KELEMAHAN DALAM UU NO 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAH DAERAH YANG MENGATUR PEMILUKADA DALAM HUBUNGANNYA DENGAN KONFLIK PENYELENGGARAAN PEMILUKADA (Studi Konflik Dalam Penyelengg araan Pemilihan Gubernur Period e 2014 - 2019 di Provinsi Lampung)

(1)

ABSTRAK

KELEMAHAN DALAM UU NO 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAH DAERAH YANG MENGATUR PEMILUKADA DALAM

HUBUNGANNYA DENGAN KONFLIK PENYELENGGARAAN PEMILUKADA

(Studi Konflik Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur Periode

2014-2019 di Provinsi Lampung)”

oleh

RENI OKTAULI PANJAITAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis kelemahan yang menimbulkan masalah yang terdapat dalam undang-undang pemilukada khusus nya pemilihan Gubernur Periode 2014-2019 di provinsi Lampung dan Untuk memberikan gambaran bagaimana solusi penyelesaian konflik dalam rencana penyelenggaraan pemilihan Gubernur Periode 2014-2019 di Provinsi Lampung. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan secara Normatif. Sumber data yang digunakan adalah data sekunder. diperoleh dengan menelusuri literatur-literatur maupun peraturan-peraturan dan norma-norma yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas dengan skripsi ini. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan. Setelah data tersebut terkumpul, kemudian dilakukan pengolahan data dengan tahap-tahap mengidentifikasi, sistematis atau mengklarifikasikan, interprestasi data dan menilai data. Analisis data yang digunakan adalah secara kualitatif.

Hasil penelitian menunjukan beberapa kelemahan dalam UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah yang mengatur tentang pemilukada menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya yang berakibat konflik seperti adanya multitafsir dalam pasal penyelenggaraan pemilukada pasal 86 dalam UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah dan besarnya biaya pemilukada yang berakibat adanya penundaan pemilukada di Provinsi Lampung.

Solusi untuk mengatasi kelemahan yang terjadi yaitu harus adanya pengaturan hukum yang jelas dan tegas agar tidak mengandung multitafsir dan melakukan


(2)

efesiensi pengadaan logistik dalam pelaksanaan pemilukada untuk mencegah biaya pemilukada yang sangat tinggi.

Kata kunci: Pemerintah Daerah, Kelemahanan Pemilukada, Solusi Kelemahan Pemilukada


(3)

(4)

KELEMAHAN DALAM UU NO 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAH DAERAH YANG MENGATUR PEMILUKADA DALAM

HUBUNGANNYA DENGAN KONFLIK PENYELENGGARAAN PEMILUKADA

(Studi Konflik Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur Periode

2014-2019 di Provinsi Lampung)”

(Skripsi)

oleh

RENI OKTAULI PANJAITAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2014


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

Abstrak... i

Kata Pengantar... ii

Daftar isi... iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Permasalahan... 5

C. Ruang Lingkup... 6

D. Tujuan Penelitian... 6

E. Kegunaan Penelitian... ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengisian Jabatan Kepala Daerah... 8

B. Penyelenggara Pemilihan Umum Kepala Daerah... 18


(6)

BAB III METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masala... 34 B. Sumber Data... 34 C. Prosedur Pengumpulan dan Pengelolah Data

1 Prosedur Pengumpulan Data... 36 2 Pengelolah Data.../... 36 D. Analisi Data... 37 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kelemahan UU No.32 Tahun 2004 Tentang

Pemerintah Daerah Dalam Penyelenggaraan Pemilukada ... 38 B. Solusi Penyelesaian Konflik Dalam Penyelenggaraan Pemilukad... 63

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan... 69 B. Saran... 70


(7)

(8)

(9)

KATA PENGANTAR

Syalom, Salam Sejahtera Untuk kita Semua.

Segala puji syukur Penulis panjatkan Kepada Tuhan Yesus Kristus atas kehendak dan rencana Nya lah skripsi ini dapat berjalan dengan lancar serta karena kemurahan hati Nya penulis diberikan hikmat untuk menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Kelemahan Dalam UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah Yang Mengatur Pemilukada Dalam Hubungannya Dengan Konflik Penyelenggaraan Pemilukada (Studi Konflik Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur Periode 2014-2019 di Provinsi Lampung)”.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi yang berjudul “Kelemahan Dalam UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah Yang Mengatur Pemilukada Dalam Hubungannya Dengan Konflik Penyelenggaraan Pemilukada (Studi Konflik Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur Periode 2014-2019 di Provinsi Lampung)” bukanlah hasil jerih payah sendiri, akan tetapi berkat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak baik moril maupun materiil sehingga Penulisan skripsi ini dapat selesai. Oleh karena itu, di dalam kesempatan ini Penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang tulus kepada:


(10)

1. Bapak Armen Yasir, S.H., M.Hum., sebagai pembimbing I dan dosen Pembimbing akademik semester 1 hingga semester 6 Penulis, yang telah memberikan bimbingan serta menyediakan waktu nya, dengan penuh kesabaran terhadap Penulis dan sumbangsih pikiran, saran dan kritik dalam proses menyelesaikan skripsi ini, yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat;

2. Bapak M. Iwan Satriawan, S.H., M.H sebagai pembimbing II sekaligus bapak yang sabar terhadap Penulis, serta dosen Penulis yang telah memberikan bimbingan, motivasi, nasehat kepada Penulis serta sudah menyumbangkan waktu dan pikiran serta masukan-masukan yang bermanfaat dalam proses menyelesaikan skripsi ini;

3. Ibu Yulia Neta, S.H., M.Si., M.H., sebagai Pembahas I. Terima kasih untuk masukan-masukan yang berharga demi layaknya skripsi ini sehingga dapat dibaca dan digunakan bagi orang-orang yang membutuhkan;

4. Ibu Martha Riananda, S.H., M.H., sebagai Pembahas II dan dosen Penulis yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat dan telah mengoreksi skripsi ini dengan penuh ketelatenan sehingga skripsi ini dapat selesai;

5. Pak Zulkarnain Ridlwan, S.H., M.H., sebagai dosen Pembimbing Akademik (PA) yang telah memberikan arahan dan ilmu yang bermanfaat;

6. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S. sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

7. Bapak Rudy, S.H., LL.M., LL.D., sebagai Ketua Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah banyak membantu Penulis


(11)

dalam perkuliahan di Bagian Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Lampung, yang telah mengajarkan kedisiplinan dan moralitas; 8. Bapak Muhtadi, S.H., M.H., sebagai Sekretaris Bagian Hukum Tata Negara,

Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah banyak memberikan nasehat, bimbingan dan arahannya kepada Penulis;

9. Ibu dan Bapak Dosen bagian Hukum Tata Negara, yaitu Bapak Yusdiyanto, S.H., M.H., Ibu Dr. Yusnani, S.H., M.Hum., Pak Dr. Budiyono, S.H., M.H., dan., Bapak Ahmad Saleh, S.H., M.H., yang telah menyumbangkan ilmu-ilmu hukum yang sangat bermanfaat dan ikut membahas skripsi Penulis dalam seminar I dan seminar II dengan masukan-masukan yang membangun sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;

10.Bapak dan Ibu Karyawan di Fakultas Hukum, Universitas Lampung yang telah melancarkan segala keperluan Penulis dalam keadministrasian dari awal perkuliahan hingga akhir perkuliahan Penulis;

11.Bapak penjaga gedung B Fakultas Hukum bapak Jarwo, bapak Pendi dan bapak Marji, yang telah memberikan semangat dalam mengerjakan skripsi ini;

12.Mamahku tercinta R. Sitorus, yang telah melahirkan sosok Penulis yang selalu bangga sudah dilahirkan dari rahimnya, terima kasih buat dukungan, semangat yang tiada henti. Bapakku S.Panjaitan, yang selalu mengajarkan Penulis kehidupan yang sangat berarti selama ini, yang selalu menanyakan penulis kapan wisuda, pertanyaan itu yang membuat penulis semangat dalam mengerjakan skripsi ini;


(12)

13.Kakakku Rosely Valenty Panjaitan dan Abangku Leonardo Leriko Panjaitan yang telah memberikan support, canda, tawa, bahagia bahkan sedih dan amarah, terima kasih sudah mau terus mengingatkan untuk rajin dalam mengerjakan dan menyelesaikan skripsi ini;

14.Sahabat sejati yang sudah mengisi hari-hariku, selalu menyemangatiku, dan selalu ada untukku Ria Setiawati S.pd, Heru Setiawan, M.Muharom Purnama Besila, Putri Nainggolan A,md, Suci Rahmadhani A,md, Novia Ayu tidak keukir lagi kebaikan perhatian kalian semua semoga kebersamaan kita sampai selama-lamanya dan semua cita-cita, angan-angan kita terwujud menjadi pejabat-pejabat di negeri ini;

15.Buat ito-ito dikampus Ada Tua Simbolon S.H dan Sanggam Ronitua Simanulang S.H yang selalu memberikan semangat dalam perkulihan terima kasih nasehat-nasehat, perhatian dan motivasi yang kalian berikan selama 4 tahun perjumpaan kita, terimah kasih sudah mau mendenggarkan curhatanku dalam mengerjakan skripsi ini;

16.Buat kaka Desrina Pritinalia, Rena Pratiwi Juwita S.H, Dovina Wijaya S.pd, Bibi Septi, Agus ,Hutri, Mba Fery, Yuk Emis terimakasih motifasi dan semangat yang kalian berikan;

17.Member Gerobak Pasir hukum angkatan 2010 Saut Lumbangaol S.H, Ricko Sihaloho S.H, Rio Sembiring S.H, Bryan Sipayung S H, Ade Marbun S H, Jusuf Purba S H, Marcel Hutajulu S.H, Dede Hutagalung S.H, Wetson Rumahorbo S.H, Josua Tampubolon, Rizal Sinurat, Charlina Purba S.H, Ivo Simanjuntak, Yoga, Abram Sitepu, Bismar Tobing S.H, Hans Sembiring S.H, Eliasif Sembiring S.H, Edo Sitorus, Neil Hutagalung S.H, Sartika Samosir


(13)

S.H, Sonya Harahap S.H, Christal S.H. Terima kasih kebersamaan yang kita sudah lalui;

18.Kawan-kawan Hima HTN Retiana Arifanti S.H., Yessi S.H, Indah S.H, Shinta S.H, Aristo S.H, Andi S.H, Echo, Andhika, Maryanto, Elsa, emil, Danil, Dafit, Hera, Ferry, Ridho, Agung. Terimah kasih buat persaingan positif dijurusan HTN;

