ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN (Studi Kasus Perkara Nomor 137/Pid.B/2014/PN.BU)

(1)

ABSTRAK

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN

Oleh :

M.JAENDRA RABBANI

Anak merupakan generasi muda penerus bangsa serta berperan dalam menjamin kelangsungan eksistensi suatu bangsa dan negara itu sendiri diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Tindak pidana pencabulan kepada anak di bawah umur pernah terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Blambangan Umpu dalam Putusan Perjara Pengadilan Negeri Blambangan Umpu Nomor 137./Pid.B/2014/PN.BU. Terdakwa dijatuhi hukuman Pasal 81 ayat (1) dan Pasal 82 Undang-Undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan pidana penjara selama dengan pidana penjara selama 8 (delapan) Tahun dan membayar denda sebesar Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan 5 (lima) bulan. Dalam skripsi ini penulis mengangkat 2 (dua) permasalahan yaitu (1) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pencabulan? (2) Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap pelaku tindak pidana pencabulan?

Pendekatan masalah yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data primer diperoleh secara langsung dari penelitian di lapangan yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti, yakni dilakukan wawancara terhadap Hakim Pengadilan Negeri Blambangan Umpu, Jaksa Kejaksaan Negeri Blambangan Umpu dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Data sekunder diperoleh dari penelitian kepustakaan yang meliputi buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi dan lain-lain.

Berdasarkan hasil pembahasan dan penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut Pertanggungjawaban pelaku tindak pidana pencabulan anak di bawah umur yaitu ditinjau dari kemampuan Topan dapat bertanggungjawab berdasarkan hal-hal, Perbuatan terdakwa harus merupakan suatu tindak pidana yang diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan yaitu melakukan perbuatan pencabulan terhadap anak dibawah umur. hal ini berdasarkan prinsip asas legalitas dimana seorang tidak boleh dipidana tanpa ada aturan yang jelas melarangnya.


(2)

perlindungan kepada anak secara menyeluruh, perlu adanya penambahan hukuman yang dapat membuat tersangka jera. Perlu meningkatkan gerakan perlindungan anak dengan cara memberikan arahan dan sosialisasi mengenai hak-hak anak, dan bagaimana tata cara melaporkan apabila anak mengalami ancaman baik fisik maupun psikis dikarenakan akan merusak masa depan anak karna anak adalah generasi penerus bangsa.


(3)

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN

(Studi Kasus Perkara Nomor 137/Pid.B/2014/PN.BU) Oleh

M,JAENDRA RABBANI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(4)

(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kedaton Bandar Lampung pada tanggal 19 Januari 1993. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Drs. Juanda Basir M.M dan Ibu Rosmala Dewi

Penulis mengawali jenjang Pendidikan di Sekolah Dasar (SD) pada tahun 1999-2005 di Sekolah Dasar Al-Azhar Way Halim. Pada tahun 1999-2005-2008 penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 22 Rajabasa dan Pada tahun 2008-2011 penulis melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah Atas (SMA) Gajah Mada Way Halim.

Pada Tahun 2011 penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) dan mengambil minat bagian Hukum Pidana. Dalam rangka

menyelesaikan studinya di Universitas Lampung penulis juga pernah mengikuti dan melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Karta Sari, KecamatanTulang Bawang Udik, Kabupaten Tulang Bawang Barat pada Januari 2014.


(7)

PERSEMBAHAN

Hasil buah pikir ku ini dengan segala kerendahan hati dan tulus kupersembahkan untuk :

Ayahanda Juanda Basir M.M dan Ibunda Rosmala Dewi S.Pd motivator terbesar dalam hidupku yang tidak pernah jemu mendoakan dan menyanyangiku, atas semua pengorbanan dan kesabaran mengantarkanku sampai kini dan Tak pernah cukup ku membalas cinta yang

telah diberikan kepadaku.

kakakku tersayang Gemma Reka Yasa S.Ip dan Adikku Viera Rininda Mauli Dinar yang memberikan ukiran indah dalam hidupku dan memberi arti penting disisiku

Pendampingku Vina Anggraini yang selalu membantu menyelesaikan dan memberi motivasi untuk penulis agar menjadi sarjana.


(8)

Barang siapa membawa amal yang baik maka baginya

(pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barang

siapa yang membawa perbuatan yang jahat maka dia

tidak diberi pembalasan melainkan seimbang

dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun

tidak dianiaya (dirugikan)

(Q.S. Al-

An’am : 160)

Yang terbaik bukanlah dia yang tidak memiliki cacat Tetapi dia yang dengan

segala kekurangannya sanggup memberikan yang terbaik untuk hidupnya dan

orang lain Tak ada kata menyerah untuk impian dan cita-cita menciptakan

hidup yang lebih baik karena setiap orang bertanggung jawab atas

kebahagiannya sendiri


(9)

SANWACANA

Alhamdulillahirabbil’alamin.

Puji syukur selalu penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Analisis Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi

Kasus Perkara Nomor 137/Pid.B/2014/PN.BU)” sebagai salah satu syarat mencapai gelar sarjana di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan, petunjuk, saran dan motivasi dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Bapak Dr. Nikmah Rosidah, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan masukan, saran, bantuan dan membimbing penulis dalam proses penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

4. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan masukan, saran, bantuan dan membimbing penulis dalam proses penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

5. Gunawan Jatmiko, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas I yang telah memberikan kritikan, masukkan dan saran dalam penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.


(10)

terselesaikan.

7. Ibu Rehulina, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik yang senantiasa memberikan pengarahan selama penulis kuliah di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

8. Bapak Arista Budi Cahyawan S.H. M.H., Ibu Dr. Erna Dewi, S.H., M.H., Bapak Agoeng Tirtayasa Rasoen, S.H.. yang telah memberikan izin penelitian, membantu dalam penelitian dan penyediaan data untuk penyusunan skripsi ini.

9. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah mendidik, memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

10.Teristimewa dan terkhusus untuk kedua orang tuaku tercinta Ayahanda Juanda Basir M.M, dan Ibunda Rosmala dewi S.Pd yang telah mendidikku, menjadi semangat hidup dan telah membesarkan penulis dengan penuh kasih sayang, Kakakku Gemma Reka Yasa S.IP., Adikku Viera Rininda Mauli Dinar dan Sepupuku Haqki Prakasa Kalbi dan Tina yang terus memberikan dukungan, motivasi dan doa kepada penulis. Tanpa kasih sayang, motivasi dan doa keluargaku semua ini bukan apa-apa.

11.Vina Anggraini yang selalu menemaniku, memberikan dukungan, perhatian, kasih sayang dan do’anya yang selalu diberikan untuk menyelesaikan skripsi.

12.Keluarga Besarku, penulis ucapkan terima kasih banyak atas kasih sayang, motivasi, dukungan, bantuan, kebaikan dan segala hal yang diberikan selama ini. 13.Guru-guruku selama menduduki bangku Sekolah Dasar, Sekolah Menengah

Pertama, Sekolah Menengah Atas. Penulis ucapkan terima kasih atas ilmu, doa, motivasi dan kebaikan yang telah ditanamkan.

14.Mbak Yanti, mbak Sri, mbak yani, mbak siti dan Babeh Narto, dan semua staf bagian pidana, terima kasih atas bantuan dan fasilitas selama kuliah dan penyusunan skripsi.

