Pengaruh Penjarangan dan Pelebaran Jarak Naungan terhadap Sifat Dasar Kayu Meranti Merah

(1)

ABSTRAK

MUNAWAR SUKOWATI. Pengaruh Penjarangan dan Pelebaran Jarak Naungan terhadap Sifat Dasar Kayu Meranti Merah. Dibimbing oleh NYOMAN J. WISTARA dan PRIJANTO PAMOENGKAS.

Usaha untuk meningkatkan laju pertumbuhan meranti merah (Shorea leprosula Miq.) di hutan alam telah dikembangkan melalui sistem silvikultur tebang pilih dan tanam jalur (TPTJ). Meskipun pertumbuhan pohon yang tinggi diketahui menurunkan sifat dasar tertentu dari kayu, tetapi pengukuran khusus terhadap sifat dasar kayu meranti merah hasil perlakuan penjarangan dan pengaturan jarak bebas naungan belum banyak dilakukan. Dalam penelitian ini, pengukuran sifat dasar kayu meranti merah hasil perlakuan penjarangan dan pengaturan jarak bebas naungan telah dilakukan. Ditemukan bahwa penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan meningkatkan diameter pohon, susut longitudinal, diameter serat, diameter lumen, ekstraktif kayu gubal, dan kadar abu. Dilain pihak, perlakuan ini menurunkan proporsi kayu teras, penutupan tajuk, berat jenis, kerapatan, susut radial dan tangensial, panjang serat, tebal dinding sel, dan ekstraktif kayu teras. Lignin, holoselulosa, -selulosa, dan hemiselulosa tidak secara nyata dipengaruhi oleh penjarangan dan pelebaran jarak naungan.

Kata kunci: meranti merah, TPTJ, penjarangan, sifat dasar kayu

ABSTRACT

MUNAWAR SUKOWATI. The Effect of Thinning and Line Planting on the Basic Properties of Red Meranti. Supervised by NYOMAN J. WISTARA and PRIJANTO PAMOENGKAS.

Endeavor to increase the growth rate of red meranti (Shorea leprosula Miq.) in natural forest has been carried out through the silviculture system of selective cutting and line planting (TPTJ). Even though high growth rate has been understood tend to decrease certain basic properties of wood; however measurement of the basic properties specifically done on the red meranti resulted from thinning and line planting treatment has been lacking. In the present research, measurement of the basic properties of red meranti resulted from thinning and line planting treatment was done. It was found that thinning and increasing line planting increased the diameter of tree, longitudinal shrinkage, fiber diameter, lumen diameter, sapwood extractives, and ash content. On the other hand, these treatment decreased heartwood proportion, crown coverage, specific gravity, wood density, radial and tangential shrinkage, fiber length, cell wall thickness and heartwood extractives. Lignin, holocellulose, -cellulose and hemicelluloses were not significantly influenced by the treatments.

Key words: red meranti, TPTJ, thinning, basic properties


(2)

PENDAHULUAN

Meranti merah (Shorea leprosula Miq.) adalah jenis kayu meranti dengan laju pertumbuhan relatif cepat (Mawazin dan Suhaendi 2011) dan secara alamiah memiliki bentuk batang lurus dan silindris. Kayu meranti merah banyak dimanfaatkan antara lain untuk pembuatan kayu lapis, furnitur, kayu struktural, dan peralatan musik. Meskipun produksinya masih dominan dari hutan alam, dewasa ini usaha untuk mengembangkannya melalui hutan tanaman sedang giat dilakukan.

Usaha peningkatan produksi meranti merah telah dilakukan secara intensif oleh PT. SBK melalui sistem silvikultur TPTJ. Dalam sistem silvikultur ini, lebar jalur optimal untuk menghasilkan pertumbuhan maksimum adalah antara 4 – 10 m (Pamoengkas 2006). Sistem silvikutur TPTJ telah dilaporkan mampu meningkatkan riap diameter rata-rata (MAI) sebesar 2.31 cm/tahun (Pamoengkas dan Prayogi 2011). Tingkat pertumbuhan ini dikatagorikan sebagai sangat tinggi (Mindawati dan Tiryana 2002). Penjarangan pada tegakan meranti merah dapat meningkatkan pertumbuhan diameter secara signifikan (Kammesheidt et al. 2003), meningkatkan biomassa daun, dan luas tajuk (Abohasan et al. 2010) karena pertumbuhan meranti merah sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya (Sukendro dan Sugiarto 2012).

Selain meningkatkan kuantitas produksi kayu, penjarangan dan pengaturan naungan dapat mengubah mutu kayu yang dihasilkan tegakan hutan (Uner et al.

2009). Kerapatan kayu, panjang sel serat, dan proporsi kayu akhir menurun dengan meningkatnya intensitas penjarangan tegakan hutan (Cao et al. 2008). Penurunan kerapatan menjadi indikasi menurunnya proporsi zat kayu di dalam dinding sel relatif terhadap nisbah antara tebal dinding dan diameter sel (Lundgren 2004). Jyske (2008) juga telah menemukan terjadinya pertumbuhan diameter kayu yang cepat, penurunan panjang serat, penurunan tebal dinding sel, dan peningkatan diameter sel dan lumen sel kayu spruce akibat penjarangan tegakan secara intensif. Sifat dasar kayu yang berhubungan erat dengan kerapatan seperti MOE, MOR, dan kekuatan tekan kayu ditemukan menurun dengan meningkatnya intensitas penjarangan (Huang et al. 2012). Kerapatan kayu adalah parameter penting yang perlu diperhatikan dalam melakukan seleksi awal pemanfaatan kayu untuk fungsi struktural (Zziwa et al. 2006).

Penjarangan dan perlakuan silvikultur lainnya tidak hanya mengubah sifat fisis dan mekanis kayu, tetapi juga dapat mengubah sifat kimianya (Uner et al.

2009). Perubahan kadar lignin (Uner et al. 2009) dan kadar ekstraktif berpotensi mengubah keawetan alami kayu (Taylor et al. 2003).

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan pengaruh perlakuan sistem silvikultur TPTJ yang meliputi penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan akhir terhadap sifat-sifat dasar kayu meranti merah. Informasi tentang sifat dasar kayu hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam menentukan arah pengelolaan hutan alam untuk menghasilkan kayu dengan mutu dan kuantitas yang baik secara lestari.


(3)

2

METODE

Pengambilan Sampel Kayu

Pengambilan sampel dilakukan pada areal PT Sari Bumi Kusuma (SBK) RKT tahun 1999 (tahun tanam 2000). Sampel pohon meranti merah berasal dari tegakan yang mendapat perlakuan penjarangan dengan jarak bebas naungan akhir yang beragam. Intensitas penjarangan yang digunakan adalah 45% sehingga menyisakan 60 pohon/ha dari 110 pohon/ha sebelumya. Terdapat dua plot utama yang masing-masing memiliki luas 3 ha. Salah satu plot telah mengalami penjarangan (petak 1X) dan plot yang lain tidak mengalami penjarangan (petak 1Q). Penjarangan dilakukan pada tahun 2009 (umur 9 tahun). Setiap plot utama dibagi menjadi 3 sub plot yang masing-masing memilki luas 1 ha. Setiap sub plot memiliki jarak bebas naungan akhir yang beragam, yaitu 7 m, 10 m,dan 13 m. Skema perlakuan silvikultur pada sistem TPTJ dapat dilihat pada Gambar 1.

Pembuatan jarak bebas naungan dilakukan dengan cara pembersihan vertikal dan horisontal terhadap pohon maupun tajuk pohon pesaing saat tegakan berumur 5 tahun. Kondisi lingkungan dan biofisik setiap plot relatif sama dengan jenis tanah podzolik, curah hujan rata-rata 266.5 mm/bulan, suhu berkisar 22˚ C-28˚C pada malam hari dan 30˚C-33˚C pada siang hari, dan kelembaban nisbi antara 85-95%. Kerapatan tingkat tiang dan pohon dalam tegakan tinggal pada petak 1X = 153 pohon/ha, sedangkan petak 1Q = 167 pohon/ha. Pengambilan sampel dilakukan secara acak sebanyak satu pohon pada setiap sub plot sehingga total pohon yang ditebang sebanyak 6 batang pohon. Pohon ditebang pada ketinggian 15 cm dari tanah. Setiap batang pohon diambil sampel sepanjang 1 m pada daerah sekitar diameter setinggi dada (dbh). Sampel berbentuk piringan diambil untuk pengujian sifat kimia, fisik, dan anatomi. Sampel berupa balok digunakan untuk pengujian sifat mekanis kayu.

Gambar 1 Skema perlakuan silvikultur (a) plot tanpa penjarangan dan (b) plot yang dilakukan penjarangan

Pengukuran Kondisi Pertumbuhan

Parameter yang diukur untuk menentukan kondisi pertumbuhan pohon adalah diameter pohon setinggi dada (DBH), tinggi total, tinggi bebas cabang

Tegakan alam

Tegakan

alam 7,10,13 m

Tegakan

alam

Tegakan

alam

7,10,13 m 5 m

10 m


(4)

3 (TBC), persentase penutupan tajuk, dan persentase keterbukaan tajuk. Persentase penutupan tajuk ditentukan menggunakan alat densiometer, dimana pengukuran dilakukan pada daerah sekitar pangkal pohon setelah pohon ditebang.

Pengujian Sifat Dasar Kayu

Sampel pengujian sifat fisis, mekanis, dan anatomi diambil dari bagian peralihan antara kayu gubal dan teras pada setiap pohon sampel. Sifat fisis yang diuji meliputi kadar air kering udara (KA KU), penyusutan, kerapatan, dan berat jenis (BJ) kayu. Parameter sifat mekanis yang diuji meliputi Kekuatan lentur statis (MOE dan MOR), keteguhan tekan sejajar serat, kekerasan, dan kekuatan belah. Pengukuran sifat fisis dan mekanis kayu dilakukan mengikuti prosedur ASTM D 143 (2000) Standard Test Methods for Small Clear Specimens of Timber. Pengujian sifat anatomi dilakukan untuk mengetahui persentase kayu teras serta untuk mengetahui dimensi serat. Penentuan persentase kayu teras menggunakan metode milimeter blok dengan rumus:

PKT = LKT / LPB x 100 % Keterangan :

PKT = persentase kayu teras (%) LKT = luas bagian kayu teras (cm²)

LPB = luas total penampang lintang batang (cm²)

Pembuatan preparat maserasi menggunakan metode Schultze. Sampel sebesar batang korek api dimasukkan dalam tabung reaksi kemudian ditambahkan KClOƁ ± 0.5 gram (seujung pisau kecil) dan HNOƁ 50% hingga sampel terendam. Tabung reaksi beserta sampel dipanaskan selama 10 menit pada suhu 80°C hingga berwarna kekuningan. Selanjutnya serat disaring dan dicuci hingga bebas asam. Serat yang telah terpisah dipindahkan ke tabung film dan ditambahkan safranin 2% sebanyak 8 tetes hingga merata. Serat yang telah diwarnai dipindahkan ke object glass dan ditutup dengan cover glass. Pengukuran dimensi serat dengan menggunakan bantuan mikroskop merk Olympus BX 15 dan software pengukuran serat image pro plus. Dimensi serat yang diukur meliputi panjang serat, diameter serat, diameter lumen, dan tebal dinding sel. Pengujian kimia dibagi pada bagian kayu gubal dan kayu teras.

