TAHURA TANTANGAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN DAERAH

132 4. Belum Semua TAHURA punya Unit Pengelolaan. Umumnya kegiatan pengelolaan TAHURA di lapangan masih dirangkap oleh Dinas Kehutanan yang memang sudah sangat padat kesibukannya. Disamping itu tidak tersedia cukup dana operasional untuk melaksanakan kegiatan lapangan secara rutin 5. Pemerintah Daerah Menganggap Pengelolaan TAHURA adalah Biaya Cost Center. Pemerintah Daerah umumnya masih menganggap mengelola TAHURA menghabiskan biaya tanpa kepastian pemasukan dari pengelolaan TAHURA tersebut. 6. Sarana dan Prasarana Sangat Terbatas. Umumnya TAHURA tidak memiliki sarana prasarana yang cukup bagi pengelola untuk melakukan kegiatan operasional lapangan. Disamping itu dana operasional bagi pengadaan sarana prasarana tersebut juga sangat terbatas. Jika dilihat dari hasil inventarisasi permasalahan umum pengelolaan TAHURA oleh Pemerintah Daerah terlihat bahwa TAHURA lebih merupakan kegiatan biaya cost center, sementara Pemerintan Daerah pada era otonomi ini dituntut untuk memberikan pendapatan PAD. Pada Bab berikut akan diuraikan, pengelolaan TAHURA merupakan tantangan atau kegiatan biaya cost center bagi Pemerintah Daerah, sehingga terlihat TAHURA akan mendatangkan pendapatan dalam jangka panjang atau akan terus-terusan menjadi cost center.

III. TAHURA TANTANGAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN DAERAH

Kegiatan Pokok pengelolaan TAHURA minimal ada tujuh kegiatan, antara lain: pemantapan kawasan, penyusunan rencana pengelolaan, pembangunan sarana prasarana, pengelolaan potensi kawasan, perlindungan dan pengamanan kawasan, pengelolaan penelitian dan pendidikan, pengelolaan wisata alam. A. Pemantapan Kawasan Kegiatan pemantapan kawasan, terdiri dari: pengukuhan status kawasan, pemeliharaan batas, dan penataan kawasan ke dalam blok. Umumnya kawasan hutan TAHURA yang diberi ijin oleh Pemerintah Pusat Departemen Kehutanan kepada Pemerintah Daerah dalam kondisi konflik. Banyak pihak di dalam kawasan TAHURA mengkaim memiliki hak atas kayu dan lahan. Pihak-pihak ini baik dari masyarakat daerah setempat, masyarakat pendatang, dan termasuk oknum pejabat yang mem-backing kegiatan illegal logging dan okupasi lahan. Belum lagi jika 133 berhadapan dengan masyarakat hukum adat yang telah turun-temurun menempati kawasan hutan tersebut. Pemerintah Daerah sebagai pengelola yang baru atas TAHURA harus menyadari kondisi sulit yang penuh konflik di dalam TAHURA yang diberikan ijinnya oleh Pemerintah Pusat. Pengambilan keputusan yang prematur dapat mengakibatkan konflik horizontal antara Pemerintah Daerah dengan anggota masyarakatnya sendiri. Solusi terhadap permasalahan ini adalah melalui kegiatan Pemantapan Kawasan. Kegiatan ini tidak mudah, tidak cepat, dan tidak murah untuk ditanggung sepenuhnya oleh Pemerintah Daerah yang belum mendapatkan apapun dari TAHURA kecuali masalah dan konflik. Sebagaimana diketahui dari lima program prioritas Departemen Kehutanan, maka Pemantapan Kawasan adalah salah satu prioritas tersebut. Departemen Kehutanan sudah menyusun strategi, program, kegiatan, termasuk biaya untuk mensukseskan lima program prioritas ini’ Pemerintah Daerah dapat membuat langkah terobosan dengan menyusun Proposal Pemantapan Kawasan TAHURA di daerahnya dengan sumber dana dari Departemen Kehutanan. Mengingat luasan TAHURA relatif kecil, maka diharapkan dana yang dibutuhkan juga relatif kecil. Sehingga Departemen Kehutanan dapat menyisihkan sebagian alokasi dana program Pemantapan Kawasan untuk mendanai Proposal Pemantapan Kawasan TAHURA. Jika staf Dinas Kehutanan Daerah sudah sangat tersita waktu dengan kesibukan kesehariannya, maka kegiatan penyusunan proposal ini dapat dikerjasamakan dengan Konsultan atau LSM setempat. KonsultanLSM ini juga dapat menjadi pendamping bagi masyarakat saat kegiatan pemantapan kawasan TAHURA di lapangan. Semoga idegagasan yang disusun secara baik, tekun, dan sungguh- sungguh akan membuahkan hasil yang baik juga. Sehingga kegiatan Pemantapan Kawasan bukan lagi menjadi cost center bagi Daerah karena sudah dibiayai dari Pemerintah Pusat Departemen Kehutanan. B. Penyusunan Rencana Pengelolaan Sesuai Pasal 4 PP No. 62 Tahun 1989 disebutkan bahwa pengelolaan TAHURA harus tersusun dalam rencana induk pengelolaan TAHURA. Artinya Pemerintah Daerah pemilik ijin TAHURA harus membuat rencana induk pengelolaan TAHURA. Rencana induk pengelolaan merupakan arahpedoman bagi pengelola dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan TAHURA. Rencana induk pengelolaan ini juga menjadi tolok ukur kinerja pengelolaan pada saat tahap monitoring dan evaluasi. 