ITTO Training Proceedings, Muara Bulian 4
th
-6
th
May 2006
51
Persiapan Areal Penanaman Sebelum dilakukan kegiatan penanaman, sebaiknya dilakukan “sanitasi” terhadap
lahan. Kegiatan ini bertujuan untuk menghilangkan sumber infeksi yaitu kemungkinan adanya serangga dan patogen. Teknik yang bisa digunakan adalah:
1. Memeriksa tunggul kayu yang tertinggal 2. Membersihkan ranting-ranting dan serasah yang menumpuk
3. Memusnahkan serangga dan pathogen yang ditemukan
Pemilihan dan pengujian benih Benih adalah asal permulaan rangkaian pertanaman. Dalam pemilihan benih perlu
memperhatikan kesehatan, viabilitas dan kekuatan tumbuh. Oleh karena itu sebelum menyemai sebaiknya dilakukan pemilihan dan pengujian kesehatan benih dengan
cara: a. Pemerikasaan benih kering
Kriteria yang dilihat adalah:
v Adanya kotoran selain benih, dapat berupa kerikil, kotoran serangga, tanah ataupun bagian tanaman
v Kemurniannya v Bagian dari mikroorganisme: spora, miselium, cendawan, lendir, dsb
v Adanya pewarnaan v Adanya perubahan bentuk: benih berkerut, ukuran tidak normal, dsb
b. Pemeriksaan metoda inkubasi dengan kertas hisap Blotter method Benih diinkubasikan didalam cawan Petri yang telah diberi kertas saring lembab
selama 1 minggu. Teknik ini untuk melihat adanya patogen pada benih. c. Tes Pencucian
Test ini hanya bisa mendeteksi spora-spora yang ada di permukaan benih dan memerlukan uji viabilitas spora.
d. Pengujian gejala kecambah Benih dikecambahkan kemudian diamati pertumbuhan kecambahnya.
Persemaian Kegiatan menyemai juga tidak lepas dari usaha pencegahan hama dan penyakit.
Tahapan yang perlu dilakukan adalah: 1. Perlakuan terhadap media semai, sebaiknya media dijemur, diberikan perlakuan
pestisida; 2. Perlakuan terhadap benih, misalnya dengan sterilisasi permukaan benih dengan
klorok atau perendaman dengan pestisida; 3. Pengamatan terhadap perkecambahan benih;
4. Seleksi pemilihan kecambah; 5. Perlakuan pestisida terhadap kecambah yang akan dipindahkan ke polibag; dan
ITTO Training Proceedings, Muara Bulian 4
th
-6
th
May 2006
52 6. Pemberian kondisi yang optimum terhadap bibit, misalnya naungan, penyiraman,
pemupukan. Selain serangga, binatang besar dapat juga menjadi hama, misalnya tikus, bajing,
burung, babi dan rusa. Bagian tanaman yang yang dirusak adalah:
1. Daun-daunan 2. Pucuk dan tunas pohon
3. Kulit pohon 4. Batang pohon
5. Persemaian dan anakan 6. Biji dan buah
Contoh Bentuk-bentuk Kerusakan a. Penggorok Daun
b. Pemakan Daun
ITTO Training Proceedings, Muara Bulian 4
th
-6
th
May 2006
53
c. Sebagai Sarang dan Makanan
d. Penyakit pada Benih e. Penyakit pada Persemaian
ITTO Training Proceedings, Muara Bulian 4
th
-6
th
May 2006
54
f. Kerusakan Batang
a. Hama Tikus
Tikus adalah binatang yang merusak biji-bijian dan mengerat kulit dari anakan dan tanaman muda sampai mati. Bagian yang dirusak biasanya dekat dengan tanah
terutama yang berada di dalam tutupan serasah. Biji dalam persemaian atau tempat- tempat perkecambahan sering mendapat gangguan dari tikus.
b. Hama Babi Babi adalah binatang yang sering merusak biji, buah, akar-akar pohon, anakan dan
tanaman muda. Perlu diperhatikan dalam sistem penanaman tumpangsari terutama yang menggunakan ubi jalar dan singkong, karena tanaman ini menarik datangnya
babi hutan. Pencegahan dan pengendalian yang dapat dilakukan ialah dengan :
1. Mengatur tempat tumbuh, sehingga makanan tidak terlalu banyak atau terlalu sedikit
ITTO Training Proceedings, Muara Bulian 4
th
-6
th
May 2006
55 2. Membuat perangkap atau jerat
3. Memberi umpan beracun 4. Mengadakan perburuan
5. Mengatur preadornyapemangsa 6. Memberipembuat pagar, tetapi cara ini mahal
Penyakit Cendawan Akar Putih Penyakit cendawan akar putih, pohon yang terserang oleh cendawan akar ini terlihat
pohon menjadi layu dan merana, Apabila serangan sudah lanjut maka pohon akan mati. Biasanya penularan melalui tanah dengan cara kontak dengan akar.
