Perubahan Akta Pendirian Yayasan Setelah Keluarnya Uu No 16 Tahun 2001 Jo Uu No 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan
PERUBAHAN AKTA PENDIRIAN YAYASAN SETELAH
KELUARNYA UU NO 16 TAHUN 2001 JO UU NO 28
TAHUN 2004 TENTANG YAYASAN
TESIS
Oleh:
ADE SURYA MELIYA 087005108/HK
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
PERUBAHAN AKTA PENDIRIAN YAYASAN SETELAH
KELUARNYA UU NO 16 TAHUN 2001 JO UU NO 28
TAHUN 2004 TENTANG YAYASAN
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora Pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh:
ADE SURYA MELIYA 087005108/HK
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(3)
(HALAMAN PENGESAHAN)
Judul Tesis : PERUBAHAN AKTA PENDIRIAN YAYASAN
SETELAH KELUARNYA UU NO 16 TAHUN 2001 JO UU NO 28 TAHUN 2008 TENTANG YAYASAN
Nama Mahasiswa : ADE SURYA MELIYA
Nomor Pokok : 087005108 Program Studi : Ilmu Hukum
MENYETUJUI KOMISI PEMBIMBING
Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., M.H. Ketua
Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum Prof. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum
Anggota Anggota
Ketua Program Studi Ilmu Hukum Dekan Fakultas Hukum
(4)
Telah diuji pada
Tanggal, 03 September 2010
PANITIA PENGUJI DAN PEMBIMBING
Ketua
: Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH
Anggota
: 1. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum
2. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum
3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH
(5)
ABSTRAK
Mengamati perkembangan Yayasan baik pada waktu yang lalu maupun pada waktu yang sekarang ini, Yayasan banyak digunakan untuk melakukan kegiatan usaha yang sulit dibedakan dengan lembaga atau badan hukum yang bersifat komersil, sehingga dalam prakteknya Yayasan sering dijadikan kedok ataupun cara untuk melakukan kegiatan usaha yang bersifat komersil. Sebelum lahirnya UU Yayasan, pendirian Yayasan di Indonesia dilakukan berdasarkan kebiasaan dalam masyarakat, dokrin dan yurisprudensi. Setelah berlakunya UU Yayasan, maka Yayasan didasarkan kepada badan hukum yang didirikan untuk tujuan sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Oleh karena sifat dan tujuan Yayasan tersebut, maka Yayasan sama sekali berbeda dengan badan hukum atau badan usaha lain, seperti Perseroan Terbatas (PT), Perseroan Komanditer, Firma, Persekutuan Perdata, Perusahaan dagang, Koperasi dan sebagainya, dimana badan-badan tersebut tidak bertujuan sosial, keagamaan dan kemanusiaan melainkan untuk mencari keuntungan semata.
Metode yang digunakan di dalam penelitian ini adalah yuridis normatif atau penelitian hukum normatif. Yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah Pertama, bagaimanakah perubahan akta terhadap pendirian Yayasan setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 junto Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan?; Kedua, bagaimanakah akibat hukum perubahan akta terhadap pendirian yayasan setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 junto Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan?; dan Ketiga, bagaimanakah sanksi hukum terhadap Yayasan apabila tidak melaksanakan perubahan akta pendirian setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 junto Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan ?
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah, Pertama, dengan pengesahan Yayasan sebagai badan hukum, maka perbuatan pengurus yang dilakukan atas nama Yayasan yang bertanggung jawab adalah para pengurus Yayasan; Kedua, akibat hukum perubahan akta pendirian hukum Yayasan, Yayasan dapat diakui sebagai badan hukum dengan ketentuan organ-organ Yayasan tidak dibenarkan rangkap jabatan, organ-organ Yayasan tidak berhak menerima atau mengambil kekayaan Yayasan kecuali haknya, dan kekayaan Yayasan merupakan kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan pendiri, pembina, pengurus, dan pengawas; Ketiga, Sanksi hukum apabila Yayasan tidak melaksanakan perubahan akta pendirian adalah Yayasan tersebut harus melikuidasi kekayaannya dan menyerahkan sisa hasil likuidasinya kepada Yayasan yang mempunyai kesamaan kegiatan dengan Yayasan yang dibubarkan.
Saran dalam penelitian ini diharapkan dengan UU Yayasan dapat membawa konsekuensi hukum yang tegas terhadap eksistensi Yayasan di Indonesia sebagai
(6)
badan hukum yang bergerak di bidang sosial, keagamaa, dan kemanusiaan dan tujuannya bukan untuk mencari laba. selain itu, perlu ada pengawasan yang serius dan terpadu terhadap Yayasan baik oleh Instansi Perpajakan, Kejaksaan dan Instansi lain yang terkait sehubungan dengan diperbolehkannya Yayasan melakukan kegiatan usaha.
(7)
ABSTRACT
Speaking of its past or current development, a foundation is mostly used to do business related activity which is hard to distinguish a foundation from a commercial institution or corporate body that, in practice, a foundation always becomes a cover in doing a commercial business activity. Before the law on foundation was issued, the establishment of foundation in Indonesia was done based on the habitual regulation practiced in the society, doctrine and jurisprudence. After the issuance of law on foundation, the establishment of foundation is based on a corporate body which is established for social, religious and humanity purposes. Therefore, the characteristics and the purpose of foundation makes it totally different from corporate bodies or the other enterprises such as Limited Liability Company, Limited Partnership Company, Firm, Civil Business Association, Trading Company, Cooperatives, and so forth which have no social, religious and humanity purposes but a mere profit.
This study employed the normative juridical method or normative legal study, a study referring to the legal norms and principles stated in the regulation of legislation and court decision. The purpose of this study was to analyze; first, how the act of foundation establishment changes after the issuance of Law No16/2001 in connection with Law No.28/2004 on Foundation; second, the legal implication of the change of the act of foundation establishment after the issuance of Law No16/2001 in connection with Law No.28/2004 on Foundation; and third, what legal sanction to be given to the foundation if it does not change the act of its establishment after the issuance of Law No16/2001 in connection with Law No.28/2004 on Foundation.
The result of this study showed that; first, with the legalization of the foundation as a corporate body, the responsibility of the act done on behalf of the foundation is on the management of the foundation; second, the law on the change of the act of foundation establishment, a foundation can be recognized as a corporate body with the condition that the management of the foundation do not hold multi function, the management of the foundation do not have the right to receive or to take anything related to the property of foundation but his own property, and the property of foundation must be separated from the property of founders, elder members (advisors), management, and supervisors; and third, legal sanction given if the foundation does not change its act of foundation establishment is that the foundation must liquidate his property and submit its rest of result of liquidation to the other foundation of the same activity as the foundation liquidated.
It is expected that this law on foundation can bring a clear legal consequence to existence of foundation in Indonesia which is active in social, religious and humanity sectors not profit-making. In addition, a serious and integrated control done by Tax Institution, Attorney Office and the other related institutions is needed to control a foundation concerning the allowance of a foundation to run a business activity.
(8)
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya yang maha pemurah lagi maha penyayang, penulis dapat menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan judul penelitian yaitu, ”Unsur Itikad Baik Dalam Pengelolaan Perseroan Oleh Direksi”. Penelitian ini telah dinyatakan lulus dalam yudisium dengan baik dan tepat pada waktunya pada tanggal 18 Agustus 2010.
Sehubungan dengan itu, dengan kerendahan hati yang tulus dan ikhlas, penulis ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu,
DTM&H, M.Sc(CTM). Sp.A(K);
2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Runtung
Sitepu, SH, M.Hum;
3. Ketua Program Studi Ilmu Hukum, Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH,
sekaligus sebagai Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan motivasi mulai sejak awal perkuliahan sampai pada akhirnya meja hijau tidak pernah lelah dan bosan memberikan petunjuk, arahan, bimbingan, dan semangat yang luar biasa sehingga studi ini dapat selesai tepat waktu dengan nilai yang sangat memuaskan;
4. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, selaku Anggota Komisi Pembimbing I yang telah
banyak berupaya memberikan koreksi sehingga menjadi sempurna. Selain itu juga telah banyak memberikan bimbingan dan dorongan kepada penulis selama penelitian berlangsung;
5. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum, selaku Anggota Komisi Pembimbing II juga
telah memberikan koreksi untuk perbaikan dan mengarahkan penulis sampai kepada selesainya penelitian ini;
(9)
6. Seluruh Staf Pengajar/Dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, kepada Bapak Raja Bongsu Hutagalung, SE, M.Sc, Bapak Drs. Syafrin, MA, dan kawan-kawan yang telah banyak memberikan dukungan dan bantuannya;
7. Seluruh Staf/Pegawai Adminstrasi yang telah melancarkan segala urusan yang
berkenaan dengan administrasi dan informasi selama studi berlangsung dan juga pada saat dilakukan penelitian ini;
8. Yang terhormat, Papa H. Sati Lubis, dan Mama Hj. Chairani Nasution, setiap
waktu dan sepanjang hari tidak lupa dengan ikhtiar dan berdo,a agar penulis dapat mencapai cita-cita yang setinggi-tingginya; kepada kedua Mertua Bapak Ir. H. Budi Harjanto, MT, Ibu Hj. Anniek Soedarni, selalu memberikan semangat dan mendukung untuk menyelesaikan studi ini;
9. Istriku yang tercinta Hj. Lila Nattaya Narirat N, dengan pengorbanan dan
pengertiannya selalu hadir di sanubariku mendampingi dalam keadaan apapun tidak pernah menunjukkan keluh kesahnya walau kadang-kadang ditinggal demi untuk menyelesaikan studi ini;
10.Anak kon hi do hamoraon di au, si nuan tunasku, itulah anak-anakku, si buah
hatiku, penawar lelah dan penyejuk gerahku: Pelangi Loemanggo Nur’azizah Lubis, Ahmad Gading Sati Alfadjri Lubis, Lazuardi Ghorga Alfaaris Lubis, dan Lembayung Ghando Nur Azzahra Lubis, demi merekalah penulis semakin bertambah semangat yang luar biasa menyelesaikan studi ini. Dengan melihat Amangnya yang tidak pernah malas-malas belajar dan terus belajar, hendaknya menjadi dorongan memunculkan semangat bagi mereka dan termotivasi untuk maju menjadi anak yang berprestasi terbaik dan bertaqwa kepada Allah SWT;
11.Abangku H. Sutan Mulia Lubis, dan adik-adikku: H. Indra Lubis, MBA, Hj.
Rosnita Lubis, S.Sos, Jingga Natthasa Narita N, serta saudara-saudara family dan handai toulan yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang penulis banggakan dalam keluarga besar kita.