134 Penyusunan rencana pengelolaan TAHURA sudah ada pedoman yang disusun dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Materi yang perlu disusun dalam rencana pengelolaan TAHURA selengkapnya disajikan pada Lampiran 1. Sama dengan kegiatan pemantapan kawasan, penyusunan rencana pengelolaan TAHURA juga tidak mudah, tidak cepat, dan tidak murah. Sebagai contoh, kegiatan inventarisasi flora dan fauna lengkap dalam satu kawasan TAHURA butuh dana lebih dari Rp 100 juta. Kegiatan penyusunan rencana kehutanan masih menjadi tugas pokok domain Departemen Kehutanan. Secara umum pelaksanaan kegiatan perencanaan kehutanan masih menjadi tugas Pemerintah Pusat Departemen Kehutanan baik untuk fungsi hutan konservasi, hutan produksi, maupun hutan lindung. Sehingga strategi, program, kegiatan, termasuk biaya untuk perencanaan kehutanan sudah masuk dalam pos kegiatan Departemen Kehutanan. Sama dengan idegagasan di atas, Pemerintah Daerah dapat membuat langkah terobosan dengan menyusun Proposal Penyusunan Rencana Pengelolaan TAHURA di daerahnya dengan sumber dana dari Departemen Kehutanan. Mengingat luasan TAHURA relatif kecil, maka diharapkan dana yang dibutuhkan juga relatif kecil. Sehingga Departemen Kehutanan dapat menyisihkan sebagian alokasi dana program perencanaan kehutanan nasional untuk mendanai Proposal Penyusunan Rencana Pengelolaan TAHURA. Jika staf Dinas Kehutanan Daerah sudah sangat sibuk, maka kegiatan penyusunan proposal ini dapat dikerjasamakan dengan Konsultan atau LSM setempat. KonsultanLSM ini juga dapat menjadi pendamping bagi masyarakat saat kegiatan penyusunan rencana pengelolaan TAHURA secara partisipatif di lapangan. Semoga idegagasan yang disusun secara baik, tekun, dan sungguh- sungguh akan membuahkan hasil yang baik juga. Sehingga kegiatan Penyusunan Rencana Pengelolaan TAHURA bukan lagi menjadi cost center bagi Daerah. C. Pembangunan Sarana Prasarana Sarana prasarana sangat vital bagi pengelolaan TAHURA terutama jalan dan jembatan serta kantor pengelolaan, sementara sarana prasarana lain dapat menyusul diadakan sesuai kebutuhan dan kemampuan pengelola TAHURA. Jika memungkinkan dan dana Pemerintah Daerah cukup tersedia, maka pengelola cukup meminta dana untuk pembangunan jalan dan jembatan 135 serta kantor pengelolaan. Jika inipun tidak memungkinkan, maka pengelola harus mencari berbagai langkah terobosan. Pengelola harus dapat menyusun dalam satu tabulasi sarana-prasarana yang dibutuhkan, lokasi, volume fisik, dan perkiraan biaya. Jika perlu tabulasi ini dibuat dalam bentuk proposal dilengkapi dengan sketsa gambar keperluan sarana prasarana. Contoh tabulasi kebutuhan sarana- prasarana sebagai berikut. Tabel 3. Contoh Tabulasi Kebutuhan Sarana-Prasarana No. Kebutuhan Sarana- Prasarana Lokasi Volume Fisik Perkiraan Biaya Keterangan 1 2 3 4 5 6 1. Jalan 2. Jembatan 3. Kantor Pengelola 4. Pos Jaga 5. Alat Komunikasi 6. Kendaraan 7. dst Pengelola harus rajin, tekun, dan pro-aktif membina relasi dengan instansi setempat, perusahaan swasta setempat, dan perguruan tinggi. Dengan instansi terkait pengelola dapat menawarkan TAHURA untuk menjadi lokasi implementasi proyek instansi tersebut. Sebagai contoh TAHURA Wan Abdul Rahman-Lampung banyak mendapat bantuan sarana- prasarana dari inovasi kegiatan yang ditawarkan kepada instansi lain dan berbagai perusahaan sampai tingkat nasional. Contoh lain, pengelola dapat mengadakan bumi perkemahan provinsi pada puncak peringatan hari pramuka 14 Agustus. Dengan kehadiran banyak pejabat dan tokoh penting masyarakat, maka diharapkan akan dialokasikan dana untuk rehabilitasi jalan dan jembatan serta bangunan. Semua ini tentu sangat bermanfaat bagi pengelola dalam jangka panjang. Untuk sarana-prasarana, pengelola jangan berpikir sempit bahwa semua harus dibiayai dari dana Dinas Kehutanan Daerah sendiri karena pasti akan sangat mahal. Tetapi jika pengelola berhasil meyakinkan banyak pihak terhadap kehadiran TAHURA sebagai maskot daerah, maka akan relatif lebih mudah dana datang untuk pembangunan sarana-prasarana. 136

D. Pengelolaan Potensi Kawasan Kegiatan

pengelolaan potensi kawasan TAHURA, antara lain: inventarisasi dan identifikasi potensi kawasan dan penanganan hasil- hasilnya melalui database; pengembangan sistem pemantauan, evaluasi, dan pelaporan kondisi dan potensinya; pembinaan dan pengembangan koleksi flora dan fauna; penyediaan plasma nutfah untuk menunjang budidaya; pengkayaan dan penagkaran jenis untuk kegiatan penelitian; pemakaian kawasan untuk wisata alam; dan rehabilitasi kawasan TAHURA yang rusak. Kegiatan pengelolaan potensi dapat dilakukan setelah kawasan mantap dan rencana pengelolaan jelas. Kegiatan yang benar-benar dilaksanakan oleh masing-masing pengelola TAHURA sangat tergantung kepada potensi TAHURA tersebut. Umumnya potensi yang dimanfaatkan adalah yang memberikan tingkat pendapatan cukup besar kepada pengelolaan TAHURA tersebut. Setiap kawasan TAHURA mempunyai potensi dan kekhasan tersendiri yang berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya. Sebagai contoh: TAHURA Sultan Thaha Saefuddin di Jambi punya potensi kayu bulian, TAHURA Ngurah Rai di Bali punya potensi jalak bali yang langka, TAHURA Murhum di Kendari dengan potensi kayu hitam, dan sebagainya. Pada kegiatan ini pengelola Dinas Kehutanan Daerah dapat melakukan implementasi skala kecil program-program pembangunan kehutanan, antara lain: persemaian, persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, konservasi tanah dan air, dan saat ini GN-RHL Gerakan Nasional- Rehabilitasi Hutan dan Lahan, dan berbagai program yang sangat spesifik kegiatan kehutanan. E. Perlindungan dan Pengamanan Kawasan Perlindungan kawasan terkait dengan gangguan terhadap kawasan berasal dari hama, penyakit, kebakaran, dan berbagai gangguan lainnya. Sementara kegiatan pengamanan kawasan terkait dengan pengamanan kawasan dari kegiatan manusia berupa illegal logging, okupasi lahan, perusakan tanda batas, perusakan papan pengumuman, dan perusakan TAHURA lainnya. Kegiatan ini akan mahal dan umumnya gagal, jika dikerjakan atau dijadikan proyek oleh Dinas Kehutanan Daerah. Sifat hutan yang open access, dimana berbagai pihak dapat keluar-masuk dan mengambil manfaat dari hutan. Maka upaya perlindungan dan pengamanan yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan Daerah sendirian akan sangat berat, mahal, dan umumnya gagal. 