15.Sahabat-sahabat seperjuangan Niko Cahya Yulanda, Riki Firman, Syech Julian H, Zakky Ikhsan Samad, Hendra Prasetyo, M. Rizky Arief, Ivan Savero, Syendi Surya


(11)

Atmaja, Syahrun Najah Ahmad, Dika Permadi, M. Rahmawan, Deswandi Ahda, Aldi Setiawan, Haqki Prakasa Kalbi, Maharani, Galang, Bli Komang, Bli Putu, M. Fadel, Egi Yuzario, Mbhot, Fima Agatha, Mery, Marlina, Mona, Hendra Ari, Triadhani, Rifan, Lia Apriliana, Lia Nurjanah, dan semua kawan-kawan Angkatan 2011 Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tidak bisa kusebutkan satu persatu. Bersama kalian, kulewati saat-saat manis dan pahit perjalanan ini, terima kasih atas pertemanan yang terjalin selama ini.

16.Untuk Almamaterku Tercinta, Fakultas Hukum Universitas Lampung yang selalu kubanggakan dan yang telah menjadi saksi bisu perjalanan ini hingga menuntunku menjadi orang yang lebih dewasa dalam berfikir dan bertindak.

17.Terima kasih kepada setiap orang yang sudah terlibat atau melibatkan diri dalam hidup saya dan orang-orang yang terlewat disebutkan tetapi memiliki arti sama pentingnya bagi kehidupan saya. Terima Kasih. Semoga Allah SWT memberikan balasan atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan keilmuan bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis pada khususnya.

Bandar Lampung, 2015 Penulis,


(12)

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup ... 6

C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

D.Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 16

II. TINJAUAN PUSTAKA A.Pengertian Pertanggungjawaban Pidana ... 18

B.Pengertian Pelaku ... 21

C.Pengertian Tindak Pidana ... 23

D.Pengertian Tindak Pidana Pencabulan... 25

III. METODE PENELITIAN A.Pendekatan Masalah ... 30

B.Sumber dan Jenis Data ... 31

C.Penentuan Narasumber ... 32

D.Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 33

E. Analisis Data ... 35

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Narasumber ... 36


(13)

C. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Kasus Perkara Nomor 137/Pid.B/2014/PN.BU.) ... 39 D. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Pidana Terhadap Pelaku Pencabulan (Studi Perkara Nomor 137/Pid.B/2014/ PN.BU.) ... 50

V. PENUTUP

A. Simpulan ... 58 B. Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(14)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Teknologi di jaman sekarang ini semakin berkembang, dimana komputer telah banyak dinikmati dan digunakan oleh masyarakat, mulai dari anak- anak sampai dewasa. Seiring majunya teknologi muncullah jaringan internet, internet telah berperan sangat penting bagi kehidupan manusia. Manusia menggunakan internet sebagai kebutuhan penunjang aktivitas. Mulai dari kebutuhan profesi, sekolah, dan kebutuhan lain. Keunggulan komputer berupa kecepatan dan ketelitiannya dalam menyelesaikan pekerjaan sehingga dapat menekan jumlah tenaga kerja, biaya serta memperkecil kemungkinan melakukan kesalahan, mengakibatkan masyarakat semakin mengalami ketergantungan kepada komputer.

Segi positif dari dunia maya ini tentu saja menambah perkembangan teknologi dunia dengan segala bentuk kreatifitas manusia. Namun dampak negatif pun tidak bisa dihindari. Tatkala pornografi marak di media Internet, masyarakat pun tak bisa berbuat banyak. Masyarakat perlu lebih jeli dan peka terhadap lingkungan. Perlu disadari bahwa kejahatan dapat dilakukan oleh siapapun dan terhadap siapapun. Setiap orang dapat menjadi sasaran kejahatan, kejahatan yang dilakukan juga tidak hanya melalui lingkungan sekitar melainkan dapat terjadi pada media social yang sekarang marak terjadi seperti melalui jejaring media social facebook,


(15)

2

sasaran kejahatan mereka bukan hanya orang dewasa akan tetapi kepada anak dibawah umur.

Pelaku merupakan pelaksana utama dalam hal terjadinya pencabulan tetapi bukan berarti terjadinya perkosaan tersebut semata-mata disebabkan oleh perilaku menyimpang dari pelaku, tetapi dipengaruhi oleh factor-faktor lain yang berada di luar diri si pelaku. Pencabulan yang dilakukan terhadap anak dibawah umur tentunya akan berdampak pada psikologis maupun perkembangan lainnya terhadap anak tersebut. Dampak psikologis terhadap anak-anak akan melahirkan trauma berkepanjangan yang kemudian dapat melahirkan sikap tidak sehat, seperti minder, takut yang berlebihan, perkembangan jiwa terganggu, dan akhirnya berakibat pada keterbelakangan mental. Keadaan tersebut kemungkinan dapat menjadi suatu kenangan buruk bagi anak korban pencabulan tersebut.

Mengenali bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak sesungguhnya tidaklah jauh dari sekitar kita. Realitas seksual yang dialami anak-anak sampai saat ini masih menjadi masalah yang cukup besar di Indonesia. Bentuk dan modus operasinya pun juga cukup beragam. Berdasarkan ketentuan Konvensi Hak Anak ( 1989 ) dan protokol tambahannya KHA ( option protocol convention on the rights of the child) bentuk-bentuk kekerasan dibagi dalam empat bentuk. Kekerasan seksual meliputi eksploitasi seksual komersial termasuk penjualan anak (sale children) untuk tujuan prostitusi (child prostitusion) dan pornografi (child phornografy).1 Kekerasan seksual terhadap atau dengan sebutan lain perlakuan salah secara seksual bisa berupa hubungan seks, baik melalui vagina, penis, oral, dengan

1


(16)

menggunakan alat, sampai dengan memperlihatkan alat kelaminnya, pemaksaan seksual, sodomi, oral seks, onani, pelecehan seksual, bahkan perbuatan incest

Kekerasan seksual merupakan istilah yang menunjuk pada perilaku seksual deviatif atau hubungan seksual yang menyimpang.2 Berdasarkan penelitian awal pada Pengadilan Negeri Blambangan Umpu, dapat diketahui salah satu contoh kasus berkaitan dengan tindak pidana pencabulan anak dibawah umur yang dikemukakan pada perkara Nomor 137/Pid.B/2014/PN.BU. Seorang Terdakwa yaitu Imroni Sischa Alias Topan Robin bin Nazom Rasman AR, pada waktu dan tempat sebagaimana diuraikan dalam surat dakwaan telah dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain yaitu terhadap saksi korban Serinah binti A. Somad. Korban masih anak-anak yang harus dilindungi hak-haknya agar dapat tumbuh, berkembang dan berpatisipasi secara optimal.

Korban adalah seorang pelajar asal Jambi, saksi korban berkenalan dengan Terdakwa melalui jejaring social facebook dan dilanjutkan lewat handphone dan telah berhubungan kurang lebih selama 18 ( delapan belas ) bulan lewat SMS dan telepon serta telah saling bertukar foto. Saksi korban diminta oleh Terdakwa untuk datang ke Way Kanan, karena saksi korban yang suka dengan foto .turun di Kecamatan Way Tuba, Way Kanan. Iapun bertemu dengan Terdakwa di tempat tersebut. Saksi korban tertipu dengan foto yang dipasang pada akun facebook dan yang sudah dikirimkan berbeda, saksi korban tidak mau ikut Terdakwa karena wajah yang di facebook masih muda tapi ternyata Terdakwa sudah tua. Namun

2

Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan, Bandung, Refika Aditama, 2001, Hlm.40.