(10)
Demikianlah sebagai kata pengantar, mudah-mudahan penelitian ini memberi manfaat bagi semua pihak dalam menambah dan memperkaya wawasan Ilmu Pengetahuan. Khusus kepada penulis, mudah-mudahan dapat memadukan dan mengimplementasikan ilmu serta mampu menjawab tantangan atas perkembangan hukum yang ada dalam masyarakat dan menjadikan “Hukum Sebagai Panglima” khususnya hukum Perseroan.
Akhir kata, mohon maaf atas ketidaksempurnaan dalam penelitian ini, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi perbaikan ke depannya. Semoga penulis lebih giat lagi menambah wawasan ilmu pengetahuan di masa-masa yang akan datang. Amin ya rabbal’alamin.
Medan, 18 Agustus 2010 Penulis
Chandra Lubis
(11)
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : CHANDRA LUBIS
Tempat/Tanggal Lahir : Tamiang/30 Mei 1969.
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Alamat : Jl. Kapt. Pattimura No. 455 Medan
Pendidikan Formal : - Sekolah Dasar Negeri 4 Kotanopan (Lulus Tahun
1982);
- Sekolah Menengah Pertama Negeri I Kotanopan
(Lulus Tahun 1985);
- Sekolah Menengah Atas Negeri IV Medan (Lulus
Tahun 1988);
- S-1 Fakultas Pertanian USU Jurusan Budi Daya
Pertanian Program Studi Perkebunan (Lulus Tahun 1995);
- S-2 Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan (Lulus Tahun 2010).
(12)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR... iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vii
DAFTAR ISI... viii
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 15
C. Tujuan Penelitian ... 15
D. Manfaat Penelitian ... 16
E. Keaslian Penelitian... 17
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional... 18
1. Kerangka Teori... 18
2. Landasan Konsepsional... 25
G. Metode Penelitian ... 27
1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 27
2. Sumber Data... 28
3. Teknik Pengumpulan Data... 29
4. Analisis Data ... 30
BAB II : PERUBAHAN AKTA TERHADAP PENDIRIAN YAYASAN SETELAH KELUARNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 JO UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG YAYASAN ... 31
A. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan ... 31
B. Hakikat Yayasan Sebagai Bentuk Partisipasi Publik ... 36
(13)
1. Pengertian Yayasan... 41
2. Organ-Organ Yayasan... 46
3. Yayasan Sebagai Badan Hukum ... 51
4. Maksud dan Tujuan Yayasan ... 58
5. Yayasan Sebagai Organisasi Nirlaba (Filantropis) ... 60
D. Perubahan Akta Pendirian Yayasan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Jo Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan... 64
1. Ruang Lingkup Perubahan Akta Yayasan ... 67
2. Syarat-Syarat Perubahan Akta Yayasan... 70
3. Prosedur Perubahan Akta Yayasan ... 72
BAB III : AKIBAT HUKUM TERHADAP PERUBAHAN AKTA PENDIRIAN YAYASAN SETELAH KELAURNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 JO UNDANG-UNDANG-UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG YAYASAN ... 75
A. Pemeriksaan Terhadap Badan Hukum Yayasan ... 75
B. Akibat Hukum Perubahan Akta Pendirian Yayasan Menurut Undang-Undang Yayasan ... 81
1. Terhadap Kepengurusan Pembina... 84
2. Mengenai Hak-Hak dan Kewenangan Pengurusan... 86
3. Ruang Lingkup Bidang Usaha Atau Jenis-Jenis Yayasan ... 90
4. Lahirnya dan Berkakhirnya Yayasan ... 93
5. Modal Yayasan ... 94
BAB IV : SANKSI HUKUM TERHADAP YAYASAN APABILA TIDAK MELAKSANAKAN PERUBAHAN AKTA PENDIRIAN SETELAH KELUARNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 JO UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG YAYASAN ... 100
A. Alasan-Alasan Terhadap Yayasan Dapat Dibubarkan... 100
B. Sanksi Hukum Apabila Yayasan Tidak Melaksanakan Perubahan Akta Pendirian Setelah Keluarnya UU Yayasan... 107
(14)
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 121
A. Kesimpulan ... 121
B. Saran... 123
(15)
ABSTRAK
Mengamati perkembangan Yayasan baik pada waktu yang lalu maupun pada waktu yang sekarang ini, Yayasan banyak digunakan untuk melakukan kegiatan usaha yang sulit dibedakan dengan lembaga atau badan hukum yang bersifat komersil, sehingga dalam prakteknya Yayasan sering dijadikan kedok ataupun cara untuk melakukan kegiatan usaha yang bersifat komersil. Sebelum lahirnya UU Yayasan, pendirian Yayasan di Indonesia dilakukan berdasarkan kebiasaan dalam masyarakat, dokrin dan yurisprudensi. Setelah berlakunya UU Yayasan, maka Yayasan didasarkan kepada badan hukum yang didirikan untuk tujuan sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Oleh karena sifat dan tujuan Yayasan tersebut, maka Yayasan sama sekali berbeda dengan badan hukum atau badan usaha lain, seperti Perseroan Terbatas (PT), Perseroan Komanditer, Firma, Persekutuan Perdata, Perusahaan dagang, Koperasi dan sebagainya, dimana badan-badan tersebut tidak bertujuan sosial, keagamaan dan kemanusiaan melainkan untuk mencari keuntungan semata.
Metode yang digunakan di dalam penelitian ini adalah yuridis normatif atau penelitian hukum normatif. Yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah Pertama, bagaimanakah perubahan akta terhadap pendirian Yayasan setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 junto Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan?; Kedua, bagaimanakah akibat hukum perubahan akta terhadap pendirian yayasan setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 junto Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan?; dan Ketiga, bagaimanakah sanksi hukum terhadap Yayasan apabila tidak melaksanakan perubahan akta pendirian setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 junto Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan ?
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah, Pertama, dengan pengesahan Yayasan sebagai badan hukum, maka perbuatan pengurus yang dilakukan atas nama Yayasan yang bertanggung jawab adalah para pengurus Yayasan; Kedua, akibat hukum perubahan akta pendirian hukum Yayasan, Yayasan dapat diakui sebagai badan hukum dengan ketentuan organ-organ Yayasan tidak dibenarkan rangkap jabatan, organ-organ Yayasan tidak berhak menerima atau mengambil kekayaan Yayasan kecuali haknya, dan kekayaan Yayasan merupakan kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan pendiri, pembina, pengurus, dan pengawas; Ketiga, Sanksi hukum apabila Yayasan tidak melaksanakan perubahan akta pendirian adalah Yayasan tersebut harus melikuidasi kekayaannya dan menyerahkan sisa hasil likuidasinya kepada Yayasan yang mempunyai kesamaan kegiatan dengan Yayasan yang dibubarkan.
Saran dalam penelitian ini diharapkan dengan UU Yayasan dapat membawa konsekuensi hukum yang tegas terhadap eksistensi Yayasan di Indonesia sebagai
(16)
badan hukum yang bergerak di bidang sosial, keagamaa, dan kemanusiaan dan tujuannya bukan untuk mencari laba. selain itu, perlu ada pengawasan yang serius dan terpadu terhadap Yayasan baik oleh Instansi Perpajakan, Kejaksaan dan Instansi lain yang terkait sehubungan dengan diperbolehkannya Yayasan melakukan kegiatan usaha.
(17)
ABSTRACT
Speaking of its past or current development, a foundation is mostly used to do business related activity which is hard to distinguish a foundation from a commercial institution or corporate body that, in practice, a foundation always becomes a cover in doing a commercial business activity. Before the law on foundation was issued, the establishment of foundation in Indonesia was done based on the habitual regulation practiced in the society, doctrine and jurisprudence. After the issuance of law on foundation, the establishment of foundation is based on a corporate body which is established for social, religious and humanity purposes. Therefore, the characteristics and the purpose of foundation makes it totally different from corporate bodies or the other enterprises such as Limited Liability Company, Limited Partnership Company, Firm, Civil Business Association, Trading Company, Cooperatives, and so forth which have no social, religious and humanity purposes but a mere profit.
This study employed the normative juridical method or normative legal study, a study referring to the legal norms and principles stated in the regulation of legislation and court decision. The purpose of this study was to analyze; first, how the act of foundation establishment changes after the issuance of Law No16/2001 in connection with Law No.28/2004 on Foundation; second, the legal implication of the change of the act of foundation establishment after the issuance of Law No16/2001 in connection with Law No.28/2004 on Foundation; and third, what legal sanction to be given to the foundation if it does not change the act of its establishment after the issuance of Law No16/2001 in connection with Law No.28/2004 on Foundation.
The result of this study showed that; first, with the legalization of the foundation as a corporate body, the responsibility of the act done on behalf of the foundation is on the management of the foundation; second, the law on the change of the act of foundation establishment, a foundation can be recognized as a corporate body with the condition that the management of the foundation do not hold multi function, the management of the foundation do not have the right to receive or to take anything related to the property of foundation but his own property, and the property of foundation must be separated from the property of founders, elder members (advisors), management, and supervisors; and third, legal sanction given if the foundation does not change its act of foundation establishment is that the foundation must liquidate his property and submit its rest of result of liquidation to the other foundation of the same activity as the foundation liquidated.
It is expected that this law on foundation can bring a clear legal consequence to existence of foundation in Indonesia which is active in social, religious and humanity sectors not profit-making. In addition, a serious and integrated control done by Tax Institution, Attorney Office and the other related institutions is needed to control a foundation concerning the allowance of a foundation to run a business activity.
(18)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu latar belakang keluarnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 juncto Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan (UU Yayasan) dikemukakan dalam Bagian Awal Penjelasan Umum Undang-Undang tersebut yang antara lain:
“Pendirian yayasan di Indonesia sampai saat ini hanya berdasar atas kebiasaan dalam masyarakat dan yurisprudensi Mahkamah Agung, karena belum ada undang-undang yang mengaturnya. Fakta menunjukkan kecenderungan masyarakat mendirikan Yayasan dengan maksud untuk berlindung di balik status badan hukum Yayasan yang tidak hanya digunakan sebagai wadah mengembangkan kegiatan sosial, keagamaan, Kemanusiaan, melainkan jugs adakalanya bertujuan untuk memperkaya diri para pendiri, Pengurus dan pengawas.”
