ITTO National Workshops Proceedings, Bogor May 9th, 2007

(1)

ITTO Workshops Proceedings, May 9th, 2007. Bogor, West Java 76 KERAGAMAN GENETIK DAN UPAYA KONSERVASI

ULIN (Eusideroxylon zwageri) DI INDONESIA Oleh/by:

Henti Hendalastuti R. & Iskandar Z. Siregar Fakultas Kehutanan IPB, Kampus Darmaga, Bogor

ABSTRACT

Ulin/belian (Eusideroxylon zwageri) is economically high value timber. Wood strength and its durability is classified into class one resulting ulin in one of the most popular wood for many purposes. Intensified exploitation rate of ulin has decreased ulin population in its natural habitat. Untill now we can only find few articles dealing with genetics of ulin, although this kind of research is needed to determine the extent of existing genetic variation of ulin. Genetic information is very important as scientific basics for designing appropriately the conservation and tree breeding programs.

Key words : Eusideroxylon zwageri, genetic diversity, conservation. ABSTRAK

Ulin/belian (Eusideroxylon zwageri) merupakan kayu dengan nilai ekonomi tinggi. Karakteristik kayu ulin dengan tingkat ketahanan dan kekuatan yang sangat tinggi (kelas I) menjadikan kayu ini sebagai salah satu primadona untuk berbagai pemanfaatan. Laju eksploitasi ulin yang intensif telah menyebabkan keberadaan tegakan ulin di hutan alam semakin langka. Sampai dengan saat ini hanya sedikit penelitian yang menggali informasi keragaman genetik ulin, padahal penelitian semacam ini sangat diperlukan untuk mengetahui besarnya variasi genetik yang ada. Informasi genetik merupakan hal yang sangat penting terutama sebagai landasan dalam perancangan dan penyusunan program konservasi maupun pemuliaan pohon.

Kata kunci : Eusideroxylon zwageri, keragaman genetik, konservasi. I. EKOLOGI ULIN

Pohon ulin atau belian (Eusideroxylon zwageri) tersebar secara alami di Sumatera, Kalimantan, Bangka, Belitung, Kepulauan Sulu dan Filipina. Di Sumatera dan Kalimantan, ulin tersebar luas secara berkelompok sebagai bagian dari hutan dipterokarpa dan pada beberapa wilayah tertentu mampu membentuk jenis dominan tunggal. Ulin biasanya tumbuh pada hutan primer dataran rendah sampai dengan ketinggian 400 mdpl dan juga dapat tumbuh pada hutan sekunder tua (APFORGEN. 2005).

Tinggi pohon bisa mencapai lebih dari 30 cm dengan diameter batang ada yang mencapai lebih dari 90 m. Kayu ulin biasa digunakan sebagai bahan untuk konstruksi berat, alat-alat kelautan, bahan pembuatan perahu, printing block, atap maupun bahan baku flooring. Sebagai pohon penyusun hutan hujan tropis, kondisi lingkungan optimal tempat tumbuhnya berkisar pada suhu 25-35oC dengan curah hujan tahunan 2500-3900 mm. Di Kalimantan, ulin mampu


(2)

ITTO Workshops Proceedings, May 9th, 2007. Bogor, West Java 77 tumbuh pada ketinggian 100-600 mdpl dengan tingkat kerapatan 4-8 pohon/ha. Masa pembungaan mampu terjadi sepanjang tahun tergantung lokasi dan iklim. Waktu pemunculan bunga bervariasi tergantung lokasi, seperti pada bulan Agustus-September di Palembang, bulan Juli di Jambi, bulan Juni, Agustus, November dan Desember di Belitung, bulan Oktober dan Nopember di Kalimantan Selatan. Waktu dari mulai berbunga sampai dengan kemasakan biji dapat terjadi dalam waktu relatif singkat yaitu sekitar 3 bulan. Irawan dan Gruber (2003) melaporkan bahwa di Jambi, ulin tumbuh berasosiasi dengan lebih seratus jenis pohon lainnya seperti Palaquium hasseltii, Ochanostachys amentaceae dan Shorea spp.

Irawan (2005) juga melaporkan bahwa di Jambi ulin tumbuh terpisah di berbagai wilayah propinsi, terutama di hutan alam Senami yang memiliki luas 15.500 ha. Hutan Lindung Durian Luncuk I dan Durian Luncuk II yang juga merupakan habitat alami ulin memiliki luas 30,3 dan 44,5 ha, selanjutnya hutan lindung ini ditunjuk sebagai wilayah khusus untuk konservasi ulin di Jambi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 34/kpts-II/1987.

II. ARTI PENTING DAN STATUS BIOLOGI

Ulin merupakan jenis kayu yang pemanfaatannya banyak disukai baik untuk keperluan lokal maupun untuk keperluan perdagangan. Karakteristik kayu ulin yang sangat menarik adalah karena kayu ini tahan terhadap serangan rayap dan berbagai jenis insek dan jamur pelapuk yang biasanya merupakan persoalan di negara-negara tropis. Penelitian Wong et al. (1996) pada uji ketahanan jamur pelapuk kayu menunjukkan bahwa kayu ulin sangat resisten terhadap serangan jamur tersebut. Kayu ulin pada tingkat pancang di Sarawak menunjukkan bahwa hanya permukaan saja yang mengalami biodeteriorasi setelah mengalami kotak dengan tanah selama 20 tahun. Martawijaya et al. (1989) dalam Irawan (2005) menyebutkan bahwa karakteristik fisik dari E. zwageri sangat bagus. Kekuatan dan ketahanan kayu jenis ini masuk ke dalam kelas satu serta berat jenis yang tinggi dengan nilai 0,88-1,19. Oleh karena karakteristik inilah maka permintaan terhadap kayu ulin di pasar Indonesia sangat tinggi, terutama untuk pekerjaan-pekerjaan konstruksi berat.

Keberadaan ulin di hutan alam semakin menurun. Over eksploitasi yang diperburuk dengan maraknya kegiatan pembukaan lahan merupakan alasan utama semakin menurunnya keberadaan jenis lambat tumbuh ini. Di Sumatera sendiri, jenis ini hampir semuanya telah rusak (WWF dan IUCN 1994-1995). Ulin merupakan jenis yang dilindungi total di Indonesia, tidak ada ijin ekspor yang diterbitkan dan pelarangan diberlakukan untuk pemanenan dibawah pohon berdiameter kurang dari 60 cm. Partomihardjo (1987) menyatakan bahwa pengaturan eksploitasi dan kriteria-kriteria penebangan yang lebih baik sangatlah dibutuhkan dalam pelestarian jenis ini. Ulin oleh IUCN (2003) telah dimasukan dalam kategori Vulnerable dan telah direvisi untuk dimasukkan dalam Appendix II CITES.


(3)

ITTO Workshops Proceedings, May 9th, 2007. Bogor, West Java 78 III. KERAGAMAN GENETIK DAN UPAYA KONSERVASI

Penelitian mengenai kayu ulin masih sangat terbatas dan kebanyakan penelitian yang sudah dilakukan lebih terfokus ke teknik perbanyakan jenis ini. Berikut adalah beberapa hasi penelitian yang sudah dilakukan mengenai keragaman genetik dan upaya konservasi jenis ini khususnya di Indonesia. 3.1. Variasi genetik dalam populasi

Pengetahuan mengenai variabilitas genetik sangat penting sebagai syarat awal dalam sebuah program pemuliaan yang efisien karena hal tersebut berpengaruh terhadap variasi pada level populasi dan juga potensi evolusi dari kelompok yang diamati. Sampai pada batas tertentu, penyebaran variabilitas genetik dalam sebuah populasi tercermin secara morfologis pada populasi tersebut. Dengan demikian maka kajian karakteristik morfologi dari populasi alami seringkali merupakan suatu tahap penting dalam penelitian variabilitas genetik.

Selama ini, masyarakat lokal di Jambi mengenal 4 tipe ulin/belian yang tumbuh di Hutan Senami Jambi, meliputi : belian daging, kapur, sirap, dan tanduk. Pembagian tipe ulin yang dikenal masyarakat lokal hanya berdasar pada struktur morfologi baik bentuk dan ukuran daun, bentuk dan ukuran buah, warna dan tekstur kulit batang, warna kayu, ataupun tingkat kekerasan kayu.

Irawan (2005) melakukan penelitian untuk mengungkap keragaman genetik dalam populasi terhadap 4 tipe ulin/belian yang selama ini dikenal masyarakat berdasarkan perbedaan morfologis. Jumlah sampel yang digunakan adalah 50 sampel dengan metode penanda PCR AFLP dan selanjutnya dilakukan analisa klaster dengan metode UPGMA. Kombinasi primer AFLP E42 dan M70 mampu menghasilkan 100 fragmen yang dapat di skoring, berkisar dari 74 – 324 bp; lokus yang dihasilkan terdiri dari 53 lokus polimorfik sedangkan 47 lokus adalah monomorfik.

Hasil klastering dengan metode UPGMA memasukkan keempat tipe ulin yang dianalisis ke dalam 4 klaster utama. Kluster pertama dan kedua dibentuk oleh individu-individu yang termasuk dalam tipe daging dan tanduk. Kedua kelompok itu memiliki hubungan yang lebih dekat daripada kedua kelompok lainnya. Kelompok ketiga dan keempat dibentuk oleh tipe kapur dan sirap. Analisis klaster juga menghasilkan bahwa satu dari 50 sampel yang dianalisis membentuk kelompok sebagaimana pengelompokan tipe ulin yang dikenal di masyarakat lokal.

Kesamaan genetik antar sampel dalam dan antar tipe dihitung dengan koefisien

Jaccard’s. Koefisien Jaccard untuk kesamaan genetik dalam kelompok

menghasilkan nilai yang berbeda untuk tiap tipe yaitu tipe daging berkisar antara 83,78-97,10%, kapur 82,72-98,85, sirap 79,22-95,71, dan tanduk 80,26-94,52. Sedangkan nilai kesamaan genetik antar dua sampel pada kelompok yang berbeda masing- masing untuk daging - kapur berkisar antara 69,51-85,71; daging - sirap 74,68 – 91,67, daging - tanduk 74,03 – 90,41, kapur -


(4)

ITTO Workshops Proceedings, May 9th, 2007. Bogor, West Java 79 sirap 76,25 – 90, 67, kapur - tanduk 73,17 – 90,67, dan sirap - tanduk 77,22 –

91,67.

3.2. Keragaman genetik antar populasi

Informasi keragaman genetik diperlukan untuk mengetahui besarnya variasi genetik yang ada. Hal ini penting karena dapat menjadi dasar kegiatan konservasi maupun pemuliaan pohon. Penggunaan penanda molekuler menjadi penting sebagai salah satu teknik yang digunakan untuk pendugaan tingkat keragaman, hubungan kekerabatan, parameter persilangan, identifikasi genotipe mapun seleksi dengan penanda DNA atau MAS (Cheliak dan Rogers, 1990).

Rimbawanto et al. (2006) melakukan penelitian untuk mengetahui keragaman populasi Eusideroxylon zwageri Kalimantan Timur berdasarkan penanda RAPD. Bahan pnenelitian berupa sampel daun ulin yang berasal dari lima populasi daerah penyebaran ulin di Kalimantan Timur, yaitu : Taman Nasional Kutai, Hutan Lindung Gunung Meratus, Hutan Lindung Sungai Wain, Hutan Penelitian Wanariset Samboja, dan Kebun Raya Samarinda Lempake. Masing-masing populasi terdiri dari 16 sampel. Sampel daun dikumpulkan dari 5 populasi dan dianalisa menggunakan 19 primer RAPD yang menghasilkan 48 lokus polimorfik. Nilai keragaman genetik rata-rata dalam populasi sebesar 0,3564 sedangkan keragaman antar populasi 0,0415. Untuk melihat penyebaran keragaman genetik dari populasi ulin maka selanjutnya dilakukan analisis AMOVA. Hasilnya menunjukkan bahwa 96% dari keragaman genetik terdapat dalam populasi, ini berarti bahwa keragaman antara populasi hanya sekitar 4% saja.