(17)

4

Terdakwa memaksa saksi korban dan membawa saksi korban naik sepeda motor kerumah temannya Ahmad Saleh di Kampung Karang Umpu. Setelah berada dirumah saksi Ahmad Saleh saksi korban dinikahkan dengan Terdakwa oleh saksi Ahmad Saleh, setelah menikahi saksi korban secara paksa lalu Terdakwa mengajak saksi korban kerumahnya.

Terdakwa masuk ke dalam kamar saksi korban dan memaksa saksi korban untuk melakukan persetubuhan yang dilakukan oleh Terdakwa dengan cara Terdakwa mencium pipi kiri dan pipi kanan saksi korban dan pada saat itu berusaha melawan sambil mendorong badan Terdakwa, namun saksi korban yang tidak kuat melawan Terdakwa karena Terdakwa langsung mencekik leher dan memegang kedua tangan saksi korban. Saksi korban disekap Terdakwwa selama 11 hari. Beruntung saksi korban berhasil melarikan diri dari rumah Terdakwa dan saksi korban meminta pertolongan warga sekitar. Warga membawa saksi korban ke Polres Way Kanan dan petugas mencari keberadaan Terdakwa.

Akibat dari perbuatan tersebut, Terdakwa Imroni Sischa Alias Topan Robin bin Nazom Rasman AR dijatuhi hukuman Pasal 81 ayat (1) dan Pasal 82 Undang-Undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak, dengan pidana penjara selama 8 (delapan) Tahun dan membayar denda sebesar Rp. 60.000.000 ( enam puluh juta rupiah ), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan 5 (lima) bulan.

Salah satu praktek seks yang dinilai menyimpang adalah bentuk kekerasan seksual, oleh karena itu kekerasan seksual memaksa anak melakukan persetubuhan. Dalam hal ini ancaman kekerasan untuk melakukan persetubuhan


(18)

diatur dalam Pasal 81 ayat (1) dan Pasal 82 Undang-Undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang 23 Tahun 2002, menyatakan bahwa:

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) Tahun dan paling singkat 3 (tiga) Tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).” Pasal 82 Undang-Undang 23 Tahun 2002, menyatakan bahwa:

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman

kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) Tahun dan paling singkat 3 (tiga) Tahun dan denda paling baanyak Rp. 300.000.000,00 ( tiga ratus

juta rupiah ) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 ( enam puluh juta rupiah ).”

Berdasarkan hal diatas bahwa terhadap perbuatan pelaku tindak pidana tersebut, pelaku hanya dijatuhi hukuman 8 (delapan) tahun dan denda Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dari ancaman maksimal 15 (lima belas) tahun dan denda Rp. 300.000.000,00 ( tiga ratus juta rupiah ). Menurut analisa penilis, hukuman yang dijatuhkan tersebut dirasa terlalu ringan dengan berdasarkan pada perbuatan pelaku yang memenuhi unsur-unsur yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya antara lain.yaitu, dapat dipertanggungjawabkannya pelaku, tidak adanya batasan-batasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana dan tidak ada alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana tersebut

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk mengkaji masalah tersebut dengan judul : “Analisis Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Kasus Perkara No. 137./Pid.B/2014/PN.BU.)”


(19)

6

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup 1. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka dalam penelitian ini ada beberapa masalah yang dirumuskan dan dicari penyelesainnya secara ilmiah. Beberapa masalah tersebut sebagai berikut :

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pencabulan?

b. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap pelaku tindak pidana pencabulan?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penulisan skripsi ini adalah bidang ilmu hukum pidana berkaitan dengan Analisis Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencabulan. Dengan lokasi penelitian di wilayah hukum Blambangan Umpu, Way Kanan pada Tahun 2015.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencabulan.

b. Untuk mengetahui dasar dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap pelaku pencabulan.


(20)

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini dibagi dua yaitu :

1. Kegunaan Teoritis

Kegunaan penulisan ini adalah untuk pengembangan pemahaman teoritis tentang Analisis Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Kasus Perkara No. 137./ Pid.B/2014 /PN.BU.). Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan sumbangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan hukum dan menambah pembendaharaan perpustakaan hukum.

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan atau masukan informasi yang lebih konkrit serta sebagai sarana pengembangan untuk menambah wawasan pribadi dalam bidang ilmu hukum pidana. Dan juga untuk menambah pengetahuan terdapat pengecualian dalam teori pertanggungjawaban, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya antara lain :

1. Orang gila (tidak berakal sehat).

2. Overmacht/keadaan memaksa.


(21)

8

D.Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Setiap penelitian akan ada kerangka teoritis yang menjadi acuan dan bertujuan untuk mengidentifikasi terhadap dimensi sosial yang relevan oleh peneliti.3 Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.4

Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian. Walaupun Konsep berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability). Masalah kesesatan (error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error facti) maupun kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep merupakan salah satu alasan pemaaf sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan kepadanya.5 Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu mekanisme untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi atau

3

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia, 1986, hlm.125. 4Ibid

., hlm.124. 5

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 23.


(22)

tidak.6 Pada suatu kesalahan hukum yang melawan hukum belumlah cukup untuk menjatuhkan hukuman, disamping perbuatan melawan hukum harus ada seorang pembuat (dader) yang bertanggungjawab atas perbuatannya pembuat, haruslah terbukti bersalah (schuld hebben) tindak pidana yang dilakukan.

Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan terdiri dari 3 (tiga) unsur:

a. Toerekening strafbaarheid (dapat dipertanggungjawabkan) pembuat. 1. Suatu sikap psikis pembuat berhubungan dengan kelakuannya. 2. Kelakuan yang sengaja

b. Tidak ada batasan-batasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana pembuat (unsur toerekening strafbaar heid)

c. Tidak ada alasan-alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana pembuat (unsur torekenbaar heid)

Terkait dengan masalah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pencabulan pada anak, salah satu unsur terpentingnya bahwa harus pula dilihat kebijakan hukum pidana apa yang dapat dan seharusnya digunakan agar mampu mengakomodir dan mengatasi masalah tindak pidana tersebut untuk saat ini maupun pada masa yang akan datang. Sehingga kebijakan hukum pidana yang ada tersebut dapat memberikan keadilan bagi korban kejahatan tersebut.

Menurut Barda Nawawi Arief, dilihat dari sudut kebijakan hukum pidana, dalam arti kebijakan menggunakan/mengoprasionalkan/mengfungsionalisasikan hukum

6

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1993, hlm. 41.


(23)

10

pidana, masalah sentral atau masalah pokok sebenarnya terletak pada masalah seberapa jauh kewenangan/kekuasaan mengaturkan membatasi tingkah laku manusia (warga masyarakat/pejabat) dengan hukum pidana. Dari uraian di atas tampak bahwa yang menjadi isu sentral adalah menyangkut kewenangan dan peraturan kewenangan itu sendiri dalam fungsionalisasi kebijakan hukum pidana7.

