau  dikenal  dengan  nama  EM
Technology.  Teknologi ini dikembangkan pada tahun 1970-an di Universitas Ryukus, Okinawa,  Jepang  oleh  Prof.  Teruo  Higa.    Teknologi  ini  berbasis  campuran  berbagai
mikroorganisme  yang  selanjutnya  dimurnikan  hingga  diperoleh  tiga  tipe  utama mikroorganisme yang dapat ditemukan di seluruh ekosistem yaitu bakteri asam laktat,
bakteri  fotosintetik,  ragi,  jamur  fermentasi  dan  aktinomicetes.  Ketiganya  dicampur dalam  molasetetes  tebu  atau  media  gula  dan  disimpan  dalam  pH  rendah  pH  3-4
dengan suhu ruangan.  Teknologi ini diperkenalkan ke dunia internasional pada tahun 1989 di Thailand dan pengujian efektifitasnya dilakukan dengan berhasil di 13 negara
Asia  Pasifik.  Saat  ini  produk  teknologi  EM    dibuat  di  hampir  40  negara  dengan menggunakan  mikroorganisme  lokal  dan  tidak  diimpor  dari  Jepang  atau  pun
menggunakan mikroorganisme hasil rekayasa genetika.
ITTO Training Proceedings, Muara Bulian 4
th
-6
th
May 2006
44 Penggunaan  EM  secara  umum  adalah  pada  bidang  pertanian  dan  pengelolaan
lingkungan.  Manfaat  EM  di  kedua  bidang  tersebut  telah  dilaporkan  di  banyak  negara dan  dipresentasikan  pertama  kali  secara  luas  pada  International  Conferences  of
IFOAM  International  Federation  of  Organic  Agriculture  Movements  tahun  1987  dan the International Conferences on Kyusei Nature Farming tahun 1989.
Penggunaan EM pada awalnya adalah untuk pertanian khususnya untuk meningkatkan produktivitas sistem pertanian organik. Pada saat itu EM diaplikasikan langsung pada
bahan organik yang diberikan di lapangan atau pada kompos untuk mengurangi waktu yang  diperlukan  dalam  mempersiapkan  pupuk  biologis.    EM    juga  diberikan  dalam
bentuk  Bokashi  yang  terbuat  dari  limbah  seperti  jerami,  serbuk  gergaji  dengan campuran kaya nitrogen seperti tepung ikan, beras dan gandum.
Keberhasilan  penggunaan  EM  dalam  skala  riset  untuk  meningkatkan  produksi pertanian  banyak  dilaporkan,  seperti  pada  papaya  di  Brazil  Chagas  et  al,  2001,
sayuran  di  New  Zealand  dan  Sri  Lanka  Daly  and  Stewart,  1999,  Sangakkara  and Higa,  2000  dan  apel  di  Jepang  Fujita,  2000.  Peningkatan  produktivitas  dengan  EM
disebabkan oleh banyak faktor yang mencakup pelepasan unsur hara yang lebih besar dari  bahan  organik  yang  dikomposkan  dengan  EM  Sangakkara  and  Weerasekera,
2001,  peningkatan  proses  fotosisntesis  Xu  et  al,  2001  dan  aktivitas  protein Konoplya and Higa, 2001. Hasil penelitian juga memperlihatkan resistensi yang lebih
tinggi  terhadap  stres  air  Xu,  2000,  lebih  besarnya  mineralisasi  karbon  Daly  and Stewart, 1999, peningkatan sifat tanah Hussein et al 2000 dan penetrasi akar yang
lebih  baik  In  Ho  and  Ji  Hwan,  2001  with  the  use  of  EM.  Pengaruh  EM  dalam menopang  pertumbuhan  tanaman  juga  dilaporkan  melalui  pengendalian  hama  dan
penyakit Kremer et al, 2001; Wang et al, 2000. Penggunaan  EM  di  peternakan  juga  dilaporkan  efektif  di  beberapa  negara.    EM
ditambahkan  ke  pakan  serta  disemprotkan  untuk  sanitasi,  seperti  pada  ternak  ayam ataupun babi di Afrika Selatan Hanekon et al, 2001, Safalaoh and 2001.  Dalam hal
ini,  EM  dapat  meningkatkan  aktivitas  fisiologi  pada  hewan  ternak  serta  efisiensi konversi  makanan  yang  lebih  baik  Safalaoh  and  Smith,  2001,  Konoplya  and  Higa,
2000. Metode Pembuatan KomposBokashi