Sejalan dengan kecenderungan tersebut timbul pula berbagai masalah, baik masalah yang berkaitan dengan kegiatan Yayasan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan yang tercantum dalam Anggaran Dasar, Sengketa antara pengurus dengan pendiri atau pihak lain, maupun adanya dugaan bahwa Yayasan digunakan untuk menampung kekayaan yang berasal dari para pendiri atau pihak lain yang diperoleh dengan cara melawan hukum karena belum ada hukum positif mengenai Yayasan
(19)
sebagai landasan yuridis dalam penyelesaian.1
Selain hal yang ditegaskan dalam UU Yayasan tersebut, arti pentingnya pengaturan masalah yayasan ini pertama-tama dapat dirujuk kembali kepada hakikat dan fungsi Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia yang mengandung arahan tentang nilai-nilai dasar kehidupan bangsa Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bagaikan sebuah bintang pemandu, nilai-nilai Pancasila yang dimanifestasikan dalam Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum amandemen) sebagaimana tercantum antara lain dalam Pasal 27 ayat (1), 29 ayat (1), 31 ayat (1) dan (2) serta Pasal 39 menjadi dasar bagi perlunya sebuah sistem untuk mengembangkan yayasan ini sebagai salah satu instrumen dalam mendukung pencapaian tujuan negara.
Pemerintah tidak membiarkan perkembangan Yayasan sebagai fenomena sosial dan hukum yang berjalan sendiri tanpa adanya kontrol dan pengaturan yang tegas, apalagi dalam kenyataannya Yayasan telah merupakan kelembagaan yang sangat populer dan diketahui oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia secara merata dibandingkan misalnya dengan Perseroan Terbatas atau Firma.
Secara tegas dapat dikatakan, landasan filosofis (Pancasila) dan Konstitusional (UUD 1945) tersebut di atas menunjukkan adanya tuntutan yang bersifat imperatif terhadap negara, pemerintah, bahkan masyarakat maupun perorangan untuk melaksanakan tugas keagamaan, kemanusiaan serta sosial.
1
Rehngena Purba., “Perlunya Undang-Undang Tentang Yayasan”, Makalah, disampaikan pada Lokakarya, Rancangan Undang-Undang Yayasan, di Universitas Sumatera Utara Medan pada tanggal 4 November 2000, hal. 1.
(20)
Pelaksanaan kegiatan dan usaha di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara dan bentuk, antara lain selama ini banyak dilakukan melalui lembaga Yayasan. Namun demikian yang sangat menarik bahwa di Indonesia sendiri baru pada bulan Agustus 2001 keluar peraturan atau undang-undang mengenai Yayasan tersebut yang dinilai banyak pihak tertinggal dari beberapa negara lainnya di Asia Tenggara. Selama ini tidak ada suatu ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur secara tegas dan jelas sebagai pedoman bagi hidupnya suatu Yayasan. Pendirian Yayasan selama ini hanya berdasarkan suatu kebiasaan (reasonable sense), yaitu didirikan dengan akta notaris dan bila pengurus berkehendak dapat didaftarkan pada kepeniteraan pengadilan negeri tempat kedudukan dari Yayasan, setelah terlebih dahulu meminta Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Sebagian pendirian Yayasan diumumkan dalam
Tambahan Berita Negara Republik Indonesia (TBNRI).2
Dalam suasana ketiadaan undang-undang yang komprehensif yang mengatur Yayasan tersebut, dalam kehidupan masyarakat timbul berbagai penafsiran mengenai pengertian, sifat, status, dan kedudukan hukum Yayasan tersebut dan sebagainya termasuk dalam hal kegiatan atau usahanya, meskipun dalam lalu lintas hukum sehari-hari, eksistensi Yayasan diakui dan telah diperlakukan sebagai suatu subyek hukum yang mandiri dan mempunyai hak dan kewajiban sendiri di samping hak dan
2
Anwar Barohima., Kedudukan Yayasan di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hal. 1.
(21)
kewajiban penguru-pengurus atau pengelolanya.3
Dalam pertumbuhan dan perkembangannya di Indonesia, organisasi Yayasan telah tumbuh subur dan berkembang dengan sangat pesatnya bagaikan jamur di musim hujan. Ribuan organisasi seperti ini dalam bentuk Yayasan tumbuh subur dan berkembang pesat di Indonesia baik pada masa Orde Lama, Orde Baru maupun pada Era Reformasi sekarang ini yang pada dasarnya mendapat tempat dan keleluasaan sesuai dengan jiwa dan semangat Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila. Masyarakat menikmati kebebasan dalam mendirikan yayasan, menentukan struktur organisasi, dan berbagai aspek lainnya tanpa campur tangan hukum secara ketat. Oleh karena itu di tengah kungkungan politis dan kekuasaan yang sentralistis, orang
menemukan kemerdekaan dalam mendirikan dan mengelola Yayasan.4
Sejak zaman Hindia Belanda bentuk yayasan merupakan suatu bentuk badan hukum yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Kecenderungan masyarakat memilih bentuk yayasan antara lain karena alasan: 5
1. Proses pendiriannya sederhana
2. Tanpa memerlukan pengesahan dari pemerintah
3. Adanya persepsi dari masyarakat bahwa yayasan bukan merupakan subjek
pajak.
Sebelum diberlakukannya UU Yayasan bahwa dasar hukum yang berlaku
3
Ibid., hal. 2-3.
4
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:sVevHRDfJ9MJ:irmadevita.com/, diakses terakhir tanggal 28 Juli 2010.
5
(22)
untuk Yayasan adalah hukum kebiasaan yang timbul dengan sendirinya dalam
masyarakat yang terjadi karena kebutuhan.6 Dengan diberlakukannya UU Yayasan,
maka Yayasan telah diakui sebagai badan hukum privat yang berarti diakui sebagai subjek hukum mandiri yang terlepas dari kedudukan subjek hukum para pendiri atau pengurusnya.
Perbedaan Yayasan sebelum dan sesudah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 junto Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan adalah:
Tabel 1: Perbandingan Perbedaan Yayasan Sebelum dan Sesudah Keluarnya UU Yayasan
No Sebelum Sesudah
1 Pendirian yayasan tidak perlu pengesahan dari pemerintah
Pendirian yayasan diperlukan pengesahan dari pemerintah
2 Organ yayasan dibolehkan merangkap jabatan
Organ yayasan tidak diperbolehkan merangkap jabatan
3 Yayasan tidak bisa dipailitkan Yayasan bisa dipailitkan
4 Belum ada pengesahan dari menteri
Hukum dan HAM
Ada pengesahan dari menteri Hukum dan HAM
5 Nama yayasan diperbolehkan sama Nama yayasan tidak diperbolehkan
sama
6 Tidak ada batasan terhadap masa
kerja organ yayasan
Ada batasan terhadap masa kerja organ yayasan
7 Yayasan belum memiliki status
badan hukum. Pengaturannya memang ada disebutkan dalam KUH Perdata Pasal 365, Pasal 680, Pasal 1680, Pasal 1852 dan Pasal 1954, itupun hanya mengenai istilah saja. Jadi, Yayasan tunduk kepada hukum kebiasaan, yurisprudensi dan doktrin.
Yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian yang didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta kekayaan pendirinya, sebagai kekayaan awal.
6
Chatamarrasji Ais., Badan Hukum Yayasan, Suatu Analisis Mengenai Yayasan Sebagai
(23)
Selanjutnya ditinjau dari skala kegiatan dan besarnya kekuatan ekonomi Yayasan, dalam praktek sehari-hari dapat dilihat secara kasat mata bahwa Yayasan tidak hanya sekedar suatu lembaga kecil yang bergerak secara murni dalam bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan, tetapi telah banyak Yayasan yang didirikan dengan motif bisnis, politik, dan motivasi lainnya. Cukup banyak pula Yayasan yang didirikan dengan dasar kepentingan kekuasaan dan kewenangan penguasa baik langsung maupun tidak langsung. Berbagai instansi sipil maupun militer turut mendirikan Yayasan yang bersifat komersil dan beraktivitas hanya untuk mencari keuntungan ekonomi bagi pengurus dan para anggotanya.7
Seiring dengan hal tersebut terjadi pula berbagai perselisihan bahkan konflik yang antara lain dalam bentuk: 8
a. Konflik antara badan pendiri;
b. Konflik tentang tujuan yang menyimpang;
c. Konflik masalah keuangan;
d. Konflik tentang kepemilikan; dan
e. Konflik masalah kewenangan dan tanggung jawab.
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan diketahui bahwa berbagai perselisihan dan konflik yang terjadi, kelemahan dalam pengelolaan Yayasan, maupun penyimpangan dari tujuan yang sebenarnya dalam pendirian Yayasan, adalah karena tidak adanya aturan yang memadai tentang yayasan-meskipun hal itu bukan satu-satunya faktor penyebab permasalahan yayasan selama ini. Yayasan dikelola secara bebas tanpa adanya acuan yang dipedomani secara tegas, akibatnya adalah
7
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:X_bcGicxsRUJ:bataviase.co.id/det, diakses terakhir tanggal 20 Juli 2010.
8
(24)
tidak terjaminnya kepastian hukum, karena adanya perbedaan dalam praktek serta sulitnya pemerintah maupun masyarakat lugs mengontrol pengelolaan Yayasan.
Dapat dirasakan bahwa telah terjadi pergeseran fungsi yayasan sebagai suatu lembaga sosial, kemanusiaan, dan keagamaan murni menjadi suatu badan usaha setidaknya kegiatan usaha secara terselubung yang mengakibatkan tujuan hakiki dan asli seperti tercantum dalam anggaran dasarnya menjadi kabur. Yayasan yang pada mulanya merupakan organisasi nirlaba yang murni bertujuan sosial-idiil, tetapi belakangan dengan semakin berkembangnya kehidupan masyarakat, Yayasan akhirnya juga dipergunakan sebagai sarana untuk kepentingan sosial-ekonomis. Apabila dulu Yayasan merupakan suatu institution untuk keperluan masyarakat (umat), mendirikan rumah sakit, rumah yatim piatu, rumah jompo, dan lain sebagainya yang bertujuan sosial, namun sekarang banyak yang telah menyimpang dan salah arah, sehingga yayasan berubah menjadi usaha dagang dan menjadikan jual-beli sebagai kegiatan pokoknya.
