IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENANGGULANGI KERUSAKAN PASCA BENCANA BANJIR DI KABUPATEN TANGGAMUS

(1)

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM

MENANGGULANGI KERUSAKAN PASCA BENCANA

BANJIR DI KABUPATEN TANGGAMUS

OLEH

D I R WA N NPM. 1226021008

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar

MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN

Pada

Program Pascasarjana Magister Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU

PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2014


(2)

Aftermath Of Flood Damage In Kabupaten Tanggamus

by

D I R W A N

Issue in this study is handling of disaster damage especially floods has yet to resolve issue, where as the purpose of this study is : a) Want to know process of the implementation of government policies in tackling damage after floods carried. b) Want to know what are barriers that lead to implementation of government policy less than maximum.

Research methods used in this study is a qualitative method. The reasonis to know directly implementation of government policies in addressing post disaster damage was done, and problems that will find a way out can be identified and approached in accordance with substance.

The results of this study indicate that, implementation of Government policy in tackling aftermath off loods in Tanggamus categorized as a form of implementation has not been success ful. Policy implementation processin tackling post flood damage now found a number of barriers that are less direction a planning, in adequate budget, it’s operational less seriously, less precise target. Keywords : Policy implementation


(3)

ABSTRAK

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENANGGULANGI KERUSAKAN PASCA BENCANA BANJIR

DI KABUPATEN TANGGAMUS

Oleh

D I R W A N

Masalah dalam penelitian ini yaitu penangananan kerusakan akibat bencana terutama bencan banjir sampai saat ini belum menyelesaikan persoalan, sedangkan tujuan penelitian ini adalah; a) Ingin mengetahui proses implementasi kebijakan pemerintah dalam menanggulangi kerusakan pasca bencana banjir dilaksanakan. b) Ingin mengetahui hambatan-hambatan apa saja yang mengakibatkan implementasi kebijakan pemerintah tersebut belum maksimal.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Alasannya adalah ingin mengetahui secara langsung proses implementasi kebijakan pemerintah dalam menanggulangi kerusakan pasca bencana itu dilaksanakan, dan masalah-masalah yang akan dicari jalan keluarnya dapat diketahui dan didekati sesuai dengan substansinya.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, implementasi kebijakan pemerintah dalam menanggulangi kerusakan pasca bencana banjir di Kabupaten Tanggamus dikategorikan sebagai bentuk implementasi yang belum berhasil. Proses implementasi kebijakan dalam menanggulangi kerusakan pasca bencana banjir sekarang ini dijumpai sejumlah hambatan yaitu perencanaan kurang terarah, anggaran kurang memadai, operasional kurang sungguh-sungguh, target dan sasaran kurang tepat.


(4)

(5)

(6)

(7)

DAFTAR ISI

Halaman ABSTRACT

LEMBAR PERSETUJUAN LEMBAR PENGESAHAN SURAT PERNYATAAN RIWAYAT HIDUP PERSEMBAHAN MOTTO

SANWACANA DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 10

1.3 Tujuan Penelitian ... 11

1.4 Kegunaan Penelitan ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 12

1.1 Implementasi Kebijakan ... 12

1.2 Proses Implementasi Kebijakan ... 22

1.3 Penanggulangan Bencana ... ... 33

1.4 Kerangka Berfikir ... 46

III. METODE PENELITIAN ... 52

1.1 Jenis Penelitian ... 52

1.2 Lokasi Penelitian ... 52


(8)

3.6 Teknik Pengumpulan Data ... 56

3.7 Instrumen Penelitian ... 60

3.8 Teknik Analisis Data ... 60

3.9 Jadwal Pelaksanaan Penelitian ... 62

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 63

4.1 Gambaran Umum Kabupaten Tanggamus ... 63

4.1.1 Letak Geografis ... 63

4.1.2 Administrasi Pemerintahan ... 66

4.2 Gambaran Umum Program kerja BPBD ... 70

4.2.1 Tugas Pokok dan Fungsi BPBD ... 70

4.2.2 Program Kerja BPBD ... 91

4.2.3 Metode Pelaksanaan ... 93

4.2.4 Prinsip Pelaksanaan Program ... 94

4.2.5 Pelaksanaan Kegiatan Penanggulangan Bencana .. 95

4.3. Proses Implementasi Kebijakan ... 97

4.4 Hambatan-hambatan ... 116

4.4.1 Perencanaan ... 116

4.4.2 Anggaran ... 122

4.4.3 Operasional ... 125

4.4.4 Target/Sasaran ... 127

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 135

5.1 Kesimpulan ... 135

5.2 Saran ... 136 DAFTAR KEPUSTAKAAN


(9)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tujuan negara sebagaimana dimuat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 antara lain adalah “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum”. Negara Republik Indonesia dilihat dari letak geografisnya rawan dengan bencana, maka tugas dari negara untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari segala bentuk bencana.

Pemerintah telah beberapa kali mengeluarkan kebijakan baik di tingkat pusat, di tingkat provinsi, maupun ditingkat kabupaten. Kebijakan tersebut antara lain adalah Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2008, tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, dan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 11 Tahun 2008, tentang Pedoman Rehabilitasi dan Rekonstruksi pasca bencana.

Akan tetapi beberapa kebijakan telah dituangkan dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Kepala BNPB, Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati, ternyata belum


(10)

menjamin pembangunan kembali fasilias masyarakat yang rusak akibat bencana dapat berjalan lancar. Suatu kebijakan publik akan dikatakan lancar dan mempunyai makna apabila kebijakan itu dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, dan dapat memenuhi keinginan dari masyarakat.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, tentang Penanggulangan Bencana, yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana antara lain adalah “melindungi masyarakat dari dampak bencana dan pengalokasian dana penanggulangan bencana dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang memadai”. Selanjutnya kebijakan tentang penanggulangan bencana tersebut perlu diimplementasikan sesuai dengan tujuan dirumuskannya kebijakan tersebut.

Kebijakan otonomi daerah sering dipahami terbatasnya keleluasaan untuk memanfaatkan sumberdaya tanpa dibarengi dengan kesadaran untuk mengelolanya secara bertanggung jawab. Pergeseran wewenang dari pusat ke daerah sering kali tidak diiringi dengan pengalihan tanggung jawab pelayanan dan pelindungan kepada masyarakat. Akibatnya pada saat bencana terjadi tanggapan daerah cenderung lambat dan sering kali tergantung pada pemerintah pusat. Keadaan ini menjadi semakin rumit apabila bencana tersebut terjadi pada beberapa tempat dalam satu daerah.


(11)

3

Di lain pihak, pada saat bencana terjadi kurangnya koordinasi antar tataran pemerintah masih masih sering terhambat dalam melaksanakan tanggapan yang cepat, optimal dan efektif.

Penanggulangan bencana secara terencana, terkoordinasi dan terpadu yang dilakukan oleh pemerintah, swasta, atau masyarakat yaitu dengan cara penetapan kebijakan pembangunan yang beresiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Salah satu upaya penanggulangan bencana adalah kebijakan pemerintah merehabilitasi kerusakan pasca bencana berupa korban jiwa, luka-luka, pengungsian, lingkungan, ekosistem, harta benda, penghidupan, gangguan pada stabilitas sosial, ekonomi, politik, hasil pembangunan, dan infrastruktur.

Pemerintah Daerah sampai dengan sekarang belum maksimal dalam mengimplementasikan kebijakan yang telah ditetapkan baik oleh Pemerintah Pusat maupun oleh Pemerintah Daerah sendiri. Berbagai kebijakan maupun program yang diimplementasikan ternyata masih jauh dari harapan, masih banyak kebijakan dan program yang masih menemui kesulitan dalam pelaksanaannya.

Belum maksimalnya pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan adalah salah satu bentuk kerugian negara dalam bentuk tenaga, biaya, dan material yang harus dipertanggung jawabkan kepada masayarkat. Pada dasarnya biaya yang timbul untuk


(12)

melaksanakan program pemerintah adalah bersumber dari masyarakat. Dana yang sedemikian besar akan menjadi sia-sia manakala implementasinya tidak dikerjakan dengan baik. Oleh karena itu maka pemerintah seharusnya dalam merumuskan kebijakan dan mengimplementasikan kebijakan harus memperhatikan kepentingan masyarakat, termasuk dalam kepentingan masyarakat yang terkena dampak kerusakan bencana.

Untuk mengimplementasikan kebijakan pemerintah dengan baik dan benar, perlu pegawai sebagai implementor yang memadai pula. Sumberdaya aparatur yang merupakan perencana, pelaksana, dan pengawas mempunyai peran yang penting dalam pelaksanaan berbagai program. Oleh karena itu, maka dalam melaksanakan program penanggulangan bencana diperlukan pegawai yang mempunyai pengalaman yang memadai, kecerdasan, kesabaran, kemauan, serta jiwa sosial yang tinggi.

Penempatan pegawai yang kurang sesuai dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman dapat menimbulkan pegawai menjadi kurang semangat untuk melakukan pekerjaannya. Kurangnya semangat kerja pegawai, kurangnya peralatan kerja pegawai dapat menghambat implementasi kebijakan pemerintah dalam penanggulangan bencana. Penanggulangan bencana harus sungguh-sungguh, karena selain jiwa sosial dan pengorbanan juga menyelamatkan jiwa manusia.


(13)

5

Menjadikan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) sebagai tempat penampungan pegawai-pegawai malas menjadikan permasalahan yang fatal bagi satuan kerja pemerintah daerah terutama dalam penanggulangan bencana. Berdasarkan tugas yang berat, dengan resiko yang tinggi, maka pegawai dituntut untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, jiwa sosial dan kesabaran.

Implementasi kebijakan pemerintah dalam menanggulangi kerusakan pasca bencana merupakan harapan masyarakat Kabupaten Tanggamus. Karena wilayah Kabupaten Tanggamus adalah salah satu wilayah di Propinsi Lampung yang paling berpotensi terjadi bencana. Hal ini terjadi karena Kabupaten Tanggamus terdapat Gunung Tanggamus yang aktif. Robert J. Kodoatie dan Roestam Sjarief (2006;1) menyatakan bahwa “di Teluk Semaka terdapat pertemuan Lempeng Indo-Australia yang selalu begerak dan sering mengakibatkan gempa bumi yang besar”. Oleh karena itu, Kabupaten Tangggamus merupakan lumbung terjadinya bencana di Provinsi Lampung.