Secara umum pembuatan kompos dapat dilakukan dengan berbagai cara, dan konsep dasar  dari  masing-masing  cara  tersebut  adalah  sama.  Adapun  prosedur  umum  yang
dilakukan  adalah  persiapan,  penyusunan  tumpukan,  pemantauan  suhu  dan kelembaban  tumpukan,  pembalikan  dan  penyiraman,  pematangan,  pengayakan
kompos  serta  pengemasan  dan  penyimpanan.    Dalam  pembuatan  komposbokashi tersebut, potensi bahan bakar berupa daun dari berbagai jenis tumbuhan bawah dapat
menjadi  bahan  utama  yang  diusahakan  waktu  pengomposannya  dipercepat  dengan bantuan teknologi EM .   Sebagai contoh, proses pembuatan untuk 100 kg campuran
bahan  organik  berupa  pakis  Gambar  1  dan  bahan  lainnya  yang  banyak  dijumpai  di lahan-lahan  terbuka  untuk  usaha  perkebunan  dan  hutan  tanaman  dapat  dilakukan
sesuai dengan kondisi setempat, seperti pada Gambar 2.
ITTO Training Proceedings, Muara Bulian 4
th
-6
th
May 2006
45 Gambar 1.   Bahan  baku  pembuatan  kompos  berupa  empat  jenis  pakis  lembiding,
paku, uban dan resam dan proses pembuatan di lokasi demplot.
Gambar 2. Proses pembuatan kompos dengan EM-4 Bokashi
Pakis 80
Adonan dengan kadar air
Pupuk Kandan
g 10
Dedak Bekatul
10 EM 4
100 cc Molase
Gula 25 gram
Air
Proses Fermentasi
Suhu  50
o
C
BOKASHI Bahan Baku
Larutan EM 4
ITTO Training Proceedings, Muara Bulian 4
th
-6
th
May 2006
46
DAFTAR PUSTAKA
Chagas, P R R, Tokeshi, H and Alves, M. C. 2001 Effect of calcium on yield of papaya fruits on conventional and organic Bokashi EM systems. In Proceedings of the
6
th
International  Conference  on  Kyusei  Nature  Farming,  South  Africa,  1999 Senanayake, Y D A and Sangakkara U R Ed In Press
Daly,  M J and Stewart, D. P. C. 1999. Influence of Effective Microorganisms EM on vegetable  production  and  carbon  mineralization  –  A  preliminary  investigation.
Journal of Sustainable Agriculture 14: 15 – 25 Fujita,  M.  2000.  Nature  farming  practices  for  apple  production  in  Japan.  In  Nature
farming and microbial applications. H L Xu et al Ed Journal of Crop Production 3: 119 – 126
Hanekon  D,  Prinsloo,  J  F  and  Schoonbee,  H.  J.  2001.  A  comparison  of  the  effect  of anolyte and EM on the faecal bacterial loads in the water and on fish produced in
pig  cum  fish  integrated  production  units.  In  Proceedings  of  the  6
th
International Conference on Kyusei  Nature Farming, South Africa, 1999 Senanayake, Y D A
and Sangakkara U R Ed In Press\ Hussein, T, Jilani, G M, Anjum, S and Zia, M H. 2000. Effect of EM application on soil
properties.  In  Proceedings  of  the  13
th
International  Scientific  Conference  of IFOAM. Alfoeldi, T et al Ed. FiBL, Basel, Switzerland: 267
Konoplya,  E  F  and  Higa,  T.  2001.  Mechanisms  of  EM  1.  Effect  on  the  growth  and development  of  plants  and  its  application  in  agricultural  production.  In
Proceedings  of  the  6
th
International  Conference  on  Kyusei  Nature  Farming, South Africa, 1999 Senanayake, Y D A and Sangakkara U R Ed In Press
Kremer,  R  J,  Ervin,  E  H,  Wood,  M  T  and  Abuchar,  D.  2001.  Control  of  Sclerotinia homoeocarpa in turf grass using Effective Microorganisms. In Proceedings of the
6
th
International  Conference  on  Kyusei  Nature  Farming,  South  Africa,  1999 Senanayake, Y D A and Sangakkara U R Ed In Press
Murbandono, L HS.  Membuat Kompos. Penebar Swadaya. Jakarta. Primantoro, H.  2001.  Memeupuk Tanaman Buah. Penebar Swadaya. Jakarta.