19.Saudara seiman Alumni, senior dan Junior Forum Mahasiswa Kristen Hukum (FORMAKRIS) Torang, Nova, kak elsi, Christin, Remon, Ryan, Dopdon, Nur, Megi, Ines, Rio, Anes, Raymon, dll Terima kasih atas doa, dukungan dan kebersamaannya;

20.Rekan-rekan dan Team Taekwondo Lampung, Lampung Selatan, SUMJA, Batalyon 143 dan UKM Taekwondo Unila Sabem Rusli S.Ag, Sabem Ranto S.pd, Sabem Alif S.Pd, Yoga S.H, Eko, Revi S.pd Tono, Rio, Andre, Maulana, Robi, Krisna, Irvan, Deprindo, Dafit, Elvira, Mulyani, Celsi. Terima kasih atas dukungan dan semangat kalian;

21.Kawan-Kawan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Ade Al-fatah S.T, Syifa S.Ked, Dina S.E, Kartika S.E, Debby, Dinda, Yogis, Afrian, Indra 40 hari bersama kalian mengajariku kemandirian;

22.Guru-guru SMA SWADHIPA Natar Ibu Madhalena, Ibu Suharti, Ibu lela Bapak Nyoman dan ibu Hj.Drs Nurpuri selaku Kepala Sekolah serta Bapak Eddy Sutrisno yang telah menjadikan penulis sebagai anak asuh;

23.Kawan-kawan SMA SWADHIPA IPS 1 Budi. Jefri, Fitri, Nopiyanto, Syarif Tuti, Puji, Ayu, Riri, Adit, Hono, Kinoi, Rose, Reni, Cindi, Nurhayati,


(14)

Widyia, Pembayu, Moko, Lulu, Afri, Rona, Revi, Triono, Mardianto, Bery, Wina. Terima kasih buat dukungan kalian.

Semoga Tuhan Yesus Kristus selalu memberkati kita semua dimanapun kita berada dan kasih karunia Nya slalu menyertai kita semua. Sangat Penulis sadari bahwa berakhirnya masa studi ini adalah awal dari perjuangan panjang yang menjalani kehidupan yang sesungguhnya. Sedikit harapan semoga karya kecil ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amiin

Bandar Lampung, 25 September 2014 Penulis,


(15)

Moto

Hidup dalam kristus dan mati adalah keuntungan.

Basuki Tjahaja Purnama

Masa depan dan cita-cita mu yang menentukan

Tuhan dan diri mu sendiri

Reni Oktauli panjaitan

Ketika fakta memihak kepada anda, berdebatlah

dengan fakta. Ketika hukum ada dipihak anda,

bertahanlah dengan hukum. Ketika anda tak

punya dua-duanya, berteriaklah.


(16)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya kecilku ini dengan segala kerendahan hati penuh rasa syukur dan terima kasih kepada:

Juruselamat hidupku Yesus Kristus terima kasih buat karya Mu yang luar biasa dalam hidupku

Bapakku S.panjaitan yang sangat terhebat

Sosok lelaki yang bertanggung jawab dengan penuh pengorbanan dan perjuangan dan harapan selalu mengiringku dan membimbingku untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Terima kasih semangat hidup yang telah engkau berikan Mamahku R.Sitorus yang teristimewa

Sosok wanita terhebat yang selalu mengajariku untuk menjadi wanita yang kuat wanita mandiri. Terima kasih atas doa mu yang selalu menyebut namaku, doa mamah lah yang

selalu meberikan aku kekuatan dalam menjalani hidup ini Kakakku Rosely Valenty Panjaitan yang tersayang

Sosok wanita yang tegar, sabar dan penyayang yang selalu mengajari aku kasih, semangat, memberi. Terima kasih atas motivasi dan semangat mu sehingga aku bisa

menjadi pribadi yang bisa mengasihi keluarga Abangku Leo Nardo Lerico Panjaitan yang tersayang

Sosok lelaki yang perhatian. Terimah kasih atas nasehat terimah kasih sudah menjagaku dari kecil hingga aku besar sekarang.

Bapak Armen Yasir, S.H., M.Hum.,

Sosok dosen yang luar biasa dalam mendidik,memberi arahan, memberi semangat dan motivasi. Terimakasih buat kesabaran bapak dalam membimbing saya di kampus semoga

kasih karunia Tuhan selalu menyertai bapak dimanapun bapak berada. Almamater tercinta


(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Branti pada tanggal 19 Oktober 1992. Puteri ketiga dari tiga bersaudara, dari pasangan S.Panjaitan dan R.Sitorus. Mengenyam pendidikan awal di Taman Kanak-kanak (TK) Darma Wanita Pewa Natar, Lampung Selatan pada tahun 1996. Tahun 1997 melanjutkan pendidikan di Sekolah Dasar (SD) Negeri 01 Tanjung Sari, Natar, Lampung Selatan dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 01 Natar Lampung Selatan dan lulus tahun 2007.

Tahun 2010, lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA) Swahdipa Natar Lampung Selatan. Penulis diterima sebagai mahasiswi Universitas Lampung Fakultas Hukum melalui jalur Penelusuran Kemanpuan Akademik dan Bakat (PKAB) tahun 2010, selama menempuh studi Penulis dibiayai penuh oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Beasiswa Bidikmisi hingga menyelesaikan program sarjana.

Selama masa studi, Penulis telah melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada tahun 2013 di Desa Taholoh Kecamatan Batanghari Nuban, Kabupaten Lampung Timur.


(18)

Selama menjalani pendidikan, Penulis aktif dalam organisasi ekstrakurikuler fakultas, yaitu sebagai Kordinator Mahasiawa Bidik Misi Tingkat Fakultas Hukum, Kordinator Doa dan Pemerhati FORMAHKRIS periode 2010-2011, Anggota Unit Kegiatan Mahasiswa Taekwondo 2010-2011, Seketaris Umum FORMAHKRIS Tahun 2011-2012, Anggota Internal Himpunan Mahasiswa Hukum Tata Negara (HIMA HTN) periode 2012-2014.

Penulis juga pernah mengikuti berbagai pelatihan dan kopmpetisi yang diselenggarakan baik diselenggarakan di dalam kampus maupun di luar kampus, yaitu menjadi peserta Delegasi ILC Universitas Brahwijaya Tingkat Nasional tahun 2013, kemudian Pendidikan Pelatihan Beasiswa Bidikmisi pada tahun 2010 sampai dengan tahun 2013, antara lain Dasar-dasar Metode Penelitian tahun 2010, Pelatihan Pembuatan Proposal PKM-Kewirausahaan tahun 2011, Pelatihan Metode Penulisan Karya Ilmiah I tahun 2012, Pelatihan Metode Penulisan Karya Ilmiah II tahun 2013, Mendapat mendali Emas Ajang kejuaraan Taekwondo Unila Lampung Tahun 2011, medali Emas Ajang Kejuaraan Taekwondo Saburai Se-Lampung, Tahun 2011, medali Perak Kejuaraan PORPROV Lampung Tahun 2014, medali Emas Festival Taewondo Se-Lampung Tahun 2014 dan medali emas kejuaraan Begawi taekwondo Lampung tahun 2014.


(19)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah (pemilukada) sebagai sebuah model pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak dapat dilepaskan dari pemberian otonomi kepada daerah berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, daerah otonomi mempunyai korelasi perspektif dengan konsep dasar tentang desentralisasi dan kedaulatan rakyat.1

Konsep hukum yang ideal tentang pemilukada dalam perspektif otonomi daerah yang berorientasi pada prinsip kedaulatan rakyat, dalam negara demokrasi mampu menciptakan pemilukada yang lebih baik agar selaras dengan hakekat dari semangat otonomi daerah, yaitu adanya pemberdayaan, kemandirian, dan kesejahteraan rakyat di daerah otonom. Pemilukada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang independen, dan non partisan, yaitu tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun.

Pemahaman terhadap makna peraturan perundang-undangan dibidang pemilukada yang berbeda dapat menimbulkan konflik. Hal ini yang terjadi dalam rencana penyelenggara pemilukada di Provinsi Lampung. Komisi Pemilihan Umum

1

Jimly Asshidiqie, Komentar Atas Undang-Undang Dasar, (Jakarta: Rjawali Pers, 2009), hlm. 10-12.


(20)

2

Daerah (KPUD) Provinsi Lampung sesuai dengan tugas dan fungsi nya sebagai penyelenggara pemilukada ingin menggelar Pemilukada pada tahun 2013.

Dasar yang menjadi KPUD Provinsi Lampung akan menyelenggarakan pemilukada tahun 2013 didasarkan terhadap pemahaman ketentuan Pasal 86 ayat 1 UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Pasal 86 ayat 1 UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa pemungutan suara, pemilihan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan paling lambat 1 (satu) bulan sebelum masa jabatan kepala daerah berakhir. Artinya pelaksanaannya dapat dimajukan tanpa mengurangi masa jabatan kepala daerah. Bahkan makna dalam pasal 86 ayat 1 UU No 32 tahun 2004 bisa dilaksanakan setahun sebelumnya, selagi tidak sampai pada berakhirnya masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah karena dalam proses pelaksanaan pemilukada memerlukan waktu yang sangat lama, oleh karena itu penjadwalan KPUD dalam menyelenggarakan pemilukada pada tahun 2013 sudah sangat tepat mengingat waktu yang dibutuhkan dalam pelaksanaan membutuhkan waktu yang sangat lama dari proses persiapan hingga proses pelaksanaan.

Kepala daerah yang sedang menjabat tidak perlu khawatir untuk memajukan jadwal pemilukada karena tidak akan mengurangi masa jabatannya. Jabatan Kepala daerah sudah diatur secara ketat dalam UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah yakni selama lima tahun sejak Surat Keterangan (SK) diterbitkan, tidak ada alasan untuk menolak pelaksanaan pemilukada. Pemilukada merupakan program yang masuk dalam rencana pembangunan nasional untuk


(21)

3

melembagakan demokrasi. Pelaksanaan pemilukada tepat waktu merupakan salah satu indikator suksesnya pembangunan demokrasi tersebut.