Curah hujan yang tinggi sulit untuk diprediksi, membuat volume air meningkat tidak tertampung lagi oleh sungai yang ada sehingga meluap ke areal pertanian masyarakat bahkan sampai menggenangi pemukiman penduduk. Akibat dari meningkatnya volume air ini membuat talut penahan air menjadi jebol, jembatan hanyut terbawa arus sungai, terjadi pembelokan arah air dan sidemintasi pada


(14)

sungai. Meluapnya air sungai akibat tidak tertampungnya air oleh sungai ini dinamakan banjir.

Banjir bandang yang sering terjadi di Kabupaten Tanggamus, selain merusak lahan pertanian masyarakat, merusak rumah penduduk juga menimbulkan korban jiwa dari penduduk. Berdasarkan pengalaman masyarakat Kabupaten Tanggamus selama ini, kejadian banjir adalah bahaya yang menakutkan diantara bahaya-bahaya lainnya seperti kekeringan, kebakaran hutan dan kebakaran rumah penduduk.

Tingginya curah hujan dapat juga mengakibatkan terjadinya longsor pada daerah-daerah perbukitan dan tebing-tebing yang curam. Longsor dapat menutupi jalan atau jalan menjadi amblas sehingga arus lalu lintas kendaraan menjadi terganggu. Terganggunya arus lalu lintas mengakibatkan terganggunya arus komunikasi dan arus transpordari sumber perekonomian masyarakat seperti hasil bumi dan lain-lain.

Data pada Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Tanggamus 2013, menunjukkan bahwa, adanya beberapa pekon antara lain: Pekon Kanyangan, Pekon Negara Batin, Pekon Belu dan Pekon Banjar Masin Kecamatan Kota Agung Barat Kabupatn Tanggamus masih terancam kebanjiran bila musim penghujan. Terhambatnya arus lalu lintas hasil pertanian karena beberapa jembatan putus yaitu jembatan Pekon Kiluan Negeri Kecamatan


(15)

7

Kelumbayanan, jembatan Pekon Batu Tegi Kecamatan Air Naningan, jembatan Siger Gening Kecamatan Air Naningan, terbawa arus sungai pada saat banjir akhir tahun 2012 yang lalu, sehingga menjadi keluhan masyaraka.

Berikut ini data kerusakan dan kerugian di wilayah Kabupaten Tanggamus yang diakibatkan oleh bencana alam banjir yang belum ditanggulangi oleh pemerintah. Bila kerusakan ini tidak ditanggulangi akan membahayakan rumah penduduk, sawah masyarakat menjadi kesulitan air, kehidupan masyarakat menjadi terganggu. Adapun data kerusakan dan kerugian akibat bencana tersebut dapat di lihat pada tabel I di bawah ini :

Tabel I. Data kerusakan akibat bencana sampai dengan bulan Juni 2013.

No TANGGAL

KEJADIAN

Lokasi KERUSAKAN Keterangan

1 2 3 4 5

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 30-04-2013 22-05-2013 01-01-2013 25-01-2013 29-09-2009 22-01-2013 15-01-2013 17-01-2013

Pekon Padang Ratu Kec. Wonosobo

Desa kanyangan Kec. Kota Agung Barat.

Pekon Bandar Kejadian Kec. Wonosobo

Desa Way kerap Kec. Smaka

Pekon Sinar Sekampung, Kec. Air Naningan.

Pekon Air Naningan Kec. Air Naningan

Pekon Kiluan Negeri Kec. Kelumbayan

Pekon Batu Tegi kec. Air Naningan

Jembolnya Tanggul way belu 400 m

Tanggul Longsor/tergerus

Tanggul penahan air jebol

1 unit jembatan hanyut.

1 unit jembatan 3 x 8 m hanyat

1 unit jembatan 3 x 12 m hanyat

1 unit jembatan 3 x 8 m hanyat

Tanggul jebol 300 m

Belum ditanggulangi Belum ditanggulangi Belum ditanggulangi Belum ditanggulangi Belum ditanggulangi Belum ditanggulangi Belum ditanggulangi Belum ditanggulangi Sumber : Data BPBD Kabupaten Tanggamus 2013


(16)

Berdasarkan data pada tabel I, terlihat bahwa Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Tanggamus belum maksimal melaksanakan tugas dan fungsinya dalam melaksanakan penanggulangan pasca bencana. Hal ini dilihat dari jumlah titik kerusakan akibat bencana, banyak yang belum ditanggulangi. Sedangkan masyarakat menginginkan agar pemerintah dapat memberikan rasa aman, nyaman, bebas melakukan aktivitas sehari-hari, dapat menjalankan ibadah keagamaan sesuai dengan keyakinannya masing-masing, mendapatkan pelayanan yang baik dari pemerintah, termasuk di dalamnya bila terjadi bencana masyarakat mendapatkan perlindungan dan pertolongan dari Pemerintah.

Pembangunan kembali infrastruktur yang ada pada masyarakat merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemerintah, karena infrastruktur merupakan kebutuhan yang sangat vital dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Infrastruktur yang rusak akibat bencana banjir sampai saat ini ada yang belum diperbaiki, dapat mengganggu perekonomian masyarakat, dan siapa yang bertanggung jawab terhadap pembangunan itu, tidak ada lain kecuali pemerintah yang harus melindungi masyarakatnya sendiri.

Kejadian bencana baik yang diakibatkan oleh alam maupun non alam, tidak dapat dihindari. Manusia hanya dapat mengurangi


(17)

9

resiko bencana dan menanggulangi kerusakan dan kerugian akibat bencana itu sendiri. Upaya penanggulangan bencana dilakukan dengan mengerahkan semua sumber daya untuk mengembalikan keadaan seperti sebelum kejadian bencana.

Pemerintah dan masyarakat harus berupaya untuk mengantisipasi terutama resiko yang akan timbul karena bencana ini terjadi hampir setiap tahun. Berdasarkan data bencana yang terjadi dapat dilihat bahwa, “banjir adalah bencana yang paling sering terjadi (34 %), diikuti oleh longsor (16 %), yang diperkirakan akan menimbulkan resiko bencana” (Bappenas dan Basarnas 2006). Pemerintah melalui lembaga penanggulangan bencana berusaha untuk mengantisipasi sebelum bencana itu terjadi, membantu menyelamatkan manusia saat bencana itu terjadi, dan berusaha untuk memulihkan perekonomian penduduk dan memperbaiki prasarana dan sarana yang rusak agar masyarakat dapat beraktifitas kembali sebagaimana biasa setelah bencana terjadi.

Salah satu perlindungan dan pertolongan yang mestinya dilakukan pemerintah adalah dengan cara membangun kembali fasilitas masyarakat yang rusak akibat bencana yang tidak mungkin dapat dilakukan oleh masyarakat itu sendiri tanpa adanya bantuan dari Pemerintah. Fasilitas tersebut antara lain jembatan penghubung antar desa, tanggul yang jebol, longsor yang menutupi jalan atau


(18)

menimpa perkampungan penduduk, kebakaran hutan, kekeringan lahan sawah dan sebagainya.

Kerusakan tersebut bila dibiarkan akan semakin besar kerusakannya dan untuk memperbaikinya akan memerlukan biaya yang lebih besar lagi, dan pada akhirnya pemerintah daerah tidak sanggup untuk memperbaikinya. Tanggul yang telah rusak yang berada di dekat pemukiman penduduk, bila tidak diperbaiki maka keselamatan penduduk yang berdomisili di sekitar tanggul tersebut akan terancam. Kejadian bencana banjir ini ada yang telah berulang-ulang, seharusnya kerusakannya belum begitu parah, akan tetapi dibiarkan beberapa tahun yang setiap tahunnya terjadi musim hujan, akhirnya rusaknya lebih besar lagi.

Terhadap permasalahan-permasalahan sebagaimana dikemukakan di atas, karena permasalahan penanggulangan bencana ini masih sangat luas untuk diteliti dan di amati meliputi pra bencana, mitigasi bencana, logistik, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi kerusakan pasca bencana. Akan tetapi yang paling menjadi perhatian bagi peneliti untuk diungkapkan adalah mengapa kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh bencana terutama bencana banjir sampai saat ini belum ada penanganan secara sungguh-sungguh terutama oleh Pemerintah Kabupaten Tanggamus. Apa yang menjadi penyebab permasalahan sehingga kerusakan-kerusakan akibat bencana belum ditanggulangi.


(19)

11

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka penulis merumuskan masalahnya sebagai berikut :

1. Bagaimana Proses Implementasi Kebijakan Pemerintah dalam menanggulangi kerusakan pasca bencana banjir di Kabupaten Tanggamus.

2. Hambatan-hambatan apa saja yang membuat implementasi kebijakan Pemerintah Kabupaten Tanggamus tidak berjalan dengan baik.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui proses implementasi kebijakan pemerintah dalam menanggulangi kerusakan pasca bencana banjir dilaksanakan dalam rangka melindungi masyarakat dari bencana di Daerah Pemerintah Kabupaten Tanggamus.

2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan apa saja yang mengakibatkan implementasi kebijakan pemerintah dalam menanggulangi kerusakan akibat bencana di Kabupaten Tanggamus belum maksimal.

1.4 Kegunaan Penelitian


(20)

a. Secara Akademis, diharapkan hasil penelitian ini dapat berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan dibidang ilmu pemerintahan, khususnya yang berhubungan dengan kejadian bencana.

b. Secara Praktis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam bentuk sumbangan pemikiran serta konseptual khususnya bagi Pemerintah Kabupaten Tanggamus agar mampu memaksimalkan kekuatan dan peluang yang dimiliki melalui implemintasi kebijakan penanggulangan pasca bencana banjir.


(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Implementasi Kebijakan (Policy Implementation)

Implementasi kebijakan merupakan penjabaran dari suatu keputusan untuk dituangkan kedalam pelaksanaan kegiatan dalam mencapai sasaran. Implementasi kebijakan merupakan aspek penting dari keseluruhan kebijakan. Udoji 1981 (Solichin Abdul Wahab (2004;59), mengatakan bahwa “the execution of policies is as important if not more important than policy-making. Policies will remain dreams or blu print file jackets unless they are implemented” (pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan jauh lebih penting dari pada pembuatan kebijakan).

Pendapat lain yang dikemukakan oleh Erwan Agus Purwanto dan Dyah Ratih Sulistyastuti (2012;21) Implementasi yaitu “kegiatan untuk mendistribusikan keluaran kebijakan (to deliver policy output) yang dilakukan oleh para implementor kepada kelompok sasaran (target group) sebagai upaya untuk mewujudkan tujuan kebijakan”. Tujuan kebijakan diharapkan akan muncul manakala hasil kebijakan (policy output) dapat diterima dan dimanfaatkan dengan baik oleh kelompok sasaran


(22)

sehingga dalam jangka panjang hasil kebijakan akan mampu diwujudkan.