Dalam penelitian kelarutan kayu dalam etanol-benzena (1:2), kelarutan kayu dalam air dingin dan dalam air panas, kelarutan kayu dalam NaOH 1%, dan kadar abu yang masing-masing ditentukan dengan mengikuti standar TAPPI T 204 om

– 88, TAPPI T 207 om – 88, TAPPI T 212 om – 88, dan TAPPI T211 om – 93. Kadar holoselulosa, kadar α-selulosa, dan kadar lignin klason masing-masing ditentukan berdasarkan prosedur Browning (1967), TAPPI T 203 os – 74, dan TAPPI T 222 om – 88. Kadar hemiselulosa dihitung dengan mengurangkan kadar

-selulosa dari kadar holoselulosa. Pengukuran kadar lignin total merupakan penjumlahan antara lignin klason dengan lignin terlarut asam atau acid soluble lignin (ASL). Penentuan ASL dilakukan mengikuti prosedur yang dijelaskan oleh Raiskila et al. (2007).


(5)

4

Pengolahan Data

Data-data sifat fisis, mekanis, kimia, dan anatomi selanjutnya dianalisis menggunakan Microsoft Excel 2007, kemudian dilanjutkan dengan uji Anova menggunakan SPSS 16.0 for windows. Analisis terhadap nilai rata-rata dan kecenderungan hubungan parameter dengan visual grafik. Data yang bersifat kualitatif dianalisis secara deskriptif. Rancangan percobaan yang dilakukan dimodelkan sebagai berikut :

Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + ∑ijk

Keterangan :

Yijk = nilai pengamatan pada ulangan ke – k yang memperoleh perlakuan penjarangan ke – i dan perlakuan jarak bebas naungan ke –j

µ = nilai tengah populasi

αi = pengaruh penjarangan ke –i

βj = pengaruh jarak bebas naungan ke –j

(αβ)ij = interaksi antara pengaruh penjarangan ke –i

dengan pengaruh jarak bebas naungan ke –j

∑ijk = pengaruh galat dari ulangan ke –k yang mendapat perlakuan penjarangan ke – i dan perlakuan jarak bebas naungan ke –j.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Pertumbuhan Pohon

Pertumbuhan pohon diukur pada pohon di dalam tegakan yang mengalami penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan akhir. Dalam penelitian ini pertumbuhan pohon dihubungkan dengan sifat dasar kayu yang diuji. Parameter pertumbuhan pohon meranti merah hasil penelitian ini dicantumkan pada Tabel 1.

Penjarangan dan jarak bebas naungan serta interaksi keduanya berpengaruh nyata ( = 95%) terhadap pertumbuhan diameter pohon. Diameter pohon pada masing-masing jarak bebas naungan saling berbeda. Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa terdapat kecenderungan diameter pohon yang tumbuh dalam tegakan yang mengalami penjarangan lebih tinggi dari pada pohon yang tumbuh dalam tegakan tanpa penjarangan. Penjarangan meningkatkan diameter tajuk (Abohassan et al. 2010), dimana peningkatan diameter dan kuantitas tajuk menyebabkan peningkatan pertumbuhan diameter pohon di hutan tropis (Brown et al. 2004). Peningkatan pertumbuhan diameter pohon yang tumbuh dalam tegakan dengan kerapatan lebih rendah dapat disebabkan oleh peningkatan ketersediaan air, nutrisi, dan sinar matahari (Taylor et al. 2003).


(6)

4

Pengolahan Data

Data-data sifat fisis, mekanis, kimia, dan anatomi selanjutnya dianalisis menggunakan Microsoft Excel 2007, kemudian dilanjutkan dengan uji Anova menggunakan SPSS 16.0 for windows. Analisis terhadap nilai rata-rata dan kecenderungan hubungan parameter dengan visual grafik. Data yang bersifat kualitatif dianalisis secara deskriptif. Rancangan percobaan yang dilakukan dimodelkan sebagai berikut :

Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + ∑ijk

Keterangan :

Yijk = nilai pengamatan pada ulangan ke – k yang memperoleh perlakuan penjarangan ke – i dan perlakuan jarak bebas naungan ke –j

µ = nilai tengah populasi

αi = pengaruh penjarangan ke –i

βj = pengaruh jarak bebas naungan ke –j

(αβ)ij = interaksi antara pengaruh penjarangan ke –i

dengan pengaruh jarak bebas naungan ke –j

∑ijk = pengaruh galat dari ulangan ke –k yang mendapat perlakuan penjarangan ke – i dan perlakuan jarak bebas naungan ke –j.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Pertumbuhan Pohon

Pertumbuhan pohon diukur pada pohon di dalam tegakan yang mengalami penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan akhir. Dalam penelitian ini pertumbuhan pohon dihubungkan dengan sifat dasar kayu yang diuji. Parameter pertumbuhan pohon meranti merah hasil penelitian ini dicantumkan pada Tabel 1.

Penjarangan dan jarak bebas naungan serta interaksi keduanya berpengaruh nyata ( = 95%) terhadap pertumbuhan diameter pohon. Diameter pohon pada masing-masing jarak bebas naungan saling berbeda. Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa terdapat kecenderungan diameter pohon yang tumbuh dalam tegakan yang mengalami penjarangan lebih tinggi dari pada pohon yang tumbuh dalam tegakan tanpa penjarangan. Penjarangan meningkatkan diameter tajuk (Abohassan et al. 2010), dimana peningkatan diameter dan kuantitas tajuk menyebabkan peningkatan pertumbuhan diameter pohon di hutan tropis (Brown et al. 2004). Peningkatan pertumbuhan diameter pohon yang tumbuh dalam tegakan dengan kerapatan lebih rendah dapat disebabkan oleh peningkatan ketersediaan air, nutrisi, dan sinar matahari (Taylor et al. 2003).


(7)

5 Tabel 1 Rata-rata pengukuran kondisi pertumbuhan pohon meranti merah

Berbeda dengan temuan Picchio et al. (2011), Tabel 1 menunjukkan tidak terdapat kecenderungan peningkatan tinggi pohon akibat penjarangan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hanya diameter yang cenderung meningkat dengan penjarangan. Tinggi total, tinggi bebas cabang, dan penutupan tajuk pohon meranti merah menurun akibat penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan. Hasil serupa ditemukan Pinkard dan Nielsen (2003) untuk tegakan Eucalyptus nitens, dimana tinggi total dan bebas cabang pohon pada tegakan yang dijarangi lebih rendah dari pada tinggi total dan tinggi bebas cabangnya pada tegakan yang tidak dijarangi. Penurunan kerapatan tegakan dapat menurunkan biomassa tegakan per satuan luas hutan, meskipun biomassa individu pohon dapat meningkat (Goncalves et al. 2004).

Pada tingkat α = 95%, penjarangan berpengaruh nyata terhadap tinggi total dan TBC pohon sedangkan pelebaran jarak bebas naungan hanya berpengaruh nyata terhadap TBC pohon. Interaksi antara kedua faktor berpengaruh nyata terhadap tinggi total dan TBC pohon. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa TBC pohon berbeda pada jarak bebas naungan yang berbeda. Kerapatan pohon lebih tinggi pada tegakan tanpa penjarangan. Pada tegakan pohon berkerapatan tinggi, kebutuhan pohon meranti akan cahaya matahari mendorong pertumbuhan ke arah vertikal (Mawazin dan Suhaendi 2011).

Perlakuan penjarangan dan jarak bebas naungan, serta interaksinya memberikan pengaruh nyata terhadap persentase penutupan tajuk yang terjadi pada pohon meranti merah (tingkat α = 95%). Uji lanjut Duncan menunjukkan masing-masing jarak bebas naungan memiliki nilai penutupan tajuk yang berbeda. Penjarangan pohon di dalam jalur dan pembebasan pohon pesaing dari hutan alam secara horisontal dan vertikal menurunkan penutupan tajuk terhadap pohon meranti merah di dalam jalur.

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat korelasi negatif antara penutupan tajuk dengan pertumbuhan diameter (koefisien determinasi = 24.75%). Menurut Pamoengkas dan Prayogi (2011) pertumbuhan diameter meranti merah mulai umur 9 tahun dipengaruhi oleh penutupan tajuk pada jalur, yaitu semakin sedikit penutupan tajuk yang terjadi menyebabkan diameter pohon semakin besar. Penutupan tajuk pohon berasal dari tajuk-tajuk pohon yang berada di samping jalur dan pohon di dalam jalur itu sendiri. Semakin besar penutupan tajuk menyebabkan berkurangnya intensitas cahaya yang diperlukan oleh pohon sehingga pertumbuhan pohon menjadi terhambat (Pamoengkas dan Prayogi 2011).

JBN 7 m JBN 10 m JBN 13 m JBN 7 m JBN 10 m JBN 13 m

Diameter (cm) 20.5 25.8 24.6 23.0 22.8 26.8

Tinggi Total (m) 20.2 19.5 20.2 19.6 20.0 19.7

TBC (m) 15.0 13.7 14.2 10.6 10.4 10.3

Penutupan Tajuk (%) 83.5 73.8 64.6 58.0 52.6 47.7

Keterbukaan Tajuk (%) 16.5 26.2 35.4 42.0 47.4 52.3 Keterangan : JBN = Jarak bebas naungan


(8)

6

Sifat Fisis

Pertumbuhan yang cepat pada meranti merah diduga mempengaruhi sifat fisis kayu yang dihasilkan. Sifat fisis yang penting dan diperhitungkan dalam aplikasi penggunaan kayu yaitu berat jenis (BJ), kerapatan, kadar air, dan penyusutan. Rata-rata hasil pengujian BJ, kerapatan, dan kadar air tersaji pada Gambar 2. Perlakuan penjarangan dan jarak bebas naungan memberikan pengaruh yang nyata terhadap BJ, kerapatan, dan KA KU (tingkat α = 95%). Interaksi antara kedua faktor juga memberikan pengaruh yang nyata terhadap ketiga parameter yang diuji. Uji lanjut Duncan menunjukkan jarak bebas naungan 7 m menghasilkan kayu dengan nilai BJ yang lebih tinggi dari BJ kayu yang tumbuh pada jarak naungan 10 m dan 13 m, sementara kayu yang tumbuh pada jarak naungan 10 m dan 13 m menghasilkan nilai BJ yang sama. Masing-masing jarak bebas naungan memiliki nilai kerapatan dan KA KU yang berbeda.

Nilai BJ dan kerapatan kayu pada perlakuan penjarangan lebih rendah dari pada kayu tanpa penjarangan, sedangkan semakin lebar jarak bebas naungan nilai BJ dan kerapatan semakin menurun. Penurunan nilai BJ dan kerapatan diduga disebabkan oleh pertumbuhan pohon yang semakin cepat. Menurut Jaakkola et al. (2006), perlakuan penjarangan awal yang intensif secara signifikan meningkatkan pertumbuhan radial pohon dan menurunkan kerapatan kayunya meskipun tidak signifikan. Huang et al. (2012) dan Uner et al. (2009) juga melaporkan intensitas penjarangan yang semakin besar berdampak negatif pada kerapatan kayu yang semakin menurun. Meningkatnya pertumbuhan radial pohon menyebabkan peningkatan diameter sel namun menurunkan tebal dinding sel (Jyske 2008) sehingga massa kayu persatuan volume (kerapatan dan BJ) menjadi semakin kecil. Penurunan kerapatan kayu akibat peningkatan laju pertumbuhan juga terjadi pada kayu subtropis dikarenakan pembentukan kayu awal terjadi lebih cepat dibandingkan kayu akhir (Jaakkola et al. 2006) sehingga proporsi kayu awal terhadap kayu akhir lebih tinggi (Peltola et al. 2007). Kayu awal memiliki kerapatan lebih rendah dibandingkan kayu akhir karena memiliki diameter serat lebih besar dan dinding sel lebih tipis. Kayu meranti merah sebagian besar digunakan sebagai kayu struktural, pertukangan, dan veneer. Penurunan kerapatan dan BJ kayu secara signifikan dapat menurunkan kualitas produk yang dihasilkan. Kegiatan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan secara nyata menurunkan KA KU kayu. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Siarudin dan Marsoem (2007) yang menemukan bahwa semakin lebar jarak tanam menyebabkan KA KU kayu akasia semakin rendah. Hal ini diduga dipengaruhi oleh variasi BJ kayu yang menunjukkan korelasi positif dengan KA KU (koefisien determinasi = 75.14%). Kayu dengan BJ lebih tinggi memiliki proporsi dinding sel yang yang lebih tinggi sehingga mampu menyerap uap air lebih banyak dibandingkan kayu dengan BJ lebih rendah karena sifatnya yang higroskopis. Pada kondisi KA KU atau di bawah kadar air titik jenuh serat (KA TJS), air yang tersisa berada dan berikatan pada dinding sel kayu sehingga semakin tinggi proporsi dinding sel menyebabkan peningkatan air terikat. Kadar air kering udara kayu sangat diperhatikan pada produk-produk olahan kayu (khususnya produk interior) yang diekspor ke tempat-tempat dengan suhu dan kelembapan yang berbeda. Suhu dan kelembapan yang lebih rendah menyebabkan KA KU menurun


(9)

7 14.11 13.75 13.05 13.53 13.07 13.04 12.5 13.0 13.5 14.0 14.5

JBN 7 m JBN 10 m JBN 13 m

K A K U (% ) Tanpa Penjarangan Dilakukan Penjarangan JBN = Jarak bebas naungan

dan penyusutan meningkat. Hal tersebut berpotensi menimbulkan ketidaksesuaian dimensi dan menurunkan kualitas produk kayu.