Pencegahan dan pengendaliannya dapat dilakukan dengan cara:
1. Menebang pohon yang sakit, membongkar tunggak dan akarnya kemudian
dimusnahkan dibakar di tempat itu juga 2.
Untuk mencegah penularan dengan membuat selokan isolasi sedalam 1-1.5 m mengelilingi pohon yang sakit
3. Akar yang luka sebaiknya ditutupdioles dengan fungisida
4. Menggunakan fungisida pada bekas pohon yang diserang
DAFTAR PUSTAKA
Husaeni, E.A., Kasno, N.F. Haneda dan O. Rachmatsjah. 2006. Pengantar Hama Hutan di Indonesia: Bio-ekologi dan Teknik Pengendalian. Departemen
manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pest of Crops In Indonesia. PT. Ichtiar Baru – Van
Hoeve, Jakarta Neergaard, P. 1977. Seed Pathology.
ITTO Training Proceedings, Muara Bulian 4
th
-6
th
May 2006
40 MODULE PELATIHAN
KOMPOS
Oleh : Iskandar Z. Siregar dan Sri Wilarso Budi R
6
ITTO PROJECT PARTICIPATORY ESTABLISHMENT COLLABORATIVE
SUSTAINABLE FOREST MANAGEMENT IN DUSUN ARO, JAMBI
Serial Number : PD 21003 Rev. 3 F FACULTY OF FORESTRY IPB
2006
ITTO Training Proceedings, Muara Bulian 4
th
-6
th
May 2006
41
Module 6. Kompos
Pendahuluan
Keberhasilan penanaman dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah pemupukan. Pupuk diberikan kepada tanaman dengan tujuan menambah unsur hara
yang dibutuhkan. Unsur hara yang berada dalam tanah dapat dibagi menjadi dua golongan berdasarkan jumlah yang dibutuhkan tanaman. Unsur hara yang banyak
dibutuhkan disebut unsur makro seperti nitrogen N, fosfor P, kalium K, sulfur S, kalsium Ca dan magnesium Mg. Sedangkan unsur hara yang dibutuhkan dalam
jumlah sedikit disebut unsur mikro yang meliputi klor Cl, mangan Mn, besi Fe, tembaga Cu, seng Zn, boron B dan molibdenum Mo.
Jenis pupuk yang dapat digunakan menurut asal pembuatannya adalah pupuk organik dan pupuk anorganikkimia. Tanaman yang sedang tumbuh berbeda kebutuhannya
dengan tanaman yang sedang berbunga atau berbuah. Penggunaan bahan-bahan kimia pupuk an organik, pestisida, fungisida untuk meningkatkan produksi pertanian
memang tidak bisa dipungkiri dan telah menunjukkan hasil yang nyata. Namun dalam jangka panjang efek negatif yang dihasilkannya pun tidak kalah penting untuk
diperhatikan terutama kaitannya dengan masalah kesehatan manusia dan lingkungannya. Mengingat bahaya yang ditimbulkan oleh pangan yang dihasilkan dari
penggunaan bahan kimia, maka masyarakat di berbagai negara terdorong untuk menggunakan bahan-bahan organik sebagai pupuk.
Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari pelapukan sisa-sisa mahluk hidup seperti tanaman, hewan serta kotoran hewan. Pupuk ini umumnya merupakan pupuk
lengkap dengan kandungan unsur makro dan mikro walaupun jumlahnya sedikit. Adapun pupuk organik yang telah dikenal umum antara lain pupuk kandang, kompos,
humus, pupuk hijau dan pupuk burung atau guano. Pupuk Organik
Pupuk organik mempunyai karakteristik umum yaitu:
§ Kandungan hara rendah. Kandungan hara pupuk organik pada umumnya rendah tetapi bervariasi tergantung pada jenis bahan dasarnya. Kandungan
hara yang rendah berarti biaya untuk setiap unit unsur hara yang digunakan relatif lebih mahal.
