17 sebagai perekat antar serat sehingga lignin pada kayu juga berfungsi untuk
mendukung kekuatan mekanis batang. Menurut Al-Mefarrej et al. 2011 salah satu fungsi lignin adalah untuk memberikan kekakuan dinding sel dan kekakuan
batang.
Tabel 5 Rata-rata kandungan komponen kimia kayu struktural
Kadar holoselulosa tidak dipengaruhi secara nyata oleh perlakuan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan tingkat
α = 95. Kadar holoselulosa dipengaruhi secara nyata oleh bagian kayu. Kayu teras memilki rata-
rata kadar holoselulosa yang lebih rendah dibanding bagian kayu gubal. Hal serupa juga disampaikan oleh Gao et al. 2011 bahwa kayu gubal memiliki
kandungan holoselulosa lebih tinggi dibandingkan kayu teras pada kayu Cedrus deodora. Interaksi antara ketiga faktor tidak menunjukkan pengaruh yang nyata
terhadap kadar holoselulosa tingkat
α = 95. Kadar alfa selulosa dan kadar hemiselulosa kayu meranti merah tidak
dipengaruhi secara nyata oleh faktor penjarangan, pelebaran jarak bebas naungan, dan bagian kayu tingkat
α = 95. Interaksi antara ketiga faktor juga tidak berpengaruh terhadap kadar alfa selulosa dan hemiselulosa. Hasil penelitian ini
berbeda dengan Al-Mefarrej et al. 2011 dan Gao et al. 2011 yang menyatakan bahwa kandungan selulosa dan hemiselulosa kayu dengan jarak tanam yang lebar
menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan jarak tanam yang rapat. Kedua perlakuan silvikultur tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
komponen kimia kayu struktural lignin, selulosa, dan hemiselulosa. Kecepatan pertumbuhan sel kayu akibat penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan
diduga tidak mempengaruhi kuantitas pembentukan dan komposisi polimer selulosa, hemiselulosa, dan lignin pada dinding sel kayu meranti merah.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Perlakuan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan secara signifikan menurunkan tutupan tajuk serta meningkatkan diameter dan TBC, sementara
tinggi total hanya dipengaruhi oleh penjarangan. Perlakuan penjarangan dan
Komponen Kimia JBN 8 m
JBN 10 m JBN 12 m
JBN 8 m JBN 10 m
JBN 12 m Gubal
31.16 31.73
32.57 31.63
31.59 30.83
Teras 34.23
33.26 32.92
33.87 33.86
33.92
Gubal 68.14
69.76 69.43
68.95 68.53
69.46
Teras 66.77
68.12 68.81
67.59 67.65
67.68
Gubal 40.65
42.51 42.87
41.30 41.63
42.48
Teras 40.44
42.48 40.60
40.77 41.80
41.38
Gubal 27.49
27.26 26.56
27.65 26.90
26.98
Teras 26.33
25.64 28.22
26.81 25.86
26.30
Keterangan: JBN = Jarak bebas naungan Holoselulosa
Alfa Selulosa Hemiselulosa
Tanpa Penjarangan Penjarangan
Lignin
18 pelebaran jarak bebas naungan secara nyata menurunkan BJ, kerapatan, dan KA
kering udara serta mempengaruhi penyusutan pada ketiga arah susutnya. MOE, MOR, kekuatan tekan sejajar serat, kekuatan belah, dan kekerasan sisi secara
nyata juga mengalami penurunan dengan adanya penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan.
Penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan cenderung menurunkan persentase kayu teras serta menurunkan panjang serat dan tebal dinding serat
namun meningkatkan diameter serat dan diameter lumennya. Secara umum perlakuan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan menurunkan kadar
ekstraktif pada kayu teras, namun meningkatkan kadar ekstraktif pada kayu gubal dan kadar abu. Kadar lignin, holoselulosa, alfa selulosa, dan hemiselulosa tidak
dipengaruhi secara nyata oleh perlakuan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan
Saran
Berdasarkan hasil penelitian, lebar jalur bebas naungan yang optimal pada sistem TPTJ agar diperoleh pertumbuhan serta kualitas kayu yang baik yaitu tidak
lebih dari 10 m. Perlu dilakukan penelitian terkait intensitas penjarangan yang tepat agar kualitas kayu tidak mengalami penurunan yang signifikan.
DAFTAR PUSTAKA
Abohassan A, Tewfik SFA, Wakei AOE. 2010. Effect of thinning on the above ground giomass of Conocarpus erectus L. trees in the western region of
Saudi Arabia. JKAU: Met., Env. Arid Land Agric. Sci. 21 1: 3-17. Al-Mefarrej HA, Abdel-Aal MA, Nasser RA, Shetta ND. 2011. Impact of initial
tree spacing and height level on chemical compotition of Leucaena leucocephala trees grown in Riyadh region. Wood Applied Sciences Journal
12 7: 912-918.
Basri E, Rulliaty S. 2008. Pengaruh sifat fisik dan anatomi terhadap sifat pengeringan enam jenis kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 26 3: 253-
262. Berberovic A, Milota MR. 2012. Impact of wood variability on the drying rate at
different moisture content levels. Forest Pruducts Journal 61 6: 435-442. Brown PL, Doley D, Keenan RJ. 2004. Stem and crown dimensions as predictors
of thinning respones in a crowded tropical rainforest plantation of Flindersia brayleyana F. Muell. Journal of Forest and Management 196
2004: 379-392.
Browning BL. 1967. Methods of Wood Chemistry. New York: Interscience Publ. Cao T, Valsta L, Härkönen S, Saranpää, Mäkelä A. 2008. Effects of thinning and
fertilization on wood properties and economic returns for norway spruce. Journal of Forest Ecology and Management 256 2008: 1280-1289.
PENGARUH PENJARANGAN DAN PELEBARAN JARAK NAUNGAN TERHADAP SIFAT DASAR KAYU MERANTI
MERAH
MUNAWAR SUKOWATI
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2013
18 pelebaran jarak bebas naungan secara nyata menurunkan BJ, kerapatan, dan KA
kering udara serta mempengaruhi penyusutan pada ketiga arah susutnya. MOE, MOR, kekuatan tekan sejajar serat, kekuatan belah, dan kekerasan sisi secara
nyata juga mengalami penurunan dengan adanya penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan.
Penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan cenderung menurunkan persentase kayu teras serta menurunkan panjang serat dan tebal dinding serat
namun meningkatkan diameter serat dan diameter lumennya. Secara umum perlakuan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan menurunkan kadar
ekstraktif pada kayu teras, namun meningkatkan kadar ekstraktif pada kayu gubal dan kadar abu. Kadar lignin, holoselulosa, alfa selulosa, dan hemiselulosa tidak
dipengaruhi secara nyata oleh perlakuan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan
Saran
Berdasarkan hasil penelitian, lebar jalur bebas naungan yang optimal pada sistem TPTJ agar diperoleh pertumbuhan serta kualitas kayu yang baik yaitu tidak
lebih dari 10 m. Perlu dilakukan penelitian terkait intensitas penjarangan yang tepat agar kualitas kayu tidak mengalami penurunan yang signifikan.
DAFTAR PUSTAKA
Abohassan A, Tewfik SFA, Wakei AOE. 2010. Effect of thinning on the above ground giomass of Conocarpus erectus L. trees in the western region of
Saudi Arabia. JKAU: Met., Env. Arid Land Agric. Sci. 21 1: 3-17. Al-Mefarrej HA, Abdel-Aal MA, Nasser RA, Shetta ND. 2011. Impact of initial
tree spacing and height level on chemical compotition of Leucaena leucocephala trees grown in Riyadh region. Wood Applied Sciences Journal
12 7: 912-918.
Basri E, Rulliaty S. 2008. Pengaruh sifat fisik dan anatomi terhadap sifat pengeringan enam jenis kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 26 3: 253-
262. Berberovic A, Milota MR. 2012. Impact of wood variability on the drying rate at
different moisture content levels. Forest Pruducts Journal 61 6: 435-442. Brown PL, Doley D, Keenan RJ. 2004. Stem and crown dimensions as predictors
of thinning respones in a crowded tropical rainforest plantation of Flindersia brayleyana F. Muell. Journal of Forest and Management 196
2004: 379-392.
Browning BL. 1967. Methods of Wood Chemistry. New York: Interscience Publ. Cao T, Valsta L, Härkönen S, Saranpää, Mäkelä A. 2008. Effects of thinning and
fertilization on wood properties and economic returns for norway spruce. Journal of Forest Ecology and Management 256 2008: 1280-1289.
19 Darmawan W, Alipraja I. 2010. Karakteristik aus pisau pengerjaan kayu karena
pengaruh ekstraktif dan bahan abrasif yang terdapat pada kayu dan komposit kayu. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 3 1: 32-37.
DeBell JD, Lachenbruch. 2009. Heartwoodsapwood variation of western redcedar as influenced by cultural treatments and position in tree. Journal of
Forest Ecology and Management 258 2009: 2026-2032. Ekeberg D, Flaete PO, Eikenes M, Fongen M, Andresen CFN. 2006. Qualitative
and quantitative determination of extractives in hearthwood of scots pine Pinus sylvestris L. by gas chromatography. Journal of Chromatography A.
1109 2006: 267-272.
Gao H, Zhang L, Liu S. 2011. Comparison of KP pulping properties between hearthwood and sapwood of Cedrus deodora Roxb.. G. Don. Applied
Mechanics and Materials 55-57 2011: 1778-1784. Gartner BL. 2002. Sapwood and inner bark quantities in relation to leaf area and
wood density in douglas-fir. IAWA Journal 23 3: 267-285. Goncalves JLM, Stape JL, Laclau JP, Smethurst P, Gava JL. 2004. Silvicultural
effects on the productivity and wood quality of eucalypt plantations. Journal of Forest Ecology and Management 193 2004: 45-61.
Haroen WK, Dimyati F. 2006. Sifat kayu tarik, teras dan gubal Acacia mangium terhadap karakteristik pulp. Jurnal BB 411: 1-7.
