ANALISIS PENERAPAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2 TAHUN 2012 TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN (Studi Kasus Perkara Nomor 798/PID.B/2012/PN.TK)

Abstrak

ANALISIS PENERAPAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR 2 TAHUN 2012 TERHADAP TINDAK
PIDANA PENCURIAN
(Studi Kasus Perkara Nomor 798/PID.B/2012/PN.TK)

OLEH
CARLOS SAMUEL KAIFU

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan
Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP memberikan ketentuan
mengenai nilai barang atau uang yang menjadi obyek perkara pencurian,
penipuan, penggelapan, dan penadahan tidak lebih dari Rp.2.500.000 maka ketua
pengadilan segera menetapkan hakim tunggal untuk memeriksa, mengadili dan
memutus perkara tersebut dengan acara pemeriksaan cepat, dalam putusan
pengadilan nomor 798/PID.B/2012/PN.TK telah terjadi tindak pidana pencurian
dengan nilai kerugian yang dialami korban tidak melebih Rp.2.500.000. adapun
permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah penerapan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 terhadap tindak pidana pencurian dalam
perkara nomor 798/PID.B/2012/PN.TK dan apakah yang menjadi faktor

penghambat penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012
terhadap tindak pidana pencurian dalam perkara nomor 798/PID.B/2012/PN.TK.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data
diperoleh dengan cara wawancara menggunakan pedoman tertulis terhadap
responden yang telah ditentukan. Penelitian dilakukan di wilayah hukum
Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang.
Hasil penelitian dan pembahasan disimpulkan bahwa tidak diterapkannya
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 dalam perkara nomor
798/PID.B/2012/PN.TK disebabkan oleh faktor tindak pidana yang dilakukan dan
ketentuan pasal yang dilanggar oleh terdakwa. Faktor penghambat penerapan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 terletak pada faktor peraturan
mahkamah agung itu sendiri yang hanya berlaku pada lingkungan pengadilan saja,
serta terletak pada faktor penegak hukum yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan,
dan pengadilan.

Carlos Samuel Kaifu
Penulis memberikan saran bagi hakim khususnya terhadap penjatuhan perkara
nomor 798/PID.B/2012/PN.TK untuk dapat lebih memperhatikan nilai barang
atau uang yang menjadi objek perkara sebagaimana ditentuan dalam Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012, sehingga terbitnya peraturan tersebut

dapat benar-benar diimplementasikan sebagai bentuk restorative justice dengan
tujuan menata kembali mengenai pemidanaan agar dirasa lebih adil bagi terdakwa,
korban, keluarga terdakwa, keluarga korban maupun masyarakat. Untuk
meminimalkan adanya faktor-faktor penghambat dalam penerapan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012, maka disarankan kepada institusi
pengadilan, kepolisian, dan kejaksaan untuk membuat suatu nota kesepahaman
(MOU) yang didalamnya memuat kerangka acuan terkait dengan penyelesaian
perkara yang dikategorikan sebagai tindak pidana ringan, serta dalam penanganan
perkara tersebut mengedepankan penyelesaian perkara diluar persidangan dan
mengedepankan restorative justice bagi pelaku tindak pidana ringan, sehingga
dengan diterbitkannya peraturan Mahkamah Agung tersebut benar-benar dapat
dilaksanakan oleh seluruh instrumen penegak hukum.
Kata Kunci : Penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012

ANALISIS PENERAPAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR
2 TAHUN 2012 TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN
(Study Kasus Perkara Nomor 798/PID.B/2012PN.TK)

Oleh


Carlos Samuel Kaifu

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung

UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2015

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di DKI Jakarta pada tanggal 6 Mei 1990,
penulis merupakan anak Pertama dari tiga bersaudara dari
pasangan Bapak Boike Sitorus, S.Pd dan Ibu Rosminar
Manurung, S.Pd.
Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD

Katolik Harapan Bunda pada tahun 2002. Kemudian
penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 234 Jakarta
lulus pada tahun 2005. Penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri 10
Bekasi lulus pada tahun 2008. Pada Tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan
sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Lampung.

PERSEMBAHAN
Aku mempersembahkan karya ini kepada:
Bapakku tersayang Boike Sitorus, S.Pd.
Mamaku tercinta Rosminar Manurung, S.Pd.
Yang telah memberikan dukungan dan doa serta
harapan demi keberhasilanku kelak.
Kepada Adik laki-laki ku dan adik perempuan ku
yang ku kasihi Darwin Yan Gunawan dan Elisabeth
Maya Rosa
serta Keluarga besar yang selalu berdoa dan
berharap demi keberhasilanku dalam meraih citacita.

Almamamaterku tercinta Fakultas Hukum
Angkatan 2008

Universitas Lampung

MOTO
Un Vero Cavaliere Non Lascia Mai Una
Signora
(Alessandro Del Piero)

“Temukan Apa Yang Anda Takut, Hadapi
Itu, Dan Kemudian Anda Tidak Akan Takut
Lagi.”
(Marilyn Manson)

Kata “Tuhan” diciptakan untuk menakuti
Manusia, agar percaya ada yang lebih agung,
lebih superior, lebih berkuasa diatas manusia
itu sendiri. Tidak ada Tuhan! Tuhan ialah
Dirimu Sendiri.
(Penulis)

SANWACANA


Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat

dan

anugerah-Nya

penulis

dapat

menyelesaikan

skripsi

yang

berjudul“Analisis Penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2
Tahun2012 Terhadap Tindak Pidana Pencurian (Study Kasus Perkara

Nomor 798/PID.B/2012PN.TK)”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat
akademis untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
Terselesaikannya penulisan skripsi ini tidak terlepas dari hambatan yang datang
baik dari dalam ataupun luar diri penulis. Penulisan skripsi ini juga tidak lepas
dari bimbingan dan bantuan serta arahan dari berbagai pihak, oleh karena itu
Penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1.

Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum, Universitas
Lampung

2.

Ibu Diah Gustiniati M, S.H., M.H., selaku Ketua Jurusan Hukum Pidana,
Fakultas Hukum, Universitas Lampung.

3.

