PENERAPAN KOREKSI STATIK TIME DOMAIN ELEKTROMAGNETIK (TDEM) PADA DATA MAGNETOTELLURIK (MT) UNTUK PEMODELAN RESISTIVITAS LAPANGAN PANAS BUMI “SS”

(1)

Sebagai Salah Sat

JURUSAN T

Oleh

PUTRI HARDINI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA TEKNIK

Pada

Jurusan Teknik Geofisika Universitas Lampung

JURUSAN TEKNIK GEOFISIKA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS LAMPUNG


(2)

ABSTRACT

APLICATION STATIC CORRECTION TIME DOMAIN

ELEKTROMAGNETIC (TDEM) ON MAGNETOTELLURIC (MT) DATA FOR MODELING RESISTIVITY GEOTHERMAL FIELD “SS”

By

PUTRI HARDINI

Magnetotelluric method is a passive electromagnetic method which has a range of depths deeper than other geophysical methods. Measurement result magnetotelluric is due static shift in difference topography and has heterogeneity of the surface layer, so that involves to be corrected static Time Domain Electromagnetic (TDEM). TDEM an active elektromagnetic method that accurate for shallow layers. Processing result by static correction in all research areas has a distribution of resisitivity value that is more accurate. Estimation of cap layer (claycap) clearly visible in the line 3 around the point MT-19 dan MT-18 with resistivity value < 10 ohm.m and at depth 1000 meters from mean sea level (msl).


(3)

PENERAPAN KOREKSI STATIK TIME DOMAIN ELEKTROMAGNETIK (TDEM) PADA DATA MAGNETOTELLURIK (MT) UNTUK PEMODELAN RESISTIVITAS LAPANGAN PANAS BUMI “SS”

Oleh Putri Hardini

Metode magnetotellurik (MT) merupakan metode elektromagnetik pasif yang memiliki jangkauan kedalaman yang lebih dalam dari metode geofisika lainnya. Hasil pengukuran magnetotellurik mengalami pergeseran statik akibat perbedaan topografi dan heterogenitas lapisan permukaan, sehingga perlu dilakukan koreksi statik Time Domain Elektromagnetik (TDEM). TDEM merupakan metode elektromagnetik aktif yang akurat untuk lapisan dangkal. Hasil pengolahan koreksi statik pada semua lintasan daerah penelitian memiliki persebaran nilai resistivitas yang lebih akurat. Perkiraan lapisan penudung (claycap) terlihat jelas pada lintasan ke-3 disekitar titik MT-19 dan MT-18 dengan nilai resistivitas < 10 ohm.m dan pada kedalaman 1000 meter msl.


(4)

(5)

(6)

(7)

Halaman

ABSTRACT

…...………..….

i

ABSTRAK

………..….

ii

HALAMAN JUDUL

………..

PENGESAHAN

………..….………...

iii

v

PERNYATAAN

………...………...

vi

RIWAYAT HIDUP

………

vii

MOTTO

………...………

viii

PERSEMBAHAN

……….……….….

x

KATA PENGANTAR

………..……….….

x

SANWACANA

……….………...…...

xi

DAFTAR ISI

……….………..

xv

DAFTAR GAMBAR

..………..………...……...

xvii

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang…..…...………..

1

1.2

Tujuan Penelitian...…..…...………… ………...…

1.3

Batasan Masalah….………

2

2


(8)

xvi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Struktur Geologi....…...

2.2

Sistem Panas Bumi...

2.3 Manifestasi Panas Bumi…...……….…. ……

3

5

7

BAB III TEORI DASAR

3.1

Metode Magnetotellurik………..………..

3.1.1 Sumber Sinyal ……....………

10

10

3.1.2 Persamaan Dasar Magnetotellurik ………..…….…..

3.2 Impedansi (Z) ……….………

3.2.1.

Resistivitas Semu, Fasa dan

Skin depth

………

3.3 Efek Statik………..

3.4 Pemodelan Data Magnetotellurik ……….

3.4.1 Transformasi Bostick..………

3.4.2 Pemodelan 2D

Nonlinear Conjugate Gradient

………

3.5 Prinsip Pengukuran………

11

15

18

20

22

23

24

27

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

4.1

Waktu dan Tempat Penelitian………

4.2

Peralatan……….

4.3

Data Penelitian………...

4.4

Diagram Alir………

4.5

Cara Kerja………...

29

29

29

30

31

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Pengolahan Data 1 Dimensi (1D)……….

5.2 Pengolahan Data 2 Dimensi (2D)……….

5.3 Interpretasi dan Pembahasan

33

37

5.3.1 Model 1D………..

5.3.2 Model 2D..………...

40

45

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR PUSTAKA


(9)

Gambar

Halaman

1.

Pertemuan tiga lempeng Tektonik ……….. 3

2. Proses Tektonik …...……...

3. Sistem Panas bumi...

4. Contoh Paper Inversi MT ………..……….

5. Ilustrasi Sumber Medan Elektromagnetik …..………

6. Komponen medan listrik dan medan magnet dalam polarisasi TE dan

TM model 2D ……….……….

7. Bentuk polarisasi untuk TM-mode dan TE-mode ….………...

8. Layout Pengukuran MT ……….………

9. Diagram Alir Penelitian………

10. Persebaran Titik Magnetotellurik ………..

5

6

8

11

25

26

28

30

34

11. Lembar Database ………...………..

34

12. Kurva sounding MT02………...….

13. Kurva Sounding MT02 dengan Koreksi Statik TDEM………..

14.

Mesh Line

1 sebelum pengolahan 2D …….………..…...…..………..

15. Parameter

setting

inversi 2D …..………...………..……….

36

37

38

39

16.

Model 1D titik MT02 …...….………

41

17.

Kurva resistivitas titik MT02…………..………...

43

18.

Kurva Resistivitas (ohm-m) terhadap Depth (m).…………...………

44

19.

Model 2 Line 1


(10)

xviii

19b. Dengan Koreksi TDEM………

47

20.

Model 2D ………..

48

21. Peta persebaran resistivitas berdasarkan

fixed elevation

dari ketinggian

1250 m sampai kedalaman 2000 m dari

msl

.

21a. Elevasi 1250 m ……….

21b. Elevasi 750 m………

21c. Elevasi 250 m………

21d. Elevasi 0 m………

21e. Elevasi -500 m ………..

21f. Elevasi -1000 m……….

21g. Elevasi -1500 m……….

21h. Elevasi -2000 m………...

50

51

51

52

52

53

53

54

22. Sounding

MT 19 dan MT 18………..

55


(11)

1.1. Latar Belakang

Panas bumi merupakan suatu energi yang terkandung dalam batuan panas dan cairan yang mengisi pori-pori patahan dalam kerak bumi. Untuk memanfaatkan potensi panas bumi sebagai energi yang renewable maka dilakukan eksplorasi geofisika dengan tujuan penyelidikan daerah prospek dan potensi sumber daya yang terkandung pada daerah panas bumi. Eksplorasi tersebut dilakukan dalam tahapan-tahapan sehingga diperoleh data yang akurat.

Salah satu metode yang digunakan adalah metode magnetotellurik (MT) yang dapat menembus kedalaman puluhan meter sampai ribuan meter. Metode ini memanfaatkan gelombang elektromagnetik alam. Dalam prosesnya metode ini bekerja sama dengan metode inversi dan forward dalam penggambaran model panas bumi dan untuk mengetahui distribusi resistivitas dari area prospek panas bumi yang diteliti.

Karena adanya heterogenitas dekat-permukaan dan topografi di sekitar titik pengamatan dapat menyebabkan adanya efek statik atau static shift pada data magnetotellurik (MT). Manifestasi efek statik tersebut berupa pergeseran


(12)

vertikal-2

kurva resistivitas semu secara serba sama pada semua interval frekuensi atau periode. Koreksi efek statik pada data MT dapat dilakukan melalui pemodelan, khususnya efek statik yang disebabkan oleh faktor topografi (Chouteau & Bouchard, 1988). Koreksi statik dilakukan dengan pengamatan data Time domain Elektromagnetic (TDEM) pada titik yang sama untuk mengoreksi data MT yang mengalami efek statik.

Dengan koreksi statik diharapkan data MT akan lebih akurat baik secara horizontal maupun vertikal. Dari data MT terkoreksi TDEM, selanjutnya dibuat model untuk mengidentifikasi zona claycappada lapangan ini.

1.2. Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Penerapan koreksi statik (TDEM) pada pemodelan data MT untuk mendapatkan model resistivitas 2 dimensi secara vertikal maupun horizontal. 2. Pemodelan resistivitas untuk deliniasi zona claycappada lapangan “SS”.