Kewenangan dalam fungsionalisasi kebijakan hukum pidana meliputi kewenangan formulasi atau kebijakan legislatif, kewenangan aplikasi atau kebijakan yudikatif, dan kewenangan esekusi atau kebijakan eksekutif. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Barda Nawawi Arief:

“Pembagian kewenangan itu didasarkan pada adanya tiga tahap kongkretisasi atau fungsionalisasi/operasionalisasi hukum pidana dilihat dari sudut kebijakan hukum pidana. Pertama, tahap penetapan/perumusan hukum pidana oleh pembuat undang-undang (tahap kebijakan formulatif/legislatif). Kedua, tahap kebijakan aplikatif/yudikatif/yudisial). Dan Ketiga, tahap pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksana/eksekusi pidana (tahap kebijakan eksekutif/administratif)”.8

Salah satu dari pelaksana hukum yaitu hakim. Hakim diberi wewenang oleh undang-undang untuk menerima, memeriksa serta memutus suatu perkara pidana. Oleh karena itu hakim dalam menangani suatu perkara harus dapat berbuat adil. Seorang hakim dalam memberikan putusan kemungkinan dipengaruhi dari faktor agama, kebudayaan, pendidikan, nilai, norma, dan sebagainya sehingga dapat dimungkinkan adanya perbedaan cara pandang sehingga mempengaruhi pertimbangan dalam memberikan keputusan.9

7

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya, Bandung, 2005, hal. 137

8Ibid., hal.139 9


(24)

Hakim dalam mengambil suatu keputusan atau vonis, memang bukan suatu masalah yang sulit. Pekerjaan membuat suatu putusan merupakan pekerjaan rutin yang setiap hari dilakukan. Namun demikian, justru karena rutinitas tersebut seringkali hakim mengabaikan standar normatif yang harus ditempuh untuk membuat suatu putusan. Kondisi tersebut bisa dilihat pada pertimbangan hukum yang diambil para majelis hakim ketika mengambil suatu putusan. Banyak pertimbangan hukum yang dibuat secara asal-asalan, bahkan apabila hal tersebut hanya menyangkut perkara-perkara pasaran yang setiap hari ditanganinya. Hal ini menyebabkan di lingkungan pengadilan masih sedikit ditemukan putusan hakim yang mempunyai kualitas ilmiah untuk dapat dikaji secara akademik bagi pengembangan hukum.10

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menjelaskan pada Pasal 183 yang menentukan :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

melakukannya.”

Berdasarkan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dengan tegas dinyatakan mengenai dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan, yaitu:

1. Pasal 6 Ayat (2): “Tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-Undang,

10


(25)

12

mendapat keyakinan bahwa seorang yang dianggap bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya” dan

2. Pasal 8 Ayat (2): “Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pada sifat yang baik dan jahat pada

terdakwa”.

Menurut Muladi membagi teori-teori tentang tujuan pemidanaan menjadi 3 kelompok, yakni :

a) Teori absolut (retributif);

b) Teori teleologis; dan

c) Teori retributifteleologis.

Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan. Teori teleologis (tujuan) memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan, maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan. Teori retributif-teleologis memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip teleologis (tujuan) dan retributif sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana pemidanaan mengandung karakter retributif sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter teleologis nya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari.


(26)

Pandangan teori ini menganjurkan ada nya kemungkinan untuk mengadakan artikulasi terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus retribution yang bersifat utilitarian dimana pencegahan dan sekaligus rehabilitasi yang kesemuanya dilihat sebagai sasaran yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan.

Tujuan yang bersifat integratif, memiliki tujuan pemidanaan :

a) Pencegahan umum dan khusus

b) Perlindungan masyarakat;

c) Memelihara solidaritas masyarakatdan

d) Pengimbalan/pengimbangan.

Apabila dilihat dari seberapa besar ekses yang ditimbulkan dari kasus pencabulan anak tersebut dan dikaitkan dengan pemahaman tujuan pemidanaan menurut Muladi di atas maka serasa tepat apabila sistem pemidanaan retributif-teologis dijadikan suatu sistem pemidanaan dasar untuk membuat suatu batas minimal pemidana bagi orang-orang yang melakukan pencabulan terhadap anak.

Mengapa yang dirasa tepat untuk memberikan suatu batas minimal pemidanaan adalah sistem retibutif-teologis ? Jawaban hal tersebut dapat kita analisa dari kejahatan pencabulan anak. Orang-orang yang melakukan pencabulan terhadap anak telah jelas melanggar ketentuan hukum positif yang telah ada di Indonesia yang selain efek negative dari penyalahgunaan itu berdampak pada diri korban yang merasakannya hal tersebut baik secara fisik ataupun psikis.


(27)

14

Pasal 81 ayat 1 Undang-Undang 23 Tahun 2002, menyatakan bahwa:

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan

memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) Tahun dan paling singkat 3 (tiga) Tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 ( tiga ratus

juta rupiah ) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 ( enam puluh juta rupiah ).”

Pasal 82 Undang-Undang 23 Tahun 2002, menyatakan bahwa:

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman

kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) Tahun dan paling singkat 3 (tiga) Tahun dan denda paling baanyak Rp. 300.000.000,00 ( tiga ratus

juta rupiah ) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 ( enam puluh juta rupiah ).”

Dari unsur – unsur tersebut hakim menarik kesimpulan atau menjatuhkan hukuman berdasarkan dari tolak ukur Undang – Undang 23 Tahun 2002 pada Pasal 81 ayat 1 dan Pasal 82. Fungsi utama dari seorang hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan kepadaya, dimana dalam perkara pidana, hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif, yang pada prinsipnya menentukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, disamping adanya alat-alat bukti menurut Undang-Undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi dengan integritas moral yang baik.

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam melaksanakan penelitian.Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang mempunyai arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang diteliti atau diketahui.11

11


(28)

Adapun pengertian yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah :

a. Analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan sebagaimana) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab musabab, duduk perkaranya, dan sebagainya).12

b. Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu mekanisme untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak.13 c. Pelaku adalah mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan

yang turut serta melakukan perbuatan dan mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan. (Pasal 55 ayat 1 KUHP)

d. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan Hukum, larangan yang sama disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.14

e. Tindak Pidana Pencabulan adalah segala macam wujud perbuatan, baik yang dilakukan pada orang lain mengenai dan berhubungan dengan alat kelamin atau bagian alat tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu seksual.15

12

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, PT.Balai Pustaka, 1995, hlm.37.

13

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1993, hlm. 41.

14

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, cetakan ke enam, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm.2. 15

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm.80.


(29)

16

E. Sistematika Penulisan

Mempermudah dalam melakukan pembahasan, penganalisaan, serta penjabaran isi dari penelitian ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan hukum ini sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Pada Bab 1 penulis mengemukakan latar belakang permasalah, pokok permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka konseptual, dan sistematika penulisan hukum yang digunakan untuk memberikan pemahaman terhadap isi penelitian ini secara garis besar.

II.TINJAUAN PUSTAKA

Pada Bab 2 penulis memaparkan secara singkat mengenai sistem hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia berdasarkan pada KUHAP. Secara urut penulis akan membahas mengenai tinjauan umum tentang pertanggungjawaban pelaku tindak pidana pencabulan Studi Kasus Perkara No. 137./ Pid.B/2014 /PN.BU.

III. METODE PENELITIAN

Pada Bab 3 ini penulis akan membahas dan menjawab permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya. Pertama,rumusan tindak pidana dan saksi pidana pencabulan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kedua, penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dalam putusan nomor: 137./ Pid.B/2014 /PN.BU.