§ Ketersediaan unsur hara lambat. Hara yang berasal dari bahan organik diperlukan untuk kegiatan mikroba tanah untuk dialihrupakan dari bentuk ikatan
kompleks organik yang tidak dapat dimanfaatkan tanaman menjadi bentuk senyawa organik dan anorganik sederhana yang dapat diserap oleh tanaman.
§ Menyediakan hara dalam jumlah terbatas. Penyediaan hara yang berasal dari pupuk organik biasanya terbatas dan tidak cukup dalam menyediakan hara
yang diperlukan tanaman. Menurut Primantoro 2001 dan Sutanto 2002 keuntungan yang diperoleh dengan
memanfaatkan pupuk organik adalah sebagai berikut:
§ Pupuk organik berfungsi sebagai granulator sehingga dapat memperbaiki struktur tanah. Adanya bahan organik dapat mengikat butir-butir tanah menjadi
butiran yang lebih besar dan remah sehingga tanah menjadi lebih gembur. Pada tanah yang bertekstur pasiran, bahan organik akan meningkatkan
pengikatan antar-partikel.
ITTO Training Proceedings, Muara Bulian 4
th
-6
th
May 2006
42 § Daya serap tanah terhadap air dapat meningkat dengan pemberian pupuk
organik karena pupuk organik dapat mengikat air lebih banyak dan lebih lama. § Pupuk organik dapat meningkatkan kondisi kehidupan di dalam tanah. Jasad
renik dalam tanah sangat berperan dalam perubahan bahan organik. Dengan adanya pupuk organik, jasad renik aktif mengurai bahan organik tersebut. Hal
ini karena pupuk organik menjadi energi bagi jasad renik tersebut sehingga unsur hara dalam tanah dapat diserap tanaman. Tanah yanag kaya bahan
organik akan mempercepat perbanyakan fungi, bakteri, mikro flora dan mikro fauna tanah.
§ Unsur hara di dalam pupuk organik merupakan sumber makanan bagi tanaman. Walaupun dalam jumlah sedikit, pupuk organik mengandung unsur
yang lengkap dan menjadi sumber unsur hara N, P dan S. Kompos dan Pengomposan
Kompos merupakan hasil pelapukan dari berbagai bahan yang berasal dari mahluk hidup, seperti daun, cabang tanaman, kotoran hewan dan sampah. Proses pembuatan
kompos dapat dipercepat dengan bantuan manusia dan akhir-akhir ini kompos lebih banayak digunakan dibandingkan dengan pupuk kandang karena kompos lebih mudah
membuatnya. Kandungan hara dalam kompos sangat bervariasi tergantung dari bahan yang dikomposkan, cara pengomposan dan cara penyimpanannya. Kompos
yang baik mempunyai butiran yang lebih halus dan berwarna coklat agak kehitaman. Pengomposan bukanlah suatu ide atau hal yang baru. Pengomposan merupakan
suatu proses penguraian mikrobiologis alami dari bahan buanganlimbah atau bagian dari tumbuhan. Saat ini proses pengomposan dari berbagai jenis limbah baik padat
maupun cair telah dikembangkan hingga limbah organik menghasilkan suatu produk akhir yang lebih bernilai. Teknologi pengomposan telah berkembang dengan pesat,
terutama oleh mereka yang lebih peduli terhadap pelestarian lingkungan; karena proses ini dipandang sebagai alternatif terbaik dalam pemanfaatan limbah. Beberapa
faktor penting yang harus diperhatikan dari proses pengomposan adalah faktor CN ratio, kadar air, populasi mikroba dan porositas campuran.
Secara tradisional pengomposan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Proses pengomposan tradisional di Indonesia umumnya banyak dilakukan dalam skala kecil
individual. Misalnya terhadap sampah organik atau sampah kebun dengan cara anaerobik. Dengan cara menimbun dalam lubang di dalam tanah kemudian
menutupnya. Ada juga yang kadang menambahkan urea sebagai tambahan sumber nitrogen N. Proses tersebut dilakukan dengan cara gali lubang tutup lubang.