1.3. Batasan Masalah

Adapun batasan masalah penelitian ini adalah:

1. Pengolahan data dengan koreksi statik dan tidak memakai koreksi statik. 2. Interpretasi data menggunakan MT yang dikoreksi TDEM

3. Pemodelan 2D MT dengan koreksi TDEM menggunakan tiga lintasan untuk mengidentifikasi lapisan bawah permukaan lapangan panas bumi “SS”.


(13)

2.1. Struktur Geologi Proses terjadinya sumber tiga lempeng tektonik, yaitu

Lempeng Eurasia, dapat dilihat pada G

Gambar 1. Pertemuan tiga

Tumbukan ketiga lempeng sistem panas bumi di Indonesia. sebelah selatan dengan Lempeng

sumber panas bumi di Indonesia merupakan hasil dari tektonik, yaitu Lempeng Pasifik, Lempeng Indo - Australia

dapat dilihat pada Gambar 1.

mbar 1. Pertemuan tiga lempeng tektonik di Indonesia (Natawidjaja, 1994)

lempeng tersebut memiliki peranan penting dalam terbentuknya bumi di Indonesia. Tumbukan antara Lempeng Indo-Australia

dengan Lempeng Eurasia di sebelah utara menghasilkan hasil dari interaksi

Australia, dan

sia (Natawidjaja, 1994)

dalam terbentuknya Australia di-menghasilkan zona


(14)

4

subduksi pada kedalaman 160 s.d 210 km di bawah pulau Jawa - Nusatenggara dan kedalaman 100 km di bawah pulau Sumatera. Hal ini mengakibatkan proses magmatisasi pada pulau Sumatera lebih dangkal dibandingkan dengan pulau Jawa- Nusatenggara.

Pulau Sumatra tersusun atas dua bagian utama, sebelah barat didominasi oleh keberadaan lempeng samudera, sedang sebelah timur didominasi oleh keberadaan lempeng benua. Berdasarkan gaya gravitasi, magnetisme dan seismik ketebalan lempeng samudera sekitar 20 kilometer, dan ketebalan lempeng benua sekitar 40 kilometer (Hamilton, 1979).

Sejarah tektonik Pulau Sumatra berhubungan erat dengan dimulainya peristiwa pertumbukan antara Lempeng India - Australia dan Asia Tenggara, sekitar 45,6 juta tahun yang lalu, yang mengakibatkan rangkaian perubahan sistematis dari pergerakan relatif lempeng-lempeng disertai dengan perubahan kecepatan relatif antar lempengnya berikut kegiatan ekstrusi yang terjadi padanya dapat dilihat pada Gambar 2. Gerak Lempeng India - Australia yang semula mempunyai kecepatan 86 milimeter/tahun menurun menjaedi 40 milimeter/tahun karena terjadi proses tumbukan tersebut (Char-shin Liu et al, 1983 dalam Natawidjaja, 1994).

Perbedaan kedalaman subduksi antara Pulau Sumatera dengan Pulau Jawa -Nusatenggara menyebabkan jenis magma yang dihasilkan juga berbeda. Pada kedalaman yang lebih besar seperti di pulau Jawa, magma yang dihasilkan lebih bersifat basa dan lebih cair dengan kandungan gas magmatik yang lebih tinggi sehingga menghasilkan erupsi gunung api yang lebih kuat yang menghasilkan


(15)

-endapan vulkanik yang lebih di Pulau Jawa umumnya batuan vulkanik.

Sedangkan sistem panas asam dan lebih kental yang riolitis. Dan reservoir panas pada kedalaman yang lebih dan

Gambar 2. Prose

2.2. Sistem Panas Bumi

Sistem panas bumi tersusun source), reservoir, batuan ditunjukkan pada Gambar 3.

yang lebih tebal dan terhampar luas. Oleh karena itu,

umumnya terletak pada bagian yang lebih dalam dan menempati

panas bumi di Sumatera memiliki magma yang bersifa kental yang berkaitan dengan kegiatan gunung api

reservoir panas bumi terdapat pada batuan sedimen dan ditemukan aman yang lebih dangkal.

Gambar 2. Proses tektonik (Anonymuos, 2006).

m Panas Bumi

bumi tersusun oleh beberapa parameter seperti, sumber panas batuan penudung, sumber fluida dan siklus hidrologi ambar 3.

karena itu, reservoir dan menempati

yang bersifat lebih gunung api

andesitik-dan ditemukan

sumber panas (heat idrologi yang


(16)

Gambar 3. Sistem p

Sistem panas bumi dikont

1. Sumber panas (heat source 2. Batuan berporos atau 3. Lapisan penutup, biasanya 4. Keberadaan srtuktur

ketidakselarasan),

5. Daerah resapan air atau aliran air bawah permukaan Gambar 3. Sistem panas bumi (Anonymous, 2006).

nas bumi dikontrol oleh adanya (Suharno, 2010): heat source) berupa plutonik,

atuan berporos atau reservoir tempat uap panas terjebak didalam Lapisan penutup, biasanya berupa batu lempung,

Keberadaan srtuktur geologi (patahan, perlipatan, collapse, rekaha ketidakselarasan),

Daerah resapan air atau aliran air bawah permukaan (recharge area) 6

empat uap panas terjebak didalamnya

, rekahan dan


(17)

Tabel 1. Klasifikasi kelompok sistem panas bumi Indonesia ( suharno, 2010). Wilayah

Kriteria Sumatera Jawa,Nusatenggara

Sulawesi Utara Sebagian besar Sulawesi, Maluku dan Papua Manifestasi permukaan Fumarol suhu tinggi dengan steam jet, mmata air mendidih, solfatara, lumpur panas, kolam lumpur, danau asam, alterasi luas dan sangat intensif

Fumarol suhu tinggi, mata aiar mendidih, solfatara, kolam lumpur, alterasi intensif

Fumarol dan solfatara

Material penyusun Riolitik-andesitik, produk gunung api muda, ketebalan material sekitar 1 km

Andesitic-basaltik, produk gunung api muda dan sedang, ketebalan material . 2,5 km

Produk gunung api tua, sedimen

Struktur Sesar regional sumatera dan sesar-sesar sekunder, ketidakselarasan, kaldera Sesar local,kaldera, ketidakselarasan Sesar local Graben Ketidakselarasan

2.3. Manifestasi Panas Bumi

Berbeda dengan sistem minyak - gas, adanya suatu sumber daya panas bumi di bawah permukaan sering kali ditunjukkan oleh adanya manifestasi panas bumi di permukaan (geothermal surface manifestation), seperti mata air panas, kubangan lumpur panas (mud pools), geyser dan manifestasi panas bumi lainnya, dimana beberapa diantaranya, yaitu mata air panas, kolam air panas sering dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk mandi, berendam, mencuci, masak dll.


(18)

Manifestasi panas bumi perambatan panas dari bawah yang memungkinkan fluida permukaan (Nenny, 2010).

Contoh paper penelitian daerah Pampa Lirima, Ch Hasil inversi pada Gambar survei ini didasari oleh lapisan bawah permukaan, yang bumi. Clay ini ditutup resistivitas tinggi dapat dilihat

kelurusan NE-SW ditafsirkan dari geologi

Gambar 4. Hasil inversi magnetotelurik, bagian berorientasi di model 3

bumi di permukaan diperkirakan terjadi karena dari bawah permukaan atau karena adanya rekahan memungkinkan fluida panasbumi (uap dan air panas) mengalir

2010).

penelitian data magnetotellurik dengan koreksi TDEM Pampa Lirima, Chili

Gambar 4 menunjukkan bahwa selatan ke barat daya oleh lapisan dangkal konduktif (<10 ohm-m) dalam 1000 permukaan, yang ditafsirkan sebagai claycap (argilik) dari daerah

tutupi lapisan konduktif pada bagian tengah dengan dapat dilihat pada Gambar 4b yang bertepatan dengan SW ditafsirkan dari geologi daerah dan data aeromagnetik.

asil inversi magnetotelurik, menunjukkan: a) NE-SW dan b) NW bagian berorientasi di model 3D (setelah Arcos et al, 2011).

8

karena adanya rekahan-rekahan panas) mengalir ke

koreksi TDEM pada

barat daya daerah dalam 1000 m di daerah panas tengah dengan zona bertepatan dengan daerah

k.


(19)

Pada bagian barat daya dari wilayah survei, di bawah claycap lapisan konduktif atas, tubuh konduktif dalam diamati pada > 2 km kedalaman. Ini akan membedakan Pampas Lirima dari sistem vulkanik aktif khas lainnya yang merupakan sumber panas di tempat lain di lingkungan Andes dan sumber panas yang biasanya tubuh resistif dalam (Legaut,J. Lombardo, S. dkk).