Terlepas dari suasana dan nuansa kebebasan dalam pendirian dan pengelolaan yayasan karena tidak adanya regulasi yang ketat, dan lengkap, maka yayasan (foundation dalam bahasa Inggris; stichting dalam bahasa Belanda) juga telah menimbulkan dampak negatif karena aktivitas yayasan dapat dikatakan hampir tak terkendali yang mengakibatkan konotasi yayasan tidak lagi sekedar suatu lembaga amal/nirlaba dengan motivasi murni untuk tujuan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan semata, tetapi banyak pula yayasan yang didirikan dengan motivasi
(25)
bisnis maupun politik didukung oleh modal besar dalam pengelolaannya.9
Begitu pula instansi sipil maupun militer turut mendirikan Yayasan yang bersifat komersil dan bergerak untuk mencari keuntungan ekonomi bagi pengurus dan anggotanya. Yayasan yang mereka dirikan melakukan bentuk usaha lainnya, melakukan kerja sama dengan perseroan terbatas, bahkan mendirikan perseroan terbatas. Sebagai contoh Yayasan Kartika Eka Paksi, yang bernaung dibawah Markas Besar TNI-AD memiliki sejumlah badan usaha seperti PT. Aerokarto Indonesia, PT. Asuransi Cigra Indonesia, PT. Cilegon Fabricators, PT. Kayan River Indah Timber Plywood dan PT. kulturgaya Triusaha.10
Kritikan dan tuduhan negatif terhadap keberadaan beberapa Yayasan itu bukan hanya terjadi pada era reformasi saat ini. Pada tahun 1989, berbagai kalangan DPR telah mempersoalkan penyalahgunaan Yayasan ini sebagai alat atau wadah menampung berbagai bentuk pungutan (pungli) di instansi pemerintah yang tidak terliput mekanisme anggaran dan tidak terjangkau aparat pengawasan. Para pengelola Yayasan yang merasa tidak siap dan dipaksakan untuk menerima berbagai bentuk penataan (regulasi) di atas apalagi kemungkinannya Yayasan tersebut telah menghasilkan profit bagi para pengurusnya. Dalam berbagai bentuk Yayasan dipergunakan sebagai alat untuk melakukan penipuan sebagaimana dilakukan oleh Yusuf Ongkowijaya dengan Yayasan Keluarga Adil Makmur (YKAM) yang berakhir di depan peradilan pidana. Ketika Yusuf Ongkowijaya masuk bui, ribuan anggota
9
Anwar Borahima., Op. cit., hal. 2.
10
(26)
masyarakat di berbagai kota besar dan kecil, mengaku telah tertipu dan kehilangan uang mereka.11
Sehubungan dengan hal di atas, dapat dikatakan bahwa tidak ada keseragaman dalam ketentuan pendirian Yayasan itu maupun penyalahgunaan yang dilakukan oleh sebagian aktivis yayasan boleh dikatakan akibat belum adanya kerangka hukum yang memadai bagi organisasi nirlaba di Indonesia.12
Hal yang sangat penting pula bahwa organisasi nirlaba di Indonesia pun tampaknya masih enggan untuk mendukung upaya perbaikan kerangka hukum yang ada. Pembaharuan hukum mengenai organisasi nirlaba secara apriori dipandang justru akan merusak tatanan yang dinilai telah cukup demokratis walaupun diakui selama ini banyak organisasi Yayasan yang disalahgunakan untuk tujuan dan kepentingan pribadi. Sebagian besar masyarakat yang mendirikan Yayasan beranggapan bahwa dengan pemberlakuan UU Yayasan dapat membatasi dan mengontrol operasional
11
M. Adnan Amal., “Yayasan Sebagai Badan Hukum” , Varia Peradilan, Tahun IV Juni 1989, hal. 138.
12
Ningrum Natasya Sirait., Modul Hukum Perusahaan Magister Manajemen (Medan: PPs-USU, 2001), hal. 4. Menyatakan antara lain bahwa penyebab terjadinya penyimpangan dalam yayasan yang paling utama adalah tidak adanya pranata hukum yang mengatur yayasan. Misalnya tidak adanya penjelasan secara rinsi tentang apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan kegiatan sosial. Pendidikan selalu diterima sebagai kegiatan sosial. Dalam banyak kenyataan, banyak institusi pendidikan yang selalu diterima sebagai kegiatan sosial. Dalam banyak kenyataan, banyak institusi pendidikan yang diselenggarakan oleh yayasan bertujuan mengejar keuntungan. Sering dikatakan bahwa untuk mendapatkan pendidikan yangbaik seseorang harus membayar mahal. Dalam hal ini pelaksanaan kegiatan yayasan yang bersangkutan lebih mengarah pada pengutamaan keuntungan (profit). Demikian juga di bidang pelayanan kesehatan. Banyak rumah sakit-rumah sakiat yang didirikan untuk melayani anggota-anggota masyarakat yang menginginkan pelayanan prima dan untuk itu bersedia membayar mahal. Oleh karena itu banyak rumah sakit berlomba-lomba memberikan layanan dan fasilitas layaknya hotel mewah. Apakah praktek di atas dapat lagi dikatakan bertujuan sosial atau kemanusian. Kelihatannya sifat nirlaba atau non profit yayasan tidak mengenai sasaran. Banyaknya penyimpangan dalam pelaksanaan kegiatan yayasan yang disebabkan oleh tidak adanya peraturan sebagai landasan hukumnya mendorong pemerintah menyusun undang-undang tentang yayasan.
(27)
organisasi Yayasan sekaligus akan mempersempit ruang geraknya. Peraturan itu mungkin akan mengurangi dinamika organisasi nirlaba dalam mencapai tujuan sesuai anggaran dasarnya, umpamanya pembatasan terhadap aktivitas politik, proses pengadilan, tekanan terhadap pemerintah. Begitu pula pembatasan terhadap kegiatan komersial dapat menghambat sektor nirlaba mendistribusikan barang dan jasa ke masyarakat luas, sedangkan pembatasan kepemilikan usaha dapat menghambat mengurangi tumbuhnya ide-ide baru dan pertumbuhan organisasi nirlaba. Dari berbagai media massa dapat diketahui adanya tanggapan para pengelola Yayasan yang merasa tidak siap dan seolah-olah dipaksakan untuk menerima berbagai bentuk penataan (regulasi) di atas.
Terjadinya berbagai penyimpangan dalam pengelolaan Yayasan dalam praktek selama ini tidak disebabkan semata-mata oleh satu faktor saja, yakni ketiadaan peraturan perundang-undangan yang tidak jelas saja. Di samping itu secara etimologis terdapat ketidakjelasan apa yang dimaksud denaan kegiatan sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Sangat sulit dan mustahil untuk merumuskan suatu definisi kegiatan sosial misalnya yang berlaku umum dan diterima semua pihak.13
Pada prinsipnya tujuan diundangkannya UU Yayasan adalah untuk lebih menjamin kepastian dan ketertiban hukum serta memberikan dasar yang pasti sebagai
landasan berpijak mengenai kedudukan Yayasan demi kepentingan sosial.14 Hal
tersebut dapat dilihat ketentuan pada Pasal 1 Ayat (1) UU Yayasan yakitu, “Yayasan
13
Ibid., hal. 5.
14
(28)
adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota”. Kekayaan yang dipisahkan menurut penjelasan pasal tersebut adalah dipisahkan antara kekayaan Yayasan dengan kekayaan para pendirinya. Ini merupakan syarat mutlak untuk mendirikan Yayasan yakni kekayaan harus dipisahkan. Hal tersebut merupakan suatu yang mutlak bagi Yayasan karena tanpa persyaratan tersebut akan merupakan suatu perkumpulan biasa sebagaimana diatur dalam Pasal 1653 KUH Perdata. Oleh karena itu suatu yayasan harus bersifat nirlaba sebagaimana dituangkan dalam anggaran dasarnya.
Sebagai suatu badan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan yang bersifat sosial, maka untuk melaksanakan kegiatannya diperlukan adanya pengurus yang mengelola kekayaan Yayasan. Pengurus Yayasan tersebut bertanggung jawab kepada yayasan untuk kepentingan dan tujuan Yayasan serta berhak mewakili Yayasan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Kontrol terhadap pengurus dalam mengelola yayasan tersebut perlu dilakukan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Prinsip-prinsip keadilan, transparansi, akuntabilitas dan pertanggungjawaban harus menjadi perhalian pengurus yayasan dalam menjalankan kepengurusannya sehari-hari agar keberadaan Yayasan dapat dilaksanakan untuk kepentingan sosial, agama dan kemanusiaan.
Beramal dan memberi derma secara terorganisir dan sistematis merupakan salah satu hakikat keberadaan Yayasan. Eksistensi dan gerakan Yayasan pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari misi dan kegiatan nirlaba yang didasarkan
(29)
pada prinsip filantropis (kedermawanan, amal, dan sukarela), yang diorganisir dalam suatu organisasi yang rapi dalam mewujudkan suatu tujuan yang telah ditetapkan di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan.15
Filantropi atau organisasi nirlaba lazimnya merupakan organisasi sosial non pemerintah yang bertujuan membantu dan memberdayakan masyarakat melalui manajemen nirlaba secara sukarela dan bersifat mandiri yang dapat diklasifikasikan sebagai kegiatan karitatif (bantuan amal langsung) dan kegiatan advokasi transformatif (pemberdayaan dalam arti luas, yang biasanya dilakukan melalui pendekatan struktural dan kultural dengan membangun sikap mental yang demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjalankan kewajiban sebagai warga negara.16
Oleh karena itu kehadiran UU Yayasan sebenarnya merupakan suatu kebutuhan aktual. Meskipun UU Yayasan tersebut baru berlaku efektif pada Tahun 2002 sesuai dengan ketentuan Pasal 63 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001, namun setidaknya berbagai ketentuan substantif dari UU Yayasan tersebut dapat menjadi pedoman dan arah yang jelas tentang berbagai hal yang berkaitan dengan Yayasan.
Status badan hukum Yayasan yang selama ini menurut Sunarmi, hanya
15
Hendra Nurtjahno., Perkembangan Hukum Nirlaba di Indonesia”, karangan yang dimuat dalam buku Filantropi dan Hukum di Asia, Asia Pasific Philanthropy Consosrtium, (Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 82.