137 Upaya terbaik adalah dengan membina hubungan baik dengan masyarakat di dalam dan sekitar TAHURA. Hubungan baik ini dapat dibina melalui tokoh-tokoh masyarakat dan ketua kelompok yang dapat dipercaya dan punya pengaruh terhadap anggota masyarakatnya. Diharapkan masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam perlindungan dan pengamanan hutan. Upaya ini tidak membutuhkan biaya yang besar dan dapat bertahan dalam jangka panjang. Dalam membina hubungan baik dengan masyarakat yang perlu dilakukan oleh pengelola adalah niat baik dan keinginan yang sungguh-sungguh untuk bekerjasama dengan masyarakat. Sehingga kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan juga bukan merupakan cost center bagi Dinas Kehutanan Daerah. F. Pengelolaan Penelitian dan Pendidikan Pengelolaan TAHURA untuk tujuan penelitian dan pendidikan, maka Dinas Kehutanan Daerah dapat bekerjasama dengan Dinas Pendidikan setempat, perguruan tinggi setempat, serta sekolah mulai tingkat SD sampai SLTA di daerah setempat. Perguruan Tinggi terkait ilmu lingkungan, kehutanan, dan ilmu alam akan mempunyai tingkat kepentingan sangat tinggi terhadap keberadaan kawasan hutan, apalagi lokasinya relatif dekat dengan kota besar dan aksesibilitasnya baik. Perguruan Tinggi ini sudah mempunyai program dan kegiatan penelitian jangka panjang yang dapat disinkronkan dengan program penelitian dan pendidikan TAHURA yang tercantum dalam buku rencana pengelolaan. Dinas Pendidikan punya program pendidikan luar sekolah yang membutuhkan tempat ideal salah satunya belajar dari alam, sehingga program Dinas Pendidikan juga dapat disinkronkan dengan program pendidikan TAHURA. Pendidikan tingkat SD sampai SLTA di kota-kota besar sudah membutuhkan sarana pendidikan di alam, terutama pada masa-masa libur. Kehadiran siswa ini menjadi bagian dari program pendidikan TAHURA dan juga bisa menjadi titik awal bagi pengembangan wisata alam di TAHURA.

G. Pengelolaan Wisata Alam Pengelolaan wisata alam umumnya adalah tahapan mapan edvance

bagi suatu TAHURA. Setelah kegiatan rutin pengelolaan TAHURA makin marak, berikutnya makin banyak masyarakat yang mengetahui keberadaan TAHURA. Pada tahap awal masyarakat datang berwisata alam hanya untuk kegiatan wisata kecil dan belum bersedia membayar tiket masuk TAHURA. Pada saat TAHURA sudah menjadi alternatif wisata alam ada demand, maka saat itulah TAHURA baru dapat dikembangkan untuk wisata alam. 138 Pada tahap awal pengelolaan wisata alam di TAHURA sebaiknya pengelola Dinas Kehutanan Daerah bekerjasama dengan perusahaan jasa wisata alam yang sudah profesional. Agar resiko investasi pembangunan fasilitas dan sarana-prasarana wisata alam tidak membebani anggaran Dinas Kehutanan Daerah. Jika pengunjung TAHURA sudah stabil dan kontinu dengan jumlah kunjungan tertentu setiap bulannya, maka Dinas Kehutanan Daerah dapat mengelola wisata alam secara penuh. DAFTAR PUSTAKA Departemen Kehutanan. 1999. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Kementerian Lingkungan Hidup. 1990. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Peraturan Pemerintah. 1998. Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1998 Tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang Kehutanan Kepada Daerah. 139 Lampiran 1. Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan TAHURA sesauai Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Sampul Halaman Judul Lembar Pengesahan Peta Situasi Ringkasan Eksekutif Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Daftar lampiran Daftar Lampiran Peta I. Pendahuluan Bab ini berisi latar belakang, tujuan, ruang lingkup, dan batasan pengertian dari disusunnya rencana pengelolaan, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam dan taman buru I. Deskripsi Kawasan Bab ini berisi informasi megnenai : A.Risalah kawasan, meliputi sejarah kawasan, progres pengukuhan, dan karakteristik penunjukkan kawasan flag species atau ekosistem B. Kondisi umum, meliputi kondisi fisik, dan bioekologi : · Kondisi fisik kawasan, meliputi letak dan luas kawasan, letak astronomisgeografis, adminstratif, uraian batas kawasan, iklim, geologi dan tanah, topografi dan kelerengan, hidrologi, potensi wisata, sarana prasarana, dan aksesibilitas; · Kondisi bioteknologi meliputi tipe ekosistem, flora dan dauna; C. Kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat di dalamsekitar kawasan D. Praktek-praktek pemanfaatan sumber daya alam yang telah berkembang E. Kelembagaan kemasyarakat yang ada F. Permasalahan kawasan. II. Kebijaksanaan A. Pengelolaan Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam dan taman Buru; B. Pembangunan Pemerintah ProvinsiKabupaten III. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam dan Taman Buru 140 IV. Analisis dan Proyeksi Bab ini berisi data dan informasi yang diolah dengan mempertimbangkan berbagai aspek terkait secara komprehensif melalui Analisis SWOT, untuk mendapatkan alternatif kegiatan dalam perencanaaan yang dapat dituangkan secara sekuen dan berdasarkan prioritas V. Rencana Kegiatan Dari hasil analisis disusun rencana kegiatan jangka panjang yang dapat dijabarkan dalam Rencana Pengelolaan Jangka Menengah dan Jangka Pendek, yang meliputi program-program antara lain : 1. Pemantapan Kawasan Pengukuhan, Pemeliharaan Batas, Penataan ZonaBlok; 2. Pembangunan Sarana Dan Prasarana 3. Pengelolaan Data Dan Informasi 4. Pengelolaan Potensi Kawasan Pengelolaan, Pembinaan, dan Konservasi Genetik, species, Komunitas, dan HabiatatEkosistem 5. Perlindungan dan Pengamanan 6. Pengelolaan, Penelitian dan Pendidikan; 7. Pengeloalan Wisata Alam 8. Pengembangan Integrasi, Koordinasi, dan Kolaborasi; 9. Pengembangan dan Pembinaan Daerah Penyangga 10. Restorasi, Rehabilitasi, dan Reklamasi Ekosistem 11. Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan VI. Penutup Lampiran-lampiran · Peta-situasi yang digambarkan pada kertas A4 · Peta Kawasan · Peta Topografi · Peta Geologi · Peta Tanah · Peta Iklim · Peta Vegetasi · Peta Sebaran Flora dan Fauna Penting · Peta Penggunaan Lahan · Peta Penataan ZonaBlok · Peta Sarana dan Prasarana yang sudah ada · Peta Rencana Pengembangan Sarana dan Prasarana Site Plan · Skala Peta : · Luas kurang dari 50.000 hektar menggunakan peta skala 1.100.000 · Luasnya antara 50.000 – 250.000 hektar menggunakan peta skala 1.250.000 · Luasnya lebih dari 250.000 hektar menggunakan peta skala 1.500.000 116 PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA SUTAN THAHA SYAEFUDDIN: SUATU KERANGKA KONSEPTUAL Oleh Didik Suharjito 1 Pendahuluan Taman Hutan Raya Sutan Thaha Syaefuddin disingkat TAHURA Senami telah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan pada tahun 2001. Sebagai wujud desentralisasi sebagian pengurusan pengelolaan sumberdaya hutan dari pemerintah pusat Departemen Kehutanan kepada daerah Dinas Kehutanan, pengelolaan TAHURA Senami diserahkan kepada Dinas Kehutanan Kabupaten Batanghari. 2 Namun demikian, sampai akhir 2006, belum tersedia Rencana Pengelolaan Management Plan TAHURA Senami, sehingga pengelolaan kawasan TAHURA Senami belum tertata, belum jelas sasaran-sasaran yang akan dicapai, belum jelas kewenangan, hak, dan tanggung jawab, belum ada mekanisme pembiayaan dan pemanfaatan, dan lainnya yang dapat menjamin pencapaian tujuan pengelolaan TAHURA yaitu kelestarian fungsi-fungsi TAHURA Senami. Tujuan pengelolaan TAHURA Senami seolah-olah semakin tidak mungkin tercapai dalam perkembangan ekonomi politik sepuluh tahun terakhir. Krisis sosial, ekonomi, politik pada tingkat nasional pada akhir dekade 1990-an berdampak pada tingkat daerah dan lokal. Krisis tersebut pada tingkat daerah dan lokal telah ditangkap sebagai suatu kesempatan untuk memanfaatkan sumberdaya hutan negara secara bebas. Sumberdaya hutan, termasuk TAHURA Senami, telah menjadi ajang pesta perebutan ”kue”. Masyarakat desa di sekitar hutan menjadi pemburu pesta itu, namun individu-individu yang datang dari luar desa justru yang lebih agresif. Pesta itu seolah-olah mempertunjukkan bahwa pemerintah, termasuk Dinas Kehutanan Batanghari sedang tidak berdaya mengontrol sumberdaya hutan. Stabilisasi politik yang dibarengi dengan upaya-upaya pembangunan ekonomi, sosial dan budaya sedikit demi sedikit mengurangi tekanan eksploitasi terhadap sumberdaya hutan. Momentum ini harus segera dibarengi dengan upaya-upaya sistematis pengelolaan sumberdaya hutan. Penyusunan Rencana Pengelolaan Management Plan TAHURA 1 Staf Pengajar dan Peneliti pada Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB; Email: dsuharjitogmail.com 2 Lihat Peraturan Pemerintah PP No. 621998 tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahah di bidang kehutanan kepada daerah; Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 107Kpts-II2003 tentang penyelenggaraan tugas pembantuan pengelolaan TAHURA oleh Gubernur atau Bupati Walikota. 117 Senami menjadi kebutuhan untuk mengarahkan kegiatan-kegiatan pengelolaannya menuju kelestarian fungsi-fungsi TAHURA Senami. Pengembangan kelembagaan menjadi bagian tidak terpisahkan dari Rencana Pengelolaan tersebut. Berdasarkan peraturan perundang-undangan, TAHURA adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi 3 . Tujuan-tujuan tersebut dirumuskan dalam konteks sosial budaya masyarakat dan kekayaan sumberdaya yang terkandung di dalamnya. Tujuan tersebut akan dicapai melalui serangkaian kegiatan-kegiatan. Kegiatan-kegiatan harus dijabarkan dan disusun dalam suatu Rencana Pengelolaan atau Management Plan. Suatu Rencana Pengelolaan yang sudah tersusun tidak akan berjalan sediri, melainkan harus ada wadah organisasi dan aturan yang mengoperasionalkan Rencana Pengelolaan menjadi tindak-tindakan pengelolaan. Dengan kata lain, harus ada kelembagaan yang diperlukan untuk mengoperasionalkan pengelolaan TAHURA. Di bawah ini rancangan pengembangan kelembagaan TAHURA Senami yang diusulkan alternatif, didahuli dengan uraian singkat gambaran umum sumberdaya TAHURA Senami. GAMBARAN UMUM TAHURA SENAMI Luas kawasan TAHURA Senami adalah 15.830 ha. TAHURA Senami secara geografis terletak pada 1 o 45’ 55” - 2 o 14’ 30” LS dan 103 o 12’ 30” - 104 o 47’ 30” BT. Ia terletak pada ketinggian kurang lebih 100 m diatas permukaan laut dengan bentang lahan sebagian bergelombang dan sebagian datar. Rata-rata curah hujan bulanan berkisar antara 175 mm sampai 222 mm dengan suhu udara harian rata-rata 28 o C. Jenis tanah yang dominan adalah podsolik merah kuning 70 , sebagian alluvial 18, granosol 3.24 dan lainnya 8.58. Beberapa jenis tumbuhan berkayu yang khas lokal adalah bulian Eusideroxylon zwagerii, balam Palaquium spp., dan jelutung Dyera costulata. Jenis lain tumbuhan berpohon yang ada di TAHURA Senami adalah sungkai Peronema canescens, tembesu Fragraea fragrans, bungur Lagerstroemia speciosa, merpayang Caphylum macropudum, kempas Koompassia malaccensis, pulai Alstonia speciosa, dan mersawa Anisoptera sp. Tumbuhan lain yang menjadi sumber ekonomi masyarakat adalah durian hutan Durio sp., jelutung Dyera costulata, rotan manau Calamus mannan dan rotan jernang Daemonorops draco. 