Safalaoh,  A.  C.  L  and  Smith,  G  A  2001.  Effective  Microorganisms  EM  as  an alternative  to  antibiotics  in  broiler  diets:  Effects  on  broiler  performance,  feed
utilization  and  serum  cholesterol.  In  Proceedings  of  the  6
th
International Conference on Kyusei  Nature Farming, South Africa, 1999 Senanayake, Y D A
and Sangakkara U R Ed In Press Sangakkara,  U.  R.  and  Higa,  T.  2000.  Kyusei  Nature  Farming  and  EM  for  enhanced
smallholder  production  in  organic  systems.  In  Proceedings  of  the  13
th
International Scientific Conference of IFOAM. Alfoeldi, T  et al Ed. FiBL, Basel, Switzerland: 268
Sangakkara,  U  R  and  Weerasekera,  P.  2001.  Impact  of  EM  on  nitrogen  utilization efficiency  in  food  crops.  In  Proceedings  of  the  6
th
International  Conference  on
ITTO Training Proceedings, Muara Bulian 4
th
-6
th
May 2006
47 Kyusei Nature Farming, South Africa, 1999 Senanayake, Y D A and Sangakkara
U R Ed In Press Sutanto,
R. 2002a
Penerapan Pertanian
Organik: Pemasyarakatan
Pengembangannya. Penerbit Kanisius.  Yogyakarta. Sutanto, R. 2002b. Pertanian Organik:  Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan.
Penerbit Kanisius.  Jakarta. Wang,  R,  Xu,  H  L  and  Mridha,  M.  A.  U.  2000.  Phytopthora  resistance  of  organic
fertilized tomato. In Nature farming and microbial applications. H L Xu et al Ed Journal of Crop Production 3: 77 – 84
Xu,  H  L.  2000.  Effect  of  microbial  inoculation,  organic  fertilization  and  chemical fertilization  on  water  stress  resistance  of  sweet  corn.  In  Nature  farming  and
microbial applications. H L Xu t al Ed Journal of Crop Production 3: 223 – 234 Xu, H L, Wang, R, Mridha, M. A. U., Kato, S., Katase, K and Umemura, H. 2001. Effect
of  organic  fertilization  and  EM  inoculation  on  leaf  photosynthesis  and  fruit  yield and  quality  of  tomato  plants.  In  Proceedings  of the  6
th
International  Conference on  Kyusei  Nature  Farming,  South  Africa,  1999  Senanayake,  Y  D  A  and
Sangakkara U R Ed In Press
ITTO Training Proceedings, Muara Bulian 4
th
-6
th
May 2006
34 MODULE PELATIHAN
PEMELIHARAAN
TANAMAN HUTAN
Oleh : Sri Wilarso Budi R
5
ITTO PROJECT PARTICIPATORY ESTABLISHMENT COLLABORATIVE
SUSTAINABLE FOREST MANAGEMENT IN DUSUN ARO, JAMBI
Serial Number : PD 21003 Rev. 3 F FACULTY OF FORESTRY IPB
2006
ITTO Training Proceedings, Muara Bulian 4
th
-6
th
May 2006
35
Module 5. Pemeliharaan Tanaman Hutan Pendahuluan
Pemeliharaan  tanaman  hutan  merupakan  salah  satu  kegiatan  yang  bertujuan  untuk menjamin  keberhasilan  tanaman.  Keberhasilan  ini  diperlihatkan  oleh  kondisi  tegakan
yang mempunyai kualitas baik sesui dengan tujuan Penanamannya. Pemeliharaan  hutan  memerlukan  biaya  yang  cukup  besar.  Oleh  karena  itu  tindakan