Hasil analisis klaster membagi ulin menjadi dua kelompok populasi yaitu TN. Kutai, Meratus, S. Wain dan Semboja, sedang populasi Lempake merupakan satu kelompok tersendiri. Populasi Samboja, Meratus, dan S. Wain berada dalam satu kelompok karena letaknya berdekatan. Populasi Lempake terpisah dari kelompok populasi lainnya dan mempunyai jarak genetik yang relatif tinggi terhadap populasi-populasi lainnya karena letaknya yang relatif terpisah dari ketiga populasi tersebut. Dari hasil ini terlihat jelas bahwa pola pengelompokan populasi dan jarak genetik memperlihatkan hubungan yang nyata dengan distribusi geografis populasi ulin. Hal tersebut diperkuat dengan hasil yang menunjukkan bahwa populasi S. Wain dan Samboja mempunyai hubungan genetik terdekat karena secara geografis kedua populasi tersebut letaknya juga berdampingan.

3.3. Upaya konservasi eksitu ulin

Introduksi merupakan suatu proses mendatangkan suatu kultivar tanaman ke suatu wilayah baru. Dalam terminologi konservasi, pemilihan dan penanaman suatu jenis di luar habitat aslinya menjadi penting sebagai suatu kegiatan konservasi eksitu. Tanaman introduksi yang dapat tumbuh baik di suatu daerah baru mempunyai arti penting bagi pemuliaan tanaman sebab tanaman tersebut mempunyai daya adaptasi yang baik dengan lingkungan baru.


(5)

ITTO Workshops Proceedings, May 9th, 2007. Bogor, West Java 80 Kegiatan konservasi genetik merupakan aktivitas yang terpadu dengan program pemuliaan pohon untuk menjamin tersedianya materi genetik dengan variasi genetik yang cukup luas agar dapat dikembangkan di masa yang akan datang. Setiap tanaman mengekspresikan fenotifik yang berbeda, tanaman yang tumbuh baik menunjukkan kemampuan beradaptasi dengan baik di tempat tumbuh tersebut sedangkan yang tidak mampu akan tumbuh jelek dan mati.

Pembangunan plot konservasi yang dirancang sebagai uji provenans sangat penting selain sebagai penyelamatan materi genetik jenis ulin yang terancam punah di sebaran alam juga dapat menyediakan materi genetik dengan variasi genetik yang lebih besar untuk kepentingan program pemuliaan pada masa yang akan datang. Sepengetahuan penulis, usaha konservasi eks situ telah dimulai oleh beberap peneliti walaupun masih pada tahap awal pertumbuhan, sehingga perawatan plot-pot konservasi yang telah dirintis masih perlu terus dilakukan.

Hakim (2008) telah melakukan penelitian variasi pertumbuhan empat provenans Ulin (Eusideroxylon zwageri) Kalimantan. Penelitian dilakukan untuk melihat variasi pertumbuhan empat provenan asal Kalimantan yaitu provenan Seruyan Hulu Kalteng, Nanga Tayap Kalbar, Sumber Barito Kalteng, dan Sepaku Kaltim. Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa keempat provenan memiliki variasi pertumbuhan yang berbeda sangat nyata pada pengukuran 6 bulan, 12 bulan, maupun 18 bulan untuk parameter rata-rata pertumbuhan tinggi dan diameter. Pertumbuhan tingggi dan pertambahan diameter batang pada 18 bulan setelah tanam untuk Provenan Seruyan Hulu Kalteng adalah 94,31 cm dan 1,12 cm, Nanga Tayap Kalbar 74,82 cm dan 0,96 cm, Sumber Barito Kalteng 73,75 cm dan 0,93 cm dan Sepaku Kaltim 66,78 cm dan 0,87 cm.

3.4. Perkembangan penelitian ulin di luar Indonesia

Selain kegiatan penelitian yang telah dijabarkan sebelumnya, kajian keragaman genetik ulin yang cukup menyeluruh di luar Indonesia telah dilakukan oleh Seng et al. (2005). Penelitian Seng et al. (2005) didasari dengan sulitnya membedakan dua jenis ulin yang tumbuh di Serawak. Ada dua jenis ulin/belian yang dikenal di Serawak yaitu Eusideroxylon zwageri dan Potoxylon malangangai. Kedua jenis tersebut memiliki kesamaan yang dekat dalam karakter-karakter vegetatifnya kecuali struktur kayunya. P. malangai memiliki warna kayu yang lebih cerah dan ketahanan yang lebih rendah dibanding E. zwageri. Namun demikian, kedua jenis tersebut tetap sangat sulit dibedakan berdasarkan kenampakan vegetatifnya di lapangan.

Penelitian Seng et al. (2005) menjadikan teknik molekular sebagai dasar konservasi ulin di Serawak. Tujuan dari kegiatan tersebut adalah menyusun genotipe ulin berdasarkan penanda molekular berbasis PCR dan mengembangkan penanda-penanda genetik spesifik untuk mengidentifikasi ulin. Adapun analisa keragaman genetik ullin dilakukan dengan berbagai penanda molekuler meliputi isoenzymes, PCR-RFLPs, RAPDs, DAMD, ISSRs dan SSRs.


(6)

ITTO Workshops Proceedings, May 9th, 2007. Bogor, West Java 81 IV. PENUTUP

Sampai dengan saat ini hanya sedikit informasi genetik yang tersedia terutama yang bermanfaat dalam menganalisis variasi genetik dalam dan antar populasi ulin untuk kepentingan pelestarian jenis ini yang keberadaannya di alam terus menurun. Karakterisasi variasi genetik merupakan pusat dalam kegiatan konservasi keragaman genetik di alam maupun populasi hasil domestikasi. Populasi dengan variasi genetik yang rendah akan lebih rentan terhadap perubahan faktor luar seperti kedatangan jenis-jenis hama atau penyakit baru, perubahan iklim, perubahan habitat akibat aktivitas manusia dan kejadian-kejadian alam lainnya. Ketidakmampuan melakukan adaptasi terhadap perubahan kondisi lingkungan sekitar secara nyata akan meningkatkan resiko kepunahan jenis.

DAFTAR PUSTAKA

APFORGEN. 2005. Prority species Information Sheet. Eusideroxylon zwageri Teijsm & Binned. Website : www.apforgen.org. Diakses tanggal 15 Maret 2008.

Hakim, L. 2008. Variasi pertumbuhan empat provenan ulin (Eusideroxylon zwageri) Kalimantan. Tidak diterbitkan.

Irawan, B. Dan F. Gruber. 2003. A study on tree diversity in association with variability of ironwood (Eusideroxylon zwageri) in Jambi, Indonesia. Deutcher Tropentag 2003. Technological and Institutional Innovation for Sustainable Rural Development. October 8-10, 2003, Gottingen, Germany.

Irawan, B. 2005. Ironwood (Eusideroxylon zwageri Teijsm. & Binn) And Its Varietes in Jambi Indonesia. Dissertation. Faculty of Forestry and Forest Ecology Georg-August University of Gottingen. Cuvillier Verlag. Gottingen.

Rimbawanto, A. AYPBC Widyatmoko. Dan Harkingto. 2006. Keragaman populasi Eusideroxylon zwageri Kalimantan Timur berdasarkan penanda RAPD. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. Vol 3. No 3. Juni 2006, 201-208.

Partomihardjo, T. 1987. The ulin wood which is threathened to extinction. Duta Rimba 87-88 (13): 10-15.

Seng, H. W., A.A.S.A Husaini., H. Azman., A. H. Roslan., C. Tawan., I. Ipor., Y.A. Siew. 2005. Molecular technique for belian conservation. Research Update Vol. 2 No. 2, 2005.

Wong, A.H.H., Singh, A. P. and Ling, W. C. 1996. Major decay type recognized in extremely durable timber species belian (Eusideroxylon


(7)

ITTO Workshops Proceedings, May 9th, 2007. Bogor, West Java 82 zwageri) from east Malaysia. Proceeding of the timber research and tecnical training centre. Forest product seminar 11-13 March 1996. Kuching Malaysia. 162-173.

WWF and IUCN. 1994-1995. Centres of Plant Diversity. A guide and strategy for their conservation. Vol 2. IUCN publication unit, Cambridge, UK.


(8)

141 STRATEGI PEMILIHAN JENIS TANAMAN UNTUK REHABILITASI

TAHURA Oleh

Sri Wilarso Budi R1

Pendahuluan

Di dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998, kawasan konservasi dapat dikategorikan sebagai (a) Kawasan Suaka Alam (KSA), yang terdiri dari Cagar Alam (CA) dan Suaka Margasatwa (SM) (b) Kawasann Pelestarian Alam (KPA), yang terdiri dari Taman Nasional (TN), Taman Wisata Alam (TWA), dan Taman Hutan Raya (TAHURA), (c) Taman Buru (TB).

Pembagian kawasan konservasi diatas didasarkan pada fungsi masing-masing kawasan, baik sebagai fungsi perlindungan, pengawetan maupun pemanfaatan sumber daya alam yang ada di dalam kawasan tersebut. Kawasan Suaka Alam (KSA): adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, sedangkan Kawasann Pelestarian Alam (KPA): adalah kawasan dengan ciri khas tertentu. baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara leslari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Taman Buru (TB): adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat diselenggarakannya pemburuan secara teratur. Dengan demikian maka, di dalam KSA tidak ada fungsi pemanfaatan secara langsung terhadap kawasan tersebut, sedangkan pada KPA terdapat fungsi pemanfaatan secara langsung.

Sebagai konsekuensi dari fungsi yang dibebankan terhadap kawasan tersebut, maka setiap kategori kawasan mempunyai karakteristik pengelolaan sendiri-sendiri dan tercermin dari zona-zona yang dapat dibuat di setiap kawasan konservasi tersebut.

Perbedaan antara Taman Nasional (TN) dengan Taman Hutan Raya (TAHURA) terletak pada tipe ekosistemnya, pada Tanaman Nasional ditetapkan suatu ekosistem asli dan tetap dijaga keasliannya yang dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian. ilmu pengetahuan, pendidikan. menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi alam, sedangkan pada TAHURA, ditetapkan pada kawasan dengan ciri khas baik asli maupun buatan, baik pada kawasan yang ekosistemnya

1


(9)

142 sudah berubah maupun asli, dan bertujuan untuk koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan/atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian. ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi.

Dari fungsi yang diembannya, maka dapat diketahui bahwa di dalam TAHURA dimungkinkan campur tangan manusia yang lebih intensif dalam pengelolaannya, termasuk dalam hal penentuan jenis-jenis yang dapat dikembangkan di kawasan TAHURA ini.

Dalam paper ini disajikan strategi pemilihan jenis pohon yang akan ditanam di kawasan TAHURA dalam rangka meningkatkan keberhasilannya.

Degradasi TAHURA

Di Indonesia sampai saat ini sudah ada 21 Taman Hutan Raya yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. TAHURA pertama yang ditetapkan Pemerintah adalah TAHUA Ir H. Juanda di Bandung, ditetapkan tahun 1985, melalui surat Keputusan Presiden No 3/1985 tanggal 14 Januari 1985.