3 Lihat Undang-undang No. 51990. 118 Selain kekayaan floranya, kawasan TAHURA Senami juga kaya faunanya. Kawasan TAHURA Senami merupakan bagian dari wilayah jelajahan home range Harimau Sumatera Panthera tigris sumatrae. Satwa liar lainnya antara lain Tapir Tapirus indicus, Rusa Cervus unicolor, Kijang Muntiacus muntjak, Beruang Madu Helarctos malayanus, Babi hutan Sus sp, Kancil Tragulus sp, Siamang Hylobates syndactylus, Landak Sumatera Hystrix brachiura, Trenggiling Manis javanica, Kera ekor panjang Macaca fascicularis, Beruk Macaca nemestrina, berbagai jenis burung hutan antara lain burung rangkong Badak Buceros rhinoceros, ayam hutan Gallus gallus, dan Kuau Arguasianus argus. Kawasan TAHURA Senami dikelilingi oleh 13 desa. Penduduknya beranekaragam sukubangsa, yaitu pendatang dari Jawa Sukubangsa Jawa dan Sunda, Melayu Jambi, dan sebagain lain adalah Orang Rimba suku asli, indigenous people. Matapencaharian penduduk beranekaragam: pencari hasil hutan bukan kayu HHBK, pertanian ladang bergilir swidden agriculture, pertanian lahan kering, pertanian kebun karet, sawit, perdagangan, karyawan swasta, pegawai negeri. Gambaran biofisik TAHURA Senami, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat di sekitarnya, menunjukkan adanya keanekaragaman ekosistem, keanekaragaman spesies, keanekaragaman genetik, keanekaragaman budaya, dan keanekaragaman lapisan strata sosial ekonomi dan politik. Keanekaragaman tersebut harus mendapat tempat dalam rancangan kelembagaan pengelolaan TAHURA Senami. RANCANGAN KELEMBAGAAN TAHURA SENAMI Kerangka Teori Uphoff 1986 mendefinisikan kelembagaan institution sebagai “complexes of norms and behaviors that persist over time by serving collectively valued purposes”. Definisi ini masih kurang menunjukkan wujud yang konkrit. Suparlan 1986 mendefinisikan kelembagaan sosial social institution sebagai “sistem antar hubungan peranan-peranan dan norma-norma yang terwujud sebagai tradisi untuk usaha-usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sosial utama tertentu yang dirasakan perlunya oleh para warga masyarakat yang bersangkutan”. Definisi kedua ini lebih menunjukkan adanya wadah yang mengatur para anggota untuk berperilaku sesuai dengan perannya sehingga dapat memenuhi kebutuhan bersama atau kolektif. Wadah itu dalam bentuk kelompok kecil, masyarakat desa, asosiasi, organisasi profesi, negara, atau organisasi internasional yang menghimpun anggotanya, membangun dan memelihara aturan mainnya untuk mencapai tujuan bersama. Dalam tulisan ini, kelembagaan mencakup dimensi wadah organisasi atau structure dan dimensi isi aturan atau culture. 119 Isi dan wadah dari suatu kelembagaan pengelolaan hutan tergantung pada karakteristik sumberdaya hutan dan tujuan pengelolaannya. Karakteristik sumberdaya hutan mencakup kemudahan eksklusi excludable dan sifat konsumsinya apakah subtraktif bersaing, rivalry atau nonsubtraktif joint. Kemudahan eksklusi tergantung pada status hak penguasaan atas sumberdaya hutan type of property-rights, yaitu apakah hak atas sumberdaya hutan dikuasai oleh individu, komunal, atau negara. Karakteristik sumberdaya hutan berdasarkan sifat konsumsinya dapat dielaborasi lebih lanjut, misalnya berdasarkan tingkat kelangkaan, tingkat regenerasi, dan tingkat kerentanan. Tujuan pengelolaan hutan dirumuskan apakah untuk konservasi, ekonomi, sosial-budaya, atau kombinasi dari padanya. Sumberdaya hutan menghasilkan barang dan jasa yang sebagian bersifat substraktif pohon, buah, getah, dll dan sebagain lain non-substraktif kesegaran udara, keindahan alam, inspirasi karya seni, ilmu pengetahuan, dll. Pengendalian atas pemanfaatannya mungkin mudah easy to exclude khususnya pada hutan rakyat private forests, tetapi sulit pada hutan negara public forests. Pengelolaan TAHURA Senami jelas untuk mempertahankan keanekaraman hayati biodiversity, disingkat KEHATI dan fungsinya. Sandler 1997: 745 menilai bahwa KEHATI memberikan manfaat yang non-rival dan termasuk non-excludable. 4 Oleh karena itu KEHATI sepenuhnya termasuk barang public a pure public good. Mengapa demikian ? Sandler 1997 menjelaskan bahwa KEHATI menjadi perhatian dan kepentingan banyak pihak stakeholders, bukan hanya pada tingkat lokal, melainkan pada tingkat global misalnya gene pools dan carbon storage. Sandler 1997: 757 menyarankan agar negara-negara pemilik hutan tropis tidak membuat kebijakan yang salah arah misdirected government policies, misalnya myopic land tenure policies suatu kebijakan yang tidak didasarkan pada pemahaman yang mendalam terhadap permasalahan, alternative solusi, dan implikasi dari alternative solusi. Ia juga menyarankan agar negara-negara maju mengakui peran negara-negara yang memiliki hutan tropis dan memberikan kontribusi finansial untuk memelihara KEHATI tetap lestari, . Sumberdaya TAHURA Senami sebagian dan dalam batas-batas ruang zona dan kuantitas tertentu dapat dimanfaatkan baik barang atau jasa yang bersifat non-substraktif maupun substraktif, misalnya getah jerenang, getah jelutung, tumbuhan berkhasiat obat TO, rekreasi wisata alam, maupun melakukan budidaya karet atau jenis tanaman lainnya pada zona pemanfaatan. Namun demikian, pemanfaatannya harus dalam kerangka pelestarian KEHATI. 