(30)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Selanjutnya pada Bab 4 penulis akan mencoba untuk menyajikan pembahasan tentang permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya. Pertama, apa yang menjadi dasar hukum hakim menyetujui pelaksaan proses tindak pidana persetubuhan terhadap anak di bawah umur. Kedua, bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur bedasarkan Undang-Undang perlindungan anak.

V. PENUTUP

Bab 5 ini menguraikan mengenai simpulan atas perumusan masalah yang diteliti dan uraian penulis mengenai saran yang ingin disampaikan berdasarkan jawaban yang diuraikan dalam simpulan.


(31)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Perbuatan cabul yang dilakukan orang dewasa kepada anak yang masih dibawah umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

atau “pertanggungjawaban” itu merupakan konsep sentral yang dikenal dengan

ajaran kesalahan.

Hukum pidana merupakan sarana yang penting dalam penanggulangan kejahatan atau mungkin sebagai obat dalam memberantas kejahatan yang meresahkan dan merugikan masyarakat pada umumnya dan korban pada khususnya. Penanggulangan kejahatan tersebut dapat dilakukan secara preventif (pencegahan) dan refresif (penindakan). Bentuk penanggulangan tersebut dengan diterapkannya sanksi terhadap pelaku tindak pidana, sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya. Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama/terbaik dan suatu etika merupakan pengancaman yang utama dari kebebasan manusia.

Tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undang-Undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut,


(32)

apabila tindakan tesebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya.

Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggungjawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal ini dipidananya seseorang ya ng melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan. Berdasarkan hal tersebut maka pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat yaitu :

1. Kemampuan bertanggung jawaban atau dapat dipertanggungjawabkan dari si pembuat

2. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis si pelaku yang berhubungan dengan kelakuannya yaitu : disengaja dan sikap kurang hati-hati atau lalai.

3. Tidak ada alasan pembenar yang menghapuskan pertanggung jawaban pidana bagi si pembuat.

Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, adalah merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat membedakan perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak, dan kemampuan untuk menetukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tersebut adalah merupakan faktor perasaan (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang


(33)

20

tidak. Sebagai konsekuensi dari dua hal tadi maka tentunya orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan, dia tidak mempunyai kesalahan kalau melakukan tindak pidana, demikian itu tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal itu sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur kemampuan bertanggungjawab dianggab diam-diam selalu ada karena pada umumnya setiap orang normal batinnya dan mampu bertanggungjawab, kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak normal. Dalam hal ini, hakim memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya masih meragukan hakim, itu berarti bahwa kemampuan bertanggungjawab tidak berhenti, sehingga kesalahan tidak ada dan pidana tidak dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.

Masalah kemampuan bertanggung jawab ini terdapat dalam Pasal 44 ayat 1 dalam KUHP yang menentukan :

“Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena cacat,

tidak dipidana.”

Kalau tidak dipertanggung jawabkan itu disebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak normal dikarenakan dia masih muda, maka Pasal tersebut tidak dapat


(34)

dikenakan, apabila hakim akan menjalankan Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus memperhatikan apakah telah dipenuhi dua syarat sebagai berikut :

1. Syarat Psychiartris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang mungkin ada sejak kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan keadaan ini harus terus menerus.

2. Syarat Psychologis yaitu gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang timbul sesudah peristiwa tersebut, dengan sendirinya tidak dapat menjadi sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukuman.

Menentukan adanya pertanggungjawaban, seseorang pembuat dalam melakukan

suatu tindak pidana harus ada “sifat melawan hukum” dari tindak pidana itu, yang

merupakan sifat terpenting dari tindak pidana. Tentang sifat melawan hukum apabila dihubungkan dengan keadaan psikis (jiwa) pembuat terhadap tindak pidana yang dilakukanya dapat berupa kesengajaan (opzet) atau karena kelalaian (culpa). Akan tetapi kebanyakan tindak piadana mempunyai unsur kesengajaan bukan unsur kelalaian. Hal ini layak karena biasanya, yang melakukan sesuatu dengan sengaja.

B. Pengertian Pelaku

Pelaku adalah pelaku tindak pidana. Pelaku tindak pidana adalah orang yang melakukan tindak pidana. Pelaku tindak pidana merupakan orang yang mampu dipertanggung jawabkan secara pidana. Tentang dapat dipertanggungjawabkan


(35)

22

tersebut bias/dapat dibedakan antara ontoerekeningsvatbaarheid dan ontoerekeningsbaarheid.

Ontoerekeningsvatbaarheid adalah orang yang melakukan suatu perbuatan karena suatu hal tidak dapat dipertanggungjawabkan tehadap perbuatannya. Dalam hal ini, tidak dapat dipertanggungjawabkan, dihubungkan dengan orangnya. Doktrin menyebut dengan istilah schulduitsluitingsgronden. Misalnya, seperti ketentuan dalam Pasal 44 Ayat (1) KUHP yang berbunyi:

“Tidak dapat di hukum barang siapa melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan padanya oleh karena pertumbuhan akal sehatnya yang tidak sempurna, atau karena gangguan penyakit pada kemampuan akal

sehatnya”18

Ontoerekeningsbaarheid adalah perbuatannya yang tidak dapat atau bisa untuk dipertanggungjawabkan kepada pelakunya. Dalam hal ini, tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya. Dalam hal ini, tidak dapat dipertanggungjawabkan dihubungkan dengan perbuatannya. Doktrin menyebut dengan istilah rechtsvaardigingsgronden, misalnya:

1) Pasal 48 KUHP yang berbunyi: “Tiada boleh dihukum barang siapa

melakukan perbuatan karena terdorong oleh suatu sebab yang memaksa”.

2) Pasal 50 KUHP yang berbunyi: “Tidak boleh dihukum barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan undang-undang”.19

Berdasarkan hal tersebut seseorang yang dapat di pidana haruslah seseorang yang mampu bertanggung jawab dan adanya kesalahan, serta tidak ada alasan pembenar

18

Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, 2012, hlm.51. 19Ibid


(36)

dan pemaaf atas perbuatannya tersebut. Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat yaitu:

1. Kemampuan bertanggung jawab atau dapat dipertanggungjawabkan dari pembuat.

2. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu sikap psikis pelaku yang berhubungan dengan kelakuannya, yaitu disengaja dan sikap kurang hati-hati atau lalai.

3. Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat.20

C. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis normatif). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartika secara yuridis atau kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah perbuatan seperti yang terwujud in-abstracto dalam peraturan pidana. Sedangkan kejahatan dalam arti kriminologis adalah perbuatan manusia yang menyalahi norma yang hidup di masyarakat secara kongkrit.21

Sedangkan menurut pendapat van hamel, strafbar feit adalah “kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan. 22 Menurut Moeljatno, perbuatan pidana (tindak pidana) adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan larangan mana yang disertai dengan ancaman (sanksi), yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Dari pengertian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa tindak pidana adalah

20

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, 1983, hlm.153.

21

Tri Andrisman, Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Bandar Lampung, Universitas Lampung, 2011, hlm.69.

22


(37)

24

perbuatan yang diancam dengan pidana terhadap barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

Untuk adanya tindak pidana harus memiliki unsur-unsur sebagai berikut : 1. Perbuatan manusia.

2. Memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil). 3. Melawan hukum (syarat materiil).

Syarat formiil tersebut diatas harus ada , karena asas legalitas yang terhimpun dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi:

Tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.