Rencana pelaksanaan pemilukada yang ditetapkan oleh KPUD Provinsi Lampung mendapatkan penolakan dari pihak Kepala Daerah/Gubernur Lampung yaitu Sjachroedin ZP, Pemilukada tidak bisa berjalan tanpa adanya dukungan dari Gubernur/Pemerintah Provinsi, mengingat dasar anggaran pemilukada Pasal 114 ayat (5) UU No. 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum menyebutkan bahwa pendanaan penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah wajib dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Gubernur lampung belum bersedia/menolak jika pemilukada diadakan pada tahun 2013 dengan alasan tidak adanya anggaran.2

Perkembangannya dalam Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) mendesak Pemerintah Provinsi Lampung untuk segera mengalokasikan penganggaran pemilihan Gubernur, sehingga pesta demokrasi di daerah itu dapat digelar sebelum Pemilu 2014. Kemendagri meminta Pemerintah Provinsi dan DPRD Lampung untuk mengupayakan agar pelaksanaan Pemilihan Gubernur Lampung pada 2013. Namun, jika anggaran dana tetap tidak memungkinkan dilakukan pada 2013 maka Kemendagri mendesak untuk segera dilakukan pembahasan APBD untuk 2014 yang didalamnya memasukkan alokasi dana untuk pemilukada. Maka berdasarkan fakta data tersebut kunci penyelenggaraan pemilukada itu terletak pada anggaran.

2


(22)

4

Surat Edaran (SE) yang dikeluarkan Mendagri, yang di tujukan kepada 43 daerah di Indonesia yang masa jabatan kepala daerah yang akan berakhir pada tahun 2014 agar pemilukada di daerah-daerah tersebut dipercepat. Dari 43 daerah hanya Pemerintah Daerah Provinsi Lampung (Gubernur dan DPRD) yang tetap kukuh bertahan pada penafsiran ketentuan pasal 86 UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. Dalam pelaksanaan pemilukada menimbulkan multitafsir yang menjadi masalah hukum dengan ketentuan paling lambat 1 (satu) bulan sebelum masa jabatan Gubernur habis, sedangkan jabatan Gubernur Lampung berakhir pada tanggal 2 juni 2014 maka Gubernur berserta DPRD merasa sah sah saja jika pemilukada tetap dilaksanakan ditahun 2014 selagi belum melewati 2 (dua) bulan sebelum tanggal berakhirnya jabatan Gubernur Lampung. Dilain pihak Gubernur dan DPRD tidak melaksanakan SE tersebut karena mereka berpendapat, SE itu hanya bersifat anjuran dan tidak memiliki kekuatan hukum.3

Akibat tarik ulur pelaksanaan pemilihan gubernur di Lampung antara KPUD dengan Pemerintah Provinsi telah mengalami tiga kali penundaan karena Pemerintah Provinsi Lampung tidak menganggarkan biaya Pemilukada untuk tahun 2013. Semula, jadwal Pemilihan Gubernur dilakukan pada 2 Oktober 2013 yang kemudian mundur menjadi 2 Desember 2013 dan terakhir ditunda hingga 27 Februari 2014. Pada akhirnya pemilihan Gubernur di Lampung diadakan bersamaan dengan pemilihan legislatif pada tanggal 9 april 2014.

Berdasarkan uraian di atas terdapat beberapa masalah dari UU No 32 tahun 2004 juncto 12 tahun 2008. Pertama anggaran pilkada itu dianggarkan dalam APBD. Sehingga ketika pemerintah Provinsi tidak ingin menganggarkan penyelenggaraan

3

http://www.opini-indonesia.com/?title=lampung-alami-turbulensi-politik-mendagri-tidak-becus,


(23)

5

pemilukada, pemilukada jadi terganggu. Sebenarnya hal ini bisa kita cegah kalau sebelumnya KPUD bisa membangun komunikasi yang baik dengan DPRD. Karena mereka (DPRD) bisa menekan itu kepada eksekutif dalam pembahasan APBD 2013. Kedua dalam pelaksanaan dan dasar penyelenggara pemilukada pasal 86 UU No.32 tahun 2004 terdapat multi tafsir yang menjadi masalah hukum seperti yang sudah diuraikan pada bagian sebelumnya. Berdasarkan permasalahan yang diungkapkan walaupun telah dilakukan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Lampung dan Gubernur terpilih sudah dilantik. Namun penulis merasakan perlu menganalisis dasar hukum penyelenggaraan pemilukada serta kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam UU No 32 tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. Oleh karena nya penulis tertarik untuk melakukan penelitian. Penelitian ini diberi berjudul “Kelemahan Dalam UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah Yang Mengatur Pemilukada Dalam Hubungannya Dengan Konflik Penyelenggara Pemillukada (Studi Konflik Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur periode 2014-2019 di provinsi Lampung)”.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian diatas yang telah dikemukakan pada latar belakang maka masalah pokok yang menjadi kajian adalah:

1. Kelemahan dalam UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah yang mengatur pemilukada dalam hubungannya dengan konflik penyelenggara pemilukada?


(24)

6

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini berdasarkan pada kajian keilmuan Hukum Tata Negara (HTN). khususnya tentang konflik yang terjadi dalam pemilihan Gubernur/Kepala Daerah di provinsi Lampung tahun periode 2014-2019

D. Tujuan Penelitian

Adapun yang ingin di capai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui dan menganalisis kelemahan yang menimbulkan

masalah yang terdapat dalam UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah dalam hubungannya dengan pemilukada khusus nya pemilihan Gubernur Periode 2014-2019 di Provinsi Lampung

2. Untuk memberikan gambaran bagaimana solusi penyelesaian konflik dalam rencana penyelenggaraan pemilihan Gubernur Periode 2014-2019 di Provinsi Lampung.

E. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

Diharapkan dari hasil penelitian dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dibidang ilmu hukum khususnya ilmu Tata Negara yang berkenaan tentang Konflik dalam Rencana Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur Periode 2014-2019 di Provinsi Lampung


(25)

7

2. Kegunaan praktis

Hasil dari penelitian ini menjadi masukan bagi lembaga-lembaga terkait dalam menyelesaikan konflik yang terjadi, untuk memberikan informasi kepada kalangan akademisi, maupun masyarakat secara umum dalam memahami apa penyebab konflik yang terjadi di Provinsi Lampung serta memberikan informasi mengenai bagaimana penyelesaian konflik dalam peyelenggara pemilukada di Lampung dan yang terakhir adalah sebagai bahan salah satu syarat bagi penulis untuk mendapatkan gelar sarjana (S1) pada Fakultas Hukum Universitas Lampung


(26)

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengisian Jabatan Kepala Daerah

Semenjak kemerdekaan Indonesia sudah puluhan UU tentang Pemerintah Daerah ini berganti yang intinya adalah mengakomodasikan keberagaman daerah di dalam pola negara kesatuan. Sulitnya mengakomodasi heterogenitas daerah yang terbesar diseluruh wilayah negara adalah problematika yang senantiasa mendasari perubahan UU tentang Pemerintah Daerah. Sementara secara sederhana pula prinsip negara kesatuan menghendaki semuanya serba satu. Bagaimana mengakomodasi keberagaman dalam kesatuan, inilah subtansi yang harus bisa secara apik diakomodasikan oleh UU tentang Pemerintah Daerah.1

Perubahan mendasar yang melegitimasi pemilihan kepala daerah secara langsung adalah pada UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Pada kurun waktu berikutnya digantikan oleh UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang disahkan oleh Presiden tanggal 15 oktober 2004 dan diundangkan dalam Lembaran Negara pada tanggal yang sama tahun 2004 Nomor 125. Undang- Undang ini pun mengalami dua kali perubahan secara

1

Samsul wahidin,hukum pemerintah daerah mengawasi pemilihan umum kepala daerah,


(27)

9

terbatas, terakhir dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, sepertinya dalam waktu tidak terlalu lama UU itu pun akan dirubah dalam arti disempurnakan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan paradigma sebagaimana dikemukakan di atas.2

Ihwal pemilihan langsung atas kepala daerah, legitimasi formalnya diperoleh dalam UU ini. Di dalam penjelasan umum angka 4 UU No.32 Tahun 2004 dinyatakan bahwa lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah yang mengatur pemilihan langsung kepala daerah adalah sebagai akibat tidak dicantumkan lagi sebagai kewenangan DPRD untuk pemilihan kepala daerah secara langsung tersebut dalam UU No. 22 Tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Secara lebih jelas disebutkan bahwa kepala daerah adalah kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis. Terjemahannya adalah dengan pemilihan secara langsung oleh rakyat di daerah masing-masing.3

Pengisian jabatan kepala daerah melalui Pemilukada merupakan salah satu bentuk ekspresi dari kedaulatan rakyat. Mengacu UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. Pengisian jabatan kepala daerah dimaksud dilaksanakan melalui demokrasi langsung yang landasan aturan pelaksanaan adalah sebagai berikut:

1. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah;

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penerapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang

2

Ibid.,hlm 26

3


(28)

10

Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah;

3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 4. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan

Umum yang dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum;

5. Peraturan Pemerinta Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah, dan Wakil Kepala Daerah;

6. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2007 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan,Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;

7. Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;

8. Peraturan lain yang bersifat lebih operasional terkait pemilukada, diantaranya; Peraturan Menteri dalam Negeri, keputusan KPU, dan juga diatur dalam surat edaran Menteri Dalam Negeri.4

Penerapan hukum, terdapat hal-hal yang perlu untuk diperbaiki dalam upaya mewujudkan sinkronisasi hukum yang mengatur tentang pemilukada dalam perspektif otonomi daerah dalam hakikat kedaulatan rakyat. Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat yang prasyaratan dan tata cara ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat dicalonkan baik oleh partai politik perserta pemilu yang memperoleh jumlah kursi tertentu dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan atau memperoleh dukungan suara dalam pemilu legislatif dalam jumlah tertentu.

4

Wendy melfa, Pemilukada Demokrasi dan Otonomi Daerah, (Bandar Lampung : BE Press), hlm 14-15.


(29)

11

Otonomi daerah yang dianut oleh Indonesia telah memberikan kemungkinan bagi setiap daerah untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah dan menentukan pemerintahannya masing-masing. Pemilukada ini merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat. Ada 5 (lima) pertimbangan penting penyelenggaraan pemilukada langsung bagi perkembangan demokrasi di Indonesia yaitu:

1. Pemilukada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan kepada desa selama ini telah dilakukan secara langsung.

2. Pemilukada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945. Seperti telah diamanatkan pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubenur, Bupati dan Walikota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemilihan, pengesahan, pengangkatan, dan pemberhentian Kepala Daerah dan wakil kepala daerah.