(a) (b)

(c)

Gambar 2 Sifat fisis (a) kerapatan KU, (b) berat jenis, dan (c) KA KU Penyusutan kayu terjadi akibat proses hilangnya air terikat pada kondisi di bawah titik jenuh serat. Kayu merupakan bahan orthotropis, yaitu mengalami perubahan dimensi yang berbeda pada ketiga arah strukturalnya. Penyusutan terbesar kayu terjadi pada arah tangensial yang diikuti oleh arah radial dan terkecil pada arah longitudinal. Pengukuran penyusutan dilakukan pada kadar air kering udara ke kadar air kering tanur. Rata-rata hasil pengukuran penyusutan ditampilkan pada Gambar 3.

Hasil penelitian menunjukkan perlakuan penjarangan memberikan pengaruh yang nyata terhadap penyusutan pada ketiga arahnya (tingkat α = 95%). Sementara faktor jarak bebas naungan memberikan pengaruh nyata hanya pada penyusutan longitudinal dan radial (tingkat α = 95%). Interaksi antara kedua faktor tidak memberikan pengaruh yang nyata pada ketiga arah penyusutan. Uji lanjut Duncan menunjukkan jarak bebas naungan 13 m memiliki nilai penyusutan longitudinal yang berbeda dibandingkan jarak bebas naungan yang lain. Jarak bebas naungan 7 m memiliki nilai penyusutan radial yang berbeda dibandingkan jarak bebas naungan yang lain sedangkan masing-masing jarak bebas naungan memiliki nilai penyusutan tangensial yang berbeda.

0.494

0.452

0.337 0.311 0.308

0.295 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6

JBN 7 m JBN 10 m JBN 13 m

K e r ap atan K U (gr /c m ³) 0.433 0.398 0.298 0.274 0.272 0.261

0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6

JBN 7 m JBN 10 m JBN 13 m

B e r at Je n is


(10)

8

Gambar 3 Penyusutan kayu (a) arah radial, (b) arah tangensial, dan (c) arah longitudinal

Perlakuan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan menurunkan penyusutan radial dan tangensial. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya variasi kerapatan dan BJ kayu (Gambar 2). Terdapat korelasi positif antara kerapatan kayu dengan penyusutan radial dan tangensial (koefisien determinasi 83.33% dan 65.88%). Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa semakin tinggi kerapatan kayu maka penyusutan pada arah tangensial (Basri dan Rulliaty 2008) dan arah radial semakin besar (Kord et al. 2010).

Hasil yang berbeda ditunjukkan pada penyusutan longitudinal, dimana penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan meningkatkan penyusutan longitudinal. Hal tersebut diduga dipengaruhi oleh faktor kerapatan kayu, microfibril angle (MFA), dan panjang serat. Korelasi negatif ditunjukkan antara kerapatan kayu dengan penyusutan pada arah longitudinal (koefisien determinasi 89.33%). Hasil yang sama dilaporkan oleh Pliura et al. (2005) yang menyatakan bahwa kerapatan kayu poplar hybrid berkorelasi negatif dengan susut longitudinalnya dimana semakin tinggi kerapatan kayu maka penyusutan arah longitudinal semakin rendah. Namun hal yang berlawanan dikemukakan oleh Sadegh et al. (2012) bahwa terdapat korelasi positif antara kerapatan kayu athel (Tamarix aphlylla) dengan penyusutan longitudinalnya.

(a)

(b)

(c) 1.69

1.39 1.29 1.26 1.17 1.04 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5

JBN 7 m JBN 10 m JBN 13 m

P e n yu su ta n ra d ia l (%

) 3.05 3.01 2.97

2.72

2.46 2.51

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5

JBN 7 m JBN 10 m JBN 13 m

P e n yu su ta n t a n gen si a l (% ) 0.12 0.18 0.25 0.26 0.28 0.35 0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 0.35 0.40

JBN 7 m JBN 10 m JBN 13 m

P e n yu su ta n lo n gi tu d in a l (% ) Tanpa Penjarangan Dilakukan Penjarangan JBN = Jarak bebas naungan


(11)

9 Penyusutan longitudinal diduga dipengaruhi oleh variasi panjang serat kayu setelah perlakuan silvikultur (Tabel 3). Pertumbuhan yang cepat akibat perlakuan penjarangan menurunkan panjang serat-seratnya (Jyske 2008). Hubungan panjang serat dengan penyusutan longitudinal menunjukkan korelasi negatif (koefisien determinasi 78.1%). Serat yang semakin pendek menyebabkan jumlah serat pada arah longitudinal kayu semakin banyak sehingga penyusutan individu serat pada arah longitudinal terakumulasi lebih banyak dibandingkan serat-serat yang panjang. Selain itu, faktor MFA juga diduga mempengaruhi variasi penyusutan longitudinal. Semakin tinggi MFA maka penyusutan longitudinal semakin tinggi (Kord et al. 2010). Pertumbuhan yang lebih cepat akibat meningkatnya ketersediaan cahaya, nutrisi, dan air setelah perlakuan silvikultur menyebabkan MFA kayu lebih besar (Lundgren 2004).

Penyusutan pada arah radial selalu lebih kecil dibandingkan pada arah tangensial (Gambar 3). Hal ini karena adanya tahanan oleh struktur jan-jari kayu pada arah radial, penyebaran noktah berbatas lebih banyak pada dinding radial yang menyebabkan jumlah bahan dinding sel pada bidang radial lebih kecil dibanding dinding tangensial, dan karena sudut mikrofibril lebih besar pada dinding radial dibanding dinding tangensial (Pandit dan Rahayu 2007). Menurut Leonardon et al. (2008) penyusutan tidak hanya dipengaruhi oleh susunan matriks pada dinding sel yang berbeda setiap jenis kayu tetapi juga dipengaruhi oleh morfologi sel seperti bentuk dan ketebalan dinding sel. Semakin tebal dinding sel maka penyusutan semakin tinggi. Penyusutan merupakan salah satu faktor yang sangat diperhitungkan dalam proses pengeringan kayu. Semakin besar nilai penyusutan kayu (terutama susut tangensial) maka resiko cacat dalam pengeringan semakin besar sehingga mempengaruhi kualitas produk kayu akhir.

Sifat Mekanis

Pengujian sifat mekanis dilakukan pada kekuatan lentur statis, tekan sejajar serat, kekerasan, dan ketahanan belah. Kekuatan mekanis kayu sangat perlu diperhitungkan dalam aplikasinya sebagai bahan baku yang bersifat struktural. Rata-rata hasil pengujian sifat mekanis dapat dilihat pada Tabel 2.

Modulus of Elasticity (MOE) merupakan kekuatan lentur kayu pada batas proporsi. Kegiatan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan secara nyata menurunkan nilai MOE (tingkat α = 95%). Interaksi antara kedua faktor berpengaruh nyata terhadap nilai MOE. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa jarak bebas naungan 13 m memiliki nilai MOE yang lebih rendah dibandingkan dengan jarak 7 m dan 10 m. Pada jarak bebas naungan 10 m dan 13 m menunjukkan MOE yang sama. Variasi BJ kayu (Gambar 2) diduga mempengaruhi nilai MOE. Terdapat korelasi positif antara BJ dengan MOE (koefisien determinasi 87.8%). Pada umumnya semakin tinggi BJ kayu maka nilai MOE-nya juga semakin tinggi. Menurut Wardani et al. (2011) menyatakan bahwa MOE dan BJ berkorelasi dengan cukup erat pada kayu pangsor dan kecapi.


(12)

10

Tabel 2 Rata-rata kekuatan mekanis kayu meranti merah kondisi kering udara

Modulus patah atau Modulus of Rupture (MOR) menggambarkan kapasitas beban maksimum yang mampu diterima oleh kayu sebelum terjadi kerusakan atau patahan. Perlakuan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan secara nyata menurunkan nilai MOR kayu meranti (tingkat α = 95 %). Interkasi antara kedua faktor berpengaruh nyata terhadap nilai MOR. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa nilai MOR berbeda pada masing-masing jarak bebas naungan. Hasil penelitian (Tabel 2) selaras dengan Zhang et al. (2006) bahwa nilai MOE dan MOR kayu jack pine menurun dengan adanya penjarangan yang intensif. Penurunan MOR disebabkan oleh variasi BJ dan kerapatan kayu yang berkorelasi positif dengan MOR (koefisien determinasi 91.81% dan 91.95%). Zziwa et al. (2006) juga melaporkan bahwa semakin tinggi kerapatan maka MOE dan MOR kayu Celtis mildbraedii semakin tinggi. BJ juga dilaporkan berkorelasi positif terhadap MOE dan MOR kayu meranti merah (Wang dan Wang 1999).

Perlakuan penjarangan dan jarak bebas naungan juga secara nyata menurunkan kekuatan tekan sejajar (tingkat α = 95%) namun interaksi antara kedua faktor tidak berpengaruh nyata terhadap kekuatan tekan sejajar serat. Uji lanjut Duncan menunjukkan jarak bebas naungan 13 m memiliki kekuatan tekan sejajar serat lebih rendah dibanding jarak bebas naungan yang lain (tingkat α = 95%). Faktor variasi BJ (Gambar 2) juga diduga menyebabkan keberagaman kekuatan tekan sejajar serat (Wardani et al. 2011). BJ dan kekuatan tekan sejajar menunjukkan korelasi yang positif (koefisien determinasi 71.83%).

Kekuatan belah merupakan kemampuan kayu untuk menahan gaya-gaya yang berusaha membelah kayu. Pengujian kekuatan belah dilakukan pada bidang radial dan tangensial. Perlakuan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan menurunkan kekuatan belah kayu secara nyata (tingkat α = 95%). Uji lanjut Duncan menunjukkan nilai kekuatan belah yang berbeda pada masing-masing jarak bebas naungan. Hal ini diduga disebabkan oleh penurunan kerapatan maupun BJ kayu.

Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi positif antara kerapatan dan BJ terhadap kekuatan belah radial dan tangensial (koefisien determinasi 74.33% dan 75.12%). Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Zziwa et al. (2006) bahwa semakin tinggi kerapatan kayu maka meningkatkan kekuatan belah pada kayu Celtis mildbraedii. Korkut dan Korkut (2008) juga melaporkan bahwa kerapatan kayu mempengaruhi besarnya kekuatan belah pada kayu Ostrya carpinifolia. Kekuatan belah juga dipengaruhi secara nyata oleh bidang belah (tingkat α = JBN 7 m JBN 10 m JBN 13 m JBN 7 m JBN 10 m JBN 13 m 81161.82 74274.78 59911.63 54647.36 53423.96 49396.30 676.04 643.53 474.62 449.44 371.23 370.48 323.54 322.09 282.01 244.04 225.27 186.46

R 17.27 12.87 10.46 9.76 11.34 9.49

T 19.55 15.57 12.41 13.45 11.80 9.69

Kekerasan R 231.00 227.67 113.67 116.67 109.00 85.00

(kg/cm²) T 260.67 252.67 140.00 127.33 115.33 102.67

Keterangan : JBN = Jarak bebas naungan Tekan // (kg/cm²)

Belah (kg/cm)

Tanpa Penjarangan Dilakukan Penjarangan Kekuatan

MOE (kg/cm² ) MOR (kg/cm²)


(13)

11 95%). Kekuatan belah pada bidang tangensial lebih tinggi dibanding kekuatan belah pada bidang radial. Hal ini karena pada bidang radial terdapat sel jari-jari yang memilki ikatan antar sel lebih lemah. Kekuatan belah yang tinggi sangat baik untuk pembuatan ukir-ukiran (patung), sebaliknya kekuatan belah yang rendah menguntungkan dalam pembutan sirap dan kayu bakar namun merugikan dalam proses pengupasan veneer.

Kekerasan merupakan kemampuan kayu untuk menahan gaya yang akan membuat takik atau lekukan dan kikisan (abrasi) pada permukaan kayu. Kekerasan sisi pada kayu diuji pada bagian radial dan tangensial. Perlakuan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan secara nyata menurunkan sifat kekerasan (tingkat α = 95%). Interaksi antara penjarangan dengan jarak bebas naungan juga berpengaruh nyata terhadap kekerasan. Uji lanjut Duncan menunjukkan nilai kekerasan yang berbeda pada setiap jarak bebas naungan. Penurunan kekerasan diduga akibat adanya penurunan BJ kayu (Gambar 2). Korelasi positif ditunjukkan antara BJ kayu dengan kekerasan sisi bidang radial dan tangensial (koefisian determinasi 78% dan 77.24%). Pengaruh BJ terhadap kekerasan kayu meranti merah juga telah dilaporkan oleh Wang dan Wang (1999). Kekerasan pada bidang tangensial lebih tinggi dibanding pada bidang radial namun tidak berbeda nyata (tingkat α = 95%). Adanya sel jari-jari yang tegak lurus dengan arah tangensial memberikan tahanan terhadap gaya yang datang di bidang tangensial kayu sehingga kekerasan meningkat. Rokeya et al. (2010) melaporkan bahwa kekerasan kayu akasia pada bidang tangensial selalu lebih tinggi dibanding pada bidang radial.

Secara keseluruhan, hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan silvikultur penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan menurunkan kekuatan mekanis kayu yang diuji. Sifat-sifat mekanis kayu Larix olgensis juga menurun seiring dengan adanya peningkatan intensitas penjarangan (Huang et al. 2012). BJ dan kerapatan kayu merupakan faktor utama yang diduga mempengaruhi kekuatan mekanis kayu meranti merah yang diuji.

BJ merupakan salah satu indikator utama yang telah diadopsi oleh berbagai standar seperti PKKI NI-5 1961, Draft RSNI 2002, dan ASTM D245 dalam pendugaan kekuatan kayu (Wardani et al. 2011). Kerapatan kayu juga merupakan prediktor yang sangat baik bagi kekuatan kayu (Kiaei dan Samariha 2011). Kerapatan kayu sangat erat hubungannya dengan kekuatan lentur dan kekuatan tekan kayu. Zziwa et al. (2006) melaporkan bahwa kerapatan kayu berkorelasi positif terhadap semua sifat mekanis yang diuji pada kayu Celtis mildbraedii, Alstonia boonei, Maesopsis eminii, dan Antiaris toxicaria. Secara umum, hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin meningkatnya BJ dan kerapatan menyebabkan peningkatan kekuatan mekanis yang diuji. Kekuatan mekanis kayu juga dipengaruhi oleh morfologi dan dimensi serat. Hasil penelitian Kiaei dan Samariha (2011) menunjukkan adanya korelasi positif antara dimensi serat dengan kekuatan mekanisnya. Kerapatan kayu merupakan fungsi dari faktor tebal dinding sel dan diameter lumen sehingga keduanya selalu berkorelasi dengan kerapatan kayu dan kekuatan kayu (Kiaei dan Samariha 2011).


(14)

12

Sifat Anatomi

Persentase Kayu Teras

Persentase kayu teras menunjukkan intensitas pembentukan kayu teras selama pertumbuhan. Pembentukan kayu teras dipengaruhi oleh jenis pohon, tempat tumbuh, posisi vertikal batang, dan perlakuan silvikultur. Persentase kayu teras setelah perlakuan silvikultur dapat dilihat pada Gambar 4.

Perlakuan penjarangan dan jarak bebas naungan berpengaruh nyata terhadap persentase kayu teras (tingkat α = 95%). Interaksi antara kedua faktor juga menunjukkan pengaruh yang nyata. Uji lanjut Duncan menunjukkan jarak bebas naungan 10 m memiliki persentase kayu teras yang berbeda dengan jarak 7 m dan 13 m.

Hasil penelitian (Gambar 4) menunjukkan bahwa perlakuan penjarangan cenderung menurunkan persentase kayu teras, hal ini diduga karena kondisi pertumbuhan yang lebih baik setelah penjarangan menyebabkan ketersediaan zat hasil fotosintesis meningkat. Peningkatan zat hasil fotosintesis menyebabkan pohon lebih efisien dalam pemanfaatannya untuk pertumbuhan sehingga terjadi penundaan pembentukan kayu teras. Maka dari itu, pohon meranti merah setelah penjarangan diduga lebih efisien dalam pemanfaatan bahan makanan dibanding kayu tanpa penjarangan. Pelebaran jarak bebas naungan pada kayu tanpa penjarangan cenderung menurunkan persentase kayu teras sehingga diduga pelebaran jarak bebas naungan meningkatkan efisiensi pemanfaatan makanan pada pohon. Hal yang berbeda terjadi pada kayu setelah penjarangan dimana semakin lebar jarak bebas naungan cenderung meningkatkan persentase kayu teras. Berdasarkan kondisi tersebut diduga bahwa terdapat kondisi tertentu dimana efisiensi pemanfaatan makanan mencapai optimum sehingga peningkatan bahan makanan secara terus menerus pada akhirnya menurunkan efisiensi pohon.

Gambar 4 Persentase kayu teras setelah perlakuan silvikultur

Gartner (2002) melaporkan bahwa peningkatan luas daun dan tajuk meningkatkan luas bagian kayu gubal dan berbading terbalik terhadap kayu teras pada kayu douglas-fir. Sementara Nawrot et al. (2008) menerangkan bahwa proses pembentukan kayu teras european larch dipengaruhi oleh rasio antara tajuk yang mendapat cahaya dengan tajuk yang teduh. Semakin banyak proporsi daun yang teduh akan menunda pembentukan kayu teras. Perlakuan penjarangan pada

43.08 31.07 37.31 27.97 24.53 34.18 0 10 20 30 40 50

JBN 7 m JBN 10 m JBN 13 m

P e rs e n ta se Ka yu T e ra s (% ) Tanpa Penjarangan Dilakukan Penjarangan JBN = Jarak bebas naungan


(15)

13 meranti merah yang diuji diduga meningkatkan volume tajuk, luas daun, dan persentase daun yang teduh sehingga menurunkan persentase bagian kayu teras. Hasil yang berbeda dilaporkan DeBell dan Lachenbruch (2009) bahwa persentase kayu teras western redcedar meningkat dengan meningkatnya jarak tanam meskipun tidak signifikan. Ukuran diameter tidak menunjukkan korelasi terhadap proporsi kayu teras dan gubal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pikk et al. (2006) bahwa tidak terdapat korelasi antara rasio kayu teras scots pine dengan diameter dan tinggi pohonnya.

Persentase kayu teras erat kaitannya dengan keawetan kayu. Persentase kayu teras yang tinggi lebih menguntungkan dalam pembuatan produk olahan kayu karena kayu teras memiliki ketahanan terhadap serangga dan jamur perusak kayu yang lebih baik dibandingkan dengan kayu gubal. Namun tidak semua bagian kayu teras memilki keawetan alami yang sama karena adanya kayu juvenil. Kayu juvenil yang terdapat di dalam kayu teras memilki keawetan alami yang lebih rendah dibandingkan kayu yang lebih dewasa, hal ini karena pada kayu juvenil memiliki komponen fenolik dan flavonoid yang lebih rendah dibandingkan kayu juvenil (Latorraca et al. 2011). Sebaliknya persentase kayu teras yang tinggi kurang menguntungkan dalam industri pengeringan karena menurunkan laju pengeringan kayu (Berberovic dan Milota 2012).

Dimensi Serat

Dimensi serat merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi sifat fisis dan mekanis kayu. Pengukuran dimensi serat dilakukan pada panjang serat, diameter serat, diameter lumen, dan tebal dinding sel. Rata-rata hasil pengujian dimensi serat tersaji pada Tabel 3.

Tabel 3 Rata-rata dimensi serat setelah perlakuan silvikultur

Hasil pengujian menunjukkan bahwa perlakuan penjarangan dan jarak bebas naungan berpengaruh nyata terhadap panjang serat, diameter serat, diameter lumen, dan dinding sel serat pada (tingkat α = 95%). Interaksi antara kedua faktor juga berpengaruh nyata terhadap panjang serat, diameter serat, dan diameter lumen namun tidak berpengaruh nyata terhadap tebal dinding sel serat (tingkat α = 95%). Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa jarak bebas naungan 13 m dan 10 m memiliki panjang serat, diameter serat, dan diameter lumen yang berbeda dibandingkan jarak bebas bebas naungan 7 m. Jarak bebas naungan 13 m dan 10 m tidak menunjukkan nilai panjang serat, diameter serat, dan diameter lumen yang berbeda. Tebal dinding sel memilki nilai yang berbeda pada masing-masing jarak bebas naungan.

Hasil penelitian (Tabel 3) menunjukkan bahwa perlakuan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan menurunkan panjang serat dan tebal dinding serat namun meningkatkan diameter serat dan diameter lumen. Hasil studi Jyske (2008) JBN 7 m JBN 10 m JBN 13 m JBN 7 m JBN 10 m JBN 13 m Panjang (µm) 1081.68 968.94 954.59 949.32 948.46 929.31 Diameter serat (µm) 24.61 22.10 24.72 30.12 31.05 37.67 Diameter lumen (µm) 11.59 10.64 14.82 19.44 22.23 29.02

Tebal dinding (µm) 6.51 5.73 4.95 5.25 4.57 4.36

Keterangan: JBN = Jarak bebas naungan

Tanpa Penjarangan Dilakukan Penjarangan Dimensi Serat


(16)

14

juga menemukan bahwa penjarangan intensif pada kayu spruce menyebabkan penurunan panjang sel trakeida dan tebal dinding selnya. Pertumbuhan yang lebih cepat meningkatkan proporsi kayu juvenil yang memiliki diameter sel yang lebih lebar, dinding sel yang lebih tipis, dan serat yang lebih pendek dibanding kayu dewasa (Lundgren et al. 2004).

Kiaei dan Samariha (2011) melaporkan bahwa terdapat korelasi positif antara dimensi serat (panjang serat, diameter serat, dan tebal dinding serat) dengan kerapatan dan kekuatan mekanis kayu sedangkan diameter lumen berkorelasi negatif dengan kerapatan dan kekuatan mekanis kayu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai kerapatan berkorelasi positif dengan panjang serat dan tebal dinding serat (koefisien determinasi 72.31% dan 86.48%) namun berkorelasi negatif dengan diameter serat dan diameter lumen (koefisien determinasi 56.38% dan 68.31%).