Ketentuan tersebut diatas merupakan dasar pokok dari pada ketentuan hukum pidana, ketentuan itu biasa disebut sebagai asas: “nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali”.

Reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimahkan negara pada pembuat delik itu, dikatakan Simons bahwa strafbaar feit itu adalah

“kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan, dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.23

Dapat diancam dengan pidana yang bersangkutan mampu bertanggungjawab terhadap perbuatan yang dilakukannya. Selama ini yang tidak dianggap mampu memepertanggungjawabkan perbuatan pidana adalah seorang yang belum dewasa atau di bawah kemampuan akan tetapi perkembangan kejahatan yang begitu pesat

23


(38)

memberikan batasan usia kepada anak di bawah umur untuk mendapatkan hukuman atas kejahatan yang dilakukannya.24

D. Pengertian Tindak Pidana Pencabulan

Istilah mengenai tindak pidana merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu strafbaarfeit atau delict, namun dalam perkembangan hukum istilah strafbaarfeit atau delict memiliki banyak definisi yang berbeda-beda, sehingga untuk memperoleh pendefinisian tentang tindak pidana secara lebih tepat sangatlah sulit mengingat banyaknya pengertian mengenai tindak pidana itu sendiri.

Pengertian Tindak Pidana ( Strafbaar Feit) menurut salah satu ahli hukum yaitu istilah perbuatan pidana, yang didefinisikan sebagai perbuatan yang dilaran oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.25

Pencabulan berasal dari kata “cabul”. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memuat arti kata sebagai berikut : “keji” dan “kotor”, tidak senonoh ( melanggar

kesopanan, kesusilaan). Perbuatan cabul digolongkan sebagai salah satu bentuk kejahatan terhadap kesusilaan.

KUHP belum mendefinisikan dengan jelas maksud perbuatan cabul itu sendiri dan terkesan mencampur arti kata persetubuhan maupun perkosaan. Dalam rancangan

KUHP sudah terdapat penambahan kata “persetubuhan” disamping kata perbuatan

24

Simon, 2002. Hukum Pidana, hlm 41. 25

Moeljatno, Perbuatan Pidana Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 2000, hlm.54.


(39)

26

cabul. Perumusan tersebut dapat dilihat bahwa pengertian perbuatan cabul dan persetubuhan sangatlah berbeda. Perbuatan cabul tidak menimbulkan kehamilan.

Kata “ontuchtige handelingen” atau cabul adalah tindakan yang berkenaan dengan kehidupan dibidang seksual, yang dilakukan dengan maksud-maksud untuk memperoleh kenikmatan dengan cara yang sifatnya bertentangan dengan pandangan umum untuk kesusilaan.26

Ketika seorang dewasa melakukan hubungan seksual dengan anak yang belum berumur 18 Tahun maka orang tersebut akan dianggap sebagai pelaku yang telah melakukan penyimpangan seksual ataupun kejahatan seksual kepada anak. Secara Yuridis orang dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan anak dianggap mempunyai kelainan dan telah melakukan perbuatan cabul pada anak, namun dewasa ini perbuatan cabul juga sering dilakukan oleh ayah kepada anaknya, saudara ataupun teman dan hubungan kekasih. Perbuatan cabul ini dilakukan oleh orang dewasa kepada anak asuhannya sendiri.

Perbuatan cabul merupakan salah satu bentuk kejahatan terhadap kesusilaan yang diatur dalam bab XIV buku ke dua KUHP tentang kejahatan kesuailaan. Pengertian perbuatan cabul itu sendiri adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan atau perbuatan keji, yang semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin misalnya mencium, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada. Persetubuhan masuk pula dalam pengertian perbuatan cabul akan tetapi dalam undang-undang ditentukan sendiri.27

26

Lamintang , Dasar-dasar untuk mempelajari Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm.159.

27


(40)

Tindak pidana pencabulan merupakan salah satu kejahatan kesusilaan, yang diatur di dalam KUHP Buku II bab XIV Pasal 294 ayat (1) yang ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 7 (tujuh) Tahun. Meskipun perbuatan ini selalu harus dilakukan oleh kedua belah pihak secraa bersama-sama, namun yang dihukum hanyalah seorang yang sudah dewasa. Apabila perbuatan cabul dilakukan pelaku tidak tercapai maksudnya, karena adanya perlawanan dari pihak korban, ia dipersalahkan melakukan percobaan pencabulan yang ketentuannya diatur dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP yang berbunyi: “Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan

karena kehendaknya sendiri”. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Ketentuan tindak pidana pencabulan diatur dalam Undang-Undang yang bersifat khusus yaitu pada awalnya sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) Tahun dan paling singkat 3 (tiga) Tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).


(41)

28

Tahun 2014 Undang-Undang Perlindungan Anak telah dirubah sebagaimana dengan di Undangkannya Undang-Undang nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, sebagaimana tentang tindak pidana pencabulan terhadap anak yang diatur dalam Pasal 76 D dan E, Pasal 81 Ayat (1, 2, dan 3), Pasal 82 Ayat (1, 2, dan 3), yang berbunyi:

Pasal 76 D: “Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau

membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul”.

Pasal 76 E: “Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan

perbuatan cabul”.

Pasal 81:

“(1) Setiap orang yang melangggar ketentuan-Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) Tahun dan paling lama 15 (lima belas) Tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) berlaku pula bagi Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan,


(42)

atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud

pada ayat (1).”

Pasal 82:

“(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) Tahun dan paling lama 15 (lima belas) Tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud


(43)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah seecara yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan normatif dilakukan dengan cara mempelajari buku-buku, bahan-bahan bacaan literature peraturan perundang-undangan yang menunjang dan behubungan sebagai penelaahan hukum tertulis. Penelitian normatif dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis asas-asas hukum, dasar hukum dan konsep-konsep hukum Yuridis empiris atau non doktrial. Dilihat dari sifatnya, penelitian ini termasuk penelitian deskriptif.

Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksud dari penelitian deskriptif adalah terutama untuk mempertegas hipotesis-hipotesis agar dapat membantu dalam memperkuat teori-teori baru. Sedangkan ditinjau dari metodenya, penelitian ini termasuk penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang dilakukan dengan melakkan pengumpulan data berupa kata-kata, gambar-gambar, serta informasi verbal atau normatif dan bukan dalam bentuk angka.29

29

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, 1986, hlm.10.


(44)

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data dalam penelitian ini berasal dari kepustakaan dan lapangan. Sedangkan jenis data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.

1. Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari penelitian di lapangan pada obyek yang diteliti, beberapa keterangan dari aparat penegak hukum di kejaksaan dan pengadilan negeri yang ada kaitannya dengan permasalahan dalam skripsi ini.

2. Data sekunder

Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan yang meliputi :

a. Bahan hukum primer

Merupakan bahan hukum yang bersumber dari :

1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. 3. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan

Kehakiman.

4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak junto Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.


(45)

32

5. Putusan Pengadilan Negeri Blambangan Umpu Nomor : 137/Pid.B/2014/PN.BU

b. Bahan Hukum Sekunder

Merupakan bahan hukum yang bersumber dari :

1. Penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209).

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan KUHP.

3. Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No-M-01-PW-07003 Tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP.

c. Bahan Hukum Tersier

merupakan bahan hukum yang bersumber dari karya-karya ilmiah, bahan seminar, literatur dan pendapat para sarjana yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang dibahas.