Bapak Dr. Maroni, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Utama terima

kasih atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam
proses penyelesaian skripsi ini.

4.

Bapak Rinaldy Amrullah, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Kedua atas
bimbingan dan pengarahannya yang sangat berharga dalam proses
penyelesaian skripsi ini.

5.

Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas Utama yang telah
memberikan kritikan dan masukan yang luar biasa untuk menyempurnakan
skripsi ini.

6.

Ibu Dona Raisa Monica, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahasa Kedua atas
ketersediaannya


meluangkan

waktu,

tenaga

dan

pikirannya

untuk

memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi
ini.
7.

Ibu HJ. Aprilianti, S.H., M.H., Selaku Pembimbing Akademik yang dengan
ikhlas telah memberikan bimbingan serta arahan selama penulis menjadi
mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.


8.

Seluruh Dosen Fakultas Hukum yang telah mengajar dan memberikan ilmu
yang bermanfaat.

9.

Teristimewa untuk kedua orang tuaku tersayang bapakuBoike Sitorus, S.Pd
dan Mamaku Rosminar Manurung, S.Pd, untuk doa, kasih sayang, dukungan,
motivasi, dan pengajaran yang telah kalian berikan dari aku kecil hingga saat
ini, yang begitu berharga dan menjadi modal bagi kehidupan ku.

10. Adik-adikku ku Darwin Yan Gunawan dan Elisabeth Maya Rosa yang selalu
menjadi tawa dan obat rinduku dikala rindu dengan keluarga.
11. Keluarga besarku yang selalu berdoa untukku serta dukungan dan
motivasinya, terutama kepada tulang dan nantulang yang ada di Sibolga,
terima kasih atas segalanya.

12. Abang abang terbaik yang pernah terlahir di dunia ini, Jono Parulian
Sitorus,S.H., Roy Imanuel Siagian,S.H., Obey Pangihutan Tambunan,S.H.,

Manatar

Capri

Sitanggang,S.H.,

Daniel

siagian,S.H.,

Boris

Bess

Gurning,S.H., Richie Mulia Radja,S.H., Raja Mangaliat Manik,S.H., Ferry
Aditia Hutajulu,S.H.,terimakasih telah mengajarkan arti sebuah persahabatan
selama ini kepadaku, kiranya kita bisa menjadi saudara selamanya.
13. Teman – teman Mahasiswa Fakultas Hukum, yang tidak dapat disebutkan
satu persatu terimakasih untuk bantuan, kebersamaan, kekompakan, semoga
selepas dari perkuliahan ini kita masih tetap jalin komunikasi yang baik, tetap
semangat Viva Justicia Hukum Jaya.
14. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yan telah banyak
membantu sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai.

Apabila terdapat kekurangan dalam penulisan maupun pada penyusunan skripsi
ini, maka penulis menerima saran, masukan, dan kritik dari pembaca sebagai
perbaikan skripsi ini. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Bandar Lampung, 25 Juni 2015
Penulis

CARLOS SAMUEL KAIFU

DAFTAR ISI

I.

II.

PENDAHULUAN

Halaman

A.

Latar Belakang Masalah ..............................................................

1

B.

Permasalahan dan Ruang Lingkup .............................................

7

C.

Tujuan dan Kegunaan .................................................................

8

D.

Kerangka Teoritis dan Konseptual ..............................................

9

E.

Sistematika Penulisan .................................................................

16

TINJAUAN PUSTAKA

A.

Pengertian Tindak Pidana ...........................................................

18

B.

Unsur-Unsur Tindak Pidana ......................................................

25

C.

Kedudukan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012

D.

Dalam Pemeriksaan Peradilan Pidana ........................................

26

Putusan Hakim ...........................................................................

28

III. METODE PENELITIAN

A.

Pendekatan Masalah ....................................................................

33

B.

Sumber dan Jenis Data ................................................................

34

C.

Penentuan Populasi dan Sampel ..................................................

35

D.

Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ...............................

36

E.

Analisis Data ...............................................................................

37

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Narasumber ………………………………………………. 39
B. Gambaran Umum Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang
Nomor 798/PID.B/2012/PN.TK dan Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana
Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP ……………………………….. 40
C. Penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 Terhadap
Tindak Pidana Pencurian dalam Perkara Nomor
798/PID.B/2012/PN.TK ………………………………....................…... 45
D. Faktor Penghambat Penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2
Tahun 2012 Terhadap Tindak Pidana Pencurian dalam Perkara Nomor
798/PID.B/2012/PN.TK ….................................................................

55

V. PENUTUP
A. Simpulan …………………………………………………………………. 63
B. Saran ……………………………………………………………………… 64
DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembangunan nasional merupakan proses modernisasi yang membawa dampak
positif dan dampak negatif, dampak positif yang timbul adalah semakin maju dan
makmur kondisi ekonomi, sosial maupun politik, sedangkan dampak negatif yang
timbul antara lain adanya kesenjangan dalam masyarakat, terutama kesenjangan
sosial yang dalam hal ini dapat menimbulkan rasa iri atau dengki yang
mengakibatkan adanya keinginan untuk memperkecil kesenjangan apabila dalam
usahanya ia tidak mampu untuk bersaing dalam menghadapi kesenjangan tersebut
maka orang akan cenderung melakukan perbuatan-perbuatan yang sekiranya dapat
menguntungkan orang tersebut meskipun disadari bahwa perbuatan yang
dilakukan adalah perbuatan yang dilarang oleh undang-undang.

Tindak pidana pencurian merupakan suatu persoalan yang tidak hanya dialami
oleh masyarakat atau negara berkembang saja tetapi juga oleh masyarakat atau
negara yang maju, bahkan pada realitanya perkembangan masyarakat yang pesat
mempunyai peluang besar menimbulkan tindak pidana pencurian. Berbagai faktor
penyebab timbulnya tindak pidana pencurian perlu untuk dicari sebab-sebabnya
karena bentuk tindak pidana pencurian tergolong kejahatan yang sulit diatasi,
disamping pengaruh ekonomi faktor lingkungan juga mempengaruhi timbulnya

2

tindak pidana pencurian terutama lingkungan di kota-kota besar yang mengalami
pergeseran budaya dari tradisional menuju kehidupan modernisasi, disamping itu
tingkat sosial yang berbeda dalam masyarakat juga dapat menyebabkan timbulnya
tindak pidana pencurian.