Pengomposan cara lain, juga dalam skala kecil terjadi secara alami terhadap pupuk kandang yang terus menumpuk di lantai kandang ternak penduduk dan baru dibongkar
setelah menumpuk sampai ketebalan tertentu. Namun kualitas pupuk kandang tersebut masih kurang sempurna dari segi keseragaman, kestabilan, bau, tekstur,
kadar air, keberadaan bijian rumput yang belum membusuk dlsb. Skala produksi yang relatif lebih besar dan komersial juga telah banyak dilakukan, dengan pencampuran
serbuk gergaji, sekam dan kulit padi, daun bambu dlsb dengan kotoran dari pupuk kandang menjadi pupuk kompos. Cara ini yang banyak dipasarkan di tempat
pembibitan tanaman hias. Di beberapa kawasan real-estate juga ada yang melakukan sebagian swa-kelola dari sampah organiknya. Terutama berasal dari pertamanan
umum menjadi produk kompos. Beberapa industri perkebunan, misalnya kelapa sawit, juga mulai serius menangani cara pengomposan untuk mengatasi masalah limbah dari
tandan kosong.
ITTO Training Proceedings, Muara Bulian 4
th
-6
th
May 2006
43 Secara umum, gambaran pengomposan yang berlangsung di Indonesia selama ini,
masih bertumpu pada pemusnahan sampah bahan organik dan masih belum mensosialisasikan secara optimal azas manfaat yang bisa diambil dari proses
pengomposan tersebut. Sebelum era pembangunan masa orde baru, proses pengomposan di daerah pedesaan, terutama dari sampah pertanian, masih cukup
populer. Popularitas tersebut semakin memudar sejalan dengan perkembangan industri pertanian yang relatif pesat, terutama dalam penggunaan pupuk kimia yang
disubsidi. Faktor yang Mempengaruhi dan Mengontrol Proses Pengomposan
Pada kondisi alami, limbah organik yang ada di permukaan tanah dengan temperatur permukaan normal dan kondisi aerob akan terdekomposisi secara lambat. Proses
dekomposisi alami dapat dipercepat secara buatan dengan cara memperbaiki kondisi proses dekomposisi. Kondisi dekomposisi optimum dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai optimal yang mengontrol proses pengomposan Sutanto, 2002
No. Parameter
Nilai optimum
1. Ukuran partikel bahan
25 – 40 mm 50 mm untuk aerasi alami dan timbunan panjang
2. Nisbah CN
20 - 40 3.
Kandungan lengas 50-60
4. Keasaman pH
5,0-8,0 5.
Suhu 55
o
C-60
o
C untuk 4-5 hari 6.
Aerasi Secara periodik timbunan di balik
7. Kehalusan bahan
Makin halus makin cepat terdekomposisi 8.
Ukuran timbunan Panjang bervariasi, tinggi 1,5 m dan lebar 2,5 m
9. Aktivator
Tahap awal mesofilik fungi selulopati, bakteri penghasil asam, suhu meningkat 40
o
C bakteri termofilik, aktinomisetes dan fungi, suhu 70
o
C bakteri termofilik, suhu udara ambien bakteri
mesofilik dan fungi Teknologi Mikroorganisme Efektif Teknologi EM
Perkembangan bioteknologi di bidang pertanian sudah bisa dapat mengatasi kekurangan yang dimiliki proses pengomposan tradisional. Salah satu modifikasi
teknik pengomposan yang telah dikemabangkan dan banyak digunakan saat ini adalah dengan memanfaatkan mikroorganisme efektif atau dikenal dengan nama EM
Technology. Teknologi ini dikembangkan pada tahun 1970-an di Universitas Ryukus, Okinawa, Jepang oleh Prof. Teruo Higa. Teknologi ini berbasis campuran berbagai
mikroorganisme yang selanjutnya dimurnikan hingga diperoleh tiga tipe utama mikroorganisme yang dapat ditemukan di seluruh ekosistem yaitu bakteri asam laktat,
bakteri fotosintetik, ragi, jamur fermentasi dan aktinomicetes. Ketiganya dicampur dalam molasetetes tebu atau media gula dan disimpan dalam pH rendah pH 3-4
dengan suhu ruangan. Teknologi ini diperkenalkan ke dunia internasional pada tahun 1989 di Thailand dan pengujian efektifitasnya dilakukan dengan berhasil di 13 negara
Asia Pasifik. Saat ini produk teknologi EM dibuat di hampir 40 negara dengan menggunakan mikroorganisme lokal dan tidak diimpor dari Jepang atau pun
menggunakan mikroorganisme hasil rekayasa genetika.