Implementasi kebijakan menurut William dan Elmore yang dikutif oleh Sunggono (2004;139), adalah “keseluruhan dari kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan”. Sedangkan Wibawa (2002;5), memberikan pengertian tentang implementasi kebijakan “sebagai pelaksanaan dari suatu kebijakan atau program”.

Mazmaian dan Sabatier (Solichin Abdul Wahab, 2004;65) memberikan pengertian tentang implementasi kebijakan yaitu :

“merupakan fokus pengertian implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikan maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian”.

Pengertian ini mengandung maksud untuk memahami apa yang senyatanya terjadi setelah beberapa progam itu dinyatakan berlaku, yaitu kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan sebagai penjabaran dari program-program itu sendiri. Kebijakan itu tidak akan mempunyai makna kalau tidak di implementasikan ke dalam pelaksanaannya oleh semua pelaku-pelaku kebijakan itu sendiri.


(23)

15

Meter dan Horn (2005;6), mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai “Tindakan yang dilakukan oleh publik maupun swasta baik secara individu maupun kelompok yang ditujukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam kebijakan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa implementasi kebijakan merupakan transpormasi dari keputusan kedalam bentuk kegiatan-kegiatan yang telah dirumuskan dalam kebijakan untuk mencapai tujuan. Sedangkan menurut Edi Suharto (2012;87), “Implementasi kebijakan juga mencakup pengoperasian alternatif kebijakan yang dipilih melalui beberapa program atau kegiatan”.

Solichin Abdul Wahab (2001;93), mengutarakan beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses implementasi kebijakan yaitu:

1). Kondisi sosio ekonomi dan teknologi; 2). Dukungan publik;

3). Sikap dan sumber-sumber yang dimiliki oleh kelompok;

4). Dukungn dari pejabat tingkat atas;

5 Komitmen dan kemampuan kepemimpinan pejabat pelaksana.

Kondisi ekonomi masyarakat yang sejahtera dan teknologi yang memadai, dukungan dari pemerintah pusat dan komitmen dari pemimpin yang tinggi adalah faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan.


(24)

Implementasi kebijakan tentang pembangunan kembali prasarana dan sarana publik yang rusak dengan program pembangunan rehabiltasi menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencan (BNPB) 2012, “adalah untuk mengembalikan fungsi pelayanan publik oleh pemerintah yang berkaitan dengan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat”.

Peraturan Kepala BNPB Nomor 11 Tahun 2008, menyatakan bahwa,

“Keberhasilan bangsa Indonesia dalam menangani bencana bukan saja terletak pada ketersediaan perangkat Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang terkait dengan kebencanaan, tetapi juga implementasi perangkat kebijakan tersebut di lapangan”.

Pernyataan terebut menunjukkan bahwa walaupun kebijakannya sudah bagus, tidak akan punya arti bila tidak di Implementasikan ke dalam program kegiatan.

Kebijakan pemerintah dalam menanggulangi bencana yang terjadi, menegaskan pentingnya suatu pedoman yang mengatur fungsi dan peran berbagai pihak terkait dalam penanganan bencana secara sistemik, terintegrasi dan komperhensif. Pedoman rehabilitasi ini diharapkan dapat mendorong koordinasi para pihak yang terlibat dalam tahapan rehabilitasi bencana yang lebih jelas. Sebagai bagian dari keseluruhan penanggulangan bencana, implementasi tahapan rehabilitasi


(25)

17

harus dikaitkan dengan tahapan lain. Oleh karena itu, tahapan penanggulangan bencana semestinya tidak ditempatkan sebagai tujuan, melainkan cara untuk mencapai efisiensi dan efektifitas penanggulangan secara keseluruhan.

Selanjutnya Erwan Agus Purwanto, dan Dyah Ratih Sulistyastuti (2012;22), mengatakan “Implementasi sebagai tahapan ketiga dari perumusan kebijakan”. Tahap pertama adalah proses perumusan kebijakan, tahap ke dua adalah formulasi kebijakan, penyusunan rencana serta metode untuk penyelesaian masalah, implementasi kebijakan, evaluasi dan penyempurnaan.

Kebijakan adalah untuk memecahkan masalah dan mengeksplorasi berbagai isu, sebagaimana dikemukakan oleh Edi Suharto (2012;102), “kebijakan pada intinya merujuk pada kegiatan untuk mengeksplorasi berbagai isu-isu atau masalah sosial, dan kemudian menetapkan satu masalah sosial yang akan menjadi fokus analisis kebijakan”. Dalam pengertian ini Edi Suharto, mengajukan empat parameter yang dapat dijadikan pedoman untuk menetapkan suatu masalah sosial yaitu “faktor, dampak, kecenderungan, dan nilai.

Sedangkan menurut Cocran (Fermana, 2009) yang dikutif oleh Faried Ali dan Andi Suamsu Alam (2012;115), mengemukakan bahwa “Kebijakan publik adalah studi tentang


(26)

keputusan (decision) dan tindakan (action). Pengertian ini dilihat dari kelompok sasaran akan tetapi bersama-sama dengan pelaku kebijakan, untuk melaksanakan keputusan, jika keputusan itu oleh pemerintah maka tindakan dimaksud adalah tindakan pemerintah.

Menurut Syaiful Sagala (2013;106),

“ kunci dalam metodologi analisis kebijakan berdasarkan data dan informasi terkini yang dihimpun sebagai dasar melakukan analisis kebijakan dan setelah ditemukan akar permasalahannya, dilanjutkan dengan menentukan prioritas sehingga ditetapkan kebijakan yang diperhitungkan dapat memenuhi sasaran secara benar dan tepat”.

Pendapat ini memberikan pengertian bahwa kebijakan yang diambil setelah menganalisis data yang benar dan akurat serta relevan dengan kebijakan yang diambil. Penggunaan data dengan cara dianalisis dengan menggunakan pendekatan ilmiah dan menentukan prioritas untuk memecahkan masalah dan untuk ketepatan dalam mencapai sasaran.

Sedangkan kebijakan dimaknai sebagai tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu, sebagai mana dikemukakan oleh Titmuss (1974) yang dikutif oleh Edi Suharto (2012;7) memberikan definisi tentang kebijakan adalah “sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu”. Menurut Timuss, kebijakan senantiasa berorientasi kepada masalah


(27)

(problem-19

oriented) dan berorientasi kepada tindakan (action-oriented). Oleh karena itu kebijakan dapat dikatakan sebagai suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.

Faried Ali dan A.Samsu Alam (202;33), memberikan pengertian bahwa “kebijakan sebagai pernyataan kehendak atas pilihan alternatif yang dikehendaki untuk dilakukan dan yang dibangun atas dasar pengaturan kehendak dalam aktualisasinya dirumuskan ke dalam bentuk aturan perundang-undangan”. Pilihan alternatif yang dikehendaki oleh pemerintah yang dirumuskan ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang harus lakukan oleh pemerintah dan masyarakat.

Kebijakan merupakan langkah-langkah yang ingin dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah dalam memecahkan suatu permasalahan yang terjadi dalam masyarakat. Sebagai mana dikemukakan oleh Anderson (Solichin Abdul Wahab, 2004;3) merumuskan kebijakan pemerintah sebagai berikut “langkah-langkah yang secara sengaja dilakukan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang dihadapi”.


(28)

Sedangkan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945 adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesia. Pemerintahan Daerah sebagaimana dimuat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 “adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah menurut asas otonomi daerah dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Ensiklopedi Nasional Indonesia, volume 12 (1997) yang dikutif oleh Faried Ali dan Andi Syamsu Alam (2012;3), memberikan terminologi dalam dua sisi yaitu “dalam pengertian sempit dan dalam pengertian yang luas. Pengertian secara sempit pemerintah diartikan sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, sedangkan dalam artian luas adalah seluruh lembaga dan kegiatannya dalam suatu negara”

Kebijakan pemerintah adalah sebagai kegiatan yang menjadi pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kebijakan publik adalah “hubungan dari unit pemerintah dengan lingkungannya”.Dun 1981 (Faried Ali dan Andi Syamsu Alam, 2012;13) yang menyatakan bahwa kebijakan dianggap sebagai rangkaian yang panjang dari


(29)

21

kegiatan yang saling berhubungan dan saling berakibat dalam pengambilan keputusan.

Pada masa sekarang ini kebijakan ditujukan untuk mencapai tujuan, sebagai mana dikemukakan oleh Hoogerwerf 1983 (Faried Ali dan Andi Syamsu Alam 2012;16) menegaskan bahwa tujuan itu pada umumnya adalah untuk :

1. Memelihara ketertiban umum (negara sebagai stabilisator).

2. Melancarkan perkembangan masyarakat dalam berbagai hal (negara sebagai koordinator).

3. Memperuntukkan dan membagi berbagai materi (negara sebagai pembagi alokasi.

Bintoro Tjokroamidjoyo (2002;61), “Pemerintah mendorong melalui kebijaksanaan-kebijaksanaan, program-program dan proyeks-proyek bahkan industri-industri dan prusahaan negara”. Dorongan ini dalam rangka melakukan proses pembangunan dan proses perubahan suatu bangsa. Lebih lanjut Bintoro Tjokroamidjoyo (2002;65) menyatakan bahwa “Proses perumusan kebijakan-kebijakan politik dilakukan dengan sharing antara Pemerintah, Lembaga Perwakilan dan Pendapat Umum secara tanggung gugat dan transparan”. Pernyataan ini memberikan pengertian agar suatu kebijakan tersebut terdapat tiga domain yang saling mengontrol, saling memberi masukan sehingga terdapat keseimbangan (chek and balances).


(30)

Menurut Erwan Agus Purwanto, dan Dyah Ratih Sulistyastuti (2012;24), memberikan gambaran implementasi “sering kali digambarkan sebagai hubungan antara kinerja implementasi dengan tipe kebijakan, kualitas SDM birokrasi sebagai implementor, dukungan kelompok sasaran dan lain-lain”.

Berdasarkan beberapa pendapat sebagaimana dikemukakan di atas, maka dapat diambil suatu makna bahwa implementasi kebijakan pemerintah dapat dipahami sebagai hubungan antara kebijakan pemerintah dengan program dan kegiatan agar kebijakan tersebut dapat terlaksana dan dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Sedangkan kebijakan publik adalah untuk memecahkan masalah publik yang menginginkan adanya perubahan yang lebih baik.