Permasalahan degradasi TAHURA di seluruh Indonesia pada saat ini sudah sampai kondisi yang sangat krittis. Keadaan ini disebabkan tidak hanya karena kegiatan ilegal logging, namun juga adanya tekanan penduduk baik yang berada di sekitar likasi TAHURA maupun pendatang-pendatang dari luar yang membuat kebun di TAHURA.

Menurut Sutarman (2006), terjadinya degradasi TAHURA Sutan Thaha Saifuddin di Jambi disebabkan oleh :

1) Saat ini, kawasan Tahura Sutan Thaha Syaifuddin menghadapi tekanan yang sangat berat pada hampir seluruh bentang kawasan. Hal ini dipicu oleh akses masuk ke dalam Tahura Senami yang berupa jalan aspal (di sisi timur dari desa Pompa air sampai desa Bungku dan bagian tengah dari pal 10 Sridadi sampai Desa Jangga Baru), dan jalan-jalan cabang yang tidak dihancurkan. Faktor aksesibilitas yang baik ini menyebabkan praktek Illegal Logging dan perambahan marak terjadi.

2) Adanya kebijakan pelepasan kawasan Tahura seluas 174 Ha untuk pemukiman Suku Anak Dalam menjadi salah satu potensi munculnya persoalan Demografi. Interaksi sosial ekonomi antara masyarakat pendatang dan pemukiman serta pertambahan jumlah penduduk memicu perluasan lahan garapan atau okupasi kawasan Tahura.

3) Pada kenyataannya terdapat 9 Desa dan satu Kelurahan yang berbatasan langsung dengan Tahura Senami. Mayoritas mata pencaharian penduduk pada desa-desa tersebut adalah bidang pertanian/perkebunan dengan jenis tanaman karet dan Sawit. Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk


(10)

143 yang berdomisili di dalam dan sekitar Tahura, maka intensitas interaksi masyarakat dengan Tahura juga meningkat. Wujud interaksi tersebut berupa pemanfaatan sumberdaya alam Tahura untuk memenuhi kebutuhan hidup, melalui penebangan liar dan konversi lahan Kawasan Tahura menjadi areal pertanian, perkebunan dan pemukiman.

Hal yang serupa juga terjadi pada TAHURA lain di seluruh Indonesia, oleh karena itu untuk mengembalikan fungsi TAHURA itu sendiri misi Rehabilitasi TAHIURA perlu mendapat perhatian yang serius.

Strategi Pemilihan Jenis Tanaman

Pertumbuhan tanaman yang optimal pada dasarnya dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor Genetik dan faktor Lingkungan. Namun demikian pada kondisi dimana faktor manusia sangat dominan dalam preferensi terhadap tanaman yang akan di tanam, maka faktor preferensi manusia terhadap jenis tanaman juga perlu mendapat perhatian. Oleh karena itu dengan memperhatikan fungsi TAHURA dan partisipasi masyarakat dalam keberhasilan rehabilitasi TAHURA, strategi Pemilihan Jenis tanamannya harus mengacu pada dua hal yaitu :

1. Kondisi Biofisik

Pemilihan jenis tanaman merupakan kegiatan yang sangat penting yang biasanya dikaitkan dengan tujuan penanaman. Dalam kegiatan rehabilitasi lahan, penanaman bertujuan untuk meningkatkan produktivitas sumberdaya lahan terdegradasi sehingga dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitarnya. Jika tujuan penanaman telah ditetapkan, maka tahapan pemilihan jenis selanjutnya adalah mempertimbangkan beberapa aspek penting lainnya seperti kondisi lingkungan tempat tumbuh dan keberadaan jenis-jenis potensial, baik jenis pohon maupun tanaman pertanian. Faktor lingkungan biofisik yang dipertimbangkan diantaranya adalah tanah, topografi, dan iklim, sedangkan faktor budidaya jenis mencakup keberadaan dan pertumbuhan jenis di lokasi target, ketersediaan benih, mutu benih, ketahanan hama-penyakit, interaksi asal benih dan tempat tumbuh, pertumbuhan, kemudahan integrasi dengan tata guna lahan. Pertimbangan konseptual menurut Evan (1992) pemilihan jenis tanaman dalam rangka peningkatan lahan terdegradasi disajikan pada Gambar 1.

Informasi yang lengkap mengenai keberadaan jenis potensial dan lingkungan biofisik lokasi program rehabilitasi dapat diperoleh melalui kegiatan survey lapangan dan studi pustaka. Pada bentang lahan yang tidak terlalu luas, survey lapangan dilakukan untuk mendapatkan informasi jenis-jenis yang telah tumbuh secara alami atau dibudidayakan oleh masyarakat setempat, dan faktor pembatas penting dari lahan dalam rangka menyusun rekomendasi perlakuan budidaya yang tepat. Jika telah diketahui, maka selanjutnya kesesuaian jenis dapat disusun dan dijadikan bahan rujukan dikemudian hari. Umumnya jenis-jenis tanaman dijumpa


(11)

144 Gambar 1. Pertimbangan konseptual pemeilihan jenis tanaman dalam rangka rehabilitasi hutan dan lahan

(Keterangan: Garis terputus ( ---) menggambarkan keterkaitan tidak langsung antar kompon

KEBIJAKAN RHL

TUJUAN

Industri Lokal

Penyediaan Lapangan Kerja

Kayu Bakar

Perlindungan

Kayu Gergajian

Lain-lain

Ketersediaan Benih

Resistensi terhadap Hama dan Penyakit

Teknik budidaya/ silvikultur

Interaksi Asal bibit -Tapak

KEBERA KEBERADAAN JENIS POTENSIAL

PEMILIHAN

LINGKUNGAN Topografi

Tanah Iklim

Perlakuan Budidaya (Pengolahan tanah, pemupukan dll.) Regenerasi

Kemampuan bertrubus

Kemampuan untuk diintegrasikan dengan tata guna

lahan yang lain

Kebutuhan Perlindungan

khusus

Laju Pertumbuhan, Dan hasil panen


(12)

145 dan tumbuh dengan baik di lokasi survey merupakan indikator kesesuaian jenis, jika dikombinasikan dengan data iklim, tanah, bahan tanaman, pemasaran produk, nilai ekonomi dll, maka akan diperoleh jenis potensial. Berkaitan dengan aspek pemasaran, analisis ekonomi dari jenis-jensi yang ditanam dengan berbagai pola perlu diketahui kelayakannya. Peranan masyarakat atau petani lokal melalui pengetahuan tradisionalnya mengenai pemilihan jenis perlu ditingkatkan dalam rangka keterlibatan dalam pengambilan keputusan.

2 Preferensi Masyarakat

Menurut Afiff (1992) dalam konteks pembangunan kehutanan dalam kaitannya untuk menunjang biodiversitas di hutan maka partisipasi masyarakat diperlukan agar:

1) Dapat menampung reaksi dan mendapatkan umpan balik terhadap keputusan yang akan diambii sehingga dengan demikian dapat mengeliminir dampak, meningkatkan kualitas dan keputusan yang diambil.

2) Dapat mengakomodasi aspirasi kebutuhan rakyat yang sesungguhnya yang pada akhirnya akan menjamin dukungan masyarakat terhadap konservasi biodiversity.

3) Proses penyampaian informasi dan pendidikan kepada masyarakat dapat berlangsung effektif.

4) Dapat menjamin adanya proses pengidentifikasian permasalahan yang sesungguhnya terjadi dan kebutuhan-kebutuhan bagi alternatif penanggulangannya yang berkaitan dengan pengelolaan biodiversity di hutan.

5) Dapat menggali dan menumbubkan kreatifitas masyarakat yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas pengelola biodiversity di hutan.

6) Terjaminnya proses demokratisasi sehingga ada jaminan pencapaian yang nyata dalam meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat

Berkaitan dengan pemilihan jenis yang akan ditanam untuk rehabilitasi TAHURA, maka jenis-jenis yang akan dikembangkan perlu mendapat


(13)

146 persetujuan dari masyarakat yang terlibat langsung dalam keiatan penanaman. Persetujuan masyarakat sangat menentukan keberhasilan tanaman karena masyarakat sudah mempunyai preferensi terhadap jenis tersebut terutama terhadap peluang meningkatkan pendapatannya. Dengan demikian maka proses pengambilan keputusan pemilihan jenis harus dilakukan melalui kombinasi kecocokan jenis sesuai kondisi ekologis, ketersediaan bahan tanamannya, pengusaan teknik budi dayanya, serta preferensi masyarakat terhadap jenis tersebut. Dalam hal keinginan masyarakat juga perlu pertimbangan dari pemangku TAHURA sendiri mengenai zona-zona yang akan di rehabilitasi, dengan demikian keputusan akhir terbaik adalah merupakan kombinasi optimal dari kecocokan ekologis, keinginan masyarakat dan juga pertimbangan zonasi yang akan direhabilitasi.

PENUTUP.

Dengan semakin banyaknya TAHURA yang mengalami kerusakan, maka perlu segera dilakukan tindakan rehabilitasi dalam rangka mengembalikan fungsi ekosisitemnya. Untuk menjamin kebehasilan jenis-jenis yang akan ditanam, maka pelibatan masyarakat dalam menentukan jenis-jneis yang akan ditanam sangat diperlukan dan harus disesuaikan dengan kondisi ekologis setempat serta zonasi yang akan ditanam

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kehutanan. 1999. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

Evans, J. 1992. Plantation Forestry in the Tropics. Clarendon Press. Oxford.

Kementerian Lingkungan Hidup. 1990. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Sutarman, Tj. 2006. Rencana Pengelolaan Taman Hutan Raya Sultan Thaha Syaifudin dalam Budi, S.W dkk (2006) (Eds) Proceedings Workshops on Mutual Understanding and Commitment among Stakeholders on Sustainable Forest Management in Batang Hari-Jambi. Faculty of Forestry IPB


(14)

128 TAHURA SUATU TANTANGAN BAGI PEMBANGUNAN

KEHUTANAN DAERAH1 Oleh: Yulius Hero2

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

TAHURA adalah Kawasan Pelestarian Alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau/satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan/atau bukan asli yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya pariwisata dan rekreasi (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya).

Sesuai Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun 1998 tanggal tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang Kehutanan Kepada Daerah, pada Pasal 2 disebutkan bahwa Kepada Daerah Tingkat I diserahkan sebagian urusan pemerintahan di bidang kehutanan, yaitu: Pengelolaan Taman Hutan Raya (TAHURA).

Sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, untuk semua fungsi hutan kawasan konservasi adalah kewenangan atau dibawah pengelolaan Pemerintah Pusat (Departemen Kehutanan), meliputi: Taman Nasional, Taman Wisata Alam, Cagar Alam, Suaka Marga Satwa, dan Taman Buru. Kebijakan pemerintah melalui PP No. 62 Tahun 1998 memberikan kesempatan dan peluang kepada Pemerintah Daerah untuk ikut mengelola hutan, terutama TAHURA diharapkan menjadi aset milik daerah dan dapat menjadi wadah eksistensi berbagai jenis flora dan fauna asli daerah dan dapat menjadi maskot bagi daerah.

Dari 21 TAHURA yang ada di Indonesia saat ini, sebanyak 14 TAHURA keluar surat ijin setelah lahirnya PP No. 62 Tahun 1998 tersebut. Dengan kata lain sejak lahirnya PP No. 62 Tahun 1998 muncul keinginan yang besar dari berbagai daerah di seluruh Indonesia untuk ikut memiliki TAHURA. Hal ini sangat positif dalam memacu partisipasi daerah melaksanakan pembangunan kehutanan sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah masing-masing.