4 Sandler 1997: 745 menjelaskan bahwa “The benefits of a good are non-rival whenever a unit of the good can be consumed by one agent without detracting, in the slightest, from the consumption opportunities still available to others from the same unit.”; “Benefits that are automatically available to all agents once the good is provided are termed non-excludable.” 120 Berdasarkan aspek legal formalnya, hak penguasaan atas sumberdaya TAHURA Senami dipegang oleh negara yang didelegasikan kepada Dinas Kehutanan Batanghari. Namun demikian pada tataran praksis penguasaan atas sumberdaya TAHURA juga dipegang oleh masyarakat lokal yang mengacu pada adat istiadatnya masyarakat Orang Rimba. Mengacu pada Hanna et.al 1996: 5, pemilik owner dari sumberdaya yang dikuasai oleh negara state property adalah warga negara citizens; hak pemilik adalah menentukan aturan-aturan, dan kewajiban pemilik adalah memelihara tujuan-tujuan social social objectives. Ostrom dan Schlager 1996: 133 membagi pemegang hak atas sumberdaya milik umum common-pool resources dan jenis haknya. Pemegang hak adalah pemilik owner, proprietor, claimant, pengguna user, dan pengunjung entrant. Pemilik adalah mereka yang memegang hak lengkap mencakup akses access, memungut atau mengumpulkan withdrawal, mengelola management, mengeksklusi exclusion, dan mengalienasi alienation, sedangkan pengunjung adalah mereka yang paling terbatas haknya yaitu hanya akses untuk berkunjung. Rancangan Kelembagaan TAHURA Senami Rancangan kelembagaan TAHURA Senami disusun dengan mempertimbangkan tujuan pengelolaan TAHURA Senami, keanekaragaman pihak yang berkepentingan stakeholders dan sifat-sifat haknya, dan keanekaragaman sumberdaya yang dapat dimanfaatkan dengan karakteristiknya masing-masing sebagaimana dijelaskan di atas. Pihak-pihak yang berkepentingan terhadap TAHURA Senami adalah Pemerintah Pusat dan Daerah, masyarakat lokal, lembaga pendidikan, pemerhati dan penggiat lingkungan hidup, pengusaha lembaga bisnis, dan masyarakat lebih luas nasional dan internasional. Sumberdaya TAHURA Senami yang potensial dapat dimanfaatkan mencakup hasil hutan bukan kayu termasuk tumbuhan obat, wisata alam atau ekowisata, berkemah camping, olahraga hiking, lintas alam, outbound: flying folk, KEHATI sebagai obyek penelitian, pengetahuan masyarakat lokal, dll. Pemerintah Pusat dan Daerah adalah pemegang hak paling lengkap karena ia sebagai pemilik owner. Dalam konteks hutan negara owner sesungguhnya adalah warga negara, sehingga hak yang dipegang oleh pemerintah adalah hak atas nama warga negara. Pemerintah adalah pemegang hak untuk akses access, memungut atau mengumpulkan withdrawal, mengelola management, mengeksklusi exclusion, dan mengalienasi alienation. Dengan kata lain, pemerintah mempunyai hak untuk mengatur segala urusan tentang pemanfaatan dan pengelolaan TAHURA Senami, termasuk mengatur hubungan-hubungan kerjasama dengan pihak lain tentang pemanfaatan dan pengelolaan. Masyarakat lokal dapat menjadi partisipan dalam pengelolaan TAHURA kolaboratif, sehingga mereka dapat memperoleh hak untuk mengelola management, bahkan hak untuk mengeksklusi pihak lain, disamping hak 121 memungut withdrawal hasil hutan dan berkunjung access. Hak untuk mengelola dan mengeksklusi yang dipegang masyarakat adalah pemberian dari pemerintah. Pihak-pihak lain sesuai dengan kepentingan dan kapasitasnya masing- masing dapat memperoleh hak dibawah pengaturan pemerintah. Kepentingan setiap pihak dibatasi oleh karakteristik sumberdaya dan tujuan pengelolaan. Hak yang diperoleh disertai dengan tanggung jawab. Misalnya, Lembaga Pendidikan mempunyai kepentingan untuk melakukan penelitian dan pendidikan tentang sumberdaya hutan dan lingkungan hidup. Peneliti diberi hak ijin untuk melakukan pengamatan, pengukuran, wawancara, pengambilan contoh sample: preparat, herbarium, membuat plot percontohan demplot, dll. Dengan kata lain, hak yang diperoleh peneliti adalah access dan withdrawal. Tabel 1 menyajikan lebih detail rancangan pengaturan hak-hak para pemegang kepentingan. Penunjukkan pemegang hak dan rincian haknya telah mengarahkan struktur hak. Namun demikian belum cukup menggambarkan struktur kewenangan dan tanggung jawab, serta hubungan antar pihak. Oleh karena itu perlu diuraikan struktur kewenangan dan tanggung jawab, serta hubungan antar pihak. Pemerintah sebagai pemegang hak paling lengkap adalah sekaligus pemegang kewenangan dan tanggung jawab paling besar. Pemerintah memegang tanggung jawab utama dalam pencapaian tujuan pengelolaan TAHURA. Ia bertanggung jawab atas eksistensi TAHURA Senami dan kelestarian fungsi-fungsinya. Dalam menjalankan tanggung jawabnya, ia berwenang untuk membangun hubungan- hubungan kerjasama dengan pihak lain, yaitu masyarakat, pengusaha, lembaga pendidikan dan penelitian, dan lainnya. Ia dapat membentuk Unit Pelaksana Teknis UPT yang melakukan kegiatan-kegiatan operasional sehari-hari, mengatur finansial, kegiatan teknis, mengatur sumberdaya manusia SDM, pembinaan masyarakat, dll. Untuk keperluan menjalankan tugas-tugasnya, UPT secara internal dapat membagi peran dan tanggung jawab kepada unit-unit kerja dalam struktur organisasi UPT. Para pihak selain pemerintah dapat membangun kerjasama dalam ruang lingkup yang lebih terbatas dan dalam kontrol pemerintah. Misalnya, masyarakat lokal yang menjadi kolaborator pengelolaan TAHURA dapat membangun kerjasama dengan pengusaha dalam urusan pemasaran hasil hutan bukan kayu. Lembaga pendidikan dan penelitian dapat bekerjasama dengan masyarakat lokal dalam urusan kaji-tindak partisipatif atau pendampingan. Pengusaha dapat membangun kerjasama langsung dengan pemerintah Dinas Kehutanan atau UPT dalam urusan bisnis ekowisata. Masing-masing pihak membangun aturan main hubungan kerjasama yang disesuaikan dengan mekanisme pasar. Melalui mekanisme pasar itulah para pihak mengadakan transaksi-transaksi. 