Huang S, Wang BJ, Lu J, Dai C, Lei Y, Sun X. 2012. Charaterizing changbai larch trough veneering. Part 1: Effect of stand density. Journal of Bio
Research 7 2: 2444-2460. Jyske Tuula. 2008. The effects of thinning and fertilisation on wood and tracheid
properties of norway spruce Picea abies – The results of long-term
experiments. [Dissertation]. Helsinki: Faculty of Agriculture and Forestry University of Helsinki.
Kammesheidt L, Dagang AA, Schwarzwäller W, Weidelt HJ. 2003. Growth patterns of dipterocarps in treated and untreated plots. Journal of Forest
Ecology and Management 174 : 437-445. Kiaei M, Samariha A. 2011. Fiber dimensions, physical and mechanical properties
of five important hardwood plants. Indian Journal of Science and Technology 4 11 1460-1463.
Kord B, Kialashaki A, Kord B. 2010. The within-tree variation in wood density and shrinkage, and their relationship in Populus euramericana. Turk J.
Agric. For 34 2010: 121-126. Korkut DS, Korkut S. 2008. Determination of the shear and cleavage strengths of
european hophornbeam Ostrya carpinifolia Scop. wood. Journal of Science and Technology 2 1: 131-137.
Latorraca JFC, Dunisch O, Koch G. 2011. Chemical composition and natural durability of juvenile and mature heartwood of Robinia pseudoacacia L. An
Acad Bras Cienc 833: 1059-1068. Leonardon M, Altaner CM, Vihermaa L, Jarvis MC. 2009. Wood shrinkage:
Influence of anatomy, cell wall architecture, chemical composition and cambial age. Eur. J. Wood Prod 2009 00: 1-8.
Lukmandaru G. 2009. Sifat kimia dan warna kayu teras jati pada tiga umur berbeda. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 7 1: 1-7.
20 Lundgren C. 2004. Cell wall thickness and tangential and radial cell diameter of
fertilized and irrigated norway spruce. Silva Fennica 381: 95 –106.
_________, 2004. Microfibril angle and density patterns of fertilized and irrigated norway spuce. Silva Fennica 381: 107-117.
Mawazin, Suhaendi H. 2011. Kajian pertumbuhan tanaman pada sistem silvikultur tebang pilih tanam indonesia intensif TPTII di Kalimantan Tengah. Jurnal
Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 8 3 : 253-261. Mindawati N, Tiryana T. 2002. Pertumbuhan jenis pohon Khaya anthotheca di
Jawa Barat. Bulletin Penelitian Hutan No. 632: 47-58. Morais MC, Pereira. 2012. Variation of extractives content in hearthwood and
sapwood of Eucalyptus globulus trees. Wood Sci. Technol 46 2012: 709- 719.
Nawrot M, Pazdrowski W, Szymanski M. 2008. Dynamics of heartwood formation and axial and radial distribution of sapwood and heartwood in
stems of european larch Larix decidua Mill.. Journal of Forest Science 54 9 : 409-417.
Pamoengkas P. 2006. Kajian aspek vegetasi dan kualitas tanah sistem silvikultur tebang pilih tanam jalur Studi kasus di areal HPH PT. Sari Bumi Kusuma,
Kalimantan Tengah. [Disertasi]. Bogor ID: Institut Pertanian Bogor. _________, Prayogi J. 2011. Pertumbuhan meranti merah Shorea leprosula Miq
dalam sistem silvikultur tebang pilih tanam jalur Studi kasus di areal IUPHHK-HA PT. Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah. Jurnal
Silvikultur Tropika 02 1 : 9-13.
Pandit IKN, Rahayu IS. 2007. Ultra-struktur kayu damar Agathis lorantifolia Salisb. dalam hubungannya dengan sifat fisis kayu. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kayu Tropis 51: 1-6. Picchio R, Neri F, Maesano M, Savelli S, Sirna A, Blasi S, Baldini, Marchi E.
2011. Growth effects of thinning damage in a corsican pine Pinus laricio Poiret stand in Central Italy. Forest Ecology and Management 262 2011:
237-243.
Pikk J, Kask R, Peterson P. 2006. The wood quality of fertilized scots pine Pinus sylvestris L. stands on vaccinium vitis-idaea and cladonia site type.
Metsanduslikud Uurimused 44: 9-19. Pinkard EA, Neilsen WA. 2003. Crown and stand characteristics of Eucalyptus
nitens in response to initial spacing: Implications of thinning. Journal of Forest Ecology and Management 172 2003: 215-227.
Pliura A, Yu Q, Zhang SY, Mackay J, Pierre P, Bousquet J. 2005. Variation in wood density and shrinkage and their relationship to growth young poplar
hybrids crosses. Forest Sci J 51: 472-482. Raiskila S, Pulkkinen M, Laakso T, Fagerstedt K, Löija M, Mahlberg R, Paajanen
L, Ritschkoff AC, Saranpää P. 2007. FTIR spectroscopic prediction of klason and acid soluble lignin variation in norway spruce cutting clones.
Silva Fennica 412: 351-371.
Rokeya UK, Hossain MA, Ali R, Paul SP. 2010. Physical and mechanical properties of Acacia auriculiformis x A. mangium hybrid acacia. Journal
of Bangladesh Academy of Sciences 34 2: 181-187.
21 Sadegh AN, Kiaei M, Samariha A. 2012. Experimental characterization of
shrinkage and density of Tamarix aphylla wood. Cellulose Chem. Technol 46 5-6: 369-373.
Siarudin, Marsoem. 2007. Karakteristik dan variasi sifat fisik kayu mangium pada beberapa jarak tanam dan kedudukan aksial-radial. Jurnal Pemuliaan
Tanaman Hutan 11: 1-11. Sukendro A, Sugiarto E. 2012. Respon pertumbuhan anakan Shorea leprosula
Miq, Shorea mecistopteryx Ridley, Shorea ovalis Korth Blume dan Shorea selanica DC Blume terhadap tingkat intensitas cahaya matahari. Jurnal
Silvikultur Tropika 03 01: 22-27.
Taylor AM, Barbara, Gartner, Morrel JJ. 2003. Co-incident variations in growth rate and heartwood extractive concentration in douglas-fir. Journal of Forest
and Management 186 2003: 257-260. _________, Gartner BL, Morrell JJ. 2006. Western redcedar extractives: Is ther a
role for the silviculturist? Forest Products Journal 56 3: 58-63. Uner B, Oyar O, Var AA, Altnta OL. 2009. Effect of thinning on density of Pinus
nigra tree using X-ray computed tomography. Journal of Environmental Biology 30 3 359-362.
Wang HL, Wang SY.1999. Effect of moisture content and specific gravity on static bending properties and hardness of six wood species. Journal of Wood
Science 45 2 127-133. Wardani L, Bahtiar ET, Sulastiningsih IM, Darwis A, Karlinasari L, Nugroho N,
Surjokusumo S. 2011. Kekuatan tekan dan poisson kayu pangsor Ficus callosa Willd dan kecapi Sandoricum kucape Merr. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Hasil Hutan 41: 1-7.
Zhang SY, Chauret G, Swift E, Duchesne I. 2006. Effects of precommercial thinning on tree growth and lumber quality in a jack pine stand in New
Brunswick, Canada. Can. J. For. Res. 36 : 945-952. Zziwa A, Kaboggoza JRS, Mwakali JA, Banana AY, Kyeyune RK. 2006.
Physical and mechanical properties of some less utilised tropical timber tree species growing in Uganda. Uganda Journal of Agriculturel Science 121:
29-37.
PENGARUH PENJARANGAN DAN PELEBARAN JARAK NAUNGAN TERHADAP SIFAT DASAR KAYU MERANTI
MERAH
MUNAWAR SUKOWATI
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Penjarangan dan Pelebaran Jarak Naungan terhadap Sifat Dasar Kayu Meranti Merah adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2013
Munawar Sukowati NIM E24080040
ABSTRAK
MUNAWAR SUKOWATI. Pengaruh Penjarangan dan Pelebaran Jarak Naungan terhadap Sifat Dasar Kayu Meranti Merah. Dibimbing oleh NYOMAN J.
WISTARA dan PRIJANTO PAMOENGKAS.
Usaha untuk meningkatkan laju pertumbuhan meranti merah Shorea leprosula Miq. di hutan alam telah dikembangkan melalui sistem silvikultur
tebang pilih dan tanam jalur TPTJ. Meskipun pertumbuhan pohon yang tinggi diketahui menurunkan sifat dasar tertentu dari kayu, tetapi pengukuran khusus
terhadap sifat dasar kayu meranti merah hasil perlakuan penjarangan dan pengaturan jarak bebas naungan belum banyak dilakukan. Dalam penelitian ini,
pengukuran sifat dasar kayu meranti merah hasil perlakuan penjarangan dan pengaturan jarak bebas naungan telah dilakukan. Ditemukan bahwa penjarangan
dan pelebaran jarak bebas naungan meningkatkan diameter pohon, susut longitudinal, diameter serat, diameter lumen, ekstraktif kayu gubal, dan kadar abu.
Dilain pihak, perlakuan ini menurunkan proporsi kayu teras, penutupan tajuk, berat jenis, kerapatan, susut radial dan tangensial, panjang serat, tebal dinding sel,
dan ekstraktif kayu teras. Lignin, holoselulosa,
-selulosa, dan hemiselulosa tidak secara nyata dipengaruhi oleh penjarangan dan pelebaran jarak naungan.
Kata kunci : meranti merah, TPTJ, penjarangan, sifat dasar kayu
ABSTRACT
MUNAWAR SUKOWATI. The Effect of Thinning and Line Planting on the Basic Properties of Red Meranti. Supervised by NYOMAN J. WISTARA and
PRIJANTO PAMOENGKAS.