Adapun kebijakan yang harus diimplementasi adalah Kebijakan Pemerintah untuk menanggulangi kerusakan akibat bencana. Kebijakan tersebut diharapkan dapat mengatasi permasalahan untuk merlindungi masyarakat terhadap resiko bencana yang lebih besar. Pemerintah membuat kebijakan tentang Rehabilitasi, implementasi kebijakan tentang rehabilitasi menurut (BNPB 2007) dilakukan melalui kegiatan:

a. Perbaikan lingkungan daerah bencana


(31)

23

c. Pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat

d. Pemulihan sosial psikologis

e. Pelayanan kesehatan

f. Rekonsiliasi dan resolusi konflik

g. Pemulihan sosial ekonomi budaya

h. Pemulihan keamanan dan ketertiban

i. Pemulihan fungsi pemerintahan

j. Pemulihan fungsi pelayanan publik.

Kegiatan rehabilitasi harus memperhatikan pengaturan mengenai standar konstruksi bangunan, kondisi sosial, adat istiadat, budaya dan ekonomi. Perbaikan lingkungan daerah bencana merupakan kegiatan fisik untuk memenuhi persyaratan teknis, sosial, ekonomi, dan budaya serta ekosistem suatu kawasan. Kegiatan perbaikan fisik lingkungan sebagaimana dimaksud mencakup lingkungan kawasan pemukiman, kawasan industri, kawasan usaha, dan kawsan bangunan gedung.

Perbaikan prasarana dan sarana umum merupakan kegiatan perbaikan prasarana dan sarana untuk memenuhi kebutuhan transportasi, kelancaran kegiatan ekonomi, dan kehidupan sosial budaya masyarakat. Prasarana dan sarana tersebut antara lain jalan, jembatan, tanggul, penguatan tebing dan sebagainya.


(32)

a. Perbaikan infrastruktur

b. Perbaikan fasilitas sosial dan fasilitas umum

Kegiatan perbaikan prasarana dan sarana umum memenuhi ketentuan mengenai

a. Persyaratan keselamatan b. Persyaratan sanitasi

c. Persyaratan penggunanaan bahan bangunan

d. Standar teknis konstruksi jalan, jembatan, bangunan gedung dan bangunan air.

2.2 Proses Implementasi Kebijakan

Proses implementasi kebijakan itu sesungguhnya tidak hanya menyangkut prilaku badan-badan administratif yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada kelompok sasaran, melainkan pula menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi, dan sosial yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi prilaku dari semua pihak yang terlibat. Solichin Abdul Wahab, (2004;65).

Proses implementasi kebijakan pada dasarnya merupakan aktifitas praktis yang dibedakan dari formulasi kebijakan yang bersifat teoritis, Pressman dan Widavsky (Jones, 1984;65), mengemukakan bahwa :


(33)

25

Implementation may be viewed as process of interaction bettwen the setting of goals and action geared to achieving them, (memandangnya sebagai suatu proses interaksi antara tujuan yang telah ditetapkan dengn tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan itu sendiri).

Dalam mencapai keberhasilan untuk mencapai suatu tujuan, maka dalam proses implementasi diperlukan sumberdaya manusia dan proses administratif. Implementasi kebijakan merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu maupun para pejabat pemerintah atau swasta, yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan yang telah dituangkan dalam bentuk keputusan-keputusan.

Salah satu tugas dari pemerintah menurut Bambang Istianto (2009;26), adalah “merancang dan membuat berbagai kebijakan yang dituangkan dalam dalam peraturan-teraturan”. Akan tetapi kebijakan tersebut tidak akan mempunyai arti apabila tidak diimplementasikan. Menurut pendapat ini tidak kalah pentingnya, pemerintah harus mengimplementasikan kebijakan pemerintah dengan benar dan mempersiapkan sumber daya serta perangkat kebijakan dengan baik.

Pemerintahan yang baik juga bermakna akuntabiltas transparansi, partisipasi dan keterbukaan. Sebagaimana dikemukakan oleh Healy dan Robinson yang dikutif oleh


(34)

Bambang Istianto (2009;107), “ Pemerintahan yang baik (good governance) bermakna tingkat efektivitas orgnaisasi yang tinggi dalam hubungan dengan formulasi kebijakan dan kebijakan senyatanya dilaksanakan”.

Ripley (1985) yang dikutif oleh Erwan Agus Purwanto dan Dyah Ratih Sulistyastuti (2012;71) proses implementasi kebijakan “yaitu bagaimana setelah melalui serangkaian proses yang panjang suatu kebijakan kemudian mampu mewujudkan tujuan atau sasaran yang dicapai”. Pendapat ini melihat bahwa suatu keberhasilan implementasi tidak hanya berhenti pada kepatuhan para implementor saja, namun hasil yang dicapai setelah prosedur implementasi dijalani perlu dilihat secara detil dengan mengikuti proses implementasi itu dilalui.

Proses implementasi tersebut menurut Repley (1985) yang dikutif oleh Erwan Agus Purwanto dan Dyah Ratih Sulistyastuti,(2012;72). dapat terlihat seperti gambar sebagai berikut :


(35)

27

Outcome

Sumber : E A Purwanto dan D R Sulistyastuti, Implementasi Kebijakan Publik (2012;72).

Gambar 1 Proses Implementasi Kebijakan

Kehendak dari suatu kebijakan adalah untuk mencapai tujuan yang telah disepakati dan mengatasi permasalahan-permasalahan yang terjadi serta hal-hal yang melatar belakanginya. Sub sistem tersebut bila diungkapkan dalam suatu pola sebagaimana dikemukakan oleh Faried Ali dan Andi Syamsu A, (2012;43), nampak sebagaimana dalam gambar 1 di bawah ini :

Kebijakan : tujuan dan sasaran

Keluaran kebijakan

Implementor

Kelompok sasaran

Kinerja implementasi

Dampak jangka panjang

Dampak jangka menengah


(36)

Input Proses Output

- Berbagai harapan - Agenda setting -

komitmen

- Berbagai tuntutan - Agenda governamant

-perundangan

- Berbagai keinginan - Kesepakatan politik - Berbagai kebutuhan - Penetapan kehendak

Legitimasi

- Publik - Pelaku perumus - Kebijakan publik

Pemerintah, lembaga politik - Aturan

perundangan Partisipasi publik

Lingkungan mempengaruhi

Sumber : Faried Ali dan A Syamsu Alam, Studi Kebijakan Pemerintah, (2012;42).

Gambar 2 Sistem Perumusan Kebijakan

Makinde (2005) yang dikutif oleh Erwan A Purwanto dan D Ratih Sulistyastuti (2012;85), mengidentifikasi permasalahan yang muncul dalam proses implementasi di negara berkembang “kegagalan implementasi disebabkan antara lain oleh : 1. Tidak adanya koordinasi, 2. Kapasitas Sumberdaya manusia yang rendah, dan 3. Adanya korupsi”.


(37)

29

“Koordinasi memiliki peranan sangat penting dalam proses implementasi kebijakan tetapi koordinasi tidak mudah untuk dilksanakan”, Erwan Agus Purwanto dan Dyah Ratih Sulistyastuti (2012;153). Koordinasi tidak mudah untuk dilaksanakan karena memakan waktu yang lama dan prosedur yang panjang. Agar koordinasi dapat lebih mudah untuk dilaksanakan, maka seluruh stakeholder, terutama penanggung jawab utama implementasi, perlu memahami mekanisme kerja yang melibatkan seluruh satuan kerja yang terlibat dalam implementasi kebijakan.

Beberapa faktor yang diperlukan menurut Erwan Agus Purwanto dan Dyah Ratuh Sulistyastuti (2012;153), dalam kelancaran implementasi kebijakan pemerintah antara lain :

a. Sumberdaya Manusia.

Sumberdaya manusia merupakan aset yang paling menentukan dalam gerak organisasi terutama organisasi pemerintah. Sumberdaya manusia adalah orang-orang yang bekerja dalam suatu organisasi yang merupakan elemen yang selalu ada dalam setiap organisasi. Badan Kepegawian Negara (2011;1), “keberadaan sumberdaya manusia dalam organisasi adalah merupakan sumberdaya yang paling vital dan merupakan kekuatan (power) bagi keberlangsungan hidup suatu organisasi dalam mencapai tujuannya”.


(38)

Syamsudin (2006) yang dikutif oleh Badan Kepegawaian Negara (2011;2), memberikan pengertian tentang sumberdaya manusia adalah “orang-orang yang merancang serta menghasilkan barang dan jasa, mengawasi mutu, menghasilkan produk, mengalokasikan sumberdaya finansial, serta merumuskan seluruh strategi dan tujuan organisasi”. Pengertian ini mengadung pengertian bahwa sumberdaya manusia adalah yang memproses sesuatu untuk dapat menghasilkan sesuatu yang diinginkan oleh organisasi untuk mencapai suatu tujuan.

Memiliki motivasi dalam dirinya untuk menjalankan tugasnya dan menggunakan segala potensi yang dimilikinya untuk mencapai tujuan organisasi adalah yang harus dimiliki oleh setiap pegawai. Oleh karena itu untuk memilki kometmen tersebut menurut Erwan Agus Purwanto dan Dyah Ratih Sulistyastuti (2012;151), “komitmen baru akan berkontribusi dalam menghasilkan output kerja yang maksimal ketika personel tersebut memiliki kompetensi atau keahlian untuk menjalankan tugas yang didelegasikan”.

Sikap dan prilaku pegawai yang jujur, bertanggung jawab sangat diperlukan dalam mengimplementasikan kebijakan pemerintah. Pegawai Negeri Sipil sebagai ujung tombak dalam birokrasi pemerintah dituntut mampu menyesuaikan diri


(39)

31

dengan perkembangan zaman. Sebagaimana dikemukakan oleh BKN (2011;9), “Pegawai Negeri Sipil harus mampu menunjukkan akuntabilitas terhadap masyarakat, artinya bahwa setiap kegiatan dan hasil kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat sebagai pemegang kedaulatan”.

Bambang Istianto (2009;109), mengemukakan bahwa ”setiap proses pengambilan kebijakan publik dan pelaksanaan seluruh fungsi pemerintahan harus diimplementasikan dengan mengacu pada prinsip keterbukaan. Oleh karena itu penyelenggara pemerintahan harus mengedepankan profesionalisme dan kompetensi dilihat dari aspek penilaian dari segi pendidikan, pengalaman, moralitas dan dedekasi.