16
(30)
berdasarkan jurisprudensi dan hukum kebiasaan.17 Namun, setelah berlakunya UU Yayasan, secara yuridis Yayasan sudah memiliki dasar hukum. Oleh sebab itu, Yayasan yang ada sebelum diundangkannya UU Yayasan, menurut UU Yayasan dan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan UU Yayasan, harus menyesuaikan Anggaran Dasarnya termasuk akta pendirian Yayasan sebagaimana ketentuan yang harus dipenuhi dalam Pasal 15 dan Pasal 16 PP Nomor 63 Tahun 2008. Ketentuan Pasal 15 adalah sebagai berikut:
(1) Permohonan pengesahan akta pendirian Yayasan untuk memperoleh status badan
hukum Yayasan diajukan kepada Menteri oleh pendiri atau kuasanya melalui notaris yang membuat akta pendirian Yayasan.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri: a. Salinan akta pendirian Yayasan;
b. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Yayasan yang telah dilegalisir oleh
notaris;
c. Surat pernyataan tempat kedudukan disertai alamat lengkap Yayasan yang
ditandatangani oleh Pengurus Yayasan dan diketahui oleh lurah atau kepala desa setempat;
d. Bukti penyetoran atau keterangan bank atas Nama Yayasan atau pernyataan
tertulis dari pendiri yang memuat keterangan nilai kekayaan yang dipisahkan sebagai kekayaan awal untuk mendirikan Yayasan;
e. Surat pernyataan pendiri mengenai keabsahan kekayaan awal tersebut;
f. Bukti penyetoran biaya pengesahan dan pengumuman Yayasan.
(3) Pengajuan permohonan pengesahan akta pendirian Yayasan untuk memperoleh
status badan hukum Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus disampaikan kepada Menteri paling lambat 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal akta pendirian Yayasan ditandatangani.
Kemudian ketentuan dalam Pasal 16 disebutkan bahwa:
(1) Permohonan persetujuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan mengenai nama
dan kegiatan Yayasan diajukan kepada Menteri oleh Pengurus Yayasan atau
17
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan., “Putusan Gugatan Perdata Nomor 904/Pdt.G/2007/PN Jak-Sel. Di sampaikan pada pemeriksaan saksi ahli atas gugatan terhadap Yayasan Beasiswa Supersemar pada tanggal 4 April 2008, hal. 74.
(31)
kuasanya melalui notaris yang membuat akta perubahan Anggaran Dasar Yayasan.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri:
a. Salinan akta perubahan Anggaran Dasar Yayasan;
b. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Yayasan yang telah dilegalisir oleh
notaris; dan
c. Bukti penyetoran biaya persetujuan perubahan Anggaran Dasar dan
pengumumannya.
Pemberitahuan perubahan akta pendirian Yayasan harus diberitahukan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang disampaikan oleh para pengurus Yayasan. Begitu pula terhadap Yayasan asing yang ada di Indonesia harus menyesuaikan Anggaran Dasarnya melalui perubahan akta pendiriannya. Perubahan akta pendirian Yayasan tersebut menurut ketentuan Pasal 24 UU Yayasan harus diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat dianggap telah mengetahui terhadap Yayasan yang baru didirikan tersebut.18
Kehadiran UU Yayasan membawa paradigma baru dalam pengelolaan Yayasan di Indonesia seperti ketentuan-ketentuan yang mewajibkan Yayasan-Yayasan sebelum UU Yayasan-Yayasan untuk menyesuaikan Anggaran Dasarnya sesuai dengan ketentuan dalam UU Yayasan dan PP Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksana UU Yayasan. Dengan demikian, maka konsekuensi hukum atas kehadiran UU Yayasan, tentu berakibat terhadap akibat hukum perubahan akta dan sanksi bagi Yayasan yang tidak melaksanakan perubahan akta pendirian Yayasan tersebut.
Berdasarkan paparan yang dikemukakan di atas, dirasa perlu untuk dikaji
18
(32)
dalam penelitian ini mengenai perubahan akta Yayasan sehingga, dipilih sebagai judul dalam penelitian ini adalah, ”Perubahan Akta Pendirian Yayasan Setelah Keluarnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Junto Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan paparan pada latar belakang tersebut di atas, maka dirumuskan beberapa permasalahan yang menjadi titik tolak pembahasan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah perubahan akta terhadap pendirian Yayasan setelah keluarnya
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Jo. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan ?
2. Bagaimanakah akibat hukum terhadap perubahan akta pendirian yayasan setelah
keluarnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Jo. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan ?
3. Bagaimanakah sanksi hukum terhadap yayasan apabila tidak melaksanakan
perubahan akta pendirian setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Jo. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan ?
C. Tujuan Penelitian
Dengan mengacu pada judul dan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini dapat dikemukakan tujuan penelitian sebagai berikut:
(33)
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan perubahan akta pendirian Yayasan setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Jo. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan.
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan akibat hukum perubahan akta pendirian
yayasan setelah keluarnya Undang Nomor 16 Tahun 2001 Jo. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan.
3. Untuk mengetahui dan menjelaskan sanksi hukum apabila yayasan tidak
melaksanakan perubahan akta pendirian setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Jo. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini diklasifikasikan atas manfaat teoretis Dan manfaat praktis.
1. Secara teoretis, hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat memperkaya
bahan kajian dan kepustakaan mengenai perkembangan pemikiran maupun pengaturan tentang lapangan fenomena sosial dan hukum dari yayasan khususnya dalam bidang ilmu hukum keperdataan dan kenotariatan di Perguruan Tinggi maupun para pemerhali masalah hukum dan sosial dari yayasan.
2. Secara praktis hasil penelitian kiranya dapat bermanfaat sebagai masukan bagi
para praktisi hukum, notaris, masyarakat umum, para pengelola yayasan, maupun pemerintah dalam mempersiapkan Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
(34)
Yayasan maupun kemungkinan untuk melakukan revisi nantinya.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa telah ada beberapa judul tesis mengenia Yayasan diteliti oleh peneliti terdahulu seperti:
1. “Pertanggungjawaban Pengurus Yayasan dan Penyelenggara Pendidikan Menurut
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan”, diteliti oleh Sa’adah (2006). Fokus penelitiannya terhadap pertanggungjawaban pengurus sesuai dengan UU Yayasan.
2. “Analisis Hukum Prinsip Transparansi Pengelolaan Kegiatan Usaha Yayasan
Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Junto Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan”, diteliti oleh Irma Fatmawati (2007). Fokus penelitiannya mengenai prinsip-prinsip transparansi yang harus dilakukan dalam mengelola Yayasan sesuai dengan UU Yayasan.
Namun penelitian tentang judul, “Perubahan Akta Pendirian Yayasan Setelah Keluarnya UU No. 16 Tahun 2001 Jo. UU No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan” belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama, walaupun ada beberapa topik penelitian tentang Yayasan tetapi jelas berbeda. Perbedaannya dengan judul dalam penelitian ini adalah bahwa penelitian ini fokusnya mengenai perubahan akta, akibat hukum perubahan akta, dan sanksi yang diterapkan kepada Yayasan setelah berlakunya UU Yayasan. Jadi, penelitian ini adalah asli
(35)
karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, obyektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah.
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori
Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum. Kebutuhan terhadap ketertiban ini syarat pokok (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur. Di samping ketertiban, tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya menurut masyarakat dan zamannya. Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat ini diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat.
Selain itu, teori yang menyatakan bahwa hukum sebagai sarana pembangunan dapat diartikan, bahwa hukum sebagai penyalur arah kegiatan manusia kearah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan. Teori ini dikemukakan oleh
Roscoe Pound, yakni “Law as A Tool as Social Engineering”19. Hukum harus
diusahakan bersifat antisipatif, sehingga tidak menghambat laju perkembangan
19
Roscoe Pound., “Social Control Through Law: Jural Postulets”, Cet.1, dikutip dalam Filsafat Hukum dari Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2001), hal. 578-579, dikutip dari Pound, Jurisprudence, Vol.3, hal.8-10, dikutip dari Stone, Human Law and Human Justice (1965), hal.280.
(36)
efisiensi ekonomi nasional, mewujudkan iklim yayasan yang kondusif melalui pengaturan tentang yayasan.
Keberadaan Yayasan merupakan suatu kebutuhan bagi masyarakat yang menginginkan adanya wadah atau lembaga yang bersifat dan bertujuan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. “Pada dasarnya Yayasan merupakan alat yang secara fungsional menjadi sarana untuk hal-hal atau pekerjaan dengan tujuan sosial, kebudayaan dan ilmu pengetahuan”.20
Sehubungan dengan itu, menurut Arie Kusumastuti Maria Suhardiadi
memberikan pandangannya tentang Yayasan yaitu:21
“Yayasan dipandang sebagai bentuk ideal (philantropic) untuk mewujudkan keinginan manusia, dan karena itu keberadaannya dirasakan membawa manfaat positif dari sisi sosial kemanusiaan. Hal ini disebabkan karena Yayasan tidak semata-mata mengutamakan profit atau mengejar mencari keuntungan dan/atau penghasilan sebesar-besarnya sebagaimana layaknya badan usaha lainnya. Bahkan ada pendapat yang lebih tegas menyebutkan bahwa Yayasan merupakan lembaga nirlaba, yakni sama sekali tidak mengejar keuntungan.”
Menurut Abdul Muis menyebutkan bahwa Yayasan adalah “badan hukum yang memiliki harta kekayaan yang telah dipisahkan dari pemiliknya, sehingga bersifat mandiri dengan maksud dan tujuan tertentu yang bersifat ideal dan diurus oleh suatu badan pengurus tanpa mempunyai anggota”.22
20
Arie Kusumastuti Maria Suhardiadi., Hukum Yayasan di Indonesia, (Jakarta: PT. Abadi, 2003), hal.1
21
Ibid., hal. 2.
22
Abdul Muis., Yayasan Sebagai Wadah Kegiatan Masyarakat, (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1987), hal. 6.
(37)
Badan hukum merupakan suatu badan yang sekalipun bukan berupa manusia namun dianggap mempunyai harta kekayaan sendiri yang terpisah dari para anggotanya dan merupakan pendukung hak dan kewajiban seperti seorang manusia serta dapat turut serta dalam lalu lintas hukum. Dalam melakukan perbuatan hukum, badan hukum tidak dapat berdiri sendiri melainkan harus diwakili para pengurusnya.23
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, maka kriteria Yayasan ditentukan yaitu sebagai berikut:24
a. Yayasan terdiri atas kekayaan yang dipisahkan;
b. Kekayaan Yayasan diperuntukkan untuk mencapai tujuan Yayasan;
c. Yayasan mempunyai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan
kemanusiaan; dan
d. Yayasan tidak mempunyai anggota.
Badan Hukum adalah setiap pendukung hak dan kewajiban (subyek hukum), yang bukan Manusia. Yang Penting dari Badan Hukum adalah, dapat dipisahkannya, hak dan kewajiban Badan Hukum dari Hak dan Kewajiban Anggota Badan Hukum. Anggota atau pengurus badan hukum dapat berganti-ganti, tetapi badan hukum tetap ada.25
Teori-teori yang berhubungan dengan badan hukum adalah sebagai berikut:
1. Teori fiktif Von Savigny berpendapat badan hukum itu semata-mata buatan
negara saja. Sebetulnya menurut alam hanya manusia sajalah sebagaisubjek
23
Abdul Muis., Hukum Persekutuan dan Perseroan, (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1995), hal. 11.