(20)

BAB III TEORI DASAR

3.1. Metode Magnetotellurik

Magnetotellurik (MT) adalah metode pasif yang mengukur arus listrik alami dalam bumi, yang dihasilkan oleh induksi magnetik dari arus listrik di ionosfer. Metode ini dapat digunakan untuk menentukan sifat listrik bahan pada kedalaman yang relatif besar (termasuk mantel) di dalam bumi. Dengan teknik ini, variasi waktu pada potensi listrik diukur pada stasiun pangkalan dan stasiun survei.

Perbedaan pada sinyal tercatat digunakan untuk memperkirakan distribusi resistivitas listrik bawah permukaan. Teknik prospeksi tahanan listrik untuk menentukan kedalaman formasi batuan sedimen yang berada jauh di dalam bumi dengan cara mengukur tahanan jenis formasi batuan tersebut berdasarkan pengukuran serempak medan listrik dan medan magnet yang berosilasi pada lokasi yang sama, yaitu dengan mencatat rentang frekuensi yang tergantung dari kedalaman sasaran.

3.1.1. Sumber Sinyal

Medan elektromagnetik yang dimanfaatkan memiliki fluktuasi geomagnetik -dengan rentang 10-3s.d 105s atau rentang frekuensi 10-5s.d 103Hz.


(21)

Sumber sinyal dari medan elektromagnetik terbagi menjadi dua (Ilustrasi dapat dilihat pada Gambar 5) ,yaitu:

a. Sinyal dengan frekuensi rendah ( < 1 Hz)

Sumber sinyal ini berasal dari solar wind (interaksi angin matahari dengan magnet bumi)

b. Sinyal dengan frekuensi tinggi ( > 1 Hz)

Sumber sinyal ini berasal dari aktiviatas meteorologi seperti adanya petir ataupun badai.

Gambar 5. Ilustrasi Sumber Medan Elektromagnetik (Grandis, H. 2007)

3.1.2. Persamaan Dasar Magnetotellurik

Persamaan Maxwell merupakan sintesa hasil-hasil eksperimen (empiris) mengenai fenomena listrik - magnet yang didapatkan oleh Faraday, Ampere, Gauss, Coulombdisamping yang dilakukan oleh Maxwellsendiri.


(22)

12

Penggunaan persamaan tersebut dalam metoda MT telah banyak diuraikan dalam buku-buku pengantar geofisika khususnya yang membahas metoda EM (Keller & Frischknecht, 1966 ; Porstendorfer, 1975 ; Rokityansky, 1982; Kauffman & Keller, 1981 ; 1985). Dalam bentuk diferensial, persamaan Maxwell dalam domain frekuensi dapat dituliskan sebagai berikut :

×E= - ……… (1a)

× = + ....………... (1b) . = ………... (1c)

. = ……… (1d)

dimana E : medan listrik (Volt/m)

B : fluks atau induksi magnetik (Weber/m2 atau Tesla) H : medan magnet (Ampere/m)

j : rapat arus (Ampere/m2)

D: perpindahan listrik (Coulomb/m2) q: rapat muatan listrik (Coulomb/m3)

Persamaan (1a) diturunkan dari hukum Faraday yang menyatakan bahwa perubahan fluks magnetik menyebabkan medan listrik dengan gaya gerak listrik-berlawanan dengan variasi fluks magnetik yang menyebabkannya.

Persamaan (1b) merupakan generalisasi teorema Ampere dengan memperhitungkan Hukum Kekekalan Muatan. Persamaan tersebut menyatakan bahwa medan magnet timbul akibat fluks total arus listrik yang disebabkan oleh arus konduksi dan arus perpindahan.


(23)

Persamaan (1c) menyatakan Hukum Gauss yaitu fluks elektrik pada suatu ruang sebanding dengan muatan total yang ada dalam ruang tersebut. Sedangkan persamaan (1d) yang identik dengan persamaan (1c) berlaku untuk medan magnet, namun dalam hal ini tidak ada monopol magnetik.

Hubungan antara intensitas medan dengan fluks yang terjadi pada medium dinyatakan oleh persamaan berikut:

B = ……… (2a) D = ……… (2b) J = = ………. (2c) dimana μ: permeabilitas magnetik (Henry/m)

ε: permitivitas listrik (Farad/m)

σ: konduktivitas (Ohm-1/m atau Siemens/m) ρ: tahanan-jenis (Ohm.m)

Untuk menyederhanakan masalah sifat fisik medium, diasumsikan tidak bervariasi terhadap waktu dan posisi (homogen isotropik). Dengan demikian, akumulasi muatan seperti dinyatakan pada persamaan (2c) tidak terjadi dan persamaan Maxwell dapat dituliskan kembali sebagai berikut:

∇× = − ……… (3a)

∇ × = + ……… (3b)

∇. = 0 ……… (3c)


(24)

14

Tampak bahwa dalam persamaan Maxwell yang dinyatakan oleh persamaan (3) hanya terdapat dua variabel yaitu medan listrik E dan medan magnet H. Dengan operasi curl terhadap persamaan (3a) dan (3b) serta mensubstitusikan besaran - besaran yang telah diketahui pada persamaan (3) akan kita peroleh pemisahan variabel E dan H sehingga:

∇×∇× = − – ……….. (4a)

∇×∇× = − – ……… (4b)

Dengan memperhatikan identitas vektor ∇×∇× = ∇.∇. − ∇ x dimana x adalah E atau H, serta hubungan yang dinyatakan oleh persamaan (3c) dan (3d), maka kita dapatkan persamaan gelombang (persamaan Helmholtz) untuk medan listrik dan medan magnet sebagai berikut:

∇ E = + ……… (4c)

∇ H = + ……… (4d)

Jika variasi terhadap waktu dapat direpresentasikan oleh fungsi periodik sinusoidal maka:

E(r,t) = ……….. (4e) H(r,t) = ……….. (4f)

dimana E0dan H0 masing-masing adalah amplitudo medan listrik dan medan


(25)

Pada kondisi yang umum dijumpai dalam eksplorasi geofisika (frekuensi lebih rendah dari 10 Hz, medium bumi) suku yang mengandung (perpindahan listrik) dapat diabaikan terhadap suku yang mengandung (konduksi listrik) karena harga ≫ untuk = = 4 . . Pendekatan tersebut adalah aproksimasi keadaan kuasi - stasioner dimana waktu tempuh gelombang diabaikan ( Tikhonov , 1950 ).

3.2. Impedansi (Z)

Data medan listrik dan medan magnet dalam metode MT tidak digunakan secara terpisah, keduanya digunakan untuk memperoleh besaran yang disebut impedansi. E dan H adalah vektor (tensor rank 1), maka Z adalah tensor – rank 2. Untuk metode MT, komponen medan listrik dan medan magnet yang digunakan adalah komponen horizontal, sebab gelombang EM dianggap merambat vertikal. Jika vektor mengarah vertikal, maka vektor E dan B akan berada pada bidang horizontal tegak lurus vector,sehingga hubungan di atas dapat dinyatakan dengan persamaan matriks :

= ……… (5a)

Dengan matriks impedansi Z berukuran 2x2. Bentuk matriks impedansi tersebut tergantung pada dimensionalitas medium. Pada medium 3D matriks impedansi memiliki 4 komponen yang independen dengan matriks seperti di atas. Pada medium 2 D secara umum matriks impedansi memiliki 3 komponen independen dengan bentuk sbb:


(26)

16

− .……… (5b)

Namun untuk medium 2D, jika pengukuran dilakukan menggunakan koordinat yang sejajar atau tegak lurus strike, hanya terdapat dua komponen independen dengan matriks impedansi

0

0 ……….. (5c)

Untuk medium satu dimensi hanya terdapat satu komponenindependen: 0

0 ………. (5d) Secara umum untuk kasus dua dimensi, dari data sinyal medan listrik dan medan magnet yang direkam, diperoleh matriks impedansi dengan tiga komponen independen. Untuk menyederhanakan komputasi, sedapat mungkin pengukuran dilakukan dengan memilih koordinat yang sejajar atau tegak lurus strikesehingga hanya ada dua komponen impedansi yang independen. Kenyataannya, dalam surveykita tidak mengetahui kemana arah strikeyang sebenarnya.