Untuk menghilangkan kesan di masyarakat bahwa pemerintah itu tidak tanggap, lambat dan berbelit-belit, maka harus ditentukan waktu yang dibutuhkan dalam pelayanan kepada masyarakat. Waktu yang ditentukan harus diketahui oleh masyarakat agar masyarakat tidak lama menunggu, pelaku implementasi kebijakan tidak bisa acuh dan menganggap spele terhadap kebijakan yang telah ditetapkan.

b. Koordinasi

Koordinasi adalah untuk menyatukan tujuan terhadap satuan kerja yang berbeda. Purwanto & Sulistyastuti, (2012;153),


(40)

mengemukakan “bahwa koordinasi dipahami sebagai proses pemaduan sasaran dan kegiatan dari unit-unit kerja yang terpisah untuk dapat mencapai tujuan organisasi secara efiktif”. Oleh karena itu dalam melaksanakan suatu kebijakan maka koordinasi sangat diperlukan.

Bahwa untuk mencapai implementasi yang sempurna dari berbagai unsur atau badan yang terlibat dalam suatu organisasi perlu adanya koordinasi, Hood (S A Wahab, 2004;77), “koordinasi yang sempurna itu amat diperlukan, kondisi seperti ini sebenarnya hampir-hampir tidak mungkin bisa diwujudkan dengan adanya departemen”.

Salah satu ciri penting yang dimiliki oleh setiap peraturan perundangn yang baik adalah kemampuannya untuk memdukan hierarki badan-badan pelaksana. Bila sistem ini hanya terpadu secara longgar, maka kemungkinan akan terjadi perbedaan-perbedaan perilaku kepatuhan yang cukup mendasar diantara pejabat-pejabat pelaksana dan kelompok-kelompok sasaran, sebab mereka akan berusaha untuk melakukan melakukan penilaian sendiri terhadap kebijakan dimaksud.

Koordinasi merupakan kerja sama antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam melaksanakan implementasi kebijakan saling berhubungan. O’Toole dan Montjoy (1984)


(41)

33

sebagaimana dikutif oleh EA.Purwanto dan D.R.Sulistyastuti, (2012;153), tiga faktor pendukung terjadinya koordinasi yang baik adalah : “authority, common interest, and exchange”. Faktor inilah yang diperlukan dalan mendukung peroses memadukan berbagai kegiatan dari unit-unit yang berbeda.

Seluruh unsur yang terkait dari satuan kerja yang berlainan, harus memahami tentang garis kebijakan yang akan diimplementasikan kedalam kegiatan-kegiatan.

“Agar koordinasi dapat dilakukan dengan baik, maka seluruh stakeholder, terutama penaggung jawab utama implementasi, perlu memahami mekanisme kerja yang melibatkan seluruh stakeholder yang terlibat dalam implementasi”, (EA.Purwanto dan D.R.Sulistyastuti, 2012;153).

Dalam mengimplementasikan kebijakan pembangunan prasarana dan sarana umum, Badan Penaggulangn Bencana Daerah melibatkan satuan kerja lainnya, antara lain Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Dinas Kelauatan dan Perikanan, Dinas Pekerjaan Umum, dan Badan Nasional Penaggulangan Bencana. Setiap ada kejadian bencana baik yang berskala lokal maupun nasional maka satuan-satuan kerja inilah yang secara langsung terlibat.

Sedangkan menurut Nurjanah dkk. (2012;46) “koordinasi sebagai upaya penanggulangan bencana yang didasarkan pada koordinasi yang baik dan saling mendukung. Koordinasi dilakukan agar banyaknya pihak yang terlibat dalam


(42)

penanganan kedaruratan sebenarnya sangat positif karena dapat membantu meringankan beban penderitaan korban bencana.

c. Peralatan yang tersedia.

Pembangunan kembali prasarana dan sarana umum yang rusak pasca bencana merupakan pekerjaan yang berat dan kadang-kadang tidak mungkin untuk dilakukan dengan peralatan manual. Pembangunan tanggul untuk irigasi harus menggunakan alat berat antara lain eksafator untuk menggali pundasi tahanan air (bronjong), penimbun dan lain-lain.

Peralatan dapat mempermudah dalam mengejar target waktu, dapat menghemat tenaga kerja. Semakin banyak peralatan yang tersedia akan semakin cepat pembangunan kembali prasarana dan sarana masyarakat yang rusak. Artinya peralatan merupakan hal yang penting dalam kelancaran pelaksanaan pekerjaan. Peralatan juga sangat dibutuhkan untuk lokasi bencana ditempat yang medannya berat, dan jauh dari pusat pemerintahan.

d. Lemahnya mekanisme pengawasan

Pengawasan merupakan langkah untuk membandingkan apakah implementasi suatu kebijakan sudah sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Mekanisme pengawasan harus


(43)

35

dilakukan sejak perencanaan sampai dengan hasil yang didapatkan dan dampak dari suatu kebijakan itu sendiri.

George R. Terry (1990) yang dikutif oleh Badan Kepegawaian Negara (2011;3), memberikan pengertian tentang fungsi pengawasan adalah “mengatur apakah kegiatan sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang ditentukan dalam rencana”. Artinya pengawasan membawa fungsi prencanaan makin jelas dan lengkap dan terkoordinir.

e. Budaya formalitas

Budaya formalitas yaitu dengan menggunakan pendekatan formalistik, para implementor di lapangan selalu mengatakan bahwa program telah berhasil dengan diimplementasikan dengan bukti laporan tertulis yang baik, padalah dalam laporan tersebut tidak melihat apakah tujuan kebijakan benar-benar tercapai atau tidak.

2.3 Penanggulangan Bencana (Disaster Management)

a. Pengertian Bencana

Indonesia merupakan negara yang rentan terhadap bencana alam (natural disater) dan bencana karena ulah manusia (man made disaster). Ancaman terhadap bencana tersebut setiap saat bisa terjadi dan menjadi kenyataan pada suatu saat. Bencana alam di Indonesia berkaitan dengan faktor geografis, geologis,


(44)

hidralogis, hidrometeorologis, demografis, klimatogolis dan pemanasan global. Oleh karena itu tidak heran jika di negara Republik Indonesia ini sering terjadi bencana alam terutama gempa bumi tektonik yang adakalanya diikuti oleh gelombang tsunami akibat terjadinya pergerakan lempeng Indo-Australia bergerak ke bawah lempeng Eurasia yang menimbulkan gempa bumi, gunung api, dan sesar atau patahan.

Ancaman bencana juga dapat terjadi karena ulah manusia sebagai akibat jumlah penduduk yang penyebarannya tidak merata, ketimpangan sosial dan ekonomi yang cukup besar, keragaman suku, etnis, budaya termasuk penegakan hukum yang tidak menjunjung keadilan juga dapat menimbulkan bencana.

Nurjanah, dkk. (2012;82), mengemukakan bahwa “dengan keragaman agama, etnis, budaya, dan aspek lainnya, dapat menciptakan kerawanan terhadap konflik sosial”.

Beberapa pengertian tentang bencana sebagai mana dikemukakan oleh Carter, (1991) yang dikutif oleh Robert J.Kodoatie dan Rustam Sjarief, (2006;67) adalah :

“1. Gangguan atau kekacauan pada pola normal kehidupan. Gangguan atau kekacauan ini biasanya hebat, terjadi tiba-tiba tidak disangka dan wilayah cakupannya cukup luas.

2. Dampak ke manusia seperti kehilangan jiwa, luka-luka, dan kerugian harta benda”.


(45)

37

Dampak ke pendukung utama struktur sosial dan ekonomi seperti kerusakan infrastruktur: jalan, jembatan, air bersih, listrik, komunikasi dan pelayanan lainnya.

Bencana adalah suatu peristiwa yang terjadi baik yang disebabkan oleh alam maupun bukan alam yang dapat menimbulkan kerugian pada manusia. Pengertian ini sebagai mana dimuat dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 bencana adalah

Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam, maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Pendapat lain yang mengatakan bahwa, bencana merupakan kejadian yang disebabkan oleh alam dan karena ulah manusia yang membuat kerusakan dimuka bumi. Sebagai mana dikemukakan oleh International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR-2002,2004) yang dikutif oleh Nurjanah, dkk. (2011;10), adalah

“A serious disruption of the functioning of a community or a siciety causing widespread human, material, economic or enveronmental losses which exceed the ability of the affected community/society to cope using its own resources”

Atau “Suatu kejadian yang disebabkan oleh alam atau karena ulah manusia, terjadi secara tiba-tiba atau perlahan-lahan, sehingga menyebabkan hilangnya jiwa


(46)

manusia, harta benda dan kerusakan lingkungan, kejadian ini terjadi diluar kemampuan masyarakat dengan segala sumber dayanya”.

Bencana alam merupakan kejadian yang diakibatkan oleh beberapa faktor antara lain akibat perubahan iklim, yang berdampak pada adanya tekanan suhu udara yang ada dibumi. Perubahan iklim membawa dampak yang nyata terhadapkehidupan masyarakat.

Berdasarkan kamus bencana atau disaster diterjemahkan sebagai :

“1. Suatu kejadian yang menyebabkan kerugian atau kerusakan besar dan kemalangan serius atau tiba-tiba (Webster’s New Wold Dictionary, 1983). 2. Suatu kecelakaan yang sangat buruk terutama yang

menyebabkan banyak orang meninggal (Collins Cobuild Dictionary, 1988).

3. Kejadian yang merugikan, kemalangan tiba-tiba, malapetaka.” (New Webster Dictionary,1997).

Menurut pendapat Carter, 1991 (Robert J. Kodoatie dan Roestam Sjarief, 2006;67), “adalah suatu kejadian alam atau buatan manusia, tiba-tiba atau progesive, yang menimbulkan dampak yang dahsyat (hebat) sehingga komunitas (masyarakat) yang terkena atau terpengaruh harus merespon dengan tindakan-tindakan luar biasa”.

Berdasarkan beberapa pendapat yang dikemukakan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa bencana adalah peristiwa yang mengakibatkan korban jiwa, kerusakan tidak direncanakan mengganggu kehidupan manusia yang


(47)

39

diakibatkan oleh alam maupun karena ulah manusia. Bencana tidak dapat dihindari akan tetapi setiap kejadian bencana yang perlu diperhatikan adalah usaha untuk mengurangi resiko bencana.

Nurjanah dkk. (2012;24) Memberikan pengertian tentang banjir yaitu “limpasan air yang melebihi muka air normal sehingga melimpas dari palung sungai yang menyebabkan genangan pada lahan rendah di sisi sungai”. Banjir ini biasanya disebabkan oleh curah hujan yang tinggi di atas normal yang mengakibatkan sungai, anak sungai, drainase, dan kanal tidak mampu menampung air hujan sehingga meluap.

b. Penyebab Terjadinya Bencana.