122 Tabel 1. Rancangan Pengaturan Hak-hak Para Pemegang Kepentingan Pihak Berkepentingan Hak yang diperoleh Sumberdaya hutan yang dimanfaatkan Pemerintah Pusat dan Daerah · Akses: hiking, rekreasi, menikmati udara segar, dll, · Memungut: memancing, menyadap getah, mengumpulkan madu, dll, · Mengelola: mengambil keputusan; mengatur penggunaan, meningkatkan kualitas, dll, · Mengeksklusi: menentukan siapa- siapa yang boleh atau tidak boleh memperoleh akses dan memungut, serta mentransfer hak, dan · Mengalienasi: menyewakan, mengkonsesikan · Kawasan TAHURA; · Segala kekayaan yang ada di dalam kawasan baik berada di atas maupun di dalam tanah sumber-sumber agraria Masyarakat lokal · Akses: menikmati pemandangan alam, mencari inspirasi karya seni, melintas jalan, dll; · Mengumpulkan memungut HHBK: rotan, jelutung, buah- buahan; membudidayakan dan memanfaatkan MPTS, dll; · Menjadi partisipan pengelola TAHURA kolaboratif: mengatur kerjasama, bagi peran tanggung jawab; Pemandangan alam, kesegaran udara, suara alam satwa, gerak-gerik pohon, aliran air, dll, hasil hutan bukan kayu, hasil MPTS, dll Lembaga Pendidikan Penelitian Pengamatan, pengukuran, pengambilan contoh Sample tanah, mikro organisme tanah, flora fauna, pengetahuan 123 sample masyarakat lokal, dll Pengusaha Lembaga Bisnis · Bekerjasama dengan masyarakat dan Dinas Kehutanan untuk menampung HHBK; · Mengelola zona tertentu TAHURA sebagai zona bisnis ekowisata: lintasan hiking, camping, dll · Mengelola tour ekowisata: mengorganisir pengunjung; · Pemandangan alam, kesegaran udara, suara alam satwa, gerak-gerik pohon, aliran air, dll, · HHBK Masyarakat luas nasional · Pengunjung entrant: ekowisata, olahraga hiking, mencari inspirasi karya seni, melintas jalan, dll; · Membeli produk- produk olahan hasil hutan: obat tradisional atau modern berbahan hasil hutan Pemandangan alam, kesegaran udara, suara alam satwa, gerak-gerik pohon, aliran air, dll, Masyarakat internasional · Pengunjung entrant: ekowisata, olahraga hiking, mencari inspirasi karya seni, melintas jalan, dll; · Membeli produk- produk olahan hasil hutan: obat tradisional atau modern berbahan hasil hutan · Kesegaran udara: peningkatan ketersediaan oksegen dan penurunan carbon carbon sequestration; · Hasil hutan bukan kayu dalam berbagai produk olehan: kosmetik, obat, dll Pengembangan potensi sumberdaya hutan TAHURA dan potensi hak- hak atas sumberdaya hutan yang dapat didistribusikan tersebut di atas, perlu dibangun setelah diperoleh konsensus para lembaga pihak. Konsensus itu dicapai melalui proses penemuan persamaan orientasi nilai value orientation. Orientasi nilai merupakan ‘‘patterns of basic beliefs relative to a particular topic’’ Vaske and Donnelly 1999 dalam Abrams et.al., 2005. Orientasi nilai para pihak atas sumberdaya hutan mempengaruhi tujuan dan pola pengelolaan dan pemanfaatannya. Hasil- hasil kajian telah menunjukkan bahwa individu yang berorientasi pada ekonomi lebih mendukung praktek pengelolaan hutan tabang habis dari pada individu yang berorientasi ekologis Tindall, 2003 dalam Abrams 124 et.al., 2005; individu yang berspektif biosentrik biocentric lebih mendukung kebijakan yang meminimalkan intervensi manusia atas sumberdaya hutan, misalnya membatasi tebang habis, membuat rimba belantara, dan melindungi hutan-hutan tua, sedangkan individu yang berorientasi anthropocentric mendukung kegiatan pembalakan hutan alam, menekankan produksi kayu, dan mengesampingkan hukum-hukum lingkungan yang konflik dengan ketenagakerjaan berbasis sumberdaya Steel et.al., 1994 dalam Abrams et.al., 2005; individu yang berspektif ekonomi cenderung lebih mendukung penggunaan hutan untuk manusia seperti pembalakan komersial, pertambangan, dan rekreasi balap motor, sedangkan yang percaya bahwa dunia alam mempunyai nilai “intrinsic” cenderung bersikap negative terhadap pembalakan dan pertambangan komersial dan bersikap positif terhadap rimba belantara Brown and Reed, 2000 dalam Abrams et.al., 2005. Proses membangun konsensus tentang TAHURA Senami telah dilakukan dan menunjukkan bahwa orientasi nilai para pihak stakeholders tentang TAHURA Senami berbeda-beda mulai dari yang sangat pro lingkungan atau biocentric menurut konsep Abrams et.al., 2005 sampai yang sangat pro ekonomi komersial. Namun demikian telah ada kesepahaman bersama bahwa keberadaan TAHURA dan fungsi ekologisnya sangat penting bagi kehidupan masyarakat Batanghari dan harus dipertahankan Suharjito, 2006. Berdasarkan orientasi pengembangan untuk pengelolaan dan pemanfaatan TAHURA Senami yang telah disepakati dan para pihak komitmen terhadapnya, tahap berikutnya adalah membangun struktur kewenangan dan tanggung jawab yang akan dijalankan oleh masing- masing lembaga pihak. Gambar 1 menunjukkan alternatif struktur kewenangan dan tanggung jawab setiap lembaga, serta hubungan antar lembagapihak yang dapat