Diasumsikan bahwa medium bawah tanah hampir dapat dimodelkan dengan model 2 dimensi, pengukuran dapat dilakukan dengan arah koordinat maupun yang dipilih. Setelah data terkumpul dan nilai impedansi dihitung, matriks impedansi tersebut dapat diputar atau dirotasikan secara numerik, sehingga seolah -pengukuran dilakukan dengan menggunakan koordinat yang sejajar atau tegak lurus arah strike. Inilah yang disebut dekomposisi tensor impedansi, dimulai dari persamaan sebelumnya :


(27)

= ………... (5e)

Setiap komponen Z tidak bergantung pada frekuensi. Hubungan diatas tidak mengikutsertakan efek noise. Dalam kasus 1 D Zxx dan Zyy nilainya nol, Zxy = -Zyx, sehingga persamaan tereduksi menjadi Ex = ZxyHy dan Ey = ZxyHx = -ZyxHx. Dan pada kasus 2D, keadaanya lebih kompleks. Namun, jika Zxx = Zyy = 0(pengukuran dilakukan dengan arah tegak lurus atau sejajar strike) hanya ada dua komponen impedansi yang independen, yaitu Zxy dan Zyx. Dari kedua komponen impedansi tersebut didefinisikan resistivitas semu dan fasa:

xy = | | ∅ = − ………. (5f)

yx = | | ∅ = − ……….. (5g)

Jika dipilih koordinat-x sejajar strike, xy dan ∅ disebut resistivitas semu dan fase TE, sedang dan ∅ disebut resistivitas semu dan fase TM. Ini berlaku jika salah satu sumbu koordinat sejajar atau tegak lurus strike. Metode MT 2 dimensi berdasarkan pada konsep ini dan memisahkan medan yang terukur -menjadi mode TE dan TM. Maka salah satu pekerjaan dalam pemrosesan data adalah menetukanstrikegeoelektrik dan memutar data ke koordinat tersebut.

Salah satu metode dalam penentuan strikegeoelektrik adalah dekomposisi tensor. Metode ini menggunakan matriks rotasi R yang bergantung pada parameter θ untuk memutar matriks impedansi Z sehingga komponen diagonalnya kecil dan komponen diagonalnya besar.


(28)

18

Bentuk matriks rotasi adalah R:

R = cosθ sinθ

− θ θ ………... (5h) Matriks Zʹhasil rotasi matriks impedansi Z adalah :

Zʹ – RZRʹ ……… (5i)

Sudut rotasi divariasikan hingga matriks Zʹ memiliki komponen diagonal yang besar dan komponen diagonal yang kecil. Beberapa metode dapat digunakan, contohnya Metode Swift, menggunakan kriteria memaksimumkan nilai │Zxy│2 +│Zyx│2. Sebenarnya, dari data riil mungkin tampak bahwa matriks impedansi yang diperoleh memiliki 4 komponen independen akibat data yang tercampur noise.

Hal ini menyulitkan perkiraan nilai impedansi bawah permukaan dari data yang tercampur noise. Noise ini mungkin sifatnya batuan (seperti pipa logam bawah tanah, jaringan listrik PLN, dsb) ataupun noise yang sifatnya alam seperti badai magnetik. Obyek lokal juga dapat menyebabkan efek anisotropi. Karena itu, diperlukan metode pengolahan dengan Robust Procesing.

3.2.1. Resistivitas Semu, Fasa dan Skin depth Impedansi permukaan (Zs) pada “half space” adalah:

Zs = ………. (6a)

Pada Z = 0, maka untuk resistivitas semu ρa:


(29)

Biasanya pada MT, medan E diukur pada unit mV/k dan medan H pada nT. Karena nT adalah unit dari B, Hy = By/ , dan:

A/m =

Pada bagian umum berlaku :

ρa =

( ×

( ×

= 0,2T ………. (6c)

Dimana Ex dalam mV/km dan By dalam nT. (Rokityansky, 1982).

Dalam domain frekuensi, Z ( ) adalah kompleks dan memiliki fase φ terkait:

∅= = √ = = = ° ………. (6d)

Dengan demikian, fase konstan pada 45 °, terlepas dari resistivitas yang mendasari ”half-space”(Schmucker dan Weidelt, 1975).

Sementara skin depth didefinisikan sebagai kedalaman suatu medium homogen dimana amplitudo gelombang EM telah tereduksi menjadi 1/ε dari amplitudo di permukaan bumi:

= ……….. (6e)


(30)

20

3.3. Efek Statik

Data MT dapat terdistorsi karena adanya heterogenitaslokal dekat permukaan dan faktor topografi yang dikenal sebagai efek statik (static shift). Akumulasi muatan listrik pada batas konduktivitas medium menimbulkan medan listrik sekunder yang tidak bergantung pada frekuensi (deGroot-Hedlin, 1991). Hal tersebut menyebabkan kurva sounding MT (log tahanan-jenis semu terhadap log periode) bergeser ke atas atau ke bawah sehingga paralel terhadap kurva sounding yang seharusnya. Dalam skala log, pergeseran vertikal kurva sounding tersebut dapat dinyatakan sebagai perkalian tahanan jenis semu dengan suatu konstanta (Grandis, 2010).

Interpretasi atau pemodelan terhadap data MT yang mengalami distorsi akan menghasilkan parameter model yang salah. Jika medium dianggap 1D maka pemodelan terhadap kurva sounding tahanan jenis semu yang dikalikan dengan konstanta k akan menghasilkan lapisan-lapisan dengan tahanan jenis dan ketebalan yang masing-masing dikalikan dengan k dan k1/2. Oleh karena itu, penentuan konstanta k tersebut sangat penting untuk mengoreksi kurva sounding MT sebelum dilakukan pemodelan (Grandis, 2010).

Jika data geofisika lainnya tidak tersedia maka untuk mengoreksi efek statikpada data MT dapat dilakukan perata-rataan atau pemfilteran spasial terhadap sekelompok data, misalnya dari suatu lintasan tertentu. Dalam hal ini, diasumsikan bahwa efek regional yang merepresentasikan kondisi bawah permukaan sebenarnya akan muncul setelah dilakukan perata-rataan (Beamish dan Travassos, 1992).


(31)

Pemodelan yang dilakukan Sternberg dkk. (1988) serta Pellerin dan Hohmann (1990) menunjukkan bahwa heterogenitas lokal dekat permukaan pada medium 1-dimensi menyebabkan pergeseran vertikal kurva soundingMT. Pergeseran kurva sounding MT tersebut bergantung pada posisi titik pengamatan relatif terhadap heterogenitas, sedangkan kurva sounding TDEM tidak dipengaruhi oleh adanya heterogenitas tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa data TDEM dapat digunakan untuk mengoreksi data MT yang terdistorsi oleh efek statik.

Salah satu metoda koreksi efek statik data MT adalah melalui inversi data TDEM untuk memperkirakan model 1D yang representatif. Perhitungan kedepan (forward modelling) MT berdasarkan model 1D tersebut menghasilkan data MT tanpa distorsi yang dapat digunakan sebagai referensi untuk menyesuaikan atau mengggeser data MT yang mengandung efek statik (Pellerin dan Hohmann, 1990). Metoda ini memerlukan dua tahapan pemodelan yaitu pemodelan inversi TDEM dan pemodelan kedepan MT. Disamping itu, hasil pemodelan inversi hampir selalu mengandung faktor ekivalensi (ambiguitas) solusi sehingga data yang sama dapat menghasilkan model yang agak berbeda.

Teknik lain yang lebih sederhana adalah dengan mengkonversi data TDEM sehingga langsung bisa dibandingkan dengan data MT yang terdistorsi. Cara ini didasarkan pada ekivalensi kedalaman penetrasi gelombang elektromagnetik (kedalaman diffusi pada TDEM dan skin depth pada MT) yang didefinisikan sebagai berikut:


(32)

22

Pada penetrasi kedalaman yang sama diasumsikan bahwa delay time (t) akan ekivalen dengan perioda (T). Dari kedua persamaan tersebut di atas diperoleh faktor konversi berupa pergeseran waktu (time shift) sehingga pembagian delay time(dalam milidetik) dengan menghasilkan perioda (dalam detik).

3.4. Pemodelan Data Magnetotellurik

Model 1D berupa model berlapis horizontal, yaitu model yang terdiri dari beberapa lapisan, dimana tahanan jenis tiap lapisan homogen. Dalam hal ini parameter model 1D adalah tahanan jenis dan ketebalan tiap lapisan. Secara umum hubungan data dari parameter model dinyatakan oleh :

d = F(m) ……….. (7a)

dimana d adalah vektor data, m adalah vector model dan F(m) adalah fungsi forward modeling.

Pemecahan masalah menggunakan algoritma dilakukan Newton dengan mencari solusi model yang meminimumkan fungsi objektif ,yang didefinisikan oleh:

= ( − ) − ) ……… (7b)

Teknik modeling dari metode magnetotellurik ini adalah: 1. Teknik pemodelan forward

Dilakukan dengan menghitung respon dari suatu model untuk dibandingkan dengan data impedansi (tahanan jenis semu dan fasa) pengamatan. Dengan cara coba coba dapat diperoleh suatu model yang responnya paling cocok


(33)

-dengan data, sehingga model tersebut dapat dianggap mewakili kondisi bawah permukaan.

2. Teknik pemodelan inversi

Teknik ini memungkinkan untuk memperoleh parameter langsung dari data.