Penyebab bencana dapat dibagi menjadi dua yaitu karena alam dan karena manusia. Bencana yang disebabkan oleh alam sebagaimana dikemukakan oleh Robert J. Kodoatie dan Roesta Sjarief, (2006;68), yaitu

“secara alami bencana akan selalu terjadi di muka bumi, misalnya tsunami, gempa bumi, gunung meletus, jatuhnya miteor, tidak adanya hujan pada suatu lokasi dalam waktu yang relatif lebih lama sehingga menimbulkan bencana kekeringan, atau sebaliknya curah hujan yang sangat tinggi di suatu lokasi menimbulkan bencana banjir dan tanah longsor”

Bencana dapat pula diakibatkan oleh manusia antara lain : penggundulan hutan di daerah tangkapan air hujan (catchment area) yang menyebabkan peningkatan debit air karena pasokan


(48)

air yang masuk ke dalam sistem aliran menjadi tinggi, melampaui kapasitas pengaliran dan menjadi pemicu terjadinya erosi pada lahan curam. Sedangkan berkurangnya daerah resapan air juga merupakan kontribusi terjadinya banjir.

Terdapat tiga faktor penyebab terjadinya bencana menurut Nurjanah dkk. (2011;21) yakni :

“1). Faktor alam (natural disaster), karena fenomena alam dan tanpa ada campur tangan manusia, 2). Faktor Non-alam (non-natural disaster) yaitu bukan karena fenomena alam dan juga bukan karena perbuatan manusia, dan 3). Faktor sosial atau faktor manusia (man-made disaster) yang murni akibat perbuatan manusia, misalnya konflik horizontal, konflik vertikal, dan terorisme”.

Beberapa jenis ancaman yang ada di wilayah Indonesia di bawah ini :

Tabel 2. Jenis bencana. 1. Banjir

2. Erosi dan sidementasi 3. Tanah longsor 4. Banjir lahar dingin 5. Tanah ambles

6. Perubahan sifat kandungan kimiawi, biologi, dan fisik air.

7. Terancam punahnya jenis tumbuhan dan atau satwa.

8. Instrusi 9. Perembesan 10. Kekeringan

Sumber Data : Undang-Undang Sumber Daya Air (2004).

Sedangkan menurut Buku Desaster Management Handbook (carter,1991). Jenis bencana ditunjukan adalah sebagai berikut :


(49)

41

Tabel 3 Jenis bencana 1. gempa Bumi

2. Letusan Gunung Berapi 3. Tsunami

4. Angin Topan 5. Banjir

6. Tanah Longsor

7. Kebakaran (hutan, di Kota 8. Kekeringan

9. Wabah/Epedemi 10. Kecelakaan Besar 11. Kerusuhan Massa. Sumber Data Carter (1991).

Untuk menanggulangi kerusakan dan kerugian akibat bencana tersebut perlu adanya program pembangunan kembali dalam bentuk rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana.

c. Rehabilitasi dan Rekonstruksi

Rehabilitasi adalah upaya pembangunan kembali untuk mengembalikan fungsi secara minimal terhadap sarana, prasarana yang rusak akibat bencana. Sebagai mana dikemukakan oleh Nurjanah, dkk. (2011;74) Rehabilitasi dapat diartikan “sebagai segala upaya perbaikan untuk mengembalikan fungsi secara minimal terhadap sarana, prasarana dan fasilitas umum yang rusak akibat bencana”. Dengan pengembalian fungsi tersebut, maka pelayanan publik atau masyarakat dapat dilaksanakan kembali.

Pendapat lain tentang penanggulangan pasca bencana adalah pemulihan (recovery) yaitu “mengembalikan situasi dan kondisi setelah terjadi bencana secara optimal ke situasi dan kondisi (sebelum bencana terjadi)”. Robert J.Kodoatie dan Roestam Sjarief, 2006;149. Pengertian pengembalian situasi


(50)

dan kondisi ini “menyangkut substansi kejiwaan, harta, fisik dan infrastruktur yang ada dan pemulihan ini memerlukan waktu yang lama”. Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk pemulihan dengan restorasi yaitu (perbaikan, pemugaran, dan penyembuhan), rehabilitasi yaitu (perbaikan dan pemulihan), dan rekonsrtuksi (pembangunan kembali).

Kementerian Pekerjaan Umum ( 2009;1) menyatakan bahwa “Rehabilitasi merupakan kegiatan penanganan terhadap setiap kerusakan yang tidak diperhitungkan dalam desain, yang berakibat menurunnya kondisi kemantapan pada bagian/tempat tertentu dengan kondisi rusak ringan agar penurunan kondisi kemantapan tersebut dapat dikembalikan pada kondisi kemampuan sesuai dengan rencana".

Pengertian ini mengandung maksud bahwa rehabilitasi adalah untuk mengembalikan kondisi kemampuan sebagai akibat dari sesuatu hal diluar dari perencanaan atau perkiraan manusia.

Sedangkan menurut ketentuan menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana 2008, memeberikan pengertian tentang :

a. Rehabilitasi.

Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pasca bencana.


(51)

43

Rekonstruksi adalah perumusan kebijakan dan usaha serta langkah-langkah nyata yang terencana baik, konsisten dan berkelanjutan untuk membangun kembali secara permanen semua prasarana, sarana dan sistem kelembagaan, baik di tingkat pemerintahan maupun masyarakat, dengan sasaran utama tumbuh berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran dan partisipasi masyarakat sipil dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat di wilayah pasca bencana.

Pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dilakukan melalui :

a. Perbaikan daerah lingkungan bencana. b. Perbaikan prasarana dan sarana umum.

c. Pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat. d. Pemulihan sosial psikologis.

e. Pelayanan kesehatan.

Kegiatan rehabilitasi yang tak kalah penting adalah membangun sarana umum seperti tempat ibadah, rumah sakit, gedung sekolah, pasar, dan air bersih. Fasilitas-fasilitas dimaksud perlu segera berfungsi agar mengurangi tekanan psikis korban bencana. Korban bencana harus mendapat pelayanan sosial, bimbingan, dan penyuluhan baik secara fisik maupun secara psikologis untuk mempercepat pemulihan kehidupannya.


(52)

Rekonstruksi bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup sebagai mana dikemukakan oleh Subandono Deposaptono Budiman, (2007;248) “rekonstruksi bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat terkena bencana memalui pembangunan kembali sarana dan prasarana di lokasi bencana”. Dengan demikian diharapkan kondisi masyarakat dapat lebih baik dari sebelum kejadian bencana yang dapat membangkitkan semagat dalam menjalani kehidupan dimasa yang akan datang.

Menurut Subondono Diposaptono Budiman 2007, kegiatan rekonstruksi yang efektif dan efesien memerlukan lima hal :

1. Adanya pengakuan pemerintah terhadap kerugian proses pembangunan nasional yang diakibatkan oleh bencana.

2. Adanya penanggung jawab, alokasi dana, dan koordinasi instansi terkait dalam melaksnakan berbagai kegiatan rekonstruksi yang diperlukan. 3. Pembangunan sarana dan prasarana yang lebih

aman sehingga ketahanan terhadap bencana dimasa depan lebih meningkat.

4. Penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang lebih baik dan tahan terhadap bencana.

5. Pembangunan sarana dan prasarana peredam bencana dimasa mendatang”.

Artinya rekonstruksi yang dilaksanakan untuk menghindarkan masyarakat atau melindungi masyarakat terhadap bencana dimasa yang akan datang.

Pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi dalam penanggulangan bencana bertujuan untuk menjamin


(53)

45

terselenggaranya pelaksanaan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman, resiko, dan dampak bencana (Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008). Artinya dalam melaksanakan penanggulangan bencana perlu dilakukan :

1. Perencanaan.

Perencanaan menurut George R. Terry (1990) yang dikutif oleh Badan Kepegawaian Negara (2011;4) adalah “proses pengambilan keputusan yang merupakan dasar bagi kegiatan-kegiatan/tindakan-tindakan ekonomis dan efektif pada waktu yang akan datang”. Perencanaan penanggulangan bencana disusun berdasarkan hasil analisis resiko bencana dan upaya penanggulangan bencana yang dijabarkan dalam program kegiatan penanggulangan bencana. Perencanaan teknis merupakan kegiatan penyusunan dokumen rencana teknis yang berisikan gambar rencana kegiatan yang ingin diwujudkan.

Perencanaan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 memuat “data kerusakan yang meliputi lokasi, data korban bencana, tingkat kerusakan bencana, dan perkiraan kerugian”. Artinya dalam menyusun perencanaan harus memperhatikan data, lokasi dan tingkat kerusakan akibat bencana.


(54)

Nurjanah dkk. (2012;96), menyatakan bahwa “perencanaan terkait dengan pemaduan penanggulangan bencana ke dalam perencanaan pembangunan (nasional dan daerah) dan rencana kerja pemerintah, serta penyusunan rencana aksi dalam pengurangan resiko bencana”.

2. Penganggaran.

Agus Purwanto E dan Ratih S Dyah (2002;5), mengemukakan bahwa “alasan kegagalan implementasi kebijakan pemerintah adalah : pertama berkaitan dengan kerugian pinansial yang diakibatkan penyimpangan atau tidak dikerjakan dengan baik. Alasan kedua adalah hilangnya kesempatan (lost of opportunity) karena adanya keterbatasan anggaran (budget constraint).

Pendapat lain yang dikemukakan oleh Syarief Makhya (2010;16), faktor pembiyaan keuangan adalah syarat mutlak untuk memfungsikan pemerintahan, tanpa didukung dana maka pemerintah tidak akan fungsional bahkan keberadaannya menjadi hilang”.

Sedangkan menurut Edi Suharto, (2012;136) mengemukakan bahwa,

“Tidak sejalannya perencanaan dan implementasi kebijakan dapat disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan keterampilan pelaksana kebijakan, lemahnya sistem pengawasan, atau karena kurangnya dukungan sumber dana”.

Pendanaan dan pengeloaan bantuan bencana mengatur hal-hal yang terkait dengan sumber dana penanggulangan bencana,


(55)

47

penggunaan dana penanggulangan bencana, pengelolaan bantuan bencana, serta pengawasan dan pelaporan pertanggung jawabannya. Sumber dana untuk membangun kembali pasilitas umum yang rusak karena bencana, perlu dianggarkan oleh pemerintah baik melaui APBD Kabupaten, APBD Provinsi, maupun melaui APBN. Biaya rehabilitasi dan rekonstruksi yang besar tidak mungkin ditanggulangi oleh masyarakat. Oleh karena itu penganggarannya harus oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah dimana bencana itu terjadi.