Tindak pidana pencurian merupakan salah satu jenis kejahatan terhadap kekayaan
manusia dan menjadi masalah yang tidak ada habisnya dalam kehidupan
masyarakat, Pasal 362 KUHP memberikan rumusan mengenai pencurian, yaitu
barang siapa mengambil suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang
lain dengan maksud untuk dimilik secara melawan hukum diancam karena
pencurian dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling bayak
sembilan ratus rupiah.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana membagi dua macam perbuatan pidana
yaitu kejahatan dan pelanggaran, kejahatan diatur dalam buku ke dua, sedangkan
pelanggaran diatur dalam buku ke tiga. Pada dasarnya kedua macam perbuatan
pidana tersebut masing-masing mempunyai konsekuensi tersendiri yang tidak
sama dan memiliki ancaman hukuman yang berbeda-beda, akan tetapi setiap
ancaman hukuman tidak menjadi penghalang seseorang untuk tidak melakukan
kejahatan atau pun pelanggaran. 1

Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang, maka dalam upaya
pemberian sanksi terhadap orang tersebut dilakukan melalui proses pemeriksaan
yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana diantaranya yaitu

1

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta,PT.Raja Grafindo,2010,hlm 45.

3

pemeriksaan biasa, pemeriksaan singkat, pemeriksaan cepat, dan pemeriksaan
pelanggaran lalu lintas.

Pemeriksaan cepat dapat dilakukan terhadap perkara tindak pidana ringan dengan
ketentuan bahwa tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara
atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh
ribu lima ratus rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 205 Ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, disamping itu Pasal 364 Kitab UndangUndang Hukum Pidana memberikan batasan terhadap tindak pidana pencurian
terhadap barang yang dicuri harganya tidak lebih dari dua puluh lima rupiah
diancam karena pencurian ringan.

Seiring dengan perkembangan zaman, manusia memerlukan peraturan yang sesuai
dengan perkembangan zaman tersebut, salah tugas pemerintah dalam suatu negara
adalah

merumuskan

peraturan-peraturan

yang

tujuan

utamanya

adalah

mewujudkan keadilan, kepastian dan kemanfaatan bagi masyarakat. Hal tersebut
tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 bahwa negara kita berdasarkan hukum,
namun hukum itu akan menjadi cacat bila penerapannya hanya tajam ke bawah
dan tumpul ke atas seperti kasus pencurian sandal jepit, biji kakau atau jenis
pencurian dengan nilai barang yang tidak terlalu besar, dalam menangani kasus
demikian ini hakim dituntut untuk lebih jeli dalam menerapkan hukum dan tidak
melihat seperti kaca mata kuda tetapi harus melihat secara luas.

Ketentuan mengenai nominal uang yang dimaksud dalam ketentuan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dirasa sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan dan keadaan saat ini, oleh sebab itu pada tanggal 27 Februari 2012

4

Mahkamah Agung telah mengeluarkan peraturan Nomor 2 Tahun 2012 Tentang
Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP,
berdasarkan ketentuan Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012
ditentukan bahwa kata-kata dua ratus lima puluh rupiah yang termuat dalam Pasal
364, Pasal 373, Pasal 379, Pasal 384, Pasal 407 dan Pasal 482 KUHP dibaca
menjadi Rp 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah).

Selain pengaturan terhadap nilai barang, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2
Tahun 2012 juga mengatur beberapa ketentuan yang merupakan penyesuaian
ketentuan dalam KUHP mengenai nilai denda, pasal yang dimaksud adalah Pasal
303 Ayat (1) dan (2) KUHP serta Pasal 303 bis Ayat (1) dan (2) KUHP dengan
nilai denda yang dilipatgandakan menjadi seribu kali, disamping itu juga
mengatur mengenai penahanan terhadap tersangka yang melakukan tindak pidana
ringan, dalam ketentuan Pasal 2 Ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2
Tahun 2012 menentukan apabila terhadap terdakwa sebelumnya dikenakan
penahanan ketua pengadilan tidak menetapkan penahanan ataupun perpanjangan
penahanan.

Terbitnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 pada tanggal 27
Februari 2012 sudah sepatutnya untuk dijadikan acuan bagi setiap penegak hukum
dalam menangani tindak pidana ringan khususnya terhadap tindak pidana
pencurian, namun dalam prakteknya masih ditemukan adanya penerapan hukum
terhadap tindak pidana pencurian yang tidak memperhatikan ketentuan dalam
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 khususnya terhadap nilai suatu
barang yang dicuri oleh pelaku tindak pidana pencurian, salah satu contoh perkara

5

yang terjadi di Bandar Lampung sebagaimana termuat dalam Putusan Pengadilan
Negeri Kelas IA Tanjung Karang dengan nomor perkara 798/PID.B/2012/PN.TK.

Kronologis kejadian tindak pidana tersebut bermula ketika terdakwa Susanto dan
Mad Adi pada tanggal 2 Juli 2012 dari Teluk Betung bermaksud untuk pergi ke
daerah Ratu Langi dengan mengendarai sepeda motor yang dikemudikan oleh
Susanto sedangkan Mad Adi membonceng, pada saat para terdakwa sampai di
pertigaan lampu merah RSU Abdul Muluk melihat korban yang berada ditepi
jalan sedang memegang handphone, maka para terdakwa langsung menghampiri
korban dan mengambil handphone tersebut serta langsung melajukan sepeda
motor dengan kecepatan tinggi atas tindakan yang dilakukan para terdakwa maka
korban berteriak meminta pertolongan kepada orang yang ada di sekitar lokasi
tersebut dan selanjutnya para terdakwa di kejar oleh Taufik Hidayat hingga
tertangkap dan dibawa ke Polresta Bandar Lampung, atas dasar perbuatan para
terdakwa, korban telah mengalami kerugian sebesar Rp. 500.000 (lima ratus ribu
rupiah).