pemeliharaan hutan harus memperhatikan Syarat-syarat tertentu.  Ada 3 syarat dalam pemeliharaan hutan  yaitu, a  menguasai teknis, yang meliputi kelengkapan peralatan
dan  ketrampilan  tenaga  kerjanya;  b  tindakan  pemeliharaan  tidak  boleh  merusak lingkungan  dan  c  biaya  yang  dikeluarkan  untuk  kegiatan  pemeliharaan  harus  dapat
dikembalikan dari hasil yang dipelihara. Pemeliharaan sangat diperlukan, karena tedapat dua masalah utama setelah kegiatan
penanaman di lapangan, yaitu kematian bibit dan Pertumbuhan lambat dan abnormal. 1.  Kematian bibit
Tidak  semua  bibit  yang  ditanam  di  lapngan  dapat  hidup.    Beberapa  minggu  sampai beberapa  bulan  setelah  tanam,  dilakukan  penghitungan  jumlah  bibit  yang  mati;
biasanya dilakukan pada saat awal penyiangan. Banyak faktor yang mempengaruhi kematian bibit di lapangan, yaitu : a ketrampilan
menanam, terutama kedalaman penanaman dan kegemburan tanah disekitar akar, b kondisi  cuaca  yang  berubah  saat  setelah  penanaman,  c  kondisi  anakan,  akar  yang
rusak,  atau bibit tersebut stress karena transportasi dsb, d kondisi tanah yang kurang baik, tergenang atau tererosi permukaannya e serangga, f gulma kompetitor dan g
binatang. Bila  kematian  setelah  penanaman  cukup  tinggi  maka  harus  dilakukan  penyulaman.
Penyulaman  harus  segera  dilakukan  dalam  beberapa  bulan  keterlambatan penyulaman  akan  mengakibatkan  variasi  pertumbuhan  tegakan  yang  cukup  tinggi.
Sebagai pedoman penyulaman dapat dilihat pada Tabel 1. Bibit  yang digunakan untuk penyulaman harus sehat dan lebih besar sedikit dari rata-
rata,  dengan  pertumbuhan  akar  yang  baik.    Pemupukan  dapat  dilakukan  pada  sat penyulaman untuk mengejar ketertinggalan pertumbuhan dengan tanaman awal.
Tabel 1. Intensitas Penyulaman hutan Tanaman
Prosentase Jadi Tanaman Klasifikasi
Keberhasilan Intensitas Penyulaman
100 Baik sekali
Tidak perlu disulam 80  - 100
Baik Sulaman ringan maksimal pada
tahun pertama 20  dan tahun ke dua 4
60  - 80 Cukup
Sulaman  pada  tahun  pertama 40  dan Tahun kedua 16
Dibawah 60 Kurang
Penanaman diulang
ITTO Training Proceedings, Muara Bulian 4
th
-6
th
May 2006
36
Pertumbuhan lambat  dan Tidak Normal
Kadang-kadang pohon muda pertumbuhannya lambat tapi tidak mati.  Ini dapat terjadi kapan saja, tetapi yang paling umum terjadi sebelum tajuknya saling menutup.  Cirinya,
pohon  tersebut  hanya  hidup  dengan  daun  kecil,  tidak  sehat,  dan  tumbuh  hanya beberapa  centimeter  per  tahun.    Ada  beberapa  sebab  pertumbuhan  Pohon  tidak
normal yaitu : a.  Salah  memilih jenis.  Pemilihan jenis toleran dan intoleran yang kurang tepat.  Pada
kondisi  terbuka  Intsia  bujuga  tumbuh  sangat  lambat  sedangkan  pada  kondisi naungan dapat tumbuhan 2 ; atau lebih dalam satu tahun.