ITTO Training Proceedings, Muara Bulian 4
th
-6
th
May 2006
44 Penggunaan EM secara umum adalah pada bidang pertanian dan pengelolaan
lingkungan. Manfaat EM di kedua bidang tersebut telah dilaporkan di banyak negara dan dipresentasikan pertama kali secara luas pada International Conferences of
IFOAM International Federation of Organic Agriculture Movements tahun 1987 dan the International Conferences on Kyusei Nature Farming tahun 1989.
Penggunaan EM pada awalnya adalah untuk pertanian khususnya untuk meningkatkan produktivitas sistem pertanian organik. Pada saat itu EM diaplikasikan langsung pada
bahan organik yang diberikan di lapangan atau pada kompos untuk mengurangi waktu yang diperlukan dalam mempersiapkan pupuk biologis. EM juga diberikan dalam
bentuk Bokashi yang terbuat dari limbah seperti jerami, serbuk gergaji dengan campuran kaya nitrogen seperti tepung ikan, beras dan gandum.
Keberhasilan penggunaan EM dalam skala riset untuk meningkatkan produksi pertanian banyak dilaporkan, seperti pada papaya di Brazil Chagas et al, 2001,
sayuran di New Zealand dan Sri Lanka Daly and Stewart, 1999, Sangakkara and Higa, 2000 dan apel di Jepang Fujita, 2000. Peningkatan produktivitas dengan EM
disebabkan oleh banyak faktor yang mencakup pelepasan unsur hara yang lebih besar dari bahan organik yang dikomposkan dengan EM Sangakkara and Weerasekera,
2001, peningkatan proses fotosisntesis Xu et al, 2001 dan aktivitas protein Konoplya and Higa, 2001. Hasil penelitian juga memperlihatkan resistensi yang lebih
tinggi terhadap stres air Xu, 2000, lebih besarnya mineralisasi karbon Daly and Stewart, 1999, peningkatan sifat tanah Hussein et al 2000 dan penetrasi akar yang
lebih baik In Ho and Ji Hwan, 2001 with the use of EM. Pengaruh EM dalam menopang pertumbuhan tanaman juga dilaporkan melalui pengendalian hama dan
penyakit Kremer et al, 2001; Wang et al, 2000. Penggunaan EM di peternakan juga dilaporkan efektif di beberapa negara. EM
ditambahkan ke pakan serta disemprotkan untuk sanitasi, seperti pada ternak ayam ataupun babi di Afrika Selatan Hanekon et al, 2001, Safalaoh and 2001. Dalam hal
ini, EM dapat meningkatkan aktivitas fisiologi pada hewan ternak serta efisiensi konversi makanan yang lebih baik Safalaoh and Smith, 2001, Konoplya and Higa,
2000. Metode Pembuatan KomposBokashi
Secara umum pembuatan kompos dapat dilakukan dengan berbagai cara, dan konsep dasar dari masing-masing cara tersebut adalah sama. Adapun prosedur umum yang
dilakukan adalah persiapan, penyusunan tumpukan, pemantauan suhu dan kelembaban tumpukan, pembalikan dan penyiraman, pematangan, pengayakan
kompos serta pengemasan dan penyimpanan. Dalam pembuatan komposbokashi tersebut, potensi bahan bakar berupa daun dari berbagai jenis tumbuhan bawah dapat
menjadi bahan utama yang diusahakan waktu pengomposannya dipercepat dengan bantuan teknologi EM . Sebagai contoh, proses pembuatan untuk 100 kg campuran
bahan organik berupa pakis Gambar 1 dan bahan lainnya yang banyak dijumpai di lahan-lahan terbuka untuk usaha perkebunan dan hutan tanaman dapat dilakukan
sesuai dengan kondisi setempat, seperti pada Gambar 2.
ITTO Training Proceedings, Muara Bulian 4
th
-6
th
May 2006
45 Gambar 1. Bahan baku pembuatan kompos berupa empat jenis pakis lembiding,
paku, uban dan resam dan proses pembuatan di lokasi demplot.