3. Pemilukada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat (civic education). Ia menjadi media pembelajaran praktik berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai nuraninya.

4. Pemilukada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah. Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal dihasilkan dalam pilkada langsung, maka komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah, antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat agar dapat diwujudkan.

5. Pemilukada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi kepemimpinan nasional. Disadari atau tidak, stock kepemimpinan nasional amat terbatas. Dari jumlah penduduk yang lebih dari 200 juta, jumlah pemimpin yang kita miliki hanya beberapa. Mereka sebagian besar para pemimpin partai politik besar yang memenangi Pemilu 2004. karena itu, harapan akan lahirnya pemimpin nasional justru dari pilkada langsung ini.5

Menurut Dahlan Thaib, dalam masyarakat demokratis, pemilu yang dilakukan merupakan suatu proses pergantian kekuasaan secara damai yang dilakukan

5

Syamsudin Haris, Mengapa Pilkada Langsung. (Jakarta: Majalah Bulanan Pamong Edisi 01/TH II/ Mei 2005).hlm.25.


(30)

12

secara berkala sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan konstitusi. Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa pemilu merupakan kegiatan politik yang sangat penting dalam proses penyelenggaraan kekuasaan dalam sebuah negara yang menganut prinsip-prinsip demokrasi. Prinsip kehidupan ketatanegaraan yang berkedaulatan rakyat (demokrasi) ditandai bahwa setiap warga negara berhak ikut aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan kenegaraan.6

Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, pemilu bertujuan untuk memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan secara aman dan tertib, untuk melaksanakan kedaulatan rakyat dan melaksanakan Hak Asasi Manusia (HAM).7 Jimly Asshiddiqie menambahkan tujuan keempat dari pemilu adalah untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan.8

Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat yang merupakan bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahanya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan). Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara.

Demokrasi berasal dari bahasa Yunani yakni kata “Demos” berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan “cratein” atau “demos” yang berarti kekuasaan atau

6

Dahlan Thalib,Ketatanegaraan Indonesia Perspektif Konstitutional, (Yogyakarta : Total Media,2009), hlm.740.

7

Ahmad Sukardja, Hukum Tata Negara & Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Sinar Grafik, 2012),hlm 157.

88


(31)

13

kedaulatan, dengan demikian maka demokrasi dapat diartikan kekuasaan atau kedaulatan rakyat.9 (government from the people, by the people and for the people).

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), demokrasi adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya, pemerintahan rakyat.10 Gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara.11

Pengertian umum demokrasi dapat dilihat dari pandangan terhadap istilah (terminology) demokrasi diidentikan dengan istilah kedaulatan rakyat.12 Demokrasi atau paham kerakyatan kemudian diasumsikan sama dengan pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dalam perkembangannya harus berjalan beriringan dan tidak dapat dipisahkan dengan kedaulatan hukum (nomokrasi), hal ini disebabkan karena hukum yang mengatur dan membatasi kekuasaan negara atau pemerintah diartikan sebagai hukum yang dibuat atas dasar kekuasaan atau kedaulatan rakyat.13 Oleh karena itu pemahaman pelaksanaan demokrasi dalam kajian ini, sama halnya dengan pelaksanaan paham kedaulatan rakyat.

9

Subandi Al Marsudi, Pancasila dan UUD 45 dalam Paradigma Reformasi, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2001), hlm 81.

10

Kamus Besar Bahasa Indonesia

11

ibid

12

Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, (Bandung:, Fokusmedia, 2009), hlm. 34.

13 Ni’mantul Huda,

Hukum Tata Negara Indonesia pasca Perubahan UUD 1945, (Bandung:, Fokusmedia, 2009), hlm.34.


(32)

14

Pelaksanaan dari demokrasi ini telah dilakukan dari dahulu diberbagai daerah di Indonesia hingga Indonesia merdeka sampai sekarang ini. Demokrasi di negara Indonesia bersumber dari Pancasila dan UUD 45 sehingga sering disebut dengan demokrasi Pancasila.14 Demokrasi Pancasila berintikan musyawarah untuk mencapai mufakat, dengan berpangkal tolak pada faham kekeluargaan dan kegotongroyongan. Prinsip demokrasi dan prasyarat dari berdirinya negara demokrasi telah terakomodasi dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).15

Setiap prinsip demokrasi dan prasyarat dari berdirinya negara demokrasi telah terakomodasi dalam suatu konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip-prinsip demokrasi, dapat ditinjau dari Almadudi yang kemudian dikenal dengan “soko guru demokrasi.” Menurutnya, prinsip-prinsip demokrasi adalah:16

1. Kedaulatan rakyat.

2. Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah. 3. Kekuasaan mayoritas.

4. Hak-hak minoritas

5. Jaminan hak asasi manusia

6. Pemilihan yang bebas, adil, dan jujur 7. Persamaan didepan hukum.

8. Proses hukum yang wajar

9. Pembatasan pemerintah secara konstitusional. 10.Plurarism,sosial, ekonomi, dan politik

11.Nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.

14

C.S.T Kansil&christin S.T.Kansil, Hukum Tata Negara Di Indonesia, Jakarta: Sinar Gafika,2007) Hal.176.

15

Aa Nurdiaman, pendidikan kewarganegaraan :kecakapan berbangsa dan bernegara, PT Grafindo Media Pratama.

16

Wendy melfa, Pemilukada Demokrasi dan Otonomi Daerah, (Bandar Lampung : BE Press), hlm.65.


(33)

15

Ciri-ciri pemerintahan demokratis dalam perkembangannya, demokrasi menjadi suatu tatanan yang diterima dan dipakai oleh hampir seluruh negara di dunia Ciri-ciri suatu pemerintahan demokrasi adalah sebagai berikut:17

1. Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan). 2. Adanya pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap hak-hak

asasi rakyat (warga negara).

3. Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang. 4. Adanya lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang independen

sebagai alat penegakan hukum

5. Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.

6. Adanya pers (media massa) yang bebas untuk menyampaikan informasi dan mengontrol perilaku dan kebijakan pemerintah.

7. Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.

8. Adanya pemilihan umum yang bebas, jujur, adil untuk menentukan (memilih) pemimpin negara dan pemerintahan serta anggota lembaga perwakilan rakyat.

9. Adanya pengakuan terhadap perbedaan keragaman (suku, agama, golongan, dan sebagainya).

Negara yang menganut paham Demokrasi, Pemilu merupakan sarana mewujudkan demokrasi dalam suatu negara.18 Tidak ada demokrasi tanpa diikuti Pemilu. Pemilu merupakan wujud yang paling nyata dari demokrasi. Salah satu perwujudan keterlibatan rakyat dalam proses politik adalah Pemilihan Umum.19 Demokrasi sebuah bangsa hampir tidak terpahamkan tanpa Pemilu. Pemilihan umum merupakan perwujudan nyata demokrasi dalam praktek bernegara saat ini karena menjadi sarana utama bagi rakyat untuk menyatakan kedaulatan rakyat atas Negara dan Pemerintah.20 Pernyataan kedaulatan rakyat tersebut dapat

17

Wendy melfa, Pemilukada Demokrasi dan Otonomi Daerah, (Bandar Lampung : BE Press), hlm 67-68.

18

Janedri M. Gaffar,Politik Hukum Pemilu (Jakarta:Konstitusi Press,2012), hlm 5.

19

A. Mukthie Fadjar, Pemilu perselisihan Hasil Pemilu dan Demokrasi, (Malang: Setara press, 2013), hlm. 27.

20


(34)

16

diwujudkan dalam proses pelibatan masyarakat untuk menentukan siapa-siapa saja yang harus menjalankan dan disisi lain mengawasi pemerintahan negara. Karena itu, fungsi utama bagi rakyat adalah “untuk memilih dan melakukan pengawasan terhadap wakil-wakil mereka”.21

Pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945. Tujuan penyelenggara pemilu adalah untuk memilih wakil rakyat dan wakil daerah, serta untuk membentuk suatu pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemilihan umum adalah salah satu pranata yang paling representatif atas berjalannya proses demokrasi. Tidak pernah ada demokrasi tanpa pemilihan umum. Oleh sebab itu, di setiap negara yang menganut demokrasi, pemilihan umum yang lebih dikenal akronim pemilu menjadi sangat penting dan selalu menentukan proses sejarah politik di negara masing-masing. Robert A Dahl memberikan ukuran-ukuran yang harus dipenuhi agar suatu pemilu memenuhi prinsip-prinsip demokrasi, yaitu:22

1. Inclusiveness, artinya setiap orang yang sudah dewasa harus diikutkan dalam pemilu.

2. Equal Vote, artinya setiap suara mempunyai hak dan nilai yang sama. 3. Effective Participation, artinya setiap orang mempunyai kebebasan untuk

mengekspresikan pilihannya.

4. Enlightened Understanding, artinya dalam rangka mengekspresikan pilihan politiknya secara akurat, setiap orang mempunyai pemahaman dan kemampuan yang kuat untuk memutuskan pilihannya.

21

Arifin, Anwar. Pencitraan dalam politik, (Jakarta: pustaka Indonesia, 2006), hal.39

22

Didik Supriyanto, Menjaga independensi penyelenggara pemilu, (Jakarta: Pustaka Mina ,2007), hlm . 22.


(35)

17

5. Final Control of Agenda, artinya pemilu dianggap demokratis apabila terdapat ruang untuk mengontrol atau mengawasi jalannya pemilu. Pemilihan umum bagi suatu negara demokrasi sangat penting artinya untuk menyalurkan kehendak asasi politiknya, antara lain sebagai berikut:23

1. Untuk mendukung atau mengubah personil legislatif.

2. Adanya dukungan mayoritas rakyat dalam menentukan kekuasaan eksekutif untuk jangka waktu tertentu.

3. Rakyat (melalui perwakilan) secara periodik dapat mengoreksi atau mengawasi eksekutif.

Pada pemerintahan yang demokratis, pemilihan umum merupakan pesta demokrasi. Secara umum tujuan pemilihan umum adalah:24

1. Melaksanakan kedaulatan rakyat.

2. Sebagai perwujudan hak atas politik rakyat.

3. Untuk memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di lembaga legislatif serta memilih Presiden dan wakil Presiden.