b.  Kekurangan hara akut secara langsung.  Sebagian besar masalah hara disebabkan oleh  kondisi  tanah  yang  jelek  seperti  drainase  jelek,  erosi  permukaan  atau
pencucian berat. c.  Kondisi  fisik  tanah  yang  jelek  karena  kompak  atau  erosi.    Ini  umum  terjadi  pada
hutan  yang  ditebang  atau  pada  rotasi  ke  dua  dimana  kegiatan  pembalakan menyebabkan kekompakan tanah dan juga erosi.
d.  Tidak  adanya  mikroorganisme  simbiotik  yang  berguna  seperti  mikoriza  dan rhizobium.
e.  Beberapa  jenis  mempunyai  pertumbuhan  yang  tidak  biasa  seperti  rumput  dan sering terjadi pada Pinus merkusii.
f.  Kurangnya penyiangan, naungan berat dan terlalu lama. A.  Mengatasi Pertumbuhan yang Lambat
Pada  umumnya,  hal  yang  pertama  kali  dilakukan  untuk  mengatasi  pertumbuhan tanaman  yang  lambat  adalah  dengan  mengontrol  kompetisi  dengan  vegetasi
pengganggu  ,melalui  penyiangan.    Namun  bila  sudah  diidentifikasi  dengan  tepat adanya  kekurangan  hara,  maka  tindakan  pemupukan  sangat  dianjurkan.    Perbaikan
sifat fisik tanah setelah penanaman biasanya susah dilaksanakan dan biayanya tinggi. Bila  pertumbuhan  yang  lambat  disebabkan  oleh  sifat  fisik  tanah,  ini  maka  sebaiknya
tanaman dibatalkan dan diganti dengan tanaman baru, dengan mempersiapkan lahan yang  lebih  baik  terlebih  dahulu.    Tapak  yang  jelek  dan  mengakibatkan  pertumbuhan
jelek sebaiknya tidak ditanami. B.  Penyiangan
Penyiangan  merupakan  kegiatan  pembuangan  vegetasi  pengganggu  dengan  tujuan untuk  menghindarkan  persaingan  hara,  air  dan  cahaya.    Kegiatan  penyiangan
dilakukan mulai tahun pertama sampai tajuknya saling menutup atau mencapai ukuran tertentu,  sehingga  bias  berkompetisi  dan  menekan  pertumbuhan  gulmanya.    Dua
langkah  dalam  kegiatan  penyiangan  harus  dilakukan  yaitu  :  a  Kontrol  gulma  di permukaan  tanah,  meliputi  kontrol  terhadap  rumput,  herba  dan  semak  yang  secara
langsung berkompetisi dengan tanaman baru, yang harus dikontrol sejak penanaman pertama  b  pembersihan  dan  kegiatan  pembebasan  meliputi  kegiatan  pembuangan
tanaman penggganggu, pembuangan pohon yang tidak diinginkan dan liana.  Kegiatan ini  dilakukan  beriringan  dengan  pembuangan  gulma  di  permukaan  dan  diperlukan
dalam jangka waktu beberapa tahun. Perlunya kegiatan Penyiangan.
Vegetasi pengganggu gulma sebagai kompetitor tanaman pohon dapat mengganggu melalui beberapa cara, yaitu :
a.   Gulma secara langsung sebagai kompetitor terhadap cahaya, air dan hara
ITTO Training Proceedings, Muara Bulian 4
th
-6
th
May 2006
37 b.   Gulma dapat melilit pohon dan akhirnya mematikan melalui penaungan yang berat
c.   Vegetasi  permukaan  yang  lebat  menyebabkan  meningkatnya  peluang  kebakaran dan juga sebagai pelindung binatang dari serangan predator alam seperti tupai
Intensitas Penyiangan Intensitas penyiangan sangat bervariasi dan tergantung dari jenis pohon yang ditanam,
tapak dan iklim. a.  Jenis Pohon
Untuk  jenis  Pohon  yang  memerlukan  cahaya  pada  saat  pertum,buhan  mudanya seperti Accacia mangium, penyiangan sangat penting dilakukan. Tapi, untuk pohon
yang  menghendaki  naungan  pada  waktu  mudanya  seperti  Meranti,  sangat tergantung  pada  penaungan  alami,  sehingga  pembersihan  total  justru  akan
mengganggu pertumbuhannya.
b.  Kondisi Tanah