1. Makalah Penunjang pada Worshop “Penyusunan Konsep Management Plan

TAHURA” pada hari Rabu tanggal 9 Mei 2007 bertempat di Ruang Sidang Sylva Fakultas Kehutanan IPB Kampus IPB Darmaga-Bogor.

2. Staf pada Bidang Kebijakan Kehutanan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.


(15)

129 B. Permasalahan

Belum semua Pemerintah Daerah melihat TAHURA sebagai tantangan dari potensi menjadi keuntungan ekonomi bagi pembangunan kehutanan daerah. Bahkan Direktorat Konservasi Lahan, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam menyebutkan ada dua provinsi, yaitu Bengkulu dan Nusa Tenggara Barat yang bermaksud mengembalikan ijin pengelolaan TAHURA kepada Pemerintah Pusat. C. Tujuan Tulisan

Tujuan tulisan adalah menyajikan ide dan gagasan tentang berbagai upaya yang dapat dilakukan pengelola dalam menghadapi tantangan pembangunan kehutanan daerah yang dapat diimplementasikan dalam pengelolaan TAHURA.

II. KONDISI UMUM PENGELOLAAN TAHURA

A. Sejarah

TAHURA Ir. H. Djaunda di Bandung merupakan TAHURA pertama di Indoneia. Pada tahun 1980 Kebun Raya/Hutan Wisata yang merupakan bagian dari komplek Hutan Gunung Pulosari ini ditetapkan sebagai Taman Wisata (TW), yaitu TW. Curug Dago seluas 590 ha yang ditetapkan oleh SK Mentan No. 575/Kpts/Um/8/1980 tanggal 6 Agustus 1980. Pada tahun 1985, diusulkan untuk merubah status TW. Curug Dago menjadi TAHURA dan usulan tersebut kemudian diterima Presiden Soeharto yang kemudian dikukuhkan melalui Keputusan Presiden No. 3 Tahun 1985 tertanggal 12 Januari 1985. Peresmian TAHURA Ir. H. Djuanda dilakukan pada tanggal 14 Januari 1985 yang bertepatan dengan hari kelahiran Bapak Ir. H. Djuanda. Lahirlah TAHURA Ir. H. Djuanda sebagai TAHURA pertama di Indonesia yang berada di Bandung, Provinsi Jawa Barat.

Selain TAHURA Ir. H. Djuanda, TAHURA yang cukup terkenal dan berhasil dalam pengelolaanny serta banyak menjadi contoh adalah TAHURA Ngurah Rai seluas 1.392 ha di Bali dengan fauna khasnya jalak bali.

TAHURA yang terbit ijin sebelum 1989 terutama berkaitan dengan penangkaran (koleksi) flora dan fauna yang langka dan endemik bagi daerah setempat. Sehingga terbitnya SK TAHURA sangat kuat dengan misi penangkaran (koleksi). Sementara TAHURA yang keluar ijin setelah 1989 selain untuk penangkaran (koleksi) flora dan fauna terutama adanya keinginan dan kebanggaan untuk mengelola kawasan hutan di daerah tersebut.

TAHURA yang terbit surat ijin sebelum keluar PP No. 62 Tahun 1989 sebanyak 7 TAHURA selengkapnya disajikan pada Tabel 1.


(16)

130 Tabel 1. Daftar TAHURA yang Terbit Ijin Sebelum Tahun 1989 No Cakupan

Propinsi

Cakupan Kabupaten

Nama Kawasan Luas (Ha) Nomor SK Tanggal SK 1. Sumatera

Utara

Karo; Deli Serdang; Langkat

Bukit Barisan 51,600.00 KEPRES NO. 48/1988 29

29

Nopember 1988 2. Sumatera

Barat

Padang Dr. Mohammad Hatta

12,100.00 MENHUT NO. 193/Kpts-II/1993

27 Maret 93

3. Bengkulu Bengkulu Utara

Raja Lelo 1,122.00 MENHUT NO. 21/Kpts-VI/1998

7 Januari 1998 4. Jawa Barat Bandung Ir. H. Juanda 590.00 KEPRES

NO. 3 TH. 1985

14 Januari 95

5. Bali Badung Ngurah Rai 1,392.00 MENHUT NO. 067/Kpts-II/1988 15 Pebruari 1988 6. NTT Kupang Prof. Ir. Herman

Yohannes

1,900.00 KEPRES NO. 80 TH. 1996

11 Oktober 1996 7. Kalimantan

Selatan

Banjarbaru Sultan Adam 112,000.00 KEPRES NO. 52 TH. 1989

19

Desember 1989

Sementara TAHURA yang terbit surat ijin setelah keluar PP No. 62 Tahun 1989 sebanyak 14 TAHURA selengkapnya disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Daftar TAHURA yang Terbit Ijin Setelah Tahun 1989 No Cakupan

Propinsi

Cakupan Kabupaten

Nama Kawasan Luas (Ha)

Nomor SK Tanggal SK 1. Nad Aceh Besar Cut Nyak Dhien

(Pocut Meurah Intan)

6,300.00 MENHUT NO. 95/Kpts-II/2001

15 Marret 2001 2. Riau Kampar Sultan Sarif

Hasyim

6,172.00 MENHUTBUN NO. 348/Kpts-II/1999

26 Mei 1999 3. Jambi Batanghari Sultan Thaha

Syaifuddin

15,830.00 MENHUT NO. 94/Kpts-II/2001

15 Maret 2001 4. Lampung Lampung

Selatan

Wan Abdul Rachman

22,245.00 MENHUTBUN NO. 679/Kpts-II/1999

1

September 1999 5. Jawa Barat Depok Pancoran Mas

Depok

6.00 MENHUTBUN NO. 276/Kpts-II/1999 7

7 Mei 1999 6. Jawa Barat Sumedang Gn. Palasari 35.81 MENHUT

NO. 297/Kpts-II/2004

10 Agustus 2004 7. DIY Gunung Kidul Gunung Bunder 617.00 MENHUT NO.

353/Kpts-28


(17)

131 II/2004 2004 8. Jawa

Tengah

Karang Anyar Ngargoyoso 231.30 MENHUT NO. 233/Kpts-II/2003

15 Juli 2003 9. Jawa

Timur

Sidoarjo; Malang

Raden Suryo 27,828.30 MENHUT NO. 80/Kpts-II/2001

19 Mei 2001 10. NTB Lombok Barat Nuraksa 3,155.00 MENHUTBUN

NO. 244/Kpts-II/1999

27 April 1999 11. Kalimantan

Timur

Samarinda Bukit Soeharto 61,850.00 MENHUT NO. 419/Menhut-II/2004

19 Oktober 2004 12. Sulawesi

Tengah

Donggala Paboya

Paneki 7,128.00 MENHUTBUN NO. 24/Kpts-II/1999

9 April 1999 13. Sulawesi

Selatan

Bulukumba Bontobahari 3,475.00 MENHUT NO. 721/Menhut-II/2004

1 Oktober 2004 14. Sulawesi

Tenggara

Kendari Murhum 7,877.00 MENHUTBUN NO. 103/Kpts-II/1999

2 Maret 1999

B. Permasalahan Pengelolaan TAHURA

Permasalahan umum yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah (Dinas Kehutanan Daerah) terkait dengan pengelolaan TAHURA adalah sebagai berikut:

1. Aksesibilitas Tinggi. Umumnya kawasan konservasi TAHURA berada dekat dengan kota besar dan dekat dengan jalan raya, hal ini sangat terkait dengan keinginan menjadikan TAHURA sebagai maskot daerah. Aksesibilitas transportasi yang tinggi dan mudah untuk menuju dan keluar dari TAHURA menyebabkan makin cepat dan tinggi kerusakan hutan di TAHURA oleh kegiatan illegal logging dan pencurian kayu.

2. Kondisi Hutan Rusak. Umumnya kondisi hutan TAHURA adalah rusak akibat kegiatan illegal logging, pencurian kayu, perambahan untuk berladang, dan sebagainya.

3. Masyarakat Belum Menyadari Arti Keberadaan Hutan. Umumnya masyarakat desa di dalam dan sekitar TAHURA belum sepenuhnya menyadari arti penting keberadaan hutan bagi lingkungan hidup mereka, dimana hutan dapat memasok air saat musim kemarau dan menahan air saat musim hujan. Sehingga kegiatan sosialisasi dan penyuluhan akan pentingnya keberadaan TAHURA masih terus diperlukan.


(18)

132 4. Belum Semua TAHURA punya Unit Pengelolaan. Umumnya kegiatan pengelolaan TAHURA di lapangan masih dirangkap oleh Dinas Kehutanan yang memang sudah sangat padat kesibukannya. Disamping itu tidak tersedia cukup dana operasional untuk melaksanakan kegiatan lapangan secara rutin

5. Pemerintah Daerah Menganggap Pengelolaan TAHURA adalah Biaya (Cost Center). Pemerintah Daerah umumnya masih menganggap mengelola TAHURA menghabiskan biaya tanpa kepastian pemasukan dari pengelolaan TAHURA tersebut.

6. Sarana dan Prasarana Sangat Terbatas. Umumnya TAHURA tidak memiliki sarana prasarana yang cukup bagi pengelola untuk melakukan kegiatan operasional lapangan. Disamping itu dana operasional bagi pengadaan sarana prasarana tersebut juga sangat terbatas.

Jika dilihat dari hasil inventarisasi permasalahan umum pengelolaan TAHURA oleh Pemerintah Daerah terlihat bahwa TAHURA lebih merupakan kegiatan biaya (cost center), sementara Pemerintan Daerah pada era otonomi ini dituntut untuk memberikan pendapatan (PAD). Pada Bab berikut akan diuraikan, pengelolaan TAHURA merupakan tantangan atau kegiatan biaya (cost center) bagi Pemerintah Daerah, sehingga terlihat TAHURA akan mendatangkan pendapatan dalam jangka panjang atau akan terus-terusan menjadi cost center.

III. TAHURA TANTANGAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN

DAERAH

Kegiatan Pokok pengelolaan TAHURA minimal ada tujuh kegiatan, antara lain: pemantapan kawasan, penyusunan rencana pengelolaan, pembangunan sarana prasarana, pengelolaan potensi kawasan, perlindungan dan pengamanan kawasan, pengelolaan penelitian dan pendidikan, pengelolaan wisata alam.

A. Pemantapan Kawasan

Kegiatan pemantapan kawasan, terdiri dari: pengukuhan status kawasan, pemeliharaan batas, dan penataan kawasan ke dalam blok.

Umumnya kawasan hutan TAHURA yang diberi ijin oleh Pemerintah Pusat (Departemen Kehutanan) kepada Pemerintah Daerah dalam kondisi konflik. Banyak pihak di dalam kawasan TAHURA mengkaim memiliki hak atas kayu dan lahan. Pihak-pihak ini baik dari masyarakat daerah setempat, masyarakat pendatang, dan termasuk oknum pejabat yang mem-backing kegiatan illegal logging dan okupasi lahan. Belum lagi jika


(19)

133 berhadapan dengan masyarakat hukum adat yang telah turun-temurun menempati kawasan hutan tersebut.

Pemerintah Daerah sebagai pengelola yang baru atas TAHURA harus menyadari kondisi sulit yang penuh konflik di dalam TAHURA yang diberikan ijinnya oleh Pemerintah Pusat. Pengambilan keputusan yang prematur dapat mengakibatkan konflik horizontal antara Pemerintah Daerah dengan anggota masyarakatnya sendiri.

Solusi terhadap permasalahan ini adalah melalui kegiatan Pemantapan Kawasan. Kegiatan ini tidak mudah, tidak cepat, dan tidak murah untuk ditanggung sepenuhnya oleh Pemerintah Daerah yang belum mendapatkan apapun dari TAHURA kecuali masalah dan konflik.