Gambar 2. Proses pembuatan kompos dengan EM-4 Bokashi
Pakis 80
Adonan dengan kadar air
Pupuk Kandan
g 10
Dedak Bekatul
10 EM 4
100 cc Molase
Gula 25 gram
Air
Proses Fermentasi
Suhu 50
o
C
BOKASHI Bahan Baku
Larutan EM 4
ITTO Training Proceedings, Muara Bulian 4
th
-6
th
May 2006
46
DAFTAR PUSTAKA
Chagas, P R R, Tokeshi, H and Alves, M. C. 2001 Effect of calcium on yield of papaya fruits on conventional and organic Bokashi EM systems. In Proceedings of the
6
th
International Conference on Kyusei Nature Farming, South Africa, 1999 Senanayake, Y D A and Sangakkara U R Ed In Press
Daly, M J and Stewart, D. P. C. 1999. Influence of Effective Microorganisms EM on vegetable production and carbon mineralization – A preliminary investigation.
Journal of Sustainable Agriculture 14: 15 – 25 Fujita, M. 2000. Nature farming practices for apple production in Japan. In Nature
farming and microbial applications. H L Xu et al Ed Journal of Crop Production 3: 119 – 126
Hanekon D, Prinsloo, J F and Schoonbee, H. J. 2001. A comparison of the effect of anolyte and EM on the faecal bacterial loads in the water and on fish produced in
pig cum fish integrated production units. In Proceedings of the 6
th
International Conference on Kyusei Nature Farming, South Africa, 1999 Senanayake, Y D A
and Sangakkara U R Ed In Press\ Hussein, T, Jilani, G M, Anjum, S and Zia, M H. 2000. Effect of EM application on soil
properties. In Proceedings of the 13
th
International Scientific Conference of IFOAM. Alfoeldi, T et al Ed. FiBL, Basel, Switzerland: 267
Konoplya, E F and Higa, T. 2001. Mechanisms of EM 1. Effect on the growth and development of plants and its application in agricultural production. In
Proceedings of the 6
th
International Conference on Kyusei Nature Farming, South Africa, 1999 Senanayake, Y D A and Sangakkara U R Ed In Press
Kremer, R J, Ervin, E H, Wood, M T and Abuchar, D. 2001. Control of Sclerotinia homoeocarpa in turf grass using Effective Microorganisms. In Proceedings of the
6
th
International Conference on Kyusei Nature Farming, South Africa, 1999 Senanayake, Y D A and Sangakkara U R Ed In Press
Murbandono, L HS. Membuat Kompos. Penebar Swadaya. Jakarta. Primantoro, H. 2001. Memeupuk Tanaman Buah. Penebar Swadaya. Jakarta.
Safalaoh, A. C. L and Smith, G A 2001. Effective Microorganisms EM as an alternative to antibiotics in broiler diets: Effects on broiler performance, feed
utilization and serum cholesterol. In Proceedings of the 6
th
International Conference on Kyusei Nature Farming, South Africa, 1999 Senanayake, Y D A
and Sangakkara U R Ed In Press Sangakkara, U. R. and Higa, T. 2000. Kyusei Nature Farming and EM for enhanced
smallholder production in organic systems. In Proceedings of the 13
th
International Scientific Conference of IFOAM. Alfoeldi, T et al Ed. FiBL, Basel, Switzerland: 268
Sangakkara, U R and Weerasekera, P. 2001. Impact of EM on nitrogen utilization efficiency in food crops. In Proceedings of the 6
th
International Conference on
ITTO Training Proceedings, Muara Bulian 4
th
-6
th
May 2006
47 Kyusei Nature Farming, South Africa, 1999 Senanayake, Y D A and Sangakkara
U R Ed In Press Sutanto,
R. 2002a
Penerapan Pertanian
Organik: Pemasyarakatan
Pengembangannya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Sutanto, R. 2002b. Pertanian Organik: Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan.