Terhadap tindak pidana yang dilakukan para terdakwa tersebut, Jaksa Penuntut
Umum memberikan dakwaan kepada para terdakwa dengan bentuk dakwaan
subsidaritas diantaranya adalah dakwaan primer melanggar Pasal 365 Ayat (2)
KUHP dan dakwaan subsidair melanggar Pasal 363 Ayat (1) ke 4 dan 5 KUHP.
Berdasarkan pemeriksaan di persidangan, dengan mempertimbangkan dakwaan
yang diajukan oleh jaksa penuntut umum, maka Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Tanjung

Karang

yang

memeriksa

dan

mengadili

perkara

nomor

798/PID.B/2012/PN.TK, memutus terdakwa melanggar 365 Ayat (2) KUHP

6

sebagaimana dimaksud dalam dakwaan primer Jaksa Penuntut Umum dan
menghukum para terdakwa dengan pidana penjara selama 11 bulan.

Berdasarkan uraian kronologis tersebut diatas diketahui bahwa telah terjadi
pencurian yang dilakukan oleh para terdakwa dengan nilai barang sebesar Rp
500.000 (lima ratus ribu rupiah), dalam proses penerapan hukum terhadap para
terdakwa Majelis Hakim memandang bahwa para terdakwa layak untuk
dijatuhkan pidana penjara selama 11 bulan karena telah melanggar ketentuan
Pasal 365 Ayat (2) KUHP, namun disisi lain hakim kurang memperhatikan
adanya ketentuan dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012
tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam
KUHP khususnya yang termuat dalam Pasal 1 dan Pasal 2 peraturan tersebut yang
mewajibkan setiap hakim untuk memperhatikan nilai barang yang menjadi objek
perkara.

Penerapan pidana yang dimaksud dalam perkara nomor 798/PID.B/2012/PN.TK
perlu untuk diadakan suatu tinjauan yuridis guna mengetahui bagaimana
mekanisme dalam pemidanaan terhadap terdakwa dengan mengkaji undangundang yang dilanggar oleh terdakwa yakni Pasal 365 Ayat (2) KUHP yang
disesuaikan dengan ketentuan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012.

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian dan menuangkan dalam tulisan yang berbentuk skripsi
dengan judul “Analisis Penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun
2012 terhadap Tindak Pidana Pencurian (Studi Kasus Perkara Nomor
798/PID.B/2012/PN.TK)”.

7

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian yang dikemukakan dalam latar belakang maka peneliti
mengangkat permasalahan sebagai berikut :

a. Bagaimanakah penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012
terhadap

tindak

pidana

pencurian

dalam

perkara

nomor

798/PID.B/2012/PN.TK ?

b. Apakah yang menjadi faktor penghambat penerapan Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 2 Tahun 2012 terhadap tindak pidana pencurian dalam perkara
nomor 798/PID.B/2012/PN.TK ?

2. Ruang Lingkup

Untuk membahas permasalahan dalam skripsi ini agar tidak terlalu meluas dan
salah penafsiran maka penulis membatasi ruang lingkup penelitian terhadap
penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 terhadap tindak
pidana pencurian yang terjadi di Bandar Lampung dan telah diputus oleh
Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang dengan nomor perkara
798/PID.B/2012/PN.TK.

8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk :

a. Mengetahui dan memahami secara jelas mengenai penerapan peraturan
mahkamah agung nomor 2 tahun 2012 terhadap tindak pidana pencurian dalam
perkara nomor 798/PID.B/2012/PN.TK

b. Mengetahui dan memahami secara jelas mengenai faktor penghambat
penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 terhadap tindak
pidana pencurian dalam perkara nomor 798/PID.B/2012/PN.TK

2. Kegunaan Penelitian

Bertitik tolak dari tujuan penelitian atau penulisan skripsi itu sendiri, penelitian ini
mempunyai dua kegunaan yaitu dari sisi teoritis dan praktis, adapun kegunaan
keduanya dalam penelitian ini adalah :

a. Kegunaan Teoritis

Hasil penulisan ini diharapkan dapat memperluas cakrawala serta dapat menjadi
bahan referensi dan dapat memberikan masukan-masukan disamping undangundang dan peraturan perundang-undangan terkait bagi penegak hukum, lembaga
permasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan
serta masyarakat umumnya atas hasil analisis penerapan Peraturan Mahkamah

9

Agung Nomor 2 Tahun 2012 terhadap tindak pidana pencurian (studi kasus
perkara nomor 798/PID.B/2012/PN.TK)

b. Kegunaan Praktis

Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan teoritis dan rujukan
bagi penegak hukum, masyarakat, dan pihak-pihak terkait dalam menangani
permasalahan tindak pidana pencurian, selain itu sebagai informasi dan
pengembangan teori dan tambahan kepustakaan kepustakaan bagi praktisi maupun
akademisi.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil
pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan
identifikasi dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.2

Penegakan hukum pidana merupakan tugas komponen-komponen aparat penegak
hukum yang tergabung dalam sistem peradilan pidana dengan tujuan untuk
melindungi dan menjaga ketertiban masyarakat.

Sistem peradilan pidana dapat dikaji melalui tiga pendekatan, yaitu :
a. Pendekatan normatif, memandang komponen-komponen aparatur
penegak hukum dalam sistem peradilan pidana merupakan institusi
pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang beraku, sehingga

2

Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta,1984,hlm 124.

10

komponen-komponen ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
sistem penegakan hukum.
b. Pendekatan administrasi, memandang komponen-komponen aparatur
penegak hukum sebagai suatu management yang memiliki mekanisme
kerja, baik hubungan yang bersifat horisontal maupun hubungan yang
bersifat vertikal sesuai struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi
tersebut.
c. Pendekatan sosial, memandang memandang komponen-komponen
aparatur penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
suatu sistem sosial, hal ini memberi pengertian bahwa seluruh
masyarakat ikut bertanggungjawab atas keberhasilan atau tidak
terlaksananya tugas dari komponen-komponen aparatur penegak hukum
tersebut.3

Kedudukan Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi dari semua
lingkungan peradilan yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh
pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain, berdasarkan ketentuan Pasal 79 UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyatakan bahwa
“Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi
kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup
diatur dalam undang-undang ini”.