Sebagaimana diketahui dari lima program prioritas Departemen Kehutanan, maka Pemantapan Kawasan adalah salah satu prioritas tersebut. Departemen Kehutanan sudah menyusun strategi, program, kegiatan, termasuk biaya untuk mensukseskan lima program prioritas ini’

Pemerintah Daerah dapat membuat langkah terobosan dengan menyusun Proposal Pemantapan Kawasan TAHURA di daerahnya dengan sumber dana dari Departemen Kehutanan. Mengingat luasan TAHURA relatif kecil, maka diharapkan dana yang dibutuhkan juga relatif kecil. Sehingga Departemen Kehutanan dapat menyisihkan sebagian alokasi dana program Pemantapan Kawasan untuk mendanai Proposal Pemantapan Kawasan TAHURA.

Jika staf Dinas Kehutanan Daerah sudah sangat tersita waktu dengan kesibukan kesehariannya, maka kegiatan penyusunan proposal ini dapat dikerjasamakan dengan Konsultan atau LSM setempat. Konsultan/LSM ini juga dapat menjadi pendamping bagi masyarakat saat kegiatan pemantapan kawasan TAHURA di lapangan.

Semoga ide/gagasan yang disusun secara baik, tekun, dan sungguh-sungguh akan membuahkan hasil yang baik juga. Sehingga kegiatan Pemantapan Kawasan bukan lagi menjadi cost center bagi Daerah karena sudah dibiayai dari Pemerintah Pusat (Departemen Kehutanan).

B. Penyusunan Rencana Pengelolaan

Sesuai Pasal 4 PP No. 62 Tahun 1989 disebutkan bahwa pengelolaan TAHURA harus tersusun dalam rencana induk pengelolaan TAHURA. Artinya Pemerintah Daerah pemilik ijin TAHURA harus membuat rencana induk pengelolaan TAHURA. Rencana induk pengelolaan merupakan arah/pedoman bagi pengelola dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan TAHURA. Rencana induk pengelolaan ini juga menjadi tolok ukur kinerja pengelolaan pada saat tahap monitoring dan evaluasi.


(20)

134 Penyusunan rencana pengelolaan TAHURA sudah ada pedoman yang disusun dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Materi yang perlu disusun dalam rencana pengelolaan TAHURA selengkapnya disajikan pada Lampiran 1.

Sama dengan kegiatan pemantapan kawasan, penyusunan rencana pengelolaan TAHURA juga tidak mudah, tidak cepat, dan tidak murah. Sebagai contoh, kegiatan inventarisasi flora dan fauna lengkap dalam satu kawasan TAHURA butuh dana lebih dari Rp 100 juta.

Kegiatan penyusunan rencana kehutanan masih menjadi tugas pokok (domain) Departemen Kehutanan. Secara umum pelaksanaan kegiatan perencanaan kehutanan masih menjadi tugas Pemerintah Pusat (Departemen Kehutanan) baik untuk fungsi hutan konservasi, hutan produksi, maupun hutan lindung. Sehingga strategi, program, kegiatan, termasuk biaya untuk perencanaan kehutanan sudah masuk dalam pos kegiatan Departemen Kehutanan.

Sama dengan ide/gagasan di atas, Pemerintah Daerah dapat membuat langkah terobosan dengan menyusun Proposal Penyusunan Rencana Pengelolaan TAHURA di daerahnya dengan sumber dana dari Departemen Kehutanan. Mengingat luasan TAHURA relatif kecil, maka diharapkan dana yang dibutuhkan juga relatif kecil. Sehingga Departemen Kehutanan dapat menyisihkan sebagian alokasi dana program perencanaan kehutanan nasional untuk mendanai Proposal Penyusunan Rencana Pengelolaan TAHURA.

Jika staf Dinas Kehutanan Daerah sudah sangat sibuk, maka kegiatan penyusunan proposal ini dapat dikerjasamakan dengan Konsultan atau LSM setempat. Konsultan/LSM ini juga dapat menjadi pendamping bagi masyarakat saat kegiatan penyusunan rencana pengelolaan TAHURA secara partisipatif di lapangan.

Semoga ide/gagasan yang disusun secara baik, tekun, dan sungguh-sungguh akan membuahkan hasil yang baik juga. Sehingga kegiatan Penyusunan Rencana Pengelolaan TAHURA bukan lagi menjadi cost center bagi Daerah.

C. Pembangunan Sarana Prasarana

Sarana prasarana sangat vital bagi pengelolaan TAHURA terutama jalan dan jembatan serta kantor pengelolaan, sementara sarana prasarana lain dapat menyusul diadakan sesuai kebutuhan dan kemampuan pengelola TAHURA.

Jika memungkinkan dan dana Pemerintah Daerah cukup tersedia, maka pengelola cukup meminta dana untuk pembangunan jalan dan jembatan


(21)

135 serta kantor pengelolaan. Jika inipun tidak memungkinkan, maka pengelola harus mencari berbagai langkah terobosan.

Pengelola harus dapat menyusun dalam satu tabulasi sarana-prasarana yang dibutuhkan, lokasi, volume fisik, dan perkiraan biaya. Jika perlu tabulasi ini dibuat dalam bentuk proposal dilengkapi dengan sketsa gambar keperluan sarana prasarana. Contoh tabulasi kebutuhan sarana-prasarana sebagai berikut.

Tabel 3. Contoh Tabulasi Kebutuhan Sarana-Prasarana No. Kebutuhan

Sarana-Prasarana

Lokasi Volume Fisik

Perkiraan Biaya

Keterangan

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1. Jalan 2. Jembatan 3. Kantor

Pengelola 4. Pos Jaga

5. Alat Komunikasi 6. Kendaraan 7. dst

Pengelola harus rajin, tekun, dan pro-aktif membina relasi dengan instansi setempat, perusahaan swasta setempat, dan perguruan tinggi. Dengan instansi terkait pengelola dapat menawarkan TAHURA untuk menjadi lokasi implementasi proyek instansi tersebut. Sebagai contoh TAHURA Wan Abdul Rahman-Lampung banyak mendapat bantuan sarana-prasarana dari inovasi kegiatan yang ditawarkan kepada instansi lain dan berbagai perusahaan sampai tingkat nasional.

Contoh lain, pengelola dapat mengadakan bumi perkemahan provinsi pada puncak peringatan hari pramuka (14 Agustus). Dengan kehadiran banyak pejabat dan tokoh penting masyarakat, maka diharapkan akan dialokasikan dana untuk rehabilitasi jalan dan jembatan serta bangunan. Semua ini tentu sangat bermanfaat bagi pengelola dalam jangka panjang. Untuk sarana-prasarana, pengelola jangan berpikir sempit bahwa semua harus dibiayai dari dana Dinas Kehutanan Daerah sendiri karena pasti akan sangat mahal. Tetapi jika pengelola berhasil meyakinkan banyak pihak terhadap kehadiran TAHURA sebagai maskot daerah, maka akan relatif lebih mudah dana datang untuk pembangunan sarana-prasarana.


(22)

136 D. Pengelolaan Potensi Kawasan

Kegiatan pengelolaan potensi kawasan TAHURA, antara lain: inventarisasi dan identifikasi potensi kawasan dan penanganan hasil-hasilnya melalui database; pengembangan sistem pemantauan, evaluasi, dan pelaporan kondisi dan potensinya; pembinaan dan pengembangan koleksi flora dan fauna; penyediaan plasma nutfah untuk menunjang budidaya; pengkayaan dan penagkaran jenis untuk kegiatan penelitian; pemakaian kawasan untuk wisata alam; dan rehabilitasi kawasan TAHURA yang rusak.

Kegiatan pengelolaan potensi dapat dilakukan setelah kawasan mantap dan rencana pengelolaan jelas. Kegiatan yang benar-benar dilaksanakan oleh masing-masing pengelola TAHURA sangat tergantung kepada potensi TAHURA tersebut. Umumnya potensi yang dimanfaatkan adalah yang memberikan tingkat pendapatan cukup besar kepada pengelolaan TAHURA tersebut.

Setiap kawasan TAHURA mempunyai potensi dan kekhasan tersendiri yang berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya. Sebagai contoh: TAHURA Sultan Thaha Saefuddin di Jambi punya potensi kayu bulian, TAHURA Ngurah Rai di Bali punya potensi jalak bali yang langka, TAHURA Murhum di Kendari dengan potensi kayu hitam, dan sebagainya. Pada kegiatan ini pengelola Dinas Kehutanan Daerah dapat melakukan implementasi skala kecil program-program pembangunan kehutanan, antara lain: persemaian, persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, konservasi tanah dan air, dan saat ini GN-RHL (Gerakan Nasional-Rehabilitasi Hutan dan Lahan), dan berbagai program yang sangat spesifik kegiatan kehutanan.

E. Perlindungan dan Pengamanan Kawasan

Perlindungan kawasan terkait dengan gangguan terhadap kawasan berasal dari hama, penyakit, kebakaran, dan berbagai gangguan lainnya. Sementara kegiatan pengamanan kawasan terkait dengan pengamanan kawasan dari kegiatan manusia berupa illegal logging, okupasi lahan, perusakan tanda batas, perusakan papan pengumuman, dan perusakan TAHURA lainnya.

Kegiatan ini akan mahal dan umumnya gagal, jika dikerjakan atau dijadikan proyek oleh Dinas Kehutanan Daerah. Sifat hutan yang open access, dimana berbagai pihak dapat keluar-masuk dan mengambil manfaat dari hutan. Maka upaya perlindungan dan pengamanan yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan Daerah sendirian akan sangat berat, mahal, dan umumnya gagal.


(23)

137 Upaya terbaik adalah dengan membina hubungan baik dengan masyarakat di dalam dan sekitar TAHURA. Hubungan baik ini dapat dibina melalui tokoh-tokoh masyarakat dan ketua kelompok yang dapat dipercaya dan punya pengaruh terhadap anggota masyarakatnya. Diharapkan masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam perlindungan dan pengamanan hutan. Upaya ini tidak membutuhkan biaya yang besar dan dapat bertahan dalam jangka panjang. Dalam membina hubungan baik dengan masyarakat yang perlu dilakukan oleh pengelola adalah niat baik dan keinginan yang sungguh-sungguh untuk bekerjasama dengan masyarakat. Sehingga kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan juga bukan merupakan cost center bagi Dinas Kehutanan Daerah.

F. Pengelolaan Penelitian dan Pendidikan

Pengelolaan TAHURA untuk tujuan penelitian dan pendidikan, maka Dinas Kehutanan Daerah dapat bekerjasama dengan Dinas Pendidikan setempat, perguruan tinggi setempat, serta sekolah mulai tingkat SD sampai SLTA di daerah setempat.

Perguruan Tinggi terkait ilmu lingkungan, kehutanan, dan ilmu alam akan mempunyai tingkat kepentingan sangat tinggi terhadap keberadaan kawasan hutan, apalagi lokasinya relatif dekat dengan kota besar dan aksesibilitasnya baik. Perguruan Tinggi ini sudah mempunyai program dan kegiatan penelitian jangka panjang yang dapat disinkronkan dengan program penelitian dan pendidikan TAHURA yang tercantum dalam buku rencana pengelolaan.

Dinas Pendidikan punya program pendidikan luar sekolah yang membutuhkan tempat ideal salah satunya belajar dari alam, sehingga program Dinas Pendidikan juga dapat disinkronkan dengan program pendidikan TAHURA.