4. Melaksanakan pergantian personil pemerintahan secara aman, damai, dan tertib.

5. Menjamin kesinambungan pembangunan nasional.

Waktu pelaksanaan dan tujuan pemilihan diatur di dalam Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, dan bukan di dalam Pasal 22E ayat (6) yang mengatur tentang ketentuan pemberian delegasi pengaturan tentang pemilihan umum dengan undang-undang. Asas Pemilu Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia Pemilu yang LUBER dan JURDIL.25 Mengandung pengertian bahwa pemilihan umum harus diselenggarakan secara demokratis dan transparan, berdasarkan pada asas-asas pemilihan yang bersifat langsung, umum, bebas dan rahasia, serta jujur dan adil.

23

Ferry Kurnia Rizkiansyah, Mengawali Pemilu Menatap Demokrasi, (Bandung: CV Alia Grafika,2007), hlm .3.

24

Aim Abdulkarim, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta; Grafindo Media Pratama, 2006), hlm.37.

25

A. Mukthie Fadjar, Pemilu perselisihan Hasil Pemilu dan Demokrasi, (Malang: Setara press, 2013), hlm. 16.


(36)

18

B. Penyelenggara Pemilihan Umum Kepala Daerah

Ketentuan umum Undang-Undang tentang Penyelenggara Pemilihan Umum dinyatakan bahwa Penyelenggara Pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan Pemilu yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat, serta untuk memilih gubernur, bupati, dan walikota secara demokratis. Ketentuan ini sinkron dengan ketentuan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 sehingga dapat disimpulkan bahwa Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) mempunyai wewenang dalam penyelenggaraan Pemilihan Gubernur yang bertujuan memilih gubernur secara demokratis.

Kemandirian penyelenggara pemilukada juga harus tercermin dalam pelaksanaan tugas dan pertanggung jawabannya. Penyelenggara pemilukada, baik KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota maupun bawaslu dan pawaslu. Harus independen dalam menjalankan tugasnya masing-masing, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.26

UUD 1945 Pasal 22 E berbunyi, “Pemilihan Umum dilaksanakan oleh suatu komisi pemilihan umum”. Kata komisi dengan huruf (k) kecil dimaknai bahwa pelaksana suatu pemilihan umum bisa saja bukan KPU seperti yang dikenal

26


(37)

19

sekarang, bisa kelembagaan dalam bentuk lain. Tetapi UU No. 12 Tahun 2003, yang telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 2008; UU No. 23 Tahun 2003; dan UU No. 22 Tahun 2007, telah menyebutkan dengan jelas bahwa tafsir atas “suatu komisi pemilihan umum”, yaitu Komisi Pemilihan Umum yang sekarang ada. Kehadiran KPU tahun 2001, Panwaslu tahun 2003 dan sekarang Bawaslu memunculkan harapan, sekaligus pertanyaan tentang kemampuan KPU dan Bawaslu melaksanakan proses Pemilu yang bersih, jujur, adil dan transparan.27

Pemilukada dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pemilukada diselenggarakan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota. Komisi pemilihan umum merupakan satu-satunya penyelenggaraan dalam pemilihan umum berdasarkan pasal 22E perubahan keempat dalam BAB VII B tentang pemilihan umum dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa :28

1. Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.

2. Pemilihan umum diselenggarakan untuk pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

3. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam partai politik.

4. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.

5. Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.

27

UU No. 22 tahun 2007 mengatur bahwa Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) berada di tingkat nasional bersifat permanen, sementara Panwaslu berada di tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan dan Lapangan yang bersifat ad hoc.

28


(38)

20

6. Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.

7. Komisi pemilihan umum (KPU) adalah lembaga yang bertugas dan bertanggungjawab atas penyelenggaraan pemilu. Keberadaannya diatur dalam UU Pemilu Legislatif dan UU Pemilu Presiden. Secara khusus, keberadaan KPU juga diatur dalam amandemen ketiga UUD 1945. Kelembagaannya bersifat nasional, tetap dan mandiri.

8. Menurut UU No.12 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 4, sebagai perpanjangan tangan KPU pusat, maka dibentuklah KPU Kabupaten/Kota, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemilihan Luar Negri (PPLN), Panitia Pemungutan Suara (PPS), Kelompok Penyelenggaraan Pemungutan Suara (KPPS) dan Kelompok Penyelenggaraan Pemungutan Suara Luar Negri (KPPSLN).

9. Ketentuan mengenai antara hubungan KPU dengan KPU Provinsi, KPU Provinsi dengan KPU Kabupaten/Kota lebih bersifat koordinatif/konsultatif, maksudnya adalah KPU pusat sebagai penyelenggaraan pemilu, semua ketentuan mengenai pemilu, misalnya: mengatur menjadwal, merencanakan, menyiapkan dan melakukan segala sesuatu yang berkaitan dengan pemilu dilakukan oleh KPU, sedangkan KPU daerah sebagai pelaksana penyelenggaraan pemilihan umum yang ada di Provinsi dan Kabupaten/Kota.

10.Sebagai bagian dari penyelenggara pemilu, hubungan antara KPU Provinsi dengan KPU Kabupaten/Kota mengikuti pola hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam kerangka otonomi daerah. Pola hubungan yang seperti ini, sering menyebabkan lemahnya manajemen kontrol penyelenggaraan pemilu. Hal ini dapat tergambar dari KPU Kabupaten/Kota bukan bawahan KPU Provinsi, karena bukan dibentuk oleh KPU Provinsi melainkan oleh KPU, sehingga KPU Kabupaten/Kota sering mengabaikan fungsi-fungsi kontrol penyelenggaraan pemilu dari KPU Provinsi. Hal ini dapat diperjelas dari proses rekrutmen KPU yang ada di daerah yang melibatkan Kepala Daerah, untuk calon anggota KPU Provinsi diusulkan oleh Gubernur untuk mendapatkan persetujuan KPU untuk ditetapkan menjadi anggota KPU Provinsi (Pasal 19 ayat (2) UU No.12 Tahun 2003), untuk KPU Kabupaten/Kota diusulkan oleh Bupati/Walikota untuk mendapatkan persetujuan KPU untuk ditetapkan menjadi anggota KPU Provinsi (pasal 19 ayat (3) UU No.12 Tahun 2003).

Kemudian dijabarkan bahwa Komisi Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut KPU adalah lembaga yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri, untuk menyelenggarakan Pemilu, kemudian dibantu oleh Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota adalah adalah pelaksanaan


(39)

21

Pemilu di Provinsi dan Kabupaten/Kota yang merupakan bagian dari KPU. Selanjutnya ditegaskan pada pasal 15 Undang-undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menyatakan bahwa :29

1. Pemilu diselenggarakan oleh KPU yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.

2. KPU bertanggung jawab atas penyelenggaraan Pemilu.

3. Dalam melaksanakan tugasnya, KPU menyampaikan laporan dalam tahap penyelenggaraan Pemilu kepada Presiden dan DPR.

Kemudian pasal 16 Undang-undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, menjelaskan jumlah anggota KPU yitu :30

1) Jumlah anggota:

a. KPU sebanyak-banyaknya 11 orang. b. KPU Provinsi sebanyak 5 orang.

c. KPU Kabupaten/Kota sebanyak 5 orang.

2) Keanggotaan KPU terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, dibantu seorang wakil ketua merangkap anggota, dan para anggota.

3) Ketua dan wakil ketua KPU dipilih dari dan oleh anggota. 4) Setiap anggota KPU mempunyai hak suara yang sama.

Kemudian ditegaskan pada Pasal 1 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2001 tentang Pembentukan Komisi Pemilihan Umum, yang manyatakan bahwa :31

1. Membentuk Komisi Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut KPU. 2. KPU sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah badan penyelenggara

Pemilihan Umum yang independen dan non partisan, berkedudukan Ibukota Negara.

29

UU N0.12 Tahun 2003 pasal 15 30

UU No. 12 tahun 2003 Pasal 16

31


(40)

22

Pasal 10 Undang-undang No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum dan Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Pemilihan Umum dan Penetapan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Umum Komisi Pemilihan Umum, dijelaskan bahwa untuk melaksanakan Pemilihan Umum, KPU mempunyai tugas kewenangan sebagai berikut:

1. Merencanakan dan mempersiapkan pelaksanaan Pemilihan Umum;

2. Menerima, meneliti dan menetapkan Partai-partai Politik yang berhak sebagai peserta Pemilihan Umum;

3. Membentuk Panitia Pemilihan Indonesia yang selanjutnya disebut PPI dan mengkoordinasikan kegiatan Pemilihan Umum mulai dari tingkat pusat sampai di Tempat Pemungutan Suara yang selanjutnya disebut TPS;

4. Menetapkan jumlah kursi anggota DPR, DPRD I dan DPRD II untuk setiap daerah pemilihan;

5. Menetapkan keseluruhan hasil Pemilihan Umum disemua daerah pemilihan untuk DPR, DPRD I dan DPRD II;

6. Mengumpulkan dan mensistemasikan bahan-bahan serta data hasil Pemilihan Umum;

7. Memimpin tahapan kegiatan Pemilihan Umum.

Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999 terdapat tambahan huruf 1 Tugas dan kewenangan lainnya yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Sedangkan dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tersebut juga ditambahkan, bahwa selain tugas dan kewenangan KPU sebagai dimaksud dalam Pasal 10, selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun setelah Pemilihan Umum dilaksanakan, KPU mengevaluasi sistem Pemilihan Umum.

Diberbagai negara di dunia sebenarnya pelaksanaan pemilu yang demokratis tidak mengharuskan adanya lembaga yang kita kenal sekarang dengan sebutan Badan Pengawas Pemilu untuk tingkat nasional dan Panitia Pengawas Pemilu


(41)

23

untuk tingkat provinsi dan Kabupaten/kota untuk menjamin pelaksanaan pemilu yang jujur dan adil. Bahkan dalam praktek pemilu di Negara-negara yang sudah berpengalaman melaksanakan pemilu yang demokratis, keberadaan lembaga Pengawas Pemilu tidak dibutuhkan. Namun para perancang undang-undang pemilu sejak Orde Baru sampai sekarang menghendaki lembaga Pengawas Pemilu itu eksis, karena posisi maupun perannya dinilai strategis dalam upaya pengawasan pelaksanaan pemilu sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku terutama menegakkan asas pemilu yang luber dan jurdil. Hal ini dapat kita temukan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 yang menyebutkan bahwa: “Dalam penyelenggaraan pemilihan umum, diperlukan adanya suatu pengawasan untuk menjamin agar pemilihan umum tersebut benar-benar dilaksanakan berdasarkan asas pemilihan umum dan peraturan perundang-undangan”. UU No. 12 Tahun 2003, pasal 1 ayat 6, menyebutkan, pengawasan pemilu terdiri dari:32

1. Panitia Pengawas Pemilu

Panitia yang melakukan pengawasan pada setiap tahapan kegiatan penyelenggaraan pemilu pada tinggat nasional.