Penerbit Kanisius. Jakarta. Wang, R, Xu, H L and Mridha, M. A. U. 2000. Phytopthora resistance of organic
fertilized tomato. In Nature farming and microbial applications. H L Xu et al Ed Journal of Crop Production 3: 77 – 84
Xu, H L. 2000. Effect of microbial inoculation, organic fertilization and chemical fertilization on water stress resistance of sweet corn. In Nature farming and
microbial applications. H L Xu t al Ed Journal of Crop Production 3: 223 – 234 Xu, H L, Wang, R, Mridha, M. A. U., Kato, S., Katase, K and Umemura, H. 2001. Effect
of organic fertilization and EM inoculation on leaf photosynthesis and fruit yield and quality of tomato plants. In Proceedings of the 6
th
International Conference on Kyusei Nature Farming, South Africa, 1999 Senanayake, Y D A and
Sangakkara U R Ed In Press
ITTO Training Proceedings, Muara Bulian 4
th
-6
th
May 2006
34 MODULE PELATIHAN
PEMELIHARAAN
TANAMAN HUTAN
Oleh : Sri Wilarso Budi R
5
ITTO PROJECT PARTICIPATORY ESTABLISHMENT COLLABORATIVE
SUSTAINABLE FOREST MANAGEMENT IN DUSUN ARO, JAMBI
Serial Number : PD 21003 Rev. 3 F FACULTY OF FORESTRY IPB
2006
ITTO Training Proceedings, Muara Bulian 4
th
-6
th
May 2006
35
Module 5. Pemeliharaan Tanaman Hutan Pendahuluan
Pemeliharaan tanaman hutan merupakan salah satu kegiatan yang bertujuan untuk menjamin keberhasilan tanaman. Keberhasilan ini diperlihatkan oleh kondisi tegakan
yang mempunyai kualitas baik sesui dengan tujuan Penanamannya. Pemeliharaan hutan memerlukan biaya yang cukup besar. Oleh karena itu tindakan
pemeliharaan hutan harus memperhatikan Syarat-syarat tertentu. Ada 3 syarat dalam pemeliharaan hutan yaitu, a menguasai teknis, yang meliputi kelengkapan peralatan
dan ketrampilan tenaga kerjanya; b tindakan pemeliharaan tidak boleh merusak lingkungan dan c biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan pemeliharaan harus dapat
dikembalikan dari hasil yang dipelihara. Pemeliharaan sangat diperlukan, karena tedapat dua masalah utama setelah kegiatan
penanaman di lapangan, yaitu kematian bibit dan Pertumbuhan lambat dan abnormal. 1. Kematian bibit
Tidak semua bibit yang ditanam di lapngan dapat hidup. Beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah tanam, dilakukan penghitungan jumlah bibit yang mati;
biasanya dilakukan pada saat awal penyiangan. Banyak faktor yang mempengaruhi kematian bibit di lapangan, yaitu : a ketrampilan
menanam, terutama kedalaman penanaman dan kegemburan tanah disekitar akar, b kondisi cuaca yang berubah saat setelah penanaman, c kondisi anakan, akar yang
rusak, atau bibit tersebut stress karena transportasi dsb, d kondisi tanah yang kurang baik, tergenang atau tererosi permukaannya e serangga, f gulma kompetitor dan g
binatang. Bila kematian setelah penanaman cukup tinggi maka harus dilakukan penyulaman.
Penyulaman harus segera dilakukan dalam beberapa bulan keterlambatan penyulaman akan mengakibatkan variasi pertumbuhan tegakan yang cukup tinggi.
Sebagai pedoman penyulaman dapat dilihat pada Tabel 1. Bibit yang digunakan untuk penyulaman harus sehat dan lebih besar sedikit dari rata-
rata, dengan pertumbuhan akar yang baik. Pemupukan dapat dilakukan pada sat penyulaman untuk mengejar ketertinggalan pertumbuhan dengan tanaman awal.
Tabel 1. Intensitas Penyulaman hutan Tanaman
Prosentase Jadi Tanaman Klasifikasi
Keberhasilan Intensitas Penyulaman
100 Baik sekali
Tidak perlu disulam 80 - 100
Baik Sulaman ringan maksimal pada
tahun pertama 20 dan tahun ke dua 4
60 - 80 Cukup
Sulaman pada tahun pertama 40 dan Tahun kedua 16
Dibawah 60 Kurang
Penanaman diulang
ITTO Training Proceedings, Muara Bulian 4
th
-6
th
May 2006
36
Pertumbuhan lambat dan Tidak Normal
Kadang-kadang pohon muda pertumbuhannya lambat tapi tidak mati. Ini dapat terjadi kapan saja, tetapi yang paling umum terjadi sebelum tajuknya saling menutup. Cirinya,
pohon tersebut hanya hidup dengan daun kecil, tidak sehat, dan tumbuh hanya beberapa centimeter per tahun. Ada beberapa sebab pertumbuhan Pohon tidak
normal yaitu : a. Salah memilih jenis. Pemilihan jenis toleran dan intoleran yang kurang tepat. Pada
kondisi terbuka Intsia bujuga tumbuh sangat lambat sedangkan pada kondisi naungan dapat tumbuhan 2 ; atau lebih dalam satu tahun.