Pendidikan tingkat SD sampai SLTA di kota-kota besar sudah membutuhkan sarana pendidikan di alam, terutama pada masa-masa libur. Kehadiran siswa ini menjadi bagian dari program pendidikan TAHURA dan juga bisa menjadi titik awal bagi pengembangan wisata alam di TAHURA.

G. Pengelolaan Wisata Alam

Pengelolaan wisata alam umumnya adalah tahapan mapan (edvance) bagi suatu TAHURA. Setelah kegiatan rutin pengelolaan TAHURA makin marak, berikutnya makin banyak masyarakat yang mengetahui keberadaan TAHURA. Pada tahap awal masyarakat datang berwisata alam hanya untuk kegiatan wisata kecil dan belum bersedia membayar tiket masuk TAHURA. Pada saat TAHURA sudah menjadi alternatif wisata alam (ada demand), maka saat itulah TAHURA baru dapat dikembangkan untuk wisata alam.


(24)

138 Pada tahap awal pengelolaan wisata alam di TAHURA sebaiknya pengelola Dinas Kehutanan Daerah bekerjasama dengan perusahaan jasa wisata alam yang sudah profesional. Agar resiko investasi pembangunan fasilitas dan sarana-prasarana wisata alam tidak membebani anggaran Dinas Kehutanan Daerah.

Jika pengunjung TAHURA sudah stabil dan kontinu dengan jumlah kunjungan tertentu setiap bulannya, maka Dinas Kehutanan Daerah dapat mengelola wisata alam secara penuh.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kehutanan. 1999. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

Kementerian Lingkungan Hidup. 1990. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Peraturan Pemerintah. 1998. Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1998 Tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang Kehutanan Kepada Daerah.


(25)

139 Lampiran 1.

Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan TAHURA sesauai Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Sampul

Halaman Judul Lembar Pengesahan Peta Situasi

Ringkasan Eksekutif Kata Pengantar Daftar Isi

Daftar Tabel Daftar Gambar Daftar lampiran Daftar Lampiran Peta I. Pendahuluan

Bab ini berisi latar belakang, tujuan, ruang lingkup, dan batasan pengertian dari disusunnya rencana pengelolaan, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam dan taman buru

I. Deskripsi Kawasan

Bab ini berisi informasi megnenai :

A.Risalah kawasan, meliputi sejarah kawasan, progres pengukuhan, dan karakteristik penunjukkan kawasan (flag species atau ekosistem)

B. Kondisi umum, meliputi kondisi fisik, dan bioekologi :

· Kondisi fisik kawasan, meliputi letak dan luas kawasan, letak astronomis/geografis, adminstratif, uraian batas kawasan, iklim, geologi dan tanah, topografi dan kelerengan, hidrologi, potensi wisata, sarana prasarana, dan aksesibilitas;

· Kondisi bioteknologi meliputi tipe ekosistem, flora dan dauna; C. Kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat di dalam/sekitar

kawasan

D. Praktek-praktek pemanfaatan sumber daya alam yang telah berkembang

E. Kelembagaan kemasyarakat yang ada F. Permasalahan kawasan.

II. Kebijaksanaan

A. Pengelolaan Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam dan taman Buru;

B. Pembangunan Pemerintah Provinsi/Kabupaten

III. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam dan Taman Buru


(26)

140 IV. Analisis dan Proyeksi

Bab ini berisi data dan informasi yang diolah dengan mempertimbangkan berbagai aspek terkait secara komprehensif melalui Analisis SWOT, untuk mendapatkan alternatif kegiatan dalam perencanaaan yang dapat dituangkan secara sekuen dan berdasarkan prioritas

V. Rencana Kegiatan

Dari hasil analisis disusun rencana kegiatan jangka panjang yang dapat dijabarkan dalam Rencana Pengelolaan Jangka Menengah dan Jangka Pendek, yang meliputi program-program antara lain :

1. Pemantapan Kawasan (Pengukuhan, Pemeliharaan Batas, Penataan Zona/Blok);

2. Pembangunan Sarana Dan Prasarana 3. Pengelolaan Data Dan Informasi

4. Pengelolaan Potensi Kawasan (Pengelolaan, Pembinaan, dan Konservasi (Genetik, species, Komunitas, dan Habiatat/Ekosistem) 5. Perlindungan dan Pengamanan

6. Pengelolaan, Penelitian dan Pendidikan; 7. Pengeloalan Wisata Alam

8. Pengembangan Integrasi, Koordinasi, dan Kolaborasi; 9. Pengembangan dan Pembinaan Daerah Penyangga 10. Restorasi, Rehabilitasi, dan Reklamasi Ekosistem 11. Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan

VI. Penutup

Lampiran-lampiran

· Peta-situasi yang digambarkan pada kertas A4

· Peta Kawasan

· Peta Topografi

· Peta Geologi

· Peta Tanah

· Peta Iklim

· Peta Vegetasi

· Peta Sebaran Flora dan Fauna Penting

· Peta Penggunaan Lahan

· Peta Penataan Zona/Blok

· Peta Sarana dan Prasarana yang sudah ada

· Peta Rencana Pengembangan Sarana dan Prasarana (Site Plan)

· Skala Peta :

· Luas kurang dari 50.000 hektar menggunakan peta skala 1.100.000

· Luasnya antara 50.000 – 250.000 hektar menggunakan peta skala 1.250.000

· Luasnya lebih dari 250.000 hektar menggunakan peta skala 1.500.000


(27)

116 PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN

TAMAN HUTAN RAYA SUTAN THAHA SYAEFUDDIN: SUATU KERANGKA KONSEPTUAL

Oleh Didik Suharjito1)

Pendahuluan

Taman Hutan Raya Sutan Thaha Syaefuddin (disingkat TAHURA Senami) telah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan pada tahun 2001. Sebagai wujud desentralisasi sebagian pengurusan pengelolaan sumberdaya hutan dari pemerintah pusat (Departemen Kehutanan) kepada daerah (Dinas Kehutanan), pengelolaan TAHURA Senami diserahkan kepada Dinas Kehutanan Kabupaten Batanghari.2) Namun demikian, sampai akhir 2006, belum tersedia Rencana Pengelolaan (Management Plan) TAHURA Senami, sehingga pengelolaan kawasan TAHURA Senami belum tertata, belum jelas sasaran-sasaran yang akan dicapai, belum jelas kewenangan, hak, dan tanggung jawab, belum ada mekanisme pembiayaan dan pemanfaatan, dan lainnya yang dapat menjamin pencapaian tujuan pengelolaan TAHURA yaitu kelestarian fungsi-fungsi TAHURA Senami. Tujuan pengelolaan TAHURA Senami seolah-olah semakin tidak mungkin tercapai dalam perkembangan ekonomi politik sepuluh tahun terakhir. Krisis sosial, ekonomi, politik pada tingkat nasional pada akhir dekade 1990-an berdampak pada tingkat daerah dan lokal. Krisis tersebut pada tingkat daerah dan lokal telah ditangkap sebagai suatu kesempatan untuk memanfaatkan sumberdaya hutan negara secara bebas. Sumberdaya hutan, termasuk TAHURA Senami, telah menjadi ajang pesta perebutan

”kue”. Masyarakat desa di sekitar hutan menjadi pemburu pesta itu,

namun individu-individu yang datang dari luar desa justru yang lebih agresif. Pesta itu seolah-olah mempertunjukkan bahwa pemerintah, termasuk Dinas Kehutanan Batanghari sedang tidak berdaya mengontrol sumberdaya hutan.

Stabilisasi politik yang dibarengi dengan upaya-upaya pembangunan ekonomi, sosial dan budaya sedikit demi sedikit mengurangi tekanan eksploitasi terhadap sumberdaya hutan. Momentum ini harus segera dibarengi dengan upaya-upaya sistematis pengelolaan sumberdaya hutan. Penyusunan Rencana Pengelolaan (Management Plan) TAHURA

1)

Staf Pengajar dan Peneliti pada Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB; Email:[email protected]

2)

Lihat Peraturan Pemerintah (PP) No. 62/1998 tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahah di bidang kehutanan kepada daerah; Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 107/Kpts-II/2003 tentang penyelenggaraan tugas pembantuan pengelolaan TAHURA oleh Gubernur atau Bupati/ Walikota.


(28)

117 Senami menjadi kebutuhan untuk mengarahkan kegiatan-kegiatan pengelolaannya menuju kelestarian fungsi-fungsi TAHURA Senami. Pengembangan kelembagaan menjadi bagian tidak terpisahkan dari Rencana Pengelolaan tersebut.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan, TAHURA adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi3). Tujuan-tujuan tersebut dirumuskan dalam konteks sosial budaya masyarakat dan kekayaan sumberdaya yang terkandung di dalamnya. Tujuan tersebut akan dicapai melalui serangkaian kegiatan-kegiatan. Kegiatan-kegiatan harus dijabarkan dan disusun dalam suatu Rencana Pengelolaan atau Management Plan.

Suatu Rencana Pengelolaan yang sudah tersusun tidak akan berjalan sediri, melainkan harus ada wadah (organisasi) dan aturan yang mengoperasionalkan Rencana Pengelolaan menjadi tindak-tindakan pengelolaan. Dengan kata lain, harus ada kelembagaan yang diperlukan untuk mengoperasionalkan pengelolaan TAHURA. Di bawah ini rancangan pengembangan kelembagaan TAHURA Senami yang diusulkan (alternatif), didahuli dengan uraian singkat gambaran umum sumberdaya TAHURA Senami.

GAMBARAN UMUM TAHURA SENAMI

Luas kawasan TAHURA Senami adalah 15.830 ha. TAHURA Senami secara geografis terletak pada 1o 45’ 55” - 2o14’ 30” LS dan 103o 12’ 30” - 104o47’ 30” BT. Ia terletak pada ketinggian kurang lebih 100 m diatas permukaan laut dengan bentang lahan sebagian bergelombang dan sebagian datar. Rata-rata curah hujan bulanan berkisar antara 175 mm sampai 222 mm dengan suhu udara harian rata-rata 28oC.

Jenis tanah yang dominan adalah podsolik merah kuning (70 %), sebagian alluvial (18%), granosol (3.24%) dan lainnya (8.58%). Beberapa jenis tumbuhan berkayu yang khas lokal adalah bulian (Eusideroxylon zwagerii), balam (Palaquium spp.), dan jelutung (Dyera costulata). Jenis lain tumbuhan berpohon yang ada di TAHURA Senami adalah sungkai (Peronema canescens), tembesu (Fragraea fragrans), bungur (Lagerstroemia speciosa), merpayang (Caphylum macropudum), kempas (Koompassia malaccensis), pulai (Alstonia speciosa), dan mersawa (Anisoptera sp). Tumbuhan lain yang menjadi sumber ekonomi masyarakat adalah durian hutan (Durio sp.), jelutung (Dyera costulata), rotan manau (Calamus mannan) dan rotan jernang (Daemonorops draco).

3)


(29)

118 Selain kekayaan floranya, kawasan TAHURA Senami juga kaya faunanya. Kawasan TAHURA Senami merupakan bagian dari wilayah jelajahan (home range) Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae). Satwa liar lainnya antara lain Tapir (Tapirus indicus), Rusa (Cervus unicolor), Kijang (Muntiacus muntjak), Beruang Madu (Helarctos malayanus), Babi hutan (Sus sp), Kancil (Tragulus sp), Siamang (Hylobates syndactylus), Landak Sumatera (Hystrix brachiura), Trenggiling (Manis javanica), Kera ekor panjang (Macaca fascicularis), Beruk (Macaca nemestrina), berbagai jenis burung hutan antara lain burung rangkong Badak (Buceros rhinoceros), ayam hutan (Gallus gallus), dan Kuau (Arguasianus argus).