Sifat Kimia

Komponen Kimia Kayu Non-struktural

Komponen kimia kayu non-struktural merupakan komponen minoritas dan bukan penyusun utama dinding sel kayu yang terdiri zat ekstraktif dan kadar abu. Terdapat berbagai jenis senyawa penyusun zat ekstraktif dan memilki kelarutan yang berbeda-beda terhadap beberapa jenis pelarut. Kelarutan alkohol-benzena mengekstrak sebagian substansi fenolik (fraksi lignin, sterol, tanin, plobapen), beberapa asam organik (asam resin, asam amino, asam vanilik, asam siringik), dan bahan lain seperti pigmen serta siringildehida. Kelarutan air panas mengekstrak garam anorganik, oligisakarida, gula, siklosa, siklitol dan penolik. Kelarutan NaOH 1% mengekstrak sebagian asam lemak, lilin, resin, minyak essensial, lignin, dan hemiselulosa (Chow et al. 2008). Rata-rata hasil pengujian komponen kimia kayu non-struktural dapat dilihat pada Tabel 4.

Perlakuan penjarangan dan jarak bebas naungan tidak berpengaruh nyata terhadap kelarutan kayu dalam etanol-benzena (tingkat α = 95%). Bagian kayu gubal dan teras menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap kelarutan dalam etanol-benzena (tingkat α = 95%). Interaksi antara faktor penjarangan dengan bagian kayu dan antara faktor jarak bebas naungan dengan bagian kayu menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap kelarutan etanol-benzena. Interaksi antara ketiga faktor tidak memberikan pengaruh yang nyata.

Perlakuan penjarangan, jarak bebas naungan, dan bagian kayu menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap kelarutan air panas (tingkat α = 95%). Interaksi antara penjarangan dengan jarak bebas naungan, penjarangan dengan bagian kayu, dan antara jarak bebas naungan dengan bagian kayu memberikan pengaruh yang nyata namun interaksi ketiga faktor tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap kelarutan kayu dalam air panas (tingkat α = 95%). Uji lanjut Duncan menunjukkan jarak bebas naungan 7 m dan 13 m memiliki nilai kelarutan air panas yang berbeda dengan jarak bebas naungan 10 m sedangkan jarak bebas 7 m dengan 13 m memiliki nilai yang sama.

Kelarutan air dingin dipengaruhi secara nyata oleh faktor penjarangan dan bagian kayu namun tidak dipengaruhi oleh jarak bebas naungan (tingkat α = 95%). Interaksi antara ketiga faktor juga tidak menunjukkan pengaruh yang nyata. Kadar ekstraktif pada kelarutan air panas lebih tinggi dibandingkan air dingin karena


(17)

15 fraksi senyawa karbohidrat yang terlarut lebih banyak dari kadar kelarutan air dingin (Lukmandaru 2009).

Tabel 4 Rata-rata kadar ekstraktif dan kadar abu kayu

Kelarutan kayu pada NaOH 1% tidak dipengaruhi secara nyata oleh penjarangan pohon namun dipengaruhi secara nyata oleh faktor jarak bebas naungan dan bagian pohon (tingkat α = 95%). Interaksi antara faktor penjarangan dengan jarak bebas naungan dan interaksi antara ketiga faktor memberikan pengaruh yang nyata. Interaksi antara faktor bagian kayu dengan jarak bebas naungan dan interaksi antara penjarangan dengan bagian kayu tidak berpengaruh nyata terhadap kelarutan kayu dalam NaOH 1%. Uji lanjut Duncan menunjukkan nilai kelarutan air dingin dan NaOH 1% yang berbeda pada masing-masing jarak bebas naungan.

Secara umum hasil penelitian (Tabel 4) menunjukkan kadar ekstraktif dalam berbagai kelarutan pada bagian kayu teras lebih tinggi dibandingkan kayu gubal. Hasil tersebut sesuai studi Morais dan Pereira (2012), Ekeberg et al. (2006), serta Haroen dan Dimyati (2006) yang menyatakan bahwa kadar ekstraktif pada bagian kayu teras lebih tinggi dari pada bagian kayu gubal. Hal ini karena kayu teras tersusun dari jaringan yang sudah tidak aktif dan merupakan tempat menumpuk zat-zat sisa metabolisme yang tersimpan dalam bentuk zat ekstraktif. Kadar ekstraktif pada kayu teras dengan perlakuan penjarangan menunjukkan hasil yang lebih rendah dibandingkan kayu tanpa penjarangan. Sementara itu, kadar ekstraktif pada kayu gubal dengan perlakuan penjarangan lebih tinggi dari pada kayu tanpa penjarangan.

Kadar ekstraktif pada kayu teras cenderung mengalami penurunan dengan meningkatnya jarak bebas naungan, sedangkan kadar ekstraktif pada kayu gubal mengalami peningkatan dengan meningkatnya jarak bebas naungan. Perlakuan silvikultur mempengaruhi tingkat penyimpanan energi pada batang, dan material tersebut pada akhirnya digunakan pada pembentukan ekstraktif kayu teras (Taylor et al. 2006). Kayu gubal tersusun dari jaringan kayu yang masih aktif sebagai transportasi material pertumbuhan. Pertumbuhan yang lebih cepat diduga meningkatkan kandungan material hasil metabolisme pada kayu gubal dan memperlambat pembentukan ekstraktif pada kayu teras sehingga perlakuan JBN 7 m JBN 10 m JBN 13 m JBN 7 m JBN 10 m JBN 13 m

Gubal 2.22 2.20 2.37 2.73 2.95 2.86

Teras 5.66 5.27 5.00 4.83 4.63 4.61

Gubal 2.38 2.19 3.01 3.03 3.00 3.13

Teras 4.83 3.96 4.80 4.68 4.53 4.35

Gubal 1.56 1.46 2.05 1.99 2.68 2.58

Teras 3.10 2.83 2.13 3.14 3.13 3.10 Gubal 12.43 10.34 13.03 11.27 11.37 12.42 Teras 18.31 13.19 18.07 14.92 17.82 16.33

Gubal 0.31 0.29 0.39 0.53 0.47 0.42

Teras 0.31 0.28 0.15 0.37 0.22 0.23 Air Dingin (%)

NaOH 1 % (%)

Kelarutan Kayu Tanpa Penjarangan Penjarangan

Keterangan: JBN = Jarak bebas naungan Etanol-benzena (%)

Air Panas (%)


(18)

16

silvikultur (penjarangan dan jarak bebas naungan) meningkatkan kandungan ekstraktif pada kayu gubal dan menurunkan kandungan ekstraktif pada kayu teras. Kadar ekstraktif yang tinggi pada kayu tidak disukai pada pembuatan produk komposit serta pulp dan kertas. Selain itu ekstraktif yang tinggi juga meningkatkan laju keausan secara kimia pada pisau pengerjaan (Darmawan dan Alipraja 2010).

Abu kayu merupakan sisa pembakaran bahan penyusun kayu pada suhu 575±25 ˚C yang terdiri dari substansi anorganik seperti kalsium oksida (CaO), Silika (SiOƀ), aluminia (AlƀOƁ), iron oksida (FeƀOƁ), dan magnesium oksida (Al-Mefarrej et al. 2011). Perlakuan penjarangan, jarak bebas naungan, dan bagian kayu berpengaruh nyata terhadap kadar abu (tingkat α = 95%). Interaksi antara ketiga faktor secara parsial maupun bersama-sama juga memberikan pengaruh yang nyata. Uji lanjut Duncan menunjukkan nilai kadar abu pada jarak bebas naungan 10 m dan 13 m berbeda dengan jarak bebas naungan 7 m sedangkan nilai pada jarak bebas naungan 10 m dan 13 m tidak menunjukkan hasil yang berbeda. Secara umum kadar abu pada kayu gubal lebih tinggi dari pada kayu teras. Hal ini karena kayu gubal tersusun dari jaringan kayu yang masih aktif dalam perkembangan batang dan juga sebagai transportasi nutrisi dan mineral-mineral yang dibutuhkan sehingga memiliki kandungan bahan-bahan anorganik yang lebih tinggi dibandingkan kayu teras yang tersusun dari jaringan yang sudah tidak aktif. Kadar abu pada kayu yang dilakukan penjarangan lebih tinggi dari pada kayu tanpa penjarangn. Perlakuan penjarangan menyebabkan jarak tanam menjadi lebih lebar dan menurunkan tingkat persaingan antar pohon sehingga jumlah bahan mineral yang diserap tanaman lebih banyak untuk mendukung proses metabolisme dan pertumbuhan yang lebih tinggi. Penyerapan hara mineral yang lebih tinggi meningkatkan kadar abu dalam kayu. Jarak tanam yang semakin lebar juga dilaporkan meningkatkan kadar abu kayu Leucaena leucocephala (Al-Mefarrej et al. 2011).

Komponen Kimia Kayu Struktural

Komponen kimia kayu struktural merupakan komponen utama penyusun dinding sel kayu. Komponen kimia kayu struktural dapat dilihat pada Tabel 5.

Perlakuan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan tidak mempengaruhi kadar lignin kayu meranti merah (tingkat α = 95%). Hasil ini sesuai dengan penelitian Uner et al. (2009) pada kayu pinus nigra bahwa perlakuan penjarangan tidak mempengaruhi kadar lignin secara signifikan terutama pada saat umur pohon masih muda. Interaksi antara ketiga faktor tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap kadar lignin. Bagian kayu gubal dan teras menunjukkan kadar lignin yang berbeda nyata (tingkat α = 95%). Kayu teras memiliki kadar lignin lebih tinggi dibanding kayu gubal. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Latorraca et al. (2011), Haroen dan Dimyati (2006), dan Gao et al. (2011). Tingginya kadar lignin pada kayu teras dapat disebabkan karena kayu teras mengandung senyawa fenolik yang tinggi yang sulit untuk dipisahkan dari lignin murni (Latorraca et al. 2011). Namun demikian kadar lignin pada kayu teras yang telah dewasa lebih tinggi dibandingkan pada kayu juvenil (Latorraca et al. 2011). Kayu teras diduga lebih banyak mengalami proses penumpukan hasil metabolisme dan pembentukan polimer lignin. Lignin pada umumnya banyak terdapat pada lamella tengah dan dinding primer pada serat yang berfungsi


(19)

17 sebagai perekat antar serat sehingga lignin pada kayu juga berfungsi untuk mendukung kekuatan mekanis batang. Menurut Al-Mefarrej et al. (2011) salah satu fungsi lignin adalah untuk memberikan kekakuan dinding sel dan kekakuan batang.

Tabel 5 Rata-rata kandungan komponen kimia kayu struktural

Kadar holoselulosa tidak dipengaruhi secara nyata oleh perlakuan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan (tingkat α = 95%). Kadar holoselulosa dipengaruhi secara nyata oleh bagian kayu. Kayu teras memilki rata-rata kadar holoselulosa yang lebih rendah dibanding bagian kayu gubal. Hal serupa juga disampaikan oleh Gao et al. (2011) bahwa kayu gubal memiliki kandungan holoselulosa lebih tinggi dibandingkan kayu teras pada kayu Cedrus deodora. Interaksi antara ketiga faktor tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap kadar holoselulosa (tingkat α = 95%).