3.4.1. Transformasi Bostick

Pemodelan 1D data magnetotellurik menggunakan inversi Bostick. Inversi Bostick ini merupakan suatu perkiraan yang digunakan untuk mendapatkan kurva resistivitas semu ρa(T) dan juga sebagai pertimbangan pola persebaran resistivitas

terhadap kedalaman, dimana informasi fasa tidak ada (tidak dapat dipercaya).

Transformasi Bostick memberikan perkiraan distribusi resistivitas dan kedalaman ρB(h) hingga ρN (h), dimana h adalah penetrasi kedalaman pada medium

half-space dalam resistivitas yang sama untuk resistivitas semu pada periode (T), dijelaskan dengan formula:

=

ρ ( ) ……… (7c) Resistivitas ψostick ρB(h) terhadap kedalaman, diberikan oleh:

ρB (h) =ρa (T) ( )

( ) ………. (7d) dimana m(T) adalah gradient pada kurva resistivitas semu dalam skala log – log:

= ( )

( ) = ( ) ( )

( ) ………..……….. (7e) Pernyataan alternatif untuk resistivitas Bostick pada kedalaman (h) digunakan oleh beberapa penulis, diterangkan Weidelt,et al, 1980:


(34)

24

ρB (h) =ρa (T)

∅( )− 1 ……….. (7f)

Informasi phasa ∅(T)berhubungan dengan aslinya (Jones, 1983).

3.4.2. Pemodelan 2D Nonlinear Conjugate Gradient (NLCG)

Untuk dapat merepresentasikan kondisi bawah permukaan secara lebih realistis maka digunakan model 2D dimana resistivitas bervariasi terhadap kedalaman (z) dan jarak dalam arah penampang atau profil (y) sehingga r (y, z). Dalam hal ini resistivitas medium tidak bervariasi dalam arah sumbu x yang merupakan arah struktur (strike).

Untuk pemodelan 2D berupa model bawah permukaan yang terdiri dari blok-blok dengan ukuran berbeda. Dalam hal ini parameter 2D adalah nilai tahanan jenis dari tiap blok yang mempunyai dimensi lateral (x) dan vertikal (z).

Pemecahan masalah menggunakan algoritma nonlinear conjugate gradient (NLCG) dlakukan dengan mencari solusi model yan meminimumkan fungsi objektif , yang didefinisikan oleh :

= − ) − + ……… (7g)

dimana ɛ adalah bilangan positif sebagai bobot relatif antara kedua faktor yang diminimumkan, danWadalah faktor smoothness yang merupakan fungsi kontiniu model yang dapat dinyatakan oleh turunan pertama atau turunan keduanya.

Pemodelan inversi dengan algoritma (NLCG) diaplikasikan pada program WinGlink.


(35)

Untuk dapat merepresentasi maka digunakan model 2

dan jarak dalam arah penampang resistivitas medium tidak

struktur (strike). Model Gambar 6.

Persamaan yang berlaku didefinisikan sebagai polarisasi Magnetic). Pada polarisasi masing sejajar dan tegak l

+ = iωμ

Hy = − μ ………

Gambar 6. Komponen medan listrik da

merepresentasikan kondisi bawah permukaan secara lebih model 2D dimana resistivitas bervariasi terhadap kedalaman arah penampang atau profil (y) sehingga r (y, z). Dalam medium tidak bervariasi dalam arah sumbu x yang merupakan

Model 2D sederhana berupa kontak vertikal diperlihatkan

berlaku pada kondisi 2D adalah persamaan medan EM sebagai polarisasi TE (Transverse Electric) dan TM (Transver

polarisasi TE medan listrik E dan medan magnet Hyx r dan tegak lurus dengan arah struktur dan berlaku persamaan

σEx ………. ………..

Komponen medan listrik dan medan magnet dalam polarisasi TE TM pada model 2D

secara lebih realistis terhadap kedalaman (z)

). Dalam hal ini merupakan arah diperlihatkan pada

medan EM yang Transverse Hyx masing-ur dan berlaku persamaan:

………... (7h) ……….. (7i)


(36)

26

Pada polarisasi TM medan magnet Hxdan medan listrik Eymasing-masing sejajar dan tegak lurus dengan arah struktur. Persamaan yang berlaku adalah:

+ = ……… (7j)

= / ………. (7k) dimana s = 1/ρ adalah konduktivitas medium dan ρ adalah resistivitas, = 2pf dan f adalah frekuensi, μ0adalah permeabilitas ruang hampa.

Dalam pemodelan respon MT 2D, medan elektromagnetik gelombang bidang (plane wave) dapat diambil sebagai superposisi medan polarisasi E ( transverse electric (TE mode)) dan medan polarisasi H (transverse magnetic, (TM mode)), masing-masing dengan komponen (Ex, Hy, Hz) dan (Hx, Ey, Ez), seperti gambar dibawah ini:


(37)

Persamaan gelombang untuk TE dan TM mode, dapat dituliskan: a. TE Mode:

+

+ + = 0 ……… (7l)

= (γ11 – σ12 σ21 j μ/ k22) dan gij = (j σij + 2μ ɛ ) ; dan medan magnet

dapat dicari melalui persamaan:

Hy

=

……….. (7m)

b. TM Mode:

+

+ + = 0

………..

(7n)

Sedangkan untuk medan listrik dapat dicari melalui persamaan:

Ey

=

………. (7o)

3.5. Prinsip Pengukuran

Komponen-komponen yang digunakan pada pengukuran MT terdiri dari sensor-sensor yang dapat digunakan untuk mengukur medan magnet dan medan listrik. Sensor-sensor tersebut terdiri dari sensor magnetik (coil) dan sensor elektrik (porospout). Sensor elektrik yang digunakan berjumlah 5 buah yang masing-masing ditempatkan pada arah utara,selatan,timur, barat dan satu lagi pada bagian tengah dari keempat tersebut. dan sensor magnetik berjumlah 3 buah dan diletakkan sejajar dengan sumbu x , sejajar dengan sumbu y dan dikubur dengan arah vertikal.


(38)

Selain itu alat MT unit (Phoenix) dan ditambah dengan adanya GPS (Lendra, 2003).

Sebelum melakukan pengambilan geologi daerah prospek.

diketahui melalui survey

dan coilHy sebaiknya diarahkan tegak lurus porospout Ex dan Hx disejajarkan dengan struktur.

Dalam penelitian ini, penulis adalah data sekunder yang Divisi Geosains, Elnusa.

Gambar 8

unit (Phoenix) yang dapat merekam data dan menyimpan dengan adanya GPS untuk sinkronisasi waktu pada saat pe

melakukan pengambilan data MT, terlebih dahulu dilakukan prospek. Dalam kondisi ideal, jika struktur 2D yang

survey geologi atau geofisika sebelumnya, makaporospout Hy sebaiknya diarahkan tegak lurus terhadap struktur, sedangkan asangan

Ex dan Hx disejajarkan dengan struktur.

ini, penulis tidak melakukan akuisisi data. Data yang digunaka sekunder yang diperoleh dari Tim Survey Non Navigasi

Elnusa.

Gambar 8. Layout pengukuran dalam metode MT

28

menyimpan data saat pengukuran

dilakukan survey yang dominan porospout Ey sedangkan asangan

yang digunakan Navigasi Seismik,


(39)

5. 1. Pengolahan Data 1 Dimensi

Dalam penelitian ini dilakukan pengolahan data terhadap 21 titik pengamatan yang tersebar pada tiga lintasan, yaitu Lintasan 1, Lintasan 2 dan Lintasan 3, yang membentang antara Timur Laut - Barat Daya. Kondisi geologi daerah ini berupa pegunungan dengan lintasan 1 (Line1) terdiri dari 8 titik MT yang pengukurannya di mulai dari MT-01 s.d MT-08, line 2 memiliki 7 titik pengukuran dan line 3 dengan 6 titik pengukuran. Jarak masing-masing titik berkisar antara 1,5 km. Peta persebaran titik dapat dilihat pada Gambar 10.

Pada penelitian ini data yang diolah berupa data dengan format (.EDI) yang sebelumnya telah dilakukan pengolahan awal dengan menggunakan software. Penelitian ini melanjutkan pengolahan data tahap kedua untuk mendapatkan model dari data pengukuran dengan menggunakan software geofisika yaitu, WinGLink.

Langkah pertama adalah dengan membuat lembar project dan database pada WinGLink. Pada tahap ini nama single project adalah MT dengan database dinamai dengan Tugas Akhir (lembar kerja Gambar 11). Kemudian dilanjutkan dengan importdata MT berupa data dengan format (.EDI) dan importkoordinat


(40)

-titik MT. Setelah proses

yang dimulai dengan menghubungkan seperti pada Gambar 10

kurva sounding MT dapat

MT yang tersebar pada tiga lintasan.