3. Operasional

Operasional adalah proses penanggulangan bencana dengan melihat kemampuan SDM, peralatan yang tersedia, koordinasi dengan satuan kerja terkait serta partisipasi masyarakat. Sebagai mana dimuat dalam peraturan pemerintah nomor 21 Tahun 2008, dimuat bahwa “pengerahan sumberdaya manusia, peralatan, dan logistik dilakukan untuk menyelamatkan dan mengevakuasi korban bencana, memenuhi kebutuhan dasar dan memulihkan fungsi prasarana dan sarana vital yang rusak akibat bencana”.

4. Target

Target adalah output yang diharapkan dalam penanggulangan kerusakan bencana adalah :


(56)

a. Prasarana dan sarana umum masyarakat dapat berfungsi kembali.

Berfungsinya kembali prasarana dan sarana umum masyarakat yaitu :

Tanggul-tanggul penahan air dapat berfungsi kembali yaitu untuk mengairi areal pertanian masyarakat sawah dan kolam ikan, jalan dan jembatan penghubung antar desa dan antar kecamatan yang digunakan oleh masyarakat untuk lalu lintas transportasi dan lalu lintas untuk mengangkut hasil pertanian dapat berfungsi lebih baik dari sebelum bencana terjadi.

b. Memberikan rasa aman kepada masyarakat dari ancaman bencana

Yaitu masyarakat dapat terlindungi dari bahaya bencana banjir bila musim penghujan.

Sedangkan menurut Nurjannah dkk. (2011;76) kerangka kerja penilaian kebutuhan pasca bencana mengakomodasi semua kebutuhan pada 3 (tiga) aspek yaitu :

1. Aspek kemanusiaan, terkait dengan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat/korban bencana. Fase ini antara lain diperlukan pemenuhan jaminan hidup, pengembalian kondisi sosial ekonomi ke kondisi normal.

2. Aspek pemulihan, terkait dengan perbaikan pemulihan semua aspek layanan publik sampai tingkat memadai. Sasarannya adalah normalisasi/berfungsinya secara wajar berbagai aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat.


(57)

49

3. Aspek pembangunan, terkait dengan pembangunan kembali semua prasarana dan sarana serta kelembagaan di wilayah pasca bencana. Sasarannya adalah tumbuh kembangnya kegiatan sosial, ekonomi, budaya dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala kehidupan.

2.4 Kerangka Fikir

Kerangka fikir menurut Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier yang dikutif oleh Solichin Abdul Wahab (2004;81), yang disebut A Frame work for implementation Analysis (kerangka analisis implementasi) ialah “mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi”. Variabel yang dimaksudkan yaitu mudah atau tidaknya masalah dikendalikan, kemampuan keputusan kebijaksanaan untuk menstrukturkan secara tepat proses implementasi kebijakan, dan pengaruh langsung variabel politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan yang termuat dalam keputusan kebijaksanaan tersebut.

Sedangkan proses implementasi menurut Solichin Abdul Wahab (2004;82), “adalah kejelasan dan konsestensi tujuan, ketetapan alokasi sumber dana, keterpaduan hirarki dalam dan diantara lembaga pelaksana, aturan-aturan keputusan dari badan pelaksana, rekruitmen pejabat pelaksana dan akses pihak


(58)

lain”. Pengertian ini adalah implementasi kebijakan harus memuat prosedur yang jelas dan tepat.

Edi Suharto (2012;136), mengemukakan bahwa salah satu penyebab dari perencanaan dan implementasi kebijakan tidak sejalan disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan ketrampilan para pelaksana kebijakan, lemahnya sistem pengawasan, atau karena kurangnya dukungan sumber dana. Pendapat ini memberikan pengertian bahwa dalam implementasi kebijakan diperlukan pengawasan dan dukungan sumber dana.

Selanjutnya Erwan A Purwanto dan Dyah R Sulistyastuti (2012;73) menyatakan bahwa

“proses implementasi kebijakan, selain karena makin terbatasnya kemampuan pemerintah, dari segi anggaran, SDM, teknologi, dan kapasitas manajemen untuk dapat memecahkan semua urusan publik sendiri, era demokrasi juga menuntut pemerintah makin terbuka dan inklusif dalam memberikan ruang bagi civil society organizations dan sektor swasta untuk terlibat dalam implementasi suatu kebijakan”.

Kabupaten Tanggamus memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non alam, maupun faktor manusia. Bencana alam banjir, tanah longsor, kebakaran, dan sebagainya dapat menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,


(59)

51

kerugian harta benda, dampak psikologis dalam keadaan tertentu, dan dapat menghambat pembangunan nasional.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008, tentang Penanggulangan Bencana bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah “upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang beresiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi pasca bencana. Karena permasalahannya masih terlalu luas, dengan tidak mengurangi makna dari pembahasan, maka peneliti hanya akan menyoroti dan mengungkap masalah-masalah yang berkenaan dengan penanggulangan pasca bencana saja.

Penanggulangan bencana yang dilakukan oleh pemerintah bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana, menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, membangun partisipasi masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui kerangka fikir (frame work) implementasi kebijakan penanggulangan bencana di Kabupaten Tanggamus dalam menanggulangi kerusakan dan kerugian akibat bencana. Tujuan dari kerangka fikir dalam penelitian ini adalah untuk membuat suatu landasan teoritis yang dapat dijadikan sebagai titik tolak dalam memecahkan


(60)

permasalahan yang dibahas yaitu proses implementasi kebijakan pemerintah tentang penanggulangan pasca bencana.

Sebagai fokus kajian, kinerja implementasi menjadi bagian yang paling penting dalam studi implementasi. Pengetahuan tentang kinerja implementasi menjadi hal yang vital, sebab berdasarkan pengetahuan maka penulis akan membuat penilaian (judgement), apakah implementasi suatu kebijakan boleh dikatakan berhasil atau gagal. Penilaian tertsebut akan memiliki implikasi bagi yang dinilai maupun penilai.

Suatu kebijakan dapat didefinisikan sebagai gambaran mengenai tingkat pencapaian implementasi dalam mewujudkan sasaran dan tujuan suatu kebijakan baik itu berupa keluaran kebijakan (policy output) maupun hasil kebijakan (policy outcome), tercapainya suatu tujuan kebijakan melalui tahapan-tahapan. Mulai dari input kebijakan yaitu sumberdaya yang digunakan untuk melaksanakan suatu program, proses atau kegiatan yaitu kegiatan untuk menghasilkan suatu produk, output kebijakan yaitu keluaran kebijakan yang berupa layanan publik yang dapat dinikmati oleh kelompok sasaran.

Kebijakan pemerintah dalam menanggulangi kerusakan dan kerugian akibat bencana adalah kebijakan yang sangat berguna bagi masyarakat ketika bencana itu terjadi. Implementasikan


(61)

53

kebijakan pemerintah tentang penanggulangan bencana yang dilaksanakan secara terencana, terkoordinasi, dan terpadu dapat meringankan beban penderitaan masyarakat korban bencana, bahkan dapat mendorong, membangkitkan serta dapat memperkokoh rasa persatuan dan kesatuan bangsa.

Kerangka fikir dapat memperlihatkan bagaimana tujuan akhir dari suatu program dapat dicapai. Untuk memberikan ilustrasi, maka kerangka fikir tersebut apabila diterapkan dalam kasus implementasi kebijakan pemerintah dalam menanggulangi kerusakan dan kerugian pasca bencana dapat di lihat pada gambar sebagai berikut :


(62)

Proses Implementasi Kebijakan Pemerintah

Gambar 3. Bagan Kerangka Fikir BADAN

PENANGGULANGAN BENCAN

PENANGGULANGAN KERUSAKAN PRASARANA DAN SARANA UMUM

AKIBAT BENCANA BANJIR

PERATURAN PEMERINTAH RI NOMOR 21 TAHUN 2008, TENTANG

PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA PROSES IMPLEMENTASI

KEBIJAKAN PEMERINTAH

1.SDM 2.PERALATAN 3.KOORDINASI 4.MASYARAKAT 1.APBD KABUPATEN

2.APBD PROPINSI 3.APBN

3.LEMBAGA SWASTA PERENCANAAN

1.INVENTARISASI DATA KERUSAKAN 2.DATA TENTANG

JUMLAH BENCANA 3.LOKASI BENCANA

OPERASIONAL TARGET

1.SARANA DAN PRASARANA 2.KEAMANAN.MASYAR

AKAT DARI BENCANA 3.PEREKONOMIAN ANGGARAN


(63)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Alasan penulis menggunakan metode kualitatif adalah :

1. Ingin mengetahui secara langsung proses implementasi kebijakan penanggulangan pasca bencana itu dilaksanakan.

2. Masalah-masalah yang akan dicari jalan keluarnya dapat diketahui dan didekati sesuai dengan substansinya.

3. Data yang dikumpulkan dapat menjadi bahan pengembangan teori. 4. Hasil analisis dapat dijadikan pengembangan kebijakan.

Sedangkan instrumen dalam penelitian ini adalah orang (human instrument) yaitu peneliti sendiri. Peneliti bertanya, menganalisis, memotret, dan mengkonstruksi situasi sosial yang diteliti menjadi lebih jelas dan bermakna.

3.2 Lokasi Penelitian

Berdasarkan data permasalahan sebagai mana di uraikan pada Bab Pendahuluan, tentang implementasi kebijakan pemerintah dalam


(64)

menanggulangi kerusakan pasca bencana. Data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Tanggamus antara lain tanggul yang rusak akibat banjir bila dibiarkan dapat menggenangi rumah penduduk. menunjukkan beberapa infrastruktur jembatan putus yang belum diperbaiki mengakibatkan terhambatnya arus lalu lintas kendaraan yang mengangkut hasil pertanian dan sebagainya.

Penulis merasa tertarik dan ingin mengetahui apa sebenarnya yang terjadi terhadap implementasi kebijakan pemerintah dalam menanggulangi kerusakan akibat bencana di Kabupaten Tanggamus. Alasan inilah yang menyebabkan penulis mengambil lokasi penelitian ini pada Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Tanggamus.

3.3 Fokus Penelitian

Fokus penelitian bertujuan untuk membatasi peneliti sehingga tidak terjebak dalam pengumpulan data yang terlalu luas yang kurang relevan dengan rumusan masalah penelitian. Menurut Strauss dan Corbin yang dikutif oleh Moeloeng, (2000;43), “fokus penelitian berfungsi untuk memilih data yang relevan dan tidak relevan meskipun tidak menarik, maka tidak perlu dimasukkan ke dalam data yang sedang dikumpulkan”.

Pendapat lain yang dikemukakan oleh Sugiyono, (201;207), tentang fokus penelitian bahwa “Karena terlalu luasnya masalah, maka peneliti akan membatasi penelitian dalam satu atau lebih variabel”. Fokus


(65)

57

penelitian dalam penelitian ini diperoleh setelah peneliti melakukan grand tour obsevation dan grand tour question atau yang lebih dikenal dengan penjelajahan umum.