Endeavor to increase the growth rate of red meranti Shorea leprosula Miq. in natural forest has been carried out through the silviculture system of selective
cutting and line planting TPTJ. Even though high growth rate has been understood tend to decrease certain basic properties of wood; however
measurement of the basic properties specifically done on the red meranti resulted from thinning and line planting treatment has been lacking. In the present
research, measurement of the basic properties of red meranti resulted from thinning and line planting treatment was done. It was found that thinning and
increasing line planting increased the diameter of tree, longitudinal shrinkage, fiber diameter, lumen diameter, sapwood extractives, and ash content. On the
other hand, these treatment decreased heartwood proportion, crown coverage, specific gravity, wood density, radial and tangential shrinkage, fiber length, cell
wall thickness and heartwood extractives. Lignin, holocellulose,
-cellulose and hemicelluloses were not significantly influenced by the treatments.
Key words : red meranti, TPTJ, thinning, basic properties
.
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan pada
Departemen Hasil Hutan
PENGARUH PENJARANGAN DAN PELEBARAN JARAK NAUNGAN TERHADAP SIFAT DASAR KAYU MERANTI
MERAH
MUNAWAR SUKOWATI
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2013
Judul Skripsi : Pengaruh Penjarangan dan Pelebaran Jarak Naungan terhadap Sifat Dasar Kayu Meranti Merah
Nama : Munawar Sukowati
NIM : E24080040
Disetujui oleh, Komisi Pembimbing
Pembimbing I
Nyoman J. Wistara, Ph.D NIP. 19631231 198903 1 027
Pembimbing II
Dr. Ir. Prijanto Pamoengkas, M.Sc.F.Trop NIP. 19631206 198903 1 004
Diketahui oleh, Ketua Departemen Hasil Hutan
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc. NIP. 19660212 199103 1 002
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa t a’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi ini telah berhasil diselesaikan dengan segala usaha dan kerja keras. Skripsi ini mengangkat tema sifat dasar kayu setelah
perlakuan silvikultur dan dilaksanakan sejak bulan Juni 2012 sampai Oktober 2012.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Hartono, SP dan Ibu Syamsiatun atas jasa luar biasa sebagai orang tua yang tidak pernah lelah untuk
selalu mendukung dan berdoa bagi kelancaran studi dan skripsi penulis. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Nyoman J. Wistara, Ph.D dan
Bapak Dr. Ir. Prijanto Pamoengkas, M.Sc.F.Trop selaku dosen pembimbing serta seluruh dosen, laboran, dan karyawan Departemen Hasil Hutan Fakultas
Kehutanan IPB yang telah banyak memberi bimbingan, saran, dan bantuan yang sangat berharga dan bermanfaat. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan
kepada Bapak Saminto, Bapak Purnomo dan Ibu Prasti serta karyawan PT. Sari Bumi Kusuma yang telah membantu selama proses pengumpulan sampel dan
data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada teman-teman seperjuangan satu bimbingan, THH angkatan 45, Fahutan angkatan 45, dan keluarga besar
HIMASILTAN yang selalu setia membantu, mendampingi dan memberi semangat selama masa studi di IPB.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Januari 2013 Munawar Sukowati
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL viii
DAFTAR GAMBAR viii
PENDAHULUAN 1
METODE 2
Pengambilan Sampel Kayu 2
Pengukuran Kondisi Pertumbuhan 2
Pengujian Sifat Dasar Kayu 3
Pengolahan Data 4
HASIL DAN PEMBAHASAN 4
Kondisi Pertumbuhan Pohon 4
Sifat Fisis 6
Sifat Mekanis 9
Sifat Anatomi 12
Sifat Kimia 14
SIMPULAN DAN SARAN 17
Simpulan 17
Saran 18
DAFTAR PUSTAKA 18
RIWAYAT HIDUP 22
DAFTAR TABEL
1 Rata-rata pengukuran kondisi pertumbuhan pohon meranti merah
5 2
Rata-rata kekuatan mekanis meranti merah kondisi kering udara 10
3 Rata-rata dimensi serat
13 4
Rata-rata kadar ekstraktif dan kadar abu kayu 15
5 Rata-rata kandungan komponen kimia kayu struktural
17
DAFTAR GAMBAR
1 Skema perlakuan silvikultur a plot tanpa penjarangan dan b plot
yang dilakukan penjarangan 2
2 Sifat fisis a krapatan KU, b berat jenis, dan c KA KU
7 3
Penyusutan kayu a arah radial, b arah tangensial dan c arah longitudinal.
8 4
Persentase kayu teras setelah perlakuan silvikultur 12
PENDAHULUAN
Meranti merah Shorea leprosula Miq. adalah jenis kayu meranti dengan laju pertumbuhan relatif cepat Mawazin dan Suhaendi 2011 dan secara alamiah
memiliki bentuk batang lurus dan silindris. Kayu meranti merah banyak dimanfaatkan antara lain untuk pembuatan kayu lapis, furnitur, kayu struktural,
dan peralatan musik. Meskipun produksinya masih dominan dari hutan alam, dewasa ini usaha untuk mengembangkannya melalui hutan tanaman sedang giat
dilakukan.
Usaha peningkatan produksi meranti merah telah dilakukan secara intensif oleh PT. SBK melalui sistem silvikultur TPTJ. Dalam sistem silvikultur ini, lebar
jalur optimal untuk menghasilkan pertumbuhan maksimum adalah antara 4 – 10 m
Pamoengkas 2006. Sistem silvikutur TPTJ telah dilaporkan mampu meningkatkan riap diameter rata-rata MAI sebesar 2.31 cmtahun Pamoengkas
dan Prayogi 2011. Tingkat pertumbuhan ini dikatagorikan sebagai sangat tinggi Mindawati dan Tiryana 2002. Penjarangan pada tegakan meranti merah dapat
meningkatkan pertumbuhan diameter secara signifikan Kammesheidt et al. 2003, meningkatkan biomassa daun, dan luas tajuk Abohasan et al. 2010 karena
pertumbuhan meranti merah sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya Sukendro dan Sugiarto 2012.
Selain meningkatkan kuantitas produksi kayu, penjarangan dan pengaturan naungan dapat mengubah mutu kayu yang dihasilkan tegakan hutan Uner et al.
2009. Kerapatan kayu, panjang sel serat, dan proporsi kayu akhir menurun dengan meningkatnya intensitas penjarangan tegakan hutan Cao et al. 2008.
Penurunan kerapatan menjadi indikasi menurunnya proporsi zat kayu di dalam dinding sel relatif terhadap nisbah antara tebal dinding dan diameter sel Lundgren
2004. Jyske 2008 juga telah menemukan terjadinya pertumbuhan diameter kayu yang cepat, penurunan panjang serat, penurunan tebal dinding sel, dan
peningkatan diameter sel dan lumen sel kayu spruce akibat penjarangan tegakan secara intensif. Sifat dasar kayu yang berhubungan erat dengan kerapatan seperti
MOE, MOR, dan kekuatan tekan kayu ditemukan menurun dengan meningkatnya intensitas penjarangan Huang et al. 2012. Kerapatan kayu adalah parameter
penting yang perlu diperhatikan dalam melakukan seleksi awal pemanfaatan kayu untuk fungsi struktural Zziwa et al. 2006.
Penjarangan dan perlakuan silvikultur lainnya tidak hanya mengubah sifat fisis dan mekanis kayu, tetapi juga dapat mengubah sifat kimianya Uner et al.
2009. Perubahan kadar lignin Uner et al. 2009 dan kadar ekstraktif berpotensi mengubah keawetan alami kayu Taylor et al. 2003.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan pengaruh perlakuan sistem silvikultur TPTJ yang meliputi penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan
akhir terhadap sifat-sifat dasar kayu meranti merah. Informasi tentang sifat dasar kayu hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam menentukan arah
pengelolaan hutan alam untuk menghasilkan kayu dengan mutu dan kuantitas yang baik secara lestari.
2
METODE
Pengambilan Sampel Kayu
Pengambilan sampel dilakukan pada areal PT Sari Bumi Kusuma SBK RKT tahun 1999 tahun tanam 2000. Sampel pohon meranti merah berasal dari
tegakan yang mendapat perlakuan penjarangan dengan jarak bebas naungan akhir yang beragam. Intensitas penjarangan yang digunakan adalah 45 sehingga
menyisakan 60 pohonha dari 110 pohonha sebelumya. Terdapat dua plot utama yang masing-masing memiliki luas 3 ha. Salah satu plot telah mengalami
penjarangan petak 1X dan plot yang lain tidak mengalami penjarangan petak 1Q. Penjarangan dilakukan pada tahun 2009 umur 9 tahun. Setiap plot utama
dibagi menjadi 3 sub plot yang masing-masing memilki luas 1 ha. Setiap sub plot memiliki jarak bebas naungan akhir yang beragam, yaitu 7 m, 10 m,dan 13 m.
Skema perlakuan silvikultur pada sistem TPTJ dapat dilihat pada Gambar 1.
Pembuatan jarak bebas naungan dilakukan dengan cara pembersihan vertikal dan horisontal terhadap pohon maupun tajuk pohon pesaing saat tegakan
berumur 5 tahun. Kondisi lingkungan dan biofisik setiap plot relatif sama dengan jenis tanah podzolik, curah hujan rata-rata 266.5 mmbulan, suhu berkisar 22
˚C- 28
˚C pada malam hari dan 30˚C-33˚C pada siang hari, dan kelembaban nisbi antara 85-95. Kerapatan tingkat tiang dan pohon dalam tegakan tinggal pada
petak 1X = 153 pohonha, sedangkan petak 1Q = 167 pohonha. Pengambilan sampel dilakukan secara acak sebanyak satu pohon pada setiap sub plot sehingga
total pohon yang ditebang sebanyak 6 batang pohon. Pohon ditebang pada ketinggian 15 cm dari tanah. Setiap batang pohon diambil sampel sepanjang 1 m
pada daerah sekitar diameter setinggi dada dbh. Sampel berbentuk piringan diambil untuk pengujian sifat kimia, fisik, dan anatomi. Sampel berupa balok
digunakan untuk pengujian sifat mekanis kayu.