2. Panitia Pengawas Pemilu Provinsi

Panitia yang melakukan pengawasan pada setiap tahapan kegiatan penyelenggaraan pemilu pada tingkat provinsi.

3. Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/kota

Panitia yang melakukan pengawasan pada setiap tahapan kegiatan penyelenggaraan pemilu pada tingkat Kabupaten/kota.

4. Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan

Panitia yang melakukan pengawasan pada setiap tahapan kegiatan penyelenggaraan pemilu pada tingkat kecamatan.33

32

UU No. 12 Tahun 2003, pasal 1 ayat 6,

33


(42)

24

Tugas dan wewenang Pengawas Pemilu terdapat pada UU No.12 Tahun 2003 tentang pemilihan umum, Pasal 122 ayat 1, menyatakan tugas dan wewenang panwaslu adalah sebagai berikut:34

1. Mengawasi semua tahapan penyelenggaraan pemilu

2. Menerima laporan pelanggaran peraturan perundang-undangan pemilu. 3. Menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan pemilu 4. Meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada

instansi yang berwenang.

3.Konflik Dalam Penyelenggara Pemilihan Umum Kepala Daerah

Istilah konflik berasal dari kata bahasa inggris conflict dan dispute, yang berarti perselisihan atau percekcokan, atau pertentangan.35 Perselisihan atau percekcokan tentang sesuatu terjadi antara dua orang atau lebih. Konflik nyaris tidak terpisahkan dari kehidupan manusia sehingga sulit membayangkan ada orang yang tidak pernah terlibat dalam konflik apa pun di tempat kerja. Konflik berasal dari kata kerja Latin configure yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.

Dalam kamus istilah hukum fockema adreae, kata-kata conflict van attributie menunjukan perselisihan dalam hal kekuasaan adminitrasi dengan kekuasaan pengadilan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata konflik pada umumnya

34

UU No.12 Tahun 2003, Pasal 122 ayat 1 35

Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Penggadilan (Negoisasi, Mediasi, konsolisiasi, dan Arbirase, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm,19.


(43)

25

diartikan sebagai percekcokan. Pertentangan, konflik sosial berarti pertentangan antara golongan masyarakat yang bersifat menyeluruh dalam kehidupan.

Dengan demikia dapat disimpulkan bahwa pengertian kata konflik atau percekcokan adalah adanya pertentangan atau ketidak sesuaian antara para pihak yang akan dan sedang mengadakan hubungan atau kerja sama. Bentuk konflik akan dapat terlihat, apakah konflik kepentingan, hukum, sosial, dan lain-lain atau konflik dalam kegiatan bisnis atau perdagangan.

Namun demikian timbulnya bentuk-bentuk konflik tersebut pada umum nya disebabkan oleh berbagai faktor yaitu:36

1. Konflik Data (Data Conflict)

Konflik data terjadi karena adanya kekurangan informasi (lack of information), kesalahan informasi ( misinformation), adanya perbedaan pandangan, adanya perbedaan intreprestasi terhadap data, dan adanya perbedaan penafsiran terhadap prosedur. Data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu persetujuan. Oleh karena itu akurasi data sangatlah penting untuk tercapainya kesepakatan yang baik. Untuk itu dalam setiap negoisasi para pihak akan selalu berusaha mencari data atau informasi yang menjadi objek perundingan selengkap mungkin. Setelah data di kumpul atau didapat, diperlukan pemahaman, interprestasi, atau pengertian yang sama antara para pihak. Kalau masih terdapat perbedaan pandangan atau pendapat maka negoisasi tersebut tidak akan mendapatkan kesepakatan (deadlock)

2. Konflik Kepentingan (Interest Conflict)

Dalam melakukan kegiata,setiap para pihak memiliki kepentingan. Tanpa adanya kepentingan parah pihak tidak akan dapat mengadakan kerja sama timbulnya konflik kepentingan ini adalah karena beberapa hal, yaitu:

a. Adanya perasaan atau tindakan yang bersaing. b. Adanya kepentingan substansi dari para pihak. c. Adanya kepentinga prosedural.

d. Adanya kepentingan psikologi.

Keempat hal diatas dapat menimbulkan konflik kepentingan apabila diantara para pihak merasa adanya kepentiangan dalam suatu kerja sama,

36


(44)

26

maka akan timbul rasa persaingan yang tinggi, ini akan menyebabkan kerja sama yang dibina tidak akan menghasilkan hal-hal sebagaimana diharapkan.

3.Konflik Hubungan (Relationship Conflict)

Konflik hubungan dapat terjadi oleh adanya kadar emosi yang kuat (strong emotions), adanya kesalahan persepsi, miskin komunikasi (poor communication), dan tingkah laku negatif yang berulang-ulang (repetitive negative behavior). Para pihak yang yang mengadakan hubungan kerja sama haruslah mengontrol emosi melalui aturan main yang disepakati mengklarifikasi perbedaan persepsi. Dan membangun persepsi yang positif, kemudian memperbaiki kualitas komunikasi dan menghilangkan tingkah laku negaif yang dilakukan secara berulang-ulang

4.Konflik struktur (Structural Conflict)

Konflik struktur akan terjadi karena adanya pola merusak prilaku atau interaksi, Kontrol yang tidak sama, kepemilikan atau distribusi sumber daya yang tidak sama, adanya kekuasaan dan kekuatan, geografi, psikologi yang tidak sama, atau faktor faktor lingkungan yang menghalangi kerja sama, serta waktu yang sedikit. Oleh karena itu, para pihak dalam hal ini, perlu memperjelas atau mempertegas peraturan main, mengubah pola prilaku perusak, mengalokasi kembali kepemilikan atau kontrol sumber daya, membangun persaingan sehat, saling pengertian, mengubah proses negosiasi dari posisional menjadi penawaran berdasarkan kepentingan, mengubah psikologi dan lingkungan yang terhubung dengan para pihak, dan memodifikasi tekanan luar pada para pihak serta mengubah waktu yang sempit menjadi lebih memadai.

5.Konflik Nilai (Value Conflict)

Konflik nilai terjadi karena adanya perbedaan kriteria evaluasi pendapat atau prilaku, adanya perbedaan pandangan hidup, ideologi, dan agama, adanya penilaian sendiri tanpa memperhatikan penilaian orang lain. Konflik nilai ini harus dihilangkan, untuk itu para pihak harus menghindari permasalahan istilah atau nilai, mengizinkan para pihak untuk menyetujui atau tidak menyetujui, menciptakan lingkungan pengaruh dengan suatu nilai yang dominan, dan melakukan penelitian untuk mencari hasildimana semua pihak mendapat bagian.

Klasifikasi konflik atau perselisihan di atas dilihat dari sudut jumlah atau kelompok manusia yang mengadakan interaksi lalu terjadi persengketaan. Hal ini dapat kita perhatikan di lingkungan hidup kita sendiri dan lingkungan yang lebih luas. Namun, perlu kita renungkan apakah setiap konflik merupakan


(45)

27

sesuatu yang tidak baik atau merupakan gangguan. Deutsch(1973) dan lainnya (Folger, Pool, dan Stutman, 1993;Hocker dan Wilmot, 1985) telah meneliti beberapa elemen yang memperparah konflik, yaitu:37

1. Competitive Process

Dalam hal ini, para pihak berkompetisi satu sama lain karena mereka percaya akan tujuan.

2. Misperception and Bias (Salah Persepsi dan Bias)

Suatu konflik meningkatkan persepsi kecenderungan berubah atau menyimpang. Orang cenderung berpikir secara konsisten dengan persepsi mereka terhadap konflik. Oleh karena itu mereka cederung menginterpretasi orang dan peristiwa. Dengan kata lain, berpikiran dengan cara demikian cenderung menjadi stereotip dan bias.

3. Emotionality (Emosional)

Konflik cenderung menjadi emosionl, misalnya para pihak menjadi khawatir, marah, dan frustasi. Oleh karena itu, emosi cederung medominasi pikiran, dan para pihak dapat menjadi sangat emosional dan irasional sehingga konflik semakin membesar.

4. Lack of Commonication (Kurang Komunikasi)

Dalam hal ini terjadi kemunduran komunikasi, dimana para pihak kurang berkomunikasi dengan pihak yang tidak setuju dengan mereka, dan lebih lebih dengan orang yang sependapat.

5. Blurred Issues (Permasalahan Kabur)

Dalam hal ini akar permasalahan dalam perselisihan menjadi kabur dan kurang jelas. Para pihak tidak mengerti kapan perselisihan telah dimulai, apakah konflik ini siap untuk diselesaikan, atau apa yang akan diselesaikan? Kekaburan permasalahan ini disebabkan oleh permasalahan yang tidak relevan.

6. Rigid Commitment (Komitmen yang Kaku)

Dalam hal ini, para pihak berpendirian tetap pada posisinya, para pihak menjadi lebih berkomitmen dengan pandangan mereka dan mereka kelihatan kehilangan muka dan terkesan bodoh. Proses berpikir menjadi kaku, para pihak cenderung melihat permasalahan sebagai sesuatu yang sederhana dan tidak lebih kompleks serta multidimensi.

7. Magnifiet Differences, minimized similarities (Memperbesar Perbedaan, Meminimalkan Persamaan)

Para pihak berpegang teguh pada komitmen mereka sehingga permasalahan menjadi kabur. Mereka hanya melihat kedudukan satu sama lain sebagai oposisi yang berlawanan. Semua faktor yang berbeda dan terpisah dari setiap pihak semakin membesar dan menekan, sementara persamaan dan kebersamaan yang bagi menjadi lebih sederhana dan diminimalkan.

8. Escalation Of The Conflict (Peningkatan Konflik)

37


(46)

28

Konflik akan meningkat apabila para pihak bertahan dalam pandangannya, kurang toleransi, kurang menerima pihak lain, kurang komunikasi, dan emosional. Hasil yang diharapkan adalah bahwa para pihak berusaha menang dengan meningkatkan komitmen pada posisi mereka, meningkatkan sumber-sumber mereka mendapatkan kemenangan, dan meningkatkan kegigihan mereka.