24
Ibid, hal. 12.
25
(38)
hukum, badan hukum ituhanya suatu fiksi saja, yaitu sesuat yang sesungguhnya tidak ada, tetapi orang menciptakan dalam bayangannya suatu pelaku hukum (badan hukum) sebagai subjek hukum diperhitungkan sama dengan manusia.26
2. Teori harta kekayaan bertujuan dari Brinz. Menurut teori ini hanya manusia saja dapat menjadi subjek hukum. Namun, juga tidak dapat dibantah adanya hak hukum. Namun, juga tidak dapat dibantah adanya hak-hak atas suatu kekayaan, sedangkan tiada manusiapun yang menjadi pendukung hak-hak itu. Apa yang kita namakan hak-hak dari suatu badan hukum, sebenarnya adalah hak-hak tidak ada yang memilikinya dan sebagai penggantinya adalah suatu harta kekayaan yang terikat oleh suatu tujuan atau harta kekayaan yang terikat oleh suatu tujuan atau harta kekayaan yang terikat oleh suatu tujuan atau kekayaan kepunyaan suatu tujuan.27
3. Teori propiete collective dari Planiot. Menurut teori ini hak dan kewajiban badan hukum itu pada hakikatnya adalah hak dan kewajiban anggota bersama-sama. Di samping hak milik pribadi, hak milik serta kekayaan itu merupakan harta kekayaan bersama. Anggota-anggota tidak hanya dapat memiliki masing-masing untuk bagian yang tidak dapat dibagi, tetapi juga sebagai pemilik bersama-sama untuk keseluruhan sehingga mereka secara pribadi tidak bersama-sama semuanya menjadi pemilik. Dikatakan bahwa
26
Von Savigny., dalam Ali Rido., Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan,
Perkumpulan, Yayasan, Wakaf, (Bandung: Alumni, 2001), hal. 7. 27
(39)
orang yang terhimpun itu semuanya merupakan suatu kesatuan dan membentuk suatu pribadi, yang dinamakan badan hukum. Dengan demikian, badan hukum adalah suatu kontruksi yuridis saja.28
4. Teori organ dari Von Gierke. Badan hukum adalah suatu realitas
sesungguhnya sama seperti sifat kepribdian alam manusia ada di dalam pergaulan hukum. Hal itu adalah suatu “Leiblichgeistige Lebenseinheit die Wollen und Gewollte in tat Umserzen kam”. Di sini tidak hanya suatu pribadi yang sesungguhnya, tetapi badan hukum itu juga mempunyai kehendak atau kemauan sendiri yang dibentuk melalui alat-alat perlengkapan (pengurus, anggota-anggotanya). Apa yang mereka putuskan adalah kehendak atau kemauan hari hukum.29
Teori propiete collective itu berlaku untuk korporasi, badan hukum yang mempunyai anggota, tetapi untuk yayasan teori initidak banyak artinya. Sebaliknya teori ini tidak banyak artinya. Sebaliknya teori harta kekayaan bertujuan hanya tepat untuk badan hukum yayasan yang tidak mempunyai anggota.
Sesuai tuntutan perkembangan moderen, pendaftaran badan hukum sekurang-kurangnya dapat dilihat sebagai sayarat formil. Meskipun pendaftaran badan hukum sebagai syarat formil, dalam praktek acapkali sahnya suatu badan hukum berkaitan dengan tanggung jawab hukum pengurus. Dalam hal perbuatan-perbuatan perdata tanggung jawab pengurus badan hukum yang sah sebatas tanggung jawab pengurus
28
Planiol., dalam Ali Rido., Ibid., hal. 9.
29
(40)
yang menjadi tanggung jawabnya menurut AD/ART. Sebaliknya jika badan hukumnya belum sah, maka tanggung jawabnya bersifat pribadi dari orang-orang yang duduk sebagai pengurus.
Perbuatan subjek hukum dapat berupa perbuatan hukum dan bukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum dapat timbul dari perjanjian sedangkan perbuatan yang bukan termasuk perbuatan hukum timbul dari undang-undang, dengan demikian, tanggung jawab timbul dari perjanjian dan berdasarkan undnag-undang.30
Dalam hal pertanggungjawaban badan hukum, setiap orang dalam organ badan hukum tersebut, tidak bertanggung jawab terhadap perbuatan hukum oleh badan hukum, kecuali apabila terbukti karena kelalaiannya perbuatan tersebut menimbulkan kerugian bagi badan itu atau terhadap pihak ketiga. Dengan demikian apabila organ-organ di dalam badan hukum itu telah melakukan secara sah perbuatan tertentu dalam kedudukannya sebagai bagian dari organ badan hukum, dalam arti bukan karena kapasitasnya selaku pribadi, maka organ tersebut telah melakukan tindakan untuk dan atas nama badan hukum tersebut, sehingga tindakan yang demikian telah merupakan tindakan korpoasi.31
Pertanggungjawaban badan hukum atas perbuatan bawahan tidak hanya meliputi segala yang mereka perbuat dalam tugasnya sebagai bawahan, melainkan juga perbuatan-perbuatan yang dimungkinkan oleh fungsi mereka. Jadi
30
Anwar Barohima., Op. cit., hal. 251. Tanggung jawab dapat timbul dari perjanjian dan dari perbuatan melawan hukum. Dalam hal timbul dari perjanjian, maka kerugian harus diganti karena kewajiban utama atau sampingan berdasarkan perjanjian tidak dipenuhi. Sedangkan dalam hal perbuatan melawan hukum, kerugian harus diganti karena pelanggaran suatu norma hukum.
31
(41)
pertanggungjawaban atas perbuatan bawahan itu ada, kalau tugas yang diberikan kepada bawahan itu membuka dan memperluas kemungkinan untuk melakukan perbuatan kesalahan.
Perlu dibedakan antara perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang-orang yang dalam hubungan kerja pada badan hukum, dengan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh organ suatu badan hukum. Untuk perbuatan melawan hukum dari bawahannya yang bukan organ, maka badan hukum bertanggung jawab berdasarkan Pasal 1367 KUH Perdata, sedangkan untuk perbuatan melawan hukum dari organ bukan bawahannya, maka badan hukum itu bertanggung jawab berdasarkan Pasal 1265 KUH Perdata.32
Orang yang duduk dalam organ, dapat bertindak sebagai kualitas organ dan dapat juga bertindak secara pribadi. Apabila organ melakukan tindakan dalam kualitasnya sebagai organ, maka sebagai badan hukum dapat digugat untuk perbuatan-perbuatannya yang melawan hukum yang dilakukan oleh organ-organ dalam badan hukum tersebut. Sebaliknya, jika tindakan yang dilakukan oleh organ dalam kualitasnya sebagai pribadi, maka dengan sendirinya harus ditanggung oleh pribadi sendiri, dan badan hukum itu sama sekali tidak terkait. Hal ini telah menjadi yurisprudensi tetap, yang tidak ditemukan di dalam undang-undang.33
32
Ibid., hal. 252. Pasal 1367 KUH Perdata, “Seorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”. Pasal 1365 KUH Perdata, “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
33
(42)
Dalam segala tindakan, badan hukum dipandang seolah-olah tidak berbeda dengan seorang manusia, termasuk kemungkinan untuk melakukan suatu perbuatan melawan hukum. Akan tetapi dalam perbuatan melawan hukum, ada suatu unsur yang mungkin menimbulkan kesulitan membuktikannya yaitu kesalahan (schuld) yang harus ada pada subjek perbuatan melawan hukum. Kesulitan ini berhubungan erat dengan alam pikiran dan alam perasaan, yang hanya ada dalam tubuh seorang manusia.34
2. Landasan Konsepsional
Guna menghindari perbedaan penafsiran tentang istilah-istilah yang dipakai dalam penulisan ini, definisi operasional dari istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan
diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan
kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota.35
2. Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris
menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UU Jabatan Notaris.36 Akta Notaris adalah surat yang dibuat oleh notaris yang memuat atau menguraikan
34
Wirjono Prodjodikoro., Perbuatan Melawan Hukum Dipandang Dari Sudut Hukum
Perdata, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal. 56. 35
Pasal 1 Angka 1., Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 junto Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan (UU Yayasan).
36
(43)
secara otentik sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh notaris sendiri.37
3. Akibat hukum adalah segala akibat yang timbul karena adanya suatu perbuatan,
sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku.38
4. Perubahan adalah suatu proses suksesi suatu sistem dari keadaan lama yang tidak sesuai lagi pada tempatnya ke keadaan baru dengan tujuan untuk memperbaiki sistem tersebut agar sesuai dengan keadaan perkembangan zaman.39
5. Akta Pendirian adalah surat otentik mengenai keberadaan suatu badan hukum
yang memuat Anggaran Dasar dan keterangan lain yang dianggap perlu tentang badan hukum tersebut.40
6. Kekayaan Yayasan adalah segala harta yang dapat dinilai berupa uang, barang,
maupun kekayaan lain dan memisahkan sebagian harta kekayaan pendirinya sebagai kekayaan awal.41
7. Organ Yayasan adalah bagian-bagian yang penting terdiri atas pembina, pengurus dan pengawas.42
37
R. Soegondo Notodisoerjo., Hukum Notariat Di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hal. 29.
38
Ali Rido., Op. cit., hal. 13.
39
Gatot Supramono., Op. cit., hal. 10.
40
Ibid., hal. 34. lihat juga Pasal 14 Ayat (1) UU Yayasan.
41
lihat Pasal 5 dan Pasal 9 UU Yayasan.
42
(44)
G. Metode Penelitian
Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.43 Sedangkan penelitian merupakan suatu kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten.44 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu
dengan cara menganalisisnya.45 Dengan demikian metode penelitian adalah upaya
ilmiah untuk memahami dan memecahkan suatu masalah berdasarkan metode tertentu.
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif atau penelitian hukum normatif. Yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan
pengadilan.46 Ronald Dworkin menyebut metode penelitian tersebut juga sebagai
penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis
43
Soerjono Soekanto., Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta: Indonesia Hillco, 1990), hal. 106.
44
Soerjono Soekanto., dan Sri Mumadji., Penelitian Hukum Normatif Suatu Tijnjauan
Singkat, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001), hal. 1. 45
Bambang Waluyo., Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 6.