Gambar

proses import data selesai, dilanjutkan dengan pengolahan dengan menghubungkan titik-titik MT sesuai dengan lintasa Gambar 10. Setelah pengaktifan ketiga lintasan maka peng

MT dapat dilakukan. Pengeditan ini dilakukan terhadap rsebar pada tiga lintasan.

Gambar 10. Persebaran titik Magnetotellurik

Gambar 11. Lembar database MT

34

pengolahan data dengan lintasannya maka pengeditan terhadap 21 titik


(41)

Setelah kurva soundingMT01 sampai MT21 dibuka, terlihat bahwa kurva ρxy dan

ρyx memiliki pergeseran ke arah vertikal atau disebut dengan pergeseran statik.

Diperlihatkan pada Gambar 12 yang melampirkan satu titik MT yang mengalami pergeseran statik, yaitu MT02.

Dari kurva tersebut tampak kurva ρxy (merah) dan kurva ρyx (biru) mengalami

shift(pergeseran). Hal ini terjadi karena data MT tidak begitu stabil pada lapisan dangkal karena perbedaan topografi yang mencolok yang disebut juga karena efek galvanic(distorsi galvanic).

Pergeseran vertikal kurva sounding MT pada skala logaritmik ekivalen dengan perkalian harga resistivitas-semu dengan suatu konstanta k > 1 (pergeseran ke atas) atau k< 1 (pergeseran ke bawah). Pemodelan 1-D kurva soundingMT yang mengalami pergeseran vertikal sebesar k menghasilkan model 1D yang merupakan kelipatan k dan k½ masing-masing untuk resistivitas dan ketebalan yang sebenarnya (Sternberg dkk., 1988; Hendro & Grandis, 1996).

Untuk mengatasi data yang mengalami shift tersebut dilakukanlah koreksi statik, dalam penelitian ini menggunakan data TDEM. Data TDEM merupakan hasil pengukuran pada titik yang sama saat dilakukan pengukuran data MT. sehingga untuk mengatasi masalah ini maka tahap selanjutanya adalah menginput data TDEM. Penetrasi kedalaman data TDEM yang digunakan adalah maksimal 500 meter.


(42)

Gambar 12

Untuk mendapatkan kurva integrated dengan data MT pengeditan sounding, kurv

ρ

yx. Setelah proses input

sounding untuk dikoreksi pada Gambar 13. Pengikatan menggeser secara vertikal TDEM.

Salah satu contoh titik dapat sounding yang telah dikoreksi sehingga berhimpit dengan

Kurva

ρ

xy

Gambar 12. Kurva sounding MT-02

mendapatkan kurva TDEM, dilakukan pembuatan single database data MT kemudian import data TDEM, sehingga pada

kurva TDEM dapat muncul bersama dengan kurva input data TDEM, kemudian dilakukan penged dikoreksi dengan kurva TDEM yang telah ada. Seperti

engikatan terhadap kurva resistivitas dilakukan vertikal kedua kurva tersebut sehingga berhimpit dengan

titik dapat dilihat pada Gambar 13 yang memperlihatkan telah dikoreksi dengan menggeser kedua kurva resistivitas

t dengan kurva TDEM yang disebut dengan proses pengikatan. Kurva

ρ

yx

36

database yang di-sehingga pada saat dengan kurva

ρ

xydan pengeditan kurva Seperti terlihat dilakukan dengan dengan kurva

memperlihatkan kurva kurva resistivitas


(43)

Setelah dilakukan koreksi menggunakan inversi Bostick dilakukan pengeditan pada mengambil 6 layer un model Occam.

Perlakuan yang sama untuk dimensi yang selanjutnya dimensi.

Gambar 13. Kurva

5.2. Pengolahan Data 2

Setelah proses semua 1D untuk semua t adalah pembuatan model

project. Pada lembar kerja kemudian memilih menu

Kurva

koreksi dengan TDEM, maka dilakukan inversi 1D

Bostick dan Occam pada site 1D. Pada pengolahannya pengeditan pada menu yang telah tersedia. Pada penel

layer untuk setiap titik MT baik untuk model Bostick

sama untuk semua titik MT, sehingga mendapatkan selanjutnya dapat memerikan hasil yang bagus untuk pengolah

. Kurva Sounding MT02 dengan Koreksi Statik TDEM

5.2. Pengolahan Data 2 Dimensi (2D)

D untuk semua titik MT selesai maka tahapan selanjutnya model 2D. Langkah pertama memilih menu2D Inver

lembar kerja 2D muncul 3 buah lintasan dari area penelitian ih menu new modeldengan menggunakan topografi.

Kurva TDEM

D dengan pengolahannya penelitian ini, Bostick maupun

mendapatkan model 1 untuk pengolahan 2

Statik TDEM

maka tahapan selanjutnya Inversionpada penelitian yang


(44)

Pembuatan model 2D dilakukan pada lintasan 1 lembar kerja berupa mesh pengolahan inversi nantiny

Gambar 14 Kemudian pada menu worksheet, sheet parameter setting

rho dan phase datadan

Kemudian edit ranges kurva resistivitas dengan

kemudian pilih run smooth inversi

Maka pada lembar kerja a

2D dari Line 1. Proses yang sama untuk ke

model 2D dilakukan untuk masing-masing lintasan. lintasan 1 (Line1). Setelah new modeldibuat maka akan

mesh, seperti pada Gambar 14 sebagai pembantu n inversi nantinya.

Gambar 14. Mesh Line1 sebelum pengolahan 2D

worksheet,dipilih menu inversion setting ,akan muncul setting terlihat pada Gambar 15, kemudian pilih Invert

dan Invert TM mode rho dan phase data.

pada range editor untuk menentukan rentang dengan memilih range bound setting logaritmik, simpan run smooth inversidengan iterasimodel 50.

kerja akan melakukan running data, sehingga diperoleh ri Line 1. Proses yang sama untuk kedua lintasan.

38

lintasan. Pertama maka akan muncul pembantu dalam

akan muncul Invert TE mode

rentang nilai dari impan model


(45)

Gambar 15. Parameter settinginversi 2D

Pada pengolahan 2D terlebih dahulu menggunakan algoritma inversi non linear conjugate gradient (NLCG). Proses ini telah banyak dibahas oleh Rodi dan Mackie (2001). Algoritma ini membantu dalam proses pemodelan inversi dengan membuat fungsi sehingga dapat menyelesaikan masalah pemodelan dengan menggunakan modelsmoothingdari data MT terukur.

Data nilai resistivitas semu danphase yang digunakan pada pemodelan ini adalah data dengan frekuensi 102s.d 10-3Hz, yang bertujuan untuk membuat model dua dimensi area penelitian yang pada umumnya berada pada kedalaman 1 - 3 km sehingga frekuensi tersebut dapat dimanfaatkan.


(46)

40

5.3. Interpretasi dan pembahasan 5.3.1. Model 1D

Setelah proses pengolahan data 1D maka akan diperoleh model 1D dari masing-masing titik MT. Pada pembahasan akan ditampilkan salah satu titik MT yaitu titik MT02 sebelum dan sesudah koreksi TDEM dan titik lainnya dapat dilihat pada Lampiran. Dari kedua model tersebut dapat kita perhatikan kurva apparent resistivitas nya. Pada Gambar 16a resistivitas semu dari kurva tersebut diawali dengan nilai lebih dari 102 ohm-m sedangkan pada Gambar 16b yang telah dikoreksi dengan TDEM dimulai dengan nilai resistivitas 101ohm-m.

Dari kedua model tersebut dapat kita perhatikan pada kurva apparent resistivitas nya. Pada Gambar 16a resistivitas semu dari kurva tersebut diawali dengan nilai lebih dari 102ohm-m sedangkan pada Gambar 16b yang telah dikoreksi dengan TDEM dimulai dengan nilai resistivitas 101ohm-m. Nilai resistivitas lapisan awal lebih dari 100 (102) ohm-m menandakan lapisan tersebut sangat resistif (dominan resistif) karena pengaruh dari perbedaan topografi titik dengan daerah sekitar pengukuran. Perbedaan keheterogenitasan nilai resistivitas dari lapisan tersebut dan juga aktivitas permukaan baik dari aktivitas manusia maupun benda yang mempengaruhi gelombang elektromagnetik pada permukaan.

Pengaruh-pengaruh ini yang disebut pengaruh statik. Hal ini dapat mempengaruhi data yang diperoleh seperti tercermin pada model 1D tersebut yang mengalami-pemusatan satu nilai resistivitas yang dominan pada lapisan dangkal atau yang disebut dengan galvanik distrosi.


(47)

Gambar 16. Model 1D titik

(a)

(b)

. Model 1D titik MT02 (a) tanpa koreksi TDEM; (b) dengan Koreksi Statik (TDEM)


(48)

42

Model dengan pengaruh ini tidak dapat dipakai untuk interpretasi data karena kurang akurat untuk mendeskripsikan suatu lapangan panas bumi. Untuk mengatasi pengaruh ini maka dilakukan suatu koreksi, pada penelitian ini dilakukan koreksi dengan menggunakan Time Domain Elektromagnetik(TDEM) model 1D seperti ditunjukkan oleh Gambar 16b.