Proses demokrasi (elektoral), konflik merupakan sebuah keniscayaan karena setiap individu atau kelompok sosial memiliki kepentingan, pemahaman, dan nilai yang berbeda-beda. Konflik relatif mudah hadir dari basis sosial yang lebih kompleks, dibanding hanya sekedar suatu kompetisi dalam proses demokrasi. Dalam perspektif sosiologis, Coser (1964) mengartikan konflik sebagai”astruggle over values and claims to scarce status, power, and resources in which theaims of the proponents are to neutralize, injure or eliminate their

rivals.” (sebuah perjuangan seseorang tentang nilai-nilai dan tuntutan untuk

memperoleh status, kekuasaan, dan sumber daya dalam mencapai tujuan untuk menetralkan, merugikan/merusak atau menyisihkan lawan).

Dalam Proses demokrasi, konflik terjadi karena setiap individu atau kelompok memiliki kepentingan, pemahaman dan nilai yang berbeda dan berdampak pada terjadinya benturan. Konflik dapat bersumber dari perebutan sumberdaya alam, persoalan ekonomi, persoalan hubungan masyarakat baik intepersonal maupun antar kelompok, persoalan agama dan budaya maupun politik.

Konflik pemilukada tergolong konflik kekuasaan atau konflik politik. Pada sisi lain, demokrasi juga diyakini oleh sebagian orang sebagai sarana untuk mentransformasikan konflik. Jika dulu orang saling membunuh untuk menjadi raja, kini mereka bertarung melalui bilik suara. Jika dulu orang merangkul


(47)

29

senjata untuk membuat orang lain tunduk, sekarang mereka harus berkampanye dengan memasang spanduk atau leafleat di mana-mana agar memperoleh dukungan suara menjadi kepala daerah. Demokrasi berupaya mentransformasikan konflik yang berwujud kekerasan ke arah bilik suara, dari memaksa (coercive) ke persuasif.38

Proses penyelenggaraan pemilukada, banyak konflik muncul tak hanya di level elit politik yang bertarung memperebutkan kursi, melainkan juga terjadi di level horizontal yakni antara sesama warga masyarakat. Sesungguhnya, substansi Pemilukada jika kita lihat dari perspektif komunikasi politik dapat menjadi saluran institusional konflik politik. Dengan mekanisme yang disepakati, konflik politik bisa terwadahi dengan baik. Namun dalam praktiknya, berbagai kesepakatan dalam mekanisme Pemilukada kerapkali dilanggar sehingga konflik aktual di ruang publik yang tidak sistematis.39

Pemilukada, sebagai sebuah mekanisme demokrasi sebenarnya dirancang untuk mentransformasikan sifat konflik yang terjadi dimasyarakat. Pemilukada berupaya mengarahkan agar konflik tidak meluas menjadi kekerasan. Sayangnya, idealitas yang dibangun dalam sebuah proses demokrasi, pada kenyataannya seringkali jauh dari apa yang diharapkan. Pemilukada yang dirancang sebagai demokrasi elektoral, justru menjadi ajang baru timbulnya konflik kekerasan dan benturan-benturan fisik antar pendukung calon kepala daerah menjadi pemandangan jamak yang ditemui. Singkatnya, mekanisme demokrasi yang ada seolah justru melegitimasi munculnya kekerasan akibat

38

http://www.lemhannas.go.id/portal/attachments/2240_Tannas%20Nov%202013_Sudirman.pdf, diakses 16 april 2014, jam 19.30 wib.

39


(48)

30

perbedaan yang sulit ditolerir antara pihak-pihak berkepentingan di arena demokrasi. Dengan kata lain, desain demokrasi di Indonesia dalam konteks penyelenggaraan pilkada telah gagal sebagai cara mentransformasikan konflik.40 Demokrasi dan konflik sebenarnya juga merupakan dua hal yang tidak mudah dihubungkan. Dari banyak pengalaman yang ada, bukan hal yang mudah membuktikan bahwa demokrasi dapat menjadi pemicu konflik, walaupun dapat saja diklaim bahwa eskalasi konflik disebabkan oleh liberalisasi politik yang bekerja dalam proses demokrasi. Jadi eksistensi konflik memang suatu hal yang wajar bagi suatu proses demokrasi. Hanya saja, menjadi berbahaya jika konflik sudah represif dan berwujud kekerasan (violence). Dalam wacana demokrasi, konflik tidak dipahami sebagai hal yang negatif, melainkan sebagai satu gejala responsif dalam upaya menciptakan kontrol dan keseimbangan di antara pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam kaitan itu, setidaknya ada 5 (lima) sumber konflik potensial, baik menjelang, saat penyelenggaraan, maupun pengumuman hasil pemilukada:41

1. konflik yang bersumber dari mobilisasi politik atas nama etnik, agama, daerah, dan darah.

2. konflik yang bersumber dari kampanye negatif antar pasangan calon kepala daerah.

3. konflik yang bersumber dari premanisme politik dan pemaksaan kehendak.

4. konflik yang bersumber dari manipulasi dan kecurangan penghitungan suara hasil pemilukada.

5. konflik yang bersumber dari perbedaan penafsiran terhadap aturan main penyelenggaraan pemilukada

40

http://www.lemhannas.go.id/portal/attachments/2197_SUDIRMAN

OPTIMALISASI%20PERAN%20ELIT%20POLITIK.pdf, diakses 10 mei, jam 13.30 wib

41

http://www.academia.edu/1891567/MODEL_RESOLUSI_KONFLIK_PILKADA, diakses 10 mei, jam 13.00 wib.


(49)

31

Setiap penyelenggaraan pemilukada selalu dijumpai yang namanya konflik. Faktor-faktor penyebab konflik dalam pemilukada antara lain:42

1. Kepentingan setiap elite lokal, elite nasional, pengusaha dan kepentingan kekuatan-kekuatan politik lain di daerah yang sedang bertarung memperebutkan kekuasaan.

2. Kesalahan penafsiran terhadap implementasi undang-undang yang mengatur persoalan pilkada

3. Belum bakunya infrastruktur pemilihan pejabat publik yang sering kali kontroversial.

4. Lemahnya institusionalisasi demokrasi di tingkat lokal (KPUD) yang menjadi faktor dominan timbulnya konflik antar kekuatan politik. Akibatnya, aturan main berdemokrasi sering berubah, berbeda-beda, dan tidak ditaati karena bergantung pada persepsi pusat yang menentukan hasil akhir proses politik di tingkat lokal.

5. Diversifikasi sumber konflik.

6. Dendam kelompok dan dendam sejarah, yang umumnya sangat peka untuk diprovokasi.

7. Pola kompetisi yang bergerak tidak sehat melalui intervensi kekuasaan, politik uang, anarkis dan arogansi.

8. Sistem manajemen termasuk payung hukum yang tidak berwibawa, tidak berfungsi dan tidak dihormati.

9. Rapuhnya simbol perekat dan pemersatu yang mencakup nasionalisme, etnisisme, etika dan budaya politik yang luhur.

10.Sikap dan perilaku aktor politik yang tidak terkendali, menerabas dan terjerumus ke deviant politik.

Dilihat dari jenisnya potensi konflik bisa melibatkan :43

1. Internal partai yang mendukung calon.

2. Konflik yang melibatkan antara kandidat satu dengan lainnya atau antara pendukung-pendukung kandidat. Konflik antar kandidat dapat berupa black campaign berupa usaha-usaha untuk mendeskriditkan kandidat lain dengan cara-cara yang tidak gentle, bukan melalui adu visi-misi tetapi dengan penyebaran berita bohong dan fitnah.

3. Konflik antar elemen masyarakat. Konflik ini berskala sangat besar, karena melibatkan berbagai elemen masyarakat, baik antar pendukung masing-masing kandidat melibatkan pula aparat keamanan.

Resolusi konflik menurut Harjana terdiri dari 5 (lima) bentuk yaitu :44

42

http://klipingut.wordpress.com/2008/02/13/penyebab-konflik-dalam-pilkada/, diakses 10 mei, jam 13.30 wib.

43

http://qsukri.blogspot.com/2007/05/waspadalah-waspadalah.html, diakses 16 april 2014, jam 15.00 wib

44


(50)

32

1. Bersaing dan bertanding (competiting); menguasai (dominating); dan memaksa (forcing). Cara ini merupakan pendekatan terhadap konflik yang berciri menang-kalah.

2. Kerjasama (collaborating) dan menghadapi (confronting). Dalam hal ini, pihak yang terlibat konflik bekerja sama dan mencari pemecahan konflik yang memuaskan kepentingan kedua belah pihak. Cara ini merupakan pendekatan menang-menang.

3. Kompromi (compromising) dan berunding (negotiating). Cara ini merupakan pendekatan terhadap konflik dimana pihak-pihak yang berkonflik tidak ada yang menang / kalah.

4. Menghindari (avoiding) atau menarik (withdrawal). Dalam pendekatan kalah-kalah ini, kedua belah pihak tidak memperjuangkan kepentingan masing-masing bahkan mereka tidak menarik perhatian pada perkara yang dikonflikkan.

5. Menyesuaikan (accommodating); memperlunak (smoothing); dan menurut (obliging). Bentuk pengelolaan konflik ini merupakan pendekatan kalah menang

Selain yang dijelaskan diatas, rawannya konflik dan kekerasan diajang demokrasi Indonesia disebabkan adanya sistem multipartai yang sesungguhnya telah menggambarkan perbedaan kepentingan itu sendiri. Secara sederhana, perbedaan kepentingan memberi kontribusi terhadap merapuhnya perdamaian sosial. Hal ini menjadi kenyataan pada saat kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik kepentingan menggunakan strategi contentious dalam prosesnya. Strategi contentious ditunjukkan dengan sikap dan perilaku yang agresif, serta tidak memedulikan kelompok lain.

Pada konflik yang diciptakan oleh karakter contentious adalah zero-sum game, menang untuk kelompok sendiri dan untuk lawan. Kekerasan yang dilahirkan dari pola konflik ini pun, dalam istilah Galtung (1997) menyebabkan absennya perdamaian negatif dan positif sekaligus, artinya ancaman kekerasan dalam bentuk aksi kekerasan fisik dan ketidakadilan sosial adalah ancaman nyata. Seandainya 34 parpol memiliki karakter kontentous, ancaman lahirnya kekerasan fisik dan ketidakadilan sosial bukanlah hal yang absurd dalam negara


(51)

33

demokrasi Indonesia. Sejarah pemilu di Indonesia sendiri selalu tidak lepas dari pertunjukan hard power, dan akibatnya aksi kekerasan antar pendukung partai politik tak terhindar. Pemilu daerah yang telah terlaksana diberbagai daerah pun tidak lepas dari fenomena kekerasan antar masa parpol akibat pertunjukan siapa yang paling kuat.