Penjelasan terhadap ketentuan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung adalah “apabila dalam jalannya peradilan terdapat
kekurangan atau kekosongan hukum dalam suatu hal, Mahkamah Agung
berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau
kekosongan tadi, dengan undang-undang ini Mahkamah Agung berwenang
menentukan pengaturan tentang cara penyelesaian suatu soal yang belum atau
tidak diatur dalam undang-undang ini. Dalam hal ini peraturan yang dikeluarkan
3

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana Prenada Media Group Jakarta, 2001,
hlm 17.

11

oleh Mahkamah Agung dibedakan dengan peraturan yang disusun oleh
pembentuk undang-undang, penyelenggaraan peradilan yang dimaksudkan
undang-undang ini hanya merupakan bagian dari hukum acara secara keseluruhan,
dengan demikian Mahkamah Agung tidak akan mencampuri dan melampaui
pengaturan tentang hak dan kewajiban warga negara pada umumnya dan tidak
pula mengatur sifat, kekuatan, alat pembuktian serta penilaiannya atau pun
pembagian beban pembuktian”.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka Mahkamah Agung memiliki kewenangan
untuk menerbitkan sebuah peraturan yang berbentuk Surat Edaran Mahkamah
Agung

(SEMA)

merupakan

pengaturan

bersifat

bimbingan

dalam

penyelenggaraan peradilan yang bersifat administrasi dan Peraturan Mahkamah
Agung (PERMA) merupakan pengaturan bersifat hukum beracara.

Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan
mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak
tanpa kecuali, sehingga tidak ada satu pun pihak yang dapat mengintervensi
hakim dalam menjalankan tugasnya tersebut. Hakim dalam menjatuhkan putusan,
harus mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara
yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku,
sampai kepentingan pihak korban maupun keluarganya serta mempertimbangkan
pula rasa keadilan masyarakat.

Penjatuhkan putusan oleh hakim terdapat teori atau pendekatan yang dapat
digunakan oleh hakim, yaitu sebagai berikut :

12

a. Teori Keseimbangan
Yang dimaksud keseimbangan disini adalah keseimbangan antara syaratsyarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak
yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti
adanya keseimbangan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat,
kepentingan terdakwa, dan kepentingan korban, atau kepentingan pihak
penggugat dan tergugat;
b. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi
Dalam penjatuhan putusan, hakim akan menyesuaikan dengan keadaan
dan hukum yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, pendekatan seni
dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu putusan, lebih
ditentukan oleh intuisi dari pada pengetahuan hakim;
c. Teori Pendekatan Keilmuan
Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam
memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi
semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan
juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang
harus diputusnya;
d. Teori Pendekatan Pengalaman
Pengalaman seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya
dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya, karena dengan
pengalaman tersebut, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana
dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara, yang
berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat;
e. Teori Ratio Decidendi
Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang
mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara
yang relevan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang
relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum
dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangn hakim harus didasarkan
pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan
keadilan bagi para pihak yang berperkara
f. Teori Kebijaksanaan
Teori ini mempunyai beberapa tujuan, yaitu sebagai upaya perlindungan
terhadap masyarakat dari suatu kejahatan yang dilakukan oleh pelakunya,
sebagai upaya represif agar penjatuhan pidana membuat jera, sebagai
upaya preventif agar masyarakat tidak melakukan tindak pidana

13

sebagaimana yang dilakukan oleh pelakunya, mempersiap mental
masyarakat dalam menyikapi suatu kejahatan dan pelaku kejahatan
tersebut. 4
Teori tujuan pemidanaan pada umumnya ada 3 (tiga) teori yang sering digunakan
dalam mengkaji tentang tujuan permidanaan yaitu :

1. Tujuan pemidanaan menurut teori Absolut/pembalasan, antara lain :
a. Tujuan pemidanaan hanyalah sebagai pembalasan;
b. pembalasan adalah tujuan utama dan didalamnya tidak mengandung
sarana-sarana untuk tujuan lain seperti kesejahteraan masyarakat;
c. kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pemidanaan;
d. pidana harus sesuai dengan kesalahan si pelanggar;
e. pidana melihat kebelakang, ia sebagai pencelaan yang murni dan
bertujuan tidak untuk memperbaiki, mendidik dan meresosialisasi
pelaku.
2. Tujuan pemidanaan menurut teori relative/tujuan, antara lain :
a. Tujuan pemidanaan adalah pencegahan;
b. pencegahan bukan sebagai tujuan akhir tapi hanya sebagai sarana
untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan
masyarakat;
c. hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan
kepada pelaku saja, misalnya kesengajaan atau kelalaian yang
memenuhi syarat untuk adanya pidana;
d. pemidanaan harus ditetapkan berdasarkan tujuan sebagai alat
pencegahan kejahatan;
e. pemidanaan melihat kedepan, atau bersifat prospektif.
3. Tujuan pemidanaan menurut teori integratif/gabungan, teori ini
menganggap pemidanaan sebagai unsur penjeraan dibenarkan tetapi tidak
mutlak dan harus memiliki tujuan untuk membuat si pelaku dapat berbuat
baik dikemudian hari.5

Tujuan pidana/pemidanaan apabila bertolak dari tujuan nasional harus dikaitkan
dengan 4 (empat) aspek atau ruang lingkup dari perlindungan masyarakat, yaitu :

4

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Jakarta, 2010, hlm 105112.
5
Nandang Sambas, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia. Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010,
hlm 15-16.