dibangun. Kejelasan struktur kewenangan dan tanggung jawab setiap lembaga belum cukup untuk mewujudkan tindakan kerjasama antar lembaga pihak. Setiap lembaga pihak harus memiliki kapasitas untuk melakukan tindakan yang menjadi kewenangan dan tanggung jawabnya. Setiap lembaga pihak juga harus memiliki kapasitas untuk memahami kepentingan dan memenuhi harapan atau kebutuhan dari lembaga pihak lain. Dengan kata lain, setiap lembaga pihak memiliki peran yang tepat. Weyerhaeuser et.al. 2005 memberikan ilustrasi berdasarkan suatu contoh kasus dari program rehabilitasi dan konservasi hutan regional di Provinsi Yunnan China bahwa staf dan lembaga kehutanan tingkat lapangan lokal kurang memiliki kapasitas untuk mempertimbangkan gagasan dan aspirasi petani dalam pemilihan jenis tanaman, dan siap memberikan dukungan teknis untuk memenuhi kebutuhan petani, sehingga program tidak berjalan lancar. Program tidak hanya bertujuan untuk merehabilitasi dan mengkonservasi hutan secara fisik, dan lembaga kehutanan tidak hanya harus memiliki kapasitas tentang kesesuaian jenis tanaman terhadap dampak ekologis yang diharapkan, melainkan program 125 juga harus dapat mendukung matapencaharian atau kehidupan masyarakat lokal local livelihoods. Uraian tentang pemanfaatan sumberdaya TAHURA Senami di atas menekankan bahwa TAHURA bukan sebagai cost center, melainkan mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai profit center, sekurang- kurangnya self-financing tanpa pertumbuhan keuntungan tanpa tabungan saving dalam menjalankan kegiatan-kegiatan. Jika hanya sampai keseimbangan breakeven point saja, maka untuk meningkatkan investasi harus memperoleh modal dari sumber lain, misalnya perbankan. Unit Kerja UPT yang professional sangat diperlukan agar pengelolaan TAHURA Senami sekurang-kurangnya sampai self-financing tersebut. Kondisi yang sangat diharapkan adalah pengelolaan TAHURA Senami menghasilkan keuntungan, menjadi profit center. Apabila potensi sulit dikembangkan, atau sumberdaya manusia pengelola kurang memiliki kompetensi dan kapabilitas untuk menumbuhkan profit center, sehingga pengelolaan TAHURA Senami menjadi cost center, maka Unit Kerja harus memburu sumber-sumber modal dari internal pemerintahan maupun dari luar pemerintahan. Pada internal pemerintahan, anggaran belanja pengelolaan TAHURA harus diajukan ke DPRD dan meminta dukungan dari BAPPEDA. Alternatif lain adalah melalui dukungan lembaga donor. Departemen Kehutanan Balai Konservasi SDA Sub Balai Konservasi SDA GUBERNUR Dinas Kehutanan Provinsi Dinas Kehutanan Kabupaten BUPATI UPT BAPPEDA Dinas- dinas lain DPRD Lembaga Pendidikan Lembaga Bisnis Lembaga Donor Lembaga Keuangan Lembaga Pemerhati Lingkungan Hidup 126 DAFTAR PUSTAKA Abrams, J., E.K.B. Shindler, J. Wilton. 2005. Value Orientation and Forest Management: The Forest Health Debate. Environmental Management Vol. 36,No. 4,pp. 495–505. Springer Science and Business Media,Inc. Hanna, S.S., C. Folke, and K.G. Maler. Property Rights and the Natural Environment. Dalam Hanna, S.S., C. Folke, and K.G. Maler eds. 1996. Rights to Nature. Island Press, Washington D.C. Ostrom, E. and E. Schlager. The Formation of Property Rights. Dalam Hanna, S.S., C. Folke, and K.G. Maler eds. 1996. Rights to Nature. Island Press, Washington D.C. Sandler, Todd. 1997. Collective Action and Tropical Deforestation. International Journal of Social Economics Vol. 24 No. 789, pp. 741- 760. MCB University Press. Suharjito, Didik. 2006. Building Collaborative Forest Management: Preliminary Results. ITTO Technical Report No. 2, ITTO Project No. PD 21003 Rev 3 F “Participatory Establishment of Collaborative Sustainable Forest Management in Dusun Aro, Jambi. Faculty of Forestry - Bogor Agricultural University in Collaboration with Directorate General of Land Rehabilitation and Social Forestry Ministry of Forestry. Toledo, V.M., B. Ortiz-Espejel, L. Cortés, P. Moguel, and M. de Jesús Ordoñez. 2003 The Multiple Use of Tropical Forests by Indigenous Peoples in Mexico: a Case of Adaptive Management. Conservation Ecology 73: 9. [online] URL: http:www.consecol.orgvol7iss3art9 Masyarakat Lokal Lain-lain Gambar 1. Struktur Kewenangan dan Tanggung Jawab setiap Lembaga, serta Hubungan antar Lembaga Keterangan: = Perintah, pengendalian, pengawasan; = Koordinasi = Perbantuan teknis, manajemen, financialmaterial = Pembinaan pendampingan = Perwakilan, informasi, 102 Pada akhirnya diharapkan adanya Taman Hutan Raya Model yang menjadi contoh terhadap pembangunan konservasi hayati dengan skala provinsi di Indonesia yang mandiri dan berkelanjutan serta berazazkan, perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari. ASPEK KELEMBAGAAN PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA Oleh : Hariadi Kartodihardjo ________________________________________________________________________ Workshop Penyusunan Konsep Management Plan Taman Hutan Raya Bogor, 9 Mei 2007 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 78 DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM DIREKTORAT KONSERVASI KAWASAN Gedung Pusat Kehutanan Manggala Wanabakti, Blok VII lantai 7 Jl. Jend. Gatot Subroto, Jakarta 10270 - Telp. 5720229 - Fax. 5720229 ASPEK PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA Oleh : Tubagus Unu Nitibaskara ___________________________________________________________ Workshop Penyusunan Konsep Management Plan Taman Hutan Raya Bogor, 9 Mei 2007 79

I. PENDAHULUAN