Kadar alfa selulosa dan kadar hemiselulosa kayu meranti merah tidak dipengaruhi secara nyata oleh faktor penjarangan, pelebaran jarak bebas naungan, dan bagian kayu (tingkat α = 95%). Interaksi antara ketiga faktor juga tidak berpengaruh terhadap kadar alfa selulosa dan hemiselulosa. Hasil penelitian ini berbeda dengan Al-Mefarrej et al. (2011) dan Gao et al. (2011) yang menyatakan bahwa kandungan selulosa dan hemiselulosa kayu dengan jarak tanam yang lebar menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan jarak tanam yang rapat. Kedua perlakuan silvikultur tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap komponen kimia kayu struktural (lignin, selulosa, dan hemiselulosa). Kecepatan pertumbuhan sel kayu akibat penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan diduga tidak mempengaruhi kuantitas pembentukan dan komposisi polimer selulosa, hemiselulosa, dan lignin pada dinding sel kayu meranti merah.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Perlakuan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan secara signifikan menurunkan tutupan tajuk serta meningkatkan diameter dan TBC, sementara tinggi total hanya dipengaruhi oleh penjarangan. Perlakuan penjarangan dan

Komponen Kimia JBN 8 m JBN 10 m JBN 12 m JBN 8 m JBN 10 m JBN 12 m

Gubal 31.16 31.73 32.57 31.63 31.59 30.83

Teras 34.23 33.26 32.92 33.87 33.86 33.92

Gubal 68.14 69.76 69.43 68.95 68.53 69.46

Teras 66.77 68.12 68.81 67.59 67.65 67.68

Gubal 40.65 42.51 42.87 41.30 41.63 42.48

Teras 40.44 42.48 40.60 40.77 41.80 41.38

Gubal 27.49 27.26 26.56 27.65 26.90 26.98

Teras 26.33 25.64 28.22 26.81 25.86 26.30

Keterangan: JBN = Jarak bebas naungan Holoselulosa (%)

Alfa Selulosa (%)

Hemiselulosa (%)

Tanpa Penjarangan Penjarangan


(20)

17 sebagai perekat antar serat sehingga lignin pada kayu juga berfungsi untuk mendukung kekuatan mekanis batang. Menurut Al-Mefarrej et al. (2011) salah satu fungsi lignin adalah untuk memberikan kekakuan dinding sel dan kekakuan batang.

Tabel 5 Rata-rata kandungan komponen kimia kayu struktural

Kadar holoselulosa tidak dipengaruhi secara nyata oleh perlakuan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan (tingkat α = 95%). Kadar holoselulosa dipengaruhi secara nyata oleh bagian kayu. Kayu teras memilki rata-rata kadar holoselulosa yang lebih rendah dibanding bagian kayu gubal. Hal serupa juga disampaikan oleh Gao et al. (2011) bahwa kayu gubal memiliki kandungan holoselulosa lebih tinggi dibandingkan kayu teras pada kayu Cedrus deodora. Interaksi antara ketiga faktor tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap kadar holoselulosa (tingkat α = 95%).

Kadar alfa selulosa dan kadar hemiselulosa kayu meranti merah tidak dipengaruhi secara nyata oleh faktor penjarangan, pelebaran jarak bebas naungan, dan bagian kayu (tingkat α = 95%). Interaksi antara ketiga faktor juga tidak berpengaruh terhadap kadar alfa selulosa dan hemiselulosa. Hasil penelitian ini berbeda dengan Al-Mefarrej et al. (2011) dan Gao et al. (2011) yang menyatakan bahwa kandungan selulosa dan hemiselulosa kayu dengan jarak tanam yang lebar menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan jarak tanam yang rapat. Kedua perlakuan silvikultur tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap komponen kimia kayu struktural (lignin, selulosa, dan hemiselulosa). Kecepatan pertumbuhan sel kayu akibat penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan diduga tidak mempengaruhi kuantitas pembentukan dan komposisi polimer selulosa, hemiselulosa, dan lignin pada dinding sel kayu meranti merah.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Perlakuan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan secara signifikan menurunkan tutupan tajuk serta meningkatkan diameter dan TBC, sementara tinggi total hanya dipengaruhi oleh penjarangan. Perlakuan penjarangan dan

Komponen Kimia JBN 8 m JBN 10 m JBN 12 m JBN 8 m JBN 10 m JBN 12 m

Gubal 31.16 31.73 32.57 31.63 31.59 30.83

Teras 34.23 33.26 32.92 33.87 33.86 33.92

Gubal 68.14 69.76 69.43 68.95 68.53 69.46

Teras 66.77 68.12 68.81 67.59 67.65 67.68

Gubal 40.65 42.51 42.87 41.30 41.63 42.48

Teras 40.44 42.48 40.60 40.77 41.80 41.38

Gubal 27.49 27.26 26.56 27.65 26.90 26.98

Teras 26.33 25.64 28.22 26.81 25.86 26.30

Keterangan: JBN = Jarak bebas naungan Holoselulosa (%)

Alfa Selulosa (%)

Hemiselulosa (%)

Tanpa Penjarangan Penjarangan


(21)

18

pelebaran jarak bebas naungan secara nyata menurunkan BJ, kerapatan, dan KA kering udara serta mempengaruhi penyusutan pada ketiga arah susutnya. MOE, MOR, kekuatan tekan sejajar serat, kekuatan belah, dan kekerasan sisi secara nyata juga mengalami penurunan dengan adanya penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan.

Penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan cenderung menurunkan persentase kayu teras serta menurunkan panjang serat dan tebal dinding serat namun meningkatkan diameter serat dan diameter lumennya. Secara umum perlakuan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan menurunkan kadar ekstraktif pada kayu teras, namun meningkatkan kadar ekstraktif pada kayu gubal dan kadar abu. Kadar lignin, holoselulosa, alfa selulosa, dan hemiselulosa tidak dipengaruhi secara nyata oleh perlakuan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan

Saran

Berdasarkan hasil penelitian, lebar jalur bebas naungan yang optimal pada sistem TPTJ agar diperoleh pertumbuhan serta kualitas kayu yang baik yaitu tidak lebih dari 10 m. Perlu dilakukan penelitian terkait intensitas penjarangan yang tepat agar kualitas kayu tidak mengalami penurunan yang signifikan.

DAFTAR PUSTAKA

Abohassan A, Tewfik SFA, Wakei AOE. 2010. Effect of thinning on the above ground giomass of (Conocarpus erectus L.) trees in the western region of Saudi Arabia. JKAU: Met., Env. & Arid Land Agric. Sci. 21 (1): 3-17. Al-Mefarrej HA, Abdel-Aal MA, Nasser RA, Shetta ND. 2011. Impact of initial

tree spacing and height level on chemical compotition of Leucaena leucocephala trees grown in Riyadh region. Wood Applied Sciences Journal 12 (7): 912-918.

Basri E, Rulliaty S. 2008. Pengaruh sifat fisik dan anatomi terhadap sifat pengeringan enam jenis kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 26 (3): 253-262.

Berberovic A, Milota MR. 2012. Impact of wood variability on the drying rate at different moisture content levels. Forest Pruducts Journal 61 (6): 435-442. Brown PL, Doley D, Keenan RJ. 2004. Stem and crown dimensions as predictors

of thinning respones in a crowded tropical rainforest plantation of Flindersia brayleyana F. Muell. Journal of Forest and Management 196 (2004): 379-392.

Browning BL. 1967. Methods of Wood Chemistry. New York: Interscience Publ. Cao T, Valsta L, Härkönen S, Saranpää, Mäkelä A. 2008. Effects of thinning and

fertilization on wood properties and economic returns for norway spruce. Journal of Forest Ecology and Management 256 (2008): 1280-1289.


(22)

PENGARUH PENJARANGAN DAN PELEBARAN JARAK

NAUNGAN TERHADAP SIFAT DASAR KAYU MERANTI

MERAH

MUNAWAR SUKOWATI

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(23)

18

pelebaran jarak bebas naungan secara nyata menurunkan BJ, kerapatan, dan KA kering udara serta mempengaruhi penyusutan pada ketiga arah susutnya. MOE, MOR, kekuatan tekan sejajar serat, kekuatan belah, dan kekerasan sisi secara nyata juga mengalami penurunan dengan adanya penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan.

Penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan cenderung menurunkan persentase kayu teras serta menurunkan panjang serat dan tebal dinding serat namun meningkatkan diameter serat dan diameter lumennya. Secara umum perlakuan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan menurunkan kadar ekstraktif pada kayu teras, namun meningkatkan kadar ekstraktif pada kayu gubal dan kadar abu. Kadar lignin, holoselulosa, alfa selulosa, dan hemiselulosa tidak dipengaruhi secara nyata oleh perlakuan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan

Saran

Berdasarkan hasil penelitian, lebar jalur bebas naungan yang optimal pada sistem TPTJ agar diperoleh pertumbuhan serta kualitas kayu yang baik yaitu tidak lebih dari 10 m. Perlu dilakukan penelitian terkait intensitas penjarangan yang tepat agar kualitas kayu tidak mengalami penurunan yang signifikan.

DAFTAR PUSTAKA

Abohassan A, Tewfik SFA, Wakei AOE. 2010. Effect of thinning on the above ground giomass of (Conocarpus erectus L.) trees in the western region of Saudi Arabia. JKAU: Met., Env. & Arid Land Agric. Sci. 21 (1): 3-17. Al-Mefarrej HA, Abdel-Aal MA, Nasser RA, Shetta ND. 2011. Impact of initial

tree spacing and height level on chemical compotition of Leucaena leucocephala trees grown in Riyadh region. Wood Applied Sciences Journal 12 (7): 912-918.

Basri E, Rulliaty S. 2008. Pengaruh sifat fisik dan anatomi terhadap sifat pengeringan enam jenis kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 26 (3): 253-262.

Berberovic A, Milota MR. 2012. Impact of wood variability on the drying rate at different moisture content levels. Forest Pruducts Journal 61 (6): 435-442. Brown PL, Doley D, Keenan RJ. 2004. Stem and crown dimensions as predictors

of thinning respones in a crowded tropical rainforest plantation of Flindersia brayleyana F. Muell. Journal of Forest and Management 196 (2004): 379-392.

Browning BL. 1967. Methods of Wood Chemistry. New York: Interscience Publ. Cao T, Valsta L, Härkönen S, Saranpää, Mäkelä A. 2008. Effects of thinning and

fertilization on wood properties and economic returns for norway spruce. Journal of Forest Ecology and Management 256 (2008): 1280-1289.


(24)

19 Darmawan W, Alipraja I. 2010. Karakteristik aus pisau pengerjaan kayu karena pengaruh ekstraktif dan bahan abrasif yang terdapat pada kayu dan komposit kayu. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 3 (1): 32-37.

DeBell JD, Lachenbruch. 2009. Heartwood/sapwood variation of western redcedar as influenced by cultural treatments and position in tree. Journal of Forest Ecology and Management 258 (2009): 2026-2032.

Ekeberg D, Flaete PO, Eikenes M, Fongen M, Andresen CFN. 2006. Qualitative and quantitative determination of extractives in hearthwood of scots pine (Pinus sylvestris L.) by gas chromatography. Journal of Chromatography A. 1109 (2006): 267-272.

Gao H, Zhang L, Liu S. 2011. Comparison of KP pulping properties between hearthwood and sapwood of Cedrus deodora (Roxb.). G. Don. Applied Mechanics and Materials 55-57 (2011): 1778-1784.

Gartner BL. 2002. Sapwood and inner bark quantities in relation to leaf area and wood density in douglas-fir. IAWA Journal 23 (3): 267-285.

Goncalves JLM, Stape JL, Laclau JP, Smethurst P, Gava JL. 2004. Silvicultural effects on the productivity and wood quality of eucalypt plantations. Journal of Forest Ecology and Management 193 (2004): 45-61.

Haroen WK, Dimyati F. 2006. Sifat kayu tarik, teras dan gubal Acacia mangium terhadap karakteristik pulp. Jurnal BB 41(1): 1-7.

Huang S, Wang BJ, Lu J, Dai C, Lei Y, Sun X. 2012. Charaterizing changbai larch trough veneering. Part 1: Effect of stand density. Journal of Bio Research 7 (2): 2444-2460.

Jyske Tuula. 2008. The effects of thinning and fertilisation on wood and tracheid properties of norway spruce (Picea abies) – The results of long-term experiments. [Dissertation]. Helsinki: Faculty of Agriculture and Forestry University of Helsinki.