Kawasan TAHURA Senami dikelilingi oleh 13 desa. Penduduknya beranekaragam sukubangsa, yaitu pendatang dari Jawa (Sukubangsa Jawa dan Sunda), Melayu Jambi, dan sebagain lain adalah Orang Rimba (suku asli, indigenous people). Matapencaharian penduduk beranekaragam: pencari hasil hutan bukan kayu (HHBK), pertanian ladang bergilir (swidden agriculture), pertanian lahan kering, pertanian kebun (karet, sawit), perdagangan, karyawan swasta, pegawai negeri. Gambaran biofisik TAHURA Senami, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat di sekitarnya, menunjukkan adanya keanekaragaman ekosistem, keanekaragaman spesies, keanekaragaman genetik, keanekaragaman budaya, dan keanekaragaman lapisan (strata) sosial ekonomi dan politik. Keanekaragaman tersebut harus mendapat tempat dalam rancangan kelembagaan pengelolaan TAHURA Senami.

RANCANGAN KELEMBAGAAN TAHURA SENAMI Kerangka Teori

Uphoff (1986) mendefinisikan kelembagaan (institution) sebagai

complexes of norms and behaviors that persist over time by serving collectively valued purposes”. Definisi ini masih kurang menunjukkan wujud yang konkrit. Suparlan (1986) mendefinisikan kelembagaan sosial (social institution) sebagai “sistem antar hubungan peranan-peranan dan norma-norma yang terwujud sebagai tradisi untuk usaha-usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sosial utama tertentu yang dirasakan

perlunya oleh para warga masyarakat yang bersangkutan”. Definisi kedua

ini lebih menunjukkan adanya wadah yang mengatur para anggota untuk berperilaku sesuai dengan perannya sehingga dapat memenuhi kebutuhan bersama atau kolektif. Wadah itu dalam bentuk kelompok kecil, masyarakat desa, asosiasi, organisasi profesi, negara, atau organisasi internasional yang menghimpun anggotanya, membangun dan memelihara aturan mainnya untuk mencapai tujuan bersama. Dalam tulisan ini, kelembagaan mencakup dimensi wadah (organisasi atau structure) dan dimensi isi (aturan atau culture).


(30)

119 Isi dan wadah dari suatu kelembagaan pengelolaan hutan tergantung pada karakteristik sumberdaya hutan dan tujuan pengelolaannya. Karakteristik sumberdaya hutan mencakup kemudahan eksklusi (excludable) dan sifat konsumsinya apakah subtraktif (bersaing, rivalry) atau nonsubtraktif (joint). Kemudahan eksklusi tergantung pada status hak penguasaan atas sumberdaya hutan (type of property-rights), yaitu apakah hak atas sumberdaya hutan dikuasai oleh individu, komunal, atau negara. Karakteristik sumberdaya hutan berdasarkan sifat konsumsinya dapat dielaborasi lebih lanjut, misalnya berdasarkan tingkat kelangkaan, tingkat regenerasi, dan tingkat kerentanan. Tujuan pengelolaan hutan dirumuskan apakah untuk konservasi, ekonomi, sosial-budaya, atau kombinasi dari padanya.

Sumberdaya hutan menghasilkan barang dan jasa yang sebagian bersifat substraktif (pohon, buah, getah, dll) dan sebagain lain non-substraktif (kesegaran udara, keindahan alam, inspirasi karya seni, ilmu pengetahuan, dll). Pengendalian atas pemanfaatannya mungkin mudah (easy to exclude) khususnya pada hutan rakyat (private forests), tetapi sulit pada hutan negara (public forests). Pengelolaan TAHURA Senami jelas untuk mempertahankan keanekaraman hayati (biodiversity, disingkat KEHATI) dan fungsinya. Sandler (1997: 745) menilai bahwa KEHATI memberikan manfaat yang non-rival dan termasuk non-excludable.4) Oleh karena itu KEHATI sepenuhnya termasuk barang public (a pure public good). Mengapa demikian ? Sandler (1997) menjelaskan bahwa KEHATI menjadi perhatian dan kepentingan banyak pihak (stakeholders), bukan hanya pada tingkat lokal, melainkan pada tingkat global (misalnya gene pools dan carbon storage). Sandler (1997: 757) menyarankan agar negara-negara pemilik hutan tropis tidak membuat kebijakan yang salah arah (misdirected government policies), misalnya myopic land tenure policies (suatu kebijakan yang tidak didasarkan pada pemahaman yang mendalam terhadap permasalahan, alternative solusi, dan implikasi dari alternative solusi). Ia juga menyarankan agar negara-negara maju mengakui peran negara-negara yang memiliki hutan tropis dan memberikan kontribusi finansial untuk memelihara KEHATI tetap lestari, . Sumberdaya TAHURA Senami sebagian dan dalam batas-batas ruang (zona) dan kuantitas tertentu dapat dimanfaatkan baik barang atau jasa yang bersifat non-substraktif maupun substraktif, misalnya getah jerenang, getah jelutung, tumbuhan berkhasiat obat (TO), rekreasi/ wisata alam, maupun melakukan budidaya karet atau jenis tanaman lainnya pada zona pemanfaatan. Namun demikian, pemanfaatannya harus dalam kerangka pelestarian KEHATI.

4)

Sandler (1997: 745) menjelaskan bahwa “The benefits of a good are non-rival whenever a unit

of the good can be consumed by one agent without detracting, in the slightest, from the consumption opportunities still available to others from the same unit.”; “Benefits that are automatically available to all agents once the good is provided are termed non-excludable.”


(31)

120 Berdasarkan aspek legal formalnya, hak penguasaan atas sumberdaya TAHURA Senami dipegang oleh negara yang didelegasikan kepada Dinas Kehutanan Batanghari. Namun demikian pada tataran praksis penguasaan atas sumberdaya TAHURA juga dipegang oleh masyarakat lokal yang mengacu pada adat istiadatnya (masyarakat Orang Rimba). Mengacu pada Hanna et.al (1996: 5), pemilik (owner) dari sumberdaya yang dikuasai oleh negara (state property) adalah warga negara (citizens); hak pemilik adalah menentukan aturan-aturan, dan kewajiban pemilik adalah memelihara tujuan-tujuan social (social objectives). Ostrom dan Schlager (1996: 133) membagi pemegang hak atas sumberdaya milik umum (common-pool resources) dan jenis haknya. Pemegang hak adalah pemilik (owner), proprietor, claimant, pengguna (user), dan pengunjung (entrant). Pemilik adalah mereka yang memegang hak lengkap mencakup akses (access), memungut atau mengumpulkan (withdrawal), mengelola (management), mengeksklusi (exclusion), dan mengalienasi (alienation), sedangkan pengunjung adalah mereka yang paling terbatas haknya yaitu hanya akses untuk berkunjung.

Rancangan Kelembagaan TAHURA Senami

Rancangan kelembagaan TAHURA Senami disusun dengan mempertimbangkan tujuan pengelolaan TAHURA Senami, keanekaragaman pihak yang berkepentingan (stakeholders) dan sifat-sifat haknya, dan keanekaragaman sumberdaya yang dapat dimanfaatkan dengan karakteristiknya masing-masing sebagaimana dijelaskan di atas. Pihak-pihak yang berkepentingan terhadap TAHURA Senami adalah Pemerintah (Pusat dan Daerah), masyarakat lokal, lembaga pendidikan, pemerhati dan penggiat lingkungan hidup, pengusaha (lembaga bisnis), dan masyarakat lebih luas nasional dan internasional. Sumberdaya TAHURA Senami yang potensial dapat dimanfaatkan mencakup hasil hutan bukan kayu (termasuk tumbuhan obat), wisata alam atau ekowisata, berkemah (camping), olahraga (hiking, lintas alam, outbound: flying folk), KEHATI sebagai obyek penelitian, pengetahuan masyarakat lokal, dll. Pemerintah (Pusat dan Daerah) adalah pemegang hak paling lengkap karena ia sebagai pemilik (owner). Dalam konteks hutan negara owner sesungguhnya adalah warga negara, sehingga hak yang dipegang oleh pemerintah adalah hak atas nama warga negara. Pemerintah adalah pemegang hak untuk akses (access), memungut atau mengumpulkan (withdrawal), mengelola (management), mengeksklusi (exclusion), dan mengalienasi (alienation). Dengan kata lain, pemerintah mempunyai hak untuk mengatur segala urusan tentang pemanfaatan dan pengelolaan TAHURA Senami, termasuk mengatur hubungan-hubungan kerjasama dengan pihak lain tentang pemanfaatan dan pengelolaan.

Masyarakat lokal dapat menjadi partisipan dalam pengelolaan TAHURA kolaboratif, sehingga mereka dapat memperoleh hak untuk mengelola (management), bahkan hak untuk mengeksklusi pihak lain, disamping hak


(32)

121 memungut (withdrawal) hasil hutan dan berkunjung (access). Hak untuk mengelola dan mengeksklusi yang dipegang masyarakat adalah pemberian dari pemerintah.

Pihak-pihak lain sesuai dengan kepentingan dan kapasitasnya masing-masing dapat memperoleh hak dibawah pengaturan pemerintah. Kepentingan setiap pihak dibatasi oleh karakteristik sumberdaya dan tujuan pengelolaan. Hak yang diperoleh disertai dengan tanggung jawab. Misalnya, Lembaga Pendidikan mempunyai kepentingan untuk melakukan penelitian dan pendidikan tentang sumberdaya hutan dan lingkungan hidup. Peneliti diberi hak (ijin) untuk melakukan pengamatan, pengukuran, wawancara, pengambilan contoh (sample): preparat, herbarium, membuat plot percontohan (demplot), dll. Dengan kata lain, hak yang diperoleh peneliti adalah access dan withdrawal. Tabel 1 menyajikan lebih detail rancangan pengaturan hak-hak para pemegang kepentingan.

Penunjukkan pemegang hak dan rincian haknya telah mengarahkan struktur hak. Namun demikian belum cukup menggambarkan struktur kewenangan dan tanggung jawab, serta hubungan antar pihak. Oleh karena itu perlu diuraikan struktur kewenangan dan tanggung jawab, serta hubungan antar pihak. Pemerintah sebagai pemegang hak paling lengkap adalah sekaligus pemegang kewenangan dan tanggung jawab paling besar. Pemerintah memegang tanggung jawab utama dalam pencapaian tujuan pengelolaan TAHURA. Ia bertanggung jawab atas eksistensi TAHURA Senami dan kelestarian fungsi-fungsinya. Dalam menjalankan tanggung jawabnya, ia berwenang untuk membangun hubungan-hubungan kerjasama dengan pihak lain, yaitu masyarakat, pengusaha, lembaga pendidikan dan penelitian, dan lainnya. Ia dapat membentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang melakukan kegiatan-kegiatan operasional sehari-hari, mengatur finansial, kegiatan teknis, mengatur sumberdaya manusia (SDM), pembinaan masyarakat, dll. Untuk keperluan menjalankan tugas-tugasnya, UPT secara internal dapat membagi peran dan tanggung jawab kepada unit-unit kerja dalam struktur organisasi UPT.

Para pihak selain pemerintah dapat membangun kerjasama dalam ruang lingkup yang lebih terbatas dan dalam kontrol pemerintah. Misalnya, masyarakat lokal yang menjadi kolaborator pengelolaan TAHURA dapat membangun kerjasama dengan pengusaha dalam urusan pemasaran hasil hutan bukan kayu. Lembaga pendidikan dan penelitian dapat bekerjasama dengan masyarakat lokal dalam urusan kaji-tindak partisipatif atau pendampingan. Pengusaha dapat membangun kerjasama langsung dengan pemerintah (Dinas Kehutanan atau UPT) dalam urusan bisnis ekowisata. Masing-masing pihak membangun aturan main hubungan kerjasama yang disesuaikan dengan mekanisme pasar. Melalui mekanisme pasar itulah para pihak mengadakan transaksi-transaksi.