Pengukuran TDEM ini dilakukan pada titik-titik yang sama pada pengukuran MT. Keunggulan TDEM ini adalah penetrasi kedalaman pada daerah dangkal cenderung stabil tidak dipengaruhi oleh efek statik karena metode ini adalah metode aktif dengan injeksi arus yaitu arus Eddyuntuk mendapatkan hasil berupa sinyal listrik maupun magnet. Berbeda dengan metode MT yang penetrasi kedalaman cukup dalam tetapi pada kedalaman dangkal cenderung tidak bagus.

Pada penelitian ini injeksi arus di setting untuk mendapatkan penetrasi kedalamann sampai 500 meter. Sehingga pada pengolahannya pengikatan kurva sounding MT dengan kurva TDEM sehingga ketiga kurva tersebut berhimpit, sehingga hasil yang telah terkoreksi statik ditunjukkan oleh Gambar 16b.

Pada pembahasan 1D ini dilakukan interpretasi terhadap model 1D yang telah dikoreksi TDEM. Pada kurva resistivitas model 1D baik tanpa maupun telah terkoreksi TDEM merupakan hasil pengolahan untuk titik MT02. Pada Gambar 16 ini, bagian sebelah kiri merupakan kurva resistivitas semu dan phase (vertikal) terhadap periode (horizontal) sedangkan sebelah kanan merupakan kurva resistivitas (vertikal) terhadap kedalaman (horizontal).


(49)

Pada Gambar 17 menunjukkan persebaran nilai resistivitas terhadap perioda setiap lapisan permukaan bumi yang dapat dibagi tiga berdasarkan persebaran nilai-resistivitasnya. Lapisan yang memiliki nilai resistivitas kecil atau biasa disebut dengan lapisan konduktif (ρ2). Sedangkan lapisan yang mempunyai nilai

resistivitas yang sedang dinamakan lapisan resistif (ρ1).

Lapisan terakhir, yaitu lapisan ρ3 memiliki nilai resistivitas yang sangat tinggi.

Biasanya pada sistem panas lapisan yang memiliki nilai resistivitas yang tinggi diduga adalah lapisan batuan dasar (basement).

Gambar 17. Kurva resistivitas titik MT02

Kurva nilai resistivitas terhadap kedalaman ditunjukkan pada Gambar 18. Kurva tersebut menunjukkan persebaran nilai resistivitas dari lapisan permukaan sampai kedalaman 104m, tetapi yang menjadi titik pengamatan hanya sampai kedalaman 3 km. Daerah yang diarsir merupakan daerah pengamatan.


(50)

Persebaran nilai resistivitas berada pada nilai 1 - 10

resistivitas rendah. Semakin bertambah kedala

Gambar 18. Kurva Resistivitas Pada pemodelan 1D Gambar

merupakan hasil inversi, merupakan suatu perkiraan semu dan kedalaman. Kurva yaitu terdiri dari beberapa homogen, sehingga nilai berubah terhadap kedalaman.

resistivitas pada lapisan dangkal pada kedalaman sampai 101ohm-m yang merupakan lapisan konduktif dengan s rendah. Semakin bertambah kedalaman nilai resistivitas semakin besar.

Kurva Resistivitas (ohm-m) terhadap Depth (m).

1D Gambar 17 yaitu kurva resistivitas terhadap kedalaman, inversi, yaitu inversi Bostick. Inversi Bostick yang diterapkan perkiraan yang digunakan untuk mendapatkan kurva resistivi

Kurva ini direpresentasikan oleh model berlapis horizontal beberapa lapisan dimana tahanan jenis tiap lapisan

sehingga nilai resistivitas yang dihasilkan hanya pada satu p kedalaman.

44

kedalaman sampai 1 km konduktif dengan nilai ilai resistivitas semakin besar.

.

terhadap kedalaman, yang diterapkan kurva resistivitas berlapis horizontal lapisan adalah pada satu titik yang


(51)

Metode Inversi Bostick (Jones,1983) merupakan cara yang cepat dan mudah untuk memperkirakan variasi tahanan jenis terhadap kedalaman secara langsung dari kurva sounding tahanan jenis semu. Metode merupakan metode pandahuluan untuk mendapatkan model 2D magnetotellurik.

5.3.2. Model 2D

Dari pengolahan data yang dilakukan, dihasilkan model 2D yang memakai koreksi dan yang telah dikoreksi ditampilkan pada Gambar 19 dengan membandingkan hasil 2D dengan atau tanpa koreksi sebagai contoh adalah Line1.

Pada Gambar 19a merupakan model 2D yang tidak dikoreksi statik. Pola dari nilai resistivitas rendah hanya terlihat sedikit dan tipis dari titik MT-01 sampai MT-05, sedangkan pada MT-06 sampai MT-08 hampir semua titik memiliki nilai yang diindikasikan sebagai lapisan resistif (resistivitas tinggi), sehingga hampir pada semua titik didominasi oleh resistivitas yang tinggi yang ditandai dengan warna kebiruan. Hal ini menandakan pemusatan satu nilai resistivitas saja hampir pada setiap lapisan seperti telah dijelaskan pada pembahasan model satu dimensi dibagian sebelumnya. Sedangkan Gambar 19b merupakan model 2D yang telah terkoreksi statik. Model inilah nantinya dapat diinterpretasi untuk mendapatkan analisis data yang baik untuk pencitraan bawah permukaan.

Kedua model diatas sangat kontras berbeda karena pergeseran kurva sounding yang cukup jauh. Sama halnya dengan Line2 dan Line3 juga memiliki hasil yang sama dan memiliki perbedaan kontras resistivitas yang sangat berbeda tetapi dengan pola yang mengarah pada nilai yang sama.


(52)

Salah satu titik yang dibahas pada model tanpa TDEM Seperti halnya yang telah

model memiliki persebaran nilai resistivitas yang tinggi.

Semua titik MT mengalami topografi antara satu titik menjadi dasar dilakukan diinterpretasi pada pembahasan model 2D yang terkoreksi TDEM

yang dibahas sebelumnya yaitu titik MT-02 dapat diperhatikan TDEM memiliki nilai yang sama pada lapisan per

yang telah dibahas pada bagian 1D tadi yang menjadi iliki persebaran nilai resistivitas yang tinggi.

mengalami pergeseran statik yang disebabkan oleh perbedaan satu titik dengan titik lainnya. Oleh karena pengaruh inilah

dilakukan koreksi TDEM, dan model tersebut yang pada pembahasan penelitian ini. Selanjutnya akan dibahas D yang terkoreksi TDEM yang ditunjukkan oleh Gambar 19.

(a)

46

dapat diperhatikan lapisan permukaan. menjadi penyebab

oleh perbedaan pengaruh inilah yang tersebut yang akan akan dibahas ketiga


(53)

Gambar 19. Model 2 Line 1 (a) tanpa Ko TDEM

Barat Daya

(b)

. Model 2 Line 1 (a) tanpa Koreksi TDEM ; (b) dengan Koreksi

(a)

Timur Laut ngan Koreksi


(54)

Gambar 20

Pada Gambar 20 (a, b dan c) zona dengan nilai resistivitas rentang nilai resisitivitas berkisar antara 500 m s.d Kemungkinan pada lapisan konduktivitas besar.

(b)

( c )

Gambar 20. Model 2D (a) Line 1 ; (b) Line 2; (c) Line 3

(a, b dan c) terlihat tiga zona kontras dari gambar tersebut, resistivitas rendah yang ditandai dengan warna merah resisitivitas 1 s.d 10 ohm-m pada elevasi yang relatif dangkal

500 m s.d 1000 m. Zona ini disebut juga dengan zona konduktif. pada lapisan dangkal ini merupakan batuan yang memiliki

48

gambar tersebut, yaitu merah memiliki relatif dangkal yaitu zona konduktif. yang memiliki nilai


(55)

Zona yang memiliki nilai resistivitas sedang yang ditandai dengan warna kehijauan memiliki rentang nilai 12 s.d 100 ohm-m, pada umumnya tersebar pada elevasi 1000 s.d -1000 m dengan ketebalan yang bervariatif. Ketebalan zona ini sangat bervariasi bahkan ada yang muncul pada permukaan. Zona tersebut merupakan zona resistivitas sedang.

Zona terakhir adalah zona yang memiliki nilai resistivitas tinggi, biasanya disebut dengan lapisan resistif yang ditandai dengan warna kebiruan, memiliki nilai resistivitas berkisar dari >100 ohm-m. Zona ini tersebar pada elevasi dibawah 2000 m yang merupakan zona batuan sumber (source rock).