Gambar 1 Skema perlakuan silvikultur a plot tanpa penjarangan dan b plot yang dilakukan penjarangan
Pengukuran Kondisi Pertumbuhan
Parameter yang diukur untuk menentukan kondisi pertumbuhan pohon adalah diameter pohon setinggi dada DBH, tinggi total, tinggi bebas cabang
Tegakan alam
Tegakan alam
7,10,13 m
Tegakan alam
Tegakan alam
7,10,13 m 5 m
10 m
a b
3 TBC, persentase penutupan tajuk, dan persentase keterbukaan tajuk. Persentase
penutupan tajuk ditentukan menggunakan alat densiometer, dimana pengukuran dilakukan pada daerah sekitar pangkal pohon setelah pohon ditebang.
Pengujian Sifat Dasar Kayu
Sampel pengujian sifat fisis, mekanis, dan anatomi diambil dari bagian peralihan antara kayu gubal dan teras pada setiap pohon sampel. Sifat fisis yang
diuji meliputi kadar air kering udara KA KU, penyusutan, kerapatan, dan berat jenis BJ kayu. Parameter sifat mekanis yang diuji meliputi Kekuatan lentur statis
MOE dan MOR, keteguhan tekan sejajar serat, kekerasan, dan kekuatan belah. Pengukuran sifat fisis dan mekanis kayu dilakukan mengikuti prosedur ASTM D
143 2000
Standard Test Methods for Small Clear Specimens of Timber. Pengujian sifat anatomi dilakukan untuk mengetahui persentase kayu teras serta
untuk mengetahui dimensi serat. Penentuan persentase kayu teras menggunakan metode milimeter blok dengan rumus:
PKT = LKT LPB x 100 Keterangan :
PKT = persentase kayu teras LKT = luas bagian kayu teras cm²
LPB = luas total penampang lintang batang cm²
Pembuatan preparat maserasi menggunakan metode Schultze. Sampel sebesar batang korek api dimasukkan dalam tabung reaksi kemudian ditambahkan
KClO Ɓ ± 0.5 gram seujung pisau kecil dan HNOƁ 50 hingga sampel terendam.
Tabung reaksi beserta sampel dipanaskan selama 10 menit pada suhu 80°C hingga berwarna kekuningan. Selanjutnya serat disaring dan dicuci hingga bebas asam.
Serat yang telah terpisah dipindahkan ke tabung film dan ditambahkan safranin 2 sebanyak 8 tetes hingga merata. Serat yang telah diwarnai dipindahkan ke
object glass dan ditutup dengan cover glass. Pengukuran dimensi serat dengan menggunakan bantuan mikroskop merk Olympus BX 15 dan software pengukuran
serat image pro plus. Dimensi serat yang diukur meliputi panjang serat, diameter serat, diameter lumen, dan tebal dinding sel. Pengujian kimia dibagi pada bagian
kayu gubal dan kayu teras.
Dalam penelitian kelarutan kayu dalam etanol-benzena 1:2, kelarutan kayu dalam air dingin dan dalam air panas, kelarutan kayu dalam NaOH 1, dan kadar
abu yang masing-masing ditentukan dengan mengikuti standar TAPPI T 204 om – 88, TAPPI T 207 om – 88, TAPPI T 212 om – 88, dan TAPPI T211 om – 93.
Kadar holoselulosa, kadar α-selulosa, dan kadar lignin klason masing-masing
ditentukan berdasarkan prosedur Browning 1967, TAPPI T 203 os – 74, dan
TAPPI T 222 om – 88. Kadar hemiselulosa dihitung dengan mengurangkan kadar
-selulosa dari kadar holoselulosa. Pengukuran kadar lignin total merupakan penjumlahan antara lignin klason dengan lignin terlarut asam atau acid soluble
lignin ASL. Penentuan ASL dilakukan mengikuti prosedur yang dijelaskan oleh Raiskila et al. 2007.
4
Pengolahan Data
Data-data sifat fisis, mekanis, kimia, dan anatomi selanjutnya dianalisis menggunakan Microsoft Excel 2007, kemudian dilanjutkan dengan uji Anova
menggunakan SPSS 16.0 for windows. Analisis terhadap nilai rata-rata dan kecenderungan hubungan parameter dengan visual grafik. Data yang bersifat
kualitatif dianalisis secara deskriptif. Rancangan percobaan yang dilakukan dimodelkan sebagai berikut :
Yijk = µ + αi + βj + αβij + ∑ijk
Keterangan : Yijk =
nilai pengamatan pada ulangan ke
– k yang memperoleh
perlakuan penjarangan ke
– i dan perlakuan jarak bebas
naungan ke
– j
µ =
nilai tengah populasi αi
= pengaruh penjarangan ke
– i
βj = pengaruh jarak bebas naungan ke
– j αβij = interaksi antara pengaruh penjarangan ke – i
dengan pengaruh jarak bebas naungan ke
– j ∑ijk = pengaruh galat dari ulangan ke – k yang mendapat
perlakuan penjarangan ke
– i dan perlakuan jarak bebas
naungan ke
– j.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Pertumbuhan Pohon
Pertumbuhan pohon diukur pada pohon di dalam tegakan yang mengalami penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan akhir. Dalam penelitian ini
pertumbuhan pohon dihubungkan dengan sifat dasar kayu yang diuji. Parameter pertumbuhan pohon meranti merah hasil penelitian ini dicantumkan pada Tabel 1.
Penjarangan dan jarak bebas naungan serta interaksi keduanya berpengaruh nyata
= 95 terhadap pertumbuhan diameter pohon. Diameter pohon pada masing-masing jarak bebas naungan saling berbeda. Dari Tabel 1 dapat dilihat
bahwa terdapat kecenderungan diameter pohon yang tumbuh dalam tegakan yang mengalami penjarangan lebih tinggi dari pada pohon yang tumbuh dalam tegakan
tanpa penjarangan. Penjarangan meningkatkan diameter tajuk Abohassan et al. 2010, dimana peningkatan diameter dan kuantitas tajuk menyebabkan
peningkatan pertumbuhan diameter pohon di hutan tropis Brown et al. 2004. Peningkatan pertumbuhan diameter pohon yang tumbuh dalam tegakan dengan
kerapatan lebih rendah dapat disebabkan oleh peningkatan ketersediaan air, nutrisi, dan sinar matahari Taylor et al. 2003.
5 Tabel 1 Rata-rata pengukuran kondisi pertumbuhan pohon meranti merah
Berbeda dengan temuan Picchio et al. 2011, Tabel 1 menunjukkan tidak terdapat kecenderungan peningkatan tinggi pohon akibat penjarangan. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa hanya diameter yang cenderung meningkat dengan penjarangan. Tinggi total, tinggi bebas cabang, dan penutupan tajuk pohon
meranti merah menurun akibat penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan. Hasil serupa ditemukan Pinkard dan Nielsen 2003 untuk tegakan Eucalyptus
nitens, dimana tinggi total dan bebas cabang pohon pada tegakan yang dijarangi lebih rendah dari pada tinggi total dan tinggi bebas cabangnya pada tegakan yang
tidak dijarangi. Penurunan kerapatan tegakan dapat menurunkan biomassa tegakan per satuan luas hutan, meskipun biomassa individu pohon dapat meningkat
Goncalves et al. 2004.
Pada tingkat α = 95, penjarangan berpengaruh nyata terhadap tinggi total
dan TBC pohon sedangkan pelebaran jarak bebas naungan hanya berpengaruh nyata terhadap TBC pohon. Interaksi antara kedua faktor berpengaruh nyata
terhadap tinggi total dan TBC pohon. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa TBC pohon berbeda pada jarak bebas naungan yang berbeda. Kerapatan pohon
lebih tinggi pada tegakan tanpa penjarangan. Pada tegakan pohon berkerapatan tinggi, kebutuhan pohon meranti akan cahaya matahari mendorong pertumbuhan
ke arah vertikal Mawazin dan Suhaendi 2011.
Perlakuan penjarangan dan jarak bebas naungan, serta interaksinya memberikan pengaruh nyata terhadap persentase penutupan tajuk yang terjadi
pada pohon meranti merah tingkat α = 95. Uji lanjut Duncan menunjukkan
masing-masing jarak bebas naungan memiliki nilai penutupan tajuk yang berbeda. Penjarangan pohon di dalam jalur dan pembebasan pohon pesaing dari hutan alam
secara horisontal dan vertikal menurunkan penutupan tajuk terhadap pohon meranti merah di dalam jalur.
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat korelasi negatif antara penutupan tajuk dengan pertumbuhan diameter koefisien determinasi = 24.75. Menurut
Pamoengkas dan Prayogi 2011 pertumbuhan diameter meranti merah mulai umur 9 tahun dipengaruhi oleh penutupan tajuk pada jalur, yaitu semakin sedikit
penutupan tajuk yang terjadi menyebabkan diameter pohon semakin besar. Penutupan tajuk pohon berasal dari tajuk-tajuk pohon yang berada di samping
jalur dan pohon di dalam jalur itu sendiri. Semakin besar penutupan tajuk menyebabkan berkurangnya intensitas cahaya yang diperlukan oleh pohon
sehingga pertumbuhan pohon menjadi terhambat Pamoengkas dan Prayogi 2011.
JBN 7 m JBN 10 m
JBN 13 m JBN 7 m
JBN 10 m JBN 13 m
Diameter cm 20.5
25.8 24.6
23.0 22.8
26.8 Tinggi Total m
20.2 19.5
20.2 19.6
20.0 19.7
TBC m 15.0
13.7 14.2
10.6 10.4
10.3 Penutupan Tajuk
83.5 73.8
64.6 58.0
52.6 47.7
Keterbukaan Tajuk 16.5
26.2 35.4
42.0 47.4
52.3 Keterangan : JBN = Jarak bebas naungan
Parameter Tanpa Penjarangan
Dilakukan Penjarangan
6
Sifat Fisis
Pertumbuhan yang cepat pada meranti merah diduga mempengaruhi sifat fisis kayu yang dihasilkan. Sifat fisis yang penting dan diperhitungkan dalam
aplikasi penggunaan kayu yaitu berat jenis BJ, kerapatan, kadar air, dan penyusutan. Rata-rata hasil pengujian BJ, kerapatan, dan kadar air tersaji pada
Gambar 2. Perlakuan penjarangan dan jarak bebas naungan memberikan pengaruh yang nyata terhadap BJ, kerapatan, dan KA KU tingkat
α = 95. Interaksi antara kedua faktor juga memberikan pengaruh yang nyata terhadap ketiga
parameter yang diuji. Uji lanjut Duncan menunjukkan jarak bebas naungan 7 m menghasilkan kayu dengan nilai BJ yang lebih tinggi dari BJ kayu yang tumbuh
pada jarak naungan 10 m dan 13 m, sementara kayu yang tumbuh pada jarak naungan 10 m dan 13 m menghasilkan nilai BJ yang sama. Masing-masing jarak
bebas naungan memiliki nilai kerapatan dan KA KU yang berbeda.
Nilai BJ dan kerapatan kayu pada perlakuan penjarangan lebih rendah dari pada kayu tanpa penjarangan, sedangkan semakin lebar jarak bebas naungan nilai
BJ dan kerapatan semakin menurun. Penurunan nilai BJ dan kerapatan diduga disebabkan oleh pertumbuhan pohon yang semakin cepat. Menurut Jaakkola et al.
2006, perlakuan penjarangan awal yang intensif secara signifikan meningkatkan pertumbuhan radial pohon dan menurunkan kerapatan kayunya meskipun tidak
signifikan. Huang et al. 2012 dan Uner et al. 2009 juga melaporkan intensitas penjarangan yang semakin besar berdampak negatif pada kerapatan kayu yang
semakin menurun. Meningkatnya pertumbuhan radial pohon menyebabkan peningkatan diameter sel namun menurunkan tebal dinding sel Jyske 2008
sehingga massa kayu persatuan volume kerapatan dan BJ menjadi semakin kecil.
Penurunan kerapatan kayu akibat peningkatan laju pertumbuhan juga terjadi pada kayu subtropis dikarenakan pembentukan kayu awal terjadi lebih cepat
dibandingkan kayu akhir Jaakkola et al. 2006 sehingga proporsi kayu awal terhadap kayu akhir lebih tinggi Peltola et al. 2007. Kayu awal memiliki
kerapatan lebih rendah dibandingkan kayu akhir karena memiliki diameter serat lebih besar dan dinding sel lebih tipis. Kayu meranti merah sebagian besar
digunakan sebagai kayu struktural, pertukangan, dan veneer. Penurunan kerapatan dan BJ kayu secara signifikan dapat menurunkan kualitas produk yang dihasilkan.
Kegiatan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan secara nyata menurunkan KA KU kayu. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Siarudin dan
Marsoem 2007 yang menemukan bahwa semakin lebar jarak tanam menyebabkan KA KU kayu akasia semakin rendah. Hal ini diduga dipengaruhi
oleh variasi BJ kayu yang menunjukkan korelasi positif dengan KA KU koefisien determinasi = 75.14. Kayu dengan BJ lebih tinggi memiliki proporsi dinding
sel yang yang lebih tinggi sehingga mampu menyerap uap air lebih banyak dibandingkan kayu dengan BJ lebih rendah karena sifatnya yang higroskopis.
Pada kondisi KA KU atau di bawah kadar air titik jenuh serat KA TJS, air yang tersisa berada dan berikatan pada dinding sel kayu sehingga semakin tinggi
proporsi dinding sel menyebabkan peningkatan air terikat. Kadar air kering udara kayu sangat diperhatikan pada produk-produk olahan kayu khususnya produk
interior yang diekspor ke tempat-tempat dengan suhu dan kelembapan yang berbeda. Suhu dan kelembapan yang lebih rendah menyebabkan KA KU menurun
7
14.11 13.75
13.05 13.53
13.07 13.04
12.5 13.0
13.5 14.0
14.5
JBN 7 m JBN 10 m
JBN 13 m
K A
K U
Tanpa Penjarangan Dilakukan
Penjarangan JBN = Jarak bebas
naungan
dan penyusutan meningkat. Hal tersebut berpotensi menimbulkan ketidaksesuaian dimensi dan menurunkan kualitas produk kayu.
a b
c
Gambar 2 Sifat fisis a kerapatan KU, b berat jenis, dan c KA KU Penyusutan kayu terjadi akibat proses hilangnya air terikat pada kondisi di
bawah titik jenuh serat. Kayu merupakan bahan orthotropis, yaitu mengalami perubahan dimensi yang berbeda pada ketiga arah strukturalnya. Penyusutan
terbesar kayu terjadi pada arah tangensial yang diikuti oleh arah radial dan terkecil pada arah longitudinal. Pengukuran penyusutan dilakukan pada kadar air kering
udara ke kadar air kering tanur. Rata-rata hasil pengukuran penyusutan ditampilkan pada Gambar 3.
Hasil penelitian menunjukkan perlakuan penjarangan memberikan pengaruh yang nyata terhadap penyusutan pada ketiga arahnya tingkat
α = 95. Sementara faktor jarak bebas naungan memberikan pengaruh nyata hanya pada
penyusutan longitudinal dan radial tingkat α = 95. Interaksi antara kedua
faktor tidak memberikan pengaruh yang nyata pada ketiga arah penyusutan. Uji lanjut Duncan menunjukkan jarak bebas naungan 13 m memiliki nilai penyusutan
longitudinal yang berbeda dibandingkan jarak bebas naungan yang lain. Jarak bebas naungan 7 m memiliki nilai penyusutan radial yang berbeda dibandingkan
jarak bebas naungan yang lain sedangkan masing-masing jarak bebas naungan memiliki nilai penyusutan tangensial yang berbeda.
0.494 0.452
0.337 0.311
0.308 0.295
0.0 0.1
0.2 0.3
0.4 0.5
0.6
JBN 7 m JBN 10 m
JBN 13 m
K e
r ap
atan K
U gr
c m
³
0.433 0.398
0.298 0.274
0.272 0.261
0.0 0.1
0.2 0.3
0.4 0.5
0.6
JBN 7 m JBN 10 m
JBN 13 m
B e
r at
Je n
is
8
Gambar 3 Penyusutan kayu a arah radial, b arah tangensial, dan c arah longitudinal
Perlakuan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan menurunkan penyusutan radial dan tangensial. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya variasi
kerapatan dan BJ kayu Gambar 2. Terdapat korelasi positif antara kerapatan kayu dengan penyusutan radial dan tangensial koefisien determinasi 83.33 dan
65.88. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa semakin tinggi kerapatan kayu maka penyusutan pada arah tangensial Basri dan Rulliaty 2008
dan arah radial semakin besar Kord et al. 2010.
Hasil yang berbeda ditunjukkan pada penyusutan longitudinal, dimana penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan meningkatkan penyusutan
longitudinal. Hal tersebut diduga dipengaruhi oleh faktor kerapatan kayu, microfibril angle MFA, dan panjang serat. Korelasi negatif ditunjukkan antara
kerapatan kayu dengan penyusutan pada arah longitudinal koefisien determinasi 89.33. Hasil yang sama dilaporkan oleh Pliura et al. 2005 yang menyatakan
bahwa kerapatan kayu poplar hybrid berkorelasi negatif dengan susut longitudinalnya dimana semakin tinggi kerapatan kayu maka penyusutan arah
longitudinal semakin rendah. Namun hal yang berlawanan dikemukakan oleh Sadegh et al. 2012 bahwa terdapat korelasi positif antara kerapatan kayu athel
Tamarix aphlylla dengan penyusutan longitudinalnya.
a b
c
1.69 1.39
1.29 1.26
1.17 1.04
0.0 0.5
1.0 1.5
2.0 2.5
3.0 3.5
JBN 7 m JBN 10 m
JBN 13 m
P e
n yu
su ta
n ra
d ia
l
3.05 3.01
2.97 2.72
2.46 2.51
0.0 0.5
1.0 1.5
2.0 2.5
3.0 3.5
JBN 7 m JBN 10 m
JBN 13 m
P e
n yu
su ta
n t
a n
gen si
a l
0.12 0.18
0.25 0.26
0.28 0.35
0.00 0.05
0.10 0.15
0.20 0.25
0.30 0.35
0.40
JBN 7 m JBN 10 m
JBN 13 m
P e
n yu
su ta
n lo
n gi
tu d
in a
l
Tanpa Penjarangan Dilakukan Penjarangan
JBN = Jarak bebas naungan
9 Penyusutan longitudinal diduga dipengaruhi oleh variasi panjang serat kayu
setelah perlakuan silvikultur Tabel 3. Pertumbuhan yang cepat akibat perlakuan penjarangan menurunkan panjang serat-seratnya Jyske 2008. Hubungan panjang
serat dengan penyusutan longitudinal menunjukkan korelasi negatif koefisien determinasi 78.1. Serat yang semakin pendek menyebabkan jumlah serat pada
arah longitudinal kayu semakin banyak sehingga penyusutan individu serat pada arah longitudinal terakumulasi lebih banyak dibandingkan serat-serat yang
panjang. Selain itu, faktor MFA juga diduga mempengaruhi variasi penyusutan longitudinal. Semakin tinggi MFA maka penyusutan longitudinal semakin tinggi
Kord et al. 2010. Pertumbuhan yang lebih cepat akibat meningkatnya ketersediaan cahaya, nutrisi, dan air setelah perlakuan silvikultur menyebabkan
MFA kayu lebih besar Lundgren 2004.
Penyusutan pada arah radial selalu lebih kecil dibandingkan pada arah tangensial Gambar 3. Hal ini karena adanya tahanan oleh struktur jan-jari kayu
pada arah radial, penyebaran noktah berbatas lebih banyak pada dinding radial yang menyebabkan jumlah bahan dinding sel pada bidang radial lebih kecil
dibanding dinding tangensial, dan karena sudut mikrofibril lebih besar pada dinding radial dibanding dinding tangensial Pandit dan Rahayu 2007. Menurut
Leonardon et al. 2008 penyusutan tidak hanya dipengaruhi oleh susunan matriks pada dinding sel yang berbeda setiap jenis kayu tetapi juga dipengaruhi oleh
morfologi sel seperti bentuk dan ketebalan dinding sel. Semakin tebal dinding sel maka penyusutan semakin tinggi. Penyusutan merupakan salah satu faktor yang
sangat diperhitungkan dalam proses pengeringan kayu. Semakin besar nilai penyusutan kayu terutama susut tangensial maka resiko cacat dalam pengeringan
semakin besar sehingga mempengaruhi kualitas produk kayu akhir.
Sifat Mekanis
Pengujian sifat mekanis dilakukan pada kekuatan lentur statis, tekan sejajar serat, kekerasan, dan ketahanan belah. Kekuatan mekanis kayu sangat perlu
diperhitungkan dalam aplikasinya sebagai bahan baku yang bersifat struktural. Rata-rata hasil pengujian sifat mekanis dapat dilihat pada Tabel 2.
Modulus of Elasticity MOE merupakan kekuatan lentur kayu pada batas proporsi. Kegiatan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan secara nyata
menurunkan nilai MOE tingkat α = 95. Interaksi antara kedua faktor
berpengaruh nyata terhadap nilai MOE. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa jarak bebas naungan 13 m memiliki nilai MOE yang lebih rendah dibandingkan
dengan jarak 7 m dan 10 m. Pada jarak bebas naungan 10 m dan 13 m menunjukkan MOE yang sama. Variasi BJ kayu Gambar 2 diduga
mempengaruhi nilai MOE. Terdapat korelasi positif antara BJ dengan MOE koefisien determinasi 87.8. Pada umumnya semakin tinggi BJ kayu maka nilai
MOE-nya juga semakin tinggi. Menurut Wardani et al. 2011 menyatakan bahwa MOE dan BJ berkorelasi dengan cukup erat pada kayu pangsor dan kecapi.
10 Tabel 2 Rata-rata kekuatan mekanis kayu meranti merah kondisi kering udara
Modulus patah atau Modulus of Rupture MOR menggambarkan kapasitas beban maksimum yang mampu diterima oleh kayu sebelum terjadi kerusakan atau
patahan. Perlakuan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan secara nyata menurunkan nilai MOR kayu meranti tingkat
α = 95 . Interkasi antara kedua faktor berpengaruh nyata terhadap nilai MOR. Uji lanjut Duncan menunjukkan
bahwa nilai MOR berbeda pada masing-masing jarak bebas naungan. Hasil penelitian Tabel 2 selaras dengan Zhang et al. 2006 bahwa nilai MOE dan
MOR kayu jack pine menurun dengan adanya penjarangan yang intensif. Penurunan MOR disebabkan oleh variasi BJ dan kerapatan kayu yang berkorelasi
positif dengan MOR koefisien determinasi 91.81 dan 91.95. Zziwa et al. 2006 juga melaporkan bahwa semakin tinggi kerapatan maka MOE dan MOR
kayu Celtis mildbraedii semakin tinggi. BJ juga dilaporkan berkorelasi positif terhadap MOE dan MOR kayu meranti merah Wang dan Wang 1999.
Perlakuan penjarangan dan jarak bebas naungan juga secara nyata menurunkan kekuatan tekan sejajar tingkat
α = 95 namun interaksi antara kedua faktor tidak berpengaruh nyata terhadap kekuatan tekan sejajar serat. Uji
lanjut Duncan menunjukkan jarak bebas naungan 13 m memiliki kekuatan tekan sejajar serat lebih rendah dibanding jarak bebas naungan yang lain tingkat
α = 95. Faktor variasi BJ Gambar 2 juga diduga menyebabkan keberagaman
kekuatan tekan sejajar serat Wardani et al. 2011. BJ dan kekuatan tekan sejajar menunjukkan korelasi yang positif koefisien determinasi 71.83.
Kekuatan belah merupakan kemampuan kayu untuk menahan gaya-gaya yang berusaha membelah kayu. Pengujian kekuatan belah dilakukan pada bidang
radial dan tangensial. Perlakuan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan menurunkan kekuatan belah kayu secara nyata tingkat
α = 95. Uji lanjut Duncan menunjukkan nilai kekuatan belah yang berbeda pada masing-masing
jarak bebas naungan. Hal ini diduga disebabkan oleh penurunan kerapatan maupun BJ kayu.
Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi positif antara kerapatan dan BJ terhadap kekuatan belah radial dan tangensial koefisien determinasi 74.33
dan 75.12. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Zziwa et al. 2006 bahwa semakin tinggi kerapatan kayu maka meningkatkan kekuatan belah pada kayu
Celtis mildbraedii. Korkut dan Korkut 2008 juga melaporkan bahwa kerapatan kayu mempengaruhi besarnya kekuatan belah pada kayu Ostrya carpinifolia.
Kekuatan belah juga dipengaruhi secara nyata oleh bidang belah tingkat
α =
JBN 7 m JBN 10 m
JBN 13 m JBN 7 m
JBN 10 m JBN 13 m
81161.82 74274.78
59911.63 54647.36
53423.96 49396.30
676.04 643.53
474.62 449.44
371.23 370.48
323.54 322.09
282.01 244.04
225.27 186.46
R 17.27
12.87 10.46
9.76 11.34
9.49 T
19.55 15.57
12.41 13.45
11.80 9.69
Kekerasan R
231.00 227.67
113.67 116.67
109.00 85.00
kgcm² T
260.67 252.67
140.00 127.33
115.33 102.67
Keterangan : JBN = Jarak bebas naungan Tekan kgcm²
Belah kgcm Tanpa Penjarangan
Dilakukan Penjarangan Kekuatan
MOE kgcm² MOR kgcm²
11 95. Kekuatan belah pada bidang tangensial lebih tinggi dibanding kekuatan
belah pada bidang radial. Hal ini karena pada bidang radial terdapat sel jari-jari yang memilki ikatan antar sel lebih lemah. Kekuatan belah yang tinggi sangat baik
untuk pembuatan ukir-ukiran patung, sebaliknya kekuatan belah yang rendah menguntungkan dalam pembutan sirap dan kayu bakar namun merugikan dalam
proses pengupasan veneer.
Kekerasan merupakan kemampuan kayu untuk menahan gaya yang akan membuat takik atau lekukan dan kikisan abrasi pada permukaan kayu.
Kekerasan sisi pada kayu diuji pada bagian radial dan tangensial. Perlakuan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan secara nyata menurunkan sifat
kekerasan tingkat α = 95. Interaksi antara penjarangan dengan jarak bebas
naungan juga berpengaruh nyata terhadap kekerasan. Uji lanjut Duncan menunjukkan nilai kekerasan yang berbeda pada setiap jarak bebas naungan.
Penurunan kekerasan diduga akibat adanya penurunan BJ kayu Gambar 2. Korelasi positif ditunjukkan antara BJ kayu dengan kekerasan sisi bidang radial
dan tangensial koefisian determinasi 78 dan 77.24. Pengaruh BJ terhadap kekerasan kayu meranti merah juga telah dilaporkan oleh Wang dan Wang 1999.
Kekerasan pada bidang tangensial lebih tinggi dibanding pada bidang radial namun tidak berbeda nyata tingkat
α = 95. Adanya sel jari-jari yang tegak lurus dengan arah tangensial memberikan tahanan terhadap gaya yang datang di
bidang tangensial kayu sehingga kekerasan meningkat. Rokeya et al. 2010 melaporkan bahwa kekerasan kayu akasia pada bidang tangensial selalu lebih
tinggi dibanding pada bidang radial.
Secara keseluruhan, hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan silvikultur penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan menurunkan kekuatan
mekanis kayu yang diuji. Sifat-sifat mekanis kayu Larix olgensis juga menurun seiring dengan adanya peningkatan intensitas penjarangan Huang et al. 2012. BJ
dan kerapatan kayu merupakan faktor utama yang diduga mempengaruhi kekuatan mekanis kayu meranti merah yang diuji.
BJ merupakan salah satu indikator utama yang telah diadopsi oleh berbagai standar seperti PKKI NI-5 1961, Draft RSNI 2002, dan ASTM D245 dalam
pendugaan kekuatan kayu Wardani et al. 2011
.
Kerapatan kayu juga merupakan prediktor yang sangat baik bagi kekuatan kayu Kiaei dan Samariha 2011.
Kerapatan kayu sangat erat hubungannya dengan kekuatan lentur dan kekuatan tekan kayu. Zziwa et al. 2006 melaporkan bahwa kerapatan kayu berkorelasi
positif terhadap semua sifat mekanis yang diuji pada kayu Celtis mildbraedii, Alstonia boonei, Maesopsis eminii, dan Antiaris toxicaria. Secara umum, hasil
penelitian menunjukkan bahwa semakin meningkatnya BJ dan kerapatan menyebabkan peningkatan kekuatan mekanis yang diuji. Kekuatan mekanis kayu
juga dipengaruhi oleh morfologi dan dimensi serat. Hasil penelitian Kiaei dan Samariha 2011 menunjukkan adanya korelasi positif antara dimensi serat dengan
kekuatan mekanisnya. Kerapatan kayu merupakan fungsi dari faktor tebal dinding sel dan diameter lumen sehingga keduanya selalu berkorelasi dengan kerapatan
kayu dan kekuatan kayu Kiaei dan Samariha 2011.
12
Sifat Anatomi Persentase Kayu Teras
Persentase kayu teras menunjukkan intensitas pembentukan kayu teras selama pertumbuhan. Pembentukan kayu teras dipengaruhi oleh jenis pohon,
tempat tumbuh, posisi vertikal batang, dan perlakuan silvikultur. Persentase kayu teras setelah perlakuan silvikultur dapat dilihat pada Gambar 4.
Perlakuan penjarangan dan jarak bebas naungan berpengaruh nyata terhadap persentase kayu teras tingkat
α = 95. Interaksi antara kedua faktor juga menunjukkan pengaruh yang nyata. Uji lanjut Duncan menunjukkan jarak bebas
naungan 10 m memiliki persentase kayu teras yang berbeda dengan jarak 7 m dan 13 m.
Hasil penelitian Gambar 4 menunjukkan bahwa perlakuan penjarangan cenderung menurunkan persentase kayu teras, hal ini diduga karena kondisi
pertumbuhan yang lebih baik setelah penjarangan menyebabkan ketersediaan zat hasil fotosintesis meningkat. Peningkatan zat hasil fotosintesis menyebabkan
pohon lebih efisien dalam pemanfaatannya untuk pertumbuhan sehingga terjadi penundaan pembentukan kayu teras. Maka dari itu, pohon meranti merah setelah
penjarangan diduga lebih efisien dalam pemanfaatan bahan makanan dibanding kayu tanpa penjarangan. Pelebaran jarak bebas naungan pada kayu tanpa
penjarangan cenderung menurunkan persentase kayu teras sehingga diduga pelebaran jarak bebas naungan meningkatkan efisiensi pemanfaatan makanan
pada pohon. Hal yang berbeda terjadi pada kayu setelah penjarangan dimana semakin lebar jarak bebas naungan cenderung meningkatkan persentase kayu teras.
Berdasarkan kondisi tersebut diduga bahwa terdapat kondisi tertentu dimana efisiensi pemanfaatan makanan mencapai optimum sehingga peningkatan bahan
makanan secara terus menerus pada akhirnya menurunkan efisiensi pohon.
Gambar 4 Persentase kayu teras setelah perlakuan silvikultur Gartner 2002 melaporkan bahwa peningkatan luas daun dan tajuk
meningkatkan luas bagian kayu gubal dan berbading terbalik terhadap kayu teras pada kayu douglas-fir. Sementara Nawrot et al. 2008 menerangkan bahwa
proses pembentukan kayu teras european larch dipengaruhi oleh rasio antara tajuk yang mendapat cahaya dengan tajuk yang teduh. Semakin banyak proporsi daun
yang teduh akan menunda pembentukan kayu teras. Perlakuan penjarangan pada
43.08 31.07
37.31 27.97
24.53 34.18
10 20
30 40
50
JBN 7 m JBN 10 m
JBN 13 m
P e
rs e
n ta
se Ka
yu T
e ra
s
Tanpa Penjarangan Dilakukan Penjarangan
JBN = Jarak bebas naungan
13 meranti merah yang diuji diduga meningkatkan volume tajuk, luas daun, dan
persentase daun yang teduh sehingga menurunkan persentase bagian kayu teras. Hasil yang berbeda dilaporkan DeBell dan Lachenbruch 2009 bahwa persentase
kayu teras western redcedar meningkat dengan meningkatnya jarak tanam meskipun tidak signifikan. Ukuran diameter tidak menunjukkan korelasi terhadap
proporsi kayu teras dan gubal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pikk et al. 2006 bahwa tidak terdapat korelasi antara rasio kayu teras scots pine dengan diameter
dan tinggi pohonnya.
Persentase kayu teras erat kaitannya dengan keawetan kayu. Persentase kayu teras yang tinggi lebih menguntungkan dalam pembuatan produk olahan kayu
karena kayu teras memiliki ketahanan terhadap serangga dan jamur perusak kayu yang lebih baik dibandingkan dengan kayu gubal. Namun tidak semua bagian
kayu teras memilki keawetan alami yang sama karena adanya kayu juvenil. Kayu juvenil yang terdapat di dalam kayu teras memilki keawetan alami yang lebih
rendah dibandingkan kayu yang lebih dewasa, hal ini karena pada kayu juvenil memiliki komponen fenolik dan flavonoid yang lebih rendah dibandingkan kayu
juvenil Latorraca et al. 2011. Sebaliknya persentase kayu teras yang tinggi kurang menguntungkan dalam industri pengeringan karena menurunkan laju
pengeringan kayu Berberovic dan Milota 2012.
Dimensi Serat
Dimensi serat merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi sifat fisis dan mekanis kayu. Pengukuran dimensi serat dilakukan pada panjang serat,
diameter serat, diameter lumen, dan tebal dinding sel. Rata-rata hasil pengujian dimensi serat tersaji pada Tabel 3.
Tabel 3 Rata-rata dimensi serat setelah perlakuan silvikultur
Hasil pengujian menunjukkan bahwa perlakuan penjarangan dan jarak bebas naungan berpengaruh nyata terhadap panjang serat, diameter serat, diameter
lumen, dan dinding sel serat pada tingkat α = 95. Interaksi antara kedua faktor
juga berpengaruh nyata terhadap panjang serat, diameter serat, dan diameter lumen namun tidak berpengaruh nyata terhadap tebal dinding sel serat tingkat
α = 95. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa jarak bebas naungan 13 m dan 10 m
memiliki panjang serat, diameter serat, dan diameter lumen yang berbeda dibandingkan jarak bebas bebas naungan 7 m. Jarak bebas naungan 13 m dan 10
m tidak menunjukkan nilai panjang serat, diameter serat, dan diameter lumen yang berbeda. Tebal dinding sel memilki nilai yang berbeda pada masing-masing
jarak bebas naungan.
Hasil penelitian Tabel 3 menunjukkan bahwa perlakuan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan menurunkan panjang serat dan tebal dinding serat
namun meningkatkan diameter serat dan diameter lumen. Hasil studi Jyske 2008
JBN 7 m JBN 10 m JBN 13 m
JBN 7 m JBN 10 m JBN 13 m Panjang µm
1081.68 968.94
954.59 949.32
948.46 929.31
Diameter serat µm 24.61
22.10 24.72
30.12 31.05
37.67 Diameter lumen µm
11.59 10.64
14.82 19.44
22.23 29.02
Tebal dinding µm 6.51
5.73 4.95
5.25 4.57
4.36 Keterangan: JBN = Jarak bebas naungan
Tanpa Penjarangan Dilakukan Penjarangan
Dimensi Serat
14 juga menemukan bahwa penjarangan intensif pada kayu spruce menyebabkan
penurunan panjang sel trakeida dan tebal dinding selnya. Pertumbuhan yang lebih cepat meningkatkan proporsi kayu juvenil yang memiliki diameter sel yang lebih
lebar, dinding sel yang lebih tipis, dan serat yang lebih pendek dibanding kayu dewasa Lundgren et al. 2004.
Kiaei dan Samariha 2011 melaporkan bahwa terdapat korelasi positif antara dimensi serat panjang serat, diameter serat, dan tebal dinding serat dengan
kerapatan dan kekuatan mekanis kayu sedangkan diameter lumen berkorelasi negatif dengan kerapatan dan kekuatan mekanis kayu. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa nilai kerapatan berkorelasi positif dengan panjang serat dan tebal dinding serat koefisien determinasi 72.31 dan 86.48 namun berkorelasi
negatif dengan diameter serat dan diameter lumen koefisien determinasi 56.38 dan 68.31.
Sifat Kimia Komponen Kimia Kayu Non-struktural
Komponen kimia kayu non-struktural merupakan komponen minoritas dan bukan penyusun utama dinding sel kayu yang terdiri zat ekstraktif dan kadar abu.
Terdapat berbagai jenis senyawa penyusun zat ekstraktif dan memilki kelarutan yang berbeda-beda terhadap beberapa jenis pelarut.
Kelarutan alkohol-benzena mengekstrak sebagian substansi fenolik fraksi lignin, sterol, tanin, plobapen,
beberapa asam organik asam resin, asam amino, asam vanilik, asam siringik, dan bahan lain seperti pigmen serta siringildehida. Kelarutan air panas mengekstrak
garam anorganik, oligisakarida, gula, siklosa, siklitol dan penolik. Kelarutan NaOH 1 mengekstrak sebagian asam lemak, lilin, resin, minyak essensial, lignin,
dan hemiselulosa Chow et al. 2008.
Rata-rata hasil pengujian komponen kimia kayu non-struktural dapat dilihat pada Tabel 4.
Perlakuan penjarangan dan jarak bebas naungan tidak berpengaruh nyata terhadap kelarutan kayu dalam etanol-benzena tingkat
α = 95. Bagian kayu gubal dan teras menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap kelarutan dalam
etanol-benzena tingkat α = 95. Interaksi antara faktor penjarangan dengan
bagian kayu dan antara faktor jarak bebas naungan dengan bagian kayu menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap kelarutan etanol-benzena. Interaksi
antara ketiga faktor tidak memberikan pengaruh yang nyata.
Perlakuan penjarangan, jarak bebas naungan, dan bagian kayu menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap kelarutan air panas tingkat
α = 95. Interaksi antara penjarangan dengan jarak bebas naungan, penjarangan dengan bagian kayu,
dan antara jarak bebas naungan dengan bagian kayu memberikan pengaruh yang nyata namun interaksi ketiga faktor tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap
kelarutan kayu dalam air panas tingkat α = 95. Uji lanjut Duncan
menunjukkan jarak bebas naungan 7 m dan 13 m memiliki nilai kelarutan air panas yang berbeda dengan jarak bebas naungan 10 m sedangkan jarak bebas 7 m
dengan 13 m memiliki nilai yang sama.
Kelarutan air dingin dipengaruhi secara nyata oleh faktor penjarangan dan bagian kayu namun tidak dipengaruhi oleh jarak bebas naungan tingkat
α = 95. Interaksi antara ketiga faktor juga tidak menunjukkan pengaruh yang nyata. Kadar
ekstraktif pada kelarutan air panas lebih tinggi dibandingkan air dingin karena
15 fraksi senyawa karbohidrat yang terlarut lebih banyak dari kadar kelarutan air
dingin Lukmandaru 2009. Tabel 4 Rata-rata kadar ekstraktif dan kadar abu kayu
Kelarutan kayu pada NaOH 1 tidak dipengaruhi secara nyata oleh penjarangan pohon namun dipengaruhi secara nyata oleh faktor jarak bebas
naungan dan bagian pohon tingkat α = 95. Interaksi antara faktor penjarangan
dengan jarak bebas naungan dan interaksi antara ketiga faktor memberikan pengaruh yang nyata. Interaksi antara faktor bagian kayu dengan jarak bebas
naungan dan interaksi antara penjarangan dengan bagian kayu tidak berpengaruh nyata terhadap kelarutan kayu dalam NaOH 1. Uji lanjut Duncan menunjukkan
nilai kelarutan air dingin dan NaOH 1 yang berbeda pada masing-masing jarak bebas naungan.
Secara umum hasil penelitian Tabel 4 menunjukkan kadar ekstraktif dalam berbagai kelarutan pada bagian kayu teras lebih tinggi dibandingkan kayu gubal.
Hasil tersebut sesuai studi Morais dan Pereira 2012, Ekeberg et al. 2006, serta Haroen dan Dimyati 2006 yang menyatakan bahwa kadar ekstraktif pada bagian
kayu teras lebih tinggi dari pada bagian kayu gubal. Hal ini karena kayu teras tersusun dari jaringan yang sudah tidak aktif dan merupakan tempat menumpuk
zat-zat sisa metabolisme yang tersimpan dalam bentuk zat ekstraktif. Kadar ekstraktif pada kayu teras dengan perlakuan penjarangan menunjukkan hasil yang
lebih rendah dibandingkan kayu tanpa penjarangan. Sementara itu, kadar ekstraktif pada kayu gubal dengan perlakuan penjarangan lebih tinggi dari pada
kayu tanpa penjarangan.
Kadar ekstraktif pada kayu teras cenderung mengalami penurunan dengan meningkatnya jarak bebas naungan, sedangkan kadar ekstraktif pada kayu gubal
mengalami peningkatan dengan meningkatnya jarak bebas naungan. Perlakuan silvikultur mempengaruhi tingkat penyimpanan energi pada batang, dan material
tersebut pada akhirnya digunakan pada pembentukan ekstraktif kayu teras Taylor et al. 2006. Kayu gubal tersusun dari jaringan kayu yang masih aktif sebagai
transportasi material pertumbuhan. Pertumbuhan yang lebih cepat diduga meningkatkan kandungan material hasil metabolisme pada kayu gubal dan
memperlambat pembentukan ekstraktif pada kayu teras sehingga perlakuan
JBN 7 m JBN 10 m JBN 13 m JBN 7 m JBN 10 m
JBN 13 m Gubal
2.22 2.20
2.37 2.73
2.95 2.86
Teras 5.66
5.27 5.00
4.83 4.63
4.61
Gubal 2.38
2.19 3.01
3.03 3.00
3.13
Teras 4.83
3.96 4.80
4.68 4.53
4.35
Gubal 1.56
1.46 2.05
1.99 2.68
2.58
Teras 3.10
2.83 2.13
3.14 3.13
3.10
Gubal 12.43
10.34 13.03
11.27 11.37
12.42
Teras 18.31
13.19 18.07
14.92 17.82
16.33
Gubal 0.31
0.29 0.39
0.53 0.47
0.42
Teras 0.31
0.28 0.15
0.37 0.22
0.23
Air Dingin NaOH 1
Kelarutan Kayu Tanpa Penjarangan
Penjarangan
Keterangan: JBN = Jarak bebas naungan Etanol-benzena
Air Panas
Kadar Abu
16 silvikultur penjarangan dan jarak bebas naungan meningkatkan kandungan
ekstraktif pada kayu gubal dan menurunkan kandungan ekstraktif pada kayu teras. Kadar ekstraktif yang tinggi pada kayu tidak disukai pada pembuatan produk
komposit serta pulp dan kertas. Selain itu ekstraktif yang tinggi juga meningkatkan laju keausan secara kimia pada pisau pengerjaan Darmawan dan
Alipraja 2010.
Abu kayu merupakan sisa pembakaran bahan penyusun kayu pada suhu 575±25
˚C yang terdiri dari substansi anorganik seperti kalsium oksida CaO, Silika SiO
ƀ, aluminia AlƀOƁ, iron oksida FeƀOƁ, dan magnesium oksida Al- Mefarrej et al. 2011. Perlakuan penjarangan, jarak bebas naungan, dan bagian
kayu berpengaruh nyata terhadap kadar abu tingkat α = 95. Interaksi antara
ketiga faktor secara parsial maupun bersama-sama juga memberikan pengaruh yang nyata. Uji lanjut Duncan menunjukkan nilai kadar abu pada jarak bebas
naungan 10 m dan 13 m berbeda dengan jarak bebas naungan 7 m sedangkan nilai pada jarak bebas naungan 10 m dan 13 m tidak menunjukkan hasil yang berbeda.
Secara umum kadar abu pada kayu gubal lebih tinggi dari pada kayu teras. Hal ini karena kayu gubal tersusun dari jaringan kayu yang masih aktif dalam
perkembangan batang dan juga sebagai transportasi nutrisi dan mineral-mineral yang dibutuhkan sehingga memiliki kandungan bahan-bahan anorganik yang lebih
tinggi dibandingkan kayu teras yang tersusun dari jaringan yang sudah tidak aktif.
Kadar abu pada kayu yang dilakukan penjarangan lebih tinggi dari pada kayu tanpa penjarangn. Perlakuan penjarangan menyebabkan jarak tanam menjadi
lebih lebar dan menurunkan tingkat persaingan antar pohon sehingga jumlah bahan mineral yang diserap tanaman lebih banyak untuk mendukung proses
metabolisme dan pertumbuhan yang lebih tinggi. Penyerapan hara mineral yang lebih tinggi meningkatkan kadar abu dalam kayu. Jarak tanam yang semakin lebar
juga dilaporkan meningkatkan kadar abu kayu Leucaena leucocephala Al- Mefarrej et al. 2011.
Komponen Kimia Kayu Struktural
Komponen kimia kayu struktural merupakan komponen utama penyusun dinding sel kayu. Komponen kimia kayu struktural dapat dilihat pada Tabel 5.
Perlakuan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan tidak mempengaruhi kadar lignin kayu meranti merah tingkat
α = 95. Hasil ini sesuai dengan penelitian Uner et al. 2009 pada kayu pinus nigra bahwa
perlakuan penjarangan tidak mempengaruhi kadar lignin secara signifikan terutama pada saat umur pohon masih muda. Interaksi antara ketiga faktor tidak
menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap kadar lignin. Bagian kayu gubal dan teras menunjukkan kadar lignin yang berbeda nyata tingkat
α = 95. Kayu teras memiliki kadar lignin lebih tinggi dibanding kayu gubal. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian Latorraca et al. 2011, Haroen dan Dimyati 2006, dan Gao et al. 2011. Tingginya kadar lignin pada kayu teras dapat disebabkan karena kayu
teras mengandung senyawa fenolik yang tinggi yang sulit untuk dipisahkan dari lignin murni Latorraca et al. 2011. Namun demikian kadar lignin pada kayu
teras yang telah dewasa lebih tinggi dibandingkan pada kayu juvenil Latorraca et al. 2011. Kayu teras diduga lebih banyak mengalami proses penumpukan hasil
metabolisme dan pembentukan polimer lignin. Lignin pada umumnya banyak terdapat pada lamella tengah dan dinding primer pada serat yang berfungsi
17 sebagai perekat antar serat sehingga lignin pada kayu juga berfungsi untuk
mendukung kekuatan mekanis batang. Menurut Al-Mefarrej et al. 2011 salah satu fungsi lignin adalah untuk memberikan kekakuan dinding sel dan kekakuan
batang.
Tabel 5 Rata-rata kandungan komponen kimia kayu struktural
Kadar holoselulosa tidak dipengaruhi secara nyata oleh perlakuan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan tingkat
α = 95. Kadar holoselulosa dipengaruhi secara nyata oleh bagian kayu. Kayu teras memilki rata-
rata kadar holoselulosa yang lebih rendah dibanding bagian kayu gubal. Hal serupa juga disampaikan oleh Gao et al. 2011 bahwa kayu gubal memiliki
kandungan holoselulosa lebih tinggi dibandingkan kayu teras pada kayu Cedrus deodora. Interaksi antara ketiga faktor tidak menunjukkan pengaruh yang nyata
terhadap kadar holoselulosa tingkat
α = 95. Kadar alfa selulosa dan kadar hemiselulosa kayu meranti merah tidak
dipengaruhi secara nyata oleh faktor penjarangan, pelebaran jarak bebas naungan, dan bagian kayu tingkat
α = 95. Interaksi antara ketiga faktor juga tidak berpengaruh terhadap kadar alfa selulosa dan hemiselulosa. Hasil penelitian ini
berbeda dengan Al-Mefarrej et al. 2011 dan Gao et al. 2011 yang menyatakan bahwa kandungan selulosa dan hemiselulosa kayu dengan jarak tanam yang lebar
menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan jarak tanam yang rapat. Kedua perlakuan silvikultur tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
komponen kimia kayu struktural lignin, selulosa, dan hemiselulosa. Kecepatan pertumbuhan sel kayu akibat penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan
diduga tidak mempengaruhi kuantitas pembentukan dan komposisi polimer selulosa, hemiselulosa, dan lignin pada dinding sel kayu meranti merah.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Perlakuan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan secara signifikan menurunkan tutupan tajuk serta meningkatkan diameter dan TBC, sementara
tinggi total hanya dipengaruhi oleh penjarangan. Perlakuan penjarangan dan
Komponen Kimia JBN 8 m
JBN 10 m JBN 12 m
JBN 8 m JBN 10 m
JBN 12 m Gubal
31.16 31.73
32.57 31.63
31.59 30.83
Teras 34.23
33.26 32.92
33.87 33.86
33.92
Gubal 68.14
69.76 69.43
68.95 68.53
69.46
Teras 66.77
68.12 68.81
67.59 67.65
67.68
Gubal 40.65
42.51 42.87
41.30 41.63
42.48
Teras 40.44
42.48 40.60
40.77 41.80
41.38
Gubal 27.49
27.26 26.56
27.65 26.90
26.98
Teras 26.33
25.64 28.22
26.81 25.86
26.30
Keterangan: JBN = Jarak bebas naungan Holoselulosa
Alfa Selulosa Hemiselulosa
Tanpa Penjarangan Penjarangan
Lignin