46
(45)
baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it is
decided by the judge through judicial process.47
Aalasan penggunaan penelitian hukum normatif ini, menurut William I. Filstead, adalah didasarkan pada analisis kualitatif dimana terdapat paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan. Penelitian hukum normatif dimaksud adalah yang bersifat kualitatif.48
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, buku, tulisan ilmiah dan karya-karya ilmiah lainnya.
Data pokok dalam penelitian ini adalah data-data sekunder yang meliputi:49
1. Bahan hukum primer, yaitu Undang-Undang Nomor 16 Athun 2001 junto
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2008 tentang Yayasan (UU Yayasan), dan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan UU
47
Ronald Dworkin., dalam Bismar Nasution., ”Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, Makalah, disampaikan pada dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003, hal. 1.
48
William J. Filstead., dalam Bismar Nasution., ibid., hal. 12.
49
Ronny Hanitijo Soemitro., Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hal. 24.
(46)
Yayasan;
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum yang relevan dengan objek telaahan penelitian ini;
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk
dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, majalah dan jurnal ilmiah, surat kabar, artikel bebas dari internet, dan majalah mingguan juga menjadi tambahan bahan bagi penulisan tesis ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan dan melakukan identifikasi data atau kasus-kasus yang ada. Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh pasal-pasal dalam UU Yayasan dan PP Nomor 63 Tahun 2008 yang berisi kaedah-kaedah hukum kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang sedang dihadapi dan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan dalam penelitian ini. Selanjutnya data yang diperoleh tersebut akan dianalisis secara induktif kualitatif
(47)
untuk sampai pada kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini akan dapat dijawab.50
4. Analisis Data
Analisis data dilakukan secara kualitatif yakni pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin, dan pasal-pasal di dalam undang-undang terpenting yang relevan permasalahan. Membuat sistematika dari data-data tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis pula, selanjutnya semua data diseleksi, diolah kemudian dinyatakan secara deskriptif sehingga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang dimaksud.
50
Bambang Sunggono., Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 195-196.
(48)
BAB II
PERUBAHAN AKTA TERHADAP PENDIRIAN YAYASAN SETELAH KELUARNYA UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 JO
UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG YAYASAN
A. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan
Sebelum tahun 2001, peraturan tertulis tentang Yayasan belum ada. Dalam KUH Perdata tidak dijumpai ketentuan mengenai Yayasan. Demikian pula dalam KUH Dagang dan peraturan-peraturan lainnya tidak ada yang mengatur mengenai
Yayasan.51 Namun, pada tahun 1977, Belanda telah memiliki peraturan mengenai
Yayasan. Secara khusus di atur dalam Rechtspersoonen dalam Buku 2 Titel 5 Pasal 289 sampai dengan Pasal 305 yang dilakukan secara sistematis mengenai ketentuan tentang syarat-syarat pendiriannya, kewenangan pengurusnya, dan sebagainya.52
Baru setelah 56 tahun Indonesia merdeka, Negara Republik Indonesia memiliki undang-undang mengenai Yayasan yakni Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang diundangkan pada tanggal 6 Agustus 2001 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Nomor 4132 dan mulai berlaku sejak tanggal 6 Agustus 2002. Jangka waktu yang deberikan Pemerintah atas sosialisasi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 selama satu tahun itu dimaksudkan agar masayarakat mengetahui dan memahami peraturannya dan dapat mempersiapkan
51
Gatot Supramono., Op. cit., hal. 11. disebutkannya bahwa Yayasan sudah lama ada dan telah dikenal manusia sejak awal sejarah. Yayasan dengan tujuan khusus pun seperti keagamaan dan pendidikan sudah sejak lama pula ada.
52
(49)
segala sesuatunya yang berhubungan dengan Yayasan.53
Lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tersebut, dipandang tergolong lama, jika hal itu diukur sejak Negara Indonesia telah merdeka. Kelahirannya seolah-olah menunggu setelah adanya reformasi. Setelah itu juga dikarenakan kemungkinan persoalan Yayasan yang ada dipandang tidak begitu merugikan masyarakat pada umumnya.
Lambatnya membentuk undang-undang Yayasan ini, dapat berakibat lambatnya masyarakat Indonesia untuk menyesuaikan diri terhadap Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tersebut terutama bagi Yayasan yang telah berdiri sebelumnya, karena masyarakat Indonesia telah terbiasa mengelola Yayasan secara tradisional yang mana norma-normanya telah mendarah daging (internalized). Sedangkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 diundangkan untuk melakukan perubahan dalam masyarakat (agent of change) atas paradigma selama ini terhadap Yayasan. Dengan kata lain tujuan diundangkannya undang-undang Yayasan tersebut adalah untuk dapat mengelola Yayasan secara profesional dan mampu berperan maksimal dalam masyarakat Indonesia.
Setelah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 berjalan kurang lebih tiga tahun, kemudian diubah melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 yang diundangkan pada tanggal 6 Oktober 2004 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4430 dan mulai berlaku sejak tanggal 6 Oktober 2005 yakni satu tahun setelah diundangkan. Sebelum diundangkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
53
(50)
2001, belum ada keseragaman tentang cara mendirikan Yayasan. Pendirian Yayasan
hanya didasarkan kepada hukum kebiasaan dalam masyarakat.54 Untuk menghindari
penafsiran dalam penelitian ini, baik Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 maupun Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan hanya disingkat dengan UU Yayasan saja.
Keberadaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan (UU Yayasan), nampak adanya keinginan pemerintah untuk menampung kebutuhan akan pengaturan masalah Yayasan ini.
Prinsip yang ingin diwujudkan dalam ketentuan UU Yayasan adalah kemandirian yayasan sebagai badan hukum, keterbukaan seluruh kegiatan yang dilakukan yayasan, dan akuntabilitas kepada masyarakat mengenai apa yang telah dilakukan oleh yayasan, serta prinsip nirlaba yang merupakan prinsip yang fundamental bagi suatu yayasan.
Hal itu terlihat dari beberapa ketentuan dalam undang-undang tersebut. Misalnya dengan adanya kewajiban pada setiap pendiri yayasan untuk memintakan pengesahan badan hukum kepada Menteri Hukum dan HAM, dan seterusnya setiap ada perubahan mengenai nama dan kegiatan ikhtisar laporan tahunan yang menyangkut keuangan dan kegiatan yayasan dalam tahun yang lampau.
Keinginan pemerintah untuk mengatur dan mengendalikan pendirian dan pengoperasian Yayasan tentunya didasarkan kepada pengalaman di masa lampau,
54
(51)
tatkala banyak Yayasan yang menyalahgunakan segala kemudahan yang diberikan kepada Yayasan. Secara praktis, asumsi demikian memang perlu dibuktikan dengan suatu penelitian khusus. Namun secara kualitatif dapat dirasakan dan juga disaksikan berbagai Yayasan yang disalahgunakan untuk kepentingan tertentu, baik untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan golongan.55
Menurut UU Yayasan, semua Yayasan yang telah berdiri dan didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, atau didaftarkan di pengadilan negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi terkait tetap diakui sebagai badan hukum, dengan ketentuan dalam waktu paling lambat 5 (lima) tahun sejak dimulai berlakunya undang-undang tersebut wajib disesuaikan Anggaran Dasar.
Ada 4 (empat) prinsip yang harus dimiliki Yayasan sesuai dengan harapan UU Yayasan, yakni:
1. Kemandirian Yayasan sebagai badan hukum;
2. Keterbukaan seluruh kegiatan Yayasan; 3. Akuntabilitas publik; dan
4. Prinsip nirlaba.
Menurut UU Yayasan, badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu dalam bidang sosial,
55
Ahmad Rafiq., Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998), hal. 491-492.
(52)
keagamaan, dan kemanusiaan, dan tidak mempunyai anggota.56 Yayasan didirikan dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta kekayaan pendiriannya sebagai kekayaan awal Yayasan.57 Dalam hal Yayasan didirikan berdasarkan surat wasiat, pendirian Yayasan dilakukan dengan akta, notaris oleh penerima wasiat yang bertindak mewakili
pemberi wasiat.58 Apabila dianggap perlu, Menteri dapat meminta pertimbangan
instansi terkait yang ruang lingkup tugasnya meliputi kegiatan Yayasan.
Dalam hal permohonan pengesahan ditolak, Menteri wajib menyampaikan penolakan secara tertulis disertai alasannya. Adapun alasan penolakan adalah permohonan yang diajukan tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam UU Yayasan dan atau peraturan pelaksananya.59 Namun dalam UU Yayasan tidak dikenal adanya “badan pendiri” pada Yayasan seperti selama ini dikenal sebelum adanya UU Yayasan. Namun dalam UU Yayasan hanya memakai istilah “pembina” bukan “badan pembina”, hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kekosongan apabila pendirinya berupa orang-perseorangan meninggal dunia.
56
UU Yayasan., Op. cit., yaitu, “Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota”.
57
Ibid., Pasal 9 Ayat (2), yaitu, “Pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan akta notaris dan dibuat dalam bahasa Indonesia”.
58
Ibid., Pasal 10 Ayat (2)., yaitu, “Dalam hal pendirian Yayasan dilakukan berdasarkan surat wasiat, penerima wasiat bertindak mewakili pemberi wasiat”. Pada bagian penjelasan pasal ini disebutkan, “Apabila terdapat surat wasiat yang berisi pesan untuk mendirikan yayasan, maka hal tersebut dianggap sebagai kewajiban yang ditujukan kepada mereka yang ditunjuk dalam surat wasiat selaku penerima wasiat, untuk melaksanakan wasiat”.
59
Ibid., Pasal 13 Ayat (1)., Dalam hal permohonan pengesahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) ditolak, Menteri wajib memberitahukan secara tertulis disertai dengan alasannya, kepada pemohon mengenai penolakan pengesahan tersebut.