Kammesheidt L, Dagang AA, Schwarzwäller W, Weidelt HJ. 2003. Growth patterns of dipterocarps in treated and untreated plots. Journal of Forest Ecology and Management 174 : 437-445.

Kiaei M, Samariha A. 2011. Fiber dimensions, physical and mechanical properties of five important hardwood plants. Indian Journal of Science and Technology 4 (11) 1460-1463.

Kord B, Kialashaki A, Kord B. 2010. The within-tree variation in wood density and shrinkage, and their relationship in Populus euramericana. Turk J. Agric. For 34 (2010): 121-126.

Korkut DS, Korkut S. 2008. Determination of the shear and cleavage strengths of european hophornbeam (Ostrya carpinifolia Scop.) wood. Journal of Science and Technology 2 (1): 131-137.

Latorraca JFC, Dunisch O, Koch G. 2011. Chemical composition and natural durability of juvenile and mature heartwood of Robinia pseudoacacia L. An Acad Bras Cienc 83(3): 1059-1068.

Leonardon M, Altaner CM, Vihermaa L, Jarvis MC. 2009. Wood shrinkage: Influence of anatomy, cell wall architecture, chemical composition and cambial age. Eur. J. Wood Prod (2009) 00: 1-8.

Lukmandaru G. 2009. Sifat kimia dan warna kayu teras jati pada tiga umur berbeda. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 7 (1): 1-7.


(25)

20

Lundgren C. 2004. Cell wall thickness and tangential and radial cell diameter of fertilized and irrigated norway spruce. Silva Fennica 38(1): 95–106.

_________, 2004. Microfibril angle and density patterns of fertilized and irrigated norway spuce. Silva Fennica 38(1): 107-117.

Mawazin, Suhaendi H. 2011. Kajian pertumbuhan tanaman pada sistem silvikultur tebang pilih tanam indonesia intensif (TPTII) di Kalimantan Tengah. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 8 (3) : 253-261.

Mindawati N, Tiryana T. 2002. Pertumbuhan jenis pohon Khaya anthotheca di Jawa Barat. Bulletin Penelitian Hutan No. 632: 47-58.

Morais MC, Pereira. 2012. Variation of extractives content in hearthwood and sapwood of Eucalyptus globulus trees. Wood Sci. Technol 46 (2012): 709-719.

Nawrot M, Pazdrowski W, Szymanski M. 2008. Dynamics of heartwood formation and axial and radial distribution of sapwood and heartwood in stems of european larch (Larix decidua Mill.). Journal of Forest Science 54 (9) : 409-417.

Pamoengkas P. 2006. Kajian aspek vegetasi dan kualitas tanah sistem silvikultur tebang pilih tanam jalur (Studi kasus di areal HPH PT. Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. _________, Prayogi J. 2011. Pertumbuhan meranti merah (Shorea leprosula Miq)

dalam sistem silvikultur tebang pilih tanam jalur (Studi kasus di areal IUPHHK-HA PT. Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah). Jurnal Silvikultur Tropika 02 (1) : 9-13.

Pandit IKN, Rahayu IS. 2007. Ultra-struktur kayu damar (Agathis lorantifolia Salisb.) dalam hubungannya dengan sifat fisis kayu. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 5(1): 1-6.

Picchio R, Neri F, Maesano M, Savelli S, Sirna A, Blasi S, Baldini, Marchi E. 2011. Growth effects of thinning damage in a corsican pine (Pinus laricio Poiret) stand in Central Italy. Forest Ecology and Management 262 (2011): 237-243.

Pikk J, Kask R, Peterson P. 2006. The wood quality of fertilized scots pine (Pinus sylvestris L.) stands on vaccinium vitis-idaea and cladonia site type. Metsanduslikud Uurimused 44: 9-19.

Pinkard EA, Neilsen WA. 2003. Crown and stand characteristics of Eucalyptus nitens in response to initial spacing: Implications of thinning. Journal of Forest Ecology and Management 172 (2003): 215-227.

Pliura A, Yu Q, Zhang SY, Mackay J, Pierre P, Bousquet J. 2005. Variation in wood density and shrinkage and their relationship to growth young poplar hybrids crosses. Forest Sci J 51: 472-482.

Raiskila S, Pulkkinen M, Laakso T, Fagerstedt K, Löija M, Mahlberg R, Paajanen L, Ritschkoff AC, Saranpää P. 2007. FTIR spectroscopic prediction of klason and acid soluble lignin variation in norway spruce cutting clones. Silva Fennica 41(2): 351-371.

Rokeya UK, Hossain MA, Ali R, Paul SP. 2010. Physical and mechanical properties of (Acacia auriculiformis x A. mangium) hybrid acacia. Journal of Bangladesh Academy of Sciences 34 (2): 181-187.


(26)

21 Sadegh AN, Kiaei M, Samariha A. 2012. Experimental characterization of shrinkage and density of Tamarix aphylla wood. Cellulose Chem. Technol 46 (5-6): 369-373.

Siarudin, Marsoem. 2007. Karakteristik dan variasi sifat fisik kayu mangium pada beberapa jarak tanam dan kedudukan aksial-radial. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan 1(1): 1-11.

Sukendro A, Sugiarto E. 2012. Respon pertumbuhan anakan Shorea leprosula Miq, Shorea mecistopteryx Ridley, Shorea ovalis (Korth) Blume dan Shorea selanica (DC) Blume terhadap tingkat intensitas cahaya matahari. Jurnal Silvikultur Tropika 03 (01): 22-27.

Taylor AM, Barbara, Gartner, Morrel JJ. 2003. Co-incident variations in growth rate and heartwood extractive concentration in douglas-fir. Journal of Forest and Management 186 (2003): 257-260.

_________, Gartner BL, Morrell JJ. 2006. Western redcedar extractives: Is ther a role for the silviculturist? Forest Products Journal 56 (3): 58-63.

Uner B, Oyar O, Var AA, Altnta OL. 2009. Effect of thinning on density of Pinus nigra tree using X-ray computed tomography. Journal of Environmental Biology 30 (3) 359-362.

Wang HL, Wang SY.1999. Effect of moisture content and specific gravity on static bending properties and hardness of six wood species. Journal of Wood Science 45 (2) 127-133.

Wardani L, Bahtiar ET, Sulastiningsih IM, Darwis A, Karlinasari L, Nugroho N, Surjokusumo S. 2011. Kekuatan tekan dan poisson kayu pangsor ( Ficus callosa Willd) dan kecapi (Sandoricum kucape Merr). Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 4(1): 1-7.

Zhang SY, Chauret G, Swift E, Duchesne I. 2006. Effects of precommercial thinning on tree growth and lumber quality in a jack pine stand in New Brunswick, Canada. Can. J. For. Res. 36 : 945-952.

Zziwa A, Kaboggoza JRS, Mwakali JA, Banana AY, Kyeyune RK. 2006. Physical and mechanical properties of some less utilised tropical timber tree species growing in Uganda. Uganda Journal of Agriculturel Science 12(1): 29-37.


(27)

PENGARUH PENJARANGAN DAN PELEBARAN JARAK

NAUNGAN TERHADAP SIFAT DASAR KAYU MERANTI

MERAH

MUNAWAR SUKOWATI

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(28)

(29)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Penjarangan dan Pelebaran Jarak Naungan terhadap Sifat Dasar Kayu Meranti Merah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2013 Munawar Sukowati NIM E24080040


(1)

17 sebagai perekat antar serat sehingga lignin pada kayu juga berfungsi untuk mendukung kekuatan mekanis batang. Menurut Al-Mefarrej et al. (2011) salah satu fungsi lignin adalah untuk memberikan kekakuan dinding sel dan kekakuan batang.

Tabel 5 Rata-rata kandungan komponen kimia kayu struktural

Kadar holoselulosa tidak dipengaruhi secara nyata oleh perlakuan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan (tingkat α = 95%). Kadar holoselulosa dipengaruhi secara nyata oleh bagian kayu. Kayu teras memilki rata-rata kadar holoselulosa yang lebih rendah dibanding bagian kayu gubal. Hal serupa juga disampaikan oleh Gao et al. (2011) bahwa kayu gubal memiliki kandungan holoselulosa lebih tinggi dibandingkan kayu teras pada kayu Cedrus deodora. Interaksi antara ketiga faktor tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap kadar holoselulosa (tingkat α = 95%).

Kadar alfa selulosa dan kadar hemiselulosa kayu meranti merah tidak dipengaruhi secara nyata oleh faktor penjarangan, pelebaran jarak bebas naungan, dan bagian kayu (tingkat α = 95%). Interaksi antara ketiga faktor juga tidak berpengaruh terhadap kadar alfa selulosa dan hemiselulosa. Hasil penelitian ini berbeda dengan Al-Mefarrej et al. (2011) dan Gao et al. (2011) yang menyatakan bahwa kandungan selulosa dan hemiselulosa kayu dengan jarak tanam yang lebar menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan jarak tanam yang rapat. Kedua perlakuan silvikultur tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap komponen kimia kayu struktural (lignin, selulosa, dan hemiselulosa). Kecepatan pertumbuhan sel kayu akibat penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan diduga tidak mempengaruhi kuantitas pembentukan dan komposisi polimer selulosa, hemiselulosa, dan lignin pada dinding sel kayu meranti merah.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Perlakuan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan secara signifikan menurunkan tutupan tajuk serta meningkatkan diameter dan TBC, sementara tinggi total hanya dipengaruhi oleh penjarangan. Perlakuan penjarangan dan Komponen Kimia JBN 8 m JBN 10 m JBN 12 m JBN 8 m JBN 10 m JBN 12 m

Gubal 31.16 31.73 32.57 31.63 31.59 30.83 Teras 34.23 33.26 32.92 33.87 33.86 33.92 Gubal 68.14 69.76 69.43 68.95 68.53 69.46 Teras 66.77 68.12 68.81 67.59 67.65 67.68 Gubal 40.65 42.51 42.87 41.30 41.63 42.48 Teras 40.44 42.48 40.60 40.77 41.80 41.38 Gubal 27.49 27.26 26.56 27.65 26.90 26.98 Teras 26.33 25.64 28.22 26.81 25.86 26.30 Keterangan: JBN = Jarak bebas naungan

Holoselulosa (%)

Alfa Selulosa (%)

Hemiselulosa (%)

Tanpa Penjarangan Penjarangan


(2)

18

pelebaran jarak bebas naungan secara nyata menurunkan BJ, kerapatan, dan KA kering udara serta mempengaruhi penyusutan pada ketiga arah susutnya. MOE, MOR, kekuatan tekan sejajar serat, kekuatan belah, dan kekerasan sisi secara nyata juga mengalami penurunan dengan adanya penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan.

Penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan cenderung menurunkan persentase kayu teras serta menurunkan panjang serat dan tebal dinding serat namun meningkatkan diameter serat dan diameter lumennya. Secara umum perlakuan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan menurunkan kadar ekstraktif pada kayu teras, namun meningkatkan kadar ekstraktif pada kayu gubal dan kadar abu. Kadar lignin, holoselulosa, alfa selulosa, dan hemiselulosa tidak dipengaruhi secara nyata oleh perlakuan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan

Saran

Berdasarkan hasil penelitian, lebar jalur bebas naungan yang optimal pada sistem TPTJ agar diperoleh pertumbuhan serta kualitas kayu yang baik yaitu tidak lebih dari 10 m. Perlu dilakukan penelitian terkait intensitas penjarangan yang tepat agar kualitas kayu tidak mengalami penurunan yang signifikan.