b. Kekurangan hara akut secara langsung. Sebagian besar masalah hara disebabkan oleh kondisi tanah yang jelek seperti drainase jelek, erosi permukaan atau
pencucian berat. c. Kondisi fisik tanah yang jelek karena kompak atau erosi. Ini umum terjadi pada
hutan yang ditebang atau pada rotasi ke dua dimana kegiatan pembalakan menyebabkan kekompakan tanah dan juga erosi.
d. Tidak adanya mikroorganisme simbiotik yang berguna seperti mikoriza dan rhizobium.
e. Beberapa jenis mempunyai pertumbuhan yang tidak biasa seperti rumput dan sering terjadi pada Pinus merkusii.
f. Kurangnya penyiangan, naungan berat dan terlalu lama. A. Mengatasi Pertumbuhan yang Lambat
Pada umumnya, hal yang pertama kali dilakukan untuk mengatasi pertumbuhan tanaman yang lambat adalah dengan mengontrol kompetisi dengan vegetasi
pengganggu ,melalui penyiangan. Namun bila sudah diidentifikasi dengan tepat adanya kekurangan hara, maka tindakan pemupukan sangat dianjurkan. Perbaikan
sifat fisik tanah setelah penanaman biasanya susah dilaksanakan dan biayanya tinggi. Bila pertumbuhan yang lambat disebabkan oleh sifat fisik tanah, ini maka sebaiknya
tanaman dibatalkan dan diganti dengan tanaman baru, dengan mempersiapkan lahan yang lebih baik terlebih dahulu. Tapak yang jelek dan mengakibatkan pertumbuhan
jelek sebaiknya tidak ditanami. B. Penyiangan
Penyiangan merupakan kegiatan pembuangan vegetasi pengganggu dengan tujuan untuk menghindarkan persaingan hara, air dan cahaya. Kegiatan penyiangan
dilakukan mulai tahun pertama sampai tajuknya saling menutup atau mencapai ukuran tertentu, sehingga bias berkompetisi dan menekan pertumbuhan gulmanya. Dua
langkah dalam kegiatan penyiangan harus dilakukan yaitu : a Kontrol gulma di permukaan tanah, meliputi kontrol terhadap rumput, herba dan semak yang secara
langsung berkompetisi dengan tanaman baru, yang harus dikontrol sejak penanaman pertama b pembersihan dan kegiatan pembebasan meliputi kegiatan pembuangan
tanaman penggganggu, pembuangan pohon yang tidak diinginkan dan liana. Kegiatan ini dilakukan beriringan dengan pembuangan gulma di permukaan dan diperlukan
dalam jangka waktu beberapa tahun. Perlunya kegiatan Penyiangan.
Vegetasi pengganggu gulma sebagai kompetitor tanaman pohon dapat mengganggu melalui beberapa cara, yaitu :
a. Gulma secara langsung sebagai kompetitor terhadap cahaya, air dan hara
ITTO Training Proceedings, Muara Bulian 4
th
-6
th
May 2006
37 b. Gulma dapat melilit pohon dan akhirnya mematikan melalui penaungan yang berat
c. Vegetasi permukaan yang lebat menyebabkan meningkatnya peluang kebakaran dan juga sebagai pelindung binatang dari serangan predator alam seperti tupai
Intensitas Penyiangan Intensitas penyiangan sangat bervariasi dan tergantung dari jenis pohon yang ditanam,
tapak dan iklim. a. Jenis Pohon
Untuk jenis Pohon yang memerlukan cahaya pada saat pertum,buhan mudanya seperti Accacia mangium, penyiangan sangat penting dilakukan. Tapi, untuk pohon
yang menghendaki naungan pada waktu mudanya seperti Meranti, sangat tergantung pada penaungan alami, sehingga pembersihan total justru akan
mengganggu pertumbuhannya.
b. Kondisi Tanah