14

1. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap perbuatan anti sosial
yang merugikan dan membahayakan masyarakat. Bertolak dari aspek ini,
maka tujuan pemidanaan (penegakan hukum pidana) adalah mencegah
dan menanggulangi kejahatan.
2. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap sifat berbahayanya
seseorang. Oleh karena itu, pidana/hukum pidana bertujuan memperbaiki
si pelaku kejahatan atau berusaha merubah dan mempengaruhi tingkah
lakunya agar kembali patuh pada hukum dan menjadi warga masyarakat
yang baik dan berguna.
3. Masyarakat memerlukan pula perlindungan terhadap penyalahgunaan
sanksi atau reaksi dar penegak hukum maupun dari warga masyarakat
pada umumnya, oleh karena itu wajar pula apabila tujuan pidana harus
mencegah terjadinya perlakuan atau tindakan yang sewenang-wenang di
luar hukum (tidak manusiawi).
4. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap keseimbangan atau
keselarasan berbagai kepentingan dan nilai yang terganggu sebagai
akibat dari adanya kejahatan. Oleh karena itu wajar pula apabila
penegakan hukum pidana harus dapat menyelesaikan konflik yang
ditimbulkan oleh tindak pidana, dapat memulihkan keseimbangan dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. 6

Bertitik tolak dari keempat aspek tujuan perlindungan masyarakat sebagaimana
diuraikan di atas, maka tujuan pemidanaan pada intinya mengandung dua aspek
pokok, yaitu ;

1) Aspek perlindungan masyarakat terhadap tindak pidana.
Aspek pokok pertama ini meliputi tujuan-tujuan :
a. Pencegahan Kejahatan;
b. pengayoman (pengamanan) masyarakat;
c. pemulihan keseimbangan masyarakat;
d. penyelesaian konflik (conflict oplosing);
e. mendatangkan rasa damai (vrede making).
2) Aspek perlindungan/pembinaan individu pelaku tindak pidana (aspek
individualisasi pidana).

6

Barda Nawawi Arief, Tujuan dan Pedoman Pemidanaan, “Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana dan
Perbadingan Beberapa Negara”, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,Semarang,2009, hlm 45‐46.

15

Aspek pokok kedua ini dapat meliputi tujuan :
a. Rehabilitasi,reduksi,resosialisasi (memasyarakatkan) terpidana, antara
lain :
1. Agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan diri
sendiri maupun orang lain/masyarakat;
2. Agar berbudi perkerti (berakhlak Pancasila).
b. Membebaskan rasa besalah.
c. Melindungi si pelaku dari pengenaan sanksi atau pembalasan yang
sewenang-wenang tidak masnusiawi (pidana tidak dimaksudkan untuk
menderitakan dan merendahkan martabat manusia).7

Teori yang digunakan untuk menjawab permasalah mengenai faktor yang
mempengaruhi atau faktor penghambat dalam pelaksanaan penegakan hukum
pidana adalah sebagai berikut :
a. Faktor hukum itu sendiri;
b. Faktor penegak hukum itu, yakni pihak-pihak yang membentuk
maupun yang menerapkan hukum;
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
d. Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku
atau diterapkan;
e. Faktor kebudayaan yakni didasarkan sebagai hasil karya, cipta dan
rasa yang didasari pada karsa manusia dalam pergaulan hidup.8

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah merupakan kerangka yang menggambarkan
hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti
yang berkaitan dengan istilah yang akan diteliti atau di inginkan. 9
7

Ibid, hlm 49
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang,
1995,
Hlm 5.
8

16

Kerangka konseptual yang diketengahkan akan dibatasi pada konsepsi pemakaian
istilah-istilah dalam penulisan ini yaitu Analisis Penerapan Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 2 Tahun 2012 terhadap Tindak Pidana Pencurian. Adapun
pengertian dari istilah tersebut adalah:

a. Analisis adalah penyelidikan dan penguraian terhadap suatu masalah untuk
mengetahui keadaan yang sebenar-benarnya.10

b. Tindak Pidana Ringan adalah perkara yang diancam dengan pidana penjara
atau kurungan paling lama 3 bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.
7.500.11

c. Pencurin adalah mengambil barang, seluruhnya atau sebagian milik orang lain,
dengan tujuan memilikinya secara melawan hukum.12

E. Sistematika Penulisan

Guna mempermudah pemahaman terhadap skripsi ini secara keseluruhan, maka
disajikan penulisan sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN
Merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang penulisan skripsi,
permasalahan dan ruang lingkup penulisan skripsi, tujuan dan kegunaan
penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

9

Soerjono Soekanto, Op.Cit,hlm 132.
Sulchan Yasin Kamus Besar Bahasa Indonesia,Jakarta,Balai Pustaka,1997,hlm 34.
11
Pasal 205 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
12
Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

10

17

II. TINJAUAN PUSTAKA
Merupakan bab tinjauan pustaka sebagai pengantar dalam memahami pengertianpengertian umum tentang pokok-pokok bahasan yang merupakan tinjauan yang
besifat teoritis yang nantinya akan dipergunakan sebagai bahan studi
perbandingan antara teori dan praktek

III. METODE PENELITIAN
Merupakan bab yang memberikan penjelasan tentang langkah-langkah yang
digunakan dalam pendekatan masalah serta uraian tentang sumber-sumber data,
pengolahan data dan analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Merupakan jawaban atas pembahasan dari pokok masalah yang akan dibahas
yaitu Analisis Penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012
tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Terhadap Tindak Pidana
Pencurian (Studi Kasus Perkara Nomor 798/PID.B/2012/PN.TK)

V. PENUTUP
Bab ini merupakan hasil dari pokok permasalahan yang diteliti yaitu merupakan
kesimpulan dan saran-saran dari penulis yang berhubungan dengan permasalahan
yang ada.

18

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Tindak Pidana

Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya orang tersebut
wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban
pidana

dimaksudkan

untuk

menentukan

apakah

seorang

terdakwa

dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang terjadi atau tidak, apabila
ternyata tindakannya bersifat melawan hukum dan terdakwa mampu bertanggung
jawab maka orang tersebut dapat dipidana.