C. Penentuan Narasumber

Data diperoleh dari para narasumber. Narasumber adalah seseorang yang memberikan pendapat atas objek yang diteliti.30 Narasumber ditentukan secara purposive sample yaitu penunjukan langsung dengan narasumber yang ditunjuk menguasai permasalahan dalam penelitian ini.31 Narasumber tersebut adalah:

30

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, Hlm.175.

31


(46)

Berdasarkan hal tersebut, maka penentuan pengambilan narasumber pada penelitian ini terdiri dari:

1. Hakim pada Pengadilan Negeri Blambangan Umpu : 1 Orang 2. Jaksa pada Kejaksaan Negeri Blambangan Umpu : 1 Orang 3. Dosen Bagian Hukum Pidana FH Unila : 1 Orang +

Jumlah Narasumber 3 Orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam penelitian guna menyusun penulisan hukum ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :

a. Studi Lapangan

Merupakan penelitian secara langsung terhadap obyek ooenelitian dalam rangka mengumpulkan data primer :

1) Pengamatan

Observasi merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan mengadakan pengamatan secara langsung terhadap obyek yang diteliti, untuk diadakan pencatatan secara sistematis dan terarah.

2) Wawancara

Wawancara yang dilakukan yaitu dengan bertatap dengan mengadakan tanya jawab langsung guna memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini.


(47)

34

b. Studi Kepustakaan

Merupakan cara teknik pengumpulan data dengan membaca dan memperoleh bahan-bahan tertulis seperti buku-buku ilmiah, peraturan perundangan, hasil penelitian, artikel-artikel yang berhubungan dengan masalah yang diteliti olleh penulis.

2. Prosedur Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, baik studi kepustakaan maupun studi lapangan, maka data diproses melalui pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut : a. Seleksi Data

Yaitu memeriksa dan memilih data sesuai dengan objek yang akan dibahas, juga dengan mempelajari dan menelaah data yang diperoleh dari hasil peneltian.

b. Klasifikasi data

Yaitu mengklasifikasi/mengelompok data yang diperoleh menurut jenisnya untuk memudahkan dalam menganalisis data.

c. Sistematisasi data

Yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada setiap pokok secara sistematis sehingga mempermudah interpretasi data dan tercipta keteraturan dalam menjawab permasalahan.


(48)

E. Analisis Data

Langkah yang dilakukan setelah memperoleh data adalah menganalisis data tersebut. Teknik analisis data adalah proses pengorganisasian dan pengurutan data dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja.

Data yang diperoleh lalu diolah kemudian dianalisis secara kualitatif yaitu dilakukan dengan menggambarkan data yang dihasilkan dalam bentuk uraian kalimat atau penjelasan. Analisis data ini merupakan hal yang penting agar data yang sudah terkumpul dengan cara yang benar dapat menghasilkan jawaban dari permasalahan. Meliputi kgiatan mengatur, mengurutkan, memberi kode dan mengklarifikasi data.


(49)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Setelah melakukan pembahasan terhadap data yang diperoleh dalam penelitian maka sebagaimana penutupan dari pembahasan atas permasalahan dalam skripsi ini, penulis menarik simpulan:

1. Pertanggungjawaban pidana adalah suatu mekanisme untuk menentukan apakah seorang terdakwa atau tersangka dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yg terjadi atau tidak. Dalam kasus pencabulan ini memenuhi tiga unsur dari pertanggungjawaban pidana yaitu pertanggungjawaban pelaku tindak pidana pencabulan anak di bawah umur yaitu ditinjau dari kemampuan Topan (tersangka) dapat bertanggungjawab berdasarkan hal-hal, Perbuatan terdakwa harus merupakan suatu tindak pidana yang diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan yaitu melakukan perbuatan pencabulan terhadap anak dibawah umur. Terdakwa sebagai pelaku tindak pidana mampu bertanggungjawab atas perbuatannya dan tidak ada alasan pemaaf dan pembenar terhadapnya.

Suatu perbuatan harus memiliki sanksi yang mengikat, hal ini berdasarkan prinsip asas legalitas dimana seorang tidak boleh dipidana tanpa ada aturan yang jelas melarangnya. Oleh karena itu maka sanksi yang dikenakan Topan


(50)

Robin bin Nazom Rahman belum cukup berat karna telah melanggar ketentuan Pasal 81 ayat (1) dan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Hakim yang memeriksa perkara tersebut telah menjatuhkan putusan pemidanaan berupa pidana penjara selama 8 (delapan) tahun.

2. Dasar Pertimbangan Hakim dalam memutus perkara dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap pelaku pencabulan anak di bawah umur yaitu hakim yang memeriksa dan memutus perkara sebelum menjatuhkan pidana telah mendengar keterangan saksi-saksi dan menyesuaikan keterangan saksi-saksi satu sama lain sehingga dapat menyimpulkan suatu fakta hukum atau peristiwa hukum sebagaimana yang terjadi. Pertimbangan hakim tidak hanya terletak pada unsur-unsur yang didakwakan tetapi juga mengaitkan antara keterangan satu dengan yang lain. Pertimbangan hakim berkaitan dengan teori pendekatan keilmuan, yaitu hakim memutuskan suatu perkara, sesuai dengan ilmu pengetahuan hukum dan wawasan keilmuan hakim, sehingga putusan yang dijatuhkan tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Hal-hal yang memberatkan yaitu membuat saksi korban trauma, telah merusak masa depan saksi korban. Teori berikutnya yang berkaitan dengan pertimbangan hakim yaitu teori Ratio Decidendi. Dimana hakim mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok-pokok perkara yang disengketakan. Serta hakim menggunakan hati nurani dan rasa keadilan dari dalam diri hakim. Dan hal yang meringankan terdakwa Topan Robin bin Nazom Rahman yaitu terdakwa belum pernah dihukum, bersikap sopan dalam persidangan dan secara terus terang mengakui perbuatannya.


(51)

60

B. Saran

Adapun saran yang perlu diajukan penulis adalah.

1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak belum maksimal memberikan perlindungan kepada anak secara menyeluruh, perlu adanya penambahan hukuman yang dapat membuat tersangka jera.

2. Perlu meningkatkan gerakan perlindungan anak dengan cara memberikan arahan dan sosialisasi mengenai hak-hak anak, dan bagaimana tata cara melaporkan apabila anak mengaami ancaman baik fisik maupun psikis dikarnakan akan merusak masa depan anak karna anak adalah generasi penerus bangsa.


(52)

DAFTAR PUSTAKA

Buku/Literatur:

Andrisman, Tri, 2011, Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Bandar Lampung : Universitas Lampung.

Chazawi, Adami, 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Efendi, Sofian, 1989, Metode Penelitian Survei, Jakarta:LP33ES.

Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Lamintang . 1997. Dasar-dasar untuk mempelajari Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia, Bandung : PT Citra Aditya Bakti.

---, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung, PT. Aditya Bakti.

Marpaung, Leden, 2012, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika.

Moeljatno, 1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Jakarta : Bumi Aksara.

---, 1993, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Jakarta, Bina Aksara.

---, 2000, Asas-asas Hukum Pidana, cetakan ke enam, Jakarta : Rineka Cipta. ---, 2000. Perbuatan Pidana Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana.

Jakarta : Bina Aksara.

Mulyadi, Lilik, 2007, Suatu Tinjauan Khusus Terhadap suatu Dakwaan Eksepsi dan Putusan Peradilan, Bandung, Citra Aditya.