DAFTAR PUSTAKA

Abohassan A, Tewfik SFA, Wakei AOE. 2010. Effect of thinning on the above ground giomass of (Conocarpus erectus L.) trees in the western region of Saudi Arabia. JKAU: Met., Env. & Arid Land Agric. Sci. 21 (1): 3-17. Al-Mefarrej HA, Abdel-Aal MA, Nasser RA, Shetta ND. 2011. Impact of initial

tree spacing and height level on chemical compotition of Leucaena leucocephala trees grown in Riyadh region. Wood Applied Sciences Journal 12 (7): 912-918.

Basri E, Rulliaty S. 2008. Pengaruh sifat fisik dan anatomi terhadap sifat pengeringan enam jenis kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 26 (3): 253-262.

Berberovic A, Milota MR. 2012. Impact of wood variability on the drying rate at different moisture content levels. Forest Pruducts Journal 61 (6): 435-442. Brown PL, Doley D, Keenan RJ. 2004. Stem and crown dimensions as predictors

of thinning respones in a crowded tropical rainforest plantation of Flindersia brayleyana F. Muell. Journal of Forest and Management 196 (2004): 379-392.

Browning BL. 1967. Methods of Wood Chemistry. New York: Interscience Publ. Cao T, Valsta L, Härkönen S, Saranpää, Mäkelä A. 2008. Effects of thinning and

fertilization on wood properties and economic returns for norway spruce. Journal of Forest Ecology and Management 256 (2008): 1280-1289.


(3)

19 Darmawan W, Alipraja I. 2010. Karakteristik aus pisau pengerjaan kayu karena pengaruh ekstraktif dan bahan abrasif yang terdapat pada kayu dan komposit kayu. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 3 (1): 32-37.

DeBell JD, Lachenbruch. 2009. Heartwood/sapwood variation of western redcedar as influenced by cultural treatments and position in tree. Journal of Forest Ecology and Management 258 (2009): 2026-2032.

Ekeberg D, Flaete PO, Eikenes M, Fongen M, Andresen CFN. 2006. Qualitative and quantitative determination of extractives in hearthwood of scots pine (Pinus sylvestris L.) by gas chromatography. Journal of Chromatography A. 1109 (2006): 267-272.

Gao H, Zhang L, Liu S. 2011. Comparison of KP pulping properties between hearthwood and sapwood of Cedrus deodora (Roxb.). G. Don. Applied Mechanics and Materials 55-57 (2011): 1778-1784.

Gartner BL. 2002. Sapwood and inner bark quantities in relation to leaf area and wood density in douglas-fir. IAWA Journal 23 (3): 267-285.

Goncalves JLM, Stape JL, Laclau JP, Smethurst P, Gava JL. 2004. Silvicultural effects on the productivity and wood quality of eucalypt plantations. Journal of Forest Ecology and Management 193 (2004): 45-61.

Haroen WK, Dimyati F. 2006. Sifat kayu tarik, teras dan gubal Acacia mangium terhadap karakteristik pulp. Jurnal BB 41(1): 1-7.

Huang S, Wang BJ, Lu J, Dai C, Lei Y, Sun X. 2012. Charaterizing changbai larch trough veneering. Part 1: Effect of stand density. Journal of Bio Research 7 (2): 2444-2460.

Jyske Tuula. 2008. The effects of thinning and fertilisation on wood and tracheid properties of norway spruce (Picea abies) – The results of long-term experiments. [Dissertation]. Helsinki: Faculty of Agriculture and Forestry University of Helsinki.

Kammesheidt L, Dagang AA, Schwarzwäller W, Weidelt HJ. 2003. Growth patterns of dipterocarps in treated and untreated plots. Journal of Forest Ecology and Management 174 : 437-445.

Kiaei M, Samariha A. 2011. Fiber dimensions, physical and mechanical properties of five important hardwood plants. Indian Journal of Science and Technology 4 (11) 1460-1463.

Kord B, Kialashaki A, Kord B. 2010. The within-tree variation in wood density and shrinkage, and their relationship in Populus euramericana. Turk J. Agric. For 34 (2010): 121-126.

Korkut DS, Korkut S. 2008. Determination of the shear and cleavage strengths of european hophornbeam (Ostrya carpinifolia Scop.) wood. Journal of Science and Technology 2 (1): 131-137.

Latorraca JFC, Dunisch O, Koch G. 2011. Chemical composition and natural durability of juvenile and mature heartwood of Robinia pseudoacacia L. An Acad Bras Cienc 83(3): 1059-1068.

Leonardon M, Altaner CM, Vihermaa L, Jarvis MC. 2009. Wood shrinkage: Influence of anatomy, cell wall architecture, chemical composition and cambial age. Eur. J. Wood Prod (2009) 00: 1-8.

Lukmandaru G. 2009. Sifat kimia dan warna kayu teras jati pada tiga umur berbeda. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 7 (1): 1-7.


(4)

20

Lundgren C. 2004. Cell wall thickness and tangential and radial cell diameter of fertilized and irrigated norway spruce. Silva Fennica 38(1): 95–106.

_________, 2004. Microfibril angle and density patterns of fertilized and irrigated norway spuce. Silva Fennica 38(1): 107-117.

Mawazin, Suhaendi H. 2011. Kajian pertumbuhan tanaman pada sistem silvikultur tebang pilih tanam indonesia intensif (TPTII) di Kalimantan Tengah. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 8 (3) : 253-261.

Mindawati N, Tiryana T. 2002. Pertumbuhan jenis pohon Khaya anthotheca di Jawa Barat. Bulletin Penelitian Hutan No. 632: 47-58.

Morais MC, Pereira. 2012. Variation of extractives content in hearthwood and sapwood of Eucalyptus globulus trees. Wood Sci. Technol 46 (2012): 709-719.

Nawrot M, Pazdrowski W, Szymanski M. 2008. Dynamics of heartwood formation and axial and radial distribution of sapwood and heartwood in stems of european larch (Larix decidua Mill.). Journal of Forest Science 54 (9) : 409-417.

Pamoengkas P. 2006. Kajian aspek vegetasi dan kualitas tanah sistem silvikultur tebang pilih tanam jalur (Studi kasus di areal HPH PT. Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. _________, Prayogi J. 2011. Pertumbuhan meranti merah (Shorea leprosula Miq)

dalam sistem silvikultur tebang pilih tanam jalur (Studi kasus di areal IUPHHK-HA PT. Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah). Jurnal Silvikultur Tropika 02 (1) : 9-13.

Pandit IKN, Rahayu IS. 2007. Ultra-struktur kayu damar (Agathis lorantifolia Salisb.) dalam hubungannya dengan sifat fisis kayu. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 5(1): 1-6.

Picchio R, Neri F, Maesano M, Savelli S, Sirna A, Blasi S, Baldini, Marchi E. 2011. Growth effects of thinning damage in a corsican pine (Pinus laricio Poiret) stand in Central Italy. Forest Ecology and Management 262 (2011): 237-243.

Pikk J, Kask R, Peterson P. 2006. The wood quality of fertilized scots pine (Pinus sylvestris L.) stands on vaccinium vitis-idaea and cladonia site type. Metsanduslikud Uurimused 44: 9-19.

Pinkard EA, Neilsen WA. 2003. Crown and stand characteristics of Eucalyptus nitens in response to initial spacing: Implications of thinning. Journal of Forest Ecology and Management 172 (2003): 215-227.

Pliura A, Yu Q, Zhang SY, Mackay J, Pierre P, Bousquet J. 2005. Variation in wood density and shrinkage and their relationship to growth young poplar hybrids crosses. Forest Sci J 51: 472-482.

Raiskila S, Pulkkinen M, Laakso T, Fagerstedt K, Löija M, Mahlberg R, Paajanen L, Ritschkoff AC, Saranpää P. 2007. FTIR spectroscopic prediction of klason and acid soluble lignin variation in norway spruce cutting clones. Silva Fennica 41(2): 351-371.

Rokeya UK, Hossain MA, Ali R, Paul SP. 2010. Physical and mechanical properties of (Acacia auriculiformis x A. mangium) hybrid acacia. Journal of Bangladesh Academy of Sciences 34 (2): 181-187.


(5)

21 Sadegh AN, Kiaei M, Samariha A. 2012. Experimental characterization of shrinkage and density of Tamarix aphylla wood. Cellulose Chem. Technol 46 (5-6): 369-373.

Siarudin, Marsoem. 2007. Karakteristik dan variasi sifat fisik kayu mangium pada beberapa jarak tanam dan kedudukan aksial-radial. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan 1(1): 1-11.

Sukendro A, Sugiarto E. 2012. Respon pertumbuhan anakan Shorea leprosula Miq, Shorea mecistopteryx Ridley, Shorea ovalis (Korth) Blume dan Shorea selanica (DC) Blume terhadap tingkat intensitas cahaya matahari. Jurnal Silvikultur Tropika 03 (01): 22-27.

Taylor AM, Barbara, Gartner, Morrel JJ. 2003. Co-incident variations in growth rate and heartwood extractive concentration in douglas-fir. Journal of Forest and Management 186 (2003): 257-260.

_________, Gartner BL, Morrell JJ. 2006. Western redcedar extractives: Is ther a role for the silviculturist? Forest Products Journal 56 (3): 58-63.

Uner B, Oyar O, Var AA, Altnta OL. 2009. Effect of thinning on density of Pinus nigra tree using X-ray computed tomography. Journal of Environmental Biology 30 (3) 359-362.

Wang HL, Wang SY.1999. Effect of moisture content and specific gravity on static bending properties and hardness of six wood species. Journal of Wood Science 45 (2) 127-133.

Wardani L, Bahtiar ET, Sulastiningsih IM, Darwis A, Karlinasari L, Nugroho N, Surjokusumo S. 2011. Kekuatan tekan dan poisson kayu pangsor ( Ficus callosa Willd) dan kecapi (Sandoricum kucape Merr). Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 4(1): 1-7.

Zhang SY, Chauret G, Swift E, Duchesne I. 2006. Effects of precommercial thinning on tree growth and lumber quality in a jack pine stand in New Brunswick, Canada. Can. J. For. Res. 36 : 945-952.

Zziwa A, Kaboggoza JRS, Mwakali JA, Banana AY, Kyeyune RK. 2006. Physical and mechanical properties of some less utilised tropical timber tree species growing in Uganda. Uganda Journal of Agriculturel Science 12(1): 29-37.


(6)

22

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banjarnegara, Jawa Tengah pada tanggal 29 Maret 1991 dari ayah Hartono, SP dan ibu Syamsiatun. Penulis merupakan putra kedua dari tiga bersaudara. Tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bawang Banjarnegara dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) yang kemudian diterima di Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum mata kuliah pulp dan kertas pada tahun ajaran 2012/2013. Penulis juga aktif dalam organisasi International Forestry Student Association (IFSA) LC-IPB sebagai staf Public Relation selama dua periode dari tahun 2009 sampai 2011, Organisasi Mahasiswa Daerah Banyumas (OMDA IKAMHAMAS) sebagai ketua divisi dokumentasi dari tahun 2009 sampai 2010. Penulis juga aktif sebagai ketua umum Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan (HIMASILTAN) pada tahun 2010 sampai 2011. Bulan Juni 2010 penulis melaksanakan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) yang bertempat di Pangandaran dan Gunung Sawal, Jawa Barat. Bulan Juni-Juli 2011 penulis melaksanakan Praktik Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Jawa Barat. Bulan Maret-Mei 2012 penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapang Industri di PT. Toba Pulp Lestari, Sumatera Utara dengan judul Proses Pembutan Pulp Secara Terintegrasi.

Penulis juga aktif mengikuti Program Kreatifitas Mahasiswa (PKM) dan berhasil lolos didanai oleh DIKTI pada tahun 2011. Penulis juga aktif dalam Olympiade Mahasiswa IPB (OMI) dan memperoleh juara II cabang bola volley pada tahun 2010. Selama masa kuliah penulis memperoleh beasiswa PPA dari tahun 2009 sampai 2012 dan Tanabe Foundation pada tahun 2012.