Menurut Roeslan Saleh, dipidana atau tidaknya seseorang yang melakukan
perbuatan tergantung apakah pada saat melakukan perbuatan ada kesalahan atau
tidak, apakah seseorang yang melakukan perbuatan pidana itu memang punya
kesalahan maka tentu ia dapat dikenakan sanksi pidana, akan tetapi bila ia telah
melakukan perbuatan pidana yang terlarang dan tercela tetapi tidak mempunyai
kesalahan ia tentu tidak dipidana.13

Pasal-pasal yang termuat dalam KUHP maupun undang-undang diluar KUHP
tidak ditemukan satu pun pengertian mengenai tindak pidana, padahal pengertian
tindak pidana itu sangat penting untuk dipahami agar dapat diketahui unsur-unsur
yang terkandung di dalamnya. Unsur-unsur tindak pidana tersebut merupakan
13

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana dua pengertian dasar dalam hukum
pidana, 1983, Aksara Baru, Jakarta, hlm 75

19

tolok ukur dalam memutuskan apakah perbuatan seseorang dapat dikualifikasikan
sebagai perbuatan pidana atau tidak, apabila perbuatan seseorang telah memenuhi
unsur-unsur perbuatan pidana tentu orang tersebut dapat dipidana, demikian pula
sebaliknya, jika unsur itu tidak dipenuhi orang tersebut tidak dapat dikenakan
pidana.

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana
Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

yang

diterjemahkan dengan pidana dan hukum, baar yang diterjemahkan dengan dapat
atau boleh, dan feit yang diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran,
dan perbuatan.

Terkait dengan masalah pengertian tindak pidana, Moeljatno mengemukaka tiga
hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
a. Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan
diacam pidana.
b. Larangan ditujukan kepada perbuatan yaitu suatu keadaan atau kejadian
yang ditimbulkan oleh perbuatan orang, sedangkan ancaman pidana
ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.
c. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, kejadian
tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak
dapat diancam dengan pidana jika tidak karena kejadian yang
ditimbulkannya.14

Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam
dengan pidana, di mana pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang
bersifat aktif yaitu melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh undang-

14

Moljatno, Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1985, hlm. 34

20

undang, dan perbuatan yang bersifat pasif yaitu tidak berbuat sesuatu yang
sebenarnya diharuskan oleh hukum. 15

Beberapa sarjana mengemukakan pendapat yang berbeda dalam mengartikan
intilah strafbaar feit, sebagai berikut :

Moeljatno mendefinisikan perbuatan pidana sebagai perbuatan yang dilarang oleh
suatu aturan hukum, larangan mana disertai sanksi yang berupa pidana tertentu
bagi barang siapa melanggar larangan tersebut, larangan ditujukan kepada
perbuatan (suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang),
sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian
itu.16

Simons mengartikan perbuatan pidana sebagai suatu tindakan melanggar hukum
yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang
dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah
dinyatakan sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang dapat dihukum.17

Van Hamel menguraikan perbuatan pidana sebagai perbuatan manusia yang
dirumuskan oleh undang-undang, melawan hukum (patut atau bernilai untuk
dipidana) dan dapat dicela karena kesalahan.18

15

Teguh Prasetyo, Op.Cit hlm 48.
Moljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1986, hlm. 54
17
Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum (Deik) Cetakan Pertama, Sinar Grafika,
Jakarta, 1991, Hlm. 4.
18
Sudarto, Hukum Pidana I Cetakan kedua, Universitas Diponegoro, Semarang1990, hlm. 41.

16

21

Pompe menjelaskan pengertian tindak pidana menjadi dua definisi, yaitu :

a. Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma yang
dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk
mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.

b. Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian yang oleh peraturan
undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.19

1. Tindak Pidana Pencurian

Pencurian adalah salah satu jenis kejahatan terhadap kekayaan manusia yang
diatur dalam bab XXII buku II KUHP, Pasal 362 KUHP menyebutkan “Barang
siapa mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang
lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena
pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda
paling banyak sembilan ratus rupiah”.
Tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok seperti yang diatur dalam Pasal 362
KUHP terdiri dari unsur subjektif yaitu, dengan maksud untuk menguasai benda
tersebut secara melawan hukum dan unsur objektif yakni, barang siapa
mengambil sesuatu benda dan sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain.20

19
20

A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Sinar Grafika , Jakarta, 1995,hlm. 225.
Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan Edisi Kedua,
Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm 2

22

Menurut KUHP pencurian itu dapat dikategorikan kedalam lima macam, yaitu
sebagai berikut :

a. Tindak Pidana Pencurian Biasa (Pasal 362 KUHPidana);
b. Tindak Pidana Pencurian dengan Pemberatan (Pasal 363 KUHPidana);
c. Tindak Pidana Pencurian Ringan (Pasal 364 KUHPidana);
d. Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan (Pasal 365 KUHPidana);
e. Tindak Pidana Pencurian dalam Keluarga (Pasal 367 KUHPidana).

Agar seseorang dapat dinyatakan terbukti telah melakukan tindak pidana
pencurian, orang tersebut harus terbukti telah memenuhi semua unsur dari tindak
pidana pencurian yang terdapat dalam rumusan Pasal 362 KUHP.

Unsur-unsur pencurian adalah sebagai berikut :

a. Cara mengambilnya dengan sembunyi-sembunyi, yang dimaksud dengan
mengambil secara sembunyi-sembunyi adalah mengambil barang tanpa
sepengetahuan pemiliknya dan tanpa kerelaannya, seperti mengambil barang
dari rumah orang lain ketika penghuninya sedang bepergian.
b. Barang yang dicuri adalah berupa harta, dalam hal ini barang yang di syaratkan
adalah berupa harta yang bergerak, berharga menurut pemiliknya, disimpan
ditempat yang layak.
c. Barang yang dicuri adalah murni milik orang lain dan si pencuri tidak
mempunyai hak apapun pada barang tersebut.