Fokus penelitian ini menjadi penting karena dapat memandu dan mengarahkan jalannya penelitian. Berdasarkan fokus penelitian, maka peneliti membatasi temuan-temuan dengan arahan fokus penelitian, dengan demikian peneliti akan mengetahui dengan pasti data mana yang perlu dimasukkan ke dalam data yang sedang dikumpulkan. Penelitian ini difokuskan pada beberapa hal antara lain :

1. Proses implementasi kebijakan pemerintah dalam penanggulangan kerusakan pasca bencana di Kabupaten Tanggamus dilihat dari : a. Perencanaan.

b. Anggaran. c. Operasional. d. Target.

2. Masalah-masalah lain yang berkenaan dengan implementasi kebijakan dalam menanggulangi kerusakan akibat bencana.

3.4 Informan

Unit analisis adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subyek penelitian sebagaimana dikemukakan olej Arikunto, (2002;116). Pendapat tersebut memberikan pengertian bahwa, dalam penelitain ini,


(66)

unit analisisnya adalah pihak yang terkait dengan implementasi kebijakan pemerintah dalam menanggulangi kerusakan Pasca Bencana Kabupaten Tanggamus antara lain :

1. Kepala Badan Penanggulangan Bencana.

2. Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Tanggamus.

3. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tanggamus.

4. Kepala Bidang pada BPBD. 5. Camat Wilayah Kena Bencana 6. Kepala Pekon Kena Bencana

3.5 Sumber Data

1. Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh dari sumber-sumber primer, yaitu sumber asli yang memuat informasi atau data tersebut sebagaiman dikemukakan oleh Amirin, (2000;132). Untuk memperdalam pemahaman tentang implementasi program penaggulangan pasca bencana dalam rangka mengembalikan fungsi pelayanan publik, maka peneliti akan melakukan wawancara dengan para nara sumber (informan) yang relevan serta berkompeten sesuai dengan materi penelitian ini.

Rusidi, (2002;14), mengemukakan bahwa “Informan adalah sumber data primer yang mampu memberikan informasi mengenai


(67)

59

diri/keadaan orang lain atau memberikan informasi tentang situasi dan kondisi lingkungan yang menjadi informan”. dalam penelitian ini pihak yang berkompeten terhadap penanggulangan kerusakan pasca bencana di Kabupaten Tanggamus yaitu Pelaksana pada Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Tanggamus, Kepala Badan Penaggulangan Bencana Daerah, Kepala Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi Badan Penaggulangan Bencana Daerah Provinsi Lampung dan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Propinsi Lampung.

2. Data Sekunder

Data sekunder sebagaimana dikemukakan oleh (Amirin, 2000;132) adalah data yang diperoleh dari sumber yang bukan asli memuat informasi atau data tersebut. Selain sumber data utama, peneliti juga akan menggunakan sumber data lain yaitu sumber data dalam bentuk arsip, dokumen dan naskah penting lainnya yang terkait dengan program penanggulangan pasca bencana.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama penelitian adalah untuk mendapatkan data. Pengumpulan data dapat dilakukan dengan berbagai


(1)

1. Analisis Sebelum di Lapangan.

Analisis data sebelum di lapangan adalah dengan cara menganlisis data hasil studi pendahuluan yang akan dugunakan untuk menentukan fokus penelitan, karena fokus penelitan bersifat sementara dan akan berkembang setelah peneliti terjun ke lapangan.

2. Analisis Data di lapangan.

Analisis data pada saat pengumpulan data di lapangan, setelah dianalisis data ternyata belum memuaskan, maka peneliti akan melanjutkan penelitian sampai pada tahap tertentu, diperoleh data yang dianggap kredibel. Miles and Huberman (1984), yang dikutif oleh Sugiyono, (2013;246).

3. Comfirmability (kepastian).

Untuk mendapatkan kepastian data yang telah dikumpulkan, peneliti melakukan konsultasi kepada :

a. Dosen Pembimbing dalam bentuk konsultasi untuk memeriksa data hasil penelitian yang telah dituangkan dalam bentuk tulisan untuk diadakan diskusi dan mendapatkan berbagai saran dari Pembimbing.

b. Badan Nasional Penaggulangan Bencana selaku Koordinator dalam penentuan anggaran rehabilitasi dan rekonstruksi di Kabupaten/Kota di Indonesia.


(2)

65

c. Teman-teman sejawat atau diskusi dengan teman sejawat (peer debiefing) untuk membangun kredibelitas. Diskusi teman sejawat tersebut bermaksud untuk mengeksplorasi aspek-aspek penelitian yang secara garis besarnya berkenaan dengan rencana penelitian dan langkah-langkah selanjutnya.

3.9 Jadwal Pelaksanaan Penelitian.

No Uraian Pelaksanaan

Oktober Nopember Desember

1.

Persiapan Penelitian I II III IV I II III IV I II III IV Mengurus izin penelitian

Menyiapkan bahan-bahan Pemberitahuan penelitian

2.

Pelaksanaan Penelitian Tinjauan ke lokasi bencana Wawancara kepada informan Dokumentasi

3.

Analisis Data

Mengamati hasil tinjauan Memeriksa hasil wawancara Mengamati dokumen-dokumen

4.

Penyelesaian Penelitian

Membuat laporan hasil penelitian Membuat keterangan hasil penelitian Membuat kesimpulan penelitian


(3)

V KESIMPULAN DAN SARAN

1.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Kebijakan penanganan masalah pasca bencana banjir dilihat dari karakteristiknya adalah tidak bisa diprediksi kejadiannya, sedangkan kebijakan penanggulangan bencana pasca banjir sekarang ini cenderung masih kurang antisipatif, walaupun secara kelembagaan sudah ada Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi tetapi kurang didukung oleh perencanaan yang terarah, anggaran yang memadai, operasional yang sungguh-sungguh, serta target sasaran yang tepat, sehingga institusi tersebut masih belum mampu untuk mengantisipasi penanganan pasca bencana banjir.

2. Proses implementasi kebijakan pemerintah dalam menanggulangi kerusakan pasca bencana banjir sekarang ini dijumpai sejumlah hambatan yaitu Perencanaan yang belum terarah, Anggaran yang tersedia di Daerah Kabupaten Tanggamus masih sangat terbatas, Operasional penyelenggaraan penanggulangan belum berjalan dengan sungguh-sungguh, target/sasaran kurang tepat.


(4)

139

1.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, peniliti menyarankan agar proses implementasi kebijakan pemerintah dalam menanggulangi kerusakan pasca bencana dapat berjalan maka :

1. Proses implementasi kebijakan pemerintah dalam menganggulangi kerusakan pasca bencana harus antisipatif. Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi Badan Penanggulangan Bencana Daerah harus menyusun perencanaan yang terarah, mengajukan anggaran ke Pemerintah daerah atau ke Pemerintah Pusat untuk membiyai penanggulangan kerusakan pasca bencana, harus melaksanakan pekerjaan dengan sungguh-sungguh, dan harus mencapai sasaran/target yang jelas.

2. Hambatan-hambatan yang dihadapi yaitu : a). Penyusunan perencanaan program harus disusun berdasarkan pedoman perencanaan, arahan dan masukan dari bidang teknis, serta data kerusakan akibat bencana yang telah dianalisis untuk ditentukan prioritas penanggulangan pasca bencana banjir di Kabupaten Tanggamus, b). Anggaran untuk penanggulangan kerusakan pasca bencana harus memadai, c). Operasional kegiatan harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, dan d). Sasaran/target yang ingin di capai harus tepat.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab Solichin, 2004. Analisis Kebijaksanaan. Edisi kedua. Dari formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Bumi Aksara, Jakarta.

Ali Faried dan Syamsu Andi, 2012. Studi Kebijakan Pemerintah. Refika Aditama, Bandung. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tanggamus, 2013. Tanggamus Dalam

Angka, Tanggamus in figures. BAPPEDA Kabupaten Tanggamus. Kota Agung. Direktorat Standarisasi Jabatan dan Formasi, 2006. Kamus Kompetensi Jabatan Pegawai

Negeri Sipil. Badan Kepegawaian Negara, Jakarta.

Ishak, 2010. Posisi Masyarakat Dalam Era Otonomi Daerah. Penaku, Jakarta.

Istianto Bambang, 2009. Manajemen Pemerintahan Dalam Perspektif Pelayanan Publik. Mitra Wacana Media, Jakarta.

Kodoatie dan Roestam. 2006. Pengeloaan Bencana Terpadu. Banjir Longsor, Kekeringan dan Tsunami. Yarsif Watampoen, Jakarta.

Nurjanah, Cs, 2012. Manajemen Bencana. Alfabeta, Bandung.

Pramusinto dan Purwanto, 2009. Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan, dan Pelayanan Publik. Gava Media, Yogyakarta.

Purwanto dan Sulistyastuti, 2012. Implementasi Kebijakan Publik. Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Gava Media, Yogyakarta.

Siswadi Edi, 2012. Birokrasi Masa Depan. Menuju Tata Kelola Pemerintahan yang Efektif dan Prima. Mutiara Press, Bandung.

Sagala Syaiful, 2013. Etika dan Moralitas Pendidikan, Peluang dan Tantangan. Kencana Prenadamedia Group, Jakarta.


(6)

Sugiyono, 2013. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Alfabeta, Bandung.

Suharto Edi, 2012. Analisis Kebijakan Publik. Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial. Dilengkapi Contoh-contoh Naskah Kebijakan (policy Papaer). Alfabeta, Bandung.

Sunggono, 2004. Administrasi Pembangunan, perkembangan Pemikiran dan Prakteknya di Indonesia. LP3S. Jakarta.

Tjokroamidjoyo Bintoro, 2002. Reformasi Nasional Penyelenggaraan Good Governance dan Perwujudan Masyarakat Madani. Lembaga Administrasi Negara RI. Jakarta.

Dokumen-dokumen.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007, tentang Penanggulangan Bencana.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008, tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2008, tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2008, tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Nonpemerintah Dalam Penanggulangan Bencana.

Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 11 Tahun 2008, tentang Pedoman Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana.

Peraturan Gubernur Lampung Nomor 13 Tahun 2011, tentang Penanggulangan Bencana, Pemerintah Provinsi Lampung.

Peraturan Bupati Tanggamus Nomor 24 Tahun 2012, tentang Tugas Pokok dan Uraian Tugas Jabatan Struktural Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Tanggamus.

Perhimpi Cabang Lampung, 2012. Kajian Kerentanan Kapasitas Dan Resiko Bencana Propinsi Lmpung, Bandar Lampung.