(33)

122 Tabel 1. Rancangan Pengaturan Hak-hak Para Pemegang Kepentingan

Pihak Berkepentingan

Hak yang diperoleh Sumberdaya hutan yang dimanfaatkan Pemerintah (Pusat dan

Daerah) ·

Akses: hiking, rekreasi, menikmati udara segar, dll,

· Memungut: memancing, menyadap getah, mengumpulkan madu, dll,

· Mengelola: mengambil

keputusan; mengatur penggunaan,

meningkatkan kualitas, dll,

· Mengeksklusi: menentukan siapa-siapa yang boleh atau tidak boleh

memperoleh akses dan memungut, serta mentransfer hak, dan

· Mengalienasi: menyewakan, mengkonsesikan

· Kawasan TAHURA;

· Segala kekayaan yang ada di dalam kawasan baik berada di atas maupun di dalam tanah (sumber-sumber agraria)

Masyarakat lokal · Akses: menikmati pemandangan alam, mencari inspirasi karya seni, melintas jalan, dll;

· Mengumpulkan/ memungut HHBK: rotan, jelutung, buah-buahan;

membudidayakan dan memanfaatkan MPTS, dll;

· Menjadi partisipan pengelola TAHURA kolaboratif: mengatur kerjasama, bagi peran & tanggung jawab;

Pemandangan alam, kesegaran udara, suara alam (satwa, gerak-gerik pohon, aliran air, dll), hasil hutan bukan kayu, hasil MPTS, dll

Lembaga Pendidikan & Penelitian

Pengamatan, pengukuran,

pengambilan contoh

Sample tanah, mikro organisme tanah, flora fauna, pengetahuan


(34)

123

(sample) masyarakat lokal, dll

Pengusaha (Lembaga

Bisnis) ·

Bekerjasama dengan masyarakat dan Dinas Kehutanan untuk menampung HHBK;

· Mengelola zona tertentu TAHURA sebagai zona bisnis ekowisata: lintasan hiking, camping, dll

· Mengelola tour

ekowisata: mengorganisir pengunjung;

· Pemandangan alam, kesegaran udara, suara alam (satwa, gerak-gerik pohon, aliran air, dll),

· HHBK

Masyarakat luas nasional · Pengunjung (entrant): ekowisata, olahraga (hiking), mencari inspirasi karya seni, melintas jalan, dll;

· Membeli produk-produk olahan hasil hutan: obat

tradisional atau modern berbahan hasil hutan

Pemandangan alam, kesegaran udara, suara alam (satwa, gerak-gerik pohon, aliran air, dll),

Masyarakat internasional · Pengunjung (entrant): ekowisata, olahraga (hiking), mencari inspirasi karya seni, melintas jalan, dll;

· Membeli produk-produk olahan hasil hutan: obat

tradisional atau modern berbahan hasil hutan

· Kesegaran udara: peningkatan ketersediaan oksegen dan penurunan carbon (carbon sequestration);

· Hasil hutan bukan kayu dalam berbagai produk olehan: kosmetik, obat, dll

Pengembangan potensi sumberdaya hutan (TAHURA) dan potensi hak-hak atas sumberdaya hutan yang dapat didistribusikan tersebut di atas, perlu dibangun setelah diperoleh konsensus para lembaga/ pihak. Konsensus itu dicapai melalui proses penemuan persamaan orientasi nilai (value orientation). Orientasi nilai merupakan ‘‘patterns of basic beliefs relative to a particular topic’’ (Vaske and Donnelly 1999 dalam Abrams et.al., 2005). Orientasi nilai para pihak atas sumberdaya hutan mempengaruhi tujuan dan pola pengelolaan dan pemanfaatannya. Hasil-hasil kajian telah menunjukkan bahwa individu yang berorientasi pada ekonomi lebih mendukung praktek pengelolaan hutan tabang habis dari pada individu yang berorientasi ekologis (Tindall, 2003 dalam Abrams


(1)

ITTO National Workshops Proceedings, Bogor May 9th, 2007. 31

alam (re-stocking) dengan mengikuti kaidah-kaidah konservasi yang berlaku.

Seperti disampaikan pada uraian sebelumnya, dalam kaitannya pengembangan koleksi satwaliar sebagai obyek dan daya tarik wisata, maka aspek keamanan pengunjung dan satwa harus mendapatkan prioritas yang penting.

Kelengkapan koleksi jenis tumbuhan dan satwaliar dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kemampuan dukungan finansial dalam pembangunannya.

3. Pengembangan Penelitian, Pendidikan dan Ilmu Pcngetahuan.

Penelitian, pendidikan dan pengembangan iimu pengetahuan merupakan aspek peming dari pembangunan dan pengembangan tahura. Oleh karena itu dalam setiap program pengembangan harus memperhatikan ketiga hal ini. Keberadaan dan pengembangan tahura diharapkan juga dapat difungsikan sebagai laboratorium alam bagi pengembangan pendidikan, penelitian dan ilmu pengetahuan. Beberapa aspek penting yang dapat dikembangkan dalam fungsinya sebagai laboratorium alam adalah untuk kepentingan pengenalan dan identifikasi jenis-jenis tumbuhan, untuk praktik analisis vegetasi, untuk penelitian riap tumbuh jenis-jenis komersial, untuk penelitian dan pengembangan metoda propagasi tertentu, penelitian habitat satwaliar, penelitian ekologi dan perilaku satwaliar, dan masih banyak lagi aspek pendidikan dan penelitian yang dapat dikembangkan.

Berkaitan dengan upaya pengembangan tahura sebagai laboratorium alam untuk kepentingan pendidikan, penelitian dan ilmu pengetahuan, maka kelengakapan sarana dan prasarananya juga harus diperhatikan. Beberapa fasilitas yang dipcrlukan diantaranya rumah kaca, ruang koleksi jenis (satwa dan tumbuhan) untuk kepentingan identifikasi, instalasi air dan listrik. balairung untuk diskusi, toilet, dan perangkat untuk peragaan perkuliahan.

Penutup

Adalah tidak tepat apabila konservasi diartikan sebagai tindakan mempertahankan bumi dan isinya dari sebuah ”kepastian” akan kehancuran.

Konservasi adalah tindakan memposisikan peran manusia agar bijak memanfaatkan sumberdaya alam, sehingga umur pakai bumi yang hanya satu-satunya ini dapat diperpanjang. Pergeseran paradigma kawasan konservasi bukan satu-satunya cara untuk menyelamatkan keterwakilan ekosistem dan spesies tropika yang unik dan khas, melainkan merupakan keniscayaan yang


(2)

ITTO National Workshops Proceedings, Bogor May 9th, 2007. 32

dirumuskan merujuk pada kenyataan yang berkembang di belahan bumi ini termasuk Indonesia.

Perencanaan pengelolaan tahura adalah seni dalam mengimplementasikan prinsip konservasi, sehingga diperlukan kecermatan dalam berbagai hal. Management plan yang baik harus berorientasi pada manajemen praktis, kemudahan untuk dipahami dan diakses, sistematik dan logis, serta diterima oleh para pihak guna memastikan perannya dalam implementasi.

PUSTAKA

Cairns, John Jr. 2001. Equity, Fairness, and the development of a sustainabilty ethos. Ethics and Science in Environmental Politics. Pp: 1-7.

Departemen Kehutanan.1986. Sejarah Kehutanan Indonesia Volume I, II, dan III. Departemen Kehutanan Indonesia, Jakarta.

IUCN, 1994. Guideline for Protected Area Management Categories. WCMC - IUCN-The World Conservation Union, Gland - Switzerland, and Cambridge - UK. Pp: 1-19

IUCN, 2003. Guidelines for Management Planning of Protected Area (edited by: Lee Thomas and Julie Middleton). IUCN - The World Conservation Union, Gland -Switzerland, and Cambridge - UK. Pp: 1-27

Kramer, R. and Schaik, C.P. 1997. Preservation Paradigms and Tropical Ran Forests (in Last Stand: Protected Areas and the Defense of Tropical Biodiversity. Edts: Randall Kramer, Carel van Schaik, and Julie Johnson). Oxford University Press, New York-Oxford. Pp:3-35.

Lusigi, Walter J. 1995. How to Build Local Support for Protected Areas (in Expanding Partnerships in Conservation edited by McNeely). IUCN, Island Press, Washington DC. Pp: 19-24.

Soekmadi, R. 2002. National Park Management in Indonesia: Focused on Decentralization and Local Participation. Cuvilier, Gottingen, Germany. P.234.


(3)

(4)

ITTO National Workshops Proceedings, Bogor May 9th, 2007

ii

PROCEEDINGS

ITTO National Workshops on Concept

Development of TAHURA Management Plan

ITTO PD 210/03 Rev 3. (F) PARTICIPATORY ESTABLISHMENT OF COLLABORATIVE SUSTAINABLE FOREST MANAGEMENT IN DUSUN ARO, JAMBI

FACULTY OF FORESTRY BOGOR AGRICULTURAL UNIVERSITY (FoF- IPB) INTERNATIONAL TROPICAL TIMBER ORGANIZATION

(ITTO) DIRECTORATE GENERAL OF LAND REHABILITATION AND SOCIAL FORESTRY, MINISTRY OF FORESTRY (DG-LRSF)

Editors: Sri Wilarso Budi R Iskandar Z. Siregar Hardjanto Yulius Hero

Layout and cover design: Kasuma Wijaya


(5)

ITTO National Workshops Proceedings, Bogor May 9th, 2007 iii

PROCEEDINGS

ITTO National Workshops on Concept Development of

TAHURA Management Plan

ITTO PD 210/03 Rev 3. (F)

PARTICIPATORY ESTABLISHMENT OF COLLABORATIVE

SUSTAINABLE FOREST MANAGEMENT IN DUSUN ARO, JAMBI

National Expert/Project Management Unit (PMU)

1. Project Leader : Dr. Hardjanto

2. Co Project Leader : Dr. Upik Rosalina Wasrin 3. Secretary : Dr. Sri Wilarso Budi R 4. Treasurer : Dra. Sri Rahayu M Si

National Consultants

1. Prof. Dr. Dudung Darusman 2. Dr. Hariadi Kartodihardjo 3. Dr. Ulfah Yuniarti Siregar 4. Dr. Nurheni Wijayanto

Program Coordinator

1. Dr. Iskandar Zulkarnaen FoF- IPB 2. Dr. Didik Suharjito FoF- IPB 3. Ir. Yulius Hero, MScF. FoF- IPB

Faculty of Forestry- Bogor Agricultural University Kampus IPB Darmaga, Bogor, Indonesia 16680

Phone/Fax : +62 251 629011; +62 251 621677 Faximile : +62 251 621 256

E-mail : [email protected]

ISBN No.

No part of this publication may be reproduced, stored in a retrieval system, or transmitted in any form or by means, electronic, mechanical, photocopying, recording, scanning, or otherwise, without either the prior written permission of the publisher.


(6)

ITTO National Workshops Proceedings, Bogor May 9th, 2007

iv

Proceedings

ITTO National Workshops on Concept Development of

TAHURA

Management Plan

May 9, 2007

Organized by

Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University (IPB)

Editors Sri Wilarso Budi R1 Iskandar Z. Siregar1

Hardjanto2 Yulius Hero2

1

Laboratory of Silviculture, Department of Silviculture, Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University

2

Laboratory of Forestry Socio-Economics and Policy, Department of Forest Management, Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University