(53)
B. Hakikat Yayasan Sebagai Bentuk Partisipasi Publik
Meskipun gerakan reformasi dinilai belum berhasil sesuai dengan harapan dan cita-cita, tetapi dalam berbagai hal telah menimbulkan berbagai perubahan yang cukup penting, antara lain dalam hal kesadaran akan signifikasinya peranan publik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Roman N. Lendong (Ketua Lembaga Sekretariat Bina Desa) mengemukakan bahwa reformasi menjadi relevan sebagai era timbulnya berbagai inisiatif masyarakat sipil. Organisasi non Pemerintah sebagai pilar kekuatan masyarakat sipil dituntut agar komitmen popularisme dan spirit demokratisasi diwujudkan melalui agenda-agenda konkrit.60
Partisipasi masyarakat yang kuat merupakan salah satu ciri-ciri masyarakat
madani (civil society)61 Indikator masyarakat yang telah menuju pada suatu
masyarakat yang berpartisipasi (participating society) dapat dilihat dari karakteristik sebagai berikut:62
1. Masyarakat yang kritis, masyarakat yang berpartisipasi adalah masyarakat
yang mengetahui masalah yang dihadapinya dan berusaha memecahkan masalah tersebut demi untuk meningkatkan mutu kehidupan masyarakat;
2. Mampu berdiri sendiri; yakni masyarakat yang mengetahui arah hidup dan
perkembangannya termasuk kemampuannya untuk berkomunikasi dan bekerjasama dengan masyarakat lainnya bahkan pada tingkat regional dan internasional; dan
3. Masyarakat yang mau berkarya; yakni masyarakat yang tidak puas dengan apa
yang diberikan orang lain kepadanya, mengetahui akan kemampuannya dan
60
Harian Media Indonesia, tanggal 10 Juni 2002, kolom surat pembaca, hal. 3.
61
H.A.R. Tilaar., Pengembangan Sumber Daya Manusia Dalam Era Globalisasi, (Jakarta: Grasindo, 1997), hal. 230. Masyarakat madani adalah masyarakat yang percaya atas kemampuan para anggotanya untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik serta masyarakat yang sadar akan hak dan kewajibannya.
62
(1)
dibubarkan berdasarkan putusan Pengadilan atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan. Dengan demikian Yayasan yang tidak menyesuaikan anggaran dasarnya baik Yayasan yang telah didaftarkan ke Pengadilan Negeri maupun yang tidak didaftarkan.
B. Saran
Adapun yang menjadi kesimpulan dalam penelitian ini adalah mengharapkan dalam beberapa saran yakni:
1. Perlu dilakukakan pembedaan antara Yayasan yang kekayaannya dari negara atau yang mengelola dana bantuan negara ataupun dana masyarakat dengan Yayasan yang sifatnya pribadi dengan sumber kekayaan dari harta pribadi dan sumber keuangan rutinnya dari sumbangan perusahaan milik pribadi pendirinya.
2. Diharapkan dalam peraturan pelaksana UU Yayasan yakni PP Nomor 63 Tahun 2008 dicantumkan kewajiban yang membuat laporan kepada masyarakat luas hanyalah bagi Yayasan yang didirikan oleh pemerintah ataupun yang kekayaannya berasal dari negara dan yayasan yang mengelola dana masyarakat luas. Sedangkan bagi Yayasan mengelola kekayaan yang berasal dari pribadi pendirinya ataupun sumber keuangan dari perusahaan pribadi pendirinya tidak perlu membuat laporan secara luas.
3. Perlu ada pengawasan yang serius dan terpadu terhadap Yayasan baik oleh Instansi Perpajakan, Kejaksaan dan Instansi lain yang terkait sehubungan dengan
(2)
terhadap UU Yayasan yang sekarang dalam beberapa aspek. Misalnya perlu ditentukan agar pengurus Yayasan diperbolehkan mendapatkan honor maksimal 30% dari kegiatan usaha Yayasan yang mereka kelola dengan tidak mengenyampingkan tujuan sosial Yayasan sebagai tujuan utama.
(3)
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Ais, Chatamarrasjid., Badan Hukum Yayasan, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2006. Ali, Chaidir., Badan Hukum, Bandung: Alumni, 1976.
Borahima, Anwar., Kedudukan Yayasan di Indonesia, Eksistensi, Tujuan dan Tanggung Jawab Yayasan, Jakarta: Prenada Media Group, 2010.
Bregstein, NH., Badan Hukum Yayasan (Suatu Analisis Mengenai Yayasan Sebagai Suatu Badan Hukum Sosial), Bandung: Mandar Madju, 2003.
Chatarrasjid., Tujuan Sosial Yayasan dan Kegiatan Usaha Bertujuan Laba, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.
Marzuki, Peter Muhammad., Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2008.
Muis, Abdul., Yayasan Sebagai Wadah Kegiatan Masyarakat, Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1987.
______Hukum Persekutuan dan Perseroan, Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1995.
Notodisoerjo, R. Soegondo., Hukum Notariat Di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 1992.
Nurtjahno, Hendra., Perkembangan Hukum Nirlaba di Indonesia”, karangan yang dimuat dalam buku Filantropi dan Hukum di Asia, Asia Pasific Philanthropy Consosrtium, Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti, 1999.
Pound, Roscoe., “Social Control Through Law: Jural Postulets”, Cet.1, dikutip dalam Filsafat Hukum dari Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia, 2001.
Prodjodikoro, Wirjono., Perbuatan Melawan Hukum Dipandang Dari Sudut Hukum Perdata, Bandung: Mandar Maju, 2000.
______Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertentu, Bandung: Sumur, 1995. Rafiq, Ahmad., Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998. Rido, Ali., Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan,
Yayasan, Wakaf, Bandung: Alumni, 2001.
Rita M., Risiko Hukum Bagi Pembina, Pengawas, dan Pengurus Yayasan, Jakarta: Forum Sahabat, 2009.
(4)
Simon, John G., Pajak dan Subdisi : Penggerak Sektor Nirlaba”, dalam Buku Filantropi Hukum di Asia, Bandung: Alumni, 2000.
Sirait, Ningrum Natasya., Modul II : Hukum Perusahaan, Medan: Program Magister Manajemen PPs-USU, 2002.
______Modul Hukum Perusahaan Magister Manajemen, Medan: PPs-USU, 2001. Silk, Thomas., Perbandingan Sistem Hukum di Sepuluh Negara Asia Pasifik,
karangan yang dimuat dalam buku Filantropi dan Hukum Di Asia, Asia Pasific Philanthropy Consortium, Jakarta: Ghalia, 1999.
Sudewi, Sri., Hukum dan Pribadi, Yogyakarta: Gajah Mada, 2004.
Soekanto, Soerjono., Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, Jakarta: Indonesia Hillco, 1990.
Soekanto, Soerjono., dan Sri Mumadji., Penelitian Hukum Normatif Suatu Tijnjauan Singkat, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001.
Soemitro, Ronny Hanitijo., Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982.
Soeroredjo, Hayati., Hukum Yayasan Di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Soemitro, R., Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan, dan Wakaf, Bandung: Eresco, 1993.
Soeroredjo, Hayati., Status Hukum Dari Yayasan dalam Kaitannya Dengan Penataan Badan-Badan Usaha di Indonesia, Makalah, Jakarta.
Soemitro, Rochmat., Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf Bandung: Alumni, 2002.
Subekti, R., Hukum Pembuktian., Jakarta: Pradnya Paramita, 1977.
Suhardiadi, Arie Kusumastuti Maria., Hukum Yayasan di Indonesia, Jakarta: PT. Abadi, 2003.
Sunggono, Bambang., Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Supramono, Gatot., Hukum Yayasan di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2008.
Tilaar, H.A.R., Pengembangan Sumber Daya Manusia Dalam Era Globalisasi, Jakarta: Grasindo, 1997.
Tobing, G.H.S. Lumban., Beberapa Tinjauan Mengenai Yaysan (Stichting), Surakarta: Fakultas Hukum, 2002.
(5)
Tobing, G.H.L., Beberapa Tinjauan Tentang Yayasan, dalam Metode Notariat, Jakarta: Lakatan Notariat Indonesia, 1992.
Tungadi, Tahir., Hukum Benda, Makassar: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin, 1975.
Waluyo, Bambang., Penelitian Hukum dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 1996. Widjaya, Gunawan., Yayasan Di Indonesia Suatu Panduan Komprehensif, Jakarta;
PT. Elexmedia Komputindo, 2001. B. Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 junto Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan (UU Yayasan).
Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksana UU Yayasan. C. Makalah dan Jurnal
Amal, M. Adnan., ”Yayasan Sebagai Badan Hukum-Sebuah Fenomena”, dalam Varia Peradilan Tahun IV No. Juni 1989.
Atmadja, Arifin P. Soeria., “Aspek Pengelolaan Keuangan Yayasan”, Makalah yang disampaikan pada lokakarya mengenai Rancangan Undang-Undang Yayasan yang diselenggarakan bersama Universitas Sumatera Utara, Universitas Indonesia, dan University of South Carolina di Universitas Sumatera Utara, Medan tanggal 4 November 2000.
Nasution, Bismar., ”Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, Makalah, disampaikan pada dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003.
Nurtjahjo, Hendra., “Perkembangan Hukum Nirlaba di Indonesia“, Artikel dalam buku Filantropi Dan Hukum di Asia Pacipic Philathropy Concortium, Jakarta, Ghalia, 1999.
Purba, Rehngena., “Perlunya Undang-Undang Tentang Yayasan”, Makalah, disampaikan pada Lokakarya, Rancangan Undang-Undang Yayasan, di Universitas Sumatera Utara Medan, tanggal 4 November 2000.
Setiawan., “Tiga Aspek Yayasan”., Varia Peradilan, Tahun V No. 55 April 2000. Tumbuan, Fred B.G., “Yayasan Dahulu dan Sekarang (Suatu Tinjauan Sosio
Filosifi)“, Makalah Disampaikan pada Lokakarya Sosiologi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan Beserta Pemikiran Mengenai Model Akta, bekerja sama dengan Pengurus Daerah Ikatan Notaris Indonesia DKI Jakarta, tahun 2001.
(6)
142
http://herman-notary.blogspot.com/2009/03/sanksi-hukum-terhadap-akta-otentik-yang.hm., diakses terakhir tanggal 20 Juli 2010.
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:X_bcGicxsRUJ:bataviase.co .id/detailberi, diakses terakhir tanggal 20 Juli 2010.
http://id.wikipedia.org/wiki/Wikipedia:Pengurus_yayasan, diakses terakhir tanggal 18 Juli 2010.
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:sVevHRDfJ9MJ:irmadevita. com/, diakses terakhir tanggal 28 Juli 2010.
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:sVevHRDfJ9MJ:irmadevita. com/, diakses terakhir tanggal 28 Juli 2010.
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:X_bcGicxsRUJ:bataviase.co .id/det, diakses terakhir tanggal 20 Juli 2010.
http://irmadevita.com/category/yayasan, diakses terakhir tanggal 28 Juli 2010.
http://webcache.googleusercontent.com/se?q=cach+yayasan+soeharto&cd, diakses terakhir tanggal 30 Juli 2010.
http://id.wikipedia.org/wiki/Nirlaba, diakses terakhir tanggal 16 Agustus 2010. E. Surat Kabar
Harian Kompas, tanggal 27 Oktober 2000. Harian Media Indonesia, tanggal 10 Juni 2002.