23

d. Adanya unsur kesengajaan melakukan perbuatan pidana.
e. Adanya niat untuk memiliki barang secara melawan hukum. 21

2. Tindak Pidana Ringan

KUHP mengenal dua bentuk peristiwa pidana yaitu kejahatan dan pelanggaran,
terhadap kejahatan terbagi menjadi dua bentuk yaitu kejahatan biasa dan
kejahatan ringan atau yang lebih dikenal dengan istilah tindak pidana ringan.
Definisi mengenai tindak pidana ringan akan sulit untuk ditemukan dalam KUHP,
namun difinisi tersebut dapat dipahami dalam rumusan Pasal 205 Ayat (1)
KUHAP yang menyebutkan “ yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak
pidana ringan adalah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan
paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus
rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang ditentuakan dalam paragraf 2 bagian
ini”. Dalam KUHP terdapat sembilan Pasal yang mengatur mengenai tindak
pidana ringan diantaranya yaitu Pasal 302 Ayat (1) KUHP mengenai
penganiayaan ringan terhadap hewan, Pasal 352 Ayat (1) KUHP mengenai
penganiayaan ringan, Pasal 364 KUHP mengenai pencurian ringan, Pasal 373
KUHP mengenai penggelapan ringan, Pasal 379 KUHP mengenai penipuan
ringan, Pasal 384 KUHP mengenai penipuan dalam penjualan, Pasal 407 Ayat (1)
KUHP mengenai perusakan barang, Pasal 482 KUHP mengenai penadahan
ringan, dan Pasal 315 KUHP mengenai penghinaan ringan.

21

http://www.google.co.id/=unsur+unsur+tindak+pidana+pencurian&ie=utf-8&oe=t&rls=org.mozilla:enUS: diakses pada tanggal 17 Februari 2014

24

Pasal 205 Ayat (2) KUHAP menentukan bahwa “dalam pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) penyidik atas kuasa penuntut umum dalam waktu tiga
hari sejak berita acara pemeriksaan selesai dibuat, menghadapkan terdakwa
beserta barang bukti, saksi, ahli dan atau juru bahasa ke pengadilan”. Berdasarkan
ketentuan pasal tersebut dalam pemeriksaan cepat prosedur pelimpahan dan
pemeriksaan perkara dilakukan sendiri oleh penyidik tanpa melibatkan penuntut
umum.

Terhadap penanganan perkara tindak pidana ringan dalam kententutan KUHP dan
KUHAP, Mahkamah Agung telah menerbitkan PERMA Nomor 2 Tahun 2012
yang mengatur lebih lanjut mengenai proses pemeriksaan perkara tindak pidana
ringan dengan memberi batasan-batasan tertentu mengenai tindak pidana ringan
yang termuat dalam beberapa pasal, diantaranya adalah :

Pasal 1 :
“Kata-kata"dua ratus lima puluh rupiah "dalam pasal 354, 373, 379, 384, 407 dan
pasal 482 KUHP dibaca menjadi Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu
rupiah)”.
Pasal 2 :
1. Dalam menerima pelimpahan perkara Pencurian, Penipuan, Penggelapan,
Penadahan dari Penuntut Umum, Ketua Pengadilan wajib memperhatikan nilai
barang atau uang yang menjadi obyek perkara dan memperhatikan Pasal 1 di
atas.

25

2. Apabila nilai barang atau uang tersebut bernilai tidak lebih dari Rp
2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) Ketua Pengadilan segera
menetapkan Hakim Tunggal untuk memeriksa, mengadili dan memutus
perkara tersebut dengan Acara Pemeriksaan Cepat yang diatur dalam Pasal
205-210 KUHAP.

3. Apabila terhadap terdakwa sebelumnya dikenakan penahanan, Ketua
Pengadilan tidak menetapkan penahanan ataupun perpanjangan penahanan.

B. Unsur-unsur Tindak Pidana

Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam KUHP pada umumnya dapat
dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang dibagi menjadi 2 macam unsur, yakni
unsur-unsur subyektif dan unsur-unsur obyektif.

Lamintang menjelaskan mengenai unsur-unsur subjektif dan objektif dalam suatu
tindak pidana, yaitu :
Unsur-unsur subyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku
atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya
yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.
Unsur-unsur subyektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah :
1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).
2) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang
dimaksud di dalam Pasal 53 Ayat 1 KUHP.
3) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedache raad , misalnya terdapat
di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP.
4) Perasaan takut atau vress, antara lain terdapat dalam rumusan tindak
pidana Pasal 308 KUHP.
Unsur-unsur obyektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan
keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan
dari si pelaku itu harus dilakukan.

26

Unsur-unsur obyektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah :
1) Sifat melawan hukum atau wederrechtelijkheid.
2) Kualitas dari si pelaku.
3) Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab
dengan sesuatu sebagai kenyataan.22

C. Kedudukan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 dalam
Pemeriksaan Peradilan Pidana

Pada dasarnya Mahkamah Agung bukan merupakan badan atau cabang kekuasaan
negara yang diberi kekuasaan dan kewenangan membuat peraturan perundangundangan, karena kekuasaan dan kewenangannya sebagai kekuasaan kehakiman
(judicial power) menurut Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 adalah kekuasaan untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan (to enforce the law and justice).23

Kedudukan PERMA sebagai produk hukum Mahkamah Agung pada dasarnya
mengikat internal lembaga pengadilan dibawahnya, sedangkan dalam sebuah
sistem peradilan pidana pihak yang terlibat sebagai subsistem dibawahnya adalah
kepolisian, kejaksaan, pengdilan, dan lembaga pemasyarakatan, dengan demikian
maka keberadaan suatu PERMA hanya berlaku dan bersifat mengikat bagi
lembaga pengadilan. Secara langsung tidak ada wewenang Mahkamah Agung
terhadap penyidik dan penuntut umum sehingga Peraturan Mahkamah Agung
yang diterbitkannya tidak mempunyai sifat mengikat terhadap penyidik dan
penuntut umum, akan tetapi dengan himbauan dari Mahkamah Agung kepada
seluruh pengadilan agar mensosialisasikan penyesuaian sesuai isi Peraturan
22

23

Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1997,hlm 194.
M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara
Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm 165.

27

Mahkamah Agung tersebut kepada kejaksaan, maka akan mempunyai pengaruh
terhadap proses penuntutan bahkan penyidikan. Adanya keterkaitan yang erat
antar fungsi dan wewenang aparat penegak hukum (penyidik, penuntut umum,
pengadilan) sebagaimana dimaksud dalam sistem peradilan pidana terpadu, maka
dapat dijadikan dasar diberlakukannya ketentuan dalam Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 2 Tahun 2012 oleh penyidik dan penunt