(52)

34

BAB III

METODE PENELITIAN

A.Pendekatan Masalah.

Pendekatan masalah diperlukan untuk mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya.1 Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan secara Normatif. Pendekatan secara normatif dilakukan dengan mempelajari dan mengkaji bahan-bahan, baik berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku tentang sengketa pemilukada dan demokrasi lokal, dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti mengenai penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah.

B.Sumber Data

1.Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan menelusuri literatur-literatur maupun peraturan-peraturan dan norma-norma yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas dengan skripsi ini. Data sekunder tersebut meliputi:

1

Peter Mahmud Marzuki, Penelitihan Hukum, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, Edisi pertama Cetakan ke-4),.hlm .93.


(53)

35

a. Bahan hukum primer, yaitu:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah

Daerah.

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penerapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

5. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum yang dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum 6. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan,

Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah, dan Wakil Kepala Daerah.

7. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2007 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentin Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

8. Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

9. Peraturan lain yang bersifat lebih operasional terkait pemilukada, diantaranya; peraturan menteri dalam negeri, keputusan KPU, dan juga diatur dalam surat edaran Menteri Dalam Negeri.

b. bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer. Seperti buku-buku mengenai sengketa pemilukada ,evaluasi pemilukada dan demokrasi lokal tentang pokok-pokok Hukum Tata Negara di Indonesia, hukum pemilukada, karya-karya ilmiah, bahan seminar, serta bahan referensi dari internet dan lain-lain.


(54)

36

C.Prosedur Pengumpulan dan Pengelolah Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Studi kepustakaan yang dimaksud adalah untuk memperoleh data sekunder. Teknik yang digunakan adalah dengan cara pengumpulan data dan informasi dengan bantuan bermacam-macam materi yang terdapat diruang perpustakaan unila dan perpustakaan daerah, mempelajari, mengkaji, mengutip dan menafsirkan dari literatur yang ada misalnya bentuk koran, naskah, serta peraturan yang berlaku yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas.

2. Prosedur Pengolahan Data

Data yang diperoleh dalam studi pustaka dalam penelitian ini diolah dengan cara:

a. Mengidentifikasi data yaitu mencari dan menentukan data yang sesuai dengan permasalahan yang sedang diteliti.

b. Sistematis atau mengklarifikasikan data yaitu dengan mengkelompokan data yang telah diseleksi menurut pokok bahasanya.

c. Interprestasi data yaitu menempatkan data yang sesuai denga pokok bahasanya dengan susunan yang sistematis

d. Menilai data yang telah terkumpul untuk dapat disimpulkan sehingga menghasilkan data yang kongkrit.


(55)

37

D.Analisi Data

Analisa data yang dilakukan secara kualitatif yaitu mengungkapkan dan memahami kebenaran masalah dan pembahasan dan menafsirkan data yang diperoleh dari hasil penelitian. Lalu data tersebut diuraikan dalam kalimat-kalimat guna memperoleh pengertian yang terperinci dan jelas, sehingga memudahkan kedalam penarikan kesimpulan mengenai permasalahan yang sedang diteliti dan anjurkan bersama-sama.


(56)

69

BAB V PENUTUP

A.Kesimpulan

1. Kelemahan dalam UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah dalam hubungannya dengan pelaksanaan pemilukada adanya multitafsir, tahapan penyelenggaraan pemilukada seperti yang diatur dalam pasal 86 UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, berakibat konflik antara penyelenggara pemilukada yaitu KPUD dan Pemerintah Provinsi Lampung. Disisi lain kewenangan mengeluarkan anggaran ada kepada kepala daearah menimbulkan kewenangan komperatif. Kepala daerah bisa dengan mudah menunda jadwal pemilukada yang telah ditetapkan oleh KPUD dengan alasan ketidakadaan anggaran.

2. Solusi penyelesaian konflik dalam penyelenggara pemilukada akibat multitafsir melalui revisi pasal yang menimbulkan multitafsir yang terdapat dalam pasal 86 UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. Ketidakadaan anggaran dalam pelaksanaan pemilukada akibat biaya pemilukada yang sangat mahal. Oleh sebab itu perlu ada nya terobosan baru dengan cara mengurangi dana-dana pelaksanaan pemilukada seefisien mungkin.


(1)

69

BAB V PENUTUP

A.Kesimpulan

1. Kelemahan dalam UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah dalam hubungannya dengan pelaksanaan pemilukada adanya multitafsir, tahapan penyelenggaraan pemilukada seperti yang diatur dalam pasal 86 UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, berakibat konflik antara penyelenggara pemilukada yaitu KPUD dan Pemerintah Provinsi Lampung. Disisi lain kewenangan mengeluarkan anggaran ada kepada kepala daearah menimbulkan kewenangan komperatif. Kepala daerah bisa dengan mudah menunda jadwal pemilukada yang telah ditetapkan oleh KPUD dengan alasan ketidakadaan anggaran.

2. Solusi penyelesaian konflik dalam penyelenggara pemilukada akibat multitafsir melalui revisi pasal yang menimbulkan multitafsir yang terdapat dalam pasal 86 UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. Ketidakadaan anggaran dalam pelaksanaan pemilukada akibat biaya pemilukada yang sangat mahal. Oleh sebab itu perlu ada nya terobosan baru dengan cara mengurangi dana-dana pelaksanaan pemilukada seefisien mungkin.


(2)

70

B. Saran

1. Dalam penyelenggaraan pemilukada bahasa hukum harus jelas jangan menimbulkan multitafsir yang mengandung makna ganda. Lemahnya pengaturan hukum dalam menyelenggarakan pemilukada yang menimbulkan masalah hukum yang berdampak pada terjadi nya konflik antar lembaga-lembaga yang menyelenggarakan pemilukada.

2. Kewajiban Pemerintah Provinsi untuk menyediakan dana, yang mana dana penyelenggaraan pemilukada berasal dari APBD. Sudah menjadi tugas dan kewajibannya Pemerintah Provinsi menganggarkan setiap acara yang anggarannya dibebankan oleh APBD termasuk pemilukada. Memperkecil biaya pemilukada yang sangat mahal, perlu adanya terobosan baru dalam pelaksanaan pemilukada, oleh sebab itu perlu adanya penghematan biaya penyelenggaraan pemilukada secara efisien agar tidak ada lagi penundaan akibat biaya pemilukada yang sangat mahal.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Abdulkarim, Aim. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Grafindo Media Pratama.

Anwar, Arifin. 2006. Pencitraan Dalam Politik. Jakarta: Pustaka Indonesia

Asshidiqie,Jimly. 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pacsa Reformasi. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer.

---. 2009. Komentar atas undang-undang Dasar. Jakarta: Rajawali Pers.

---. 2011. Pengantar Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Pers. Al marsudia,subandi.2001. Pancasila dan UUD 45 dalam Paradigma

Reformasi.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

C.S.T Kansil&christin S.T.Kansil.2007. Hukum Tata Negara Di Indonesia, Jakarta: Sinar Gafika.

Darmawan, Ikhsan. Membongkar Problamatika dalam Pemilukada. Depok: Program Studi Ilmu Politik Departemen Ilmu Politik FISIP UI

Dodi haryadi, Acmad,2012. Demokrasi Lokal Evaluasi Pemilukada di Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press (Konpress).

Emirzon, Joni.2001. Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Penggadilan (Negoisasi, Mediasi, konsolisiasi, dan Arbirase. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Fadjar, A.Mukthie.2013. Pemilu perselisihan Hasil Pemilu dan Demokrasi. Malang: Setara Press

Haris Syamsudin, 2005. Mengapa Pilkada Langsung. Jakarta: Majalah Bulanan Pamong Edisi 01/TH II/ Mei 2005.

Huda,Ni’Mantul.2009. Hukum Tata Negara Indonesia pasca Perubahan UUD


(4)

Kurnia Rizkiansyah, Ferry. 2007. Mengawali Pemilu Menatap Demokrasi. Bandung: CV Alia Grafika

M.Gaffar, Jenedjri. 2012. Politik Hukum Pemilu. Jakarta: Konstitusi Press.

Mahmud Marzuki, Peter. Penelitihan Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Edisi pertama Cetakan ke-4).

Mahmud MD ,Moh.2012. membangun politik hukum, menegakan konstitusi Demokrasi Lokal Evaluasi Pemilukada di Indonesia ,Jakarta:Pustaka LP3ES.

Melfa,Wendy. 2013. Pemilukada Demokrasi dan Otonomi Daerah. Bandar Lampung: BE Press

M. Hardjana,Agus . 1994. Konflik di Tempat Kerja, Yogyakarta: Kanisius.

Nurdiaman,Aa. 2007. pendidikan kewarganegaraan :kecakapan berbangsa dan bernegara. Jakarta: PT Grafindo Media

Suharizal. 2011. Pemilukada Regulasi, Dinamika dan Konsep Mendatang. Jakarta: Rajawali Pers.

Sukardja,Ahmad. 2012. Hukum Tata Negara & Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Sinar Grafik

Supriyanto,Didik. 2007. Menjaga Independensi Penyelenggara Pemilu. Jakarta Thalib, Dahlan. 2009. Ketatanegaraan Indonesia Perspektif Konstitutional.

Yogyakarta: Total Media.

Yuhana, Abdy.2009. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945. Bandung: Fokus media.


(5)

INTERNET

http://www.lemhannas.go.id/portal/attachments/2240_Tannas%20Nov%202013_ Sudirman.pdf, diakses 10 mei 2014, jam 13.30 wib

http://www.academia.edu/1891567/MODEL_RESOLUSI_KONFLIK_PILKADA , diakses 10 mei, jam 13.00 wib

http://qsukri.blogspot.com/2007/05/waspadalah-waspadalah.html, diakses 16 april 2014, jam 15.00 wib

http://www.lemhannas.go.id/portal/attachments/2197_SUDIRMAN-OPTIMALISASI%20PERAN%20ELIT%20POLITIK.pdf


(6)

PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undand Dasar 1945

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penerapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah;

Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Keduan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum yang dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum;

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Tentang pemilihan umum anggota dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah, dan dewan perwakilan rakyat daerah.

Peraturan Pemerinta Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah, dan Wakil Kepala Daerah; Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2007 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan,Pengangkatan, dan Pemberhentin Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;

Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengaangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah; Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2001 tentang Pembentukan Komisi Pemilihan Umum.