N.A., Barda, 2005, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung, PT. Citra Aditya.


(53)

62

---, , 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Poerwadarminta, W.J.S., 1995, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, PT.Balai Pustaka.

Rahardjo, Satjipto, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Rifai, Ahmad, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Cet I, Sinar Grafika, Jakarta.

Saleh, Roeslan. 1962. stelsel pidana indonesia, Yogyakarta. Yayasan Badan Gajah Mada.

_______, 1981. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana. Jakarta : Aksara Baru. Seno Adji, Oemar. 1997. Mass Media Hukum, Erlangga, Jakarta : Alumni. Simons. 2002. Hukum Pidana, Aditya Bhakti. Jakarta.

Soesilo, R. 1966. KUHP serta komentar-komentarnya. Bogor : Politeria.

Soekanto,Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Indonesia (UI-Press).

Sudarsono, 1992, Kamus Hukum, Jakarta : PT.Rineka Cipta.

Wahid, Abdul dan Muhammad Irfan. 2001. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan, Bandung : Refika Aditama.

Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan

Kehakiman.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Lain-lain:


(1)

35

E. Analisis Data

Langkah yang dilakukan setelah memperoleh data adalah menganalisis data tersebut. Teknik analisis data adalah proses pengorganisasian dan pengurutan data dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja.

Data yang diperoleh lalu diolah kemudian dianalisis secara kualitatif yaitu dilakukan dengan menggambarkan data yang dihasilkan dalam bentuk uraian kalimat atau penjelasan. Analisis data ini merupakan hal yang penting agar data yang sudah terkumpul dengan cara yang benar dapat menghasilkan jawaban dari permasalahan. Meliputi kgiatan mengatur, mengurutkan, memberi kode dan mengklarifikasi data.


(2)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Setelah melakukan pembahasan terhadap data yang diperoleh dalam penelitian maka sebagaimana penutupan dari pembahasan atas permasalahan dalam skripsi ini, penulis menarik simpulan:

1. Pertanggungjawaban pidana adalah suatu mekanisme untuk menentukan apakah seorang terdakwa atau tersangka dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yg terjadi atau tidak. Dalam kasus pencabulan ini memenuhi tiga unsur dari pertanggungjawaban pidana yaitu pertanggungjawaban pelaku tindak pidana pencabulan anak di bawah umur yaitu ditinjau dari kemampuan Topan (tersangka) dapat bertanggungjawab berdasarkan hal-hal, Perbuatan terdakwa harus merupakan suatu tindak pidana yang diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan yaitu melakukan perbuatan pencabulan terhadap anak dibawah umur. Terdakwa sebagai pelaku tindak pidana mampu bertanggungjawab atas perbuatannya dan tidak ada alasan pemaaf dan pembenar terhadapnya.

Suatu perbuatan harus memiliki sanksi yang mengikat, hal ini berdasarkan prinsip asas legalitas dimana seorang tidak boleh dipidana tanpa ada aturan yang jelas melarangnya. Oleh karena itu maka sanksi yang dikenakan Topan


(3)

59

Robin bin Nazom Rahman belum cukup berat karna telah melanggar ketentuan Pasal 81 ayat (1) dan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Hakim yang memeriksa perkara tersebut telah menjatuhkan putusan pemidanaan berupa pidana penjara selama 8 (delapan) tahun.

2. Dasar Pertimbangan Hakim dalam memutus perkara dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap pelaku pencabulan anak di bawah umur yaitu hakim yang memeriksa dan memutus perkara sebelum menjatuhkan pidana telah mendengar keterangan saksi-saksi dan menyesuaikan keterangan saksi-saksi satu sama lain sehingga dapat menyimpulkan suatu fakta hukum atau peristiwa hukum sebagaimana yang terjadi. Pertimbangan hakim tidak hanya terletak pada unsur-unsur yang didakwakan tetapi juga mengaitkan antara keterangan satu dengan yang lain. Pertimbangan hakim berkaitan dengan teori pendekatan keilmuan, yaitu hakim memutuskan suatu perkara, sesuai dengan ilmu pengetahuan hukum dan wawasan keilmuan hakim, sehingga putusan yang dijatuhkan tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Hal-hal yang memberatkan yaitu membuat saksi korban trauma, telah merusak masa depan saksi korban. Teori berikutnya yang berkaitan dengan pertimbangan hakim yaitu teori Ratio Decidendi. Dimana hakim mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok-pokok perkara yang disengketakan. Serta hakim menggunakan hati nurani dan rasa keadilan dari dalam diri hakim. Dan hal yang meringankan terdakwa Topan Robin bin Nazom Rahman yaitu terdakwa belum pernah dihukum, bersikap sopan dalam persidangan dan secara terus terang mengakui perbuatannya.


(4)

60

B. Saran

Adapun saran yang perlu diajukan penulis adalah.

1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak belum maksimal memberikan perlindungan kepada anak secara menyeluruh, perlu adanya penambahan hukuman yang dapat membuat tersangka jera.

2. Perlu meningkatkan gerakan perlindungan anak dengan cara memberikan arahan dan sosialisasi mengenai hak-hak anak, dan bagaimana tata cara melaporkan apabila anak mengaami ancaman baik fisik maupun psikis dikarnakan akan merusak masa depan anak karna anak adalah generasi penerus bangsa.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Buku/Literatur:

Andrisman, Tri, 2011, Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Bandar Lampung : Universitas Lampung.

Chazawi, Adami, 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Efendi, Sofian, 1989, Metode Penelitian Survei, Jakarta:LP33ES.

Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Lamintang . 1997. Dasar-dasar untuk mempelajari Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia, Bandung : PT Citra Aditya Bakti.

---, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung, PT. Aditya Bakti.

Marpaung, Leden, 2012, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika.

Moeljatno, 1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Jakarta : Bumi Aksara.

---, 1993, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Jakarta, Bina Aksara.

---, 2000, Asas-asas Hukum Pidana, cetakan ke enam, Jakarta : Rineka Cipta. ---, 2000. Perbuatan Pidana Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana.

Jakarta : Bina Aksara.

Mulyadi, Lilik, 2007, Suatu Tinjauan Khusus Terhadap suatu Dakwaan Eksepsi dan Putusan Peradilan, Bandung, Citra Aditya.

N.A., Barda, 2005, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung, PT. Citra Aditya.


(6)

62

---, , 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Poerwadarminta, W.J.S., 1995, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, PT.Balai Pustaka.

Rahardjo, Satjipto, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Rifai, Ahmad, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Cet I, Sinar Grafika, Jakarta.

Saleh, Roeslan. 1962. stelsel pidana indonesia, Yogyakarta. Yayasan Badan Gajah Mada.

_______, 1981. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana. Jakarta : Aksara Baru. Seno Adji, Oemar. 1997. Mass Media Hukum, Erlangga, Jakarta : Alumni. Simons. 2002. Hukum Pidana, Aditya Bhakti. Jakarta.

Soesilo, R. 1966. KUHP serta komentar-komentarnya. Bogor : Politeria.

Soekanto,Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Indonesia (UI-Press).

Sudarsono, 1992, Kamus Hukum, Jakarta : PT.Rineka Cipta.

Wahid, Abdul dan Muhammad Irfan. 2001. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan, Bandung : Refika Aditama.

Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan

Kehakiman.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Lain-lain: