Pengaruh Penjarangan dan Pelebaran Jarak Naungan terhadap Keawetan Alami dan Sudut Mikrofibril Kayu Meranti Merah
PENGARUH PENJARANGAN DAN PELEBARAN JARAK
NAUNGAN TERHADAP KEAWETAN ALAMI DAN SUDUT
MIKROFIBRIL KAYU MERANTI MERAH
FITA MUFTIKHATUS SYAHRO
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh
Penjarangan dan Pelebaran Jarak Naungan terhadap Keawetan Alami dan Sudut
Mikrofibril Kayu Meranti Merah adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015
Fita Muftikhatus Syahro
NIM E24090042
ABSTRAK
FITA MUFTIKHATUS SYAHRO. Pengaruh Penjarangan dan Pelebaran Jarak
Naungan terhadap Keawetan Alami dan Sudut Mikrofibril Kayu Meranti Merah.
Dibimbing oleh NYOMAN JAYA WISTARA.
Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan pengaruh perlakuan silvikultur
penjarangan dan jarak bebas naungan meranti merah terhadap keawetan alami
kayu dan sudut mikrofibrilnya. Pengujian keawetan alami kayu dilakukan melalui
uji laboratorium menggunakan standar SNI 01-7207-2006 dan uji kubur
menggunakan standar ASTM D 1756 2008. Sedangkan pengujian sudut
mikrofibril menggunakan metode pengukuran dengan difraksi sinar X (XRD).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari rata-rata kehilangan beratnya, keawetan
alami kayu kayu meranti merah tergolong kelas awet III-IV. Perlakuan silvikultur
berpengaruh pada kehilangan berat dan mortalitas rayap. Penjarangan dan
pelebaran jarak bebas naungan meningkatkan kehilangan berat kayu dan
menurunkan mortalitas rayap. Sedangkan pada pengukuran sudut mikrofibril,
besarnya sudut mikrofibril semakin bertambah dengan adanya perlakuan
silvikultur.
Kata kunci: jarak bebas naungan, keawetan alami, meranti merah, penjarangan,
sudut mikrofibril
ABSTRACT
FITA MUFTIKHATUS SYAHRO. The Effect of Thinning and Line Planting on
the Natural Durability and Microfibril Angle of Red Meranti. Supervised by
NYOMAN JAYA WISTARA.
This study was conducted to determine the effect of thinning and line
planting treatments of red meranti on the natural durability and microfibril angle
of wood. In this study, laboratory testing and grave yard testing of wood natural
durability was performed in accordance with SNI 01-7207-2006 and ASTM D
1756 2008 standard procedures, respectively. Microfibril angle measurement was
carried out by the method of X-ray diffraction (XRD). The natural durability of
red meranti wood was found belong to the durability class of III-IV based on the
weight loss of the samples. Increasing thinning intensity and line planting distance
increased the weight loss of wood and decreased the termite mortality.
Furthermore, microfibril angle increased with the currently applied silvicultural
treatments.
Keywords: microfibril angle, natural durability, red meranti, thinning, line
planting
PENGARUH PENJARANGAN DAN PELEBARAN JARAK
NAUNGAN TERHADAP KEAWETAN ALAMI DAN SUDUT
MIKROFIBRIL KAYU MERANTI MERAH
FITA MUFTIKHATUS SYAHRO
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Hasil Hutan
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian serta
penyusunan skripsi yang berjudul “Pengaruh Penjarangan dan Jarak Bebas
Naungan terhadap Keawetan Alami dan Sudut Mikrofibril pada Kayu
Meranti Merah”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam proses penyusunan skripsi mulai dari awal hingga akhir,
terutama kepada Nyoman Jaya Wistara, Ph.D selaku dosen pembimbing yang
dengan sabar dan penuh keikhlasan telah memberikan bimbingan serta arahannya
selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, dan
adik, atas segala doa dan semangat yang telah diberikan. Penulis sepenuhya
menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
penulis terbuka atas kritik dan saran membangun untuk menyempurnakan
pengetahuan yang tertuang dalam skripsi ini. Harapan penulis semoga skripsi ini
dapat memenuhi tujuan penyusunan serta memberikan manfaat bagi pembaca
sekalian.
Bogor, Januari 2015
Fita Muftikhatus Syahro
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
PENDAHULUAN
Latar Belakang
METODE
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keawetan Alami Kayu Meranti: Pengujian Laboratorium
Keawetan Alami Kayu Meranti: Pengujian Lapang
Sudut Mikrofibril
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP
vii
vii
1
1
2
2
2
4
5
6
6
8
DAFTAR GAMBAR
1 Persentase kehilangan berat pada pengujian rayap
2 Persentase mortalitas rayap tanah setelah masa pengumpanan.
3 Persentase kehilanagan berat pada uji kubur
4 Sudut mikrofibril pada kayu meranti merah hasil perlakuan penjarangan dan
jarak bebas naungan
3
4
4
5
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Meranti merah (Shorea leprosula Miq.) yang menyebar merata dan tumbuh
baik di wilayah Kalimantan dan Sumatera (Effendi dan Kurniawan 2003)
merupakan salah satu jenis dari suku Dipterocarpaceae cepat tumbuh potensial
untuk pengembangan hutan tanaman. Potensi ini didukung oleh kemampuannya
untuk tumbuh pada berbagai jenis tanah (Hendromono dan Hajib 2001).
Untuk mendukung keberhasilan penanaman, ketersediaan berbagai
informasi tentang teknik silvikultur sangat diperlukan. Pengaturan jarak tanam
telah dilaporkan bermanfaat untuk mengatur pertumbuhan diameter meranti
merah (Mawazi dan Suhaendi 2012). Selanjutnya, teknik silvikultur seperti
penjarangan dan jarak bebas naungan terbukti mampu mengubah sifat fisik kayu
meranti merah (Sukowati 2013). Dilihat dari pengaruh perlakuan silvikultur
terhadap pertumbuhan diameter dan perubahan sifat fisik kayu, sangat jelas bahwa
manipulasi produksi kayu melalui perlakuan silvikultur terhadap tegakan
menentukan kuantitas dan kualitas kayu yang dihasilkan (Uner et al. 2009).
Penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan tegakan menyebabkan
penurunan sifat fisik, mekanis, dan zat ekstraktif kayu meranti merah (Sukowati
2013). Sifat mekanis kayu bergantung pada faktor inherent dalam kayu terutama
tebal dinding sel, porsi kayu akhir dan kayu awal, persentase kayu gubal dan teras,
sudut mikrofibril, dan proporsi jenis sel penyusun kayu. Selain itu nilai kerapatan
dan berat jenis kayu pada kayu-kayu dengan persentase bagian kayu akhir yang
lebih tinggi atau yang didominasi oleh sel-sel yang berdinding tebal menyebabkan
kayu lebih kuat. Sifat mekanis dan sifat fisis juga bergantung pada kandungan
kimia dinding sel. Kayu yang lebih tinggi kadar ligninnya akan lebih kaku
sehingga lebih sulit untuk dibengkokkan, sedangkan kayu yang lebih banyak zat
ekstraktifnya akan cenderung lebih awet dan lebih stabil (kembang susutnya
rendah) (Barnett dan Jeronimidis 2003).
Mikrofibril adalah komponen terkecil pada struktur dinding sel yang terdiri
atas kelompok molekul selulosa (protofibril) yang diselimuti oleh lembaranlembaran hemiselulosa (Barnett dan Bonham 2004). Sedangkan sudut mikrofibril
(MFA) adalah arah kemiringan mikrofibril selulosa pada dinding sekunder dengan
sumbu panjang serat atau trakeid (Barnett dan Bonham 2004, Stuart dan Evans
1994). MFA merupakan struktur ultra mikroskopik kayu yang berpengaruh
terhadap kualitas kayu (Stuart dan Evans 1994). Keragaman MFA pada
Angiosperma lebih besar daripada keragaman MFA pada Gymnospermae
(Barnett dan Bonham 2004). Sudut mikrofibril dari selulosa pada dinding
sekunder kedua (S2) merupakan faktor penentu sifat mekanis kayu (Cowdrey dan
Preston 1966). Sudut mikrofibril dapat ditentukan dengan beberapa teknik antara
lain dengan mengukur kesejajaran kristal iodin, pemeriksaan terhadap dinding sel,
sudut mulut noktah bagian dalam, menggunakan mikroskop confocal, dan
menggunakan difraksi sinar-X (Barnett dan Jeronimidis 2003).
Menurut Taylor et al. (2003) menjelaskan bahwa kadar zat ekstraktif
berpotensi mengubah keawetan alami kayu. Keawetan alami kayu dipengaruhi
oleh jenis dan kadar zat ekstraktif kayu. Zat ekstraktif pada kayu ada yang bersifat
racun dan tidak beracun terhadap serangga perusak. Namun ada kecenderungan
2
semakin tinggi zat ekstraktif kayu maka keawetan kayu tersebut semakin tinggi
(Wistara et al. 2002). Kadar zat ekstraktif pada kayu bervariasi bergantung pada
jenis kayu, umur pohon, dan lokasi dalam batang. Hal inilah yang menyebabkan
keawetan alami berbagai jenis kayu berbeda-beda. Akan tetapi, informasi
mengenai pengaruh perlakuan silvikultur terhadap sudut mikrofibril dan
keawetan alami masih sangat terbatas.
Penelitian ini bertujuan menentukan keawetan alami dan sudut mikrofibril
kayu meranti merah yang mendapat perlakuan penjarangan dan pelebaran jarak
bebas naungan akhir.
METODE
Penelitian ini ditekankan pada penentuan keawetan alami dan sudut
mikrofibril dari sampel kayu meranti merah yang diambil oleh Sukowati (2013).
Prosedur pengambilan sampel kayu bahan penelitian juga telah dijelaskan secara
mendetail oleh peneliti ini. Sampel pengujian keawetan alami adalah bagian kayu
teras yang diambil dari masing-masing pohon contoh. Keawetan alami diuji
melalui pengujian laboratorium dan pengujian lapang. Pengujian laboratorium
mengacu standar SNI 01-7207-2006 dan pengujian lapang yang dilakukan di
lahan terbuka Perumahan Dosen IPB mengacu standar ASTM D 1756 2008.
Sudut mikrofibril (MFA) diukur menggunakan difraksi sinar X (XRD).
Sampel kayu berukuran 12 mm (p) x15 mm (l) x 0.5-1 mm (t) diambil pada
bidang tangensial dari lempengan kayu setebal 5 cm. Tidak terdapat perbedaan
nilai MFA dari sampel yang diambil menurut arah radial dan tangensial (Stuart &
Evans 1994). Dalam penelitian ini, sinar X bersumber dari Cu (λ= 1.54060 Å)
menggunakan tegangan 40 kV dan arus 30 mA. Auto slit tidak digunakan
sedangkan lebar celah penyebaran dan penerima masing-masing sebesar 1 mm
dan 0.3 mm. Pemindaian dilakukan secara kontinyu dengan poros pemandu Beta
(Theta/2 Theta) dan wilayah pindai 10 – 40°. Kecepatan pemindaian pengukuran
adalah 2°/menit. Data diproses tanpa penghalusan kurva dan puncak kurva
ditentukan secara otomatis. Penembakan dilakukan pada dua orientasi, vertikal
(transmisi) dan horisontal (refleksi). Penentuan MFA dilakukan mengikuti
prosedur yang dijelaskan oleh Stuart dan Evans (1994). Untuk penghitungan sudut
mikrofibril digunakan rumus Cave: MFA = 0.6T (Meylan (1976) dalam Stuart dan
Evans (1994)).
Dimana T = 2σ
= 2(
√
)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keawetan Alami Kayu Meranti: Pengujian Laboratorium
Parameter yang diuji dalam pengujian keawetan alami kayu terhadap
serangan rayap tanah adalah persentase kehilangan berat kayu dan mortalitas
3
rayap. Setelah masa pengumpanan selama 4 minggu diperoleh nilai rata-rata
kehilangan berat yang berbeda seperti terlihat pada Gambar 1.
Kehilangan berat (%)
20
15
10
Tanpa Penjarangan
Penjarangan
5
0
7
10
Jarak bebas naungan (meter)
13
Gambar 1 Persentase kehilangan berat pada pengujian rayap
Persentase rata-rata kehilangan berat menunjukkan bahwa kayu meranti
merah mempunyai kelas awet III-IV (menurut SNI 01-7207-2006), kayu yang
mudah terserang oleh serangan organisme perusak kayu. Jenis kayu yang
termasuk kelas III-IV terhadap rayap tanah berarti jenis kayu tersebut tidak awet
bila digunakan di bawah atap yang berhubungan dengan tanah.
Hasil penelitian Sukowati (2013) menunjukkan bahwa adanya penjarangan
dan jarak bebas naungan menurunkan berat jenis kayu. Rayap lebih mudah
mencerna kayu yang mempunyai berat jenis yang rendah (Lempang dan Asdar
(2007). Tingkat kekerasan kayu mempengaruhi kemampuan rayap mencerna kayu
(Arif 1998) karena pencernaan selulosa oleh rayap diawali dengan proses mekanis
yaitu menggigit dan menggerus kayu menjadi partikel-partikel kecil, kemudian
dilanjutkan oleh proses enzimatik.
Selain kehilangan berat, persentase mortalitas rayap juga ditentukan dalam
penelitian ini. Persentase mortalitas rayap dihitung berdasarkan jumlah rayap yang
mati selama masa pengujian contoh uji. Persentase mortalitas rayap dapat dilihat
pada Gambar 2.
4
35
30
Mortalitas (%)
25
20
15
Tanpa Penjarangan
10
Penjarangan
5
0
7
10
13
Jarak bebas naungan (meter)
Gambar 2 Persentase mortalitas rayap tanah setelah masa pengumpanan
Gambar 2 menunjukkan persentase nilai mortalitas rayap semakin menurun
dengan adanya penjarangan dan jarak bebas naungan. Hal tersebut berbanding
terbalik dengan persentase kehilangan berat. Kehilangan berat contoh uji menurun
dengan meningkatnya mortalitas rayap. Kelas awet meranti merah yang rendah
menyebabkan kayu ini disukai rayap sehingga mortalitasnya rendah saat
pengumpanan. Kadar ekstraktif kayu meranti yang rendah (Risnasari dan Ruhendi
2006), kemungkinan juga menyebabkan rendahnya mortalitas rayap dalam
penelitian ini.
Keawetan Alami Kayu Meranti: Pengujian Lapang
Data yang diperoleh dari pengujian lapang (uji kubur) adalah persentase
kehilangan berat kayu meranti merah. Persentase kehilangan berat dapat dilihat
pada Gambar 3.
Kehilangan berat (%)
50
40
30
Tanpa Penjarangan
20
Penjarangan
10
0
7
10
13
Jarak bebas naungan (meter)
Gambar 3 Persentase kehilangan berat pada uji kubur
5
Menurut klasifikasi kelas ketahanan alami kayu ASTM D 1756-2008, nilai
derajat kerusakan kayu meranti dalam penelitian ini adalah 7, yang
diklasifikasikan ke dalam kelas ketahanan alami III dengan serangan sedang dan
terjadi penetrasi. Persentase kehilangan berat pada uji lapang berbeda dengan
persentase kehilangan berat pada pengujian di laboratorium. Namun demikian
kedua metode tersebut bisa dipakai sebagai bahan pertimbangan untuk
menentukan apakah suatu jenis kayu di dalam penggunaannya perlu atau tidaknya
harus diawetkan. Demikian pula dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
dalam menentukan suatu kelas awet kayu yang tepat harus diperhatikan organisme
yang menyerang dan metode pengujian yang dipakai. Hal tersebut juga dijelaskan
oleh (Sumarni dan Muslich 2008) klasifikasi keawetan kayu selain tergantung
pada organisme yang menyerang, juga kemungkinan tergantung kepada metode
pengujian yang dipakai.
Sudut Mikrofibril
Pengukuran sudut mikrofibril menggunakan metode difraksi sinar X.
Besarnya sudut mikrofibril dapat dilihat pada Gambar 4.
30
23.6
Sudut mikrofibril (º)
25
20
20.8
19.6
20.2
17.4
14.4
15
Tanpa Penjarangan
Penjarangan
10
5
0
7
10
13
Jarak bebas naungan (meter)
Gambar 4 Sudut mikrofibril pada kayu meranti merah hasil perlakuan
penjarangan dan jarak bebas naungan
Gambar 4 menunjukkan bahwa peningkatan jarak bebas naungan
meningkatkan sudut mikrofibril (MFA). Hal tersebut juga dijelaskan oleh
Lundgren (2004) bahwa adanya perlakuan silvikultur menyebabkan MFA kayu
lebih besar. Pada studi Basri dan Wahyudi (2013) dijelaskan bahwa MFA
cenderung meningkat dengan menurunnya panjang serat, dan tebal dinding. Hal
tersebut sesuai dengan hasil pengukuran MFA dan hasil penelitian Sukowati
(2013). Pada pengukuran MFA, MFA semakin bertambah dengan adanya
perlakuan silvikultur dan pada hasil penelitian Sukowati (2013) dijelaskan bahwa
perlakuan silvikultur juga menurunkan panjang serat dan tebal dinding.
Mikrofibril sangat berpengaruh pada sifat fisis dan mekanis kayu terutama
6
kerapatan, kekuatan tarik, kekakuan, dan kembang susut. Pada hasil Sokowati
(2013) juga dijelaskan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan
meningkatkan sifat penyusutan longitudinal dan adanya perlakuan silvikultur
juga dapat menurunkan MOE, MOR, kekuatan tekan sejajar, kekuatan belah, dan
kekerasan. Menurut Stuart dan Evans (1994) perubahan kecil pada derajat sudut
mikrofibril menghasilkan perubahan sifat serat. Deresse et al. (2003) juga
menyatakan semakin besar sudut mikrofibril, nilai MOE akan semakin kecil dan
sebaliknya.
SIMPULAN
Kayu meranti merah tergolong ke dalam kelas awet III-IV yang artinya
kayu meranti merah mudah terserang organisme perusak. Adanya penjarangan
dan jarak bebas naungan tidak berpengaruh pada keawetan alami kayu.
Sedangkan nilai sudut mikrofibril meningkat dengan meningkatnya jarak bebas
naungan dalam tegakan.
DAFTAR PUSTAKA
Arif A. 1998. Ketahanan kayu asetilasi dan kayu furfurilasi terhadap
biodeteriorasi. [tesis]. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Barnett JR, Bonham VA. 2004. Cellulose microfibril angle in the cell wall of
wood fibres. Biol Rev. 79: 461-472.
Barnett JR, Jeronimidis G. 2003. Wood quality and its biological basis. Blackwell
Publishing (Australia) dan CRC Press (Canada). Hlm 8-9.
Basri E, Wahyudi. 2013. Sifat dasar kayu jati plus perhutani dari berbagai umur
dan kaitannya dengan sifat dan kualitas pengeringan. Jurnal Penelitian Hasil
Hutan. 3(2): 93-102.
Cowdrey D, Preston R. 1966. Elasticity and microfibrillar angle in wood sitka
spurace. Poc.R.Soc.Lond.B. 166:245-272.
Deresse T, Robert K, Stephen M. 2003. Microfibril angel variation in red pine
(Pinus resinosa) and its relation to the strength and stiffness of early juvenile
wood. Forest Prod J. 53(7/8): 34-40.
Effendi R, Kurniawan A. 2003. Pertumbuhan Shorea leprosula Miq. (meranti
merah) di berbagai tempat. Jurnal Dipterokarpa 7(1).
Hendromono, Hajib N. 2001. Prospek pembangunan hutan dan pemanfaatan kayu
jenis khaya, mahoni, dan meranti. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian:
Pengembangan Jenis Tanaman Petensial (Khaya, Mahoni, dan Meranti) untuk
Pembangunan Hutan Tanaman, pp. 29-40. Bogor: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.
Lempang M, Asdar M. 2007. Ketahanan alami kayu jati (Tectona grandis l.f.)
asal Sulawesi Tenggara terhadap rayap tanah. Jurnal Penelitian Hasil Hutan.
25(4): 1-11.
Mawazi, Suhaendi H. 2013. Pengaruh jarak tanam terhadap diameter Shorea
leprosula Miq. umur lima tahun. Jurnal Penelitian Hasil Hutan dan
Konservasi Alam. 9(2):189-197.
7
Risnasari I, Ruhendi S. 2006. Sifat dasar perekat likuida kayu dari beberapa jenis
kayu (characteristic of wood liquid adhesives from several wood species).
Peronema Forestry Science Journal 2(2): 66-70.
Stuart SA, Evans R. 1994. X-ray diffraction estimation of the microfibril angle
variation in eucalypt increment cores. Research Report. The CRC for
Hardwood Fibre & Paper Science.
Sukowati M. 2013. Pengaruh Penjarangan dan Pelebaran Jarak naungan
Terhadap sifat Dasar Kayu Meranti Merah. [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Sumarni G, Muslich M. 2008. Kelas awet jati cepat tumbuh dan jati konvensional
pada berbagai umur pohon. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 26(4):342-351.
Taylor AM, Gartner BL, Morrel JJ. 2003. Co-incident variations in growth rate
and heartwood extractive concentration in douglas-fir. J. Forest Ecol. Manag.
186: 58-63.
Uner B, Oyar O, Var AA, Altnta OL. 2009. Effect of thining on destiny of pinus
nigra tree using X-ray computed tomography. J. Environ. Biol. 30(3): 359-362.
Wistara IN, Rachmansyah R, Denes F, Young RA. 2002. Ketahanan 10 Jenis
Kayu Tropis Plasma CF4 terhadap Rayap Kayu Kering (Cryptotermes
cynocephalus Light). Jurnal Teknologi Hasil Hutan 15(2): 48-56.
8
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tulungagung tanggal 12 Juli 1991. Penulis merupakan
anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan suami istri Suyono dan Kolisatun.
Penulis lulus dari SD Negeri 1 Siyotobagus pada tahun 2003, kemudian
melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1 Bandung dan lulus tahun 2006.
Selanjutnya penulis di terima di SMA 1 Darul Ulum dan lulus pada tahun 2009.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Teknologi Hasil Hutan, Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB
(USMI).
Selain itu, penulis aktif dalam kegiatan organisasi Organisasi Ikatan
Keluarga Alumni Darul Ulum (IKALLUM) periode 2009–2013. Penulis memilih
Program Studi Mayor Teknologi Hasil Hutan, Departemen Hasil Hutan, Fakultas
Kehutanan. Tahun 2012 penulis memilih Kimia Hasil Hutan sebagai bidang
keahlian. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di sejumlah organisasi
diantaranya adalah menjadi staf Kelompok Minat Kimia Hasil Hutan Himpunan
Mahasiswa Hasil Hutan (HIMASILTAN) 2011-2012, sekertaris Organanisasi
Organisasi Ikatan Alumni Darul Ulum (IKALLUM).
Pada tahun 2011 penulis melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem
Hutan (PPEH) di Sancang Timur - Gunung Papandayan, Jawa Barat. Tahun 2012,
penulis juga melaksanakan Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan
Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Sukabumi. Selain itu penulis juga
melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di Pindo deli 1 pulp dan kertas pada
tahun 2013. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan
di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, penulis melaksanakan penelitian
dan menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Penjarangan dan Pelebaran
Jarak Naungan terhadap Keawetan Alami dan Sudut Mikrofibril Kayu Meranti
Merah” dibawah bimbingan Nyoman Jaya Wistara, Ph.D.
NAUNGAN TERHADAP KEAWETAN ALAMI DAN SUDUT
MIKROFIBRIL KAYU MERANTI MERAH
FITA MUFTIKHATUS SYAHRO
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh
Penjarangan dan Pelebaran Jarak Naungan terhadap Keawetan Alami dan Sudut
Mikrofibril Kayu Meranti Merah adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015
Fita Muftikhatus Syahro
NIM E24090042
ABSTRAK
FITA MUFTIKHATUS SYAHRO. Pengaruh Penjarangan dan Pelebaran Jarak
Naungan terhadap Keawetan Alami dan Sudut Mikrofibril Kayu Meranti Merah.
Dibimbing oleh NYOMAN JAYA WISTARA.
Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan pengaruh perlakuan silvikultur
penjarangan dan jarak bebas naungan meranti merah terhadap keawetan alami
kayu dan sudut mikrofibrilnya. Pengujian keawetan alami kayu dilakukan melalui
uji laboratorium menggunakan standar SNI 01-7207-2006 dan uji kubur
menggunakan standar ASTM D 1756 2008. Sedangkan pengujian sudut
mikrofibril menggunakan metode pengukuran dengan difraksi sinar X (XRD).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari rata-rata kehilangan beratnya, keawetan
alami kayu kayu meranti merah tergolong kelas awet III-IV. Perlakuan silvikultur
berpengaruh pada kehilangan berat dan mortalitas rayap. Penjarangan dan
pelebaran jarak bebas naungan meningkatkan kehilangan berat kayu dan
menurunkan mortalitas rayap. Sedangkan pada pengukuran sudut mikrofibril,
besarnya sudut mikrofibril semakin bertambah dengan adanya perlakuan
silvikultur.
Kata kunci: jarak bebas naungan, keawetan alami, meranti merah, penjarangan,
sudut mikrofibril
ABSTRACT
FITA MUFTIKHATUS SYAHRO. The Effect of Thinning and Line Planting on
the Natural Durability and Microfibril Angle of Red Meranti. Supervised by
NYOMAN JAYA WISTARA.
This study was conducted to determine the effect of thinning and line
planting treatments of red meranti on the natural durability and microfibril angle
of wood. In this study, laboratory testing and grave yard testing of wood natural
durability was performed in accordance with SNI 01-7207-2006 and ASTM D
1756 2008 standard procedures, respectively. Microfibril angle measurement was
carried out by the method of X-ray diffraction (XRD). The natural durability of
red meranti wood was found belong to the durability class of III-IV based on the
weight loss of the samples. Increasing thinning intensity and line planting distance
increased the weight loss of wood and decreased the termite mortality.
Furthermore, microfibril angle increased with the currently applied silvicultural
treatments.
Keywords: microfibril angle, natural durability, red meranti, thinning, line
planting
PENGARUH PENJARANGAN DAN PELEBARAN JARAK
NAUNGAN TERHADAP KEAWETAN ALAMI DAN SUDUT
MIKROFIBRIL KAYU MERANTI MERAH
FITA MUFTIKHATUS SYAHRO
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Hasil Hutan
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian serta
penyusunan skripsi yang berjudul “Pengaruh Penjarangan dan Jarak Bebas
Naungan terhadap Keawetan Alami dan Sudut Mikrofibril pada Kayu
Meranti Merah”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam proses penyusunan skripsi mulai dari awal hingga akhir,
terutama kepada Nyoman Jaya Wistara, Ph.D selaku dosen pembimbing yang
dengan sabar dan penuh keikhlasan telah memberikan bimbingan serta arahannya
selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, dan
adik, atas segala doa dan semangat yang telah diberikan. Penulis sepenuhya
menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
penulis terbuka atas kritik dan saran membangun untuk menyempurnakan
pengetahuan yang tertuang dalam skripsi ini. Harapan penulis semoga skripsi ini
dapat memenuhi tujuan penyusunan serta memberikan manfaat bagi pembaca
sekalian.
Bogor, Januari 2015
Fita Muftikhatus Syahro
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
PENDAHULUAN
Latar Belakang
METODE
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keawetan Alami Kayu Meranti: Pengujian Laboratorium
Keawetan Alami Kayu Meranti: Pengujian Lapang
Sudut Mikrofibril
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP
vii
vii
1
1
2
2
2
4
5
6
6
8
DAFTAR GAMBAR
1 Persentase kehilangan berat pada pengujian rayap
2 Persentase mortalitas rayap tanah setelah masa pengumpanan.
3 Persentase kehilanagan berat pada uji kubur
4 Sudut mikrofibril pada kayu meranti merah hasil perlakuan penjarangan dan
jarak bebas naungan
3
4
4
5
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Meranti merah (Shorea leprosula Miq.) yang menyebar merata dan tumbuh
baik di wilayah Kalimantan dan Sumatera (Effendi dan Kurniawan 2003)
merupakan salah satu jenis dari suku Dipterocarpaceae cepat tumbuh potensial
untuk pengembangan hutan tanaman. Potensi ini didukung oleh kemampuannya
untuk tumbuh pada berbagai jenis tanah (Hendromono dan Hajib 2001).
Untuk mendukung keberhasilan penanaman, ketersediaan berbagai
informasi tentang teknik silvikultur sangat diperlukan. Pengaturan jarak tanam
telah dilaporkan bermanfaat untuk mengatur pertumbuhan diameter meranti
merah (Mawazi dan Suhaendi 2012). Selanjutnya, teknik silvikultur seperti
penjarangan dan jarak bebas naungan terbukti mampu mengubah sifat fisik kayu
meranti merah (Sukowati 2013). Dilihat dari pengaruh perlakuan silvikultur
terhadap pertumbuhan diameter dan perubahan sifat fisik kayu, sangat jelas bahwa
manipulasi produksi kayu melalui perlakuan silvikultur terhadap tegakan
menentukan kuantitas dan kualitas kayu yang dihasilkan (Uner et al. 2009).
Penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan tegakan menyebabkan
penurunan sifat fisik, mekanis, dan zat ekstraktif kayu meranti merah (Sukowati
2013). Sifat mekanis kayu bergantung pada faktor inherent dalam kayu terutama
tebal dinding sel, porsi kayu akhir dan kayu awal, persentase kayu gubal dan teras,
sudut mikrofibril, dan proporsi jenis sel penyusun kayu. Selain itu nilai kerapatan
dan berat jenis kayu pada kayu-kayu dengan persentase bagian kayu akhir yang
lebih tinggi atau yang didominasi oleh sel-sel yang berdinding tebal menyebabkan
kayu lebih kuat. Sifat mekanis dan sifat fisis juga bergantung pada kandungan
kimia dinding sel. Kayu yang lebih tinggi kadar ligninnya akan lebih kaku
sehingga lebih sulit untuk dibengkokkan, sedangkan kayu yang lebih banyak zat
ekstraktifnya akan cenderung lebih awet dan lebih stabil (kembang susutnya
rendah) (Barnett dan Jeronimidis 2003).
Mikrofibril adalah komponen terkecil pada struktur dinding sel yang terdiri
atas kelompok molekul selulosa (protofibril) yang diselimuti oleh lembaranlembaran hemiselulosa (Barnett dan Bonham 2004). Sedangkan sudut mikrofibril
(MFA) adalah arah kemiringan mikrofibril selulosa pada dinding sekunder dengan
sumbu panjang serat atau trakeid (Barnett dan Bonham 2004, Stuart dan Evans
1994). MFA merupakan struktur ultra mikroskopik kayu yang berpengaruh
terhadap kualitas kayu (Stuart dan Evans 1994). Keragaman MFA pada
Angiosperma lebih besar daripada keragaman MFA pada Gymnospermae
(Barnett dan Bonham 2004). Sudut mikrofibril dari selulosa pada dinding
sekunder kedua (S2) merupakan faktor penentu sifat mekanis kayu (Cowdrey dan
Preston 1966). Sudut mikrofibril dapat ditentukan dengan beberapa teknik antara
lain dengan mengukur kesejajaran kristal iodin, pemeriksaan terhadap dinding sel,
sudut mulut noktah bagian dalam, menggunakan mikroskop confocal, dan
menggunakan difraksi sinar-X (Barnett dan Jeronimidis 2003).
Menurut Taylor et al. (2003) menjelaskan bahwa kadar zat ekstraktif
berpotensi mengubah keawetan alami kayu. Keawetan alami kayu dipengaruhi
oleh jenis dan kadar zat ekstraktif kayu. Zat ekstraktif pada kayu ada yang bersifat
racun dan tidak beracun terhadap serangga perusak. Namun ada kecenderungan
2
semakin tinggi zat ekstraktif kayu maka keawetan kayu tersebut semakin tinggi
(Wistara et al. 2002). Kadar zat ekstraktif pada kayu bervariasi bergantung pada
jenis kayu, umur pohon, dan lokasi dalam batang. Hal inilah yang menyebabkan
keawetan alami berbagai jenis kayu berbeda-beda. Akan tetapi, informasi
mengenai pengaruh perlakuan silvikultur terhadap sudut mikrofibril dan
keawetan alami masih sangat terbatas.
Penelitian ini bertujuan menentukan keawetan alami dan sudut mikrofibril
kayu meranti merah yang mendapat perlakuan penjarangan dan pelebaran jarak
bebas naungan akhir.
METODE
Penelitian ini ditekankan pada penentuan keawetan alami dan sudut
mikrofibril dari sampel kayu meranti merah yang diambil oleh Sukowati (2013).
Prosedur pengambilan sampel kayu bahan penelitian juga telah dijelaskan secara
mendetail oleh peneliti ini. Sampel pengujian keawetan alami adalah bagian kayu
teras yang diambil dari masing-masing pohon contoh. Keawetan alami diuji
melalui pengujian laboratorium dan pengujian lapang. Pengujian laboratorium
mengacu standar SNI 01-7207-2006 dan pengujian lapang yang dilakukan di
lahan terbuka Perumahan Dosen IPB mengacu standar ASTM D 1756 2008.
Sudut mikrofibril (MFA) diukur menggunakan difraksi sinar X (XRD).
Sampel kayu berukuran 12 mm (p) x15 mm (l) x 0.5-1 mm (t) diambil pada
bidang tangensial dari lempengan kayu setebal 5 cm. Tidak terdapat perbedaan
nilai MFA dari sampel yang diambil menurut arah radial dan tangensial (Stuart &
Evans 1994). Dalam penelitian ini, sinar X bersumber dari Cu (λ= 1.54060 Å)
menggunakan tegangan 40 kV dan arus 30 mA. Auto slit tidak digunakan
sedangkan lebar celah penyebaran dan penerima masing-masing sebesar 1 mm
dan 0.3 mm. Pemindaian dilakukan secara kontinyu dengan poros pemandu Beta
(Theta/2 Theta) dan wilayah pindai 10 – 40°. Kecepatan pemindaian pengukuran
adalah 2°/menit. Data diproses tanpa penghalusan kurva dan puncak kurva
ditentukan secara otomatis. Penembakan dilakukan pada dua orientasi, vertikal
(transmisi) dan horisontal (refleksi). Penentuan MFA dilakukan mengikuti
prosedur yang dijelaskan oleh Stuart dan Evans (1994). Untuk penghitungan sudut
mikrofibril digunakan rumus Cave: MFA = 0.6T (Meylan (1976) dalam Stuart dan
Evans (1994)).
Dimana T = 2σ
= 2(
√
)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keawetan Alami Kayu Meranti: Pengujian Laboratorium
Parameter yang diuji dalam pengujian keawetan alami kayu terhadap
serangan rayap tanah adalah persentase kehilangan berat kayu dan mortalitas
3
rayap. Setelah masa pengumpanan selama 4 minggu diperoleh nilai rata-rata
kehilangan berat yang berbeda seperti terlihat pada Gambar 1.
Kehilangan berat (%)
20
15
10
Tanpa Penjarangan
Penjarangan
5
0
7
10
Jarak bebas naungan (meter)
13
Gambar 1 Persentase kehilangan berat pada pengujian rayap
Persentase rata-rata kehilangan berat menunjukkan bahwa kayu meranti
merah mempunyai kelas awet III-IV (menurut SNI 01-7207-2006), kayu yang
mudah terserang oleh serangan organisme perusak kayu. Jenis kayu yang
termasuk kelas III-IV terhadap rayap tanah berarti jenis kayu tersebut tidak awet
bila digunakan di bawah atap yang berhubungan dengan tanah.
Hasil penelitian Sukowati (2013) menunjukkan bahwa adanya penjarangan
dan jarak bebas naungan menurunkan berat jenis kayu. Rayap lebih mudah
mencerna kayu yang mempunyai berat jenis yang rendah (Lempang dan Asdar
(2007). Tingkat kekerasan kayu mempengaruhi kemampuan rayap mencerna kayu
(Arif 1998) karena pencernaan selulosa oleh rayap diawali dengan proses mekanis
yaitu menggigit dan menggerus kayu menjadi partikel-partikel kecil, kemudian
dilanjutkan oleh proses enzimatik.
Selain kehilangan berat, persentase mortalitas rayap juga ditentukan dalam
penelitian ini. Persentase mortalitas rayap dihitung berdasarkan jumlah rayap yang
mati selama masa pengujian contoh uji. Persentase mortalitas rayap dapat dilihat
pada Gambar 2.
4
35
30
Mortalitas (%)
25
20
15
Tanpa Penjarangan
10
Penjarangan
5
0
7
10
13
Jarak bebas naungan (meter)
Gambar 2 Persentase mortalitas rayap tanah setelah masa pengumpanan
Gambar 2 menunjukkan persentase nilai mortalitas rayap semakin menurun
dengan adanya penjarangan dan jarak bebas naungan. Hal tersebut berbanding
terbalik dengan persentase kehilangan berat. Kehilangan berat contoh uji menurun
dengan meningkatnya mortalitas rayap. Kelas awet meranti merah yang rendah
menyebabkan kayu ini disukai rayap sehingga mortalitasnya rendah saat
pengumpanan. Kadar ekstraktif kayu meranti yang rendah (Risnasari dan Ruhendi
2006), kemungkinan juga menyebabkan rendahnya mortalitas rayap dalam
penelitian ini.
Keawetan Alami Kayu Meranti: Pengujian Lapang
Data yang diperoleh dari pengujian lapang (uji kubur) adalah persentase
kehilangan berat kayu meranti merah. Persentase kehilangan berat dapat dilihat
pada Gambar 3.
Kehilangan berat (%)
50
40
30
Tanpa Penjarangan
20
Penjarangan
10
0
7
10
13
Jarak bebas naungan (meter)
Gambar 3 Persentase kehilangan berat pada uji kubur
5
Menurut klasifikasi kelas ketahanan alami kayu ASTM D 1756-2008, nilai
derajat kerusakan kayu meranti dalam penelitian ini adalah 7, yang
diklasifikasikan ke dalam kelas ketahanan alami III dengan serangan sedang dan
terjadi penetrasi. Persentase kehilangan berat pada uji lapang berbeda dengan
persentase kehilangan berat pada pengujian di laboratorium. Namun demikian
kedua metode tersebut bisa dipakai sebagai bahan pertimbangan untuk
menentukan apakah suatu jenis kayu di dalam penggunaannya perlu atau tidaknya
harus diawetkan. Demikian pula dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
dalam menentukan suatu kelas awet kayu yang tepat harus diperhatikan organisme
yang menyerang dan metode pengujian yang dipakai. Hal tersebut juga dijelaskan
oleh (Sumarni dan Muslich 2008) klasifikasi keawetan kayu selain tergantung
pada organisme yang menyerang, juga kemungkinan tergantung kepada metode
pengujian yang dipakai.
Sudut Mikrofibril
Pengukuran sudut mikrofibril menggunakan metode difraksi sinar X.
Besarnya sudut mikrofibril dapat dilihat pada Gambar 4.
30
23.6
Sudut mikrofibril (º)
25
20
20.8
19.6
20.2
17.4
14.4
15
Tanpa Penjarangan
Penjarangan
10
5
0
7
10
13
Jarak bebas naungan (meter)
Gambar 4 Sudut mikrofibril pada kayu meranti merah hasil perlakuan
penjarangan dan jarak bebas naungan
Gambar 4 menunjukkan bahwa peningkatan jarak bebas naungan
meningkatkan sudut mikrofibril (MFA). Hal tersebut juga dijelaskan oleh
Lundgren (2004) bahwa adanya perlakuan silvikultur menyebabkan MFA kayu
lebih besar. Pada studi Basri dan Wahyudi (2013) dijelaskan bahwa MFA
cenderung meningkat dengan menurunnya panjang serat, dan tebal dinding. Hal
tersebut sesuai dengan hasil pengukuran MFA dan hasil penelitian Sukowati
(2013). Pada pengukuran MFA, MFA semakin bertambah dengan adanya
perlakuan silvikultur dan pada hasil penelitian Sukowati (2013) dijelaskan bahwa
perlakuan silvikultur juga menurunkan panjang serat dan tebal dinding.
Mikrofibril sangat berpengaruh pada sifat fisis dan mekanis kayu terutama
6
kerapatan, kekuatan tarik, kekakuan, dan kembang susut. Pada hasil Sokowati
(2013) juga dijelaskan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan
meningkatkan sifat penyusutan longitudinal dan adanya perlakuan silvikultur
juga dapat menurunkan MOE, MOR, kekuatan tekan sejajar, kekuatan belah, dan
kekerasan. Menurut Stuart dan Evans (1994) perubahan kecil pada derajat sudut
mikrofibril menghasilkan perubahan sifat serat. Deresse et al. (2003) juga
menyatakan semakin besar sudut mikrofibril, nilai MOE akan semakin kecil dan
sebaliknya.
SIMPULAN
Kayu meranti merah tergolong ke dalam kelas awet III-IV yang artinya
kayu meranti merah mudah terserang organisme perusak. Adanya penjarangan
dan jarak bebas naungan tidak berpengaruh pada keawetan alami kayu.
Sedangkan nilai sudut mikrofibril meningkat dengan meningkatnya jarak bebas
naungan dalam tegakan.
DAFTAR PUSTAKA
Arif A. 1998. Ketahanan kayu asetilasi dan kayu furfurilasi terhadap
biodeteriorasi. [tesis]. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Barnett JR, Bonham VA. 2004. Cellulose microfibril angle in the cell wall of
wood fibres. Biol Rev. 79: 461-472.
Barnett JR, Jeronimidis G. 2003. Wood quality and its biological basis. Blackwell
Publishing (Australia) dan CRC Press (Canada). Hlm 8-9.
Basri E, Wahyudi. 2013. Sifat dasar kayu jati plus perhutani dari berbagai umur
dan kaitannya dengan sifat dan kualitas pengeringan. Jurnal Penelitian Hasil
Hutan. 3(2): 93-102.
Cowdrey D, Preston R. 1966. Elasticity and microfibrillar angle in wood sitka
spurace. Poc.R.Soc.Lond.B. 166:245-272.
Deresse T, Robert K, Stephen M. 2003. Microfibril angel variation in red pine
(Pinus resinosa) and its relation to the strength and stiffness of early juvenile
wood. Forest Prod J. 53(7/8): 34-40.
Effendi R, Kurniawan A. 2003. Pertumbuhan Shorea leprosula Miq. (meranti
merah) di berbagai tempat. Jurnal Dipterokarpa 7(1).
Hendromono, Hajib N. 2001. Prospek pembangunan hutan dan pemanfaatan kayu
jenis khaya, mahoni, dan meranti. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian:
Pengembangan Jenis Tanaman Petensial (Khaya, Mahoni, dan Meranti) untuk
Pembangunan Hutan Tanaman, pp. 29-40. Bogor: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.
Lempang M, Asdar M. 2007. Ketahanan alami kayu jati (Tectona grandis l.f.)
asal Sulawesi Tenggara terhadap rayap tanah. Jurnal Penelitian Hasil Hutan.
25(4): 1-11.
Mawazi, Suhaendi H. 2013. Pengaruh jarak tanam terhadap diameter Shorea
leprosula Miq. umur lima tahun. Jurnal Penelitian Hasil Hutan dan
Konservasi Alam. 9(2):189-197.
7
Risnasari I, Ruhendi S. 2006. Sifat dasar perekat likuida kayu dari beberapa jenis
kayu (characteristic of wood liquid adhesives from several wood species).
Peronema Forestry Science Journal 2(2): 66-70.
Stuart SA, Evans R. 1994. X-ray diffraction estimation of the microfibril angle
variation in eucalypt increment cores. Research Report. The CRC for
Hardwood Fibre & Paper Science.
Sukowati M. 2013. Pengaruh Penjarangan dan Pelebaran Jarak naungan
Terhadap sifat Dasar Kayu Meranti Merah. [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Sumarni G, Muslich M. 2008. Kelas awet jati cepat tumbuh dan jati konvensional
pada berbagai umur pohon. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 26(4):342-351.
Taylor AM, Gartner BL, Morrel JJ. 2003. Co-incident variations in growth rate
and heartwood extractive concentration in douglas-fir. J. Forest Ecol. Manag.
186: 58-63.
Uner B, Oyar O, Var AA, Altnta OL. 2009. Effect of thining on destiny of pinus
nigra tree using X-ray computed tomography. J. Environ. Biol. 30(3): 359-362.
Wistara IN, Rachmansyah R, Denes F, Young RA. 2002. Ketahanan 10 Jenis
Kayu Tropis Plasma CF4 terhadap Rayap Kayu Kering (Cryptotermes
cynocephalus Light). Jurnal Teknologi Hasil Hutan 15(2): 48-56.
8
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tulungagung tanggal 12 Juli 1991. Penulis merupakan
anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan suami istri Suyono dan Kolisatun.
Penulis lulus dari SD Negeri 1 Siyotobagus pada tahun 2003, kemudian
melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1 Bandung dan lulus tahun 2006.
Selanjutnya penulis di terima di SMA 1 Darul Ulum dan lulus pada tahun 2009.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Teknologi Hasil Hutan, Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB
(USMI).
Selain itu, penulis aktif dalam kegiatan organisasi Organisasi Ikatan
Keluarga Alumni Darul Ulum (IKALLUM) periode 2009–2013. Penulis memilih
Program Studi Mayor Teknologi Hasil Hutan, Departemen Hasil Hutan, Fakultas
Kehutanan. Tahun 2012 penulis memilih Kimia Hasil Hutan sebagai bidang
keahlian. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di sejumlah organisasi
diantaranya adalah menjadi staf Kelompok Minat Kimia Hasil Hutan Himpunan
Mahasiswa Hasil Hutan (HIMASILTAN) 2011-2012, sekertaris Organanisasi
Organisasi Ikatan Alumni Darul Ulum (IKALLUM).
Pada tahun 2011 penulis melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem
Hutan (PPEH) di Sancang Timur - Gunung Papandayan, Jawa Barat. Tahun 2012,
penulis juga melaksanakan Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan
Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Sukabumi. Selain itu penulis juga
melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di Pindo deli 1 pulp dan kertas pada
tahun 2013. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan
di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, penulis melaksanakan penelitian
dan menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Penjarangan dan Pelebaran
Jarak Naungan terhadap Keawetan Alami dan Sudut Mikrofibril Kayu Meranti
Merah” dibawah bimbingan Nyoman Jaya Wistara, Ph.D.