Namun pada ketiga model ini, nilai resistivitas pada setiap line dan setiap titik tidak tersebar secara merata. Berdasarkan kriteria panas bumi daearah Sumatera, zona claycapmemiliki resistivitas yang rendah dengan kedalaman dangkal yaitu ±1000 meter, maka model yang mengindikasikan zona clayitu adalah pada model 2D line 3, dimana daerah yang di duga “dome” diindikasikan sebagai claycap, yang berada pada kedalaman antara 1000 m sampai 1500 m, dapat dilihat pada model lateral pada Gambar 21 berikut.

Setelah memperoleh ketiga model maka ketiganya dibuat peta vertikal persebaran resistivitas berdasarkan fix elevation sampai kedalaman maksimum, pada penelitian ini adalah 3000 meter dari permukaan.

Peta persebaran resistivitas ditunjukkan pada Gambar 21. Pada peta ini menampilkan dari ketinggian 1250 m sampai kedalaman 2000 m dari mean sea level(msl), sehingga total kedalaman dari area ini adalah 3250 m.


(56)

Pada gambar ini kita dapat resistivitas baik lateral maupun yang rendah dominan berada arah Timur pada lintasan 3.

Nilai resistivitas rendah berada pada permukaan. dengan kedalaman sekitar 2000 meter, yang ditandai o

diduga sebagai batuan penudungnya, 18 dan MT-19.

kita dapat mengetahui kemenerusan dari persebaran lateral maupun vertikal. Pada peta persebaran, nilai resistivitas dominan berada pada daerah lintasan 1 dan 2 kemudian menerus Timur pada lintasan 3.

rendah tersebut bukan diindikasikan sebagai claycap permukaan. Zona yang terduga claycap dapat dilihat pada

sekitar 1000 meter dan perlahan menghilang pada kedalaman yang ditandai oleh garis putus - putus berwarna merah. Zona i

batuan penudungnya, yang terlihat pada titik sounding antara

(a). Elevasi 1250 meter

50

persebaran nilai nilai resistivitas kemudian menerus ke

claycap karena dilihat pada line 3 pada kedalaman . Zona ini yang sounding antara


(57)

MT-(b). Elevasi 750 meter


(58)

(d). Elevasi 0 meter

(e). Elevasi – 500 meter


(59)

(f). Elevasi – 1000 meter


(60)

Gambar 21. Peta persebaran ketinggian

Daerah yang diduga zona

untuk lebih jelas maka ditampilkan yang ditunjukkan pada Gambar yang ditandai dengan garis resistivitas rendah yang diduga pada kedalaman 1500 m, ya

Jadi dari model dari hasil persebaran resistivitas setiap semuanya memiliki data beberapa tahapan agar data mendapatkan hasil yang maks

(h). Elevasi – 2000 meter

Peta persebaran resistivitas berdasarkan fixed elevation ketinggian 1250 m sampai kedalaman 2000 m dari msl.

diduga zona claycapberada diselitar MT-19 dan MT-18, maka ditampilkan kurva soundingdari titik MT-19 dan

pada Gambar 22. Dari gambar sounding MT dibawah, dengan garis putus-putus berwarna merah yang memiliki

yang diduga claycap dimulai dari kedalaman 1000 aman 1500 m, yang memiliki nilai resistivitas < 10 ohm-m.

dari hasil pengolahan data ini untuk mengetahui resistivitas setiap lapisan permukaan. Data MT yang terukur memiliki data yang bagus untuk diolah, oleh karena itu diperlukan

agar data tersebut bebas dari noisedan bagus untuk diolah tkan hasil yang maksimal.

54

elevation dari

18, sehingga 19 dan MT-18, dibawah, bagian

miliki nilai 1000 m sampai

mengetahui daerah yang terukur tidak karena itu diperlukan untuk diolah agar


(61)

Gambar Data terukur tersebut pada keheterogenitasan nilai topografi dari masing-m statik untuk memperbaiki dilakukan pada penelitian elektromagnetik(TDEM)

Pada data penelitian nilai batuan penudung karena reservoar adalah ± 1000 m, pada line 3, yang berada s.d 1500 meter.

Gambar 22.SoundingMT-19 dan MT-18

tersebut pada kenyataan akan mengalami pergeseran statik nilai resistivitas lapisan atas dan juga karena perbedaan

masing titik pengukuran. Untuk itu diperlukan memperbaiki dan menghilangkan noise tersebut. koreksi

penelitian ini adalah dengan menggunakan koreksi time (TDEM) .

penelitian nilai resistivitas rendah pada permukaan bukan merupakan rena pada daerah Sumatera, kriteria untuk kedalaman 1000 m, maka dapat disimpulkan zona terduga claycap

berada antara titik MT-19 dan MT-18 pada kedalaman

pergeseran statik akibat karena perbedaan diperlukan koreksi tersebut. koreksi yang time domain

bukan merupakan untuk kedalaman claycapberada kedalaman 1000 m


(62)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Dari data terukur yang didapat, hampir semua kurva sounding (tiap titik pengukuran) mengalami pergeseran statik sehingga diperlukan koreksi TDEM agar model yang dihasilkan optimal.

2. Dari pengolahan data didapatkan 3 model 2D area penelitian. Model perlapisan dibagi dalam tiga zona, yaitu zona dengan nilai resistivitas rendah (zona konduktif) dengan nilai 1-10 ohm-m tersebar pada kedalaman kurang dari 1 km,zona dengan nilai resistivitas sedang 10 s.d 100 ohm-m tersebar pada kedalaman lebih dari 1 km, dan zona dengan nilai resistivitas tinggi (zona resistif) > 100 ohm-m berada pada kedalaman lebih dari 2 km yang merupakan batuan sumber.

3. Zona claycap (zona konduktif) diduga berada pada kedalaman 1000 m sampai 1500 m dengan nilai resistivitas berkisar < 10 ohm-m.


(63)

6.2. Saran

Untuk mendapatkan gambaran claycapdari sistem panas bumi ini diperlukan data pada lintasan yang lebih luas.


(64)

DAFTAR PUSTAKA

Agung, L. 2009. Pemodelan Geothermal dengan Menggunakan Metode Magnetotellurik. Universitas Indonesia : Jakarta.

Cagniard, L.1953. Basic Theory Of The Magneto-Telluric Method Of Geophysical Prospecting.

Djedi S. Widarto dan Edi M. Arsadi. 1997. Pemodelan Data Magnetotellurik Dua-Dimensi Menggunakan Metode Elemen Hingga Berdasarkan Algoritma Reddy dan Rankin. Telaah, Jilid XVII.

Grandis, H. 2010. Study Efek Statik Pada Data Magnetotellurik dengan Menggunakan Pemodelan 2D. ITB: Bandung.

Hendro, A.L. dan Grandis, H. 1996. Koreksi Efek Statik Pada Data Magnetotellurik Menggunakan Data Elektromagnetik Transien. Proceedings Himpunan Ahli Geofisika Indonesia, Jakarta.

Jones, A.G., 1983, On the equivalence of the “Nobblet” and “Bostick” transformation in the magnetotellurik method, J. Geophys., 53, 72-73. Legault, J. Lombardo,S. dkk, In The Paper of ZTEM over Pampa Lirima

Geothermal field, Chile.

Rikikate, T.1948. Notes on the Elektromagnetic Induction within the Earth. Earthquake Research Institute: Japan

Rodi,W dan Mackie, R 2001. Magnetotelluric Inversion. Earth Resources Laboratory : San Francisco

Saptadji, N. 2010. Teknik Panas Bumi. Bandung.

Suharno. 2010. Pengembangan Prospek Panas Bumi. Universitas Lampung: Bandar Lampung.


(65)

Vozoff, K., 1991, The magnetotellurik method, in Electromagnetic methods in applied geophysics, Vol.2 Apliication, M.N. Nabighian (ed), SEG Publishing.

http/ /Sekilas-Tentang-Panas-Bumi.html, diakses tanggal 20 November 2012. http://geologi/geologi-sumatera.html, diakses tanggal 20 November 2012.

http://taman.blogsome.com/2006/10/30/bagian-dari-bumi/trackback/), diakses tanggal 15 Sepetember 2012.

http://geoful.wordpress.com/panas-bumi/html, diakses tanggal 21 November 2012.


(66)

(67)

MT-01

MT-01

-02


(68)

MT

MT MT-04

MT-05


(69)

b. Lintasan 2

MT

MT MT- 08


(70)

MT - 10

MT - 11


(71)

MT

MT MT - 14


(72)

c. Lintasan 3

MT

MT

MT -16

- 17


(73)

MT MT - 20


(74)

(1)

MT

MT MT- 07


(2)

(3)

MT

MT MT - 13


(4)

(5)

MT

MT MT - 19


(6)